IDENTIFIKASI JENIS DAN KARAKTERISTIK LONGSOR DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) LISU
KABUPATEN BARRU
OLEH :
LEPRINA SAMBOLANGI M111 13 328
FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSUTAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
ii
iii ABSTRAK
Leprina Sambolangi (M111 13 328). Identifikasi Jenis dan Karakteristik Longsor di Daerah Aliran Sungai (DAS) Lisu Kabupaten Barru. Di bawah Bimbingan Usman Arsyad dan Budirman Bachtiar.
Longsor merupakan salah satu bencana alam yang paling banyak menimbulkan korban jiwa dan hampir dijumpai disetiap daerah aliran sungai utamanya di hulu, dikarenakan topografi yang curam dan curah hujan yang tinggi.
Kabupaten barru merupakan salah satu kabupaten yang memiliki kerentanan tinggi terhadap longsor yaitu sebesar 61.786 ha atau 52.5%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis dan karakteristik lahan yang mempengaruhi longsor, bertempat di DAS Lisu dan dilakukan dari Februari sampai Oktober 2017. Penelitian ini terdiri dari tiga tahapan penelitian yaitu persiapan penelitian, pelaksanaan dilapangan dan pengolahan data. Hasil penelitian ditemukan 12 longsor. Jenis longsor terdapat 3 yaitu translasi, rotasi dan rayapan tanah.
Karakteristik lahan dilokasi longsor yaitu kelerengan yang terjal, curah hujan yang sangat tinggi, lapisan tanah dominan berliat, lapisan batu kurang kuat (batuan sedimen), vegetasi yang memiliki akar serabut dan aktivitas manusia yang mengganggu stabilitas lereng.
Kata Kunci : Longsor, DAS, Karakteristik Lahan, DAS Lisu
iv KATA PENGANTAR
Syukur kepada Yesus Kristus yang senantiasa menuntun dan menyertai disepanjang kehidupan penulis hingga saat ini. Empat tahun tiga bulan bukanlah waktu yang singkat, selama itu ada begitu banyak hal yang telah penulis peroleh baik itu hal akademik maupun non akademik selama berada di Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin.
Skripsi yang berjudul Identifikasi Jenis dan Karakteristik Longsor di Daerah Aliran Sungai (DAS) Lisu Kabupaten Barru dibuat sebagai salah satu persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan di Program Studi Kehutanan Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin Makassar. Segala upaya dan usaha telah dilakukan dengan semaksimal mungkin demi kesempurnaan skripsi ini dengan melewati perjuangan panjang dan pengorbanan yang tidak sedikit.
Penulis menyadari bahwa banyak pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sehingga dalam kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Orang tua tercinta Ayahanda Lewi dan Ibunda Kristina, atas kasih sayang yang tak terhingga, mendukung dalam doa dan ketulusannya dalam memberikan dukungan moril maupun materil. Saudara-saudariku tersayang Ensep Heryanto Sambolangi dan Hermin Cino Sambolangi yang telah memberi semangat dan menjadi motivasi bagi penulis.
2. Bapak Dr. Ir. H. Usman Arsyad, M.S., dan Bapak Ir. Budirman Bachtiar, M.S. selaku dosen pembimbing atas kesediaannya meluangkan waktu untuk memberikan petunjuk, saran, dan solusi dari awal penelitian sampai penyusunan skripsi ini selesai.
3. Bapak Dr. Suhasman, S.Hut., M.Si., Bapak Dr. Syamsu Rijal, S.Hut., M.Si., dan Bapak Prof. Dr. Ir. Daud Malamassam, M.Agr. selaku dosen penguji yang telah memberi saran dan kritik guna perbaikan dan kelengkapan skripsi ini.
4. Bapak Prof. Dr. H. Yusran Yusuf, S.Hut., M.Si., selaku Dekan Fakultas Kehutanan dan seluruh Bapak/Ibu Dosen Fakultas Kehutanan yang telah
v mendidik dan mengajar penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin Makassar.
5. Bapak/Ibu Staf Administrasi atas bantuannya selama penulis menempuh pendidikan di Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin Makassar.
6. Keluarga dari Nur Azizah Fatwal S.Hut, yang telah menyediakan tempat dan membantu kelancaran penulis selama melakukan penelitian.
7. Saudara-saudariku di PDR-SS dan PMK Fapertahut Unhas. Teman seperjuangan Gemuruh (Forester 2013) yang menemani penulis dalam suka- duka selama menempuh pendidikan di Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin Makassar.
8. Saudara-saudariku di Laboratorium Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang menemani penulis dalam penulisan skripsi dan membantu penulis dalam penelitian terkhusus kepada Nur Azizah Fatwal S.Hut, Nur Aeni, Iin Suraeni, Salmon Suppu, Resky Kherianty, Ezperansa Dante, Erich M Tikupadang S.Hut, dan Kakak-kakak yang telah membantu Robiul Hardika, Muh Rozali Mirzaq S.Hut, dan Kuswanto Rantelino, Serta Ahmad sulfikar S.Hut dan Armin Ridha S.Hut yang membantu penulis di Laboratorium. Terkhusus sahabat-sahabat terbaikku Indriyani Astuti, Sri Wahyuni Jufri, Syarif Hidayatullah S.Hut dan Andi Sifa Zulfiana S.Hut yang selalu ada saat penulis membutuhkan bantuan dan semangat selama menempuh pendidikan dan melakukan penelitin.
Serta semua pihak yang telah membantu dan tidak sempat penulis sebutkan dalam kesempatan ini, sekali lagi penulis mengucapakan terima kasih.
Kiranya segala kasih saying yang kalian berikan akan menjadi berkat bagi kalian dan akan senatiasa berada dalam perlindungan Yesus Kristus. Akhir kata.
Semoga tulisan ini dapat memberikan pengetahuan dan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan, khususnya penulis sendiri.
Makassar, November 2017
Penulis
vi DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
ABSTRAK ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang ... 1
1.2 Tujuan dan Kegunaan ... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Longsor ... 3
2.2 Jenis-Jenis Longsor ... 4
2.3 Karakteristik Longsor... 7
2.4 Daerah Aliran Sungai ... 20
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat ... 25
3.2 Alat dan Bahan ... 25
3.3 Prosedur Penelitian... 26
3.4 Pengolahan Data... 28
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Lokasi longsor ... 31
4.2 Jenis Longsor ... 33
4.3 Karakteritik Longsor ... 36
vii BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ... 45
5.2 Saran ... 45
DAFTAR PUSTAKA ... 46
LAMPIRAN ... 50
viii DAFTAR TABEL
Nomor Teks Halaman
1. Tabel 1.1. Korban Jiwa Akibat Longsor ... 1
2. Tabel 2.1. Karakteristik Tanah Longsor ... 8
3. Tabel 2.2. Kelas-Kelas Tekstur Tanah ... 15
4. Tabel 3.1. Klasifikasi Intensitas Hujan dan Curah Hujan ... 29
5. Tabel 3.2. Klasifikasi Kelerengan ... 29
6. Tabel 3.3. Klasifikasi Laju Infiltrasi ... 29
7. Tabel 4.1. Sebaran Titik Longsor di Citra Google Earth ... 31
8. Tabel 4.2. Sebaran Titik Longsoran di DAS Lisu ... 32
9. Tabel 4.3. Jenis-jenis Longsor di DAS Lisu ... 33
10. Tabel 4.4. Kelerengan Longsor dan Asli Longsoran DAS Lisu ... 38
11. Tabel 4.5. Jenis-Jenis Tanah DAS Lisu ... 38
12. Tabel 4.6. Jenis dan Nama Batuan ... 40
13. Tabel 4.7. Laju Infiltrasi Pewakil Longsor di DAS Lisu ... 41
14. Tabel 4.8. Rata-Rata Curah Hujan ... 41
15. Tabel 4.9. Penutupan Lahan dan Aktifitas Manusia ... 43
ix DAFTAR GAMBAR
Nomor Teks Halaman
1. Gambar 2.1. Gambar Jenis-Jenis Longsoran ... 6
2. Gambar 2.2. Pola Perakaran Tumbuhan Pohon ( Yen, 1987 dalam Arsyad, 2012) ... 18
3. Gambar 2.3. Komponen-Komponen Ekosistem DAS Hulu ... 22
4. Gamabr 3.1. Dimensi Longsor (Panjang,Lebar dan Tinggi/Dalam) ... 30
5. Gambar 4.1. Peta Titik Longsor di Citra Satelit dan di Lapangan ... 32
6. Gambar 4.2. Lokasi Longsor Jenis Rotasi di Lapangan (LA-12) ... 33
7. Gambar 4.3. Penampang Melintang Longsor Rotasi (LA-12) ... 34
8. Gambar 4.4. Lokasi Longsor Jenis Translasi di lapangan (LA-3) ... 34
9. Gambar 4.5. Penamapang Melintang Longsor Translasi (LA-3) ... 35
10. Gambar 4.6. Lokasi Longsor Rayapan Tanah di Lapangan (LA-10) ... 35
11. Gambar 4.7. Penampang Melintang Longsor Rayapan Tanah (LA-10) .... 36 12. Gambar 4.8. (a) Pengukuran Dimensi Lebar, (b) Pengukuran Dimensi Panjang
x DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Teks Halaman
1. Lampiran 1. Karakteritik Longsor Lengkap... 51
2. Lampiran 2. Tally Sheet Pengukuran di Lapangan ... 53
3. Lampiran 3. Gambar-Gambar Kegiatan Penelitian di Lapangan ... 55
4. Lampiran 4. Peta Administrasi Lokasi Penelitian ... 56
5. Lampiran 5. Peta Curah Hujan Lokasi Penelitian ... 57
6. Lampiran 6. Peta Kelerengan Lokasi Penelitian ... 58
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Longsor merupakan salah satu bencana alam yang memiliki dampak merugikan bagi manusia. Kerugian yang ditimbulkan dapat berupa kerugian materil maupun non-materil bahkan sampai kehilangan jiwa. Menurut BNPB yang dikutip oleh Padang Media (2016) longsor merupakan bencana yang paling banyak menimbulkan korban jiwa dan terus menerus bertambah setiap tahun.
