• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN SIDIK JARI PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA STUDI KASUS (POLRESTA DENPASAR) OLEH : NAMA : I GEDE DODY ARYAWAN NPM :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERAN SIDIK JARI PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA STUDI KASUS (POLRESTA DENPASAR) OLEH : NAMA : I GEDE DODY ARYAWAN NPM :"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN SIDIK JARI PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA STUDI KASUS (POLRESTA DENPASAR)

OLEH :

NAMA : I GEDE DODY ARYAWAN NPM : 13.10.121.182

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WARMADEWA

DENPASAR 2017

(2)

PERAN SIDIK JARI PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA STUDI KASUS (POLRESTA DENPASAR)

OLEH :

NAMA : I GEDE DODY ARYAWAN NPM : 13.10.121.182

(3)

Nomor : -

Lamp : 1 (satu) gabung

Perihal : Permohonan Ujian Skripsi

Kepada

Yth. Bapak Dekan Fakultas Hukum Universitas Warmadewa di-

Denpasar

Dengan Hormat,

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : I Gede Dody Aryawan

NPM : 1310121182

Tempat dan Tgl Lahir : Singaraja, 07 Oktober 1995

Alamat : Perumahan Cepaka Mas Blok M No. 20

Telp/HP : 087861764428

Selanjutnya mengajukan permohonan kepada Dekan Fakultas Hukum Universitas Warmadewa agar dapat kiranya ditetapkan Tim Penguji Skripsi saya dengan judul

“PERAN SIDIK JARI PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA STUDI KASUS (POLRESTA DENPASAR)”

Demikian permohonan ini disampaikan dengan harapan dapat dikabulkan.

Atas perhatiannya saya sampaikan terima kasih.

Denpasar, Agustus 2017 Hormat saya,

I Gede Dody Aryawan

(4)

Skripsi Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Denpasar

SKRIPSI INI TELAH DISEUJUI PADA TANGGAL :

Pembimbing I

I NYM GEDE SUGIARTHA, SH., MH.

NIK : 230330046

Pembimbing II

NI MADE SUKARYATI KARMA, SH.,MH NIK : 230330129

Mengetahui : FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WARMADEWA

DEKAN,

Dr. I NYOMAN PUTU BUDIARTA, SH., MH.

NIP. 19591231 199203 1 007

(5)

SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS

Yang bertanda tangan dibawah ini saya : Nama : I Gede Dody Aryawan

NPM : 1310121182

Tempat dan Tgl Lahir : Singaraja, 07 Oktober 1995

Alamat Sekarang : Perumahan Cepaka Mas Blok M No. 20

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Karya tulis (skripsi) saya ini, adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik (Sarjana Hukum), baik di Universitas Warmadewa maupun di perguruan tinggi lainnya.

2. Karya tulis (skripsi) ini murni gagasan, rumusan dan kajian/penelitian saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan dosen pembimbing.

3. Dalam karya tulis (skripsi) tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya tulis saya ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di perguruan tinggi.

Denpasar, Agustus 2017 Yang membuat pernyataan

I Gede Dody Aryawan

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Ilmiah ini yang berjudul : “PERAN SIDIK JARI PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA STUDI KASUS (POLRESTA DENPASAR”

Karya Ilmiah ini dibuat untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana hukum, Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa Denpasar.

Dalam kesempatan ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu selama terselesainya Karya Ilmiah ini, sehingga kegiatan dan laporan ini dapat selesai tepat waktu, dengan segala ketulusan hati penulis ingin menyampaikan Terima Kasih kepada : 1. Bapak Prof. dr. Dewa Putu Widjana, DAP & E,. Sp. Park, Rektor Universitas

Warmadewa;

2. Bapak Dr. I Nyoman Putu Budiartha,SH.,MH, Dekan Fakultas Hukum Universitas Warmadewa;

3. Bapak I NYM Gede Sugiartha,SH.,MH, Dosen Pembimbing I, yang telah meluangkan waktunya dalam memberikan bimbingan dan saran serta petunjuk dalam penyusunan Karya Ilmiah ini;

4. Ibu Ni Namde Sukaryati Karma,SH.,MH, Dosen Pembimbing II, yang telah meluangkan waktunya dalam memberikan bimbingan dan saran serta petunjuk dalam penyusunan Karya Ilmiah ini;

(7)

5. Ibu Luh Putu Suryani,SH.,MH, Ketua Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Warmadewa;

6. Bapak I Made Alit Mudiartha SH. Pembimbing Akademik yang telah meluangkan waktunya dalam memberikan bimbingan dan saran serta petunjuk selama kuliah;

7. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Warmadewa yang telah dengan tulus memberikan bimbingan dan petunjuk yang tidak ternilai;

8. Staf Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Warmadewa yang telah membantu Penulis selama mengikuti perkuliahan dan penulisan skripsi ini;

9. Teman-teman semua atas kebersamaan dan bantuan yang berarti bagi penulis;

10. Serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dan memberikan dukungan dalam pembuatan Karya Ilmiah ini;

Akhirnya dengan segala kerendahan hati bahwa apa yang penulis paparkan di dalam Karya Ilmiah ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai salah satu wawasan bagi mahasiswa dan masyarakat pada umumnya. Penulis menyadari bahwa Karya Ilmiah ini tidak terlepas dari kekurangan – kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran sangat diharapkan guna penyempurnaan Karya Ilmiah ini.

Denpasar, 13 Juni 2017

(I Gede Dody Aryawan)

(8)

ABSTRACT

This research uses juridical normative method through primary data. The data derived from the literature, scientific papers and applicable legislation. Data analysis using descriptive analysis . The police in exposing the crime of murder, to find who the perpetrators, the police make fingerprints as one of the evidence for Reveal or search for who the perpetrators. Because fingerprints are the main evidence in uncovering criminal offenses. In the fingerprinting at the crime scene (crime scene) the police did not rule out the possibility of experiencing obstacles in place incident case (TKP), but the police can overcome the constraints factor, including adding infrastructure facilities and supporting infrastructure the process of fingerprint execution, attention to improving police performance in identifying.

Fingerprint identification known as dactyloscopy is the science of studying fingerprint by observing the line contained in the stroke Toes and hands. This study aims to know clearly about how the implementation of fingerprints in the crime of premeditated murder in Denpasar Police. The conclusion is obtained that, in the world no human being has the same fingerprint so that the police will never be fooled by fingerprint

Keywords: Investigation, Assassination, Fingerprint

(9)

ABSTRAK

Penelitian ini menggunakan metode normatif yuridis melalui data primer.

yaitu data bersumber dari literature-literatur, karya tulis ilmiah dan perundang- undangan yang berlaku. Analisa data menggunakan analisa deskriptif..

Polisi dalam mengungkap tindak pidana pembunuhan, untuk mencari siapa pelakunya, polisi menjadikan sidik jari sebagai salah satu alat bukti untuk mengungkap atau mencari siapa pelakunya. Karena sidik jari merupakan alat bukti utama dalam mengungkap tindak pidana.

Didalam pengambilan sidik jari di tempat kejadian perkara (TKP) pihak kepolisian tidak menutup kemungkinan mengalami kendala-kendala di tempat kejadian perkara (TKP), namun kepolisian dapat menanggulangi faktor kendala tersebut, diantaranya menambahkan infrastruktur sarana dan prasarana pendukung proses pelaksanaan pengambilan sidik jari, memperhatikan peningkatan kinerja kepolisian dalam melakukan identifikasi.

Identifikasi sidik jari dikenal dengan daktiloskopi adalah ilmu mempelajari sidik jari dengan cara mengamati garis yang terdapat pada guratan jari kaki dan tangan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara jelas mengenai bagaimana pelaksanaan sidik jari dalam tindak pidana pembunuhan berencana di polresta Denpasar.

