• Tidak ada hasil yang ditemukan

SDM kesehatan yang tidak maksimal distribusinya dapat dimaknai sebagai kurangnya jumlah tenaga kesehatan maupun distribusi yang tidak berimbang (Nurhotimah, 2015)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "SDM kesehatan yang tidak maksimal distribusinya dapat dimaknai sebagai kurangnya jumlah tenaga kesehatan maupun distribusi yang tidak berimbang (Nurhotimah, 2015)"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Kesehatan salah satu bagian terpenting dalam kehidupan manusia. Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi (Kementerian Kesehatan, 2017). Kesehatan masyarakat dalam praktiknya berupa kegiatan, langsung atau tidak langsung guna mencegah penyakit, meningkatkan kesehatan, terapi atau kuratif, dan pemulihan kesehatan baik fisik, sosial, dan mental adalah upaya kesehatan masyarakat (Irwan, 2018). Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua pihak guna meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap individu demi terwujudnya kesehatan masyarakat yang baik sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomi (Kementerian Kesehatan, 2017).

Sumber Daya Manusia kesehatan (SDM kesehatan) adalah komponen kunci pembangunan kesehatan. Peran SDM kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat individu guna terwujudnya kesehatan yang baik (“sdm kesehatan...”, 2013). SDM kesehatan yang tidak maksimal distribusinya dapat dimaknai sebagai kurangnya jumlah tenaga kesehatan maupun distribusi yang tidak berimbang (Nurhotimah, 2015). Distribusi tenaga kesehatan adalah upaya perluasan SDM kesehatan ke wilayah yang dianggap dengan prinsip keadilan dan pemerataan pelayanan (Kurniati & Efendi, 2012).

Tenaga kesehatan adalah individu yang mendapatkan pendidikan formal atau nonformal yang mendedikasikan diri dalam upaya mencegah, mempertahankan,

(2)

2

dan meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat (Kurniati & Efendi, 2012).

Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan, tenaga kesehatan adalah setiap individu yang mendedikasikan diri dalam kesehatan dan memiliki pengetahuan serta keahlian melalui pendidikan dibidang kesehatan, untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan dalam melakukan upaya kesehatan.

Menurut Bustami dan Astikawati (2011), tenaga kesehatan adalah tenaga ahli kedokteran dengan fungsi utama memberikan pelayanan medis kepada pasien berdasarkan ilmu kedokteran dan etika yang berlaku serta dapat pertanggungjawaban.

Tenaga kesehatan menjadi garda terdepan percepatan penanganan pandemi COVID-19 rentan mengalami gangguan kesehatan mental (Tim CNN Indonesia, 2021). Tenaga kesehatan mengalami gangguan kesehatan fisik maupun kesehatan mental akibat pandemi COVID-19 (Setiawati, 2021). Menurut Rosyanti dan Hadi (2021) tenaga kesehatan mengalami ketakutan akan penularan, perasaan tidak didukung, kekhawatiran mengenai kesehatan pribadi, diisolasi, perasaan tidak pasti, stigmatisasi sosial, beban kerja berlebihan, dan perasaan tidak aman. Tenaga kesehatan bisa mengalami gangguan psikologis seperti depresi, stres berat, kecemasan, dan kelelahan (Rosyanti & Hadi, 2021). Penelitian dalam bentuk review literature dengan sampel artikel dan jurnal yang membahas tenaga kesehatan medis

atau non medis, ditemukan prevalensi dampak psikologis seperti stres, kecemasan, dan depresi dari ringan hingga berat pada tenaga kesehatan selama masa pandemi COVID-19 (Pinggian, Opod, & David, 2021).