Adapun data korban jiwa yang meninggal selama lima tahun berturut-turut dapat dilihat pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1 Korban jiwa akibat longsor
No. Tahun Korban Jiwa
1 2012 119
2 2013 190
3 2014 372
4 2015 135
5 2016 177
Sumber : Padang Media (2016) dikutip dari BNPB
Di Indonesia bencana alam berupa longsor bisa dijumpai hampir disetiap Daerah Aliran Sungai (DAS) utamanya pada bagian hulu DAS. Salah satu penyebab terjadinya longsor yaitu kondisi topografi yang sangat curam (Arsyad, 2012). Keadaan ini sesuai dengan keadaan hulu DAS yang memiliki kelerengan yang sangat curam (Indarto, 2010). Hal tersebut juga diperparah oleh aktivitas manusia yang berada di dalam DAS. Aktivitas manusia seperti pengembangan permukiman, perindustrian, pemekaran wilayah administrasi, alih fungsi kawasan hutan dapat meningkatkan lahan terbuka, ketidakstabilan lereng dan vegetasi semakin berkurang serta rendahnya penerapan teknik konservasi tanah dan air.
Akar tanaman merupakan bagian terpenting dalam pengendalian longsor, akar akan mencengkram tanah dan menggemburkan tanah sehingga jika terjadi hujan, air akan banyak masuk ke dalam tanah. Menurut Arsyad (2012) jenis tanaman yang cocok untuk pengendalian longsor adalah tanaman yang memiliki tipe perakaran R karena tipe ini memiliki pengembangan perakaran maksimum
2 yang dalam. Karena itu, pemanfaatan lahan terutama untuk lahan usaha tani sangat penting mempertimbangkan jenis tanaman yang akan ditanam terutama pada daerah-daerah pengembangan pemukiman di daerah Hulu.
Frekuensi longsor akhir-akhir ini semakin tinggi terutama pada musim penghujan sehingga peristiwa longsoran sering sekali dikaitkan dengan hujan.
Salah satu contoh tanah longsor yang disebabkan oleh hujan deras dengan intensitas tinggi dapat dilihat di Kecamatan Tanete Rilau dan Kecamatan Tanete Riaja Kabupaten Barru, walaupun tidak merenggut korban jiwa tapi rumah warga dan jalan-jalan tertimbun oleh tanah (Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2015). Longsor akan terjadi pada saat atau setelah hujan, jika air telah cukup untuk menjenuhi tanah dan terdapat bidang luncur, hal tersebut yang membuat tanah tergelicir mengikuti lereng dan keluar dari lereng (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum, 2007).
Berdasarkan data hasil kajian Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) (2015), Kabupaten Barru memiliki kerentanan yang tinggi terhadap longsor yaitu sebesar 61.786 ha dari luas total atau sekiar 52,5 %. DAS Lisu merupakan salah satu DAS yang termasuk dalam wilayah Administrasi Kecamatan Tanate Rilau, Tanete Riaja, Barru, dan Pujananting (Kabupaten Barru). DAS Lisu memiliki luas ± 38.775,14 ha (BPDAS, 2010).
Salah satu upaya untuk mengantisipasi resiko terjadinya tanah longsor di DAS Lisu adalah dengan mengetahui karakteristik, jenis, dan faktor-faktor penyebab tanah longsor sehingga dapat dijadikan sebagai acuan dalam upaya mitigasi tanah longsor. Diharapkan dengan adanya informasi tersebut maka bencana tanah longsor di DAS Lisu dapat diminimalisir.
2.1 Tujuan Dan Kegunaan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis longsoran dan karakteristik lahan di lokasi longsor yang terjadi di DAS Lisu. Kegunaan dari penelitian ini yaitu digunakan sebagai bahan pembelajaran dan informasi tentang kejadian longsor sehingga memberikan gambaran dalam mitigasi longsor.
3
II.TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Tanah Longsor
Tanah longsor adalah salah satu bentuk dari gerak massa tanah, batuan dan runtuhan batu/tanah yang terjadi seketika bergerak menuju lereng bawah yang dikendalikan oleh gaya gravitasi dan meluncur di atas suatu lapisan kedap yang jenuh air (bidang luncur) (Paimin dkk, 2009). Tanah longsor juga merupakan erosi (pemindahan massa tanah) yang pengangkutan atau pemindahan tanahnya terjadi pada suatu saat secara tiba-tiba dalam volume yang besar (sekaligus) (Arsyad, 2012). Ditinjau dari segi gerakannya, maka selain erosi longsor masih ada beberapa erosi yang diakibatkan oleh gerakan massa tanah, yaitu rayapan (creep), runtuhan batuan (rock fall) dan aliran lumpur (mud flow). Massa yang bergerak dalam longsor merupakan massa yang besar maka seringkali kejadian tanah longsor akan membawa korban, berupa kerusakan lingkungan, lahan pertanian, permukiman dan infrastruktur serta harta bahkan hilangnya nyawa manusia (Suripin, 2002).
Mulyaningsih dan Tedy (2014) mendefinisikan tanah longsor sebagai pergerakan massa tanah atau batuan ke arah bawah (downward) yang disebabkan dan dipicu oleh faktor - faktor alam seperti jenis batuan, bentuk lahan, struktur dan perlapisan batuan, kemiringan lereng,tebal tanah atau bahan lapuk, curah hujan dan tutupan vegetasi, sedangkan Saputra (2015) mengatakan bahwa tanah longsor adalah perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah, material campuran tersebut bergerak ke bawah atau keluar lereng. Faktor yang mempengaruhi terjadinya bencana ini adalah lereng yang gundul serta kondisi tanah dan bebatuan yang rapuh. Air hujan adalah pemicu utama terjadinya tanah longsor. Ulah manusia pun bisa menjadi penyebab tanah longsor seperti penambangan tanah, pasir dan batu yang tidak terkendalikan.
Longsoran merupakan suatu gerakan tanah pada lereng. Dimana gerakan tanah merupakan suatu gerakan menuruni lereng oleh massa tanah atau batuan penyusun lereng, akibat dari terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng tersebut. Jika massa tanah yang bergerak ini didominasi oleh massa tanah
4 dan gerakannya melalui suatu bidang pada lereng, baik berupa bidang miring atau lengkung, maka proses pergerakannya disebut sebagai longsoran tanah. Potensi terjadinya gerakan tanah pada lereng tergantung pada kondisi batuan dan tanah penyusunnya, struktur geologi, curah hujan dan penggunaan lahan (Indrasmoro, 2013).
Rahayu dkk (2009) mengatakan bahwa longsor merupakan gejala alami, yakni suatu proses perpindahan massa tanah atau batuan pembentuk lereng dengan arah miring dari kedudukan semula, sehingga terpisah dari massa yang mantap karena pengaruh gravitasi, dengan jenis gerakan berbentuk translasi dan/atau rotasi. Pada umumnya kawasan rawan bencana longsor merupakan kawasan yang memiliki kemiringan lereng curam (lebih dari 40%), dan/atau kawasan rawan gempa. Proses terjadinya longsor adalah sebagai berikut:
1. Air meresap tanah sehingga menambah bobot tanah.
2. Air menembus sampai ke lapisan kedap yang berperan sebagai bidang gelincir, kemudian tanah menjadi licin dan tanah pelapukan di atasnya bergerak mengikuti lereng dan keluar dari lereng.
