• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Identifikasi/Pembatasan Konsep 1. Film

Film dalam kamus besar Bahasa Indonesia memiliki arti sebagai selaput tipis yang terbuat dari seluloid yang berfungsi sebagai tempat gambar negatif (yang akan dibuat potret) maupun gambar positif (yang akan dimainkan di bioskop). Selain itu, film juga diartikan sebagai lakon (cerita) gambar hidup (KBBI, 1990).

Film merupakan bagian dari sistem komunikasi yang digunakan oleh individu maupun kelompok yang berfungsi untuk mengirim dan menerima pesan. Film terdiri dari rangkaian gambar yang bergerak dan membentuk suatu cerita yang dikenal dengan sebutan movie atau video. Film sebagai media audio visual yang terdiri dari gambar yang disatukan menjadi kesatuan utuh dan memiliki kemampuan dalam menangkap realita sosial budaya yang kemudian membuat film mampu menyampaikan pesan yang terkandung di dalamnya dalam bentuk media visual.

Awal mulanya, film ditemukan sekitar akhir abad ke-19, dimana film Edison dan Lumiere merupakan sebuah film pertama yang memiliki durasi hanya beberapa menit. Proses perekaman gambarnya diambil menggunakan frame (bingkai) secara statis (kamera tidak bergerak sama sekali) dan tidak ada proses penyuntingan terhadap hasil gambar yang sudah direkam.

Selanjutnya, George Melies, seorang pembuat film asal Perancis mulai membuat cerita gambar bergerak, yaitu suatu film yang bercerita. Proses pembuatan film berakhir pada tahun 1890-an. Selanjutnya, ia mulai eksplorasi dengan membuat film dalam satu adegan yaitu film pendek. Oleh karena itu, Melies sering disebut “artis pertama dalam dunia sinema” (M. Ali & Dani, 2020).

Produksi film awalnya juga menggunakan novel, vaudeville dan sirkus yang dijadikan sebuah skenario film. Seiring berjalannya waktu, commit to user

(2)

9

perkembangan film tentu tidak lepas dari teknologi yang semakin canggih yang digunakan dalam proses produksi film. Film yang dahulunya masih berupa gambar hitam putih sekarang sudah berwarna dengan kualitas yang bagus.

Film yang baik adalah yang memiliki struktur sederhana yang dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu (Kusumawardhani, 2014):

a. Keutuhan (semua unsur dalam film harus bertalian dengan subyek utama) b. Ketergabungan (harus berhubungan antar unsur dan menunjukkan

kesimpulan)

c. Tekanan (tekanan akan menentukan posisi dari unit-unit utama dan sampingan film)

d. Interest (berhubungan “isi” dari setiap unit)

Selanjutnya, film memiliki struktur film yang terdiri dari:

a. Shot adalah sebuah potongan film bagaimanapun panjang atau pendeknya yang merupakan hasil satu pemotretan.

b. Scene atau adegan adalah penamaan atas serangkaian shot yang beberapa unsur di dalamnya memiliki kesamaan, yakni setting, konsep, action, pelaku dan suasana.

c. Sequence atau babak adalah bagian yang terbentuk apabila beberapa adegan disusun secara berarti dan logis. Babak memiliki ritme permulaan, pengembangan dan akhir.

Struktur juga ditentukan oleh sejumlah unsur yaitu:

a. Eksposisi (keterangan tentang tempat, waktu, suasana dan watak)

b. Point of attack (konfrontasi awal dari kekuatan-kekuatan yang saling bertentangan)

c. Komplikasi (menuturkan keterlibatan-keterlibatan antar unsur pendukung cerita)

d. Discovery (informasi-informasi baru dalam pertengahan cerita) e. Reversal (terjadinya komplikasi baru antar pendukung cerita) f. Konflik (perbenturan antara kekuatan-kekuatan yang bertentangan) g. Rising action (pengungkapan pengembangan plot utama) commit to user

(3)

10

h. Krisis (timbul apabila komplikasi-komplikasi menuntut keputusan penting dari tokoh)

i. Klimaks (puncak paling tinggi dari semua ketegangan dan intensitas.

Biasanya timbul bersamaan dengan krisis)

j. Falling action (klimaks menurun dan menuju kesimpulan)

k. Kesimpulan (tahap semua pertanyaan dijawab, masalah utama dipecahkan dan diatasi. Dalam cerita tragedi disebut katarsis, dan happy end dalam suatu komedi)

Film dibentuk oleh unsur audio dan visual. Secara umum dikategorikan menjadi dua unsur pembentuk yaitu unsur naratif dan unsur semantik yang dijabarkan sebagai berikut (Pratista, 2008):

a. Unsur naratif merupakan materi atau bahan olahan, dalam hal ini adalah penceritaannya. Aspek penceritaan meliputi background tokoh, karakter, permasalahan, ruang, waktu. Kesemuanya berkesinambungan dalam menjalin peristiwa atau kejadian dan dilatarbelakangi oleh hukum kasualitas (logika sebab akibat). Paduan antara ruang, waktu dan aspek kasualitas adalah yang membentuk elemen pembentuk naratif sebuah film.

b. Unsur sinematik merupakan cara atau dengan gaya seperti apa bahan olahan itu akan digarap. Aspek pembentuk sinematik: Mise en Scene, sinematografi, editing dan suara. Mise en Scene berasal dari kata dalam bahasa Perancis yang berarti segala sesuatu yang berada di depan kamera.

Ada 4 elemen penting dari Mise en Scene yaitu setting, tata cahaya, kostum dan make up serta akting dan pergerakan pemain. Sinematografi adalah hubungan esensial bagaimana kamera digunakan untuk memenuhi kebutuhannya yang berhubungan dengan objek yang akan direkam.

Editing merupakan struktur, ritme, penekanan dramatik dibangun melalui proses pemilihan, penyambungan dari gambar yang sudah direkam. Suara yakni seluruh unsur bunyi yang berhubungan dengan gambar, dialog/narasi, musik ataupun effect.

Sebuah film dengan cerita atau tema yang kuat menjadi tidak berarti tanpa pencapaian sinematik yang memadai. Pencapaian sinematik yang commit to user

(4)

11

istimewa dapat tidak berarti tanpa pencapaian naratif yang memadai. Bahasa film adalah kombinasi antara bahasa suara dan bahasa gambar. Kedua unsur pembentuk ini saling berkaitan satu sama lain untuk membentuk film yang baik.

2. Film Sebagai Media Komunikasi Massa

Manusia tidak dapat hidup secara individu sepanjang hidupnya, manusia memerlukan manusia lain karena manusia merupakan makhluk sosial. Setiap kegiatan sosial yang berhubungan dengan manusia lain senantiasa membutuhkan sebuah sarana untuk saling mengungkapkan apa yang diinginkan melalui komunikasi.

Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris yaitu communication berasal dari kata Latin communicatio dan berasal dari kata communis yang berarti sama. Komunikasi akan berlangsung dengan lancar apabila terdapat kesamaan pengertian antara bentuk komunikasi yang digunakan dan makna yang dimaksud (Mulyana, 1999).

Komunikasi sebagai kegiatan pertukaran pesan dari sumber pesan (komunikator) kepada penerima pesan (komunikan) dapat terjadi apabila terdapat kesamaan makna mengenai suatu pesan yang disampaikan oleh komunikator dan diterima oleh komunikan. Jadi, antara komunikator dan komunikan harus memiliki frame of reference yang sama (Rachmat, 1996).

Menurut John Fiske terdapat dua mazhab utama dalam studi komunikasi.