(3)

Tenaga kesehatan membutuhkan akses untuk istirahat, dukungan rekan kerja, dan tim yang baik dalam upaya percepatan penanganan pandemi COVID-19 (Maben & Bridges, 2020). Kondisi psikologis dan pertambahan beban kerja pada tenaga kesehatan dipengaruhi oleh peningkatan jumlah kasus terkonfirmasi positif COVID-19 (Chen dkk., 2020). Dalam sebuah riset di Jawa Barat menunjukkan bahwa tenaga kesehatan yang bertugas di rumah sakit rujukan COVID-19 status kesehatannya lebih rendah jika dibandingkan tenaga kesehatan yang bekerja di fasilitas kesehatan non-rujukan (Iskandarsyah, 2022).

Tenaga kesehatan lebih sering mengalami kecemasan dan gejala depresi (Huang & Zhao, 2020). Peningkatan depresi dan kecemasan pada tenaga kesehatan yang terlibat dalam percepatan pengendalian COVID-19 mengalahkan kekhawatiran sebelumnya tentang kesehatan mental tenaga kesehatan (Steil dkk., 2022). Peluang depresi dan gangguan psikologis lain pasca pandemi Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) dapat meninggalkan trauma sampai tiga tahun pada

tenaga kesehatan (Tu dkk., 2004). Penelitian yang dilakukan di Singapura oleh Tan dkk. (2020) ditemukan bahwa tenaga kesehatan mengalami depresi karena kurangnya aksesibilitas dukungan psikologis formal, informasi medis yang kurang tentang penanganan COVID-19, dan kurangnya pelatihan intensif tentang alat pelindung diri dan infeksi.Dengan banyaknya tenaga kesehatan yang terkena berbagai gangguan psikologis seperti depresi dan gangguan psikologis lain pasca pandemi. Penting bagi pemerintah mengambil langkah-langkah untuk memastikan kesehatan mental tenaga kesehatan diperiksa secara teratur (Sandesh dkk., 2020).

(4)

Dalam studi cross-sectional terhadap 1257 tenaga kesehatan di 34 rumah sakit di China, ditemukan bahwa 634 atau 50,4 % tenaga kesehatan mengalami gejala depresi (Lai dkk., 2020). Penelitian yang dilakukan di Pakistan, dari populasi 112 tenaga kesehatan di beberapa rumah sakit di Pakistan, ditemukan bahwa 72 % atau setara dengan 81 tenaga kesehatan mengalami depresi sedang hingga sangat berat (Sandesh dkk., 2020). Setidaknya 26 % dari 465 tenaga kesehatan di Indonesia yang terlibat dalam pengendalian pandemi COVID-19 mengeluhkan mengalami depresi (Nugraha, 2021).

Depresi merupakan gangguan psikologis meliputi perasaan menyimpang, kognitif, dan perilaku (Beck & Alford, 2009). Proporsi populasi global depresi pada tahun 2015 sebesar 4,4 % depresi lebih umum terjadi pada perempuan, yaitu sebesar 5,1 % dibanding laki-laki sebesar 3,6 % (World Health Organization, 2017). Lebih dari 350 juta penduduk di seluruh dunia mengalami gangguan depresi. Satu dari empat wanita dan satu dari enam pria mengalami depresi selama hidup, 65 % mengalami episode berulang dari gangguan tersebut, sehingga depresi menjadi penyebab utama penyakit secara umum (Walker, McGee, & Druss, 2015). Di Indonesia, depresi termasuk dalam gangguan mental-emosional dengan prevalensi sebesar 6,2 % pada usia remaja (15-24 tahun) dan prevalensi depresi bertambah bersamaan dengan peningkatan usia, tertinggi pada umur 75+ sebesar 8,9 %, 65-74 tahun sebesar 8,0 % dan 55-64 tahun sebesar 6,5 % (Riskesdas, 2018). Kontribusi genetik terhadap depresi adalah 40 % untuk perempuan, pada laki-laki tampak lebih rendah secara signifikan. Genetik berkontribusi terhadap penyebab depresi, yaitu

(5)

sebesar 60 % sampai 80 %, depresi diatribusikan pada pengalaman-pengalaman psikologis (Durand & Barlow, 2006).