2.2. Jenis-Jenis Tanah Longsor
Subowo (2003) menyatakan bahwa ada beberapa jenis-jenis tanah longsor yang terjadi yaitu :
a. Longsoran Translasi
Longsoran translasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai. Pada lapangan dapat dilihat dengan berpindahnya tanah pada bidang miring yang berbentuk rata atau bergelombang membentuk suatu tumpukan tanah yang lebih tinggi dari tanah sebelumnya. Sehingga tanah pada lereng asli berbentuk seperti lubang atau bekas perpindahan tanah, ini diakibatkan oleh beberapa faktor yang ada diatasnya.
b. Longsoran Rotasi
Longsoran ini adalah massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk cekung. Apabila di lapangan, longsoran ini dapat dilihat dengan berpindahnya massa tanah pada bidang miring sehingga membentuk seperti cekungan pada
5 lereng aslinya, dan massa tanah yang bergerak membentuk suatu tumpukan yang dapat di bedakan dari lereng/tanah aslinya.
c. Pergerakan Blok
Pergerakan blok adalah perpindahan batuan yang bergerak pada bidang gelincir berbentuk rata. Longsoran ini disebut juga longsoran translasi blok batu.
Di lapangan dapat dilihat berpindahnya blok batu dari bidang miring, seperti bentuk patahan yang terpisah.
d. Runtuhan Batu
Runtuhan batu terjadi ketika sejumlah besar batuan atau materil lain bergerak ke bawah dengan cara jatuh bebas. Umumnya terjadi pada lereng yang terjal hingga menggantung terutama di daerah pantai. Batu-batu besar yang jatuh dapat menyebabkan kerusakan yang parah. Apabila di lapangan runtuhan batu ini sangat jelas dikenali, biasanya diakibatkan adanya pengikisan gelombang air laut.
e. Rayapan Tanah
Rayapan tanah adalah jenis tanah longsor yang bergerak lambat. Jenis tanahnya berupa butiran kasar dan halus. Jenis tanah longsor ini hampir tidak dapat dikenali. Setelah waktu yang cukup lama, longsor jenis rayapan ini bias menyebabkan tiang-tiang telepon, pohon atau rumah miring ke bawah. Ketika di lapangan jenis longsor rayapan tanah dapat kita ketahui dengan adanya objek yang tertanam pada tanah, yang dalam jangka waktu cukup lama mengalami perubahan bentuk menjadi miring, karena adanya pergeseran tanah.
f. Aliran Bahan Rombakan
Jenis tanah longsor ini terjadi ketika massa tanah bergerak didorong oleh air, kecepatan aliran tergantung pada kemiringan lereng, volume dan tekanan air, dan jenis materialnya. Gerakannya terjadi disepanjang lembah dan mampu mencapai ratusan meter jauhnya. Di beberapa tempat bisa sampai ribuan meter seperti di daerah aliran sungai disekitar gunung api. Aliran tanah ini dapat menelan korban cukup banyak. Di lapangan kita dapat melihat longsoran aliran bahan rombakan, yang diakibatkan beberapa faktor yang berasal dari lereng bagian atas, sehingga massa tanah ataupun jenis material lainnya terbawah jauh melanda alur dan meluas pada daerah datar.
6 Jenis-jenis longsoran dapat dilihat pada Gambar 2.1 sebagai berikut (Subowo 2003) :
Longsoran Translasi Longsoran Rotasi
Pergerakan Blok Runtuhan Batu
Rayapan Tanah Aliran Bahan Rombakan
Gambar 2.1 Gambar jenis-jenis longsoran
Menurut Hardiyatmo (2006) ada enam bentuk keruntuhan atau gerakan lereng yang dapat mengindikasikan akan terjadinya longsoran yaitu :
1. Jatuhan (falls) adalah jatuh bebasnya material debris dari atas kebawah secara cepat.
2. Longsoran (slide) adalah gerakan massa di sepanjang bidang longsor, dimana pada bidang ini kuat geser tanah terlampaui.
7 3. Lorotan (slump) adalah gerakan massa di sepanjang bidang longsor yang relative licin oleh kadar air berlebihan. Karakteristik gambar lorotan sama dengan longsoran pada foto hitam-putih, kecuali di bawahya ada kumpulan rontokan (debris)
4. Aliran (flows) mempunyai kesamaan perbandingan dengan longsoran dan lorotan. Debris dari aliran umumnya menjalar ke jarak yang lebih jauh daripada longsoran atau lorotan. Aliran berhenti jika ada rintangan, atau jika kemiringan lereng menjadi sangat landai. Pada aliran, umumnya terdapat tumpukan material di ujung kaki.
5. Rayapan (creep) adalah gerakan perlahan material pembentuk lereng, walaupun tidak berbahaya namun mengindikasikan kemungkinan bahaya longsor di masa datang.
6. Parit atau selokan (gulying) juga mengindikasikan lereng tidak stabil.
Dua bentuk longsor yang sering terjadi di daerah pegunungan adalah (Permentan, 2006) :
1. Guguran, yaitu pelepasan batuan atau tanah dari lereng curam dengan gaya bebas atau bergelinding dengan kecepatan tinggi sampai sangat tinggi. Bentuk longsor ini terjadi pada lereng yang sangat curam (>100%).
2. Peluncuran, yaitu pergerakan bagian atas tanah dalam volume besar akibat keruntuhan gesekan antara bongkahan bagian atas dan bagian bawah tanah).
Bentuk longsor ini umumnya terjadi apabila terdapat bidang luncur pada ke dalaman tertentu dan tanah bagian atas dari bidang luncur tersebut telah jenuh air.
2.3. Karakteristik Longsor
Darsoatmodjo dan Soedrajat (2002) dalam Subhan (2006), menyebutkan bahwa terdapat beberapa ciri/karakteristik daerah rawan akan gerakan tanah, yaitu:
a. Adanya gunung api yang menghasilkan endapan batu vulkanik yang umumnya belum padu dan dengan proses fisik dan kimiawi maka batuan akan
8 melapuk, berupa lempung pasiran atau pasir lempungan yang bersifat sarang, gembur, dan mudah meresapkan air.
b. Adanya bidang luncur (diskontinuitas) antara batuan dasar dengan tanah pelapukan, bidang luncuran tersebut merupakan bidang lemah yang licin dapat berupa batuan lempung yang kedap air atau batuan breksi yang kompak dan bidang luncuran tersebut miring kearah lereng yang terjal.
c. Pada daerah pegunungan dan perbukitan terdapat lereng yang terjal, pada daerah jalur patahan/sesar juga dapat membuat lereng menjadi terjal dan dengan adanya pengaruh struktur geologi dapat menimbulkan zona retakan sehingga dapat memperlemah kekuatan batuan setempat.
d. Pada daerah aliran sungai tua yang bermeander dapat mengakibatkan lereng menjadi terjal akibat pengikisan air sungai ke arah lateral, bila daerah tersebut disusun oleh batuan yang kurang kuat dan tanah pelapukan yang bersifat lembek dan tebal maka mudah untuk longsor.
e. Faktor air juga berpengaruh terhadap terjadinya tanah longsor, yaitu bila di lereng bagian atas terdapat adanya saluran air tanpa bertembok, persawahan, kolam ikan (genangan air), bila saluran tersebut jebol atau bila turun hujan air permukaan tersebut meresap ke dalam tanah akan mengakibatkan kandungan air dalam massa tanah akan lewat jenuh, berat massa tanah bertambah dan tahanan geser tanah menurun serta daya ikat tanah menurun sehingga gaya pendorong pada lereng bertambah yang dapat mengakibatkan lereng tersebut goyah dan bergerak menjadi longsor.
Karakteristik tanah longsor menurut UNDP (1992) dalam Saputra (2015) dapat dilihat di Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Karakteristik Tanah Longsor 1 Fenomena sebab
akibat
Meluncurnya tanah pada lereng dan bebatuan sebagai akibat getaran-getaran yang terjadi secara alami, perubahan-perubahan secara langsung kandungan air, hilangnya dukungan yang berdekatan, pengisian beban, pelapukan, atau manipulasi manusia terhadap jalur-jalur air dan komposisi lereng.
2 Karakteristik umum Tanah longsor berbeda-beda dalam tipe gerakannya (jatuh meluncur, tumbang, menyebar ke samping, mengalir), dan mungkin pengaruh-pengaruh sekundernya adalah badai yang kencang, gempa bumi dan letusan gunung berapi. Tanah longsor lebih menyebar dibandingkan dengan kejadian geologi lainnya.
9 3 Bisa diramalkan Frekuensi kemunculannya, tingkat dan konsekuensi dari tanah
longsor bisa diperkirakan dan daerah-daerah yang bersesiko tinggi ditetapkan dengan penggunaan informasi pada area geologi, geomorphologi, hidrologi & klimatologi dan vegetasi.
4 Faktor-faktor yang memberikan kontribusi
terhadap kerentanan.
Tempat tinggal yang dibangun pada lereng yang terjal, tanah yang lembek, puncak batu karang. Tempat hunian yang dibangun pada dasar lereng yang terjal, pada mulut-mulut sungai dari lembah-lembah gunung. Jalan-jalan, jalur-jalur komunikasi di daerah-daerah pegunungan. Bangunan dengan pondasi lemah.