Mazhab pertama adalah melihat komunikasi sebagai transmisi pesan yang tertarik dengan bagaimana pengirim dan penerima mengkonstruksi pesan (encode) dan menerjemahkannya (decode) dan dengan bagaimana transmitter menggunakan saluran dan media komunikasi. Selanjutnya, yang kedua terdapat mazhab komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Hal ini berkaitan dengan bagaimana pesan berinteraksi dengan orang-orang dalam rangka menghasilkan makna; yakni berkenaan dengan peran teks

commit to user

(5)

12

dalam kebudayaan yang menggunakan istilah seperti pertandaan (signification) (Fiske, 2004).

Dalam komunikasi terdapat beberapa level komunikasi diantaranya komunikasi interpersonal, komunikasi intrapersonal, komunikasi kelompok, komunikasi organisasi dan komunikasi massa. Menurut Bittner, komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang. Sekalipun komunikasi disampaikan kepada khalayak luas tetapi jika tidak menggunakan media massa maka hal tersebut bukanlah termasuk komunikasi massa. Gebner mengemukakan juga bahwa komunikasi massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi lembaga dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas yang dimiliki orang dalam masyarakat Indonesia. Film menjadi salah satu media komunikasi massa populer selain televisi (Romli, 2016).

Menurut Oey Hong Lee, film sebagai alat komunikasi massa yang kedua muncul di dunia memiliki masa pertumbuhan pada akhir abad ke-19 dengan kata lain beriringan pada waktu unsur-unsur yang merintangi perkembangan surat kabar sudah lenyap. Hal ini menunjukkan bahwa dari permulaan sejarahnya film dengan lebih mudah dapat menjadi alat komunikasi yang sejati, karena ia tidak mengalami unsur-unsur teknik, politik, ekonomi, sosial dan demografi yang merintangi kemajuan surat kabar pada masa pertumbuhannya dalam abad ke-18 dan permulaan abad ke-19 (Sobur, 2016).

Kekuatan dan kemampuan film untuk dapat menjangkau banyak segmen sosial, lantas membuat para ahli menyimpulkan bahwa film mempunyai potensi untuk mempengaruhi khalayak luas yang heterogen melalui media audio visual. Sejak saat itu, maka berkembanglah berbagai penelitian yang hendak melihat dampak film terhadap masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari sejumlah penelitian terhadap anak, film dan agresivitas, film dan politik, dan seterusnya.

Seperti dikemukakan oleh van Zoest dalam Sobur (2016), film dibangun dengan tanda semata-mata. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan. commit to user

(6)

13

Gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi realitas yang dinotasikannya.

Film menuturkan ceritanya dengan cara yang khas. Kekhususan film adalah mediumnya, cara pembuatannya dengan kamera dan pertunjukannya dengan proyektor dan layar. Dalam menyampaikan pesan, film tidak bisa berdiri sendiri sebagai media yang benar-benar netral. Penonton hanya menjadi mayoritas yang diam ketika menonton film. Kekuatan film sebagai media massa dibandingkan dengan jenis media massa lain adalah layar lebar, pengambilan gambar, konsentrasi penuh dan identifikasi psikologis (Ardianto

& Kemal, 2007).

Sebagai sebuah media, beragam bentuk dan gaya yang ditampilkan dalam film merupakan kebudayaan dari suatu produk yang mewakili dan merepresentasikan nilai-nilai dari pandangan kelompok masyarakat dan ideologi tertentu. Semua itu merupakan elemen-elemen yang tak terpisahkan dari sebuah karya film. Film dengan ideologinya berusaha menampilkan atau merepresentasikan sesuatu kepada khalayak.

Film tidak lagi dimaknai hanya sekadar karya seni (film as art), tetapi lebih sebagai praktik sosial serta komunikasi massa. Perkembangan film menjadi bagian dari kehidupan manusia sebagai sebuah cara untuk mengungkapkan ekspresi yang dirasakan. Film berisikan pesan yang dibuat oleh kreator kepada penonton.

Kepekaan artistik dalam memaknai pesan dalam film dibutuhkan karena film memiliki bahasa tersendiri yang terdapat pada teknik-teknik penyajian gambar (cut), pemotretan jarak dekat (close up), pemotretan dua sisi (two shot), pemotretan jarak jauh (long shot), pembesaran atau pengecilan gambar (zoom out/zoom in), pelarutan dua gambar secara halus (dissolve), sampai kepada yang melibatkan efek khusus (special effect), seperti gerakan lambat (slow motion), gerakan dipercepat (speeded up), dan special effect digital yang lebih canggih lainnya yang melibatkan animasi atau permainan program komputer (Sobur, 2016: hal131).

commit to user

(7)

14

Dalam konteks sebagai media komunikasi, cara bertutur dalam film menjadi bagian dari teknik komunikasi yang mencoba memberikan pesan kepada penonton dengan cara yang unik dan mengesankan. Film didalamnya mengandung unsur tema, cerita dan tokoh yang dikemas menggunakan format audio visual yang dapat mengkomunikasikan sebuah pesan baik secara eksplisit maupun implisit.

3. Film Sebagai Representasi Realitas Masyarakat

Representasi adalah mengartikan konsep (concept) yang ada di pikiran kita dengan menggunakan bahasa. Stuart Hall secara tegas mengartikan representasi sebagai proses produksi arti dengan menggunakan bahasa (Hall, 1995).

Tanpa konsep, kita sama sekali tidak dapat mengartikan apapun di dunia ini. Disini, dapat dikatakan bahwa arti (meaning) tergantung pada semua sistem konsep 9 the conceptual map yang terbentuk dalam benak kita, yang dapat digunakan untuk merepresentasikan dunia dan memungkinkan kita untuk bisa mengartikan benda baik dalam benak maupun di luar benak kita.

Kedua, bahasa (language) yang melibatkan semua proses dari konstruksi arti.

Representasi merupakan konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia seperti dialog, tulisan, video, film, fotografi, dan sebagainya. Representasi dalam film merupakan konvensi-konvensi yang dirancang untuk menarik perhatian sekaligus dapat dipahami dengan mudah secara luas oleh audiens. Konvensi dalam bahasa representasi film tercermin pada kode-kode sinematografis dan naratif yang digunakan.

Film dalam merepresentasikan realitas akan terpengaruh oleh lingkungan sosial, ideologi dimana film itu diproduksi dan akan kembali berpengaruh pada kondisi masyarakat bukan hanya dapat mempengaruhi sikap tetapi juga mengubah pola pikir dan ideologi masyarakat. Kemampuan film menjangkau banyak segmen sosial lantas dapat mempresentasikan kehidupan yang mampu memuat nilai budaya masyarakat. commit to user

(8)

15

Graeme Turner, menolak perspektif yang melihat film sebagai refleksi masyarakat. Makna film sebagai representasi dari realitas masyarakat, bagi Turner, berbeda dengan film sekadar sebagai refleksi dari realitas, film sekadar “memindah” realitas ke layar tanpa mengubah realitas itu. Sementara itu, sebagai representasi dari realitas, film membentuk dan “menghadirkan kembali” realitas berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi, dan ideologi dan kebudayaannya (Sobur, 2016: hal 128).

Aspek produksi, distribusi dan konsumsi film membuat film menjadi bagian yang tidak terlepas dari kehidupan masyarakat. Sebuah realitas yang berhubungan dengan dinamika kehidupan masyarakat dan kehidupan didalamnya, masyarakat menjadi bagian penting yang selanjutnya akan menerima pengaruh dan menjadi penilai dari suatu ekspresi kreativitas yang ditampilkan dalam sebuah media.

