• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERILAKU IBU DALAM PEMBERIAN MI INSTAN PADA BALITA DI POSYANDU KELURAHAN TURIKALE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERILAKU IBU DALAM PEMBERIAN MI INSTAN PADA BALITA DI POSYANDU KELURAHAN TURIKALE "

Copied!
146
0
0

Teks penuh

(1)

i

SKRIPSI

PERILAKU IBU DALAM PEMBERIAN MI INSTAN PADA BALITA DI POSYANDU KELURAHAN TURIKALE

KECAMATAN TURIKALE KABUPATEN MAROS PROVINSI SULAWESI SELATAN

NURAENI K111 13 301

Skripsi ini Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

DEPARTEMEN PROMOSI KESEHATAN DAN ILMU PERILAKU FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2017

i

(2)

ii

(3)

iii

(4)

iv

RINGKASAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT PROMOSI KESEHATAN DAN ILMU PERILAKU NURAENI

“PERILAKU IBU DALAM PEMBERIAN MI INSTAN PADA BALITA DI POSYANDU KELURAHAN TURIKALE KECAMATAN TURIKALE KABUPATEN MAROS

PROVINSI SULAWESI SELATAN TAHUN 2017”

(viii + 87 Halaman + 4 Tabel + 6 Lampiran)

Pemberian mi instan oleh ibu kepada balita yang merupakan golongan paling rawan kekurangan energi protein memiliki dampak buruk bagi kesehatan balita jika dikonsumsi secara terus menerus, terlebih jika disajikan tanpa bahan tambahan yang mengandung protein, mineral ataupun vitamin. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tahap learn (belajar), feel (merasakan) dan do (melakukan) dalam teori Multipath Adoption yang dialami oleh informan dalam mengadopsi perilaku ibu dalam memberikan mi instan untuk dikonsumsi oleh balitanya.

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif dengan rancangan fenomenologi. Data penelitian dikumpulkan melalui wawancara terhadap 23 informan yang terdiri dari ibu balita, keluarga balita dan TPG (Tenaga Pelaksana Gizi) Puskesmas Turikale.

Informan dipilih berdasarkan metode purposive sampling. Selain itu, dilakukan observasi untuk proses keabsahan data. Data yang diperoleh kemudian diolah dengan menggunakan content analysis dalam bentuk matriks penelitian yang kemudian diinterprestasikan dan disajikan dalam bentuk narasi.

Peneliti menemukan bahwa para informan memperoleh informasi mengenai pemberian konsumsi mi instan pada balita dari pengalaman pribadi, teman, iklan di televisi dan internet.

Pada tahap learn diperoleh informasi pemberian konsumsi mi instan pada balita oleh informan (ibu balita) dikarenakan faktor keinginan balita, pertimbangan rasa dan harga serta pengaruh dari anggota keluarga, teman dan tetangga. Sedangkan tahap feel menunjukkan bahwa informan memiliki keyakinan terhadap bahaya mi instan untuk dikonsumsi oleh balita, namun keyakinannya tidak lebih besar dari pada faktor keinginan anak dan kelebihan dari mi instan.

Hal tersebut yang mendorong informan ke tahap do dengan pola adopsi trial-do yaitu dengan mencoba beberapa praktik yang diperolehnya pada tahap learn dan feel. Praktik pemberian mi instan pada balita umumnya dilakukan oleh informan dengan memberikan mi instan yang tidak berkuah. Beberapa informan lainnya memilih mi yang berkuah dengan praktik pengolahan membuang air rebusan pertama kemudian diganti dengan air panas baru sebagai kuah dari mi instan tersebut. Bahan tambahan yang informan berikan adalah telur dan sawi hijau.

Peneliti menyarankan kepada ibu balita untuk tidak menyediakan mi instan. Puskesmas Turikale juga diharapkan mengadakan penyuluhan mengenai bahaya mi instan agar ibu balita tidak memberikan mi instan pada balitanya. Disamping itu, program tersebut sebaiknya juga memuat informasi mengenai pengolahan makanan tambahan yang sehat dan aman bagi balita.

Kata Kunci : Mi instan, ibu balita, teori Multipath Adoption Daftar Bacaan : 53 (2004-2016)

(5)

v

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah adalah kata yang pantas namun tidak akan pernah cukup untuk penulis tasbihkan sebagai ungkapan rasa syukur atas selesainya skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Perilaku Ibu dalam Pemberian Mi Instan pada Balita di Posyandu Kelurahan Turikale Kecamatan Turikale Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan” tidak lepas dari keterbatasan. Meski begitu, dukungan dari berbagai pihak telah membuat skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

Puji syukur kepada Allah SWT kita panjatkan kepada sang maha di atas segala maha. Shalawat dan salam teriring untuk Baginda Muhammad SAW, Rasul terakhir, sang penyempurna. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Sudirman Nasir, S. Ked, MWH, Ph.D selaku pembimbing I, Bapak Dr.

Ridwan M. Thaha, M.Sc selaku pembimbing II, Ibu Ulfah Najamuddinm, S. Si,M.Kes, Ibu Dr. Healthy Hidayanti, SKM, M.Kes, Ibu Jumriani Ansar, SKM, M.Kes, dan Ibu Indra Fajarwati Ibnu, SKM, M. Kes selaku penguji.

Tidak lupa pula penulis haturkan rasa terima kasih yang tiada batas kepada kedua orang tua tercinta, Makmur dan Rahmatia. Juga hal serupa kepada seluruh teman dan kerabat yang penulis tidak mampu goreskan namanya satu per satu.

Rentetan ucapan terima kasih ini kemudian penulis akhiri dengan ucapan mohon maaf atas ketidaksempurnaan dari skripsi ini. Kritik dan saran dari pembaca akan penulis terima dengan senang hati. Wassalam.

Makassar, November 2017

Penulis

(6)

vi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

RINGKASAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

A. Tinjauan Umum tentang Perilaku ... 8

B. Tinjauan Umum tentang Pola Konsumsi Balita ... 23

C. Tinjauan Umum tentang Konsumsi Mi Instan ... 27

D. Hasil-Hasil Penelitian terkait Topik Penelitian ... 30

E. Kerangka Teori ... 39

(7)

vii

BAB III KERANGKA KONSEP ... 41

A. Dasar Pemikiran Variabel yang Diteliti ... 41

B. Kerangka Variabel yang Diteliti ... 42

C. Definisi Konseptual ... 43

BAB IV METODE PENELITIAN ... 45

A. Jenis Penelitian ... 45

B. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 45

C. Penentuan Informan Penelitian ... 46

D. Mekanisme Pengumpulan Data ... 47

E. Keabsahan Data ... 48

F. Instrumen Penelitian ... 49

G. Pengolahan dan Analisis Data ... 50

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN... 51

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 51

B. Karakteristik Informan ... 51

C. Hasil Penelitian ... 53

D. Pembahasan ... 67

E. Hambatan Penelitian ... 85

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 86

A. Kesimpulan ... 86

B. Saran ... 87 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

RIWAYAT HIDUP

(8)

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Syarat Mutu Mi Instan ... 28 Tabel 5.1 Karakteristik Informan Penelitian Perilaku Ibu pada Pemberian Mi

Instan pada Balita di Posyandu Kelurahan Turikale ... 52 Tabel 5.2 Karakteristik Balita pada Penelitian Perilaku Ibu pada Pemberian Mi

Instan pada Balita di Posyandu Kelurahan Turikale ... 52 Tabel 5.3 Pangsa Pasar Produk Mie Instan Tahun 2010-2014 ... 79

(9)

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1Theory of Reasoned Action ... 10

Gambar 2.2 Theory of Planned Behavior ... 11

Gambar 2.3 Kondisi Model Proses Seleksi Adopsi ... 13

Gambar 2.4 Tahapan Response Adopter terhadap Perilaku yang akan Diadopsi ... 16

Gambar 2.5 Kerangka Teori Multipath Adoption Process ... 40

Gambar 3.1 Kerangka Konsep... 42

Gambar 5.1 Kemasan Belakang dari Indomie Rasa Goreng ... 76

Gambar 5.2 Indomie Rasa Goreng ... 80

Gambar 5.3 Megah Mie Rasa Kaldu Ayam ... 81

Gambar 5.4 Migelas ... 82

(10)

x

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Informed Consent Lampiran 2 : Lembar Observasi Lampiran 3 : Pedoman Wawancara Lampiran 4 : Surat Izin Penelitian Lampiran 5 : Matriks Wawancara Lampiran 6 : Hasil Observasi Lampiran 7 : Dokumentasi

Lampiran 8 : Riwayat Hidup Peneliti

(11)

xi

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Mi instan terbuat dari tepung terigu dan dilengkapi dengan bumbu bubuk aneka rasa. Salah satu makanan instan ini mengandung karbohidrat dalam jumlah besar dan kadar garam yang tinggi, serta miskin kandungan protein, vitamin dan mineral. Hal ini sesuai dengan penelitian Zailani (2016) yang menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan pada berat organ ginjal dan hati pada tikus-tikus albino yang menjadi binatang percobaan pemberian konsumsi mi instan selama 28 hari. Peningkatannya juga diikuti oleh bilirubin direk, bilirubin total, kolesterol total, triasilgliserol, dan Low Density Lipoproteins (LDL). Sedangkan kadar albumin, protein total (TP), High Density Lipoproteins (HDL), hematokrit dan hemaglobin mengalami penurunan sejalan dengan semakin ditingkatkannya persentase perbandingan mi instan dengan pelet. Oleh karena itu, dari segi gizi, mi instan belum dapat dikatakan sebagai makanan penuh karena belum mencukupi kebutuhan gizi yang seimbang bagi tubuh. Terlebih bagi balita yang merupakan golongan paling rawan KEP.

