• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Pajak. Umum dan Tata Cara Perpajakan menjelaskan bahwa Pajak adalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Pajak. Umum dan Tata Cara Perpajakan menjelaskan bahwa Pajak adalah"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

15 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Pajak

1. Pengertian Pajak

Dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjelaskan bahwa “Pajak adalah kontribusi Wajib Pajak kepada Negara yang terutang oleh Orang Pribadi atau Badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.1 Pajak merupakan kontribusi wajib yang dibebankan oleh negara serta dapat dipaksakan bagi setiap Wajib Pajak.

Pembahasan mengenai pengertian pajak, para ahli juga banyak berpendapat dengan memberikan sebuah batasan tentang definisi pajak.

Diantaranya menjelaskan sebagai berikut:2

a. Soemitro mendefinisikan pajak sebagai iuran rakyat kepada kas negara yang merujuk pada UU serta dapat diambil secara paksa tanpa adanya timbal balik (kontraprestasi) secara langsung yang berfungsi untuk membayar pengeluaran umum.

1 Undang-undang No. 16 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

2 Waluyo, op.cit, hlm. 2-3.

(2)

16 b. Smeets mendefinisikan pajak sebagai suatu prestasi yang di peroleh pemerintah melalui norma-norma umum yang dapat dipaksakan, tanpa adanya suatu timbal balik yang bersifat pribadi, untuk membiayai keperluan pemerintahan.

Selain beberapa definisi dari para ahli diatas, adapun Islam juga memiliki pengertian tersendiri mengenai pajak. Definisi Pajak menurut Islam atau dalam bahasa arab disebut sebagai Al-Dharibah, yang berarti beban. Hal ini dikatakan beban karena merupakan kewajiban tambahan atas harta setelah zakat. Oleh karena itu, hal tersebut dikatakan beban, karena dalam pelaksanaannya menjadi terasa seperti beban, karena akan dikenakan setelah pembayaran zakat. Apabila diperhatikan dengan seksama, dimasa Nabi besar Rasulullah SAW praktek perpajakan juga pernah diterapkan dalam realitas historis perjalanan umat manusia.

Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pajak adalah iuran wajib yang dipungut dari individual seseorang atau badan kepada negara yang aturan pelaksanaannya memiliki sifat memaksa tanpa adanya timbal balik secara langsung yang aka di rasakan karena digunakan untuk kepentingan umum.

2. Tinjauan Hukum Pajak

Pajak merupakan suatu hal yang diatur dalam undang-undang.

Dikarenakan Indonesia adalah negera hukum, maka setiap hal yang

(3)

17 terjadi mengenai kekuasaan maupun jalannya roda pemerintah harus dijalankan atas dasar hukum sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 1 ayat 3. Selain dari pasal tersebut, terdapat pula dasar hukum yang digunakan pemerintah dalam pasal 23A dalam UUD 1945 mengenai perpajakan.3 Dalam perjalanan hingga sampainya suatu rancangan reformasi perpajakan nasional, pemerintah bersama dengan DPR berhasil membuat suatu produk hukum pajak dengan menghasilkan beberapa undang-undang perpajakan. Pada mulanya, tercipta UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, kemudian diperbaruhi dengan UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, lalu ditambah lagi dengan UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta UU No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, hingga terbit UU No.13 tentang Bea Meterai.

Selain UU diatas, dilakukan suatu pembaharuan yang tak hentinya-hentinya kembali di lakukan guna memaksimalkan produk hukum yang dapat mengatur mengenai perpajakan. Maka di tahun 1994 dan 1997 diundangkan UU No.17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak, dan UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, serta UU No. 19 Tahun 1997

3 Waluyo, op.cit, hlm 5.

(4)

18 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, hingga UU No. 20 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Pada masa reformasi, dilakukan pembaharuan kembali, dengan menyesuaikan perkembangan dan pertumbuhan ekonomi negara, maka terhadap undang-undang perpajakan ini lahirlah UU No.16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, UU No. 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan, UU No. 18 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, UU No. 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dan UU No. 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, hingga pada tahun 2009, dibentuk juga UU tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Begitupun di tahun 2007, diadakan pembaharuan terhadap UU KUP menyusul dengan diterapkannya UU Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008 yang diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 2009.