Hasil kesimpulan diperoleh bahwa, didunia tidak ada manusia yang memiliki sidik jari yang sama sehingga pihak kepolisian tidak akan pernah dikelabuhi oleh sidik jari

(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGAJUAN ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN/PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN ORISINALITAS ... iv

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRACT ... vii

ABSTRAK ... viii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.3.1 Tujuan Umum ... 5

1.3.2 Tujuan Khusus ... 6

1.4 Tinjauan Pustaka ... 6

1.5 Metode Penelitian ... 12

1.5.1 Tipe Penplitian dan Pendekatan Masalah ... 12

1.5.2 Sumber Bahan Hukum ... 12

(11)

1.5.3 Tehnik Pengumpulan Bahan Hukum ... 13

1.5.4 Analisis Bahan Hukum ... 13

BAB II SIDIK JARI SEBAGAI ALAT BUKTI UTAMA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA ... 14

2.1 Pengertian Alat Butki ... 14

2.2 Macam-macam Alat Bukti ... 16

2.3 Sidik Jari Sebagai Alat Bukti Utama Tindak Pidana Pembunuhan Berencana ... 30

BAB III FAKTOR-FAKTOR YANG MENGHAMBAT PENGAMBILAN SIDIK JARI DALAM KASUS TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA ... 33

3.1 Faktor Interen ... 33

3.2 Faktor Eksteren ... 34

3.3 Upaya-Upaya Penanggulangan Penghambat Pelaksanaan Sidik Jari Dalam Kasus Tindak PIdana Pembunuhan Berencana ... 38

BAB IV Ssimpulan dan saran ... 42

4.1 Simpulan ... 42

4.2 Saran ... 43 DAFTAR BACAAN

LAMPIRAN

(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Semua warga Negara berkedudukan sama di mata hukum. Usaha penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat baik itu merupakan usaha pencegahan maupun merupakan pemberantasan atau penindakan setelah terjadinya pelanggaran hukum.

Negara Republik Indonesia merupakan Negara hukum yang berdasarkan pancasila dan Undang-Undang dasar 1945 yang benarbenar menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin warga Negara bersama kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan yang tidak ada kecualinya, sedangkan untuk menjamin ketaatan dan kepatuhan terhadap hukum adalah di tangan warga Negara.

Sehubungan dengan hal tersebut, dirasakan banyaknya masalah yang timbul ditengah-tengah masyarakat. mempunyai gejala yang sangat kompleks dan rawan serta senangtiasa menarik untuk dibicarakan. Hal ini dapat dipahami karena persoalan kejahatan itu sendiri dalam tindakan yang merugikan dan bersentuhan langsung dengan kehidupan manusia. Oleh karena itu upaya dan langkah-langkah untuk memberantas kejahatan perlu senangtiasa dilakukan dalam hubungan tersebut kendati kejahatan pembunuhan akhir-akhir ini menunjukkan perkembangan yang cukup meningkat. Sebenarnya yang menjadi masalah adalah faktor pendidikan di mana kurangnya pendidikan yang dimiliki pelaku kejahatan juga menjadi salah

(13)

satu faktor pendukung pelaku dalam melakukan kejahatan. Kurangnya pendidikan yang dimiliki pelaku membuat pelaku menjadi tidak berfikir terlebih dahulu akan akibat dari tindakannya kemudian

Namun yang pasti Kejahatan merupakan perilaku seseorang yang melanggar hukum positif atau hukum yang telah dilegitimasi berlakunya dalam suatu Negara.

Ia hadir di tengah masyarakat sebagai model perilaku yang sudah dirumuskan secara yuridis sebagai pelanggar dan dilarang oleh hukum dan telah ditetapkan oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap..

Abdurahman merumuskan menjadi 2 hal penting dalam proses penegakan hukum tersebut yaitu :

1. “Equality Before The Law”yaitu adanya persamaan martabat manusia di muka hukum.

2. “Presumption of Inocent” yaitu praduga tidak bersalah atau seseorang tidak bersalah atau seseorang tidak boleh dinyatakan bersalah sebelum adaya putusan dari pengadilan.1

Mengingat bahwa negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum sehingga segala sesuatunya didalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara harus berlandaskan pada hukum yang berlaku, selain itu juga dapat menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin adanya perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak mengadakan perbedaan perlakuan atau diskriminasi status sosial.

Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan menclapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu

1 Abdurahman, 1979, Aneka Masalah Hukum Dalam Pembangunan Di Indonesia, Alumni, Bandung, hal. 153

(14)

perkara tindak pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari pelaku yang telah meiakukan pelanggaran hukum, dan selanjutnya dilakukan pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti telah terjadi suatu tindak pidana serta apakah terdakwa patut untuk dipersalahkan.2 Dalam upaya membuat terang suatu perkarakejahatan,salah satu proses penyelidikan oleh kepolisian yakni dengan mengambil sidik jari yang bertujuan untuk pengenalan kembali terhadap identitas seseorang (pelaku, korban).

Ada tiga dalil Ilmu sidik jari, yaitu; setiap orang mempunyai ciri garis sendiri dan tidak sama dengan orang lain, sidik jari terbentuk sejak janin berusia 120 hari dan seperangkat sidik jari dapat dirumus atau disimpan dengan sistematis.3 Dengan adanya teknik sidik jari ini akan dapat membantu pihak kepolisian untuk menghindari salah menentukan seseorang sebagai pelaku tindak pidana (error impersonal).

Sidik jari sangat berperan penting pada proses penyelidikan, karena tidak jarang juga pihak kepolisian salah menentukan seseorang sebagai tersangka/pelaku kejahatan. Hal inilah yang menjadi acuan kepolisian untuk mendapatkan kebenaran sejati bahwa sidik jari tersebut berperan penting dalam proses penyelidikan bagi

2 Andi Hamzah, 1996,Hukum Acara Pidana Indonesia, CV. Sapta Arta Jaya, Jakarta, hal.82

3 Andi Hamzah, 1986, Pengusutan Perkara Kriminal Melalui Sarana Tehnik dan Sarana Hukum, Cet.I, Ghalia Indonesia, Jakarta, Hal.21

(15)

kepolisian untuk mengungkap kasus tindak pidana agar mampu mewujudkan kebenaran dan keadilan dalam masyarakat.4

Proses orang melakukan kejahatan khususnya pembunuhan tidak lepas dari niat dan kesempatan yang dimiliki oleh para pembuat. Namun tetap disadari pula, bahwa sebelum terjadi kejahatan ada peristiwa yang mengawali yang biasanya ditimbulkan oleh korban. Baik dengan adanya perselisihan yang dimulai oleh korban, dendam pelaku terhadap korban, pelaku cemburu terhadap korban maupun korban berperan aktif sehingga terjadi pembunuhan. Dengan demikian korban merupakan bagian yang integral dalam situasi-situasi terjadinya kejahatan khususnya pembunuhan yang termasuk dalam KUHP yang di atur dalam buku II Bab XIX KUHP Pasal 338 sampai dengan Pasal 350 KUHP.5 Terjadinya pembunuhan juga tidak terlepas dari kontrol sosial masyarakat, baik terhadap pelaku maupun terhadap korban pembunuhan sehingga tidak memberi peluang untuk berkembangnya kejahatan ini.

Pembunuhan berencana dalam KUHP sudah jelas diatur dalam pasal 340.

“Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancarn karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”.

Pembunuhan berencana itu dimaksudkan oleh pembentuk undangundang sebagai pembunuhan bentuk khusus yang memberatkan, yang rumusannya dapat berupa “pembunuhan yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu dipidana

4 Tim Biddaktium Pusident Bareskrim Polri, 2001, Materi Hajar Bidang Departemen Daktiloskopi Umum, Jakarta

5 R.Soesilo, 1996, Kitab Undang-undang hukum Pidana, POLITEIA BOGOR, hal.240.

(16)

karena pembunuhan dengan rencana”. Apalagi terhadap pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu, ancaman hukumannya lebih berat dari pembunuhan biasa karena adanya unsur yang direncanakan terlebih dahulu (Pasal 340 KUHP). Masalah pembunuhan berencana inipun setiap tahunnya selalu mengalami peningkatan yang diakibatkan oleh tingkat pendidikan, moral, akhlak dan agama yang tidak berfungsi lagi terhadap sesama manusia..

1.2 Rumusan Masalah

Agar permasalahan yang akan diteliti menjadi lebih jelas maka berdasarkan perumusan masalah yang didasarkan pada uraian latar belakang dan pembatasan masalah di atas di dapat :

1. B

agaimanakah sidik jari dipakai sebagai alat bukti utama dalam tindak pidana pembunuhan berencana di Polresta Denpasar?

2. Faktor-faktor apa saja yang menghambat pelaksanaan pengambilan sidik jari dalam kasus pembunuhan berencana?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

1. Untuk Melatih mahasiswa dalam usaha menyalurkan pikiran ilmiah secara tertulis 2. Untuk Melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi khususnya dalam bidang

penelitian yang dilakukan mahasiswa

3. Untuk Memgbangun Ilmu Pengetahuan Hukum

(17)

4. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Warmadewa

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui secara jelas mengenai bagaimana pelaksanaan Pengambilan sidik jari dalam tindak pidana pembunuhan berencana di Polresta Denpasar

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan pengambilan sidik jari baik pada tersangka maupun pada barang-barang yang ditinggalkan oleh pelaku di TKP atau sidik jari yang menempel maupun tertinggal di TKP.