Jalur-jalur pipa yang ditanam, pipa-pipa yang mudah patah Kurangnya pemahaman akan bahaya tanah longsor
5 Pengaruh-pengaruh umum yang
merugikan
Kerusakan fisik – Segala sesuatu yang berada diatas atau pada jalur tanah longsor akan menderita kerusakan. Puing-puing bisa menutup jalan-jalan, jalur komunikasi atau jalan-jalan air.
Pengaruh-pengaruh tidak langsung bisa mencakup kerugian produktivitas pertanian atu lahan-lahan hutan , banjir, berkurangnya nilai-nilai proverti. Korban – Kematian terjadi karena runtuhnya lereng. Luncuran puing-puing yang hebat atau aliran Lumpur telah membunuh beribu-ribu orang.
6 Tindakan
pengurangan resiko yang memungkinkan
Pemetaan bahaya Legislasi dan peraturan penggunaan bahaya Asuransi
7 Tindakan kesiapan khusus
Pendidikan komunitas Monitoring. System peringatan dan system evakuasi
8 Kebutuhan khusus pasca bencana
SAR ( penggunaan peralatan untuk memindahkan tanah) Bantuan medis, emergensi tempat berlindung bagi yang
tidak memiliki tempat tinggal.
9 Alat-alat penilaian dampak
Formulir-formulir pengkajian kerusakan
Rudiyanto (2010) mengemukakan bahwa karakteristik longsoran meliputi mekanisme kejadian tanah longsor dan faktor penyebab atau pemicu.
Penyebab Terjadinya Longsor
Tanah longsor terjadi jika dipenuhi tiga keadaan yaitu (Arsyad, 2012):
1. Lereng cukup curam
2. Terdapat bidang peluncur yang kedap air dibawah permukaan tanah
3. Terdapat cukup air dalam tanah diatas lapisan kedap (bidang luncur) sehingga tanah jenuh air.
10 Gejala umum terjadinya longsor ditandai dengan munculnya retakan- retakan di lereng yang sejajar dengan arah tebing, biasanya terjadi setelah hujan, munculnya mata air baru secara tiba-tiba dan tebing rapuh serta kerikil mulai berjatuhan (Nandi, 2007). Salah satu faktor penyebab longsoran yang sangat berpengaruh adalah bidang gelincir (slip surface) atau bidang geser (shear surface). Pada umumnya tanah yang mengalami longsoran akan bergerak di atas
bidang gelincir tersebut (Sugito dkk, 2010).
Faktor-faktor penyebab longsor terbagi atas dua faktor yaitu (Jafar, 2015) : 1. Faktor alamiah
a. Pengaruh Gempa bumi : Gempa bumi yang mendadak dapat mengakibatkan pelengseran yang besar-besar.
b. Pengaruh Topografi : Kemiringan lereng yang menjadi terjal karena erosi air pada lereng gunung, bukit, tebing sungai, abrasi pantai.
c. Pengaruh pelapukan batuan : Tingginya tingkat pelapukan batuan (material yang tidak terkonsolidasi pada lereng yang terjal atau vertikal, jika basah akibat masuknya air tanah, rentan dan mudah meluncur) tanah yang gembur pada daerah dengan kemiringan sudut > 30 derajat, jikalau material itu jenuh dengan air misalnya karena curah hujan yang lebat dapat menyebabkan longsoran. Tanah yang gembur menjadi jenuh dengan air karena itu tidak lagi terdapat gesekan antara lapisan-lapisan tanah itu.
Kandungan air dalam batuan atau tanah, akan berpengaruh terhadap kemantapan lereng; Material yang jenuh air akan mengurangi kekuatan geser dari batuan atau tanah. (Ambil contoh lapisan batuan yang terdiri dari napal dan batulempung yang jika telah mengalami pelapukan berubah menjadi tanah yang lepas). Pada waktu hujan maka air akan merembes melalui material-material lepas ini dan tiba pada batuan lempung yang belum lapuk. Bidang pelapukan ialah batas antara bahan-bahan lapuk dan batuan yang masih segar itu bertindak sebagai bidang lengser.
d. Pengaruh iklim ; perubahan temperatur tahunan yang ekstrim dengan frekuensi hujan yang intensif. Curah hujan yang berada di atas normal sehingga terjadi pengisian air ke dalam tanah yang melebihi kapasitasnya, akan menimbulkan kejenuhan air di permukaan tanah.
11 e. Pengaruh vegetasi : lebat atau jarangnya vegetasi sebagai tutupan lahan.
Sebab biasanya tumbuh-tumbuhan ini mengikat bagian-bagian kecil dari tanah itu yang satu dengan yang lain. Salah satu fungsi akar pohon adalah mengikat tanah dan lereng, tetapi kalau ketebalan tanah lebih dalam dari kedalaman akar pohon maka vegetasi tidak berguna lagi.
f. Pengaruh stratigrafi : perlapisan batuan dan perselingan batuan antara batuan lunak dan batuan keras atau perselingan antara batuan yang permeable dan batuan impermeable. Pelengseran tidak hanya terjadi pada tanah talus (rombakan batuan) atau massa puing akan tetapi pada batuan dasar. Jika sebuah lapisan misalnya terdiri dari lempung berganti-ganti dengan batuan pasir dan jika kemiringan lapisan-lapisan itu searah dengan lereng atau dinding lembah maka hal ini dapat menimbulkan longsor massa batuan. Sesudah hujan lebat air tanah akan bertambah. Air itu dapat melicinkan lempung sehingga lapisan-lapisan yang terletak diatas batuan ini akan longsor.
g. Pengaruh Struktur geologi : jarak antara rekahan/joint pada batuan, patahan, zona hancuran, bidang foliasi dan kemiringan lapisan batuan yang besar. Pelengseran dapat pula berlaku pada batuan yang mengandung diaklas-diaklas besar dan dalam hal ini bidang-bidang diaklas berlaku sebagai bidang longsoran.
2. Faktor manusia :
a. Getaran-getaran tanah yang diakibatkan oleh aktivitas peledakan atau muatan massa oleh alat-alat berat / kendaraan mekanik pada operasi penambangan terbuka.
b. Pemindahan massa tanah (pemotongan kaki lereng) misalnya untuk pembuatan jalan. Penggalian tanah berarti hilangnya tahanan dibawah.
Rencana pembuatan jalan dengan cara memotong tebing hendaknya dilakukan penyelidikan yang mendalam mengenai susunan dan tebal lapisan-lapisan tanah pada sebuah lereng dan analisa mekanika kemiringan lereng (slope stability).
c. Penghilangan vegetasi / penebangan pohon-pohon pada daerah dataran tinggi. vegetasi di lereng mempunyai dua fungsi : hidrologis dan mekanik.
12 Fungsi hidrologis adalah mengatur tata air di lereng agar tidak jenuh dengan jalan evapotraspirasi (penguapan melewati daun). Fungsi mekanikanya adalah mengikat tanah sebagai angker, jika pohon-pohon itu ditebang fungsi hidrologi tidak ada lagi, tetapi fungsi mekanik masih berfungsi sampai 10 tahun.
d. Pengembangan sawah basah pada lereng-lereng bukit, tebing-tebing sungai yang terjal.
e. Pembuatan ”bench” pada aktivitas tambang terbuka.
Berikut merupakan penjelasan variabel yang dapat menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya tanah longsor antara lain:
a. Curah Hujan
Pengertian curah hujan menurut Kementerian Kehutanan (2013) merupakan ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat yang datar, tidak menguap, tidak meresap, dan tidak mengalir. Curah hujan satu milimeter artinya dalam luasan satu meter persegi pada tempat yang datar tertampung air setinggi satu milimeter atau tertampung air sebanyak satu liter. Satuan curah hujan selalu dinyatakan dalam satuan millimeter atau inchi namun untuk di Indonesia satuan curah hujan yang digunakan adalah dalam satuan millimeter (mm).
Hujan dengan curahan dan intensitas yang tinggi, misalnya 50 mm dalam waktu singkat (<1 jam), lebih berpotensi menyebabkan erosi dibanding hujan dengan curahan yang sama namun dalam waktu yang lebih lama (>1 jam). Namun curah hujan yang sama tetapi berlangsung lama (>6 jam) berpotensi menyebabkan longsor, karena pada kondisi tersebut dapat terjadi penjenuhan tanah oleh air yang meningkatkan massa tanah. Intensitas hujan menentukan besar kecilnya erosi, sedangkan longsor ditentukan oleh kondisi jenuh tanah oleh air hujan dan keruntuhan gesekan bidang luncur. Curah hujan tahunan >2000 mm terjadi pada sebagian besar wilayah Indonesia. Kondisi ini berpeluang besar menimbulkan erosi, apalagi di wilayah pegunungan yang lahannya didominasi oleh berbagai jenis tanah (Permentan, 2006)
Ancaman tanah longsor biasanya dimulai pada musim hujan karena meningkatnya intensitas curah hujan. Musim kering yang panjang akan menyebabkan terjadinya penguapan air di permukaan tanah dalam jumlah besar.