Kemudian diterapkan di tahun 2009 lahir UU No. 42 tentang Pajak Penambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang berlaku mulai 1 April 2010, sebagai perubahan yang ketiga kalinya.

Dalam memaksimalkan serta memperbaiki UU sebelumnya, pemerintah menerbitkan pula Undang-Undang di tahun 2016 yaitu UU No. 11 tentang Pengampunan Pajak yang berlaku sejak 1 Juli 2016. Hingga pada tahun 2020, dimasa pandemic pemerintah memberlakukan Peraturan Pemerintah Penganti UU tentang

(5)

19 Kebijakan Keuangan dan Stabilisasi Sistem Keuangan untuk menangani Pandemi dimasa tersebut. Pandemi COVID-19 memang menjadi sebuah cobaan kepada siapapun, termasuk kepada penerimaan negara. Melihat kondisi tersebut, maka pemerintah langsung mengambil tindakan cepat dengan kemudian melahirkan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang juga mengatur terkait dengan perpajakan. Hingga kemudian keseluruhan dari ketetapan peraturan perundang-undangan ini melahirkan dasar hukum dalam pemungutan pajak.

Setelah perjalanan panjang mengenai peraturan perpajakan nasional, pemerintah kembali melakukan suatu transformasi sarana perundang-undangan dengan melahirkan UU No.7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Diharapkan dengan adanya peraturan ini pemerintah mampu untuk memperbaiki defisit anggaran dan peningkatan rasio pajak (tax ratio) melalui penerapan kebijakan reformasi administrasi perpajakan yang mengedepankan prinsip keadilan dan kepastian. Adapun kelahiran dari UU ini telah mengubah beberapa ketentuan UU antara lain: UU No. 6 Tahun 1983 disertai dengan perubahannya, UU Nomor 7 Tahun 1983 disertai dengan perubahannya, UU No. 8 Tahun 1983 beserta perubahannya, UU No. 11 Tahun 1995 yang diubah dengan UU No. 39 Tahun 2007, serta mencabut tentang Kebijakan

(6)

20 Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi, dengan UU Nomor 2 Tahun 2020.

Berdasarkan uraian diatas, terlihat jelas perjalanan panjang reformasi Undang-Undang perpajakan, yang tak henti-hentinya terus dibenahi sejalan dengan arus perkembangan zaman. Dengan melihat beberapa penyesuaian serta pembaharuan-pembaharuan tersebut, tentunya pemerintah berharap agar tujuan negara dalam hal perpajakan dapat berjalan maksimal sesuai dengan cita-citanya yaitu

“untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

3. Cara Pemungutan Pajak

Sistem pemungutan pajak terbagi menjadi 3 (tiga) macam, diantaranya:4

1. Official assesment system

Sistem ini menjelaskan tentang pemungutan pajak yang akan digunakan untuk menentukan jumlah pajak bagi wajib pajak yang telah di tentukan dari pihak pemerintahan.

2. Self assesment system

Menjelaskan tentang sistem pemungutan pajak guna menentukan jumlah pajak bagi wajib pajak yang di tentukan oleh Wajib pajak itu sendiri.

4 Kiki Arumawati, op.cit, hlm 3.

(7)

21 3. With holding system

Merupakan sistem pemungutan pajak untuk menentukan jumlah pajak terutang Wajib Pajak yang ditetapkan oleh pihak ketiga.