Mi instan yang relaif murah dan mudah dijumpai juga memiliki komposisi bahan tambahan berupa Monosodium Glutamat (MSG) yang jika dikonsumsi di atas takaran normal dapat menimbulkan hipertensi, asma dan kelemahan otot (Warta Konsumen, 2001). Tingginya konsumsi MSG juga merupakan faktor risiko dari dermatitis (Park, 2016). Selain itu penelitian

1

(13)

Dr. Kuo juga menunjukkan bahwa mi instan tidak hancur dalam proses pencernaan selama berjam-jam. Hal tersebut juga dapat menghambat penyerapan nutrisi makanan lainnya. Mi instan juga mengandung bahan- bahan aditif seperti tertiary-butyl hydroquinone (TBHQ) yang jika dikonsumsi terlalu sering akan menimbulkan efek mual, mengigau dan sesak nafas. Seseorang yang mengonsumsi mi instan dua kali seminggu juga berisiko mengalami gangguan metabolisme seperti obesitas, tekanan darah tinggi dan kolesterol (KEMENKES RI, 2015).

Bahaya mi instan yang dampaknya telah terbukti nampaknya tidak berefek pada kondisi permintaan terhadap produk ini dikarenakan alasan kepraktisan dan rasanya yang dapat memenuhi selera berbagai kelompok masyarakat berdasarkan tingkat pendapatan, pekerjaan, usia, maupun jenis kelamin (Arianto, 2013). Pada tahun 2008, konsumsi mi instan masyarakat Indonesia mencapai 13,7 miliyar bungkus kemudian meningkat menjadi 14,5 miliyar bungkus pada tahun 2010. Tingginya angka konsumsi mi instan tersebut menempatkan Indonesia di posisi kedua sebagai negara pengonsumsi mi instan terbesar di dunia setelah Cina (WINA, 2010). Hasil penelitian Wandasari (2014) juga menemukan sebagian besar keluarga miskin mengonsumsi mi instan 3x/minggu dengan persentase 40%, sedangkan keluarga tidak miskin persentasenya sama antara 2x/minggu dan 3x/minggu yaitu 30%.

Di Indonesia, selain digemari orang dewasa, mi instan juga disukai oleh anak-anak, termasuk balita. Pada penelitian yang dilakukan terhadap

(14)

anak dengan rentang usia 3-12 tahun menunjukkan adanya 998 anak yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia menjadikan mi instan sebagai menu sarapannya (Perdana dan Hardiansyah, 2013). Wandasari (2014) juga mengemukakan pada hasil penelitiannya bahwa anak termasuk anggota keluarga yang mengonsumsi mi instan dengan persentase pada keluarga miskin sebesar 32,1% dan pada keluarga tidak miskin 32,6%.

Sesuai dengan tahap perkembangan diusia balita, anak mulai ingin mandiri dan bertindak sebagai konsumen aktif dalam hal makanan. Hal tersebut yang membuat asupan makanan balita cenderung kurang karena balita telah dapat menolak makanan yang tidak disukai dan hanya mengonsumsi makanan favoritnya (Jafar, 2010). Untuk mengatasi hal tersebut, para ibu memberikan mi instan sebagai pengganti nasi untuk konsumsi anak-anaknya dikarenakan rasanya yang disukai oleh anak-anak tanpa memperhatikan kandungan gizi makanan yang seimbang (Adriani, dkk, 2011).

Prevalensi gizi kurang pada balita memberikan gambaran yang fluktuatif dari 18,4% (2007) menurun menjadi 17,9% (2010) kemudian meningkat lagi menjadi 19,6% pada tahun 2013. Sedangkan prevalensi gizi buruk naik sebesar 0,3% dari tahun 2007 hingga tahun 2013 (RISKESDAS, 2013). Kajian tentang tumbuh kembang anak membuktikan bahwa bayi di Indonesia sampai dengan usia 6 bulan mempunyai berat badan sama baiknya dengan bayi Amerika. Perlambatan pertumbuhan kemudian mulai terjadi pada periode 6-24 bulan. Penyebabnya tak lain adalah pola makan

(15)

yang semakin tidak memenuhi syarat gizi dan kesehatan (Khomsan, 2012).

Hal ini sesuai dengan pandangan UNICEF (1998) yang menyatakan bahwa faktor asupan makanan merupakan salah satu penyebab langsung terjadinya gizi kurang, sedangkan salah satu faktor tidak langsung adalah pola asuh keluarga.

Secara umum di Indonesia, ibu adalah tokoh yang berperan penting pada pengasuhan anak dan penyiapan makanan yang akan dikonsumsi oleh keluarga. Ibu harus memiliki pengetahuan dan sikap yang tanggap serta peduli terhadap pertumbuhan dan perkembangan anaknya. Seorang ibu yang memiliki sikap baik terhadap gizi akan melahirkan perilaku yang baik pula dalam meningkatkan staus gizi keluarga, namun pada realitasnya sering kali tidak sejalan dengan tindakan. Hal ini dikarenakan adanya faktor-faktor eksternal yang menjadi penghambat, seperti faktor ekonomi dan sosial budaya (Djola, 2012).

Perilaku ibu dalam memberikan mi instan untuk dikonsumsi oleh balitanya merupakan hasil dari sebuah adopsi perilaku. Adopsi perilaku dapat dilakukan dengan menerima dan menyikapi berbagai informasi dari lingkungan sekitarnya yang kemudian menjadi alasan untuk mengadopsi perilaku tersebut. Hal ini dijelaskan oleh teori adopsi perilaku yang terdiri dari tahap learn, feel, dan do (Kotler dan Roberto, 1989). Tahap learn akan menghasilkan sebuah pengetahuan yang akan disikapi pada tahap feel.

Sedangkan tahap doadalah tahap praktik yang terbagi atas dua yaitu trial-do dan commited-do. Keduanya disebabkan oleh hasil dari kedua tahap

(16)

sebelumnya. Jika tahap learn menghasilkan keyakinan rendah maka adopter akan maju ke tahap trial-do. Namun jika tahap learn dan feel menghasilkan keyakinan tinggi maka pelaku adopsi akan maju ke tahap commited-do.

Informasi mengenai alasan-alasan ibu dalam memberikan mi instan pada balitanya akan diperoleh pada tahap learn, feel dan trial-do. Sedangkan pola adopsi perilaku ibu dalam memberikan mi instan untuk dikonsumsi oleh balitanya akan berdasarkan pada urutan dari ketiga tahap yang ada.

Satu dari sepuluh penduduk Indonesia mengonsumsi mi instan ≥ 1 kali per hari dengan Provinsi ketiga yang memiliki persentase konsumsi tertinggi di atas rata-rata nasional adalah Provinsi Sulawsi Selatan dengan persentase 16,9%. Sedangkan prevalensi gizi buruk-kurang anak balita Provinsi ini sebesar 25,6% (RISKESDAS, 2013). Lebih spesifik, Kabupaten Maros merupakan Kabupaten kelima dengan status gizi paling tinggi di Sulawesi Selatan dengan temuan kasus balita gizi buruk sebanyak 29 anak (Dinkes Kab. Maros, 2013).

Hasil pemantauan yang dilakukan oleh Direktorar Gizi Masyarakat tahun 2015 juga menemukan prevalensi gizi buruk-kurang pada anak balita di Provinsi Sulawesi Selatan sebesar 22,1% dan Kabupaten Maros merupakan kabupaten dengan perseentase gizi buruk-kurang tertinggi di provinsi ini, yaitu 30,5% (KEMENKES RI, 2015). Hal ini menunjukkan bahwa masalah gizi buruk-kurang masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat yang harus diperhatikan, khususnya bagi Kabupaten Maros.

(17)

Berdasarkan beberapa uraian di atas maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang “Perilaku Ibu dalam Pemberian Mi Instan pada Balita”.

Penelitian ini akan dilakukan di Posyandu Turikale yang termasuk dalam wilayah kerja Puskesmas Turikale. Pada tahun 2013, wilayah kerja puskesmas ini adalah wilayah dengan penemuan terbanyak anak balita berstatus gizi buruk yaitu sebesar 13,7%. Sedangkan Posyandu Turikale merupakan posyandu dengan persentase penemuan balita yang berstatus BGM terbanyak di wilayah kerja Puskesmas Turikale yaitu sebesar 25%

(Dinkes Kab. Maros, 2013). Tempat tersebut dianggap peneliti dapat dijangkau dan bisa mewakili Kabupaten Maros secara keseluruhan.