Banyak faktor yang menjadi penyebab tenaga kesehatan mengalami depresi sebagian besar disebabkan oleh perubahan pola kerja yang semakin sibuk, padat, berisiko, menguras tenaga, dan pikiran tenaga kesehatan (Rejo, Arradini, Darmayanti, Widiyanto, & Atmojo, 2020). Aktivitas fisik telah diidentifikasi bermanfaat untuk peningkatan kondisi kesehatan fisik dan mental dalam mengurangi risiko gejala depresi (Kim & Munro, 2021). Sejumlah penelitian telah menginvestigasi peran beberapa faktor terhadap depresi atau simtom depresi, seperti regulasi emosi (Marroquin & Nolen-Hoeksema, 2015). Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa individu dengan depresi atau simtom depresi cenderung memiliki tingkat mindfulness yang rendah, dibuktikan dengan aktivitas neural yang bertolak belakang pada individu yang depresi dan individu yang memiliki tingkat mindfulness yang tinggi (Way, Creswell, Eisenberger, & Lieberman, 2010).

Individu yang memiliki kemampuan mindfulness tinggi cenderung memiliki tingkat depresi yang rendah, sebaliknya individu dengan tingkat depresi tinggi diketahui memiliki mindfulness yang rendah (Fourianalistyawati & Listiyandini, 2017).

Mindfulness merupakan karakteristik terukur yang memiliki peran penting dalam

berbagai aspek kesehatan mental (Brown & Ryan, 2003). Mindfulness ditemukan sebagai mediasi simtom depresi (Heath, Carsley, De Riggi, Mills, & Mettler, 2016).

Menurut Brown dan Ryan (2003) individu dengan mindfulness yang tinggi akan melakukan sesuatu dengan kesadaran sesuai dengan minat. Saat tenaga kesehatan menyadari pikiran dan perasaan sesuai dengan minat, aktivitas

(6)

penanganan pandemi COVID-19 berfokus pada penyembuhan pasien COVID-19 sesuai dengan tugas dan tanggung jawab profesi sebagai tenaga kesehatan. Menurut Baer, Smith, Hopkins, Krietemeyer, dan Toney (2006) mindfulness adalah aktivitas saat ini dengan keadaan sadar dan penerimaan tanpa memberikan penilaian.

Individu dengan rasa sadar yang tinggi dinilai lebih mampu untuk bersikap secara sadar. Rasa kesadaran membantu individu dapat melihat secara detail hubungan antara pikiran, perasaan, dan aktivitas sehingga makna dan pengalaman dapat disadari. Mindfulness menjadi alternatif dalam meningkatkan penerimaan diri (Waney, Kristinawati, & Setiawan, 2020). Penerimaan diri pada tenaga kesehatan dapat membantu dalam percepatan penanganan pandemi COVID-19.

Menurut Brown dan Ryan (2003) mindfulness yang dimiliki oleh seseorang mampu mengatasi tekanan sosial yang ada di sekitar, karena terbiasa bertindak sesuai dengan nilai yang dimiliki. Demikian halnya yang dihadapi oleh tenaga kesehatan, akan bertindak secara sadar sesuai dengan profesi tanpa mempedulikan stigma buruk yang ada di masyarakat dalam penanganan pandemi COVID-19.

Mindfulness menurut Baer dan Krietemeyer (2006) merupakan keadaan

individu dengan penuh kesadaran terhadap pengalaman masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang tanpa menghakimi perasaan dan pengalaman masa lalunya, individu cenderung akan terbuka terhadap pengalaman yang positif maupun negatif dalam hidupnya. Keterbukaan terhadap pengalaman positif maupun negatif dapat membantu tenaga kesehatan mengurangi tekanan selama bekerja dan depresi yang muncul selama penanganan pandemi COVID-19. Berdasarkan penelitian Langelo, Oroh, dan Mondigir (2021), manajemen stres mindfulness

(7)

berdampak positif terhadap penurunan tingkat kecemasan pada tenaga kesehatan di masa pandemi COVID-19. Dampak yang terjadi saat seseorang merasa cemas adalah terganggunya sistem saraf pusat sehingga muncul depresi (Durand &

Barlow, 2006). Menurut Bishop dkk. (2004) mindfulness berfokus pada diri sendiri yang ditandai dengan keterbukaan dan penerimaan pengalaman yang melibatkan pengamatan diri. Tenaga kesehatan perlu memiliki keterbukaan dan penerimaan pengalaman yang melibatkan pengamatan diri guna mengatasi tekanan secara psikologis yang mungkin muncul dalam penanganan pandemi COVID-19.

Penelitian sejenis pernah dilakukan oleh Fourianalistyawati dan Listiyandini (2017) dengan variabel kriterium depresi dan variabel prediktor mindfulness.

Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya oleh Fourianalistyawati dan Listiyandini (2017) terletak pada subjek penelitian. Pada penelitian yang dilakukan oleh Fourianalistyawati dan Listiyandini (2017) menggunakan subjek penelitian remaja, sementara itu pada penelitian ini menggunakan subjek penelitian tenaga kesehatan di masa setelah pandemi.

Selanjutnya, penelitian sejenis juga pernah dilakukan oleh Apriliyani, Dwidiyanti, dan Sari (2019), perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya oleh Apriliyani, Dwidiyanti, dan Sari (2019) terletak pada instrumen penelitian yang digunakan. Pada penelitian Apriliyani, Dwidiyanti, dan Sari (2019) menggunakan instrumen penelitian Depression Anxiety Stress Scale (DASS), sementara itu pada penelitian ini menggunakan instrumen penelitian Beck Depression Inventory-II (BDI-II) yang diadaptasi dan diterjemahkan oleh Ginting, Naring, Veld, Srisayekti, dan Becker (2013).

(8)

Berdasarkan uraian mengenai latar belakang permasalahan tersebut, peneliti mengajukan perumusan masalah penelitian yaitu apakah ada hubungan antara mindfulness dengan depresi pada tenaga kesehatan di masa setelah pandemi?

B. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk meninjau serta mempelajari secara ilmiah tentang hubungan antara mindfulness dengan depresi pada tenaga kesehatan di masa setelah pandemi.

2. Manfaat Penelitian a. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan kajian di bidang ilmu psikologi klinis dan sosial khususnya yang berkaitan dengan mindfulness dan depresi, serta dapat memperkuat hasil-hasil penelitian baik

mengenai mindfulness maupun depresi.

b. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi kepada tenaga kesehatan terutama tenaga kesehatan yang turun aktif menangani pandemi COVID-19 agar menanamkan pikiran positif di dalam lingkungan kerja dalam upaya penurunan tingkat depresi serta upaya peningkatan mindfulness bagi tenaga kesehatan di masa setelah pandemi.

Referensi

Dokumen terkait

Jumlah tenaga kesehatan yang mengikuti pelatihan teknis fungsional Pada Tahun 2015 BBPK Jakarta tidak menetapkan target untuk indikator utama jumlah tenaga kesehatan yang

Data tenaga kesehatan dan tenaga pendukungnya yang menangani langsung Covid- 19, melakukan pengamatan dan atau penelusuran kasus Covid-19 dengan kontak langsung pasien dan atau

[r]

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang Penerima Tunjangan Profesi Bagi Guru Pegawai

Fungsi manajemen yang dapat diterapkan di dalam pengelolaan perpustakaan madrasah salah satunya adalah fungsi yang dikemukakan oleh Iskandar (2016:11-39)

Kemudian antara tenaga medis di antara provinsi-provinsi di China menunjukkan bahwa tenaga medis di Wuhan memiliki tingkat stres psikologis yang lebih tinggi

Dalam pasal 1 ayat 8 bahwa standar sarana prasarana adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kriteria minimal tentang ruang belajar, tempat berolahraga, tempat

Pria yang tidak merokok juga memiliki kualitas hidup yang lebih baik. dibandingkan