1.4 Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Sidik Jari

Sidik jari merupakan identitas pribadi yang tak mungkin ada yang menyamainya. Jika di dunia ini hidup 6 miliar orang, maka ada 6 miliar pola sidik jari yang ada dan belum ditemukan seseorang yang memiliki sidik jari yang sama dengan lainnya.6

Sidik jari (bahasa Inggris: fingerprint) adalah hasil reproduksi tapak jari baik yang sengaja diambil, dicapkan dengan tinta, maupun bekas yang ditinggalkan pada benda karena pernah tersentuh kulit telapak tangan atau kaki. Kulit telapak adalah kulit pada bagian telapak tangan mulai dari pangkal pergelangan sampai kesemua ujung jari, dan kulit bagian dari telapak kaki mulai

6 Adam Antonius, Mengungkap Rahasia Sidik Jari

http://www.gallerydunia.com/2011/08/mwngungkap-rahasia-sidik-jari.html, diakses pada hari Rabu tanggal 14 juni 2017, jam 16.50

(18)

dari tumit sampai ke ujung jari yang mana pada daerah tersebut terdapat garis halus menonjol yang keluar satu sama lain yang dipisahkan oleh celah atau alur yang membentuk struktur tertentu.7 Karena keunikannya tersebut, sidik jari dipakai oleh kepolisian dalam penyidikan sebuah kasus kejahatan (forensik).

Makanya pada saat terjadi sebuah kejahatan, TKP akan diclear up dan dilarang bagi siapa saja untuk masuk karena dikhawatirkan akan merusak sidik jari penjahat yang mungkin tertinggal di barang bukti yang ada di TKP.

2. Jenis-jenis Sidik Jari

Secara umum, terdapat tiga pola atau bentuk sidik jari, yaitu busur (arch), sangkutan (loop), dan lingkaran (whorl). Ketiga bentuk pokok tersebut terbagi lagi menjadi beberapa subbentuk subgroup yang berbeda-beda. Perbedaan utama dari ketiga bentuk pokok tersebut terletak pada keberadaan core dan delta pada lukisan sidik jari.

Jadi, secara umum, bentuk guratan sidik jari hanya ada tiga, dan ketiganya dibedakan oleh core dan delta. Selebihnya, dari ketiga bentuk pokok sidik jari tersebut, hanya sebatas varian dan kombinasi bentuk dasarnya. Jadi, jika di dunia ini hidup lebih dari enam miliar orang, pada dasarnya sidik jari mereka hanya terdiri dari tiga bentuk dasar itu saja. Selebihnya adalah varian dan kombinasi yang kemudian menjadi bentuk tersendiri.

7 Bambang Pranata Sungkono, Dasatnya Sidik Jari,

http://id.wikipedia.org/wiki/Sidik_jari, diakses pada hari Rabu, tanggal 14 Oktober 2017, jam 16.59

(19)

Mungkin anda akan bertanya, jika di dunia ini hidup dari enam miliar dan hanya ada tiga bentuk sidik jari, lantas apa bentuk sidik jari enam miliar lebih yang lain? Bukankah jika terdapat enam miliar orang, juga terdapat enam miliar sidik jari?

Tiga bentuk dasar hanya pengembangan varian dari tiga bentuk dasar sidik jari. Jadi, walaupun hanya ada tiga bentuk dasar sidik jari, variasinya bisa mencapai miliaran, sehingga tidak satupun sidik jari yang sama.8

Sekedar contoh, setiap orang mungkin saja memiliki whorl, arch, atau loop di setiap ujung jari (sidik jari) yang berbeda. Pola-pola tersebut juga dapat ditemukan pada setiap ruas di tiap-tiap jari pada setiap tangan. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan dikemukakan mengenai ketiga bentuk dasar sidik jari tersebut.

A.Sidik Jari Berpola A r c h

Pola sidik jari arch sebagai mana ditunjukkan pada gambar di atas adalah jenis sidik jari berbentuk garis datar bergelombang dengan variasi anak cabang dan

8 Ibid h. 108-109

(20)

ukuran yang tidak menentu. Pola sidik jari arch terbagi ke dalam dua bentuk, yakni flat arch dan tented arch.9

B. Pola Sidik Jari Loop

Pola sidik jari berbentuk loop sebagai mana ditunjukkan pada gambar di atas adalah pola sidik jari dengan guratan kulit membentuk lengkungan loop. Pola sidik jari loop. Terdiri dari tiga bentuk, yakni common loop, double loop dan radial loop.10

C. Pola Sidik Jari Whorl

Sidik jari berpola whorl sebagai mana ditunjukkan gambar di atas adalah sidik jari dengan bentuk guratan menyerupai sepiral, bulls eye, atau double loop.

9 Ibid h. 110

10 Ibid h. 112

(21)

Kata whorl sendiri berarti titik-titik menonjol dan kontras, serta bisa dilihat dengan mudah. Guratan sepiral dan bills eye persis sebangun dalam interpretasinya, tetapi bulls eye memberikan sedikit lebih banyak pada fokus. Adapun pada bagian tangan, whorl terpusat pada daerah tertentu, sehingga seolah-olah menjadikannya sebuah wilayah fokus di dalam kehidupan subyek.11

3. Pengertian TIndak Pidana Pembunuhan Berencana

Pembunuhan berencana adalah suatu pembunuhan biasa seperti Pasal 340 KUHP, akan tetapi dilakukan dengan direncanakan terdahulu. Direncanakan lebih dahulu (voorbedachte rade) sama dengan antara timbul maksud untuk membunuh dengan pelaksanaannya itu masih ada tempo bagi si pembuat untuk dengan tenang memikirkan misalnya dengan cara bagaimanakah pembunuhan itu akan dilakukan12

Perbedaan antara pembunuhan dan pembunuhan direncanakan yaitu kalau pelaksanaan pembunuhan yang dimaksud Pasal 340 itu dilakukan seketika pada waktu timbul niat, sedang pembunuhan berencana pelaksanan itu ditangguhkan setelah niat itu timbul, untuk mengatur rencana, cara bagaimana pembunuhan itu akan dilaksanakan. Jarak waktu antara timbulnya niat untuk membunuh dan pelaksanaan pembunuhan itu masih demikian luang, sehingga pelaku masih dapat berfikir, apakah pembunuhan itu diteruskan atau dibatalkan, atau pula nmerencana dengan cara bagaimana ia melakukan pembunuhan itu

11 Ibid h. 115

12 Jiwo Pangestu Agung, OP.CIt

(22)

Perbedaan lain terletak dalam apa yang terjadi didalam diri si pelaku sebelum pelaksanaan menghilangkan jiwa seseorang (kondisi pelaku). Untuk pembunuhan direncanakan terlebih dulu diperlukan berfikir secara tenang bagi pelaku. Didalam pembunuhan biasa, pengambilan putusan untuk menghilangkan jiwa seseorang dan pelaksanaannya merupakan suatu kesatuan, sedangkan pada pembunuhan direncanakan terlebih dulu kedua hal itu terpisah oleh suatu jangka waktu yang diperlukan guna berfikir secara tenang tentang pelaksanaannya, juga waktu untuk memberi kesempatan guna membatalkan pelaksanaannya.

Direncanakan terlebih dulu memang terjadi pada seseorang dalam suatu keadaan dimana mengambil putusan untuk menghilangkan jiwa seseorang ditimbulkan oleh hawa nafsunya dan di bawah pengaruh hawa nafsu itu juga dipersiapkan pelaksanaannya

Mengenai unsur dengan rencana terlebih dahulu, pada dasarnya mengandung tiga unsur/syarat.13

A. Memutuskan kehendak dalam suasana tenang

B. Ada tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan kehendak

C. Pelaksanaan kehendak ( perbuatan ) dalam suasana tenang

13 Ibid

(23)

1.5 Metode Penelitian

Metode Penelitian hukum merupakan prosedur atau langkah-langkah yang dianggap efektif dan efisien dari pada umumnya sudah mempola untuk mengumpulkan, mengolah dan menganalisis data dalam rangka menjawab masalah yang diteliti secara benar.

Kata metode berasal dari bahasa Yunani methods yang berarti cara kerja, upaya atau jalan suatu kegiatan pada dasarnya dan upaya tersebut bersifat ilmiah dalam mencari kebenaran yang dilakukan dengan mengumpulkan data sebagai dasar penemuan kebenaran yang dimaksud.

Metode yang dilakukan penulis adalah library research yaitu penelitian yang bentuk penelitiannya dengan cara mengumpulkan, memeriksa dan menelusuri dokumen-dokumen atau kepustakaan yang dapat memberikan informasi yang penulis butuhkan dalam penelitian ini.

1.5.1 Tipe Penelitian Dan Pendekatan Masalah

Tipe penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah tipe penelitian Hukum empiris yaitu dalam pengkajiannya melakukan berdasarkan data-data hukum yang terdiri dari data primer dan sekunder. Data tersebut disusun secara sistematis,dikaji,kemudian diatrik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti.

1.5.2 Sumber Data Hukum

Data Hukum Yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah :

(24)

1. Data Hukum Primer, Yaitu data-data hukum yang bersumber dari penelitian lapangan yaitu suatu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama dilapangan baik dari responden maupun informan

2. Data Hukum Sekunder, adalah data yang diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan (Library Research)

1.5.3 Tehnik Pengumpulan Data Hukum

Tekniik Pengumpulan data yang digunakan penulis ada dua cara yaitu : 1. Tehnik Wawancara, dimana peneliti datang langsung dan melakukan Tanya

jawab langsung dimana semua pernyataan disusun secara sistematis dan terarah sesuai dengan isu hukum yang diangkat dalam penelitian.

Wawancara langusng ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi yang benar dan akurat dari sumber yang ditetapkan sebeumnya.

2. Tehnik Studi Dokumen, yaitu membaca serta mengkaji bahan-bahan bacaan seperti undang-undang, peraturan-peraturan, majalah-majalah, makalah serta buku-buku yang berkaitan dengan relevan dengan pembahasan ini.

1.5.4 Analisis Data Hukum

Dari data yang berhasil dikumpulkan, baik data primer maupun data sekunder kemudian diolah secara kualtitatif dan dianalisis dengan tehnik analisa deskriptif kualitatif. Data yang berhasil dikumpulkan disusun secara sistematis.Dikatagorikan serta kemudian diambil kesimpulan, setelah dianalisa secara kualitatif kemudian data tersebut disajikan secara deskriptif analisis.

(25)

BAB II

SIDIK JARI SEBAGA ALAT BUKTI UATAMA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

2.1 Pengertian Alat BUkti Dan Sidik Jari

Alat Bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan terdakwa (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003: 11). +Ade Sanjaya.14

Definisi Alat Bukti yang sah, adalah alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, dimana alat-alat tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan keyakinan bagi hakim, atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa (Darwan Prinst,1998:135).15

Sidik jari merupakan salah satu identitas manusia yang tidak dapat diganti atau dirubah. Selain itu juga dari sidik jari pula lah seseorang dapat dikenali, “Tidak ada manusia di dunia ini yang mempunyai sidik jari yang sama”. Ungkapan ini mengungkapkan bahwa setiap manusia mempunyai sidik jari yang berbeda-beda. Sidik jari Menjadi kekhasan setiap manusia. Menurut Reinhard Hustagaol Sidik Jari sebenarnya

14 Hari Sasangka dan Lily Rosita.2003. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana.

Bandung: Mandar Maju.

15 Darwan Prinst. 1998. Hukum Acara Pidana Dalam Praktik. Jakarta: Djambatan

(26)

adalah ‘Kulit yang menebal dan menipis membentuk suatu

“punggungan” pada telapak jari yang membentuk suatu pola, sidik jari tidak akan hilan sampai seseorang meninggal dunia dan busuk, goresan- goresan atau luka biasanya pada waktu kulit berganti akan membentuk pola yang sama, namun sidik jari dapat rusak oleh karena kulit tersebut terkena luka bakar yang parah.16

Sidik jari (bahasa Inggris: fingerprint) adalah hasil reproduksi tapak jari baik yang sengaja diambil, dicapkan dengan tinta, maupun bekas yang ditinggalkan pada benda karena pernah tersentuh kulit telapak tangan atau kaki. Kulit telapak adalah kulit pada bagian telapak tangan mulai dari pangkal pergelangan sampai kesemua ujung jari, dan kulit bagian dari telapak kaki mulai dari tumit sampai ke ujung jari yang mana pada daerah tersebut terdapat garis halus menonjol yang keluar satu sama lain yang dipisahkan oleh celah atau alur yang membentuk struktur tertentu.17

Karena keunikannya tersebut, Sidik jari dipakai oleh kepolisian dalam peyidikan sebuah kasus kejahatan (forensikk). Makanya pada saat terjadi sebuah Kejahatan, TKP akan diclear up dan dilarang bagi siapa saja untuk masuk karena dikhawatirkan akan merusak sidik jari penjahat yang mungkin tertinggal di barang bukti yang ada di TKP.

16 Adam Antonius, mengungkap rahasia sidik jari,

http://www.gallerydunia.com/2011/08/mwngungkap-rahasia sidik jari.html dilihat jam 16.30

17Bambagn Pranata Sungkono, Dasatnya Sidik Jari http://id.wikipedia.org/wiki/sidik _jari dilihat jam 16.30

(27)

2.2 Macam-Macam Alat Bukti

Didalam KUHAP telah diatur tentang alat-alat bukti yang sah yang dapat diajukan didepan sidang peradilan. Pembuktian alat-alat bukti diluar KUHAP dianggap tidak mempunyai nilai dan tidak mempunyai kekuatan yang mengikat, Adapun alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang telah diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah sebagai berikut :

1. Keterangan Saksi 2. Keterangan Ahli 3. Surat

4. Petunjuk

5. Keterangan Terdakwa

1. Keterangan Saksi alat bukti yang pertama disebut dalam Pasal 184 KUHAP. Pada umunya tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi Hampir semua pembuktian perkara pidana selalu bersandar kepada pemerikasaan keterangan saksi.

Sekurang-kurangnya, disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi Pengertian saksi dapat kita lihat pada KUHAP yaitu saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tenyang suatu perkara pidana

(28)

yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri Dalam Pasal 185 KUHAP, berbunyi :

1. Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di depan saksi pengadilan

2. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.

3. Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila tidak disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.

4. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu

5. Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi

6. Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, Hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan :

A. Penesuaiaan antara keterangan saksi satu dengan yang lain B. Persesuaiaan antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;

(29)

C. Alasan yang mengkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu

D. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu tang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya

7. Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.

Pada umumnya semua orang dapat menjadi seorang saksi, namun demikian ada pengecualian khusus yang menjadikan mereka tidak dapat bersaksi. Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 168 KUHAP yang berbunyi:

Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:

A. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau kebawah samapi derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama- sama sebagai terdakwa

B. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunya hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa samapi derajat ketiga

(30)

C. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa

Selanjutnya dalam Pasal 171 KUHAP juga menambahkan pengecualian untuk memberikan kesaksiaan dibawah sumpah, yakni berbunyi

A. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin;

B. Orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang- kadang ingatannya baik kembali

Dalam sudut penjelasan pasal tersebut diatas, M Yahya Harahap (2002:258-259), mengatakan bahwa :

“Anak yang belum berumur lima belas tahun, demikian orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila meskipun kadang- kadang saja, dalam ilmu jiwa disebut psycophaat, mereka tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana maka mereka itu tidak perlu diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan, karena itu, keterangan mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja”.18

Orang yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya dapat dibebaskan dari kewajibannya untuk memberi kesaksian, pada pasal 170 KUHAP berbunyi sebagai berikut :

18 M Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP; Sinar Gratika,2009, hal 137-140

(31)

1. Mereka yang pekerjaan, harkat dan martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi

2. Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut.

Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas bahwa keterangan saksi yang dinyatakan dimuka sidang mengenai apa yang ia lihat, ia rasakan, ia alami adalah keterangan sebagai alat bukti (pasal 185 ayat (1)), bagaimana terhadap keterangan saksi yang diperoleh dari pihak ketiga?

Misalnya, pihak ketiga menceritakan suatu hal kepada saksi bahwa telah terjadi pembunuhan. Kesaksian demikian adalah disebut testimonium de auditu.