13 Hal itu mengakibatkan munculnya pori-pori atau rongga tanah hingga terjadi retakan dan merekahnya tanah permukaan (Nandi, 2007). Ketika hujan, air akan menyusup ke bagian yang retak sehingga tanah dengan cepat mengembang kembali. Pada awal musim hujan, intensitas hujan yang tinggi biasanya sering terjadi, sehingga kandungan air pada tanah menjadi jenuh dalam waktu singkat.
Hujan lebat pada awal musim dapat menimbulkan longsor karena melalui tanah yang merekah air akan masuk dan terakumulasi dibagian dasar lereng, sehingga menimbulakn gerakan lateral (Nasiah dan Ichsan, 2014).
b. Topografi
Faktor topografi umunya dinyatakan ke dalam kemiringan dan panjang lereng. Lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya pendorong. Lereng yang terjal terbentuk karena pengikisan air sungai, mata air, air laut, dan angin (Nandi, 2007).
Nasiah dan Ichsan (2014) mengemukakan bahwa lereng merupakan salah satu unsur topografi yang terdiri dari komponen panjang, bentuk dan kemiringan lereng. Dalam hal ini komponen lereng yang digunakan dalam menentukan tingkat bahaya longsor lahan adalah kemiringan lereng. Berbagai tipe gerak massa yang terjadi di permukaan bumi erat hubungannya dengan besarnya kemiringan lereng. Pada dasarnya kemiringan lereng berpengaruh terhadap gaya tarik bumi (vertikal) dan gaya geser (sepanjang lereng). Semakin datar lereng gaya tarik bumi dapat bekerja sepenuhnya 100 persen hingga material lapuk dan lepas tidak akan terjadi pergeseran arah horisontal. Akan tetapi, berbeda dengan lereng yang miring hingga terjal maka akan terjadi resultan gaya akibat adanya dua gaya yaitu gaya tarik bumi dan gaya geser, sehingga material lapuk dan lepas bergerak menuruni lereng walaupun tanpa dengan media pengangkut (misal air). Karena itu, pada umunya secara berurutan jenis gerak massa dalam kaitannya dengan kemiringan lereng adalah sangat erat. Dari lereng yang landai hingga curam, tipe gerak massa yang terjadi adalah tipe rayapan (creep), nendatan (slump), aliran lumpur (mud flow), aliran tanah (earth flow), longsor lahan (landslide), longsoran puing batuan (debris slide), longsor lahan batu (rock slide) dan pada lereng terjal adalah batu jatuh bebas (rock fall). Selain itu, kemiringan lereng juga berpengaruh terhadap kondisi kelembaban tanah akibat tingkat kelulusan air dan gerakan air
14 tanah yang berbeda. Dengan material yang lapuk maka pada lereng yang datar gerakan air tanah lebih lambat daripada lereng yang miring.
1) Panjang lereng
Panjang lereng dihitung mulai dari titik pangkal terjadinya aliran permukaan sampai suatu titik dimana air masuk saluran atau sungai, atau dimana kemiringan lereng berubah sedemikian rupa, sehingga kecepatan aliran permukaan berubah. Air yang mengalir di permukaan tanah akan terkumpul di ujung lereng. Dengan demikian lebih banyak air yang mengalir dan semakin besar kecepatannya di bagian bawah lereng daripada di bagian lereng atas (Arsyad, 2012).
2) Kemiringan lereng
Wilayah dengan kemiringan lereng antara 0% - 15% akan stabil terhadap kemungkinan longsor, sedangkan di atas 15% potensi untuk terjadi longsor pada kawasan rawan gempa bumi akan semakin besar (Indrasmoro, 2013). Kemiringan lereng dinyatakan dalam derajat atau persen. Dua titik yang berjarak horizontal seratus meter mempunyai selisih tinggi sepuluh meter membentuk lereng 10%. Kecuraman lereng seratus persen sama dengan kecuraman lereng 450. Selain memperbesar jumlah aliran permukaan, makin curam lereng makin memperbesar kecepatan aliran permukaan. Selain dari itu semakin curam lereng juga akan memperbesar jumlah butiran tanah yang terangkut ke bawah (Sugiharyanto, 2009).
Lereng adalah salah satu faktor pemicu terjadinya erosi dan longsor di lahan pegunungan. Peluang terjadinya erosi dan longsor makin besar dengan makin curamnya lereng. Makin curam lereng makin besar pula volume dan kecepatan aliran permukaan yang berpotensi menyebabkan erosi. Selain kecuraman, panjang lereng juga menentukan besarnya longsor dan erosi. Makin panjang lereng, erosi yang terjadi makin besar. Pada lereng >40% longsor sering terjadi, terutama disebabkan oleh pengaruh gaya gravitasi (Permentan, 2006).
Kemiringan lereng sangat curam merupakan kemiringan lereng yang paling tinggi untuk terkena resiko terjadinya bencana longsor dibandingkan dengan kategori kelas lereng lainnya, ini kembali lagi karena pengaruh dari gaya
15 gravitasi, yaitu gaya gravitasi akan sangat besar bekerja jika suatu obyek berada hampir atau tegak lurus terhadap permukaan bumi. Inilah menjadi dasar bahwa kemiringan lereng yang sangat tinggi sangat beresiko untuk terjadinya longsoran oleh akibat gaya gravitasi bumi tersebut khususnya (Dinata dkk, 2013).
c. Tanah
Tanah dapat terbentuk apabila tersedia bahan asal (bahan induk) dan faktor yang mempengaruhi bahan asal. Bahan asal atau bahan induk terbentuknya tanah dapat berupa mineral, batuan, dan bahan organik. Sedangkan faktor yang mengubah bahan asal menjadi tanah berupa iklim dan organisme hidup.
Terbentuknya tanah tersebut tentunya memerlukan suatu tempat (relief) tertentu dan juga memerlukan waktu yang cukup lama (Sugiharyanto, 2009). Adapun sifat fisik tanah yang berpengaruh terhadap longsor yaitu
1) Tekstur tanah
Tekstur tanah adalah perbandingan relative dari partikel tanah dalam suatu massa tanah, terutama perbandingan antara fraksi liat debu dan pasir (Kartasapoetra, 2008). Tekstur tanah biasanya berkaitan dengan ukuran dan porsi partikel-partikel tanah dan akan menbentuk tipe tanah tertentu. Tiga unsur utama tanah adalah pasir (sand), debu (silt), dan liat (clay) (Asdak, 2010). Tanah yang bertekstur kasar akan lebih rawan longsor bila dibandingkan dengan tanah yang bertekstur halus (liat) karena tanah yang bertekstur kasar mempunyai kohesi agregat tanah yang rendah (Nasiah dan Ichsan, 2014).
Tekstur tanah menunjukkan kasar halusnya tanah dari fraksi tanah halus (<2mm). Berdasar atas perbandingan banyaknya butir-butir pasir, debu, liat maka tanah dikelompokkan dalam beberapa macam kelas tekstur (Hardjowigeno, 2010). Adapun kelas-kelas tekstur tanah dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Kelas-kelas tekstur tanah
Kelas tekstur Tekstur tanah
Kasar Pasir
Pasir Berlempung Agak Kasar Lempung Berpasir
Lempung Berpasir halus Sedang Lempung Berpasir sangat halus
Lempung
16 Lempung Berdebu
Debu Agak Halus
Lempung Liat
Lempung Liat Berpasir Lempung Liat Berdebu Halus
Liat Berpasir Liat Berdebu Liat
2) Struktur tanah
Struktur tanah adalah susunan agregat-agregat primer tanah secara alami menjadi bentuk tertentu atau menjadi agregat-agregat yang lebih besar yang dibatasi bidang-bidang tertentu. Tanah dengan tekstur kasar akan menciptakan struktur tanah yang ringan, dengan pori-pori yang besar lebih banyak dari pada pori-pori tanah yang kecil. Tanah dengan tekstur yang halus akan menciptakan struktur tanah yang berat, dengan pori-pori tanah yang halus (kecil) yang banyak daripada pori-pori besar (Kartasapoetra, 2008).
Struktur tanah merupakan gumpalan kecil dari butir-butir tanah.
Gumpalan struktur tanah ini terjadi karena butir-butir pasir, debu, dan liat terikat satu sama lain oleh suatu perekat seperti bahan organik, oksida- oksida besi, dan lain-lain. Gumpalan-gumpalan kecil (struktur tanah) ini mempunyai bentuk, ukuran, dan kemantapan (ketahanan) yang berbeda- beda (Sugiharyanto, 2009).