4. Sinematografi

Sinematografi merupakan kata serapan dari bahasa Inggris cinematography yang berasal dari bahasa Latin yaitu kinema artinya gerakan.

Sinematografi sebagai ilmu terapan merupakan bidang ilmu yang membahas teknik menangkap gambar dan menggabung-gabungkan gambar tersebut sehingga menjadi rangkaian gambar yang dapat menyampaikan ide.

Pengambilan gambar merupakan tahapan yang sangat penting di dalam proses produksi sebuah video klip. Gambar yang diambil harus mampu menyampaikan gagasan dari alur cerita, dengan kata lain gambar harus mampu berbicara kepada khalayak.

Menurut Pratista (2008), sinematografi adalah perlakukan terhadap kamera dan filmnya, serta hubungan kamera dengan objek yang diambil. Unsur sinematografi secara umum dibagi menjadi tiga kategori, yakni kamera dan film, framing, serta durasi kamera. Aspek kamera dan film diantaranya mencakup beberapa hal antara lain penggunaan lensa, kecepatan gerak gambar, efek visual, dan pewarnaan. Sedangkan framing adalah hubungan kamera dengan obyek yang akan diambil yang mencakup seluruh lingkup commit to user

(9)

16

wilayah gambar, jarak, ketinggian serta pergerakan kamera. Sementara durasi gambar mencakup lama atau durasi sebuah objek diambil gambarnya oleh kamera.

Berikut beberapa aspek teknis yang harus diperhatikan dalam menemukan pemaknaan representasi trauma dalam film yang tersembunyi di balik teks (Pratista, 2008):

a. Kamera dan film 1) Jenis kamera

Kamera yang digunakan dalam proses produksi film secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, kamera film dan kamera video. Seiring berkembangnya teknologi, kamera video sering dugunakan dalam proses produksi, teknologi dari kamera digital membuat segala sesuatu produksi menjadi lebih mudah dan murah.

2) Tonalitas

Tonalitas dalam film berkaitan dengan gambar dan kontras warna.

Sebuah film dapat diproduksi dengan warna hitam-putih atau bisa pula berwarna dengan pilihan warna yang dapat diatur sesuai dengan tuntutan estetikanya dan mendukung penyampaian pesan serta penggambaran suasana.

3) Kecepatan gerak gambar

Kecepatan gerak sebuah shot dapat dikontrol melalui pengaturan kamera yaitu kecepatan per-frame. Setiap kecepatan gerak gambar memiliki tuntunan naratif serta estetik sendiri.

b. Framing

Framing atau pembingkaian adalah aspek yang sangat penting guna menjabarkan alur cerita yang kemudian akan disajikan kepada penonton.

Framing dibagi menjadi empat unsur utama yaitu bentuk dan dimensi frame, ruang offscreen dan onscreen, sudut, kemiringan, tinggi, dan jarak terhadap obyek serta pergerakan kamera. Framing tidak terlepas dari komposisi gambar secara keseluruhan yang berhubungan erat dengan posisi objek dalam frame. Beberapa aspek framing dijelaskan sebagai berikut: commit to user

(10)

17 1) Jarak kamera terhadap objek

Jarak yang dimaksud adalah dimensi jarak kamera terhadap objek dalam frame. Adapun dimensi jarak kamera terhadap objek dapat dikelompokkan sebagai berikut:

(1) Extreme Long Shot (ELS)

Extreme Long Shot digunakan saat ingin mengambil gambar yang sangat amat jauh, panjang, luas dan berdimensi lebar. Shot ini biasanya digunakan untuk pembukaan film dan untuk memperkenalkan kepada penonton lokasi cerita.

(2) Long Shot (LS)

Long Shot menangkap gambar dari ujung kepala hingga ujung kaki. Long Shot juga disebut landscape format, biasanya digunakan untuk mengantarkan mata penonton kepada suatu kejelasan suasana dan objek.

(3) Medium Long Shot (MLS)

Medium Long Shot menangkap gambar dari ujung kepala hingga setengah kaki. Shot ini biasanya digunakan sebagai variasi estetika gambar.

(4) Medium Shot (MS)

Medium Shot menangkap gambar dari tangan hingga ke atas kepala. Shot ini biasanya digunakan untuk menunjukkan ekspresi dan emosi dari pemeran kepada penonton.

(5) Middle Close Up (MCU)

Middle Close Up menangkap gambar dari ujung kepala hingga ujung perut. Penonton masih dapat melihat latar belakang tetapi, penonton juga diarahkan untuk mengenal lebih detail profil, bahasa tubuh dan emosi pemeran.

(6) Close Up (CU) commit to user

(11)

18

Close Up menangkap gambar penuh dari leher hingga ujung kepala. Shot ini adalah komposisi yang paling sering digunakan untuk menggambarkan emosi dan reaksi pemeran.

(7) Extreme Close Up (ECU)

Extreme Close Up berfokus pada satu objek saja. Shot ini digunakan untuk melihat secara dekat seperti hidung, mata atau bibir.

2) Sudut

Sudut pandang kamera terhadap objek yang berada dalam frame.

(1) Low Angle dan High Angle

Low angle menempatkan kamera melihat objek dalam frame yang berada di atasnya yang memberikan kesan sebuah objek seolah tampak lebih besar, dominan, percaya diri, kokoh serta kuat.

Sedangkah high angle menempatkan kamera melihat objek dalam frame berada di bawahnya dan mampu memberikan kesan objek kecil, lemah serta terintimidasi.

(2) Overload Shot

Overload shot merupakan pengambilan sudut pengambilan gambar yang secara tegak lurus ke bawah sehingga tidak bisa menampilkan wajah seseorang. Sering digunakan untuk film bertema misteri untuk menutupi identitas seseorang.

3) Pergerakan kamera

Pergerakan kamera berfungsi mengikuti pergerakan seorang karakter dan obyek. Pergerakan kamera sering digunakan untuk menggambarkan situasi dan suasana sebuah lokasi atau suatu panorama.

(1) Pan

Pan merupakan singkatan dari kata panorama. Istilah panorama digunakan karena umumnya menggambarkan pemandangan secara luas. Pan adalah pergerakan kamera secara horizontal (kanan dan kiri) dengan posisi kamera statis. Pan umumnya commit to user

(12)

19

digunakan untuk mengikuti pergerakan seorang karakter atau melakukan reframing atau menyeimbangkan kembali komposisi frame ketika karakter bergerak.

(2) Tilt

Tilt merupakan pergerakan kamera secara vertikal (atas-bawah atau bawah-atas) dengan posisi kamera statis. Tils sering digunakan untuk memperlihatkan objek yang tinggi.

(3) Tracking

Tracking shot merupakan pergerakan kamera akibat perubahan posisi kamera secara horizontal. Pergerakan dapat bervariasi, yakni maju (track forward), mundur (track backward), melingkar, menyamping (track left/right) dan sering kali menggunakan rel atau track.

(4) Crane shot

Crane shot adalah pergerakan kamera akibat perubahan posisi secara vertikal, horizontal, atau kemana saja selama masih di atas permukaan tanah. Crane shot umumnya menggunakan alat crane crane yang mampu membawa kamera bersama operatornya sekaligus.

c. Durasi gambar

1) Durasi cerita dan durasi shot

Durasi shot, memiliki arti penting karena menunjukkan durasi cerita yang berjalan pada sebuah shot. Durasi cerita film umumnya sama dengan durasi shot-nya.