Sesuai dengan penjelasan KUHAP yang mengatakan kesaksian de auditu tidak diperkenankan sebagai alat bukti. Selaras pula dengan tujuan hukum acara pidana yang mencari kebenaran material, dan pula untuk perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dimana keterangan seorang saksi yang hanya mendengar dari orang lain tidak terjamin kebenarannya, maka kesaksian de auditu atau hearsay evidence patut tidak dipakai di Indonesia pula. Namun demikian, kesaksian de auditu perlu pula didengar oleh hakim. Walaupun tidak mempunyai nilai sebagai bukti kesaksian tetapi dapat memperkuat

(32)

keyakinan hakim bersumber pada dua alat bukti yang lain. Andi Hamzah (1983:242).19

Dalam hal lain juga dalam KUHAP tentang prinsip minimum pembuktian. Hal ini terdapat dalam pasal 183 yang berbunyi :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia peroleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar- benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”

Dalam Pasal 185 ayat (2) juga menyebutkan sebagai berikut:

“Keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap terhadap dakwaan yang didakwakan kepadanya”

“Suatu keterangan saksi yang berdiri sendiri tidak dapat membuktikan seluruh dakwaan, tetapi satu keterangan saksi yang berdiri sendiri tidak dapat membuktikan suatu kejadian tersendiri”

Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 185 ayat (2), keterangan seorang saksi saja belum dianggap sebagai suatu alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa (unus testis nullus testis). Ini berarti jika alat bukti yang dikemukakanpenuntut umum yang terdiri dari seorang saksi saja tanpa ditambah dengan keterangan saksi yang lain atau alat bukti yang lain, kesaksian tunggal seperti

19 Andi Hamzah, Bunga rampai hukum pidana dan acara pidana

(33)

ini tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa sehubungan dengan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.20

Namun apabila disuatu pesidangan seorang terdakwa mangaku kesalahan yang didakwakan kepadanya, dalam hal ini seorang saksi saja sudah dapat membuktikan kesalahan terdakwa. Karena selain keterangan seorang saksi tadi, juga telah dicukupi dengan alat bukti keterangan terdakwa. Akhirnya telah terpenuhi ketentuan minimum pembuktian yakni keterangan saksi dan keterangan terdakwa.

2. Keterangan ahli juga merupakan salah satu alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Mengenai pengertian dari keterangan saksi dilihat dalam Pasal 184 KUHAP yang menerangkan bahwa keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan disidang pengadilan. Pasal tersebut tidak mnjelaskan siapa yang disebut ahli dan apa itu keterangan ahli.

Yang dimaksud dengan keahlian ialah ilmu pengetahuan yang telah dipelajari (dimiliki) seseorang. Pengertian ilmu pengetahuan diperluas pengertianya oleh HIR yang meliputi Kriminalistik, sehingga van Bemmelen mengatakan bahwa ilmu tulisan, ilmu senjata, ilmu pengetahuan tentang sidik jari dan sebagainya termasuk dalam pengertian ilmu pengetahuan

20 Ibid h. 143-146

(34)

Pengertian keterangan ahli sebagai alat bukti hanya bisa didapat dengan melakukan pencarian dan menghubungkan dari beberapa ketentuan yang terpencar dalam pasal KUHAP, mulai dari Pasal 1 angka 28, Pasal 120, Pasal 133, dan Pasal 179 dengan jalan merangkai Pasal- Pasal tersebut maka akan memperjelas pengertian ahli sebagai alat bukti:

1. Pasal 1 angka 28

Pasal ini memberi pengertian apa yang dimaksud dengan keterangan ahli, yaitu keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperluakan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Dari pengertian yang dijelaskan pada Pasal 1 angka 28.

A. Keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan seorang ahli yang memiliki “keahlian khusus” tentang masalah yang diperlukan penjelasannya dalam suatu perkara pidana yang diperiksa.

B. Maksud keterangan Khusus dari ahli, agar perkara pidana yang sedang diperiksa “menjadi terang” demi untuk penyelesaian pemeriksaan perkara yang bersangkutan

2. Pasal 120 ayat (1) KUHAP

Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.

(35)

Dalam Pasal ini kembali ditegaskan yang dimaksud dengan keterangan ahli ialah orang yang memiliki keahlian khusus yang akan memberi keterangan menurut pengetahuannya dengan sebaik- baiknya

3. Pasal 133 (1) KUHAP

Dalam hal penyidikan untuk kepentingan peradilan mengenai seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya

4. Pasal 179 KUHAP menyatakan

1. Setiap orang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberi keterangan ahli demi keadilan

2. Semua ketentuan tersebut diatas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.

Pasal 179 memberi penegasan tentang adanya dua kelompok ahli yang terdapat pada pasal-pasal sebelumnya (Pasal 1 angka 28, Pasal 120, Pasal 133 ayat (1). ada dua kelompok ahli

(36)

1. Ahli kedokteran kehakiman yang memiliki keahlian khusus dalam kedokteran kehakiman sehubungan dengan pemeriksaan korban penganiayaan, keracunan, atau pembunuhan

2. Ahli pada umumnya, yakni orang-orang yang memiliki keahlian khusus dalam bidang tertentu

Sebenarnya apabila kita hubungkan Pasal 133 dan Pasal 186 KUHAP, maka dapat dilihat bahwa ternyata keterangan saksi tidak hanya diberikan di depan persidangan tetapi juga diberikan dalam rangka pemeriksaan penyidikan

Bahwa dari ketentuan Pasal 133 dihubungkan dengan Pasal 186 KUHAP, jenis dan tata cara pemberian keterangan ahli

sebagai alat bukti yang sah dapat melalui prosedur sebagai berikut

1. Diminta penyidik pada taraf pemeriksaan penyidik

Pada saat penyidik demi untuk kepentingan peradilan, penyidik minta keterangan ahli. Permintaan itu dilakukan penyidik secara tertulis dengan menyebutkan secara tegas untuk hal apa pemeriksaan ahli itu dilakukan.

Atas permintan penyidik, ahli yang bersangkutan membuat “laporan”.

Laporan itu bisa berupa surat keterangan yang lazim juga disebut juga dengan nama visum et repertum. Laporan atau visum et repertum tadi dibuat oleh ahli yang bersangkutan “mengingat sumpah” diwaktu ahli menerima jabatan atau pekerjaan. Dengan tata cara dan bentuk

(37)

laporan ahli yang seperti itu, keterangan dalam laporan atau visum et repertum sudah mempunyai sifat dan nilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang

2. Keterangan ahli yang diminta dan diberikan di siding

Permintaan keterangan seorang ahli dalam pemeriksaan di sidang pengadilan diperlukan apabila pada waktu pemeriksaan penyidikan belum ada diminta keterangan ahli. Akan tetapi bisa juga terjadi, sekalipun penyidik atau penuntut umum waktu pemeriksaan penyidikan telah meminta keterangan ahli, jika hakim ketua sidang atau terdakwa maupun penasehat hukum menghendaki dan menganggap perlu didengar keterangan ahli di sidang pengadilan, meminta kepada ahli yang mereka tunjuk memberi keterangan di sidang pengadilan.

Dalam tata cara dan bentuk keterangan ahli di sidang pengadilan, tidak dapat melaksanakan hanya berdasarkan pada sumpah atau janji di sidang pengadilan sebelum ia memberi keterangan. Dengan dipenuhi tata cara dan bentuk keterangan yang demikian dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, bentuk keterangan ahli tersebut menjadi alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dan sekaligus keterangan ahli yang seperti ini mempunyai nilai kekuatan pembuktian

Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa ternyata keterangan ahli dalam bentuk laporan menyentuh sekaligus dua sisi alat bukti yang sah. Di satu sisi, keterangan ahli yang terbentuk laporan atau visum et

(38)

repertum tetap dinilai sebagai alat bukti keterangan ahli, akan tetapi pada sisi lain alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan juga menyentuh alat bukti saksi. Apakah hakim, penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum memberikan nama pada alat bukti tersebut tidak menimbulkan akibat dalam penilaian kekuatan pembukti?

Bahwa keleluasaan hakim, penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum dalam memberikan nama pada alat bukti seperti yang telah disebutkan diatas, sama sekali tidak menimbulkan akibat dalam penilaian kekuatan pembuktian. Kedua jenis alat bukti itu, baik alat bukti keterangan ahli maupun alat bukti surat, sama-sama mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang serupa. Kedua alat bukti tersebut sama-samamempunyai kekuatan pembuktian yang bebas, dan tidak mengikat. Hakim bebas untuk membenarkan atau menolaknya.21

3. Surat adalah sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran

Bukti surat adalah suatu benda (bisa berupa kertas, kaya, daun lontar dan sejenisnya) yang memuat tanda-tanda baca yang dapat dimengerti dan menyatakan isi pikiran (diwujudkan dalam suatu surat)

21 Ibid hal. 151-154

(39)

Dalam KUHAP seperti alat bukti keterangan saksi dan keterangan ahli, alat bukti surat hanya diatur dalam satu pasal yaitu Pasal 187, yang berbunyi surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah

1. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabatat umum yang berwenang atau dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu;

2. Surat yang dibuat menurut ketentuan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksanan yang menjadi tanggungjawabnya dan diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan

3. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;

4. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain

4. Petunjuk dalam KUHAP, alat bukti petunjuk dapat dilihat dalam Pasal 188, yang berbunyi sebagai berikut

(40)

1. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiaan, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi sesuatu tindak pidana dan siapa pelakunya

2. Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari :

A. Ketrangan saksi B. Surat

C. Keterangan

D. Keterangan Terdakwa

3. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim denga arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksian berdasarkan hati nuraninya.

Dari bunyi pasal diatas, maka dapat dikatakan bahwa petunjuk adalah merupakan alat bukti yang tidak langsung Karena hakim dalam mengambil kesimpulan tentang pembuktian, haruslah menghubungkan suatu alat bukti dengan alat bukti yang lainnya dan memilih yang ada persesuaiaannya satu sama lain

5. Keterangan Terdakwa Mengenai keterangan terdakwa diatur dalam KUHAP pada Pasal 189 yang berbunyi sebagai berikut :

(41)

1. Keterangan terdakwa ialah apa yang terdkwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.

2. Keteranga terdakwa yang diberikan diluar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya

3. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.

4. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

2.3 Sidik Jari Sebagai ALat Bukti Utama Dalam Tindak Pidana Pembunuhan Berencana

Kegiatan penyidikan merupakan kegiatan dalam rangka membuat terang suatu perkara menjadi terang atau jelas dan dalam usaha untuk menemukan pelaku tindak pidana pembunuhan berencana. Kegiatan penyidikan yang pertama kali dilakukan oleh penyidik dalam mengungkap suatu tindak pidana pembunuhan, adalah menemukan barang bukti maupun bekas-bekas kejahatan yang digunakan oleh pelaku yang ditinggalkan pada tempat kejadian perkara (TKP), atau bagian-bagian terjadinya kejahatan.

Dik adalah menemukan sidik jari pelaku kejahatan, barang bukti yang sah, yang dapat ditemukan penyidik pada tempat kejadian perkara (TKP),

(42)

salah satunya adalah sidik jari. Sidik jari merupakan barang bukti yang baik dan efektif, yang dipergunakan oleh penyidik untuk pembuktian di pengadilan, tidak seperti metode yang menggunakan keterangan saksi yang bisa saja pelaku, saksi maupun korban dapat berbohong atau memberikan keterangan palsu kepada penyidik dalam mengungkap tindak pidana.

Dengan identifikasi sidik jari yang dilakukan oleh penyidik dimaksudkan untuk menghindari adanya kekeliruan dalam pembuktian di persidangan.

Dengan begitu terlihat jelas bahwa sidik jari merupakan barang bukti yang praktis dan akurat. Hal ini termasuk dalam lingkup hukum acara pidana,karena kewajibannya penyidik dalam penyidikan mempunyai wewenang yang salah satunya adalah mengambil sidik jari dan memotret seseorang (pasal 7 ayat (1) butir f KUHP). Sidik jari mempunyai hubungan erat dengan pemotretan, dalam hal ini pemotretan terhadap sidik jari dan kegiata npemotretan mempunyai peran penting dalam kegiatan pengambilan sidik jari yaitu mengambil gambar sidik jari untuk kemudian di cocokkan untuk mencari keidentikan.

Menurut Andi Hamzah, (2002:273) bahwa KUHAP jelas dan sengaja mencantumkan “keterengan terdakwa” sebagai alat butki dalam pasal 184 butir c. KUAHP juga tidak menjelaskan apa perbedaan antara keterangan terdakwa sebagai alat bukti dan pengakuan terdakwa sebagai alat bukti.22

22 Andi Hamzah, 1996, HukumAcara Pidana, CV.Sapta Arta Jaya,Jakarta.

(43)

Keterangan terdakwa sebagai alat bukti tidak perlu sama atau terbentur pengakuan, semua keterangan terdakwa hendaknya didengar, apakah itu berupa penyangkalan, pengakuan ataupun sebagaian dari perbuatan atau keadaan.

Dalam pasal 184 sidik jari sendiri termasuk kategori alat bukti petunjuk yang menjadi dasar bahwa sidik jari dapat dikatakan sebagai alat bukti yang utama dalam mencari dan mengenali pelakunya. Sidik jari tiap orang tidak sama, sidik jari manusia tidak berubah selama hidup, sidik jari dapat dirumus, diklasifikasi dan sangat akurat kebenarannya.23

Identifikasi sidik jari mempunyai arti yang sangat penting bagi penyidik untuk membuat terang suatu perkara pidana pembunuhan berencana dan mengungkap siapa pelaku tindak pidana tersebut, Maka para penyidik harus berusaha untuk menjaga agar jangan sampai barang bukti berupa sidik jari yang terdapat atau tertinggal di tempat kejadian perkara (TKP) menjadi hilang ataupun rusak. Hasil pemeriksaan tentang sidik jari dilakukan oleh petugas Unit identifikasi polisi resort kota Denpasar.

23 Ibid h. 162-165

(44)

BAB III

FAKTOR-FAKTOR YANG MENGHAMBAT PENGMABILAN SIDIK JARI DALAM KASUS TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA 3.1 Faktor Interen

Faktor petugas mempunyai peranan yang sangat dominan dalam mengolah tempat kejadian perkara (TKP) guna mengumpulkan bukti untuk penyidikan selanjutnya. Kemampuan petugas dalam melakukan identifikasi merupakan unsur penting dalam mencari bukti, kemampuan petugas yang kurang menguasai pengetahuan tentang identifikasi akan kesulitan dalam mencari bukti atau bahkan justru merusak jejak pelaku yang seharusnya dapat dijadikan bukti.

Peralatan juga merupakan salah satu faktor terpenting di dalam melakukan identifikasi. Kelengkapan peralatan untuk penyidikan juga sangat menunjang keberhasilan penyidik dalam mengumpulkan bukti, keterbatasan alat juga berpengaruh terhadap keterbatasan bukti yang dikumpulkan. Terlebih apabila penyidik dihadapkan pada tempat kejadian perkara (TKP) yang sudah lama, disebabkan karena tindak pidana baru diketahui setelah sekian lama.24

Dalam factor-faktor Interen yang menghambat dalam pelaksanaan pengambilan sidik jari dalam tindak pidana pembunuhan berencana,

24 Wawancara Kanit Reskrim Kompol Aris Purwanto, Polisi Resort Kota Denpasar

(45)

sangat disayangkan apabila factor-faktor penghambat dalam identifikasi dikarenakan hanya penyebab terbatasnya kemampuan dari petugas dalam melakukan identifikasi dan kurangnya peralatan untuk identifikasi.

Karena apabila factor-faktor tersebut tidak dapat dipecahkan, tidak menutup kemungkinan banyak kasus-kasus tindak pidana pembunuhan berencana tidak dapat diidentifikasi dan tidak dapat ditemukan pelakunya.

3.2 Faktor Eksteren

Kurangnya kesadaran hukum dan kepedulian masyarakat mengenai tindak pidana dan proses penyidikan di tempat kejadian perkara (TKP) dalam kasus pidana, dapat mengakibatkan kesulitan bagi penyidik dalam mendapatkan bukti. Antusias masyarakat di sekitar lokasi tempat kejadian perkara (TKP) bisa menjadi ancaman besar terutama pada keaslian tempat kejadian perkara (TKP), hal ini dikarenakan pada umumnya masyarakat ingin menyaksikan apa yang telah terjadi, dan tanpa sepengetahuannya dapat mengakibatkan hilangnya jejak pelaku dan bahkan rusaknya sidik jari latent pelaku karena terhapus atau tertumpuk oleh masyarakat saat menyentuh atau memindahkan barang- barang yang mungkin terpegang oleh pelaku kejahatan

Faktor alam sangat memungkinkan untuk terjadinya berubahnya tempat kejadian perkara (TKP), keadaan cuaca atau iklim, kelembaban, suhu udara, dan perubahan-perubahan temperatur disuatu daerah

(46)

dimana sidik jari latent ditinggalkan, keadaan alam tersebut mengakibatkan berbagai kemungkinan, baik kesulitan dalam melakukan identifikasi atau bahkan hilangnya bukti-bukti yang ada.Faktor alam merupakan penghambat alamiah yang bisa terjadi kapan saja, bisa dikarenakan oleh perubahan cuaca atau memang tindak pidana tersebut terjadi dalam keadaan alam yang kurang baik untuk mendapatkan bukti tindak pidana, misalnya tindak pidana terjadi saat keadaan hujan

Sidik jari tidak sempurna, sidik jari yang ada di tempat kejadian perkara (TKP) dan pelaku memegangnya tidak dengan sempurna dalam artian samar, misalnya sidik jari pelaku yang ada disekitar tempat kejadian perkara (TKP) namun sidik jari tersebut tergeser dan tidak lengkap sepuluh jari.

Data bank, tidak semua orang yang ada di Indonesia ini meberikan sidik jarinya di kepolisian dan hanya orang tertentu saja yang mempunyai hubungan dengan kepolisian. Sehingga polisi terkadang sulit untuk mencocokkan sidik jari seseorang yang tidak terdaftar dalam data bank, misalnya seseorang belum pernah membuat SKCK, SIM, tidak pernah ber urusan dengan polisi dalam artian tidak pernah terjerat hukum, maka rumusan sidik jari orang tersebut tidak ada di data kepolisian maupun di data bank.25

25 Ibid

(47)

Dalam menangani suatu perkara tindak pidana pembunuhan yang sangat penting menjaga keaslian tempat kejadian perkara (TKP), pihak kepolisian harus dapat memastikan apa yang ada ditempat kejadian perkara (TKP) posisinya tidak berubah dan pihak kepolisian memberi garis Police Line agar tempat kejadian perkara (TKP) terjaga keasliannya, dan dijaga aparat kepolisian yang mempunyai kewenangan dibidang pengamanan, dan tidak sembarang orang dapat memasuki tempat kejadian perkara (TKP) dan tidak sembarang orang memegang benda-benda yang ada disekitar tempat kejadian perkara (TKP) agar sidik jari pelaku tidak tercampur dengan sidik jari yang tidak bersangkutan didalam tindak pidana pembunuhan. Sedangkan yang dapat memasuki tempat kejadian perkara (TKP) ditangani oleh pihak kepolisian yang mempunyai keahlian dibidang forensik. Apabila faktok penghambat ditemapat kejadian perkara (TKP) dikarenakan factor-faktor cuaca, pihak identifikasi dapat memecahkan permasalahan tersebut,agar pelaku tindak pidana pembunuhan berencana dapat diidentifikasi dengan secepat mungkin.

Dari penjelasan diatas merupakan faktor umum yang sering dijumpai oleh tim identifikasi. Tetapi dalam kaitannya, mengenai kasus pembunuhan berencana, ada 2 (dua) faktor yang menghambat penanganan sidik jari yang mana 2 (dua) faktor tersebut sudah dijelaskan di atas mengenai faktor umumnya.

(48)

Polisi dalam menangani kasus pembunuhan berencana tidak serta merta lancar dalam proses identifikasinya, para aparat kepolisian tersebut khususnya tim identifikasi polresta Denpasar dalam tugas dilapangan menemukan sejumlah kesulitan untuk menemukan sidik jari pelaku. Dalam pelaksanaan pencarian sidik jari tidak serta merta mendapatkan suatu kemudahan, namun banyak kendala-kendala dalam proses pencarian sidik jarinya, kendala-kendala atau faktor yang menghambat pelaksanaan sidik jari tersebut.

Memang sidik jari pelaku ditemukan diberbagai tempat namun dari sidik jari yang ditemukan tidak semuanya menghasilkan sidik jari yang lengkap atau sempurna, tapi sidik jari yang tertinggal hanya beberapa yang ada, Tim identifikasi membutuhkan waktu untuk menyimpulkan sidik jari siapa yang ada di TKP, Tidak hanya sidik jari yang samar saja yang membuat proses pengungkapan tersangka jadi penghambat, namunada beberapa kendala seperti adanya debu yang tebal di TKP, dan sidik jari yang samar dan tertimbun debu itulah yang juga menghambat tim identifikasi untuk menentukan siapa pelaku sebenarnya..26

3.3 Upaya-Upaya penanggulangan Penghambat pelaksanaan Sidik Jari Dalam Tindak Pidana Pembunuhan Berencana

26 Ibid

(49)

Secara umum kendala yang dialami oleh tim identifikasi dalam pelaksanaan pengambilan sidik jari yaitu mengenai kelengkapan peralatan untuk penyidikan, kemampuan petugas dalam melakukan identifikasi, cuaca, sidik jari samar dan data bank, dari kendala-kendala tersebut kepolisian didalam melakukan identifikasi tidak bias dipisahkan dari luar itu, semua itu tergantung pelakunya meninggalkan jejak sidik jari seperti apa, terkadang identifikasi tim identifikasi juga menemui kendala dari beberapa kendala yang ada dan bahkan tidak ditemukan sidik jari ditempat kejadian perkara (TKP).

Upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak kepolisian resort Sidoarjo dalam pelaksanaan pengambilan sidik jari diantaranya sebagai berikut : 1. Pembaikan terhadap infrastruktur sarana dan prasarana pendukung

proses pelaksanaan pengambilan sidik jari dalam tindak pidana pembunuhan berencana, seperti yang sering terjadi ditempat kejadian perkara (TKP), yang diantaranya. Faktor Interenal : terbatasnya kemampuan petugas dalam melakukan identifikasi, kurangnya kelengkapan peralatan untuk penyidikan. Dan sedangkan faktor Eksternal : kurangnya kesadaran hokum dan kepedulian masyarakat mengenai tindak pidana dan proses penyidikan ditempat kejadian perkara (TKP) dalam kasus tindak pidana, factor alam juga sangat memungkinkan untuk terjadinya berubahnya tempat kejadian perkara (TKP), sidik jari tidak sempurna, data bank di kepolisian

(50)

tidak lengkap. Dalam menanggulangi factor-faktor yang sangat sering terjadi ditempat kejadian perkara (TKP), pihak kepolisian harus lebih serius dalam menghadapi factor-faktor tersebut, apa bila terbatasnya kemampuan petugas dalam melakukan penyidikan, sangat perlunya ditambahkan pelatihan khusus bagi petugas yang kurangnya mengetahui dalam melakukan penyidikan, agar dalam melakukan identifikasi dapat memecahkan suatu masalah tindak pidana. Sedangkan mengenai keterbatasan peralatan dalam melakukan identifikasi, pihak kepolisian lebih memikirkan bagai mana caranya peralatan yang diperlukan dalam melakukan identifikasi dapat memenuhi keperluan penyidikan agar didalam melakukan identifikasi dapat akurat dalam menentukan siapa pelakunya. Dan agar tempat kejadian perkara (TKP) tidak berubah keasliannya, dikarenakannya kurangnya kesadaran masyarakat mengenai tindak pidana dan proses penyidikan ditempat kejadian perkara (TKP) maka polisi memberikan garis police lene agar tidak sembarang orang memasuki tempat kejadian perkara (TKP) terutama masyarakat, agar tempat kejadian perkara (TKP) tetap terjaga keasliannya dan tidak sembarang orang memagang benda-benda disekitar tempat kejadian perkara (TKP), agar barang bukti sidik jari tidak rusak dan tidak tercampurnya dengan sidik jari yang tidak bersangkutan.

(51)

Sedangkan factor cuaca dan ditemukannya sidik jari tidak sempurana pihak kepolisian resort Sidoarjo lebih teliti dalam melekukan pengambilan sidik jari yang dimana hambatan cuaca dan sidik jari tidak sempurna lebih detail dalam penanganannya agar sidik jari yang ada dapat diidentifikasi dan tidak rusak. Dan factor terakhir mengenai data bank, sering kali data bank di kepolisian kurang lengkap, dalam mengatasinya pihak kepolisian harus mendata masyarakat dalam pembuatan kartu tanda penduduk (KTP), agar data bank yang dimiliki kepolisian lebih lengkap.

2. Peningkatan kinerja bagi kepolisian dalam melakukan identifikasi dalam kasus tindak yang sering terjadi. Agar kendala-kendala ditempat kejadian perkara (TKP) dapat diidentifikasi siapa pelakunya, maka pihak-pihak dari kepolisian lebih serius dan lebih teliti dalam melakukan identifikasi tidak pidana. Kepolisian harus sering melakukan pelatihan-pelatihan agar pada saat malakukan identifikasi keseluruhan kasus yang ada dalam tindak pidana dapat diungkap, dan pihak kepolisian dapat bekerjasama dengen Negara- negara lain yang kemajuannya tidak diragukan dan kecanggihannya dalam peralatan untuk melakukan identifikasi, agar kepolisian di Indonesia dalam menangani suatu suatu masalah dapat cepat mengungkap pelakunya. Dan dapat bersungguh-sungguh dalam

(52)

melakukan tugas identifikasi tindak pidana apapun yang terjadi didalam masyarakat.27

Meskipun tim identifikasi menemukan kendala-kendala dalam melaksanakan pelaksanaan sidik jari di tempat kejadian perkara (TKP), bukan berarti sidik jari merupakan satu-satunya alat bukti untuk mengungkap suatu tindak pidana pembunuhan berencana, tetapi sidik jari merupakan salah satu alat bukti diantara bukti-bukti yang lainnya.

Jadi tim identifikasi tetap dapat memecahkan suatu kasus, bukan hanya patokan terhadap alat buti sidik jari bias dari keterangan saksi, keterangan korban, rekaman cctv dan lain-lainya. Seperti yang dijelaskan dipengertian Pasal 183 KUHAP, Hakim di dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang dapat menambah keyakinan Hakim di pengadilan, dalam KUHAP Pasal 184 ayat (1) Alat bukti yang sah ialah: a.

keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk dan e.

keterangan terdakwa. Pasal 186 KUHAP menyatakan bahwa

“keterangan seorang ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di bidang pengadilan”. Jadi, pasal tersebut tidak menjawab siapa yang disebut ahli dan apa itu keterangan ahli.

27 Ibid

(53)

BAB IV

SIMPULAN DAN SARAN 4.1 Simpulan

1.

Polisi dalam mengungkap tindak pidana pembunuhan, untuk mencari siapa pelakunya, polisi menjadikan sidik jari sebagai salah satu alat bukti untuk mengungkap atau mencari siapa pelakunya. Karena sidik jari merupakan alat bukti utama untuk mengungkap kasus tindak pidana pembunuhan, yang mana sidik jari tidak dapat dimanipulasi atau berbohong seperti keterangan saksi yang biasa saja dapat berbohong, karena sidik jari manusia yang satu dengan yang lain mempunyai bentuk yang berbeda- beda dan sangat akurat dalam mengungkap siapa pelakunya.

2.

Setiap perkara pembunuhan tidak semua kasus-kasus tersebut meninggalkan sidik jari di TKP. Banyak kendala-kendala yang sering dijumpai oleh tim identifikasi selama dilapangan, seperti mengenai kelengkapan peralatan untuk penyelidikan, kemampuan petugas dalam melakukan identifikasi, cuaca, sidik jari tidak sempurna dan ketidak lengkapan data sidik jari masyarakat di kepolisian yang mana data tersebut disimpan dalam data bank. Namun dalam faktor-faktor penghambat dapat ditanggulangi dengan cara, pembaikan terhadap infrastruktur sarana dan prasarana

(54)

pendukung proses pengambilan sidik jari dalam tindak pidana, meningkatkan kinerja bagi kepolisian dalam melakukan identifikasi dalam kasus tindak pidana Dari beberapa faktor penghambat yang ada bukan berarti pelaku tidak bisa ditemukan, karena sidik jari bukan satu-satunya alat bukti akan tetapi salah satu dari beberapa alat bukti yang ada.

4.2 Saran

1.

Bagi para aparat kepolisian haruslah lebih memperhatikan infrastruktur sarana dan prasarana dalam pengambilan sidik jari, karena sidik jari merupakan alat bukti utama untuk mengungkap kasus tindak pidana pembunuhan menjadi terang dan dapat mengidentifikasi pelakunya.

2.

Kepolisian hendaknya lebih memperhatikan kemampuan kinerja anggotanya dalam melakukan identifikasi tindak pidana pembunuhan, karena apabila kemampuan petugas yang kurang menguasai pengetahuan tentang identifikasi akan kesulitan dalam mencari bukti atau bahkan justru merusak jejak pelaku yang seharusnya dapat dijadikan bukti

.

(55)

DAFTAR BACAAN

BUKU

Abdurahman, 1997, Aneka Masalah Hukum Dalam Pembangunan Di Indonesia, Alumni, Bandung.

Adami Chazawi, 2001, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, PT. Raja Grafido Persada, Jakarta.

Adami Chazawi, 2005, Pelajaran Hukum Pidana , PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Adnan Paslyadja. 1997. Hukum Pembuktian, Jakarta : Pusat Diktat Kejaksaan Republik Indonesia.

Andi Hamzah, 1996, Hukum Acara Pidana Indonesia, CV. Sapta Arta Jaya, Jakarta.

Barda Nawawi Arief, 2002, Kuliah Perbandingan Hukum Pidana, Devisi Buku Perguruan Tinggi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Darwan Prints,1989, Hukum Acara Pidana suatu pengantar, Djambatan, Jakarta.

Darwan Prinst. 1998. Hukum Acara Pidana dalam Praktik, Jakarta.

Gerson W. Bawengan, 1997, Penyidik Perkara Pidana dan Teknik Introgasi, Pradnya Paramitha, Jakarta.

Hari Sasangka dan Lily Rosita. 2003. Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana , Bandung : Mandar Maju.

Hamid A.T, 1982, Praktek Peradilan Perkara Pidana, Al Ihsan, Surabaya.

Hari Sasangka, 2003, Hukum Pembuktian dalam Peikara Pidana untuk

Mahasiswa dan Praktisi, Mandar Maju, Bandung.

(56)

Hamzah, A dan Irwan Dahlan, 1984, Perbandingan KUHAP, HIR dan Komentar, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Jimly Assiddigie, 1996, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Angkasa, bandung.

Martiman Prodjohamidjojo. 1984. Komentar atas KUHAP : Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana, Jakarta .Pradnya Paramitha.

Minkenhof,A. hal 219, Dikutip Andi Hamzah. 1985 Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia.

Moch Anwar H.A.K, 1989, Hukum Pidana Bagian Khusus KUHP, Buku II Jilid I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Purnadi Purbacaraka, Ridwan Halim, 1997, Filsafat Hukum Pidana Dalam Tanya Jawab , Rajawali, Jakarta.

Ronny Hanitijo Soemitro, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Cet.IV, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Soesilo,R. 1996, Kitap Undang-Undang Hukum Pidana, POLOTEIA BOGOR.

Subekti. 2001. Hukum Pembuktian, Jakarta : Pradnya Paramitha.

Simons, D. 1952. Beknopte Handleiding tot het wetboek van strafvordering, harlem, de Erven F. Bohn.

Wirjono Prodjodikoro, 1974, Hukum Acara Indonesia, Bandung.

Yahya Harahap, M. 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP : Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan kembali : Edisi Kedua, Jakarta : Sinar Grafika.

Undang - Undang

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

(57)

UU No. 8 Thn. 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

UU Kekuasaaan Hakim No 4 tahun 2004.

Lain-Lain

Wawancara Kanit Reskrim Kompol Aris Purwanto, Polisi Resort Kota Denpa

Referensi

Dokumen terkait

Kereta Api Indonesia (persero) DAOP IX Jember dapat dikatakan bahwa pelayanan yang diterima pelanggan kereta api Sritanjung kelas ekonomi AC adalah

Fungsi-fungsi khusus pin-pin port A dapat ditabelkan seperti yang tertera pada tabel.. 3 ATMEL, ATmega32L

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan a) Rata – rata kontribusi Pajak Hotel terhadap Pajak Daerah sebesar 1,86% dan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas bakteri komersil Super Nit, Super Bac dan kombinasi keduanya untuk peningkatan kualitas air media budidaya

Objek kajian yang paling mendasar yaitu penafsiran Muh}ammad Syah{ru>r terhadap ayat- ayat yang berkaitan dengan “Waris” dalam.. tafsirnya Nah{wa Us}u>l Jadi>dah

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepuasan pelanggan terhadap kualitas pelayanan jasa pada graPARI TELKOMSEL sangat memuaskan, karena berdasarkan diagram kartesius menunjukkan

• Dijadikan pedoman pelaksanaan pembelajaran Fisika yang mengintegrasikan nilai agama Islam untuk mata kuliah Perencanaan Pembelajaran Fisika (PPF) yang memuat rumusan

Hal yang pokok akan adanya validitas dalam suatu penelitian, begitu pula dalam penelitian kualitatif, meskipun berbeda dengan validasi pada penelitian bentuk lain