3) Permeabilitas tanah
Permeabilitas merupakan kemudahan cairan, gas dan akar menembus tanah. Permeabilitas tanah untuk air merupakan konduktivitas hidrolik. Konduktivitas Hidrolik tanah tergantung pada banyak faktor, yaitu temperatur, ukuran partikel tanah, porositas tanah, ukuran pori dan permeabilitas tanah. Konduktivitas hidrolik tanah terdiri atas dua macam yaitu konduktivitas hidrolik tanah jenuh dan tidak jenuh. Penentuan nilai permeabilitas tanah di laboratorium dapat dilakukan dengan menggunakan metode uji tinggi-konstan (constant-head) ataupun uji tinggi-jatuh (falling- head) (Bafdal dkk., 2011).
17 Permeabilitas tanah adalah kemampuan tanah untuk meloloskan air melalui pori-pori dalam keadaan jenuh. Air yang masuk dalam tanah akan mengurangi gesekan dalam tanah sehingga akan mempengaruhi tingkat kerentanan tanah longsor (Arsyad, 2012).
d. Vegetasi
Vegetasi merupakan lapisan pelindung atau penyangga antara atmosfer dan tanah (Arsyad, 2012). Tanaman penutup tanah (cover crop) mengurangi energi aliran, meningkatkan kekasaran sehingga mengurangi kecepatan aliran permukaan, dan selanjutnya memotong kemampuan aliran permukaan untuk melepas dan mengangkut partikel tanah. Perakaran tanaman meningkatkan stabilitas tanah dengan meningkatkan kekuatan tanah, granularitas dan porositas.
Aktivitas biologi yang berkaitan dengan pertumbuhan tanaman memberikan dampak positif pada porositas tanah. Tanaman mendorong transpirasi air, sehingga lapisan tanah atas menjadi kering dan memadatkan lapisan di bawahnya (Bafdal dkk., 2011).
Bila ada pepohonan di permukaannya, tanah longsor dapat dicegah karena air akan diserap oleh tumbuhan. Akar tumbuhan juga akan berfungsi mengikat tanah. Namun, apabila tidak ada tumbuhan yang berakar kuat, maka tanah longsor akan terjadi. Tinggi rendahnya curah hujan sangat berpengaruh terhadap bencana longsor. Semakin tinggi curah hujannya maka akan besar kemungkinan terjadinya bencana longsor, jika didukung oleh lereng yang terjal serta sifat batuan yang kurang kompak (Nasiah dan Ichsan, 2014).
Pembentukan agregat-agregat tanah dimulai dengan penghancuran bongkah-bongkah tanah oleh perakaran tumbuhan. Akar tumbuhan masuk ke dalam bongkah dan menimbulkan tempat-tempat lemah yang menyebabkan bongkah-bongkah terpisah menjadi butir-butir sekunder. Akar tumbuhan juga menyebabkan agregat-agregat menjadi stabil, secara mekanik dan kimia. Akar- akar serabut mengikat butir-butir primer tanah, sedangkan sekresi dan sisa tumbuhan yag terombsk memberikan senyawa-senyawa kimia yang berfungsi sebagai pemantap agregat. O’loughlin (1984) dalam Arsyad (2012) mengatakan bahwa akar-akar halus, berdiameter 1-20 mm, yang berperan dalam memperkuat kekuatan geser tanah, sedangkan akar-akar besar tidak memainkan peranan
18 penting. Rumput, leguminosa, dan tumbuhan semak dapat memiliki pengaruh yang nyata dalam memperkuat ketahanan tanah terhadap erosi dan longsor sampai ke dalaman 0,75-1,5 m.
Yen (1987) dalam Arsyad (2012) menyatakan bahwa pepohonan memiliki pengaruh yang lebih dalam dan dapat memperkua tanah sampai ke dalaman 3 m atau lebih tergantung pada morfologi akar jenis tumbuhan tersebut. Perakaran terbagi atas beberapa tipe yaitu
1) Tipe H, memiliki perkembangan akar maksimum terjadi pada ke dalaman sedang, dengan lebih dari 80% matriks akar terdapat pada ke dalaman 60 cm lapisan atas tanah. Sebagian besar akar berkembang kea rah horizontal dan jangkauan lateralnya luas
2) Tipe R, memiliki perkembangan akar maksimum yang dalam, dengan hanya 20% akar terdapat pada ke dalaman 60 cm lapisan atas. Kebanyakan akar utama berkembang miring dan tegak lurus lereng dan jangkauan lateralnya luas.
3) Tipe VH, memiliki perkembangan akar maksimum sedang sampai dalam akan tetapi sekitar 80% matriks akar terdapat pada ke dalaman 60 cm.
terdapat akar tunjang yang kuat tetapi akar lteral tumbuh horizontal dan banyak, dengan perkebangan lateral yang kuat.
4) Tipe V, memiliki perkembangan akar maksimum sedang sampai dalam.
Terdapat akar tunjang yang kuat, tetapi akar lateralnya sedikit dan sempit jangkauannya.
5) Tipe M, memiliki perkembangan akar maksimum yang dalam. Akan tetapi, 80% matriks akar terdapat pada ke dalaman 30 cm lapisan atas. Akar utama tumbuh banyak dan massif di bawah pangkal batangnya dengan jangkauan lateral yang sempit.
19 Gambar 2.2. Pola perakaran tumbuhan pohon ( Yen, 1987 dalam Arsyad, 2012)
Perakaran tipe H dan VH dianggap bermanfaat untuk menstabilkan lereng dan tahan angin. Perakaran tipe H dan M bermanfaat bagi penguatan tanah terhadap erosi sedangkan perakaran tipe V tahan terhadap angin
e. Infiltrasi
Infiltrasi merupakan gerakan menurunnya air melalui permukaan tanah mineral; kecepatannya biasanya dinyatakan dalam satuan-satuan yang sama seperti intensitas presipitasi (mm/jam) (Lee, 1988). Sedangkan menurut Arsyad (2012) infiltrasi adalah peristiwa masuknya air ke dalam tanah yang umumnya (tetapi tidak mesti) melalui permukaan dan secara vertikal. Jika cukup air, air infiltrasi akan bergerak terus kebawah di dalam profil tanah.
Infiltrasi adalah proses aliran air (umumnya berasal dari curah hujan) masuk ke dalam tanah, atau dengan kata lain infiltrasi adalah aliran air masuk ke dalam tanah sebagai akibat gaya kapiler (gerakan air kearah lateral) dan grafitasi (gerakan air kea rah vertikal). Setelah lapisan tanah bagian atas jenuh, kelebihan air tersebut mengalir ke tanah yang lebih dalam sebagai akibat gaya bumi dan dikenal sebagai proses perkolasi (Asdak, 2010). Laju infiltrasi ditentukan oleh besarnya kapasitas infiltrasi dan laju penyediaan air, selama intensitas hujan (laju penyediaan air) lebih kecil dari kapasitas infiltrasi, maka laju infiltrasi sama dengan intensitas hujan. Jika intensitas hujan melampaui kapasitas infiltrasi maka terjadilah genangan air di atas permukaan tanah atau aliran permukaan. Faktor-
20 faktor yang mempengaruhi infiltrasi antara lain adalah ukuran pori tanah, kemantapan pori, kandungan air dan profil tanah (Dephut, 2006).
f. Geologi / batuan
Batuan merupakan bahan alam padat yang menyusun kerak bumi atau litosfer. Pada umumnya batuan tersusun atas dua mineral atau lebih, tetapi juga ada yang hanya tersusun oleh satu mineral, yaitu batuan gamping. Batuan penyusun kerak bumi berasal dari batuan cair pijar dengan suhu tinggi yang disebut dengan magma. Magma berasal dari lapisan mantel yang menyusup menuju ke permukaan bumi melewati celah-celah yang ada di kerak bumi (litosfer) (Sugiharyanto, 2009).
Faktor pengaruh struktur geologi berupa kekar dan bidang perlapisan batuan, akan sangat besar peranannya terhadap peristiwa gerakan tanah. Kekar menurut Siswomartono (1989) adalah pecahan atau zone pecahan dari tanah yang bersamanya terdapat pergeseran satu sisi terhadap yang lainnya. Batuan yang terkekarkan merupakan zona lemah, yang merupakan salah satu jalan masuknya air ke dalam tanah, akibat adanya zona lemah akan menyebabkan berkurangnya kekuatan geser batuan dalam menahan gerakan serta penjenuhan air dalam tanah/batuan yang dapat meningkatkan atau memicu kenaikan tekanan air pori dalam masa tanah/batuan, dan akhirnya mendorong massa tersebut untuk bergerak membentuk longsor (Audinno, 2014).
2.3. Daerah Aliran Sungai (DAS)
Kementrian kehutanan (2013) mendefinisikan Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai wilayah sungai yang dipisahkan dari wilayah lain oleh pemisah topografi yang berupa punggung bukit, dimana air hujan yang jatuh dalam wilayah tersebut mengalir dan meresap menuju ke suatu sungai dan bermuara di laut. Sedangkan menurut Rahayu dkk., (2009) DAS adalah daerah tertentu yang bentuk dan sifat alaminya sedemikian rupa sehingga merupakan suatu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungai yang melaluinya. Sungai dan anak-anak sungai tersebut berfungsi untuk menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan serta sumber air lainnya. Penyimpanan dan pengaliran air dihimpun dan ditata berdasarkan hukum alam di sekelilingnya
21 sesuai dengan keseimbangan daerah tersebut. Daerah aliran sungai (DAS), yang dipandang sebagai ekosistem tata air dan digunakan sebagai unit pengelolaan sumberdaya alam vegetasi, tanah dan air yang rasional, merupakan wilayah daratan dengan batas alam berupa punggung-punggung bukit sehingga tidak selalu bisa berhimpitan dengan batas administrasi pemerintahan (Paimin dkk., 2012).