4. Fungsi Pajak

Pajak memiliki fungsi yang sangat penting dan dapat dikatakan sebagai hal yang fundamental dalam kehidupan bernegara terutama dalam pelaksanaan pembangunan, karena pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Sebagaimana pengertian dan definisi pajak menurut Waluyo dalam buku Perpajakan Indonesia, menerangkan bahwa pajak memiliki dua jenis, yaitu sebagai penjelasan berikut.5

1. Fungsi Penerimaan (Budgeter)

Salah satu fungsi dari Pajak yaitu sebagai sumber dana yang dipergunakan bagi pembiayaan pengeluaran pemerintah. Salah satunya, untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan menjalankan pembangunan. Negara secara tidak langsung membutuhkan anggaran. Anggaran ini yang kemudian diperoleh dari penerimaan pajak. Selain itu, untuk pembiayaan pembangunan juga diharapkan didapatkan dari sekor pajak.

5 Ibid, hlm. 6

(8)

22 2. Fungi Mengatur (Reguler)

Kemudian ada pula fungsi Pajak sebagai sarana untuk mengatur atau menjalankan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi. Sebagai contoh: dikenakannya pajak yang lebih tinggi terhadap minuman beralkohol. Begitupun terhadap barang mewah.

3. Fungsi Stabilitas

Dalam hal ini, dengan adanya pajak pemerintah mempunyai dana untuk melaksanakan kebijakan yang berkorelasi dengan stabilisasi harga sehingga inflasi-inflasi dapat terkendali, hal ini bisa diwujudkan dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak, yang efektif dan efisien.

Selain dari ketiga fungsi diatas ada fungsi lain dari Pajak, yaitu “Fungsi Redistribusi/ Pemerataan/ Penyaluran kembali.”

Retribusi memiliki hubungan langsung dengan kembalinya prestasi, karena pembayaran tersebut ditujukan semata-mata untuk mendapatkan suatu prestasi dari pemerintah. Contohnya adalah pembayaran uang kuliah dan karcis untuk masuk terminal.6

B. Tinjauan Umum Tentang Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) NPWP merupakan nomor identitas wajib pajak dalam melaksanakan transaksi perpajakannya. Jadi kepada setiap Wajib Pajak, yang telah memenuhi syarat subjektif dan objektif berdasarkan ketetapan undang-undang perpajakan, maka wajib

6 Ibid., hlm. 7.

(9)

23 untuk memiliki NPWP. Persoalan mengenai NPWP, pemerintah berharap kepada setiap Wajib Pajak untuk secara sadar dan sukarela agar mendaftarkan dirinya untuk didata dan mendapatkan NPWP.

Walaupun pemerintah berharap masyarakat sebagai Wajib Pajak untuk secara sukarela agar mendaftarakan dirinya untuk memperoleh NPWP, namun dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak tentunya juga mempunyai hak kewenangan untuk memberikan NPWP secara jabatan bagi wajib pajak yang belum atau tidak mendaftarkan diri. Sehingga Wajib Pajak tersebut dapat dikukuhkan untuk memiliki NPWP. DJP selaku pemegang kewenangan pajak berhak untuk mengumpulkan bukti, yang selanjutnya berlandaskan bukti tersebut dapat menentukan pajak bagi wajib pajak yang tidak menjalankan kewajiban pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.7

NPWP merupakan singkatan dari Nomor Pokok Wajib Pajak.

NPWP adalah nomor yang akan diberikan kepada Wajib Pajak sebagai alat dalam menjalankan transaksi administrasi perpajakan.

Selain sebagai alat transaksi dalam hal perpajakan, NPWP juga dapat berperan sebagai tanda pengenal atau identitas Wajib Pajak.

Oleh sebab itu, kepada setiap Wajib Pajak akan diberikan NPWP.

Selain itu NPWP juga memiliki tujuan sebagai berikut:8

7 Agung Darono. 2020. Data Analytics Dalam Administrasi Pajak Di Indonesia: Kajian Institutional Arrangement. Jurnal Teknik Informatika dan Sistem Informasi. Vol. 6. No. 2.