2) Long take

Teknik long take adalah teknik dengan durasi mengambil gambar yang panjang hingga beberapa menit bahkan jam. Teknik ini relatif rumit karena membutuhkan perencanaan yang matang dari tiap aspek seperti sinematografi, set, tata audio, pencahayaan, blocking dan akting pemain. Motif penggunaan teknik ini untuk menekankan proses sebuah adegan besar atau penting. commit to user

(13)

20 5. Semiotika John Fiske

Semiotika adalah ilmu tentang tanda, istilah semiotika berasal dari bahasa Yunani yang berarti “tanda”. Secara etimologi, semiotika dihubungkan dengan sign, signal. Tanda ada dimana-mana dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari manusia. Dalam semiotika terdapat dua perhatian utama yakni hubungan antara tanda dan maknanya, dan bagaimana suatu tanda dikombinasikan menjadi suatu kode.

Semiotika adalah studi mengenai pertandaan dan makna dari sistem tanda, bagaimana makna dibangun dalam teks media atau studi tentang bagaimana tanda dari jenis karya apapun dalam masyarakat yang mengkonsumsi makna (Fiske,2004).

Semiotika digunakan sebagai pendekatan untuk menganalisis media dengan asumsi bahwa media itu sendiri dikomunikasikan melalui seperangkat tanda. Teks media yang tersusun atas seperangkat tanda itu tidak pernah membawa makna tunggal. Kenyataannya teks media memiliki ideologi atau kepentingan tertentu, memiliki ideologi dominan yang terbentuk melalui tanda tersebut.

Pokok dari perhatian semiotika adalah tanda. Sebagaimana kita menyebutnya, memiliki tiga wilayah kajian sebagai berikut (Fiske, 2004):

a. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi berbagai jenis tanda yang berbeda-beda, cara-cara berbeda dari tanda-tanda di dalam menghasilkan makna, dan cara tanda-tanda tersebut berhubungan dengan orang yang menggunakannya. Tanda adalah kontruksi manusia dan hanya bisa dipahami di dalam kerangka penggunaan atau konteks orang-orang yang menempatkan tanda-tanda tersebut.

b. Kode-kode atau sistem tanda-tanda diorganisasi. Kajian ini melingkupi bagaimana beragam kode telah dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atau budaya. Atau untuk mengeksploitasi saluran-saluran komunikasi yang tersedia bagi pengiriman kode-kode tersebut.

commit to user

(14)

21

c. Budaya tempat di mana kode-kode dan tanda-tanda beroperasi. Hal ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan dari kode-kode dan tanda- tanda untuk eksistensi dan bentuknya sendiri.

Semiotika tanda dan simbol dianalisa berdasarkan dengan kaidah-kaidah berdasarkan pengkodean yang berlaku sehingga semiotika akan menemukan makna yang terselubung dalam sebuah pesan dalam film. Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Dalam film yang paling penting yaitu gambar dan suara; kata yang diucapkan (ditambah dengan suara-suara lain yang serentak mengiringi gambar-gambar) dan musik dalam film.

John Fiske mengemukakan teori tentang kode-kode televisi (The Codes of Television). Kode-kode yang digunakan dalam acara televisi saling berhubungan sehingga terbentuk sebuah makna. Pada perkembangannya, model ini digunakan untuk menganalisis teks media yang lain seperti film.

Film sebenarnya tidak jauh berbeda dengan televisi. Namun, film dan televisi memiliki bahasanya sendiri dengan sintaksis dan tata bahasa yang berbeda. Tata bahasa itu terdiri atas semacam unsur yang akrab, seperti pemotongan (cut), pemotretan jarak dekat (close-up), pemotretan dua (two shot), pemotretan jarak jauh (long shot), pembesaran gambar (zoom in), pengecilan gambar (zoom out), memudar (fade), pelarutan (dissolve), gerakan lambat (slow motion), gerakan yang dipercepat (speeded up), dan efek khusus (special effect). Namun, bahasa tersebut juga mencakup kode-kode representasi yang lebih halus, yang tercakup dalam kompleksitas dari penggambaran visual yang harfiah hingga simbol-simbol yang paling abstrak dan arbitrer serta metafora (Sobur, 2016).

Teori ini menjelaskan bahwa sebuah realitas tidak muncul begitu saja melalui kode-kode yang timbul, namun juga diolah melalui penginderaan serat referensi yang telah dimiliki oleh pemirsa televisi, sehingga sebuah kode akan dipersepsikan secara berbeda-beda oleh masing-masing orang.

Fiske berpandangan apa yang ditampilkan di layar kaca seperti film adalah merupakan realitas sosial. Pada kajian analisis milik John Fiske kemudian terdapat 3 level yang mampu menjawab rumusan masalah dalam penelitian commit to user

(15)

22

ini. Peristiwa yang ditayangkan dalam dunia televisi telah di en-kode oleh kode-kode sosial yang terbagi dalam level-level sebagai berikut (Fiske, 1987):

Gambar 2.1. Kode-kode televisi John Fiske

Untuk memperoleh kedalaman tanda dan makna dari penelitian mengenai film 27 Steps of May, peneliti menggunakan beberapa kode sosial dalam The Codes of Television, yaitu sebagai berikut:

Level 1 : Realitas

Penampilan, kostum, riasan, lingkungan, tingkah laku, cara berbicara, gerak tubuh, ekspresi, suara dll

Hal ini terkodekan secara elektronis melalui kode-kode teknis seperti:

Level 2:

Representasi

Kamera, cahaya, editing, music, suara

Yang mentransmisikan kode-kode representasi konvensional, yang membentuk representasi dari, contohnya :

Naratif, konflik, karakter, aksi, dialog, setting, casting, dll.

Level 3 : Ideologi

Yang terorganisasikan kepada penerima hubungan sosial oleh kode-kode ideologi, seperti individualisme, feminisme, ras, kelas,materialisme, kapitalisme, dll

commit to user

(16)

23 a. Level Realitas

Pada level realitas ini dapat dilihat terdapat kode-kode sosial berupa kostum pemain (dress), riasan (make-up), penampilan (appearance), lingkungan (environment), perilaku (behavior), ucapan (speech), gerakan (gesture), ekspresi (expression), suara (sound), dan sebagainya.

b. Level Representasi

Kode sosial pada level realitas, kemudian diolah secara elektronik oleh kode-kode teknis. Dalam bahasa tulis seperti kata, proposisi, kalimat, foto, caption, grafik dan sebagainya. Dalam televisi seperti kamera, musik, tata cahaya dan lain-lain. Elemen-elemen tersebut ditransmisikan ke dalam kode representasional yang memasukkan diantaranya bagaimana objek digambarkan (karakter, narasi, setting, dialog dan lain-lain).

c. Level Ideologi

Level ideologi meliputi suatu kesatuan dan penerimaan sosial seperti kelas, patriarki, gender. Pada level ini ideologi yang menguasai budaya sebuah kelompok pemakai tanda mempengaruhi tanda yang diproduksi, dan ideologi menentukan visi atau pandangan kelompok budaya terhadap realitas. Untuk mengetahui ideologi dalam suatu tanda perlu diketahui konteks di mana tanda itu berada dan bagaimana budaya di pemakai (Eriyanto, 2004). Semua elemen meliputi narasi, konflik, karakter, aksi, dialog, latar, pemeran dan lain-lain diorganisasikan ke dalam satu kesatuan dan kemampuan penerimaan sosial oleh kode-kode ideologi seperti individualisme, liberalisme, sosialisme, patriarki, ras, kelas, materialisme dan sebagainya.

Dari penjelasan tersebut, maka pemaknaan tanda ataupun simbol dalam film ataupun media, tidak hanya dilihat dari aspek sosialnya saja. Aspek sinematografi (teknik pengambilan gambar) juga memiliki andil. Aspek sinematografi dalam perfilman mencakup berbagai teknik yang digunakan untuk membangun suatu penggambaran dari cerita yang ingin disampaikan dan untuk mendukung naratif serta estetik sebuah film (Pratista, 2008).

Teknik-teknik tersebut meliputi pengambilan jarak pandang kamera terhadap commit to user

(17)

24

objek, sudut pandang dan pergerakan kamera, teknik pencahayaan dan tata lampu, serta efek yang digunakan dalam pembuatan film yang bersangkutan.

6. Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan

Menurut pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap perempuan, istilah tindak kekerasan terhadap perempuan (violence against women) mencakup segala bentuk tindak kekerasan yang berbasis gender baik tindakan fisik, seksual maupun emosional yang membuat perempuan menderita termasuk di dalamnya segala bentuk ancaman, intimidasi dan pelanggaran hak atau kemerdekaan perempuan baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Walaupun tindak kekerasan tidak terkait dengan jenis kelamin, dalam arti dapat terjadi pada kaum laki-laki juga, namun adanya ketimpangan gender yang masih mengakar bahkan tumbuh subur pada masyarakat kita menyebabkan perempuan di tempatkan pada posisi yang rentan sebagai objek tindak pidana asusila atau kekerasan.

Kekerasan seksual adalah tiap-tiap perbuatan yang mencakup pelecehan seksual sampai kepada memaksa seseorang untuk melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau korban tidak menghendaki dan melakukan hubungan seksual dengan tidak wajar atau tidak disukai korban dan atau menjauhkannya (mengisolasi) dari kebutuhan seksualnya. Istilah kekerasan seksual adalah perbuatan yang dapat dikategorikan hubungan dan tingkah laku seksual yang tidak wajar, sehingga menimbulkan kerugian dan akibat yang serius bagi para korban (Wahid & Irfan, 2001).

Kekerasan seksual yang banyak dialami oleh perempuan tergolong sebagai pelanggaran HAM yang serius atau sebagai kejahatan istimewa yang tidak hanya menimbulkan derita fisik, tetapi telah mengakibatkan derita psikologis yang berat kepada korban. Korban yakni perempuan telah mengalami penderitaan secara berlapis akibat peristiwa kekerasan seksual yang dialaminya.

Segala bentuk tindak kekerasan seksual sesederhana apapun itu tentu saja merugikan tidak hanya secara fisik namun secara psikologis. Undang-Undang commit to user

(18)

25

Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 8 menjelaskan bentuk kekerasan seksual meliputi:

a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkungan rumah tangga tersebut.

b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

Tak berbeda jauh dengan penjelasan peraturan dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 8, ada 15 jenis kekerasan seksual menurut Komnas Perempuan dari hasil pemantauannya selama 15 tahun (1998-2013) (Komnas Perempuan, 2013):

1) Perkosaan

Perkosaan merupakan serangan dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual dengan memakai penis ke arah vagina, anus atau mulut korban.

Bisa juga menggunakan jari tangan atau benda-benda lainnya. Serangan dilakukan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, penahanan, tekanan psikologis, penyalahgunaan kekuasaan, atau dengan mengambil kesempatan dari lingkungan yang penuh paksaan.

2) Intimidasi Seksual termasuk Ancaman atau Percobaan Perkosaan

Intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan merupakan tindakan yang menyerang seksualitas untuk menimbulkan rasa takut atau penderitaan psikis pada perempuan korban. Intimidasi seksual bisa disampaikan secara langsung maupun tidak langsung melalui surat, sms, email dan lain-lain. Ancaman atau percobaan perkosaan juga bagian dari intimidasi seksual.

3) Pelecehan Seksual

Pelecehan seksual merupakan tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non-fisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban.

Tindakan ini termasuk menggunakan siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, mempertunjukkan materi pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat commit to user

(19)

26

seksual sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan.

4) Eksploitasi Seksual

Eksploitasi seksual merupakan tindakan penyalahgunaan kekuasaan yang timpang atau penyalahgunaan kepercayaan, untuk tujuan kepuasan seksual, maupun untuk memperoleh keuntungan dalam bentuk uang, sosial, politik dan lainnya. Praktik eksploitasi seksual yang kerap ditemui adalah menggunakan kemiskinan perempuan sehingga tindakan ini masuk dalam prostitusi atau pornografi.

5) Perdagangan Perempuan untuk Tujuan Seksual

Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual termasuk tindakan merekrut, mengangkut, menampung, mengirim, memindahkan, atau menerima seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atas posisi rentan, penjeratan utang atau pemberian bayaran atau manfaat terhadap korban secara langsung maupun orang lain yang menguasainya, untuk tujuan prostitusi ataupun eksploitasi seksual lainnya.

6) Prostitusi Paksa

Prostitusi paksa merupakan situasi dimana perempuan mengalami tipu daya, ancaman maupun kekerasan untuk menjadi pekerja seks. Keadaan ini dapat terjadi pada masa rekrutmen maupun untuk membuat perempuan tersebut tidak berdaya untuk melepaskan dirinya dari prostitusi, misalnya dengan penyekapan, penjeratan utang, atau ancaman kekerasan. Prostitusi paksa memiliki beberapa kemiripan, namun tidak selalu sama dengan perbudakan seksual atau dengan perdagangan orang untuk tujuan seksual.

7) Perbudakan Seksual

Perbudakan seksual merupakan situasi dimana pelaku merasa menjadi

“pemilik” atas tubuh korban sehingga berhak untuk melakukan apapun termasuk memperoleh kepuasan seksual melalui pemerkosaan atau bentuk lain kekerasan seksual. Perbudakan ini mencakup situasi dimana commit to user

(20)

27

perempuan dewasa atau anak-anak dipaksa menikah, melayani rumah tangga atau bentuk kerja paksa lainnya, serta berhubungan seksual dengan penyekapnya.

8) Pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung

Pemaksaan perkawinan dimasukkan sebagai jenis kekerasan seksual karena pemaksaan hubungan seksual menjadi bagian tidak terpisahkan dari perkawinan di luar kehendaknya sendiri.

9) Pemaksaan Kehamilan

Pemaksaan kehamilan merupakan situasi ketika perempuan dipaksa, dengan kekerasan maupun ancaman kekerasan, untuk melanjutkan kehamilan yang tidak dikehendaki. Kondisi ini misalnya dialami korban perkosaan yang tidak diberikan pilihan lain kecuali melanjutkan kehamilannya.

10) Pemaksaan Aborsi

Pemaksaan aborsi merupakan tindakan pengguguran kandungan yang dilakukan karena adanya tekanan, ancaman, maupun paksaan dari pihak lain.

11) Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi

Tindakan ini disebut pemaksaan ketika pemasangan alat kontrasepsi dan/atau pelaksanaan sterilisasi tanpa persetujuan utuh dari perempuan karena ia tidak mendapat informasi yang lengkap ataupun dianggap tidak cakap hukum untuk dapat memberikan persetujuan.

12) Penyiksaan Seksual

Tindakan ini merupakan tindakan khusus menyerang organ dan seksualitas perempuan, yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan hebat, baik jasmani, rohani maupun seksual.

Penyiksaan seksual bisa dilakukan untuk mengancam atau memaksanya, atau orang ketiga, berdasarkan pada diskriminasi atas alasan apapun.

13) Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual

commit to user

(21)

28

Tindakan ini merupakan cara menghukum yang menyebabkan penderitaan, kesakitan, ketakutan atau rasa malu yang luar biasa yang tidak bisa tidak termasuk dalam penyiksaan.

14) Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan

Praktik ini merupakan kebiasaan masyarakat, kadang ditopang dengan alasan agama dan/atau budaya, yang bernuansa seksual dan dapat menimbulkan cedera secara fisik, psikologis maupun seksual pada perempuan. Kebiasaan ini dapat pula dilakukan untuk mengontrol seksualitas perempuan dalam perspektif yang merendahkan perempuan.

15) Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.

Cara pikir di dalam masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai simbol moralitas komunitas, membedakan antara “perempuan baik-baik”

dan “perempuan nakal”, dan menghakimi perempuan sebagai pemicu kekerasan seksual menjadi landasan upaya mengontrol seksual (dan seksualitas) perempuan. Kontrol seksual mencakup berbagai tindak kekerasan maupun ancaman kekerasan secara langsung maupun tidak langsung, untuk mengancam atau memaksakan perempuan untuk menginternalisasi simbol-simbol tertentu yang dianggap pantas bagi

“perempuan baik-baik”.

Kelima belas bentuk kekerasan seksual ini bukanlah daftar final, karena ada kemungkinan sejumlah bentuk kekerasan seksual yang belum dikenali akibat keterbatasan informasi mengenainya. Masalah kekerasan seksual yang menimpa perempuan akan berdampak traumatik bagi setiap korbannya.

Selanjutnya, kekerasan seksual yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah kekerasan seksual perkosaan yang dialami pada tokoh May di dalam film. Perkosaan yang sering terjadi di dalam masyarakat tidak surut oleh perkembangan jaman dan makin meresahkan serta dapat menimpa siapa saja.

Menurut Komnas Perempuan (2013), perkosaan adalah serangan pada bagian seksual dan seksualitas seseorang dengan menggunakan organ seksual commit to user

(22)

29

(penis) ke organ seksual (vagina), anus atau mulut, atau dengan menggunakan bagian tubuh lainnya yang bukan organ seksual ataupun benda-benda lainnya.

Serangan dilakukan dengan kekerasan, ancaman kekerasan ataupun dengan pemaksaan sehingga mengakibatkan rasa takut akan kekerasan, di bawah paksaan, penahanan, tekanan psikologis, atau penyalahgunaan kekuasaan atau dengan mengambil kesempatan dari lingkungan yang koersif, atau serangan atas seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan yang sesungguhnya.

Perkosaan sebagai suatu tindakan kekerasan yang dinilai sangat merugikan dan mengganggu ketentraman dan ketertiban hidup, terutama bagi korbannya.

Adanya reaksi umum yang berlebihan terkadang juga semakin memojokkan korban (Komnas Perempuan, 2013).

Pencabulan adalah istilah lain dari perkosaan yang dikenal dalam sistem hukum Indonesia. Istilah ini digunakan ketika perkosaan dilakukan di luar pemaksaan penetrasi penis ke vagina dan ketika terjadi hubungan seksual pada orang yang belum mampu memberikan persetujuan secara utuh, misalnya terhadap anak atau seseorang di bawah usia 18 tahun.

Perkosaan atau pemerkosaan merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia seperti tertuang dalam UUD 1945 yang secara khusus merampas perlindungan dan rasa aman yang telah dijamin dalam konstitusi pada pasal 28G(1). Akibat dari perkosaan itu, perempuan korban dapat kehilangan hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin (pasal 28H(1)), hak untuk bebas dari penyiksaan atas perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia (pasal 28G(2)) dan bahkan mungkin kehilangan haknya untuk hidup (pasal 28A).

banyak pula perempuan korban yang kehilangan haknya atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (pasal 27(1) dan pasal 28D(1)) karena tidak dapat mengakses proses hukum yang berkeadilan.

Korban perkosaan dapat mengalami dampak yang terjadi setelah kejadian, biasanya ditandai dengan stress dan trauma. Trauma seringkali dianggap remeh di dalam masyarakat dan cenderung fokus menyalahkan korban atas commit to user

(23)

30

apa yang dialaminya. Trauma yang berkepanjangan dapat mempengaruhi psikologis hingga lingkungan korban yang mengalami.

7. Trauma

Trauma berasal dari bahasa Yunani “traumatos” yang artinya luka. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), trauma adalah kejadian jiwa atau tingkah laku yang tidak normal sebagai akibat dari tekanan atau cedera jasmani. Menurut Shapiro dalam Kusumawati Hatta (2016, hal 18) mengatakan bahwa trauma merupakan pengalaman hidup yang mengganggu keseimbangan biokimia dari sistem informasi pengolahan psikologi otak.

Kasus keseimbangan ini menghalangi pemrosesan informasi untuk meneruskan proses tersebut dalam mencapai suatu adaptif, sehingga persepsi, emosi, keyakinan dan makna yang diperoleh dari pengalaman tersebut

“terkunci” dalam sistem saraf.

Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM-5) mendefinisikan trauma sebagai suatu peristiwa yang melibatkan atau mengancam kematian, cedera serius atau pelanggaran seksual terhadap diri sendiri atau orang terdekat. Namun, definisi ini tidak dapat secara spesifik menentukan peristiwa seksual traumatis terjadi (Shors et.al, 2016).

Menurut Green (2005) dalam (Shors et.al, 2016) menganalisis bahwa trauma dapat didefinisikan setidaknya dalam tiga cara: (1) peristiwa itu sendiri, (2) pengalaman subjektif orang tersebut, dan (3) respon fisik dan emosional terhadapnya.

American Psychiatric Association (APA) dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM.IV-TR), menyatakan ledakan trauma merangkumi salah satu atau dua daripada berikut, yaitu seseorang yang mengalami, menyaksikan atau berhadapan dengan kejadian ngeri yang menyebabkan kematian, kecederaan serius atau mengancam fisik diri atau orang lain dan respon individu terhadap ketakutan, rasa tidak ada harapan horror (kanak-kanak mungkin mengalami kecelaruan tingkah laku) (APA,

1994). commit to user

(24)

31

Webb (2004) dalam Kusumawati (2016) menyatakan bahwa: (1) trauma yang dinyatakan sebagai kesakitan yang dialami oleh seseorang yang dapat memberi kerusakan kepada fisik dan psikologi sehingga membawa kesusahan kepada kehidupan seperti menurunnya tingkat produktifitas dan aktifitas keseharian, (2) trauma terjadi karena peristiwa pahit pada fisik dan mental yang menyebabkan kerusakan serta merta kepada tubuh atau kejutan pada otak, (3) trauma terjadi karena terdapat kebimbangan yang melampau atau kebimbangan yang traumatik oleh kerusakan fisik dan psikis yang dapat menyebabkan gangguan emosi yang dicetuskan oleh peristiwa pahit yang akut, (4) trauma juga dikatakan sebagai kecederaan tubuh yang disebabkan oleh tegangan fisik dari luar seperti tembakan, kebakaran, kemalangan, tikaman senjata tajam, luka akibat berkelahi, diperkosa, kelalaian teknologi dan sebagainya.

Mendatu (2010) membagi ada empat proses utama mekanisme terjadinya trauma, yaitu (1) adanya peristiwa, (2) trauma, (3) respon stress terhadap peristiwa traumatic, (4) PTSD (Post-traumatic stress disorder). Pertama, mekanisme terjadinya trauma berawal dari adanya peristiwa. Peristiwa ditafsirkan tidak berbahaya tidak akan memicu trauma. Kedua, jika peristiwa ditafsirkan berbahaya maka akan menimbulkan trauma. Trauma muncul ketika seseorang tidak dapat mengatasi peristiwa yang terjadi. Ketiga, munculnya respon stress terhadap peristiwa traumatik. Jika trauma terjadi, akan muncul respon-respon stress sebagai bentuk adaptasi terhadap peristiwa traumatik yang dialami. Respon-respon yang tidak ditangani dengan baik, maka bisa menimbulkan gangguan yang disebut PTSD.

Trauma dapat melanda siapapun yang telah mengalami peristiwa yang luar biasa seperti perang, terjadi perkosaan, kematian akibat kekerasan orang- orang tercinta, dan juga bencana alam seperti gempa dan tsunami. Gangguan pasca trauma bisa dialami segera setelah peristiwa terjadi atau bisa juga dialami korban secara tertunda sampai beberapa tahun setelahnya.

Selanjutnya Cavanagh membagi trauma ke dalam empat tipe berdasarkan dari commit to user

(25)

32

sisi kejadian dan juga dari sisi tingkat traumanya yaitu trauma situasional, trauma perkembangan, trauma intra psikis dan trauma eksistensial.

Setelah trauma yang terjadi, akan muncul respon-respon stress sebagai adaptasi terhadap peristiwa traumatik yang dialami. Berikut respon umum yang terbagi menjadi empat respon (Mendatu, 2010):

1) Respon emosional

Respon emosional yang terjadi ketika penderita mengalami trauma yaitu meliputi kesulitan mengontrol emosi, lebih mudah tersinggung dan marah, mood gampang berubah, panik, cemas, gugup dan tertekan, takut dan khawatir terhadap efek kejadian trauma peristiwa akan terjadi lagi. Respon ini mudah terlihat oleh orang lain dan berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari.

2) Respon kognitif atau pikiran

Respon kognitif meliputi sering mengalami flashback atau mengingat kembali kejadian traumatiknya. Saat mengalami trauma seolah-olah kejadiannya dialami kembali secara nyata, sehingga tidak jarang detak jantung meningkat dan berkeringat. Mengalami mimpi buruk, kesulitan berkonsentrasi kesulitan mengingat, mudah bingung dan menyalahkan diri sendiri.

3) Respon perilaku

Respon perilaku meliputi kesulitan mengontrol tindakan dan lebih banyak berkonflik dengan orang lain. Menghindari orang, tempat atau sesuatu yang berhubungan dengan peristiwa traumatik dan enggan membicarakannya, mengisolasi diri dari orang lain, mengalami gangguan makan hingga cara berkomunikasi dengan orang lain berubah.

4) Respon fisiologis atau fisik

Respon fisik meliputi sakit kepala, nyeri sakit dada, sulit bernafas, dan berkeringat berlebihan. Aktivitas menjadi berlebihan atau hiperaktivitas hingga mengalami kehilangan kekuatan tubuh sehingga tidak bisa bergerak.

commit to user

(26)

33

Apabila keempat respon tidak dapat ditangani dengan baik, maka bisa menimbulkan gangguan yang secara umum menimbulkan tiga gejala sebagai berikut : “1) the traumatic event is persistently re-experienced; (2) persistent avoidance of stimuli associated with the trauma and numbing of general responsiveness; and (3) persistent symptoms of increased arousal (2002 : 428-429).” Dalam kutipan tersebut dinyatakan bahwa terdapat tiga kriteria diagnosa trauma yaitu sebagai berikut:

1) Mengalami kembali (re-experiencing)

Re-experiencing merupakan keadaan dimana seseorang teringat kembali dengan kejadian traumatis yang pernah dialami dengan ditandai beberapa hal yaitu pikiran-pikiran yang mengganggu, mimpi buruk, flashback (merasa seolah-olah peristiwa tersebut terulang kembali), dan reaksi psikologis yang berlebihan karena dipicu oleh kenangan tentang kejadian traumatis (Retna, 2018). Adapun indikator dari re-experiencing menurut American Psychiatric Association (APA) yaitu sebagai berikut : (1) ingatan intrusive (terus menerus berulang), (2) mimpi buruk yang mengganggu tentang peristiwa traumatis, (3) merasa mengalami kembali peristiwa traumatis termasuk mengalami ilusi, halusinasi, dan mengalami kilas balik, (4) munculnya stress psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai aspek kejadian traumatis, (5) reaksi psikologis yang kuat saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai aspek kejadian traumatis. Biasanya proses ini disertai dengan respon fisik dan emosional yang kuat.

2) Penghindaran dan mati rasa (avoidance/numbing)

Avoidance merupakan keadaan dimana seseorang berusaha untuk menghindari pikiran atau rangsangan lain yang dapat memicu kenangan tentang trauma yang pernah dialami. Adapun indikator dari avoidance/numbing menurut American Psychiatric Association (APA) yaitu sebagai berikut : (1) usaha untuk menghindari pikiran, perasaan atau percakapan yang berhubungan dengan trauma, (2) usaha menghindari commit to user

(27)

34

kegiatan, tempat, ataupun orang-orang yang dapat mengingatkannya terhadap kejadian traumatis, (3) tidak dapat mengingat bagian atau aspek dari trauma, (4) kehilangan minat untuk melakukan aktivitas apapun, (5) merasa terasingkan, (6) kehilangan afeksi atau kasih sayang, (7) perasaan tidak dapat memikirkan masa depan.

3) Peningkatan rangsangan (hyperarousal)

Hyperarousal merupakan keadaan dimana individu mengalami peningkatan yang berlebihan pada reaktivitas fisiologis. Adapun indikator dari hyperarousal menurut American Psychiatric Association (APA) yaitu sebagai berikut : (1) mengalami kesulitan tidur atau tidak dapat tidur lelap, (2) sensitif dan mudah marah, (3) sulit untuk berkonsentrasi, (4) kewaspadaan yang berlebihan, (5) respon terkejut yang berlebihan.

B. Penelitian Terdahulu

Dalam penelitian ini peneliti memaparkan penelitian terdahulu yang relevan dengan permasalahan yang diteliti diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Wilson yang berjudul “The Representation of Trauma in Contemporary New Zealand Cinema” tahun 2012 menunjukkan bahwa konsep trauma yang diaplikasikan pada beberapa film kontemporer di Australia lebih banyak memberikan gambaran gejala yang dialami transgenerasi dan tidak merujuk pada individu tertentu. Peneliti mencari relevansi teori trauma Cathy Caruth dalam analisis teks colonial atau post colonial di film kontemporer Australia. Peneliti menjabarkan dua film yang membahas trauma dengan mengambil sudut pandang berbeda yaitu film Mauri yang bercerita tentang luka budaya kolektif yang disebabkan oleh penjajahan dan film Sweetie yang bercerita tentang kasus trauma secara individu. Terlihat perbedaan dari segi gaya yang ditampilkan pada film Mauri yang cenderung realisme pastoral romantisme melodrama sedangkan film Sweetie memliki gaya surealistik dengan konten psikis Sweetie. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kedua film ini menyarankan bahwa trauma yang

commit to user

(28)

35

dialami harus dilawan dengan proses terapeuatik yang panjang meskipun ujungnya ambivalen atau dapat dikatakan trauma tidak hilang sepenuhnya.

Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Ruxana Jina dan Leena S.

Thomas yang berjudul “Health Consequences of Sexual Violence Againts Women” pada tahun 2013 menunjukkan bahwa kekerasan seksual dapat menyebabkan banyak konsekuensi dalam bidang kesehatan, termasuk fisik, reproduksi dan psikologis. Kekerasan seksual sering terjadi dengan bentuk kekerasan lain seperti fisik, emosional dan finansial. Konsekuensi dalam bidang kesehatan ini dapat dikelompokkan secara luas menjadi efek yang lebih langsung yang berasal dari insiden kekerasan seksual, sedangkan konsekuensi jangka menengah hingga panjang terjadi pada periode setelah kekerasan seksual berlangsung. Perempuan yang mengalami pelecehan seksual kemungkinan dapat menderita luka genital yang berakibat komplikasi jangka panjang termasuk pendarahan atau infeksi vagina, iritasi alat kelamin, fibroid, nyeri panggul kronis dan infeksi saluran kandung kemih. Pelecehan seksual dapat meningkatkan risiko perempuan menderita penyakit seksual menular.

Kemudian, penelitian yang dilakukan oleh Tracey J. Shors dan Emma M.

Millon yang berjudul “Sexual Trauma and The Female Brain” tahun 2016 menunjukkan bahwa agresi dan kekerasan seksual terhadap perempuan menjadi bagian dari masalah kesehatan mental yang perlu diperhatikan.

Wanita lebih dari empat kali lebih mungkin daripada pria mengalami kekerasan seksual dan sembilan kali lebih mungkin mengalami pemerkosaan.

Dalam hasil penelitian ini, wanita yang mengalami trauma seksual seringkali mengalami gangguan emosi dan proses kognitif, beberapa di antaranya menyebabkan depresi dan gangguan stress pasca trauma (PTSD). PTSD merupakan bentuk penyakit mental ditandai dengan respon abnormal disertai ketakutan dan ketidakberdayaan selama peristiwa traumatis yang terkadang diikuti gejala yang meliputi, re-experiencing, avoidance dan hyperarousal.

Pengalaman traumatis dapat memperburuk gejala psikologis dan meningkatkan penyebab kematian termasuk risiko kanker, jantung, stroke dan commit to user

(29)

36

diabetes. Penelitian ini melakukan beberapa rujukan penting untuk mengatasi kemungkinan buruk dengan pengaplikasian model SCAR yang melibatkan para ahli untuk meneliti pengalaman agresif dan emosional yang dapat mengubah otak perempuan sebagai korban. Meskipun kekerasan seksual dan agresi sulit dihilangkan setidaknya dengan mengembangkan intervensi yang efektif dan khusus dirancang untuk membantu wanita belajar untuk pulih dari stress akibat kekerasan seksual dalam hidupnya.

Penelitian yang dilakukan oleh Peter Unoh Bassey, Omori dan Anne Emmanuel yang berjudul “Rape Post-Traumatic Stress Disorder Symptoms and Perception of Female Young Adults” tahun 2019 menunjukkan bahwa pemerkosaan merajalela di kalangan anak muda di Nigeria menjadi peristiswa paling traumatis yang biasanya dikaitkan dengan gangguan stress pasca trauma (PTSD). Penelitian mengenai persepsi korban pemerkosaan yang mengalami gangguan stress pasca trauma memang sudah banyak dilakukan tetapi, hanya sedikit yang meneliti di negara berkembang seperti Nigeria.

Ditemukan sekitar 24-47% dewasa muda yang mengalami peristiwa pemerkosaan yang akhirnya menjadi stress traumatis. PTSD dapat muncul dengan berbagai gejala, seperti mengalami kilas balik tentang kenangan mengenai trauma dan gejala yang paling menonjol seperti menghindari situasi terkait trauma atau kontak sosial dengan orang lain. Pendidikan seks yang terintegrasi dengan kurikulum di semua tingkat pendidikan terkait terutama topik pemerkosaan menjadi bagian yang di rekomendasikan sebagai bentuk memerangi masalah penting ini.

Selanjutnya, penelitian lain yang dilakukan oleh Abdul Muhid, Lia M Khariroh, Nailatin Fauziyah dan Funsu Andiarna yang berjudul “ Quality of Life Perempuan Penyitas Kekerasan Seksual: Studi Kualitatif” pada tahun 2019 menunjukkan bahwa dampak perempuan korban tindak kekerasan seksual cenderung mengalami gangguan stress pasca trauma, depresi, bunuh diri dan terlibat penggunaan narkoba. Namun, tidak semua perempuan yang mengalami tindak kejahatan seksual tersebut berlarut-larut dalam keadaan nestapa. Perempuan penyitas kekerasan seksual yang memiliki perceived commit to user

(30)

37

helpfulness positif cenderung lebih sehat secara mental. Adanya dukungan sosial dan psychological well-being, para penyitas kekerasan seksual mampu pulih kembali seperti sedia kala. Dukungan sosial teman sebaya dan keluarga turut andil dalam mempengaruhi para perempuan korban kekerasan seksual untuk mampu menghadapi kecemasan, depresi dan pscatrauma.

Dari hasil penelitian terdahulu di atas, peneliti dapat menjadikan penelitian tersebut sebagai acuan pemahaman mengenai trauma korban kekerasan seksual yang akan menjadi topik pembahasan dalam penelitian ini.

Sebelumnya juga belum ditemukan penelitian ataupun karya ilmiah yang meneliti tentang bagaimana representasi trauma perempuan korban kekerasan seksual pada tokoh May dalam film “27 Steps of May”.

C. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran digunakan sebagai pedoman dalam menentukan arah penelitian agar penelitian tetap fokus pada permasalahan yang akan diteliti.

Penelitian ini akan membahas representasi trauma korban kekerasan seksual yang dialami pada tokoh May dalam film “27 Steps of May”. Berdasarkan dari input film “27 Steps of May” dalam film tersebut ditelusuri adegan yang terdapat representasi gejala-gejala trauma yang dirasakan May sebagai korban kekerasan seksual, kemudian menghasilkan output penelitian penggambaran pengalaman trauma yang dialami korban pasca kekerasan seksual. Trauma dalam film akan dibahas melalui gejala trauma yang muncul dialami tokoh utama yaitu re-experiencing, avoidance, hyperarousal.

commit to user

(31)

38

Sumber: Olahan peneliti, 2020

Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran

Film “27 Steps of May”

Scene

Gejala-gejala trauma : Re-experiencing

Avoidance

Hyperarousal

Kode-kode Televisi John Fiske

Realitas Representasi Ideologi

Representasi trauma korban kekerasan seksual pada tokoh May dalam film “27 Steps of May”

commit to user

Gambar

Gambar  yang  dinamis  dalam  film  merupakan  ikonis  bagi  realitas  yang  dinotasikannya
Gambar 2.1. Kode-kode televisi John Fiske
Gambar 2.2  Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa keragaman bentuk osikula pada dinding tubuh dorsal dan papila adalah bentuk multilayer, lempengan dan button elips sedangkan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan kalsium dalam kadar yang berbeda berpengaruh terhadap laju pertumbuhan harian udang galah... Tahapan terakhir adalah moulting

Dalam hal ini Mikroskop adalah sebuah alat optik yang dapat membesarkan suatu benda atau pun bentuk makluk hidup berupa organisme yang sangat kecil di temukanya lensa

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui jumlah tenaga perawat yang dibutuhkan berdasarkan tingkat ketergantungan pasien terhadap perawat dan penggunaan

Bunga yang kami pakai juga hanya mawar merah dan putih, ya karena dalam upacara pengantin jawa ada prosesi pengantin laki-laki menginjak telur itu juga pakai

Artinya, masyarakat di kedua kelurahan ini memiliki tingkat kepercayaan yang rendah kepada partai politik pengusung kandidat pada Pilgubri tahun 2013 putaran

Dalam penelitian ini, kemiskinan dianggap sebagai nilai linguistik yang tersamar karena tidak bisa diukur dengan angka sehingga perlu metode fuzzy logic untuk

lanjut usia antara lain kebutuhan akan makanan bergizi seimbang, pemeriksaan kesehatan secara rutin, perumahan yang sehat dan kondisi rumah yang tentram dan