Batas DAS dirupakan oleh garis bayangan sepanjang punggung pegunungan atau lahan peninggi, yang memisahkan sistem aliran tetangganya.
Atas dasar pengertian ini maka secara teori semua kawasan darat habis terbagi menjadi sejumlah DAS. Suatu DAS terdiri atas dua bagian utama yaitu daerah tadahan (cachment area) yang membentuk daerah hula tau daerah kepala sungai”
dan daerah penyaluran air yang berada di bawah daerah tadahan. Daerah penyaluran air dapat dibagi menjadi dua daerah, yaitu daerah tengah dan daerah hilir (Notohadiprawiro, 2006).
Konsep yang lain menyatakan bahwa DAS memiliki tiga komponen utama yang menjadi ciri khas atau penciri utamanya, yaitu (Asdak, 2010) :
a. suatu wilayah yang dibatasi oleh puncak gunung/bukit dan punggung/ igir- sigirnya;
b. hujan yang jatuh di atasnya diterima, disimpan, dan dialirkan oleh sistem sungai;
c. sistem sungai itu keluar melalui satu outlet tunggal.
DAS sebagai satuan ekosistem merupakan suatu kawasan alami yang kompleks. Ekosistem merupakan rangkaian kata sistem + ekologi, yaitu suatu tatanan dan keteraturan dari beberapa komponen penyusun yang saling berhubungan satu sama lain. Kata ekologi berasal dari kata Yunani yaitu OIKOS + LOGOS (OIKOS = rumah tangga dan LOGOS = ilmu atau pengetahuan). Disini dipelajari hubungan antar anggota rumah tangga,yaitu antara hewan (termasuk manusia sebagai salah satu species) dengan tumbuhan, antar jenis-jenis binatang itu sendiri, antar jenis-jenis tumbuhan, antar unsur biotis (makhluk hidup) dan unsur abiotis (benda mati) dan sebagainya (Suprayogo dkk., 2011).
DAS sebagai suatu ekosistem ditandai oleh adanya kriteria sebagai berikut (Suprayogo dkk., 2011) :
22 1. Terdapat unsur biotis (makhluk hidup) misalnya hewan dan tumbuh-
tumbuhan serta unsur abiotis (benda mati) misalnya air dan tanah.
2. Terdapat interaksi atau hubungan timbal balik antara berbagai unsur dalam DAS.
3. Terjadi aliran materi, energi dan informasi di dalam ekosistem; dari dalam ekosistem keluar ekosistem ; dan dari luar ekosistem ke dalam ekosistem.
4. Dalam keadaan alamiah terjadi keseimbangan dinamis pada suatu ekosistem.
Ekosistem DAS hulu terdiri atas empat komponen utama yaitu desa, sawah/lading, sungai, dan hutan. Terjadi interaksi timbal-balik antar komponen- komponen lingkungan di DAS. Komponen-komponen yang menyusun DAS berbeda tergantung pada keadaan daerah setempat. Misalnya, di DAS tengah ada komponen lain seperti perkebunan, sementara di daerah pantai dijumpai adanya komponen lingkungan hutan bakau (Asdak, 2010). Adapun komponen-komponen penyusun daerah aliran sungai dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3. Komponen-Komponen Ekosistem DAS Hulu
Daerah aliran sungai (DAS), yang dipandang sebagai ekosistem tata air dan digunakan sebagai unit pengelolaan sumberdaya alam vegetasi, tanah dan air yang rasional, merupakan wilayah daratan dengan batas alam berupa punggung- punggung bukit sehingga tidak selalu bisa berhimpitan dengan batas administrasi pemerintahan. Dengan demikian perbedaan batas wilayah tersebut tidak perlu dipertentangkan tetapi perlu ditata keselarasannya, agar keterkaitan antar wilayah
23 administrasi dalam satuan DAS bisa terhubung secara serasi melalui jalinan daur hidrologi. Penggunaan DAS sebagai satuan wilayah pengelolaan adalah untuk memberikan pemahaman secara rasional dan obyektif bahwa setiap kegiatan yang dilakukan di suatu tempat (on site) di bagian hulu DAS memiliki dampak atau implikasi di tempat lain (off site) di bagian hilir DAS; atau sebaliknya bahwa pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah hilir merupakan hasil dari daerah hulu yang secara daerah otonomi atau administrasi berbeda wilayah pengelolaannya (Paimin dkk., 2012).
Fungsi DAS dapat ditinjau dari dua sisi yaitu sisi ketersediaan (supply) yang mencakup kuantitas aliran sungai (debit), waktu, kualitas aliran sungai, dan sisi permintaan (demand) yang mencakup tersedianya air bersih, tidak terjadinya bencana banjir, tanah longsor serta genangan lumpur (Rahayu dkk., 2009).
Fungsi suatu daerah aliran sungai (DAS) merupakan fungsi gabungan yang dilakukan oleh seluruh faktor yang pada DAS tersebut, yaitu vegetasi, bentuk topografi, tanah dan pemukiman. Apabila salah satu dari faktor tersebut di atas mengalami perubahan, maka hal tersebut akan mempengaruhi pula ekosistem DAS. Sedangkan perubahan ekosistem, juga akan menyebabkan gangguan terhadap bekerjanya fungsi DAS, sehingga tidak sebagai mestinya (Triwanto, 2012).
Apabila fungsi dari suatu DAS terganggu, maka system penangkapan curah hujan akan menjadi tidak sempurna, system penyempurnaan airnya menjadi sangat longgar atai system penyaluran kesungai menjadi sangat boros. Kejadian tersebut akan menyebabkan melimpahnya air pada musim hujan (banjir), dan sebaliknya sangat minimumnya air pada musim kemarau (kekeringan) (Triwanto, 2012).
Pengelolaan DAS melibatkan berbagai ragam penggunaan lahan dengan berbagai pemangku dan pihak terkait serta pengambil keputusan dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Oleh karena itu pengelolaan DAS dengan menggunakan pendekatan multi-disiplin merupakan keharusan. Kegiatan harus melibatkan institusi pemerintah dari berbagai disiplin atau sektor dan melibatkan berbagai kelompok masyarakat serta pelaku pasar. Mengingat wilayah DAS tidak selalu sama dengan wilayah administrasi, sering ditemukan kendala dalam
24 pelaksanaan pengelolaan DAS baik bentuk kegiatannya maupun penentuan lokasinya. Hal ini terjadi karena di dalam wilayah DAS terdapat berbagai sumberdaya alam (vegetasi, tanah, dan air), sehingga ada beberapa sektor dan kepentingan yang masuk. Di samping itu, ada perbedaan prioritas pengelolaan dari masing-masing daerah administrasi. Oleh karena itu, sistem perencanaan pengelolaan DAS yang dibangun harus kompatibel dengan sistem perencanaan nasional/daerah dan selaras dengan kelembagaan terkait (Paimin, dkk. 2009).
Pengelolaan DAS, diperlukan batasan-batasan mengenai DAS berdasarkan fungsi, yaitu pertama DAS bagian hulu didasarkan pada fungsi konservasi yang dikelola untuk mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi lahan DAS, kualitas air, kemampuan menyimpan air (debit), dan curah hujan. Kedua DAS bagian tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah, serta terkait pada prasarana pengairan seperti pengelolaan sungai, waduk, dan danau. Ketiga DAS bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang diindikasikan melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta pengelolaan air limbah (Suprayogo dkk., 2011).
25
III . METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai bulan Oktober 2017.
Penelitian ini terdiri atas dua rangkaian kegiatan yaitu kegiatan lapangan dan kegiatan laboratorium. Kegiatan di lapangan bertempat di DAS Lisu Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan dan kegiatan di Laboratorium bertempat di Laboratorium Silvikultur dan Fisiologi Pohon dan Laboratorium Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin.