8 Ibid, op.cit, hlm 24-25.

(10)

24 1. Tanda pengenal atau identitas wajib pajak;

2. Sebagai sarana dalam menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan sebagai pengawasan administrasi perpajakan.

Kepada setiap dokumen perpajakan baik individual maupun badan wajib untuk mencantumkan NPWP. Adapun kepada wajib pajak yang tidak mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP akan mendapatkan sanksi sesuai dengan ketetapan peraturan UU perpajakan. Maka dari itu, kepada semua Wajib Pajak yang telah memenuhi kriteria sebagai wajib pajak, berdasarkan sistem self assessement wajib untuk mendaftarkan diri pada kantor Direktoral Jendral Pajak untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak atau NPWP.

Dengan demikian, kewajiban memiliki NPWP akan tetap melekat pada setiap wajib pajak yang telah memenuhi syarat subjektif dan objektif. Hal ini juga diatur pada Pasal 2 ayat 4a UU KUP yang menyatakan bahwa, “kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan NPWP dan/ atau yang ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi kriteria subjektif dan objektif”.

C. Tinjauan Umum Tentang Nomor Induk Kependudukan (NIK)

Tanpa disadari, semua warga negara selalu berafiliasi dengan aktifitas birokratis di Pemerintahan. Masing-masing orang harus

(11)

25 berafiliasi dengan birokrat sejak berada dalam kandungan sampai ia meninggal dunia. Setiap orang akan selalu bersentuhan dengan administrasi, seperti halnya mengurus akta kelahiran dan kematian.

Kemudian, apabila seseorang tinggal di suatu tempat dan menjalankan interaksi sosial satu sama lain dengan orang lain, serta merasakan kehidupan bernegara, keberadaan birokrat pemerintahan menjadi salah satu hal yang tentunya tidak bisa dikesampingkan.

Kenyataan ini juga terjadi di Indonesia. Untuk dapat mengerti konsep birokrat dalam sistem pemerintah pastinya tidak dapat dilepaskan dari UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Dalam pasal 2 disebutkan bahwa, Undang-Undang mengenai Administrasi Pemerintahan ini ditujukan sebagai salah satu landasan hukum bagi Badan ataupun Pejabat Pemerintahan, Warga Masyarakat, dan spektrum-spektrum lain yang terkait dengan Administrasi Pemerintahan dalam upaya meningkatkan kualitas pelaksanaan pemerintahan.9 Selain itu, adapula konsep yang berkaitan dengan pengertian hukum admistrasi negara, ialah sekumpulan peraturan yang menjadikan administrasi negara dapat mengimplementasikan fungsinya, sekaligus bisa melindungi warga terhadap sikap tindak administrasi negara dan melindungi administrasi negara itu sendiri.10

9 Lihat Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

10 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Rajawali Pers: Jakarta, 2011) hlm.36.

(12)

26 Didalam hal ini birokrasi memiliki fungsi untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Oleh karna itu secara normatif pelayan administratif negara, khususnya dalam hal kependudukan juga telah dituangkan di UU No. 24 Tahun 2013 teekait perubahan atas UU No. 23 Tahun 2006 tentang Admistrasi Kependudukan.

Undang-undang ini bertujuan untuk menjamin keamanan status pribadi dan status hukum pada setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting lainnya. Selain itu, pemberian jaminan dan pengakuan keamanan juga akan diterapkan dalam bentuk munculnya dokumen resmi.11 Oleh karena itu, proses administrasi kependudukan merupakan suatu sistem yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan bernegara.

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Administrasi Kependudukan NIK menjadi suatu hal penting sebagai identitas kependudukan warga negara.

Dalam UU No. 25 Tahun 2013 Tentang Administrasi Kependudukan Pasal 1 angka 12 menjelaskan tentang definisi dari Nomor Induk Kependudukan (NIK). Nomor Induk Kependudukan yang selanjutnya seringkali disebut dengan NIK, merupakan nomor identitas Penduduk yang memiliki sifat unik, tunggal dan melekat

11 SF.Marbun dan Moh Mahfud MD, Pokok-Pokok Administrasi Negara, (Liberty: Yogyakarta, 1987) hlm.46.

(13)

27 pada seseorang yang terdaftar sebagai warga negara Indonesia seumur hidup.12

D. Tinjauan Umum Tentang Sistem Data Indonesia (SDI)

1. Pengertian Satu Data Indonesia (SDI)

Pandemi Covid-19 telah mendorong ‘paksa’ implementasi layanan digital mulai diberlakukan dengan mengikuti perkembangan era globalisasi yang telah berkembang pesat. Hal tersebut memberikan dampak kepada seluruh bidang termasuk dalam sistem perpajakan. Dalam undang-undang terbaru mengenai Harmonisasi Peraturan Perpajakan mengatur bahwa NIK dapat berlaku sebagai NPWP. Pengintegrasian NIK sebagai NPWP ini dimaksudkan untuk memudahkan proses administrasi perpajakan.

Hal ini sejalan dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia No.

39 Tahun 2019 Tentang Satu Data Indonesia atau SDI.

Pasal 1 ayat 1 menjelaskan, SDI atau Satu Data Indonesia adalah kebijakan dalam mengatur tata kelola data pemerintah untuk menghasilkan data yang akurat, terkini, terintegrasi, dan akuntabel, serta mudah diakses dan digunakan antara Instansi Pusat dan Instansi Daerah. Kemudian pada Pasal 2 ayat 1 dijelaskan lebih lanjut pengaturan program SDI yaitu mengatur tentang

12 Lihat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Administrasi Kependudukan Pasal 1 angka 12.

(14)

28 penyelenggaraan pengelolaan data oleh Instansi Pusat dan Instansi Daerah.13

2. Tujuan Satu Data Indonesia (SDI)

Ada banyak jenis identitas yang dimiliki setiap warga negara Indonesia, antara lain: NIK, paspor, kartu keluarga, Surat Izin Mengemudi (SIM), Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan lainnya. Banyaknya jenis identitas tersebut kemudian menciptakan celah bagi terjadinya tindak pidana terkait penomoran identitas. Misalnya membuat dan menggunakan identitas palsu. Selain identitas palsu, ternyata banyaknya jenis penomoran membuat sistem administrasi menjadi tidak rapi. Di negara maju yang telah menerapkan single identity number, masyarakat dapat melakukan segala kebutuhannya dengan proses yang mudah, dan tanpa merepotkan birokrat.

Pada saat ini masyarakat Indonesia memiliki berbagai jenis identitas. Identitas tersebut dikeluarkan oleh instansi yang berbeda tentunya untuk kepentingan yang banyak motifnya. Meskipun identitas tersebut juga pada akhirnya akan merujuk pada individu yang sama. Beragamnya jenis identitas yang diperoleh, kemudian menyebabkan kemungkinan tumbuhnya identitas ganda. Masalah identitas ganda tidak hanya terbatas pada individu definitif yang memiliki dua atau lebih tanda pengenal. Identitas ganda tentunya

13 Lihat Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2019 Tentang Satu Data Indonesia.

(15)

29 akan berdampak pada masalah gangguan keamanan negara, menghambat pembangunan, dan akan melahirkan kecurangan dalam transaksi administrasi lainnya. Tak hanya itu, hal ini akan berimplikasi pada aspek politik, ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan.

Di Indonesia, setidaknya ada 32 instansi yang menerbitkan nomor identitas dan mencatat data kependudukan. Ada yang berbasis personal (seperti KTP, SIM, dan Jamsostek) dan ada yang berbasis spasial (seperti sertifikat tanah dan PBB). Masing-masing nomor ini berbeda, sesuai dengan kepentingan lembaga penerbit.

Banyaknya penerbitan nomor informasi yang dibangun oleh masing-masing instansi ini tidak saling berkorelasi, hingga menyebabkan replikasi dan redundansi data kependudukan menjadi tak terelakkan, yang kemudian mengarah pada efisiensi penggunaan sumber daya. Berikut dalam tabel 1 di bawah ini menyajikan 32 identitas unik yang n dimiliki oleh penduduk Indonesia.14

14 Mahendra, R. (2003). Single Identity Number: Sebuah Solusi Permasalahan Identitas Kependudukan di Indonesia.

(16)

30 (Tabel. Mahendra, R. 2003)

Berdasarkan tabel diatas, Singel Identity Number merupakan solusi dari berbagai persoalan identitas di Indonesia. Dimana sistem ini merupakan suatu sistem yang melahirkan suatu alat rujukan identitas yang menjamin mekanisme verifikasi dan dapat mereduksi dampak negatif terhadap masalah kependudukan. Untuk setiap seseorang, rujukan identitas ini memiliki sifat tunggal dan melekat seumur hidup. Pemikiran ini kemudian muncul sebagai Single

(17)

31 Identity Number (SIN). SIN adalah nomor unik yang terintegrasi dalam satu kartu identitas yang diberikan kepada warga negara. SIN juga digunakan sebagai tanda pengenal seseorang ketika melakukan transaksi kependudukan, baik kegiatan yang berkaitan dengan birokrat pemerintah maupun kegiatan yang berkaitan dengan pelayanan publik. SIN yang ideal adalah nomor tunggal yang menjadi acuan utama (primary key) untuk identitas lain, seperti SIM, BPKB, NPWP, dan dokumen kependudukan lainnya.15

Selain itu, berdasarkan Pasal 2 ayat 2 dalam Satu Data Indonesia, SDI memiliki beberapa tujuan yaitu, pertama dapat memberikan acuan dalam pelaksanaan program bagi Instansi Pusat dan Instansi Daerah dalam melaksanakan pengelolaan data. Kedua, menciptakan ketersediaan data yang akurat dan terintegrasi, serta dapat dipertanggungjawabkan, sehingga nantinya data akan mudah diakses dan digunakan antara Instansi Pusat dan Instansi Daerah.

Ketiga, guna mendorong transparansi data sehingga tercipta perencanaan program pembangunan yang berbasis data hingga pada akhirnya dapat mendukung sistem peraturan perundang-undangan yang ada.16

15Rio Widianto, op.cit, hlm.3.

16 Lihat Peraturan Presiden Republik Indonesia (PERPRES) Nomor 39 Tahun 2019 Tentang Satu Data Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

Pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU No 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang

Lakukanlah apa yang diperitahkan (Allah) kepadamu; Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” Maka ketika keduanya telah berserah diri dan dia

Penelitian tersebut menunjukkan bahwa ukuran (size) perusahaan dan waktu penutupan akhir tahun buku secara statistik berpengaruh signifikan terhadap ketepatan waktu

Kinerja pencahayaan alami sangat buruk dengan nilai iluminasi di luar bangunan yang sangat tinggi mencapai 100.000 lux yang dipengaruhi oleh posisi matahari, ketinggian

28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pajak adalah “kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang

BCA berupaya meningkatkan koordinasi di antara unit kerja terkait dalam melakukan evaluasi atau kajian terhadap proses, sistem dan prosedur untuk mengembangkan maupun

1. Keterbatasan anggaran pemeliharaan yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pemeliharaan seluruh ruas jalan. Saat ini, pemerintah daerah melakukan penanganan berdasarkan fakta

Berkaitan dengan Evaluasi Renja Dinas Komunikasi, Informatika dan Statistik Provinsi Riau Tahun 2019 yang mempertimbangkan bahwa Dinas Komunikasi, Informatika dan