B.

Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang, maka rumusan masalah penelitian ini adalah “bagaimana perilaku ibu dalam pemberian mi instan pada balita di Posyandu Turikale Kecamatan Turikale Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan 2017?”

C.

Tujuan

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui pola adopsi perilaku ibu berdasarkan teori Multipath Adoption dalam pemberian mi instan pada balita di Posyandu Turikale Kecamatan Turikale Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan 2017.

(18)

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui tahap learn pada ibu dalam memberikan mi instan untuk balitanya di Posyandu Turikale Kecamatan Turikale Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan 2017.

b. Untuk mengetahui tahap feel pada ibu dalam memberikan mi instan untuk balitanya di Posyandu Turikale Kecamatan Turikale Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan 2017.

c. Untuk mengetahui tahap do pada ibu dalam memberikan mi instan untuk balitanya di Posyandu Turikale Kecamatan Turikale Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan 2017.

D.

Manfaat Penelitian 1. Bagi Institusi Kesehatan

Sebagai penambahan masukan dan informasi bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan konsumsi mi instan pada balita.

2. Bagi Peneliti

Menambah wawasan dan pengalaman dalam mengaplikasikan pengetahuan yang telah didapatkan di bangku kuliah.

3. Bagi Universitas

Hasil penelitian ini diharapakan dapat memberikan sumbangan wawasan dan pengetahuan serta dapat dijadikan sebagai referensi tentang perilaku ibu dalam pemberian konsumsi mi instan pada balita.

(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum tentang Perilaku 1. Pengertian Perilaku

Perilaku manusia pada hakikatnya adalah segala kegiatan atau aktivitas manusia baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoadmodjo, 2007). Sedangkan dalam psikologi, perilaku manusia (human behavior) merupakan reaksi yang dapat bersifat sederhana maupun kompleks. Salah satu karakteristik reaksi perilaku manusia yang menarik adalah sifat diferensialnya. Maksudnya, satu stimulus dapat menimbulkan lebih dari satu respons yang berbeda dan beberapa stimulus yang berbeda dapat menimbulkan satu respon yang sama (Azwar, 2011).

Sedangkan Skinner dalam Notoadmodjo (2010), merumuskan teorinya bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Dengan kata lain, perilaku terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme yang kemudian di respon oleh organisme tersebut. Teori ini disebut teori “S-O-R” atau stimulus- organisme-response. Skinner membedakan adanya dua respon yaitu respondent response (reflexive) dan operant response (instrumental response).

Dalam teori S-O-R, perilaku mansuia dapat dikelompokkan menjadi dua yakni perilaku tertutup (covert behavior) dan perilaku terbuka (overt

8

(20)

behavior). Perilaku tertutup terjadi bila respon terhadap stimulus masih belum dapat diamati oleh orang lain, sedangkan perilaku terbuka terjadi bila respon terhadap stimulus dapat diamati oleh orang lain dari luar secara jelas (Notoadmodjo, 2010).

Teori lain dikemukakan oleh Sunardi (2010) bahwa perilaku adalah aktivitas glandular, maskular, atau elektrikal seseorang. Tindakan-tindakan sederhana seperti mengedipkan mata, menggerakkan jari tangan, melirik dan sebagainya juga merupakan bagian dari perilaku manusia. Secara umum yang termasuk perilaku adalah apa yang dilakukan dan dikatakan seseorang yang memiliki satu atau lebih dimensi yang dapat diukur.

Terdapat dua kelompok besar perilaku yaitu perilaku yang tampak dan yang tidak tampak. Perilaku yang tampak adalah perilaku yang dapat diamati oleh orang lain, sedang perilaku tidak tampak adalah sebaliknya.

Selain dapat diamati, menurut Icek Ajzen dan Martin Fishbein dalam Azwar (2011) perilaku juga dapat diprediksi dengan menggunakan Teori Tindakan Beralasan atau Theory of Reasoned Action (TRA). Teori ini disusun menggunakan asumsi dasar bahwa manusia umumnya melakukan sesuatu dengan cara-cara yang masuk akal dan mempertimbangkan semua informasi yang ada maupun implikasi tindakan mereka sendiri. TRA berasumsi bahwa sikap mempengaruhi perilaku melalui proses pengambilan keputusan yang teliti dan beralasan serta dampaknya terbatas hanya pada tiga hal. Pertama perilaku ditentukan oleh sikap yang spesifik terhadap sesuatu. Kedua, perilaku juga dipengaruhi oleh norma-norma

(21)

subjektif. Ketiga sikap terhadap suatu perilaku bersama norma-norma subjektif membentuk suatu niat untuk berperilaku tertentu. Secara skematik, TRA dapat digambarkan seperti berikut:

Gambar 2.1

Theory of Reasoned Action

Sumber : Fishbein & Ajzen (1975), dalam Azwar (2011)

Pada tahun 1988, Ajzen (dalam Azwar, 2011) kemudian memodifikasi TRA menjadi Teori Perilaku Terencana (Theory of Planned Behavior). Teori ini dimaksudkan untuk mengatasi masalah kontrol volisional yang belum lengkap pada teori TRA. Faktor intention perilaku tetap menjadi inti teori perilaku ini. Hanya saja, determinan intention tidak hanya dua aspek (sikap terhadap perilaku yang bersangkutan dan norma- norma subjektif) melainkan tiga aspek dengan diikutsertakannya aspek kontrol perilaku yang dihayati (perceived behavioral control). Secara lebih lengkap Ajzen (1985) menambahkan faktor latar belakang individu ke dalam perceived behavioral control, sehingga secara skematik perceived behavioral control dilukiskan sebagaimana pada gambar berikut ini.

Behavioral Belief

Intention

to Behave Behavior Attitude

towards Behavior

Subjective Norms Normative

Belief

(22)

Gambar 2.2

Theory of Planned Behavior

Sumber: Ajzen (2005), dalam Azwar (2011)

2. Bentuk-bentuk perilaku

Menurut Notoadmodjo (2007), dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua yaitu:

a. Perilaku tertutup (covert behavior)

Perilaku tertutup adalah respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup. Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi belum bisa diamati secara jelas oleh orang lain.

(23)

b. Perilaku terbuka (overt behavior)

Perilaku terbuka adalah respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Secara sederhana overt behavior merupakan tindakan nyata atau praktik.

Perilaku manusia terjadi melalui suatu proses yang berurutan.

Penelitian Rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yaitu:

1) Awareness (kesadaran), yaitu orang tersebut menyadari atau mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu.

2) Interest (tertarik), yaitu orang mulai tertarik kepada stimulus.

3) Evaluation (menimbang baik dan tidaknya stimulus bagi dirinya). Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.

4) Trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru

5) Adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.

Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif maka perilaku tersebut akan menjadi kebiasaan atau bersifat langgeng (Notoatmodjo, 2010).

Sedangkan menurut teori pemasaran sosial oleh Kotler dan Roberto (1989), seseorang mengadopsi suatu ide dapat ditempuh melalui 4 macam model. Berikut konsep model tersebut.

(24)

Gambar 2.3

Kondisi Model Proses Seleksi Adopsi 1. Proses adopsi

“do-feel-learn”

2. Proses adopsi

“learn-feel-do”

3. Proses adopsi

“learn-do-feel”

4. Kuadran mustahil

Perceived Differentiation among Alternatifs Sumber: Kotler and Roberto (1989)

a. Learn-feel-do adoption

Proses adopsi diawali dengan tahap belajar oleh adopter (pelaku adopsi). Proses belajar ini akan menumbuhkan kesadaran adopter.

Keterlibatan yang tinggi dari target sangat diperlukan dalam model adopsi ini. selain itu, target adopter dapat merasakan perbedaan mendasar antara tindakan mengadopsi perilaku dan tidak mengadopsi perilaku secara jelas. Perbedaan tersebut kemudian dapat menimbulkan keterlibatan oleh target adopter sehingga target tergerak untuk melakukan adopsi perilaku.

b. Do-Feel-Learn Adoption

Pada model adopsi ini, target terlebih dahulu melakukan adopsi perilaku yang bersifat sementara. Jika dari hasil percobaan adopsi perilaku tersebut ditemukan kenyamanan atau kebutuhan di dalamnya maka target adopter akan mencari informasi yang lebih jauh mengenai

Tinggi

Rendah

Rendah Involvement

Tinggi

(25)

perilaku yang akan diadopsinya. Informasi yang positif berkaitan dengan adopsi perilaku akan menjadi faktor penguat terhadap target adopter untuk melakukan keputusan final untuk mengadopsi perilaku.

c. Learn-Do-Feel adoption

Pada model adopsi ini, target adopter memilih suatu perilaku untuk diadopsi. Hal yang mendasari target adopter memilih suatu perilaku tersebut disebabkan oleh seringnya informasi yang terkait diterima oleh target adopter. Sehingga target adopter merasa terbiasa dengan perilaku tersebut yang kemudian menyebabkan target adopter mengadopsi perilaku sementara watu walaupun keterlibatannya sangat minim. Jika adopsi perilaku yang dilakukan terasa bermanfaat maka target adopter akan melanjutkan adopsi perilaku.

d. Multipath Adoption

Model ini merupakan hasil penggabungan dari ketiga model lainnya yang mengacu pada perbedaan penting antara kepercayaan maupun kognisi (efek learn), pengaruh (efek feel), dan kemauan (efek do).

Respon dengan keyakinan yang tinggi ataupun rendah serta efek lain dapat ditunjukkan oleh target adopter.

Tingkat keyakinan pada target adopter akan rendah jika ia merasa tidak pasti terhadap hubungan antara keinginan dengan perilaku yang akan diadopsi. Selain itu, jika informasi berkaitan perilaku yang akan diadopsi tidak dapat diterima oleh target adopter maka dapat

(26)

berpengaruh pada rendahnya keyakinan. Jika tingkat keyakinan rendah maka akan menghasilkan pengaruh yang rendah.

Tingkat keyakinan pada target adopter akan tinggi jika target mengalami adopsi secara objektif baik itu langsung ataupun tidak langsung. Cara langsung dapat dilakukan dengan adopsi percobaan atau trial adoption, sedangkan cara tidak langsung dapat dilakukan dengan menyaksikan pengalaman orang lain. Dari pengalaman adopsi secara objektif, target adopter memperoleh tingkat keyakinan yang tinggi terhadap hubungan antara keinginan dan perilaku yang akan diadopsi serta informasi yang lebih dapat diterima.

Adopsi secara objektif dapat membentuk dasar keyakinan yang kuat karena dilakukan secara langsung dengan mata kepala sendiri. Tingkat keyakinan yang tinggi akan menghasilkan tingkat pengaruh yang tinggi pula. Selanjutnya target adopter mungkin secara langsung atau tidak langsung nmelakukan percobaan terhadap adopsi perilaku untuk mencari tahu lebih jauh mengenai perilaku tersebut seselum memutuskan untuk mengadopsi perilaku tersebut secara permanen.

Dalam hal ini, percobaan adopsi atau trial-adoption sangat berperan penting terhadap adopsi perilaku.

Tiga tahapan respons target adopter terhadap perilaku yang akan diadopsi dapat dilihat perbedaannya melalui konsep model multipath adoption sebagai berikut.

(27)

Gambar 2.4

Tahapan Response Adopter terhadap Perilaku yang akan Diadopsi

Sumber : R. E. Smith dan W. R. Swinyard, Information Response Models: An Integrated Approach, Journal of Marketing, 46 (Kotler and Roberto (1989))

3. Perilaku Konsumsi (Perilaku Konsumen)

Pembahasan tentang perilaku konsumsi akan melihat konsumen sebagai pelaku dari perilaku tersebut. Berbagai teori mengani perilaku konsumen pun hadir sebagai tinjauan dalam hal pemasaran. Hal tersebut ditujukan untuk memahami karakteristik konsumen demi usaha dalam penjualan produk baik itu berupa barang maupun jasa (Widyarini, 2014).

a. Perilaku Konsumen

Perilaku konsumen didefinisikan sebagai tindakan-tindakan individu yang secara langsung terlibat dalam usaha memperoleh dan menggunakan barang-barang jasa ekonomi termasuk proses pengambilan keputusan yang mendahului dan menentukan tindakan- tindakan tersebut (Engel dalam Dwiastuti, dkk, 2012).

(28)

Teori lain mengemukakan bahwa perilaku konsumen adalah semua kegiatan, tindakan, serta proses psikologi yang mendorong tindakan tersebut pada saat sebelum membeli, ketika membeli, menggunakan, menghabiskan produk dan jasa setelah melakukan hal-hal diatas atau kegiatan mengevaluasi (Sumarwan, 2003). Sedangkan menurut Loudon dan Della-Bitta (dalam Sumarwan, 2003) perilaku konsumen adalah proses pengambilan keputusan dan aktivitas fisik dalam mengevaluasi, memperoleh, menggunakan, dan menghabiskan barang atau jasa.

Berdasarkan beberapa pandangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa perilaku konsumsi seorang konsumen adalah tindakan individu dalam memilih, membeli, menggunakan dan mengevaluasi produk atau jasa untuk memenuhi kebutuhannya.

b. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Perilaku Konsumen

Kebutuhan yang dirasakan oleh konsumen berasal dari faktor luar diri dan faktor dalam diri konsumen. Faktor dari dalam biasa disebut dengan kebutuhan primer yang meliputi makanan, air, udara, pakaian, rumah, dan seks. Sedangkan faktor dari luar atau kebutuhan sekunder merupakan kebutuhan yang muncul sebagai akibat reaksi konsumen terhadap lingkungan dan budayanya. Kedua faktor inilah yang membentuk perilaku konsumsi pada konsumen yang harus memenuhi kebutuhan primer maupun sekundernya (Dwiastuti, dkk, 2012).

Menurut Marwanti (dalam Suwandi, 2014) di dalam diri manusia terdapat dorongankebutuhan atau hasrat sosial dalam hirarki atau

(29)

urutan. Urutan kebutuhan ituadalah (1) kebutuhan untuk hidup, (2) Kebutuhan untuk memenuhi rasa aman, (3) kebutuhan untuk di akui kelompok, (4) kebutuhan untuk gengsi, dan (5)kebutuhan untuk menonjolkan diri.Kelima urutan kebutuhan tersebut dapat dikaitkan dengan perilaku konsumsi manusia, khususnya pada konsumsi pangan.

Pada tahapan pertama, kebutuhan pangan hanya dipandang sebagai pemenuhan konsumsi satu hari saja. Jika hal ini telah terpenuhi, maka kebutuhan manusia akan meningkat pada tahap pemenuhan rasa aman.

Dalam hal pangan, manusia akan menyimpan makanan agar dapat memenuhi kebutuhan pangannya di hari-hari kedepannya. Apabila tahap kedua juga terpenuhi, maka perilaku konsumsi manusia akan mulai memperhatikan kualitas makanan dan pola konsumsi orang-orang disekitarnya. Untuk mendapat pengakuan dari kelompok, maka manusia harus berinteraksi dengan kelompok tersebut. Hasil interaksi ini akan melahirkan suatu nilai yang berlaku umum dikelompok tersebut. Hal ini juga berlaku pada tahap-tahap selanjutnya, dimana manusia mulai lepas dari kebutuhan dalam dirinya dan lebih memperhatikan kebutuhan yang bersentuhan dengan luar dirinya (Marwanti. dalam Suwandi, 2014).

Perilaku atau tindakan konsumen terdiri dari proses keputusan pembelian, pencarian sumber informasi, melakukan evaluasi alternatif produk, menyeleksi dan pembelian produk yang berakhir dengan tindakan pasca konsumsi produk. Perilaku konsumen dapat dikaji dengan dua pendekatan yaitu pendekatan kognitif dan pendekatan

(30)

perilaku (Dwiastuti, dkk, 2012). Sedangkan konsumsi di bidang pangan, menurut Suhardjo (dalam Suwandi, 2014) model perilaku konsumsi sangat dipengaruhi oleh produksi pangan, sistem distribusi, sistem sosial, ekonomi, politik, dan keadaan rumah tangga yang melahirkan gaya hidup dan nampak dalam bentuk perilaku konsumsi.

Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pembelian konsumen yaitu faktor budaya, faktor sosial, faktor pribadi dan faktor psikologis (Kartikasari et al., dalam widyarini, 2014)

1) Faktor Budaya

Faktor ini meliputi budaya, sub-budaya, dan kelas sosial. Budaya merupakan kumpulan nilai-nilai dasar, persepsi, keinginan dan tingkah laku yang dipelajari oleh seorang anggota masyarakat dari keluarga dan lembaga penting lainnya. Hal tersebut menjadi penentu keinginan dan perilaku yang mendasar. Budaya melengkapi orang dengan rasa identitas dan pengertian akan perilaku yang dapat diterima di dalam masyarakat.

Setiap budaya memiliki sub-budaya yang lebih kecil dan memberikan lebih banyak ciri dan sosialisasi khusus bagi anggota- anggotanya. Hal tersebut mengindikasikan adanya strata sosial dalam masyarakat yang kemudian sering ditemukan dalam bentuk kelas sosial.

(31)

Kelas sosial merupakan pembagian dalam masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang berbagi nilai, minat dan perilaku yang sama. Jenis produk, jasa dan merek yang dikonsumsi oleh konsumen dipengaruhi oleh kelas sosial tersebut.

2) Faktor Sosial

Kelompok referensi, keluarga, peran sosial, dan status merupakan bagian dari faktor sosial yang mempengaruhi perilaku pembelian.