3.2. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:
1. Receiver GPS (Global Posision System) untuk mengambil titik koordinat lokasi longsoran.
2. Meteran digunakan untuk mengukur panjang , lebar, dan dalam longsoran.
3. Abney level digunakan untuk mengukur kemiringan lereng di lokasi penelitian.
4. Infiltrometer untuk mengukur infiltrasi.
5. Plastik segel digunakan sebagai tempat sampel tanah yang di ambil di lapangan.
6. Kertas label digunakan untuk menandai sampel.
7. Kamera digunakan untuk membuat dokumentasi di lapangan.
8. Seperangkat komputer dengan program SIG untuk pengelolaan peta yang dibutuhkan selama penelitian.
9. Alat tulis menulis untuk mencatat data yang diperlukan selama penelitian.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:
1. Sampel tanah
2. Citra satelit Google Earth, (Rekaman 31/12/2015, diunduh 26 Oktober 2016) 3. Data curah hujan (Data BMKG Maros, 2007-2016)
4. Peta tanah (RePPProt landsystem,1987) 5. Peta Geologi (Puslitbang, 1982)
26 6. Peta Penutupan Lahan (BPKH, 2015)
7. Peta Kelerengan (Aster DEM, 2011)
3.3. Prosedur Penelitian
3.3.1. Persiapan Penelitian
Pada tahap awal penelitian, dilakukan kegiatan berupa penentuan titik koordinat lokasi kejadian longsor. Titik lokasi kejadian tanah longsor diperoleh dari interpretasi Citra Google Earth yang dilihat berdasarkan karekteristiknya yaitu warna pada citra tersebut. Perubahan warna yang diamati yaitu perubahan warna dari hijau ke coklat, perubahan ini diketahui setelah dibandingkan dengan tahun sebelumnya maka lokasi atau daerah itu dianggap sebagai longsor, dan ditandai sebagai lokasi longsor. Untuk menguji keakuratan lokasi tersebut, maka dilakukan observasi di lapangan yaitu dengan melihat apakah longsor yang ditandai pada Citra Google Earth benar-benar terjadi di lapangan.
Apabila ditemukan longsoran baru di lapangan baik secara langsung maupun berdasarkan informasi dari masyarakat, maka dilakukan pengecekan dan mengambil titik koordinat. Titik koordinat lokasi longsor ditentukan menggunakan GPS. Titik koordinat tersebut kemudian dipindahkan untuk pembuatan peta titik lokasi kejadian longsoran.
3.3.2. Pelaksanaan di Lapangan
Untuk memperoleh data dari setiap titik kejadian tanah longsor, maka diperlukan pengukuran-pengukuran sebagai berikut :
a. Penentuan Lokasi Longsoran
Penentuan lokasi longsoran sampel dari penelitian ini dilakukan dengan membagi tiga bagian wilayah DAS yaitu dengan mengambil titik longsoran sampel pada bagian hilir, bagian tengah dan bagian hulu DAS yang dianggap mewakili dari setiap longsoran yang ditemukan di lapangan. Pembagian wilayah DAS dilakukan dengan melihat karakteristik biogeofisiknya, seperti kelerengan dan kerapatan drainasenya. Daerah hulu memiliki kelerengan lebih besar dari 15%
27 dan kerapatan drainase tinggi, bagian tengah memiliki kelerengan 8%-15% dan memiliki kerapatan drainase yang sedang dan pada bagian hilir memiliki kerapatan drainase kecil dan memiliki kelerengan lebih kecil dari 8%. Setelah dilakukan penentuan lokasi longsoran sampel penelitian kemudian dilakukan pengukuran di longsoran tersebut.
b. Penentuan Jenis Longsoran
Penentuan jenis longsoran dilakukan dengan melihat bentuk longsoran dan dan material yang berada di daerah longsoran. Untuk mengetahui jenis longsoran yang terjadi, dapat dilihat sebagai berikut :
1) Jenis longsoran translasi diketahui dengan melihat bidang gelincir pada longsoran yang berbentuk rata atau menggelombang landai dengan material tanah dan batuan.
2) Jenis longsoran rotasi diketahui dengan melihat bidang gelincir yang berbentuk cekung dengan material tanah dan batuan.
3) Jenis pergerakan blok diketahui dengan melihat perpindahan blok batu dari bidang miring, seperti bentuk patahan yang terpisah.
4) Jenis runtuhan batu diketahui dengan melihat sejumlah besar batuan atau materil lain bergerak ke bawah dengan cara jatuh bebas. Umumnya jenis ini terjadi pada daerah pantai.
5) Rayapan tanah diketahui dengan melihat adanya objek yang tertanam pada tanah, yang dalam jangka waktu cukup lama mengalami perubahan bentuk menjadi miring karena adanya pergeseran tanah dengan material tanah, batuan, tiang listrik, rumah, dan lain sebagainya.
6) Aliran bahan rombakan diketahui dengan melihat material longsoran yang berasal dari lereng bagian atas dan meluas pada daerah landai.
c. Pengukuran Kelerengan
Kelerengan diukur menggunakan abney level dalam derajat (o) kemudian dikonversikan menjadi satuan persen (%).
d. Pengukuran Dimensi Longsoran (panjang, lebar, dan dalam)
Pengukuran dimensi longsoran dengan menggunakan meteran. Panjang longsoran yang diukur adalah jarak antara bagian atas dan bagian bawah longsoran, lebar longsoran yang diukur adalah jarak horizontal, bagian atas dan
28 bagian bawah longsoran. Dalam/tinggi longsoran yang diukur adalah jarak antara lapisan tanah paling atas hingga bidang gelincir longsoran.
e. Pengukuran Infiltrasi
Pengukuran laju infiltrasi dengan menggunakan metode penggenangan. Alat yang digunakan adalah double ring infiltrometer. Pengukuran laju infiltrasi dilakukan pada tanah yang tidak terjadi longsor. Titik tempat pemasangan dibersihkan dari rumput dan tanaman pengganggu, kemudian ring dibenamkan tanah sampai separuh dari tinggi alat dengan kedudukan diusahakan tegak lurus jangan sampai rusak atau pecah-pecah. Sebelum penuangan air pada silinder tengah, silinder luar diisi air supaya perembesan kearah luar bisa dikurangi, ring tengah harus selalu terisi air selama proses pengamatan. Setelah itu dilakukan pengamatan penurunan air tiap menit hingga 15 menit sampai penurunan air dalam silinder mencapai konstan. Kekurangan air selalu ditambah dan selalu dijaga agar ring tidak dalam keadaan kosong serta dibaca batas penambahannya sampai penurunannya konstan.
f. Pengambilan Sampel Tanah
Pengambilan sampel tanah dilakukan dengan mengambil sampel pada tanah yang belum terjadi longsor kemudian dimasukkan plastik dan diberi label.
g. Pengambilan Material Longsoran ( batuan)
Pengambilan sampel material longsoran dilakukan dengan mengambil sampel batuan kemudian dimasukkan plastik dan diberi label.
h. Vegetasi
Pengamatan vegetasi pada lokasi kejadian longsor dilakukan dengan melihat jenis tanaman apa saja yang terdapat pada daerah sekitar longsoran.
3.4. Pengolahan Data
Setelah mengetahui lokasi-lokasi longsoran dan mengambil data-data lapangan maka dilakukan pengolahan data yaitu :
1. Data koordinat kejadian longsor yang terjadi di DAS Lisu yang sudah didapatkan langsung di lapangan dimasukkan ke dalam peta DAS Lisu sehingga menghasilkan peta titik kejadian tanah longsor yang terjadi DAS Lisu.
29 2. Identifikasi tiap kejadian longsor yang terjadi di lapangan dengan pengolahan
data berupa:
a. Pengolahan data curah hujan 10 tahun terakhir (2007-2016) dilakukan untuk menentukan seberapa besar intensitas curah hujan pada DAS Lisu. Data curah hujan diperoleh dari BMKG Maros dan diolah untuk mengetahui curah hujan per tahun . Intensitas hujan dapat diklasifikasikan seperti pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Klasifikasi Intensitas Hujan dan Curah Hujan Intensitas hujan
(mm/hari) Curah hujan (mm/tahun) Klasifikasi
<13,60 < 1500 Sangat Rendah
13,61 – 20,70 1500 – < 2000 Rendah
20,71 – 27,70 2000 – < 2500 Sedang
27,71 – 34,80 2500 – < 3000 Tinggi
>= 34,81 > = 3000 Sangat Tinggi
Sumber : Kemenhut (2013).
Intensitas hujan harian selama 1 tahun adalah rata-rata intensitas hujan setiap harinya selama 1 tahun, sedangkan intensitas hujan tahunan, total dari seluruh intensitas hujan sepanjang tahun.
b. Kelerengan yang diambil di lapangan dengan mengunakan abney level (o) dikonversi (%) kemudian di klasifikasikan berdasarkan Tabel 3.2.
Tabel 3.2. Klasifikasi Kelerengan
Kelas Klasifikasi Lereng (%)
1 Datar/Landai 0 – < 8
2 Agak Miring 8 – < 15
3 Miring 15 – < 25
4 Curam 25 – < 45
5 Terjal > 45
c. Sampel Tanah yang diambil di lapangan kemudian diamati di Laboratorium Silvikultur dan Fisiologi Pohon untuk mengetahui Tekstur tanah, Permeabilitas, Bulk Density, Partikel Density dan Porositas pada lokasi longsoran.
d. Menentukan kriteria laju infiltrasi dapat diklasifikasikan berdasarkan tabel berikut: