25
A. Kajian Pustaka 1. Konsep Metode Bercerita
a. Pengertian Metode Bercerita
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia metode diartikan sebagai cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan tertentu, sedangkan cerita adalah tuturan yang membentangkan bagaimana terjadinya suatu hal atau peristiwa atau karangan yang menuturkan perbuatan, pengalaman, kebahagiaan, atau penderitaan orang, kejadiaan tersebut sungguh-sungguh atau rekaan.
(Depdiknas, 2009)
Kumoro (2016) menjelaskan bahwa metode bercerita merupakan metode pembelajaran serta pengembangan potensi pada anak yang dilaksanakan melalui kegiatan penyampaian cerita secara bermakna dan menarik. Cerita tidak melulu datang dari pendidik, ada kalanya anak yang diminta untuk melakukan cerita atau bercerita. Apabila pendidik yang menyampaikan cerita, maka anak akan tetap diaktifkan perannya, seperti melalui pertanyaan yang berhubungan dengan isi cerita, ikut memegang media saat bercerita (boneka tangan, gambar, dan sebagainya), serta stimulasi-stimulasi lain.
Bercerita adalah kegiatan yang mempunyai sifat produktif , dimana dalam prosesnya harus mempunyai keberanian, melibatkan pikiran, perkataan yang jelas, dan kesiapan mental yang akan dihadapkan ke banyak orang dan bisa dipahami orang. Kegiatan bercerita merupakan kegiatan berarti dalam perkembangan anak (Nurgiyantoro, 2014). Metode bercerita merupakan salah satu pemberian pengalaman belajar bagi anak TK dengan membacakan cerita kepada anak secara lisan. Cerita yang dibawakan guru harus menarik dan mengundang perhatian anak tidak lepas dari tujuan pendidikan TK (Moeslichatoen, 2013).
Saraswati (2013) menyampaikan bahwa bercerita merupakan metode komunikasi secara umum yang sangat berpengaruh terhadap jiwa manusia, karena metode ini efisien dalam jiwa anak menjadi berpengaruh.
Melalui bercerita perkembangan anak akan difungsikan dengan baik untuk membantu berbahasa lisan, sehingga akan menambah perbendaharaan
kosakata dan kemampuan mengucapkan kata-kata yang mudah. Bercerita membentuk aktivitas gabungan antara kegiatan berbicara, berimajinasi dan menyimak (Sulianto, 2014).
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa metode bercerita adalah cara yang digunakan seseorang untuk menyampaikan pesan berupa informasi melalui teknik tertentu yang disampaikan secara lisan, bisa berupa legenda ataupun pengalaman dan kehidupan sehari-hari.
Bercerita tidak hanya terpaku pada guru saja, namun juga bisa melibatkan anak dalam proses berceritanya, yaitu dengan cara anak berperan untuk menyampaikan cerita.
b. Manfaat Metode Bercerita
Meity (Rahmita, 2018) mengungkapkan untuk kegiatan bercerita mempunyai beberapa manfaat, yaitu: kemampuan dalam berbicara anak meningkat, dengan mendengarkan struktur kalimat menjadi meningkat dalam berbahasanya, jiwa anak menjadi tenang, meningkatkan minat baca anak, melatih daya pikir anak, melatih problem solving, dan memperkenalkan nilai-nilai moral.
Musfiroh (Islamiati, 2016) menyebutkan manfaat lain dari metode bercerita untuk anak usia 4-5 tahun adalah untuk berperilaku positif, memahami isi dalam cerita, melatih anak mendengarkan dan memberikan pengalaman belajar anak, membantu mengembangkan komunikasi anak, serta melatih konsentrasi anak, menanamkan nilai tentang kebenaran, kejujuran, ketulusan dan keramahan kepada anak.
Berbeda dengan Moeslichatoen (Rahmita, 2018) menyebutkan untuk manfaat bercerita yaitu: dapat membantu membentuk karakter
pribadi anak, moral dan sosialnya, meningkatkan kemampuan bahasa dan kecerdasan emosi, mengembangkan kemampuan dalam verbalnya dan mengembangkan imajinasi dan fantasi anak.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa manfaat dalam bercerita sangat banyak, diantaranya anak bisa menjadi pribadi yang lebih baik yang dimulai dari kebiasaan sehari-hari anak sehingga bukan hanya kemampuan dalam berbicaranya saja yang bisa meningkat namun pribadi anak juga bisa menjadi lebih baik, karena selalu ditanami dengan nilai agama dan moral, nilai sosial dan nilai-nilai yang lain.
c. Media dalam Metode Bercerita
Metode Bercerita Metode bercerita memiliki bentuk-bentuk atau media yang menarik dan dapat disajikan pada anak usia dini. Bentuk- bentuk cerita atau media tersebut dapat digunakan secara bergantian agar anak tidak merasa bosan dengan satu bentuk metode bercerita atau digunakan secara kombinasi agar menambah daya tarik cerita yang kita sajikan.
Bentuk atau media metode bercerita terbagi menjadi dua jenis, yaitu 1) Bercerita dengan alat peraga. Bercerita menggunakan alat peraga berarti kita menggunakan media atau alat pendukung untuk memperjelas penuturan cerita yang kita sampaikan. Alat peraga atau media tersebut digunakan untuk menarik perhatian dan mempertahankan fokus perhatian anak dalam jangka waktu tertentu. Alat peraga atau media yang digunakan hendaknya aman bagi anak, menarik serta sesuai dengan tahap perkembangan anak. 2) Bercerita tanpa alat peraga. Bercerita tanpa alat peraga dapat diartikan sebagai kegiatan bercerita yang dilakukan oleh guru atau oleh orang tua tanpa menggunakan media atau alat peraga yang bisa diperlihatkan pada anak. Dengan demikian, kekuatan dari metode bercerita tanpa alat peraga ini terletak pada kepiawaian guru atau orang tua dalam menuturkannya. Kepiawaian adalah kemampuan guru untuk menghafal
seluruh rangkaian isi cerita, kepiawaian guru atau orang tua dalam mengubah-ubah intonasi maupun karakter suara, kepiawaian dalam memainkan mimik atau ekspresi wajah, serta keterampilan dalam memainkan gerakan tubuh untuk menggambarkan perilaku suatu tokoh cerita atau gambaran suatu kejadian. (Ariska, 2018)
Dhini (islamiati, 2020) menyebutkan jenis-jenis metode bercerita.
Ada beberapa macam dalam penerapannya, yaitu sebagai berikut : 1) Bercerita dengan menggunakan ilustrasi gambar dari buku. 2) Menceritakan dongeng dari buku cerita 3). Membaca langsung dari buku cerita. 4) Bercerita sambil memainkan jari-jari tangan dan gerakan tubuh.
5) Bercerita dengan menggunakan media boneka tangan.
Dhieni (2008) dan Badru, dkk. (2009) mengkategorikan media ke dalam 3 jenis yaitu media visual yang dapat menyampaikan pesan secara visual melalui penglihatan, media audio visual yang dapat menyampaikan pesan melalui penglihatan dan bunyi (pendengaran), dan media audio yang dapat menyampaikan pesan melalui bunyi atau suara. (Hasnida, 2015).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa media dalam penerapan metode bercerita bermacam-macam dan berbeda-beda, mulai dari alat peraga, media digital seperti tv, laptop, handphone dan bahkan tanpa menggunakan alat peraga apapun.
d. Langkah-langkah Penerapan Metode Bercerita
Menurut kamus Salim (Rahmita, 2018) menjelaskan bahwa dalam penerapan kegiatan bercerita, guru atau pencerita harus menjalani interaksi ekstratekstual dengan anak. Interaksi ekstratekstual sendiri berasal dari dua kata, yaitu ekstra dan tekstual, dimana dijelaskan bahwa ekstra memiliki arti “di luar lingkup”, sementara tekstual memiliki arti “yang berkenaan dengan teks atau naskah”. Maka dengan demikian dapat diartikan bahwa ekstratekstual adalah suatu aktivitas atau kegiatan yang terdapat di luar sebuah naskah atau teks.
Triantafillou Natsiopoulou dkk (Rahmita, 2018) membagi interaksi ekstratekstual ke dalam 12 jenis interaksi, yaitu sebagai berikut:
1) Attention, 2) names, 3) asking about names, 4) feedback, 5) repetition, 6) elaboration, 7) organizing the activity, 8) prediction, 9) relating the story to real life, 10) recalling information, 11) clarifying, dan 12) asking for clarification.
Berdasarkan jenis interaksi di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Attention
Attention merupakan suatu interaksi yang mempunyai tujuan untuk mengarahkan perhatian anak, yaitu dimulai dengan cara memanggil nama anak. “Nisa, bisa dengarkan ibu guru? Atau mengarahkan ke perhatian lain “Anak-anak, coba lihat apa yang ibu bawa?”
2. Names
Interaksi ekstratekstual yang bisa membuat anak lebih mengenal nama, nama apapun itu. Bisa nama-nama benda, setting, peristiwa dan karakter (tokoh). Misalnya: “Ini adalah harimau” dan bisa “pada zaman dahulu..”
3. Asking about names
Interaksi yang dilakukan dalam hal ini yaitu dengan menanyakan nama- nama yang berhubungan dengan cerita yang disampaikan. Misalnya:
“yang dibawa harimau di mulutnya apa?” atau “dimana rumahnya harimau?”
4. Feedback
Interaksi dalam tahap ini memiliki tujuan untuk memuji atau memperbaiki interaksi anak. Misalnya: “ya, nina anak yang pinta” dan
“iya memang, ini memang kucing, tapi kucing yang besar..”
5. Repetition
Pengulangan terhadap frasa atau kata-kata yang diucapkan anak.
Misalnya: (anak: “harimau”, guru/orang tua:”ya,harimau”)
6. Elaboration
Orang tua atau guru berusaha membantu anak untuk mengembangkan frasa atau kata-kata anak dengan memberikan informasi tambahan.
Misalnya: (anak: “lebah”, orang tua/guru: “lebah itu menghasilkan madu”)
7. Organizing the activity
Pada tahap ini interaksi yang dilakukan sebisa mungkin yang membuat anak tetap tertarik untuk mengikuti cerita. Misalnya: “oke, sekarang kita lanjutkan ceritanya”
8. Prediction
Pertanyaan yang diberikan oleh guru atau orang tua memberikan maksud untuk menambah informasi secara fakta dari kejadian yang belum tersampaikan dari ceritanya. Misalnya: “apa yang dilakukan harimau setelah itu?”
9. Relating the story to real life
Memberikan komen dan menanyakan ke anak untuk menghubungkan cerita dengan kehidupan nyata dalam sehari-hari dan memberikan informasi mengenai fakta dan objek yang ada di dalam cerita. Misalnya:
“sikat gigimu berwarna apa?” dan “kita naik motor, mereka terbiasa naik sepeda.”
10. Recalling information
Menanyakan kepada anak supaya anak mengingat kembali kejadian- kejadian dalam cerita yang disampaikan. Misalnya: “Masih ingat apa saja yang dimakan harimau?”
11. Clarifying
Tahap ini bertujuan untuk memberikan penjelasan tentang deskripsi kata-kata, gambar, dan perilaku atau sikap dari tokoh yang ada di dalam cerita. Misalnya: “ini gambar harimau sedang mencari makan.”
12. Asking for clarification
Menanyakan kepada anak pertanyaan yang memotivasi anak untuk menjelaskan sikap atau perilaku dari tokoh yang ada di dalam cerita.
Misalnya: “Menurut anak-anak mengapa mereka begitu bahagia?”