Kelompok referensi merupakan semua kelompok yang memiliki pengaruh langsung atau tidak langsung terhadap perilaku orang tersebut.

Enggel mengategorikan kelompok referensi menjadi beberapa jenis, yaitu sebagai berikut.

a) Kelompok primer dan kelompok sekunder

Kelompok primer adalah kelompok yang seluruh anggotanya telah saling mengenal dan memperlihatkan kesamaan yang mencolok dalam hal kepercayaan dan perilaku. Sedangkan kelompok sekunder adalah kelompok yang interaksinya bersifat lebih sporadik, kurang komprehensif dan kurang berpengaruh dalam membentuk gagasan atau perilaku.

b) Kelompok aspirasi dan kelompok disosiatif

Kelompok aspiratif merupakan kelompok yang di dalamnya terdapat keinginan untuk menggunakan norma, nilai, serta perilaku orang lain. Sedangkan kelompok disosiatif adalah

(32)

kelompok yang nilai-nilai atau norma-normanya berusaha dihindari oleh orang lain.

c) Kelompok formal dan kelompok informal

Kelompok formal merupakan kelompok yang memiliki peraturan yang tegas, organisasi dan struktur dimodifikasi secara tertulis serta hubungan anggotanya didasarkan pada aturan yang telah ditetapkan. Sedangkan kelompok informal adalah kelompok yang memiliki lebih sedikit struktur dan mungkin didasarakan pada persahabatan atau persamaan-persamaan yang dimiliki anggotanya.

Dalam faktor sosial, keluarga juga merupakan lingkupannya.

Keluarga menurut Engel, merupakan kelompok yang terdiri dari dua atau lebih orang yang berhubungan darah, perkawinan, atau adopsi dan tinggal bersama. Latief (2011) mengemukakan bahwa keluarga merupakan organisasi pembelian konsumen yang paling penting dalam masyarakat. Keluarga dikemukakannya terbagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut.

a) Keluarga orientasi

Terdiri dari orang tua yang memberikan arah dalam hal tuntunan agama, politik, ekonomi dan harga diri.

b) Keluarga prokreasi

Terdiri dari suami, istri dan anak sehingga pengaruh pembelian itu akan sangat keras.

(33)

Mangkunegara dalam menganalisis perilaku konsumen mengemukakan bahwa peran faktor keluarga meliputi pihak yang mengambil inisiatif, keputusan, melakukan pembelian dan pemakaian.

3) Faktor Pribadi

Dalam menetukan keputusan pembelian, seorang konsumen dipengaruhi oleh karakteristik pribadi yang meliputi umur dan tahap daur hidup pembeli, pekerjaan, keadaan ekonomi, gaya hidup, kepribadian dan konsep diri yang bersangkutan.

4) Faktor psikologis

Kotler dalam Latief (2011) mengemukakan bahwa terdapat 4 faktor yang mempengaruhi pilihan pembelian seseorang yaitu motivasi, persepsi, pembelajaran, keyakinan dan sikap.

a) Motivasi

Motivasi adalah keadaan di dalam pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan- kegiatan guna mencapai suatu tujuan.

b) Persepsi

Persepsi merupakan proses yang dilalui seseorang dalam memilih, mengorganisasikan dan menginterpretasikan info guna membentuk gambaraqan yang berarti mengenai sesuatu.

(34)

c) Pembelajaran

Pembelajaran merupakan proses perubahan dalam tingkah laku individual yang muncul dari pengalaman.

d) Keyakinan dan sikap

Keyakinan merupakan deskriptif yang dimiliki seseorang mengenai sesuatu. Sedangkan sikap merupakan evaluasi perasaan dan kecenderungan dari seseorang terhadap objek atau ide yang relatif konstan.

B. Tinjauan Umum tentang Pola Konsumsi Balita

Pola konsumsi makan adalah kebiasaan makan yang meliputi jumlah, ferkuensi dan jenis atau macam makanan (Supariasa, dkk, 2002). Secara mikro, faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang balita meliputi kondisi sosial budaya masyarakat, tingkat politik dan pembangunan, serta kebijakan prioritas pelayanan umum. Sedangkan secara makro meliputi karakteristik anak ciri ibu, keadaan sosial ekonomi keluarga, karakteristik demografi, lingkungan fisik keluarga, lingkungan fisik asuhan anak, interaksi pengasuh anak dan stimulasi dalam keluarga (Wardhani, 1992).

Menurut Sutomo B. dan Anggraeni DY. (2010), balita adalah istilah bagi anak usia 1-3 tahun (batita) dan anak prasekolah (3-5 tahun). Kedua kelompok tersebut membutuhkan asupan energi dan zat gizi yang cukup untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Kekurangan gizi pada kelompok umur tersebut dapat mempengaruhi perkembangan

(35)

kognitif balita serta kemampuan dalam berinteraksi dengan lingkungannya (Brown, 2005).

Pertumbuhan selama masa balita baik masa usia batita atupun prasekolah, cenderung tetap namun lebih lambat daripada masa bayi . hal tersebut sejalan dengan penurunan nafsu makan. Pada usia batita, anak bertindak sebagai konsumen pasif karena makanannya masih bergantung pada apa yang disiapkan ibunya. Gigi susunya mulai tumbuh tapi belum dapat digunakan untuk menguyah makanan yang keras. Balita pada usia ini juga mulai memperlihatkan prefernsi makanan dan memperlihatkan ketidaksukaan dan penolakan akan makanan tertentu. Perilaku-perlaku seperti ini disebut food jags. Untuk mengatasinya, para ibu dapat menyajikan makanan yang biasa balita makan bersamaan dengan makanan baru yang akan lebih mudah diterima apabila disajikan saat balita lapar atau bila balita melihat makanan itu ikut dikonsumsi oleh anggota keluarga lainnya. Hal ini dikarenakan balita yang memiliki rasa ingin tau yang cukup tinggi secara alami.

Lain halnya dengan balita usia prasekolah. Mereka juga disebut sebagai picky eater karena hanya mau mengonsumsi makanan yang sama sepajang waktu. Hal ini disebabkan karena anak mulai nyaman dengan makanan tertentu sehingga sangat menyukai jenis makanan tertentu.

Pada masa balita, otak anak akan lebih plastis. Plastisitas otak pada balita akan menimbulkan sisi positif dan sisi negatif. Sisi positifnya, otak balita lebih terbuka dalam hal pembelajaran dan pengkayaan. Sedangkan sisi

(36)

negatifnya, otak balita lebih peka terhadap lingkungan, utamanya lingkungan yang tidak mendukung seperti asupan gizi yang tidak adekuat, kurang stimulasi dan tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai. Pada masa ini pula, perkembangan moral serta dasar-dasar kepribadian anak juga terbentuk, sehigga setiap kelainan/penyimpangan sekecil apapun apabila tidak dideteksi dan ditangani dengan baik, akan mengurangi kualitas SDM dikemudian hari. Masa balita merupakan masa yang sangat pendek dan sanat peka terhadap lingkungannya, oleh karena itu masa balita disebut sebagai masa keemasan dan masa kritis (KEMENKES RI, 2014).

Teori lain menyatakan bahwa secara umum terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi proses tumbuh kembang anak, yaitu sebagai berikut (Soetjiningsih, et al, 2014).

a. Faktor Genetik

Faktor ini merupakan modal dasar yang berperan penting dalam mencapai hasil akhir proses tumbuh kembang anak. Yang termasuk faktor genetik adalah berbagai faktor bawaan yang normal dan patologik, jenis kelamin, suku atau bangsa. Potensi genetik yang baik akan membuah hasil akhir yang optimal dalam tumbuh kebang anak jika berinteraksi dengan likungan yang positif. Gangguan pertumbuhan di negara maju mayoritas disebabkan oleh kelainan kromosom. Sedangkan di negara berkembang, selain dipengaruhi oleh faktor genetik, gangguan

(37)

tumbuh kembang anak juga disebabkan oleh faktor lingkungan yang kurang kondusif.

b. Faktor lingkungan

Lingkungan merupakan yang menetukan tercapai atau tidaknya potensi genetik yang telah ada. Lingkungan yang baik akan memungkinkan tercapainya potensi genetik, sedangkan lingkungan yang tidak baik akan menghambatnya.

Dari segi umur, balita yang bertumbuh dan berkembang adalah golongan yang paling rawan KEP, hal tersebut dikarenakan (Santoso, 2004, Arisman, 2004, dalam Jafar, 2010):

a. Kemampuan saluran pencernaan anak yang tidak sesuai dengan jumlah volume makanan yang mempunyai kandungan gizi yang dibutuhkan anak.

b. Kandungan gizi kebutuhan anak per-satuan berat badan lebih besar dibandingkan orang dewasa karena disamping untuk pemeliharaan juga diperlukan untuk pertumbuhan.

Bahan makanan yang dikonsumsi bayi sejak usia dini merupakan fondasipenting bagi kesehatan dan kesejahteraannya di masa depan. Dengan kata lain, kualitas sumber daya manusia (SDM) hanya akan optimal, jika gizi dan kesehatan pada beberapa tahun kehidupannya di masa balita baik dan seimbang (Fajar, 2010).

(38)

C. Tinjauan Umum tentang Konsumsi Mi Instan

Mi adalah adonan tipis dan panjang yang telah digulung, dikeringkan, dan dimasak dalam air mendidih. Mi terbuat dari berbagai macam jenis tepung, seperti tepung terigu, tepung beras, tepung kanji, dan tepung kacang hijau. Namun, tepung yang dominan dipakai adalah tepung terigu. Telah banyak bangsa yang mengkalim sebagai pencipta mi, namun tulisan tertua mengenai mi berasal dari dinasti Han Timur, antara tahun 25 dan 220 M.

Pada oktober 2005, mi tertua yang diperkirakan berusia 4.000 tahun ditemukan di Qinghai, Tiongkok (Handayani, et al., 2011).

Pada saat ini mi telah dikenal diberbagai negara termasuk Indonesia.

Pembuatan mi juga telah modern dan dapat dilakukan secara kontinu. Salah satu jenis mi yang ada didunia berdasarkan tahap pengolahan dan kadar airnya adalah mi instan (Koswara, 2009). Mi instan adalah produk makanan kering yang dibuat dari tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan makanan yang diizinkan, berbentuk khas mi dan siap dihidangkan setelah dimasak atau diseduhdengan air mendidih paling lama 4 menit (SNI 01-3551-2000). Mi ini diolah dengan penambahan beberapa proses setelah diproses menjadi mi segar. Tahap tersebut adalah pengukusan, pembentukan dan pengeringan. Mi instan termasuk makanan dengan daya simpan yang lama karena kadar air mi instan umumnya hanya 5-8% (Astawan, dalam Wandasari, 2014).

Mi instan merupakan salah satu makanan siap saji yang dikemas, mudah disajikan, praktis dan diolah dengan cara sederhana. Makanan

(39)

tersebut umumnya diproduksi oleh industri pangan dengan teknologi dan penambahan berbagai zat adiktif untuk mengawetkan dan memberikan cita rasa bagi produk tersebut (Fahmi, dalam Sarkim, 2010). Berikut adalah syarat mutu mi instan menurut SNI.

Tabel 2.1

Syarat Mutu Mi Instan

No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1. Keadaan Tekstur Aroma Rasa Warna

- - - -

Norma/dapat diterima Norma/dapat diterima Norma/dapat diterima Norma/dapat diterima

2. Benda asing - Tidak boleh ada

3. Keutuhan %bb Min. 90

4. Kadar air Proses

penggorengan Proses pengeringan

%bb

%bb

Maks. 10,0 Maks. 14,5 5. Kadar protein

Mi dari terigu Mi bukan dari terigu

%bb

%bb

Min. 8,0 Min. 4,0

6. Bilangan asam Mg KOH/Hg minyak Maks. 20

7. Cemaran logam Timbal (Pb) Raksa (Hg)

mg/kg mg/kg

Maks. 20 Maks. 0,05

8. Arsen (As) mg/kg Maks. 0,5

9. Cemaran mikroba Angka lempengan total

E.coli Salmonella Kapang

Koloni/g APM/g Koloni/g

Maks. 1,0 x

< 3 Negatif per 25 g Maks. 1,0 x Sumber: SNI 01-3551-2000

Mi instan umumnya berbentuk gelombang. Bentuk gelombang tersebut berfungsi untuk memaksimalkan proses pengukusan dan penggorengan. Pada proses penggorengan mi pada minyak yang panas akan

(40)

membuat kandungan air dalam mi tersebut menguap dan mengubah struktur bagian dalam mi instan menjadi berlubang-lubang (Asthami, N., dkk, 2016).

Harga yang terjangkau dari mi instan membuat konsumennya beragam, bukan hanya dari kalangan ekonomi atas, bahkan keluarga miskin juga menjadi pelaku konsumsi. Sebagaimana penelitian Handayani (2004) yang mengungkapkan bahwa frekuensi konsumsi mi instan pada sebagian besar keluarga miskin (40%) adalah 3x/minggu, sedangkan frekuensi konsumsi mi instan pada keluarga tidak miskin memiliki persentase yang sama antara 2x/minggu dan 3x/minggu yaitu 30%. Hanya terdapat 5% rata- rata kontribusi energi dari mi instan terhadap kecukupan energi keluarga miskin per kapita, sedangkan pada keluarga tidak miskin sebesar 4%.

Umumnya, baik keluarga miskin ataupun sebaliknya mengonsumsi mi instan pada malam hari. Sedangkan yang mengonsumsi mi instan pada siang hari oleh keluarga miskin sebesar 3,3% dan 27,8% keluarga tidak miskin melakukan hal yang sama. Mi instan yang semua keluarga miskin konsumsi dibeli secara eceran. Sedangkan pada keluarga tidak miskin dibeli eceran (73,3%) dan jumlah banyak sebagai persediaan (26,7%).

Makanan instan ini mulai diproduksi secara khusus dan ditujukan

untuk konsumen anak-anak seperti produk my noodlez produksi PT. Indofood yang ditujukan untuk anak-anak berumur 6-12 tahun, juga

berupa produk MP-ASI yang berbentuk mi instan. Komposisi gizi dalam mi instan tersebut berbeda dengan komposisi gizi mi instan pada umumnya.

Namun, harga mi instan untuk anak-anak ini tergolong mahal sehingga tidak

(41)

semua golongan masyarakat mampu membeli mi tersebut. Oleh karena itu, masyarakat yang tidak dapat membeli mi tersebut lebih memilih mi instan pada umumnya untuk diberikan kepada anak-anaknya (Wandasari, 2014).

D. Hasil-Hasil Penelitian Terkait Topik Penelitian

Adapun beberapa penelitian yang pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya tentang topik penelitian ini adalah sebagai berikut.

(42)

32 1. Fachruddin

Perdana/

2013

Analisis Jenis, Jumlah, dan Mutu Gizi Konsumsi Sarapan Anak Indonesia

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional.

Untuk

menganalisis jenis, jumlah, dan mutu gizi konsumsi sarapan anak Indonesia usia 3-12 tahun.

 Bahwa sepuluh jenis makanan yang paling banyak dikonsumsi selama sarapan adalah nasi, kangkung, telur ayam, ikan, tempe, mi instan, tahu, roti, daging ayam, dan biskuit;

 Lima jenis minuman yang paling banyak dikonsumsi selama sarapan adalah air putih, teh, susu, kopi, dan sirup. Makanan yang dikonsumsi dengan rata-rata lebih dari 5 g/hari selama sarapan adalah nasi, kangkung, telur ayam, ikan, tempe, dan mie instan.

Perbedaan terletak

pada metode

penelitian yang digunakan. Fokus penelitian Fachruddin juga meluas pada seputar sarapan anak.

(43)

33

 Minuman yang dikonsumsi dengan rata-rata lebih dari 15 ml/hari selama sarapan adalah air putih, teh, dan susu.

 Hanya 10.6% dari sarapan anak yang mencukupi asupan energi>30%.

2. Nurcahyo Tri Arianto/2013

Pola Makan Mi Instan : Studi Antropolgi Gizi pada Mahasiswa Antropologi FISIP UNAIR

Penelitian kualitatif yang dilakukan dengan cara pengamatan berpartisipasi dan

wawancara mendalam

Untuk mengkaji pengaruh aspek sosial budaya terhadap pola makan mi instan, yang berkaitan dengan

pengetahuan, nilai, kepercayaan, alasanyang mendasari serta perubaan yang

 Nilai-nilai pada mahasiswa yang mengolah dan mengkonsumsi mi istan adalah: kreatif, sosial, ekonomi, dan bersih.

 Mahasiswa percaya bila makan mi instan dapat menghindari resiko kegemukan maupun kolesterol.

 Terdapat 6 variasi pola makan mi instan menurut waktu (kuantitas) serta 3 variasi pola makan mi instan menurut kualitas. Mahasiswa mengkonsumsi mi instan pada pagi

Objek penelitian ini adalah mahasiswa dengan fokus penelitian pada aspek sosial budaya yang mempengaruhi pola makan.

Sedangkan objek penelitian penulis adalah ibu yang memberikan mi instan untuk

(44)

34

terjadi. dan malam hari. dikonsumsi oleh

balitanya.

3. Nurul Wandasari/

2013

Hubungan

Pengetahuan Ibu tentang Mie Instan dan Perilaku

Konsumsi Mie Instan pada Balita di RW. 04 Perumahan Villa Balaraja

Kabupaten Tangerang.

Penelitian analisis kuantitatif dengan desain studi cross- sectional.

Untuk mengetahui hubungan antara Pengetahuan Ibu tentang Mie Instan dan Perilaku Konsumsi Mie Instan pada Balita

di RW. 04

Perumahan Villa Balaraja Kabupaten Tangerang.

 Hasil penelitian menunjukkan bahwa penegtahuan ibu tentang mie instan di RW. 04 perumahan villa Balaraja kabupaten Tangerang tahun 2013 sebagian besar kurang baik.

 Perilaku ibu dalam memberikan mie instan pada balita di RW. 04 perumahan villa Balaraja kabupaten Tangerang tahun 2013 sebagian besar tidak baik.

 Ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu tentang mie instan dengan konsumsi mie instan pada balita di RW. 04 perumahan villa Balaraja kabupaten Tangerang.

Perbedaannya

terletak penggunnan metode penelitian.

Fokus dari

penelitian

Wandasari juga berfokus pada pengetahuan ibu, sedangkan fokus penelitian penulis adalah perilaku ibu.

(45)

35 4. Rolavensi

Djola/2012

Hubungan antar tingkat

Pendapatan Keluarga dan Pola Asuh dengan Status Gizi Anak Balita di Desa Bongkudai

Kecatan Modayag Barat.

Penelitian ini observasional analitik dengan rancangan cross sectional.

Untuk mengetahui hubungan antara tingkat pendapat keluarga dan pola asuh dengan status gizi anak balita di Desa Bongkudai Kecamatan Mondayag Barat.

 Hasil Penelitian dengan menggunakan pengukuran BB/U sebagian besar status gizi anak balita baik (61,5%).

 Tidak ada hubungan antara tingkat pendapatan keluarga dengan status gizi.

 Tidak ada hubungan antara sikap memberi makan dan merawat anak dengan status gizi.

 Ada hubungan antara praktek pemberian makan dan merawat anak dengan status gizi.

Berbeda pada metode yang digunakan dan fokus penelitian Djola pada hubungan antara tingkat pendapatan dan sikap serta praktik pemeberian makanan pada anak.

5. Eka Pranata Suwandi/

2014

Perilaku Konsumsi

Makanan Instan Pada Siswa Kelas XI Jasa Boga Sekolah

Menengah

Kejuruan Negeri

Merupakan jenis penelitian kuantitatif.

Untuk mengetahui tingkat

pengetahuan, sikap dan tindakan siswa Kelas

XI Jasa Boga konsumsi makanan instan seperti

 Aspek pengetahuan makanan instan besaran skor nilai siswa berada di atas nilai rerata, dengan jumlah siswa 39 dan di bawah nilai rerata sejumlah 19, maka dapat disimpulkan bahwa

Peneliti juga meneliti perilaku konsumsi mi instan, namun

penelitian Eka melihat perilaku

(46)

36

3 Klaten sarden, nugget,

kentang goreng dan Mie instan.

pengetahuan siswa berada pada kategori cukup dengan presentase sebesar 67%. Berdasarkan data kelas interval frekuensi tebanyak terdapat pada kelas interval 68-73 dengan 38%

 Aspek sikap siswa dalam mengkonsumsi makanan instan termasuk dalam kategori cukup dengan presentase 83%.

 Aspek tindakan pola perilaku siswa dalam mengkonsumsi makanan instan termasuk tinggi.

SIswa kelas XI, sedangkan penulis melihat perilaku ibu dalam memberikan konsumsi mi instan pada balitanya.

6. Ujang Sumarwan/

2001

Analisis Citra Merek dan Perpindahan Merek pada Produk Mi Instan

Menggunakan desain cross sectional study.

Untuk menganalisa perilaku pembelian mi instan, persepsi konsumen terhadap berbagai merek mi

 Tidak semua responden meyebutkan merek yang digunakan sekarang sebagai merek yang palig diingat.

 Salah satu merek yang diuji cobakan oleh peneliti dalam penelitiaan ini

Penelitian Ujang yang berfokus pada citra merek mi instan menggunakan desai cross sectional.

(47)

37 instan dan tingkat

keterikatan

konsumen terhadap suatu merek mi instan.

mempunyai tiga asosiasi yang membentuk brand image yaitu harga terjangkau, kemudahan mendapat dan rasanya yang enak.

Berbeda

denganpenelitian penulis yang

menggunakan metode kualitatid dengan pendekatan fenomenologi.

7. Mardiana/

2006

Hubungan Perilaku Gizi ibu dengan Status Gizi Balita di Puskesmas Tanjung Beringin Kecamatan Hinai Kabupaten Langka Tahun 2005

Penelitian yang bersifat deskriptif analitik melalui pendekatan cross sectional.

Untuk mengetahui gambaran

hubungan perilaku gizi ibu dengan status gizi balita.

 Hasil penelitian menunjukkan bahwa status gizi balita baik 72,4%, status gizi balita kurang 25,2 %, dan status gizi balita buruk 1,2% dan status gizi balita lebih 1,2%.

 Ada hubungan antara pengetahuan ibu dengan status gizi balita.

 Ada hubungan yang signifikan antara tindakan ibu dengan status gizi balita.

 Tidak terdapat hubungan yang

Objek penelitian penulis dengan Mardiana sama-sama ibu balita. Namun variabel yang digunakan berbeda.

(48)

38 signifikan antara sikap ibu dengan

status gizi balita.

8. Lestari/2013 Pengaruh

Pemberian Makan Balita dan

Pengetahuan Ibu Terhadap Status Gizi Balita di Kelurahan Meteseh Kecamatan Tembalang Kota Semarang

Penelitian Kuantitatif dengan menggunakan desain cross sectional

Untuk mengetahui pengaruh praktik pemberian makan balita dan

pengetahuan ibu terhadap status gizi balita .

 Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktek pemberian makan balita sebagian besar (53,7%) tidak baik.

 Penegtahuan ibu balita 75,6% baik, penegtahuan ibu sedang 19,5% dan 4,9% berpengetahuan rendah.

 Status gizi balita di Kelurahan Meteseh, 36,6% baik, 51,2% kurang dan 12,2% status gizi buruk.

 Ada hubungan antara praktik pemberian makan balita dengan status gizi balita.

 Tidak ada hubungan antara penegtahuan ibu dengan status gizi balita.

Lestari menggunakan metode kuantitatif, berbeda dengan

penulis yang

mengguakan

kualitatif. Fokus penelitian hampir sama dengan penulis, hanya saja penulis lebih memfokuskan pada perilaku dan pemberian mi instan pada balita.

(49)

39 9. Linda

Sarkim/ 2010

Perilaku Konsumsi Mie Instan pada Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Undana Kupang yang Tinggal di Kos Wilayah Naikoten

Menggunakan penelitian deskriptif

Untuk mengetahui perilaku konsumsi mi instan pada mahasiswa FKM Undana Kupang yang Tinggal di Kos Wilayah Naikoten

 Sebagian besar responden mengonsumsi mi instan maksimal 1 kali dalam seminggu dan menyajikannya dalam satu kali makan.

 Responden terbanyak mengonsumsi mi instan sebagai snack atau di luar waktu makan utama.

 Cara penyajian mi terbanyak adalah dalam bentuk mi goreng.

 Sebagian besar menambahkan variasi menu saat mengonsumsi mi instan.

Perbedaannya

terletak pada objek penelitian dan fokus penelitian. Jenis

metode yang

digunakan juga berbeda.

(50)

E. Kerangka Teori

Fenomena perilaku ibu dalam memberikan mi instan untuk dikonsumsi oleh balitanya merupakan hasil dari sebuah adopsi perilaku. Adopsi perilaku ini dapat terjadi jika ada penerimaan terhadap informasi dari lingkungan sekitarnya yang menjadi alasan untuk mengadopsi perilaku. Kotler dan Roberto mengemukakan bahwa terdapat 3 tahap dalam teori ini yaitu tahap belajar (learn), tahap merasakan (feel), dan tahap tindakan (do) yang terbagi atas dua yaitu percobaan (trial-do) dan memutuskan melakukan (commited do).

a. Tahap belajar (Learn)

Pada tahap ini, seseorang memperoleh pengetahuan dalam bentuk informasi mengenai sesuatu. Misalnya seorang ibu balita melihat iklan pemberian mi instan kepada balita di TV.

Tahap ini dapat berlanjut jika pengetahuan tersebut dapat menimbulkan keyakinan tinggi mengenai hal tersebut. Namun jika informasi tersebut tidak meyakinkan, maka proses yang dilalui adalah tahap percobaan atau trial-do.

b. Tahap merasakan (Feel)

Tahap ini berkaitan dengan keyakinan adopter mengenai dampak dari perilaku yang akan diadopsinya.

c. Tahap melakukan (Do)

Terbagi atas trial-do(percobaan) dan commited-do (memutuskan). Tahap trial- do merupakan tahap dimana adopter mencoba dan memastikan keyakinannya

(51)

terhadap apa yang akan diadopsinya. Jika adopter memiliki kesan yang baik pada tahap ini, maka akan dilanjutkan pada tahap feel.

Sedangkan tahap commited-do adalah tahap dimana adopter telah memutuskan untuk mengadopsi perilaku yang telah dibuktikan dan memberikan keyakinan tinggi kepada adopter.

Gambar 2.5

Kerangka Teori Multipath Adoption Process

Sumber : R. E. Smith dan W. R. Swinyard, Information Response Models: An Integrated Approach, Journal of Marketing, 46 (Kotler dan Roberto (1989))

(52)

BAB III

KERANGKA KONSEP A. Dasar Pemikiran Variabel yang Diteliti

Secara umum, ibu adalah tokoh yang berperan penting dalam hal mengasuh dan menyiapkan makanan yang akan dikonsumsi oleh keluarga termasuk balitanya. Balita adalah masa anak mulai memunculkan kemandiriannya. Dalam hal makanan pun anak balita bertindak sebagai konsumen aktif. Oleh karena itu, balita sering kali memilih-milih makanan yang ingin dikonsumsinya. Untuk mengatasi masalah tersebut, ibu sering kali memberikan mi instan yang merupakan salah satu makanan yang disukai oleh mayoritas balita.

Berdasarkan hasil penelitian, mi instan mengandung karbohidrat dalam jumlah besar, tetapi sedikit kandungan protein, vitamin dan mineral. Selain itu, salah satu makanan instan ini juga mengandung Monasodium Glutamat (MSG) yang jika dikonsumsi di atas takaran normal dapat menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan, terlebih lagi bagi balita yang merupakan golongan paling rawan KEP.

Proses adopsi perilaku ibu dalam memberikan mi instan untuk dikonsumsi balitanya melalui berbagai tahapan. Tahapan tersebut terdiri dari tahaplearn, tahapfeel, dan tahapdo (trial-do dan commited-do). Tahaplearn adalah tahap diperolehnya pengetahuan. Sedangkan tahapfeel adalah tahap dimana adanya penentuan sikap. Hasil dari proses learn yang tidak meyakinkan akan membuat adopter maju ke tahap trial-do. Sedangkan hasil dari tahap learnyang meyakinkan

41

(53)

adopter dan begitu pun dengan tahap trial-do yang menunjukkan adanya perbedaan akan membuat adopter maju ke tahap feel. Apabila adopter pada tahap feelmenemukan penilaian yang baik maka adopter akan maju ke tahap commited- do.Hasil dari tahap learn, feeldan trial-doakan menunjukkan alasan-alasan ibu memberikan mi instan untuk dikonsumsi oleh balita. Sedangkan berbagai macam praktik dapat diketahui dengan mengamati tahapan do. Ketiga tahap ini (tahap learn, feeldan do) dapat membentuk urutan yang beragam sesuai dengan pengalaman yang dialami oleh masing-masing ibu.

B. Kerangka Variabel yang Diteliti

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

Sumber: Dimodifikasi dari The Multipath Adoption Process. Disusun berdasarkan R. E.

Smith dan W. R. Swinyard, “Information Response Models: Ann Integrated Approach”, Journal of Markleting, 46 (Kotler and Roberto, 1989).

(54)

C. Definisi Konseptual 1. Definisi Istilah

a. Perilaku Ibu dalam Pemberian konsumsi Mi Instan pada Balita

Ialah upaya yang dilakukan ibu dalam memberikan mi instan pada balitanya.

b. Mi Instan

Adalah produk makanan instan yang terbuat dari tepung terigu, berbentuk khas mi dan diolah dengan atau penambahan bahan makanan lain kemudian dikemas.

c. Belajar (Learn)

Learn merupakan suatu tahapan pada ibu ketika memperoleh pengetahuan berupa informasi mengenai mi instan ataupun praktik pemberian konsumsi mi instan pada balitanya. Tahap ini dapat berlajut ke proses feel jika ibu balita memiliki keyakinan yang tinggi terhadap pengharapannya mengenai pemberian konsumsi mi instan pada balitanya. Sebaliknya, jika keyakinan itu rendah, maka proses yang dilalui adalah tahap trial-do atau tahap percobaan.

d. Merasakan (feel)

Merupakan tahap yang berkaitan dengan keyakinan ibu balita mengenai hasil dan konsekuensi dalam memberikan mi instan untuk dikonsumsi oleh balitanya. Tahap feel akan memberikan gambaran mengenai alasan-alasan ibu memberikan mi instan pada balitanya.

(55)

e. Tindakan (do)

Tahap ini terbagi menjadi trial-do dan commited-do. Trial-do merupakan suatu tahap ketika ibu balita mencoba memberikan mi instan untuk dikonsumsi balitanya untuk memastikan keyakinannya terhadap perilaku konsumsi mi instan pada balitanya. Tahap ini dapat dilakukan berulang kali hingga ditemukannya perbedaan ketika percobaan pemberian konsumsi mi instan yang berpengaruh pada sikap, kemudian dilanjutkan pada tahap feel.

Sedangkan commited-do adalah tahapan ibu balita memberikan mi instan untuk dikonsumsi balitanya secara terus-menerus setelah yakin dan puas terhadap aktivitas pemberian konsumsi mi instan pada balita. Tahap doadalah tahap praktik yang disebabkan oleh hasil dari kedua tahap sebelumnya.

(56)

BAB IV

METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif.

Penelitian kualitatif adalah multi metode dalam fokusnya menyangkut suatu penafsiran, pendekatan naturalistik (alamiah) terhadap materi subyeknya. Dengan kata lain, peneliti melakukan studi pada seseorang dalam keadaan alamiahnya.

Penelitian ini menafsirkan suatu masalah dengan pengertian orang yang diselidikinya (Wijono, 2007).

Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi. Menurut Sumantri, fenomenologi merupakan rancangan penelitian yang digunakan untuk melihat lebih dekat segala pengalaman dari aktivitas sehari-hari yang terlihat biasa dengan maksud untuk „merasakan‟ referensi seseorang atau untuk melihat dunia melalui sudut pandang orang lain (Sandriana, 2014).

B. Waktu dan Lokasi Penelitian 1. Waktu Penelitian

Penelitian ini terlaksan pada bulan Agustus 2017 sampai bulan September 2017 yang meliputi persiapan, pengumpulan data, serta pengolahan dan analisis data beserta evaluasi kegiatan penelitian.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi Kecamatan Turikale yang merupakan wilayah penemuan balita status gizi buruk terbanyak di Kabupaten Maros. Setelah

45

(57)

melakukan kunjungan ke Puskesmas Turikale diperoleh informasi dari TPG Puskesmas Turikale bahwa Kelurahan yang memiliki jumlah balita berstatus gizi buruk terbanyak yaitu sebesar 25% adalah Kelurahan Turikale. Kelurahan ini memiliki 3 posyandu sedangkan penelitian ini fokus pada salah satu posyandu yaitu Posyandu Bahagia yang terletak di Jl. Reda Beru, Kelurahan Turikale, Kecamatan Turikale. Pemilihan spesifikasi tempat penelitian ini berdasarkan arahan dari bidan yang bertugas di wilayah Kelurahan Turikale.

C. Penentuan Informan Penelitian

Pemilihan informan pada penelitian ini tidak diarahkan pada jumlah tetapi berdasarkan pada asas kesesuaian dan kecukupan hingga memperoleh informasi yang berulang. Informan pada penelitian ini ditentukan sesuai dengan karakteristik yang telah ditentukan. Hal ini dilakukan agar informan benar-benar dapat mewakili terhadap fenomena yang diteliti (Poerwandari, 2005 dalam Saryono, 2011).

Penelitian ini menggunakan metode purposive sampling. Menurut Sugiyono (2013), purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini, misalnya orang tersebut yang dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan, atau mungkin dia sebagai penguasa sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi objek/situasi sosial yang diteliti.

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian kali ini aplikasi menggunakan algoritma sekuensial yang diharapkan dapat membuat hasil penjadwalan lebih efisien, karena dapat membuat jadwal berdasarkan

Hal ini juga berarti bahwa organisasi dalam area-area tersebut mengambil keputusan dengan lebih cepat daripada apa yang para manajer dapat memonitor atau

Untuk mengatur format naskah Anda dapat menggunakan toolbar Formating dengan terlebih dahulu mengaktifkan menu Home, berikut keterangannya :..

Hasil penelitian Analisis Teknik Tendangan Yang Efektif Dalam Pertandingan Taekwondo Kejuaraan Mahasiswa Nasional Piala Rektor ITS Tahun 2012 adalah : Atlet taekwondo

Yang termasuk waqaf lazim ditunjukkan pada nomor… A. Perhatikan 8 ayat dari QS. A-Tin yang belum berurutan di bawah ini dengan cermat!.. Urutan yang tepat ayat-ayat di atas

Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 13 Tahun 2013 tentang Pedoman Tata Cara Pengadaan Barang/Jasa di Desa (Berita Negara

Easton Park Apartment Serpong adalah proyek apartemen baru di Serpong BSD yang akan dibangun oleh Kalmar Land developer yang telah sukses mengembangkan proyek-proyek perumahan

3 Hasil evaluasi dan tindak lanjut terhadap sosialisasi tujuan, sasaran, dan tata nilai... Isi Kriteria : Penanggung jawab UKM Puskesmas bertanggung jawab terhadap pencapaian