Moeslichatoen (Islamiati, 2016) menyebutkan langkah-langkah dalam penerapan metode bercerita terbagi dalam dua tahap, yaitu sebagai berikut:
1) Kegiatan pra pengembangan
Kegiatan pra pengembangan yang dilakukan dengan menyiapkan bahan dan alat yang akan digunakan dalam bercerita. Tahap ini dilakukan untuk meningkatkan keberanian, membantu anak dalam mengungkapkan pikiran, perasaan, ide dan gagasan yang lainnya dalam tema yang akan di angkat dan menghubungkan pribadi anak dalam cerita.
2) Kegiatan penyiapan anak dalam pelaksanaan kegiatan bercerita, yaitu sebagai berikut:
a) Guru menyampaikan kepada anak tujuan dalam kegiatan bercerita b) Untuk pengkondisian kelas dan sebagai pemanasan guru mengajak
anak untuk bernyanyi dan bertepuk bersama yang disesuaikan dengan tema yang diangkat.
c) Guru menjelaskan kepada anak apa saja yang perlu dilakukan anak dalam kegiatan bercerita, ialah beraninya anak untuk berbicara dan mendengarkan cerita dengan sungguh-sungguh.
Berdasarkan beberapa langkah dalam penerapan metode cerita di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam menerapkan metode bercerita mempunyai beberapa tahap, yang dimulai dari persiapan dan pelaksanaan.
Persiapan dilakukan guru untuk memilih dan menentukan tema dan bahan yang akan digunakan guru dalam proses berceritanya dan pelaksanaan dilakukan guru ketika sudah memasuki kelas untuk siap menyampaikan cerita yang sudah disiapkan. Tahap pelaksanaannya pun mempunyai beberapa tahap lagi, yang dimulai dari pengkondisian kelas,
menyampaikan cerita dan yang terakhir guru menutup cerita dengan mengambil hikmah apa saja yang bisa dipetik dari sebuah cerita yang disampaikan. Tentunya dalam proses bercerita tersebut juga ada kegiatan tanya jawab, anak disuruh menceritakan kembali dan lain sebagainya lagi untuk menstimulasi kemampuan berbicara anak.
2. Kemampuan Berbicara Anak Kelompok A a. Pengertian Kemampuan Berbicara
Berbicara adalah suatu komponen dalam kemampuan bahasa.
Berbicara merupakan salah satu hal yang penting dalam kehidupan sehari- hari. Kemampuan berbicara anak memenuhi kebutuhan penting lainnya dalam kehidupan anak, yakni kebutuhan bagi anak untuk menjadi kelompok sosial. Depdikbud (Saputri, 2015) menjelaskan secara umum bahwa berbicara merupakan menyampaikan tujuan (gagasan, ide, isi hati atau pikiran) yang dimulai dari orang satu ke orang berikutnya dengan melalui bahasa verbal, sehingga tujuan tersebut dapat dipahami oleh orang luar. Kegiatan ini dimaksudkan untuk membentuk komunikasi dan sosialisasi anak dengan lingkungan yang ada disekitarnya.
Mulgrave (Tarigan, 2008) menyampaikan bahwa berbicara adalah instrumen yang mengungkapkan kepada penyimak hampir secara langsung apakah sang pembicara memahami atau tidak, baik bahan pembicaraannya maupun para penyimaknya, apakah dia bersikap tenang serta dapat menyesuaikan diri atau tidak, pada saat dia mengomunikasikan gagasan- gagasannya, dan apakah dia waspada serta antusias atau tidak. Kegiatan dalam berbicara juga menjelaskan apakah dalam prosesnya pembicara dan lawan bicara memahami dan memperhatikan dengan apa yang telah disampaikan.
Tarigan (2008) mendefinisikan bahwa kemampuan berbicara merupakan kemampuan mengekspresikan bunyi artikulasi atau kata untuk menyampaikan atau menyatakan perasaan, gagasan dan pikiran.
Pemahaman tersebut menunjukkan bahwa berbicara bersangkutan dengan pelafalan tutur yang mempunyai maksud tersampainya sebuah tujuan.
Suhartono (2005) mengemukakan kemampuan berbicara adalah kemampuan melisankan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan. Hariyadi & Zamzami (Suhartono, 2005) berpendapat bahwa kemampuan berbicara merupakan proses berhubungan seseorang dengan orang lain yang mana didalamnya terdapat pesan untuk disampaikan.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka bisa disimpulkan bahwa pengertian kemampuan berbicara adalah proses untuk mengekspresikan, menyampaikan, menyatakan gagasan, pikiran, isi hati atau ide kepada orang lain melalui bahasa yang digunakan secara lisan yang dapat dipahami orang lain.
b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Berbicara
Yamin dan Sanan (2012) mengungkapkan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi kemampuan berbicara pada anak yaitu: 1) Anak berada dalam lingkungan yang bebas dari tekanan dan positif. Lingkungan yang kaya bahasa akan menstimulasi perkembangan anak, stimulus akan optimal apabila anak tidak merasa tertekan. Lingkungan yang positif memberikan pengaruh yang besar bagi anak terhadap kemampuan berbicaranya, karena anak mempunyai sifat meniru, dimana sifat itu bisa digunakan anak apabila melihat ataupun merasakan perlakuan dari lingkungan sekitar. 2) Menunjukkan minat dan sikap yang tulus terhadap anak, karena anak mempunyai emosi yang kuat sehingga orang dewasa perlu merespon dengan tulus. Anak akan mengetahui sikap atau perlakuan orang dewasa terhadap anak, apabila orang dewasa tidak bisa memperlakukan anak dengan baik maka anak menghindar dan memilih untuk diam, karena anak akan merasakan ketidaknyamanan sehingga anak akan menunjukkan sikap ketidaksukaan terhadap orang dewasa dengan berbagai cara. 3) Menyampaikan pesan verbal diikuti pesan non verbal.
Penyampaian pesan terhadap anak tidak hanya dengan verbal saja tetapi juga perlu adanya non verbal karena untuk menunjukkan kepada anak
penyesuaian antara pengucapan verbal dengan non verbal dan membentuk anak untuk tidak menjadi bingung. 4) Ketika orang dewasa dan anak saling berbincang, maka ekspresi yang sesuai dengan yang diucapkan perlu ditunjukkan. Ekspresi diperlukan karena untuk menyakinkan dalam penyesuaian ucapan, apabila dalam percakapan ada ucapan sedih maka ekspresi juga harus sedih, hal ini juga akan menambah pengetahuan anak tentang ekspresi orang. 5)Melibatkan anak dalam berkomunikasi. Libatkan anak dalam komunikasi, baik itu di keluarga atau di lingkungan sekitar, karena hal itu akan menambah pemahaman akan kosakata anak dan anak merasa dihargai dalam setiap kebersamaan.
Hurlock (Pentiernitasari, 2017) menyampaikan bahwa:
Faktor yang mempengaruhi kemampuan berbicara yaitu: 1) Kesiapan fisik untuk berbicara, 2) kesiapan mental untuk berbicara, 3) model yang baik untuk ditiru, 4) kesempatan untuk berpraktik, 5) motivasi, dan 6) bimbingan.
Berdasarkan ke 6 faktor tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Kesiapan Fisik untuk Berbicara
Kemampuan berbicara terletak pada tingkat kematangan proses bicara.
Apabila dalam organ bicara belum menjangkau tingkat kematangan, maka otot dan saraf untuk proses bersuara tidak keluar bunyi berupa kata-kata.
2. Kesiapan Mental untuk Berbicara
Tingkat kesiapan mental biasanya akan mulai berkembang pada usia 12 dan 18 bulan, tergantung pada kematangan otak yaitu pada bagian- bagian asosiasi otak.
3. Model yang Baik untuk ditiru
Model yang baik sangat diperlukan anak dalam proses berbicaranya untuk mengetahui benar salahnya dalam pengucapan. Apabila tidak ada model yang baik, maka anak akan merasa kesulitan dalam belajarnya.
Model tersebut bisa dimulai dari lingkungan sekitar anak, yaitu keluarga.
4. Kesempatan untuk Berpraktik
Apabila anak tidak diberikan kesempatan untuk praktik, maka anak akan merasa minder, motivasi renda dan putus asa.
5. Motivasi
Motivasi bisa mempengaruhi kemampuan berbicara anak, apabila anak tidak mendapatkan motivasi tersebut maka proses untuk belajar berbicara anak akan menurun.
6. Bimbingan
Memberikan bimbingan yang paling baik untuk proses belajar berbicara yaitu dengan menerapkan model yang baik, memberikan bantuan untuk mengikuti model dan mengadakan kata-kata dengan jelas.
Rahayu (Panti Ernitasari, 2017) mengungkapkan faktor-faktor lain yang mempengaruhi kemampuan berbicara yaitu: 1) Metode penyampaian: penyampaian dengan tanpa persiapan, mendadak, penyampaian dari ingatan dan dengan naskah. Penyampaian- penyampaian tersebut tergantung pada kondisi anak, misalnya anak berada di lingkungan sekolah dimana guru menyuruh anak untuk bercerita tentang pengalaman pribadi atau kejadian yang dialami di rumah maka anak anak menyampaikan dengan ingatan, begitu pula dengan penyampaian yang lainnya. 2) Gaya bahasa: gaya ekspresif, gaya pemecahan masalah, dan gaya perintah. Gaya bahasa diperlukan untuk menyakinkan kepada orang lain yang diajak berkomunikasi sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa faktor-faktor kemampuan berbicara dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi motivasi, kesehatan, minat, kecerdasan, keinginan untuk berkomunikasi dan kepribadian. Faktor eksternalnya meliputi status sosial keluarga, hubungan keluarga, ukuran keluarga, urutan keluarga, kelahiran kembar, hubungan dengan teman sebaya, metode pelatihan dan dorongan.
c. Tahapan dan Indikator Kemampuan Berbicara 1) Tahapan Berbicara
Menurut Dhieni (2008) secara umum karakteristik kemampuan bahasa anak usia 4-5 tahun yaitu:
1) Terjadi perkembanganhyang cepat dalam kemampuan bahasa anak. Ia telah dapat menggunakan kalimat dengan baik dan benar.
2) Telah menguasai 90% dari fonem dan sintaks bahasa yang digunakannya. 3) Dapat berpartisipasi dalam suatu percakapan.
Anak sudahkdapat mendengarkan orang lain berbicara dan menanggapi pembicaraan tersebut.
Menurut Hildayani (2008) terdapat beberapa tahap dalam perkembangan berbicara anak yaitu: ketika bayi lahir, ia bicara dalam bahasa tangis, pada usia 6 minggu – 3 bulan, bayi mulai mengembangkan sistem komunikasinya menjadi cooing (ocehan tanpa arti yang jelas), babbling, atau keluarnya suara menyerupai suku kata, tampak pada usia 6-10 bulan. Memasuki usia 1 tahun anak telah dapat mengucapkan kata untuk berbicara. Anak usia 2 tahun setelah dapat melakukan komunikasi melalui kalimat sederhana. Di usianya yang ke 3 anak telah dapat bercerita mengenai peristiwa pada ketika itu. Anak yang pada usia 4-6 tahun telah berbicara dan berbahasa seperti orang dewasa pada umumnya.
Dari penjabaran tersebut dapat disimpulkan bahwa bahasa dalam berbicara anak usia 4-5 tahun anak sudah mampu untuk berbicara secara komunikatif dan dapat bersosialisasi dengan orang lain. Anak dapat berperan serta dalam suatu percakapan, dimana dalam percakapan tersebut anak dapat mendengarkan orang lain berbicara sehingga dapat menanggapi pembicaraan tersebut.
2) Indikator Berbicara
Berdasarkan Kemendikbud (2015) pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 137 tahun 2014
tentang Standar Pendidikan Anak Usia Dini disebutkan bahwa anak usia 4-5 tahun dalam mengungkapkan bahasa anak mampu:
1) Mengulang kalimat sederhana, 2) Bertanya dengan kalimat yang benar, 3) Menjawab pertanyaan sesuai pertanyaan , 4) Mengungkapkan perasaan dengan kata sifat (baik, senang, nakal, pelit, baik hati, berani, jelek, dsb), 5) Menyebutkan kata-kata yang dikenal, 6) Mengutarakan pendapat kepada orang lain, 7) Menyatakan alasan terhadap sesuatu yang diinginkan atau ketidaksetujuan, 8) Menceritakan kembali cerita atau dongeng yang pernah didengar, 9) Memperkaya perbendaharaan kata, 10) Berpartisipasi dalam percakapan.
Kemendikbud (2015) pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No 146 tahun 2014 memberikan penjelasan mengenai indikator pencapaian perkembangan yang termuat dalam kemampuan bahasa ekspresif anak usia 4-5 tahun:
Tabel 2.1 Kompetensi Dasar Kemampuan Bahasa Ekpresif Anak Kompetensi Dasar Indikator Pencapaian Perkembangan 3.11 Memahami bahasa
ekpresif (mengungkapkan bahasa secara verbal dan non verbal)
Menggunakan kalimat pendek untuk berinteraksi degan anak atau orang dewasa untuk menyatakan apa yang dilihat dan dirasa.
4.11 Menunjukkan kemampuan berbahasa ekspresif (mengungkapkan bahasa secara verbal dan non verbal)
Menceritakan gambar yang ada dalam buku
Berbicara sesuai dengan kebutuhan (kapan harus bertanya, berpendapat) Bertanya dengan menggunakan lebih dari 2 kata tanya seperti: apa, mengapa, bagaimana, dimana.
(Sumber: Permendikbud No. 146 Tahun 2014)
Berdasarkan indikator di atas, maka dapat disipulkan bahwa pencapaian perkembangan bahasa dalam mengungkapkan kemampuan berbahasanya yaitu dengan menyampaikan bahasa ekpresifnya, baik itu verbal ataupun non verbal, dimana dalam penyampian bahasa
ekresif anak dapat mengungapkan perasaan yang dirasa, di mulai dari anak ingin bercerita, bertanya, mengungkapkan ketidaksetujuan dan lain sebagainya.
B. Kerangka Berpikir
Kemampuan berbicara yaitu kemampuan untuk mengungkapkan atau mengekspresikan sesuatu dengan melalui bahasa secara lisan kepada orang lain. Kemampuan berbicara merupakan salah satu bidang yang penting dikembangkan, karena dengan berbicara seseorang dapat mengutarakan maksud dan tujuan kepada orang lain. Pengembangan kemampuan berbicara dapat ditingkatkan yaitu dengan adanya pemberian stimulasi. Stimulasi bisa diberikan oleh orang tua dan guru, orang tua ketika anak berada di rumah dan guru ketika anak berada di lingkungan sekolah. Pemberian stimulasi pada anak sangat diperlukan karena dapat membantu anak menambahkan kosa kata dan mengembangkan berbicara pada anak. Musfiroh (Anggraini, 2013). Pemberian stimulasi dapat dilakukan dengan melalui berbagai kegiatan, salah satu kegiatan yang bisa dilakukan guru yaitu dengan menerapkan metode bercerita karena biasanya anak-anak lebih cepat memahami pelajaran dengan cara memberikan cerita dari pada harus membaca dan mendengarkan penjelasan dari guru.
Penelitian ini akan meneliti peran metode bercerita dalam menstimulasi kemampuan berbicara anak dengan melalui wawancara dengan kepala sekolah dan guru kelas kelompok A. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif jenis deskriptif. Kerangka berfikir digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.1Bagan Kerangka Berpikir Metode Bercerita Pada
Anak Usia Dini
Kemampuan Berbicara yang mampu dikuasai anak
Rancangan rencana perangkat pembelajaran
untuk meningkatkan kemampuan berbicara anak