HALILIAN TURI-TURIAN NI HALAK SIPIROK BANGGO-BANGGO KARYA ABDURRAHMAN
RITONGA: KAJIAN PSIKOLOGI SASTRA
SKRIPSI
Disusun Oleh:
ABDI RAHMATSAH SIREGAR NIM: 130703016
PROGRAM STUDI SASTRA BATAK FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa. Karena rahmat dan perlindungan-Nya sehingga penulis mampu mengerjakan skripsi ini dan tidak lupa pula salawat kepada Nabi Muhammad SAW agar kelak mendapat syafaatnya.
Judul skripsi adalah Halilian Turi-Turian Ni Halak Sipirok Banggo- Banggo Karya Abdurrahman Ritonga: Kajian Psikologi Sastra. Adapun yang menjadi alasan penulis memilih judul skripsi ini adalah karena judul tersebut merupakan suatu kesusastraan Etnik Batak Angkola yang unik dan judul tersebut belum pernah diteliti. Penulis berharap skripsi ini berguna bagi pembaca dan mengetahui tentang kajian yang akan segera diselesaikan oleh penulis. Untuk memudahkan pemahaman tentang apa saja yang akan dibahas dalam skripsi maka penulis memaparkan rincian sistematika penulisannya yang dimulai dari :
Bab I merupakan pendahuluan. Pada bab ini, diuraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, serta manfaat penelitian.
Bab II merupakan tinjauan pustaka, yang mencakup kepustakaan yang relevan dan teori yang digunakan.
Bab III merupakan metode penelitian, yang terdiri dari : metode dasar, objek penelitian, sumber data penelitian, teknik pengumpulan data, dan metode analisis data.
Bab IV merupakan pembahasan tentang masalah yang ada pada rumusan masalah.
Bab V berisi kesimpulan dan saran.
Penulis menyadari skripsi ini belum sempurna. Oleh sebab itu, dengan kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk menyempurnakan skripsi ini.
Medan, Desember 2017 Penulis,
Abdi Rahmatsah Siregar NIM. 130703016
HATA PATUJOLO
Puji dohot sukur panyurat sampehon tu Allah SWT, Tuhan Na Markuaso.
Harana rahmat dohot parlindungan-Na ma panyurat bisa mangarejohon skripsi on dohot inda lupa museng salawat tu Nabi Muhammad SAW atco mandapot syafaatna.
Judul ni skripsi on ima Halilian Turi-Turian Ni Halak Sipirok Banggo- Banggo Karya Abdurrahman Ritonga: Kajian Psikologi Sastra. Adong pe na manjadi alasan ni panyurat mamilih judul skripsi i harana judul on marupahon kesusastraan Etnik Batak Angkola na unik dohot judul on na podo jungada ditaliti.
pangidoan ni panyurat skripsi on marguna tu na mambasa dohot mamboto kajian na giot disalosehon panyurat. Atco ummomo dimangorti aha-aha sajo na giot dibahas dibagasan ni skripsi on panyurat pe mamaparhon rincian sistematika situlison na mulai sian:
Pasadahon ima pendahuluan, dison dipaboa ma latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, dohot manfaat penelitian.
Paduahon ima tinjauan pustaka, na mancakup kepustakaan na relevan dohot teori na dipake.
Patoluhon ima metode penelitian, na mulai sian : metode dasar, objek penelitian, sumber data penelitian, teknik pengumpulan data, dohot metode analisis data.
Paopatkon ima pambahasan masalah na adong dirumusan masalah.
Palimahon ima na marisi kesimpulan dohot saran.
Takkas do diboto panyurat na bahatan dope hurang ni skripsi on. Ima mangkana bolas pangidoan panyurat mangharapkon kritik dohot saran sian pambaca atco murjeges ma skripsi on.
Medan, Desember 2017 Panyurat,
Abdi Rahmatsah Siregar NIM. 130703016
ht pTjolo
Pjidohto\SkR\p]rt\sm\pehno\Tal\lh\s\w\
t\
Thn\nmr\KasnHrnrh\mt\dohto\pr\lni\D<
n\nmp]rt\bism<rejohno\s\k\rpi\siano\doh to\ani\dLpMse^slwt\TnbiMhm\md\S\aw\at\
comn\dpto\ spat\n
JdL\s\k\rpi\siano\Imhlilian\TriTrian\ni hlk\sipirko\b^gob^gokr\yab\dR\rh\mn\rit o<kjian\p\sikologiss\tado^penmn\jdialn\n ip]rt\mmilhi\JdL\IhrnJdL\ano\mRphno\ke Sss\t\rn\ate\nki\btk\a<\kolnAki\dohto\
s\k\rpo\siano\npodoJ<dditlitip<idoan\nip]
rt\s\k\rpi\siano\mr\GnTnmm\badohto\mm\
botokjian\giato\dislosEhno\p]rt\at\coaM
\momodim<ro\tiahahsjongiato\dibhs\dibg sn\s\k\rpi\siano\p]rt\pEmmpr\hno\rni\ci an\ssi\tEmtiksiTlisno\nMlaisian\psdhno\
ImpnE\dHLan\disno\dipboamltr\bElk<\RMs n\mslh\TJan\peeeeeenElitian\dohto\mn\pat\pEnEl itian\
pDahno\Imtni\jAan\pS\tknmn\ckP\kEpS\
tkan\nrElEpn\dohto\tEaorindipkE
ptoLhno\ImmEtodEpEnElitian\nMlaisian\mEtxdE dsr\abo\jkEE\pEnElitian\sM\brE\dtpenelitian\
tkE\nkE\pe<M\Pln\dtdohto\mEtodEanlissi\dat a
paopt\kno\Impm\bhsn\mslh\nad<o\diRMs n\ mslh\
plimhno\ImnmrisikEsmi\Pln\dohto\srn\
tk\ks\dodibotop]rt\nbhtn\dopeHr^nis\k\pi
\siano\Imm<\knbols\p<idoan\p]rt\m^hrpk no\k\ritki\dohto\srn\sian\pm\bcat\comR\
jEgsE\ms\k\rpi\siani\
mEdn\desme\bre\ 2017 p]rt\
ab\dirh\mt\sh\siregr\
nmi\ 130703016
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkah dan karunia yang telah dilimpahkan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dan juga salawat kepada Nabi Muhammad SAW semoga kelak mendapat syafaatnya.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas motivasi, pemikiran, semangat, bantuan tenaga, serta arahan dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. Bapak Dr. Budi Agustono, M.S., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, Wakil Dekan I, Wakil Dekan II, Wakil Dekan III, dan seluruh pegawai dilingkungan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Drs. Warisman Sinaga, M.Hum., sebagai Ketua Program Studi Sastra Batak Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Drs. Flansius Tampubolon, M.Hum., sebagai Sekretaris Program studi Sastra Batak Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
4. Ibu Dra. Rosita Ginting, M. Hum., selaku pembimbing I yang telah memberikan banyak pemikiran, saran, arahan, dan motivasi, serta mengorbankan waktu dan tenaga bagi penulis dalam penulisan skripsi ini.
5. Bapak/Ibu dosen Sastra Batak tanpa terkecuali, bapak/ibu dosen di lingkungan fakultas ilmu budaya yang memberikan pengajaran dan bimbingan kepada penulis mulai dari awal sampai akhir perkuliahan, serta staf pegawai administrasi yang telah membantu dan memperlanjar urusan administrasi selama penulis kuliah di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
6. Teristimewa kepada kedua orang tua penulis, Alm. Haris Siregar dan Nil Azmah Rambe S.Pd. Terimakasih yang tak terhingga penulis
ucapkan atas pengorbanannya mulai dari penulis kecil hingga sekarang. Terkhusus kepada Omak tercinta yang telah menjadi Ibu paling tangguh semenjak kepergian Bapak terima kasih atas segala pengorbanan baik material maupun non material dan atas segala doa, pengertian, dukungan, nasehat, motivasi yang diberikan kepada penulis baik secara langsung maupun melalui alat komunikasi lainnya.
7. Saudari-saudari penulis (Ana Hariani Siregar, Nurhafsyah Siregar dan Aninda Yunita Siregar) sebagai orang-orang yang penulis hormati dan sangat penulis sayangi, penulis mengucapkan terimakasih atas doa, dukungan, dan yang senantiasa memberi semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
8. Kepada Nabil Akbar Harahap, Rafkah Naufal Harahap dan Muhammad Reysa kerena wajah-wajah kalian membuat penulis mendapat semangat yang berlebih dalam mengerjakan skripsi ini.
9. Teman-teman seperjuangan stambuk 2013, Sukri Hasibuan, Ellen Katrina Simamora, Dedi Rovindo Capah, Teo Pilus Purba, Jepri Siahaan, Jonni Ardy Manik, Dewasa Silalahi, Dodi Sibarani, Jonni Berutu, Jamil Berutu, Wendy Harahap, Immanuel Silaban, Debora Siahaan, Veronika Marbun, Sriwati Purba, Rizky Sihotang, Dosmaulina Sihite, Mychael T Saragih, Benedikta Simalango, Richardo Nadeak, Laura Sesil Frida Sitompul, Darmila Andriyani, Wulan Nainggolan, Dasa Rejeki Diah Banjarnahor, Stevania Silalahi, Novendri Dadik, John Hendrik Sihotang dan yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, terimakasih atas waktu dan kebersamaannya selama perkuliahan, terimakasih juga atas bantuan dan dukungan dan kepeduliannya kepada penulis dengan selalu bertanya kapan wisuda.
10. Abang dan kakak stambuk 2010, 2011, dan 2012 yang telah memberikan motivasi dan pemikirannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
11. Adik-adik stambuk 2014, 2015, 2016, dan 2017 yang telah memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini
dan terkhusus kepada Tiara Siregar (2016) yang telah banyak membantu penulis dalam menterjemahkan.
12. Abangda alumni Risdo Saragih, S.S, Bob Hendro sihombing S.S, serta abang dan kakak alumni yang lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terimakasih atas nasehat, saran dan motivasinya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
13. Tak lupa terima kasih kepada kawan-kawan Alegori dan kawan-kawan duduk menikmati kopi atas adrenalin, canda, diskusinya, dan semangat yang tidak pernah putus.
14. Semua pihak yang telah membantu, memberi saran, motivasi, nasehat, dan pemikiran kepada penulis yang tidak dapat penulis tuliskan dan sebutkan satu persatu, penulis ucapkan banyak terimakasih sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.
Medan, Desember 2017 Penulis,
Abdi Rahmatsah Siregar NIM. 130703016
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
UCAPAN TERIMA KASIH... vii
DAFTAR ISI ... x
ABSTRAK ... xii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 4
1.3 Tujuan Penelitian ... 5
1.4 Manfaat Penelitian ... 5
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kepustakaan Yang Relevan ... 6
2.2 Teori Yang Digunakan ... 7
2.2.1 Teori Keperibadian Psikoanalisis Sigmund Frued ... 7
2.2.2 Pengertian Sastra ... 11
2.2.3 Pengertian Psikologi ... 12
2.2.4 Pengertian Psikologi Sastra ... 12
2.2.5 Pengertian Tokoh ... 13
2.2.6 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejiwaan Manusia ... 15
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Metode Dasar ... 21
3.2 Objek Penelitian ... 22
3.3 Sumber Data Penelitian ... 22
3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 22
3.5 Metode Analisis Data ... 23
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Aspek Psikologis Tokoh …...24
4.2 Faktor-faktor Yang Melatarbelakangi ... 55
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 64
5.2 Saran ... 66
DAFTAR PUSTAKA ... 68
LAMPIRAN 1. Identitas Buku ... 71
2. Sinopsis ... 73
ABSTRAK
Siregar, Abdi Rahmatsah. 2017. Judul Skripsi: Halilian Turi-Turian Ni Halak Sipirok Banggo-Banggo Karya Abdurrahman Ritonga: Kajian Psikologi Sastra.
Terdiri dari 5 bab.
Penelitian ini merupakan kajian tentang Psikologi Sastra Terhadap Buku yang Berjudul Turi-Turian Ni Halak Sipirok Banggo-Banggo Karya Abdurrahman Ritonga. Masalah dalam penelitian ini adalah aspek psikologis dan yang melatar belakangi psikologis para tokoh dalam cerita Turi-Turian Ni Halak Sipirok Banggo- Banggo Karya Abdurrahman Ritonga. Teori yang digunakan dalam menganalisis tokoh cerita tersebut ialah teori psikoanalisis kepribadian yang dikemukakan oleh Sigmund Freud yaitu id, ego dan superego. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif.
Kata kunci: Halilian Turi-Turian Ni Halak Sipirok Banggo-Banggo, Kajian Psikologi Sastra
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Seperti halnya kesenian lainnya sastra juga memiliki keindahan, yang menimbulkan rasa senang, tawa, bahagia, haru, sedih, bahkan bisa membantu penikmatnya untuk mendapatkan suatu kepuasan batin.
Di Indonesia tidak terlepas dari sastra-sastra daerahnya. Semuanya terlihat dari banyaknya daerah-daerah yang memiliki kesusastran. Begitu juga pada daerah provinsi Sumatera Utara. Beragam suku yang mendiami provinsi Sumatera Utara, antara lain adalah suku Batak. Suku Batak ini pun terbagi lagi menjadi beberapa bagian sub entik di mana salah satunya adalah Batak Angkola.
Meskipun orang-orang Batak Angkola sudah menyebar ke berbagai penjuru Indonesia mungkin juga dunia karena merantau. Akan tetapi Batak Angkola ini asal dari bagian selatan provinsi Sumatera Utara atau sebuah tempat yang bernama Sipirok.
Masyarakat Batak Angkola juga mengenal sastra, salah satunya adalah turi-turian. Turi-Turian adalah kisah dongeng, cerita atau kisah budaya dari kalangan Batak. Dongeng adalah cerita pendek kolektif kesusastraan lisan.
Selanjutnya dongeng adalah cerita rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi.
Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun banyak juga melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran moral, atau bahkan sindiran (Danandjaja, 1984:
83). Turi-turian pun disampaikan melalui lisan. Orang yang menyampaikan atau menceritakan sebuah cerita itu disebut parturi.
Seseorang yang bernama Abdurrahman Ritongga telah membukukan turi- turian tersebut. Pengarang ini pun memberi judul Halilian Turi-Turian Halak Sipirok Banggo-Banggo. Jika judul buku tersebut diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, kurang lebih memiliki arti yang seperti ini, “Kegiataan Menghabiskan Waktu Cerita Masyarkat Sipirok Pedalaman”. Pada buku tersebut terdapat beberapa turi-turian atau cerita yang memang berkembang pada masyarakat Batak Angkola.
Dalam hal ini pengarang menuliskan turi-turian tersebut dengan menggunakan bahasa Batak Angkola. Dengan gayanya sendiri pengarang menghadirkan dan menyajikan tokoh-tokoh yang cukup menghibur pembaca buku tersebut.
Dalam sebuah turi-turian, terdapat tokoh yang membangun suatu cerita tersebut. Tokoh biasanya ditampilkan secara lengkap, misalnya bentuk fisik, keadaan sosial, tingkah laku, kebiasaan, sifat dan lain-lain. Pengambaran tokoh tersebut disebut dengan penokohan, “penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita” (Jones dalam Nurgiyanto, 1968:33).
Seperti yang dijelaskan diawal, melalui sastra penikmat dapat menemukan kepuasan batin karena pengaruh sastra tersebut. Dengan kata lain pembaca menangkap pesan yang disampaikan oleh sipengarang melalui sebuah karya sastra.
Dalam menyajikan tokoh pada sebuah cerita, salah satunya terpengaruh oleh ilmu psikologi. Meskipun sastrawan jarang berpikir secara psikologis, tetapi karyanya tetap bisa bernuansakan kejiwaan. Psikologi sastra memandang karya sebagai aspek kejiwaan. Psikologi sastra tidak berkmasud untuk memecahkan masalah-masalah psikologis praktis. Tetapi secera defenitif, “tujuan psikologi sastra adalah memahami aspek-aspek kejiwaan yang terdapat dalam suatu karya sastra” (Ratna dalam Umry, 2015: 29).
Dengan demikian karya sastra dapat dikaji dengan menggunakan pendekatan psikologis.
Untuk mengkaji sebuah karya sastra, penelitian ini menggunakan psikoanalisis Sigmund Freud. Ada beberepa tokoh psikoanalisis dunia seperti, Jung, Adler, dan Sigmund Freud sendiri. Tetapi Sigmund Freud lah yang secara langsung berbicara tentang proses penciptaan seni. Pendekatan psikologis banyak bersandar pada psikoanalisis yang dikembangkan oleh Freud. Dimana Freud berbicara tentang Id, Ego, dan Superego.
Pada buku yang berjudul Halilian Turian-Turian Halak Sipirok Banggo- Banggo mempunyai keunikan dalam fenomena psikologis yang dialami tokohnya.
Khususnya tokoh yang ada pada bab Bittot Van De Longas atau jika diterjemahkan ke Bahasa Indonesia memiliki arti yaitu “Bodoh Bin Tolol”.
Adapun tokoh utama dalam cerita tersebut adalah seorang pemuda yang bernama si Tigor dan seorang wanita Bonur Togur Niari Boru Regar.
Dalam buku turi-turian tersebut diceritakan si Tigor tersesat di alam gaib atau dunia makhluk halus, lalu si Tigor bertemu dengan Bonur Togur Niari Boru Regar. Si Tigor yang tidak kunjung pulang membuat keluarganya merasa
khawatir dengan keberadaannya. Meski awalnya keluarganya tidak memberitahukan kepada sanak pamali mereka.
Gejolak psikologis yang dialami para tokoh dalam cerita Halilian Turi- turian Ni Halak Sipirok Banggo-Banggo Karya Abdurrahman Ritonga tersebut menarik untuk diteliti, meskipun hanya sebuah dongeng. Penulis yakin hal ini sebenarnya pernah terjadi pada masyarak Batak Angkola.
Maka dari itu penulis memilih judul Halilian Turi-Turian Ni Halak Sipirok Banggo-Banggo Karya Abdurrahman Ritongga: Kajian Psikologi Satra.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan sebelumnya, permasalahan dalam skripsi ini penulis merumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana aspek psikologis tokoh dalam cerita Halilian Turi-Turian Ni Halak Sipirok Banggo-Banggo Karya Abdurrahman Ritonga?
2. Faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi munculnya aspek psikologis tokoh dalam cerita Halilian Turi-Turian Ni Halak Sipirok Banggo-Banggo Karya Abdurrahman Ritonga?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui aspek psikologis tokoh dalam cerita Halilian Turi-Turian Ni Halak Sipirok Banggo-Banggo Karya Abdurrahman Ritonga.
2. Mengetahui faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi munculnya aspek psikologis tokoh dalam cerita Halilian Turi-Turian Ni Halak Sipirok Banggo-Banggo Karya Abdurrahman Ritonga.
1.4 Manfaat Penelitian
Segala sesuatunya pastilah bermanfaat, begitu juga halnya penelitian ini.
Penulis berharap penelitian ini bisa bermanfaat bagi penulis sendiri dan juga menjadi sumbangan dalam kajian sastra khususnya kesusastraan Batak, dan terkhusus lagi bagi masyarakat Batak Angkola lebih luas lagi khalayak banyak.
Semoga hasil penelitian ini bisa bermanfaat sebagai berikut:
1. Sebagai salah satu informasi mengenai buku Halilian Turi-Turian Ni Halak Sipirok Banggo-Banggo Karya Abdurrahman Ritongga.
2. Sebagai literatur kebudayaan.
3. Sebagai referensi bagi peneliti-peneliti lain khususnya yang memfokuskan penelitian pada kajian psikologi sastra.
4. Melengkapi khazanah pustaka Program Studi Sastra Batak, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kepustakaan yang Relevan
Studi kepustakaan merupakan langkah penting seorang peneliti menerapkan topik penelitian, yaitu melakukan kajian yang berkaitan dengan topik penelitian (Najir dalam Sinaga, 2016: 8).
Dalam penulisan sebuah karya ilmiah, sangat diperlukan kajian pustaka.
Dalam penulisan skripsi ini pun tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan. Kajian pustaka adalah paparan atau konsep yang mendukung pemecahan permasalahan dalam suatu penelitian, paparan atau konsep itu bersumber dari pendapat para ahli, empirisme (pengalaman peneliti) dan daya nalar peneliti yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Adapun hasil penelitian lain yang digunakan dalam memahami dan mendukung penulisan skirpsi ini adalah:
1. Sigmund Freud, (Buku: 2016. Edisi Revisi. Cetakan ke-II) dengan judul Psikoanalisis Sigmund Frued. Buku yang diterjemahkan oleh K. Bartens ini memuat tentang tulisan-tulisan dan ceremah-ceramah Sigmund Freud mengenai psikoanalisis. Kontribusinya dalam penelitan ini sangat besar karena membantu penulis dalam memahami apa sebenarnya teori psikoanalisis Sigmund Freud.
2. Suwardi Endraswara, (Buku: 2008) dengan judul Metodologi Psikologi Sastra. Kontribusinya dalam penelitian ini sangat besar karena membantu penulis mengambil langkah-langkah dalam penelitian ini.
3. Albertine Minderop, (Buku: 2011. Edisi Revisi). Dengan Judul Psikologi Sastra: Karya Sastra, Metode, Teori, Dan Contoh Kasus. Kontribusi buku ini dalam penelitian adalah sebagai refrensi tambahan dalam menganalisis sebuah cerita dengan menggunakan kajian psikologi sastra.
2.2 Teori yang Digunakan
Teori merupakan hal yang sangat perlu dalam menganalisis suatu karya sastra yang diajukan sebagai objek penelitian. Teori adalah landasan dan pondasi untuk melihat unsur-unsur yang terdapat dalam karya sastra. Pengertian teori menurut (Singarimbun dan Effendi, 1989:37) adalah serangkaian asumsi, konsep, konstrak, definisi dan preposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.
2.2.1 Teori Keperibadian Psikoanalisis Sigmund Freud
Buku pertama yang di tulis oleh Freud dalam kerja sama dengan Dokter Josef Breuer: Studi-Studi Tentang Histeria (1895) adalah awal mulanya psikoanalisis ia temukan ketika mengobati pasien-pasien neourosisnya. Awalnya Freud berpendapat bahwa kehidupan psikis manusia mengandung dua bagian, yaitu kesadaran (the conscious) dan ketidaksadaran (the unconscious). Tetapi pada bukunya Ego dan Id (1923) Freud merivisi kesadaran dan ketidaksadaran menjadi id, ego, dan superego.
Menurut Sigmud Freud struktur kepribadian manusia terbagi tiga instansi:
1. Id
Id berasal dari bahasa Latin yang berarti “itu” (dia untuk benda) atau Es dalam bahasa Jerman bahasa yang digunakan oleh Freud, merupakan bagian ketidaksadaran. Menurut Freud (2016: 32) Id adalah lapisan psikis paling mendasar. Terdapat naluri-naluri bawaan (seksual dan agresif) dan keinginan- keinginan yang direpresikan. Id, menjadi bahan dasar bagi pembentukan hidup psikis lebih lanjut.
Menurut Rokhana (2009: 19) Ciri-ciri Id adalah:
a. Merupakan aspek biologis kepribadian karena berisi unsur-unsur biologis termasuk di dalamnya insting-insting.
b. Merupakan sistem yang paling asli di dalam diri seseorang karena dibawa sejak lahir dan tidak memperoleh campur tangan dari dunia luar (dunia objektif).
c. Berupa realitas psikis yang sesungguhnya karena hanya merupakan dunia batin/dunia subjektif manusia dan sama sekali tidak berhubungan dengan dunia objektif.
d. Merupakan sumber psikis yang menggerakan Ego dan Superego.
e. Prinsip kerja Id untuk mengurangi ketegangan adalah prinsip kenikmatan (pleasure principle), yaitu mengurangi ketegangan dengan menghilangkan ketidakenakan dan mengejar kenikmatan.
Prinsip kenikmatan ini dilakukan melalui dua proses, yaitu:
1) Refleksi dan reaksi otomatis, misalnya bersin, berkedip.
2) Proses primer, misalnya orang lapar membayangkan makanan.
2. Ego
Ego berasal dari bahasa Latin yang berarti “aku” atau dalam bahasa Jermannya Ich. Menurut Freud (2016: 33), Ego terbentuk dengan diferensiasi Id karena kontaknya dengan dunia luar. Ego bersifat sadar dan sebagai contoh aktivitas sadar boleh disebut: presepsi lahiriah, presepsi batin, proses-proses ingatan.
Menurut Rokhana (2009: 20) Ciri-ciri Ego adalah:
a. Merupakan aspek psikologis kepribadian karena timbul dari kebutuhan organism untuk berhubungan baik dengan dunia nyata dan menjadi perantara antara kebutuhan instingtif organism dengan keadaan lingkungakan.
b. Bekerja dengan prinsip kenyataan (reality principle) yaitu menghilangkan ketegangan dengan cara mencari objek yang tepat di dunia nyata untuk mengurangi ketegangan.
c. Proses yang dilalui dalam menemukan objek yang tepat adalah proses skunder, yaitu proses berfikir realitas melalui perumusan rencana pemuasan kebutuhan dan mengujinya (secara teknis disebut reality testing) untuk mengengetahui berhasil tidaknya melalui suatu tindakan.
d. Merupakan aspek eksekutif kepribadian karena merupakan aspek yang mengatur dan mengontrol jalan yang ditempuh serta memilih objek yang tepat untuk memuaskan kebutuhan.
3. Superego
Superego atau Ueberich dalam bahasa Jerman. Menurut Freud (2016: 33) Superego dibentuk melalui jalan internalisasi, artinya larangan-larangan atau perintah-perintah yang berasal dari luar (pengasuh-pengasuh, khususnya orang
tua) diolah sedemikian rupa sehingga akhirnya terpancar di dalam. Dengan kata lain, Superego adalah buah hasil proses internalisasi, sejauh proses larangan- larangan dan perintah-perintah yang tadinya ditemui sebagai “asing” bagi si subjek akhirnya dianggap sebagai sesuatu yang berasal dari subjek sendiri.
Menurut (Rokhana, 2009: 21) Ciri-ciri Superego adalah:
a. Merupakan aspek sosiologis kepribadian karena merupakan wakil nilai- nilai tradisional dan cita-cita masyarakat sebagaimana ditafsirkan orang tua kepada anak-anaknya melalu berbagai perintah dan larangan.
“Engkau tidak boleh…” atau “Engkau harus…” menjadi “Aku tidak boleh… atau “Aku harus…”
b. Merupakan aspek moral kepribadian karena fungsi pokoknya adalah menentukan apakah sesuatu benar atau salah, pantas atau tidak sehingga seseorang dapat bertindak sesuatu dengan moral masyarakat.
Dihubungkan dengan ketiga aspek kepribadian, fungsi pokok Superego adalah:
1) Merintangi impuls-impuls id terutama impuls-impuls terutama seksual dan agresi yang sangat di tentang masyarakat.
2) Mendorong Ego untuk belajar lebih mengejar hal-hal yang moralistis dari pada realistis.
3) Mengejar kesempurnaan.
2.2.2 Pengertian Sastra
Beberapa definisi para ahli tentang pengertian sastra dapat kita lihat sebagai berikut:
Teeuw (1984:23) mengatakan kata sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta akar kata sas dalam kata kerja turunan berarti mengarahkan, mengajar, memberikan petunjuk atau instruksi. Arti kata tra biasanya menunjukkan alat, suasana. Maka dari kata sastra dapat berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi dan pengajaran.
Semi (1988:4) mengatakan “sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang obyeknya manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya”.
Fananie (Sari, 2007:26) mengatakan: “bahwa sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan yang mampu mengungkapkan kemampuan asepek keindahan yang baik didasarkan aspek kebahasaan maupun aspek makna”.
Kutipan di atas menyatakan, sastra diartikan sebagai alat untuk mengajar, memberi instruksi dan petunjuk kepada pembaca. (Wellek dan Warren, 1987:3) mengatakan bahwa sastra adalah suatu kajian kreatif, sebuah karya seni
Dari keseluruhan defenisi sastra di atas, adalah berdasarkan persepsi masing-masing pribadi dan sifatnya deskriptif, pendapat itu berbeda satu sama lain. Masing-masing ahli menyampaikan aspek-aspek tertentu, namun yang jelas defenisi tersebut dikemukakan dengan prinsip yang sama yaitu manusia dan lingkungan. Manusia menggunakan seni sebagai pengungkapan segi-segi kehidupan.
Dari beberapa batasan yang diuraikan di atas selalu disebut unsur tentang isi sastra berupa pikiran, perasaan, pengalaman, ide-ide, semangat kepercayaan dan lain-lain. Ekspresi atau ungkapan adalah upaya untuk mengeluarkan sesuatu
dalam diri manusia, bentuk diri manusia dapat di ekspresikan pada orang lain. Ciri khas pengungkapan bentuk pada sastra adalah bahasa. Bahasa adalah bahan utama untuk mewujudkan ungkapan pribadi di dalam bentuk yang indah.
2.2.3 Pengertian Psikologi
Secara etimologi psikologi berasal dari bahasa Yunani yakni psyche dan logos. Kata psyche memiliki arti roh, jiwa, atau sukma, sedang logos memiliki arti
“ilmu”. Jadi, secara harfiah psikologi adalah ilmu jiwa atau ilmu yang objek kajiannya adalah jiwa (Umry, 2015: 1).
Dalam perkembangannya psikologi kemudian menjadi ilmu yang memperlajari tingkah laku manusia. Keadaan jiwa seseorang dapat dipelajari bila sudah berupa sebagai perilaku. Perilaku merupakan wujud dari keadaan seseorang melatar belakangi timbulnya hampir seluruh tingkah laku (Dirgagunarsa dalam Rokhana, 2009: 14).
2.2.4 Pengertian Psikologi Sastra
Psikologi sastra adalah interdisiplin antara psikologi dan sastra (Endraswara, 2008:16).
Sastra pada hakikatnya adalah hasil krativitas pengarang yang menggunakan media bahasa yang diabadikan untuk kepentingan estetis. Yang berarti di dalamnya bernuansakan suasana jiwa pengarang, baik suasana pikir maupun suasana rasa yang ditangkap dari gejala kejiwaan orang lain (Roekhan dalam Endraswara, 1990: 91)
Umry (2015: 29) mengatakan, ada tiga cara dilakukan untuk memahami hubungan sastra dengan psikologis, yaitu:
1. Memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis
2. Memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional dalam karya sastra 3. Memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca.
Antara psikologi dan sastra dapat saling bersimbiosis dalam perannya terhadap kehidupan, apalagi keduanya memiliki fungsi bagi hidup ini. Sama-sama berurusan dengan persoalan manusia sebagai individu maupun sosial. Keduanya juga memanfaatkan landasan yang sama, yaitu menjadikan pengalaman manusia sebagai bahan utama penelaahan. Itu sebabnya, pendekatan psikologi dianggap penting penggunaannya dalam penelitian dan kritik sastra sama hal seperti sosiologi sastra. Dalam hal ini, psikologi dapat diberlakukan sebagai alat analisis, baik dalam bentuk umum, seperti psikoanalisis yang diperkenalkan Sigmund Freud (Endraswara, 2008:15).
2.2.5 Pengertian Tokoh
Menurut Sudjiman (1988: 16) tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan di dalam berbagai peristiwa cerita. Tokoh pada umumnya berwujud manusia, tetapi dapat juga berwujud binatang atau benda yang diinsankan.
Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita (Aminuddin dalam Nurgiyantoro, 1995: 79).
Tokoh cerita menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2000: 165) adalah orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang di ekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat diambil kesimpulan tokoh adalah individu rekaan pada suatu cerita.
Tokoh cerita dalam sebuah fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis penamaan berdasarkan sudut mana penamaan itu dilakukan. Berdasarkan sudut pandang dan tinjauan, seseorang tokoh dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis penamaan sekaligus (Nurgiyantoro, 2002: 176).
Aminuddin (dalam Nurgiyantoro, 1995: 79-80) menyatakan terdapat dua macam tokoh suatu cerita, yaitu:
a. Tokoh Utama
Tokoh utama adalah tokoh yang memiliki peranan penting dalam suatu cerita. Tokoh ini merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian.
b. Tokoh pembantu
Tokoh pembantu adalah tokoh yang memiliki peranan tidak penting dalam cerita dan kehadiran tokoh ini hanya sekedar menunjang tokoh utama.
2.2.6 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejiwaan Manusia
Kejiwaan manusia dapat dipengaruhi oleh banyak hal. Menurut (Dougall dalam Rakhmat, 2007:33) menyebutkan pentingnya faktor-faktor personal dalam menentukan insteraksi sosial dan masyarakat. Tetapi, Edward Ross, seorang
sosiolog menegaskan utamanya faktor situasional dan sosial dalam membentuk perilaku individu. Secara umum faktor yang mempengaruhi kejiwaan ada dua (Rakhmat, 2007: 33) yaitu:
1. Faktor Personal
Faktor personal adalah faktor yang berasal dari individu itu sendiri, antara lain:
A. Faktor Biologis
Faktor biologi berpengaruh dalam seluruh kegiatan manusia. Warisan biologi manusia menentukan kejiwaannya. Kejiwaan yang merupakan bawaan manusia, bukan pengaruh lingkungan (Rakhmat, 2007: 34).
B. Faktor Sosiopsikologis
Manusia sebagai makhluk sosial mengalami proses sosial sehingga diperoleh beberapa karakteristik yang mempengaruhi perilaku. Faktor sosiopsikologis digolongkan menjadi tiga, yaitu:
1) Komponen Afektif
Komponen afektif merupakan aspek emosional dari faktor sosiopsikologis.
Yang termasuk ke dalam komponen afektif adalah sebagai berikut:
a. Motif Sosiogenis
Motif sosiogenesis disebut juga motif sekunder. Peranannya sangat penting dalam pembentukkan prilaku sosial. Motif sosiogenis meliputi:
a) Motif ingin tahu
b) Motif kompetensi c) Motif cinta
d) Motif harga diri dan kebutuhan mencari identitas e) Motif kebutuhan pemenuhan diri
f) Motif akan nilai b. Sikap
Sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi dan nilai. Sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi, sikap bukan rekaman masa lalu, sikap mengandung aspek evaluatif dan sikap timbul dari pengalaman (Rakhmat, 2007: 40).
c. Emosi
Emosi menunjukkan kegoncangan organism yang disertai gejala-gejala kesadaran perilaku, dan proses fisiologi. Emosi mempunyai empat fungsi (Rakhmat, 2007: 40), yaitu:
a) Sebagai pembangkit energi.
b) Sebagai pembawa informasi.
c) Pembawa pesan dalam interpersonal.
d) Pemberi informasi tentang sumber keberhasilan mereka.
2) Faktor Kognitif
Termasuk dalam komponen ini adalah kepercayaan, kepercayaan adalah keyakinan bahwa sesuatu itu benar atau salah atas dasar bukti, sugesti, otoritas, pengalaman, atau intuisi (Kohler dalam Rakhmat, 2007: 43).
3) Komponen Konatif
Komponen konatif terdiri dari kebiasan dan kemauan. Kebiasaan adalah aspek manusia menetap, berlangsung secara otomatis tidak direncanakan.
Kebiasan merupakan hasil pelaziman yang berlangsung pada waktu yang lama atau sebagai reaksi khas yang diulangi berkali-kali. Sedangkan kemauan erat dengan tindakan, bahkan ada yang mendefenisikan sebagai tindakan yang merupakan usaha seseorang untuk mencapai tujuan (Kohler dalam Rakhmat, 2007: 43).
2. Faktor Situasional
Faktor situasional adalah faktor yang datang dari luar individu. Menurut (Sampson dalam Rakhmat, 1986: 54-58) faktor situasional meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. Faktor Ekologis
Keadaan alam akan sangat mempengaruhi gaya hidup dan kejiawaan seseorang. Contoh: Banyak orang yang menghubungkan kemalasan bangsa Indonesia pada mata pencaharian bertani dan matahari yang selalu bersinar setiap hari. Hal ini disebabkan efek temperatur pada tindakan kekerasan, perilaku, dan emosional (Rakhmat: 2007: 44).
b. Faktor Desain dan Arsitektur
Satu rancangan arsitektur dapat mempengaruhi pola komunikasi di antara orang yang hidup dalam naungan satu arstitektural (Rakhmat, 2007: 45). Contoh:
orang yang tinggal dilingkungan pesantren komunikasi di antara santrinya akan
lebih terbuka karena tempat tinggal dan mempunyai aktivitas yang sama disatu tempat yang sama, sehingga hubungan kebatinan terjalin.
c. Faktor Temporal
Waktu memberi pengaruh pada jiwa manusia. Contoh: Tubuh manusia dari tengah malam sampai pukul 04:00, fungsi tubuh manusia berada pada tahap paling rendah. Tetapi pendengaran sangat tajam, pada pukul 10:00 bagi orang introvert. Konsentrasi dan daya ingat mereka mencapai pada puncaknya.
Sedangkan pukul 15:00 orang-orang ekstrovert mencapai puncak dalaam kemampuanan analisis dan kreativitas (Panati dalam Rakhmat, 2007:45).
d. Faktor Suasana Perilaku
Lingkungan merupakan beberapa satuan yang terpisah yang disebut suasana perilaku. Contohnya: Di masjid orang tidak akan berteriak keras, seperti dalam pesta ulang tahun orang tidak akan melakukan upacara ibadah. Dalam suatu kampanye di lapangan terbuka, komunikator akan menyusun dan menyampaikan pesan dengan cara yang berbeda daripada ketika ia berbicara di hadapan kelompok kecil di ruang rapat partainya (Rakhmat, 2007: 43).
e. Faktor Teknologi
Lingkungan teknologis yang meliputi sistem energi, sistem produksi , distribusi, membentuk serangkain perilaku sosial yang sesuai dengan kejiwaannya. Contohnya: Adanya pesawat telepon membuat orang merasa dekat
dengan orang-orang tersayang. Meskipun jarak terpisah dan tidak bisa bertatap muka, hanya dengan mendengar suaranya saha kita bisa merasa dekat.
f. Faktor Sosial
Sistem peranan yang ditetapkan dalam suatu masyarakat, struktur kelompok dan organisasi, karakteristik populasi, adalah faktor-faktor sosial yang menata perilaku manusia. Karakteristik populasi seperti usia, kecerdasan, karakteristik biologis, mempengaruhi pola-pola anggota-anggota populasi tersebut (Rakhmat, 2007: 46). Contoh: Kelompok orang tua melahirkan pola perilaku yang berbeda dengan anak muda.
g. Faktor Psikososial
Presepsi tentang sejauh mana lingkungan memuaskan atau mengecewakan manusia, akan mempengaruhi kejiwaan manusia. Iklim psikososial menunjukkan presepsi seseorang tentang kebebasan individual, ketepatan pengawasan, kemungkinan kemajuan dan tingkat keakraban.
h. Faktor Yang Mendorong dan Memperteguh Perilaku Kejiwaan
Kendala situasi mempengaruhi kelayakan melakukan perilaku tertentu.
Situasi permisif (terbuka) memungkinkan orang melakukan banyak hal tanpa rasa malu. Sebaliknya, situasi restriktif (tertutup) menghambat berperilaku sekehendak hatinya. Contohnya: Orang Islam yang tinggal di lingkungan pesantren cenderung berperilaku dan berpenampilan lebih sopan.
i. Faktor Budaya
Faktor budaya sangat mempengaruhi kejiwaan seseorang. Seseorang dengan latar belakang budaya tertentu akan mempunyai jiwa tertentu pula dengan latar budayanya.
BAB III
METODE PENELITIAN
Menurut Siswantoro (2014: 55-56) metode adalah cara yang dipergunakan seorang peneliti di dalam usaha memecahkan masalah yang diteliti. Lalu penelitian adalah suatu kegiatan ilmiah, untuk mencari, mencatat, merumuskan dan menganalisis sampai dengan menyusun laporan.
Jadi metode penelitian adalah ilmu mengenai suatu cara yang dilaksanakan untuk memecahkan suatu masalah secara ilmiah.
3.1 Metode Dasar
Metode dasar yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau objek penelitian (novel, drama, cerita pendek, puisi) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagai mana adanya (Nawawi dalam Siswantoro, 2014: 56).
Ciri dari metode ini biasanya, difokuskan pada masalah faktual yang ada pada waktu penelitian. Data yang dikumpulkan, disusun, dianalisis dan interpretasi sangat bergantung pada teknik penelitian yang digunakan, karena itu teknik-teknik pengumpulan dan analisis data harus disajikan secara jelas dan detail. Mula-mula data dikumpulkan lalu disusun, dideskripsikan, dengan maksud menemukan usnur-unsurnya, kemudian dianalisis.
3.2 Objek Penelitian
Objek dalam penelitian ini adalah tokoh pada cerita Halilian Turi-turian Ni Halak Sipirok Banggo-banggo Karya Abddurrahman Ritongga.
3.3 Sumber Data Penelitian
Sumber data penelitian ini adalah teks yang ada dalam cerita Halilian Turi-turian Ni Halak Sipirok Banggo-banggo Karya Abddurrahman Ritongga.
Cetakan III. Terbit pada tahun 2010, terbitan Fakultas Matematika dan Ilmu pengetahuan Alam Universitas Negeri Medan. Dengan identifikasi fisik buku: x + 305 halaman. Ukuran, dengan panjang 21 cm, lebar 16 cm dan ketebalan 1,7 cm.
Menggunakan Bahasa Angkola.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik penelitian yang digunakan dalam membahas dan memecahkan masalah penelitian ini adalah dengan menggunakan studi kepustakaan (library research).
Langkah-langkah yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah:
1. Menerjemahkan buku Halilian Turi-turian Ni Halak Sipirok Banggo- banggo Karya Abddurrahman Ritongga dari Bahasa Angkola ke dalam Bahasa Indonesia.
2. Membaca berulang-ulang buku Halilian Turi-turian Ni Halak Sipirok Banggo-banggo Karya Abddurrahman Ritongga yang sudah diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia.
3. Mengumpulkan data atau buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian.
4. Mengelompokkan dan menganalisis kalimat-kalimat yang menunjukan aspek psikologi tokoh dalam cerita.
5. Membuat kesimpulan dari hasil penelitian.
6. Setelah itu penelitian tersebut disusun dalam bentuk skripsi.
3.5 Metode Analisis Data
Metode Analisis data dalam penelitian ini mengunakan metode analisis deskriptif. Metode ini bertujuan untuk mengkaji aspek psikologis tokoh dalam cerita Halilian Turi-turian Ni Halak Sipirok Banggo-banggo Karya Abddurrahman Ritongga dengan pendekatan psikoanalisis yang dikembangkan oleh Sigmund Freud yaitu teori kepribadian .
Selain mengungkapkan teori kepribadian yang ada dalam psikologi.
Pendekatan psikologi juga digunakan untuk mengungkap faktor-faktor yang melatarbelakangi aspek psikologis yang terjadi pada tokoh yang dikembangkan oleh Jalaludin Rakhmat.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Aspek Psikologis Tokoh Dalam Cerita Halilian Turi-Turian Ni Halak Sipirok Banggo-Banggo Karya Abdurrahman Ritonga
Dalam menganalisis aspek psikologis tokoh dalam cerita ini berdasarkan teori kepribadian psikoanalisis Sigmund Freud, yang terdiri dari id, ego, superego.
Antara id, ego, superego dalam diri manusia tidak dapat dipisahkan. Jadi menganalisis penelitian ini suatu data bisa terdapat satu atau dua, bahkan ketiganya.
a. Tokoh Utama 1. Tigor
Tigor / Si Tigor adalah salah satu tokoh utama dalam cerita ini, dimana dalam kehidupannya di dunia nyata pada cerita tersebut sebagai pemuda miskin yang putus sekolah. Ibunya sudah meninggal saat ia masih kecil, lalu ayahnya pun menikah lagi, setelah menikah ayahnya pun menyusul ibu yang melahirkannya dan ibu tiri Tigor pun menikah lagi. Di dalam kehidupannya bermasyarakat Tigor selalu dikucilkan. Bahkan ia di juluki Bittot Van De longas atau Sibodoh bin Tolol. Tigor adalah pemuda yang sangat pendiam dikehidupannya di dunia nyata.
Apabila ada yang hilang di kampung tersebut selalulah Tigor yang dituduh. Hal inilah yang membuat Tigor enggan tinggal di kampungnya, yaitu Sipirok. Apakah memang Tigor sebodoh dan setolol itu? Mungkin semuanya bisa di analisis dari kalimat-kalimat yang ada pada cerita. Pada suatu hari ketika Tigor mencari kayu bakar ke hutan ia pun tersesat di alam gaib dan bertemu dengan seorang gadis.
Lalu bagaimana Tigor selama tinggal di alam gaib tersebut? Hingga berujung pada kematian Tigor.
“Jago jolo so masuk au tu bagasan”, ning roha si Tigor. “Atco huligi jolo bagi ise do halak nampuna bagas on. Boti pe ma songgon na manguas hulala, bettak na bisa do mangido aek sandorguk tu nappuna bagason” (Ritonga, 2010: 4).
“Permisi aku ingin masuk ke dalam”, kata hati si Tigor. “biar ku lihat dulu siapa yang punya rumah ini. Lagi pula aku sudah merasa haus, siapa tahu bisa meminta air barang seteguk kepada pemilik rumah”.
Kutipan di atas adalah id Tigor. Ketika itu Tigor sudah berada di alam gaib. Pada kalimat “Permisi aku ingin masuk ke dalam” kata hati si Tigor. Biar aku lihat dulu siapa yang punya rumah ini” adalah superego-nya sebab kalimat tersebut adalah gagasan yang muncul dalam proses ia berfikir sebab ia ingin memenuhi id-nya yaitu rasa haus dengan meminta minum kepada pemilik rumah.
Namun saat Tigor memasuki pekarangan rumah tersebut ia pun bertemu dengan seorang wanita yang membuat Tigor terkesima.
“Mangido moop, mangido isin, marsantabi sampulu noli, sampulu noli marsantabi”, ning si Tigor pacokak-cokakon laho juguk di ginjang ni bangku tar dao saotik sian anak boru i, binoto do popat hum saotik, ning roha ni si Tigor, na dong popat muda juguk iba donok sian boru i, pado hal on dope ia ditanda”, laho manambahi” (Ritonga, 2010: 4).
“Mohon maaf, mohon izin, permisi sepuluh kali, sepuluh kali permisi”, kata si Tigor basa-basi sambil duduk di bangku itu, sedikit jauh dari anak gadis itu. Aku masih tahu aturan walaupun sedikit, dalam hati si tigor, “ tahunya tidak ada aturan kalau kita duduk di sebelah anak gadis ini, padahal baru kenal.”
Tambahnya”.
Kutipan di atas jelaslah id Tigor kemudian Tigor memproses superego.
Dimana Tigor masih memiliki moral yang sesuai dengan masyarakat.
Setelah Tigor menceritakan bahwasanya ia tersesat. Kemudian gadis itu pun menawarkan menetap dengannya.
“Ro alus ni si Tigor, “Bope inganan ni begu na rara, bope inganan Begu na balau, asal sonang rohamu manarimo au, ape sonang ma rohakku”, ning si Tigor laho pauli parjugknia atco mur tama mangaligi toppa ni anak boru i…”
(Ritonga, 2010: 6).
“Di jawab si Tigor, “Walaupun tempat ini tempat Begu Narara, walau pun tempat Jihin Na Balau, asal hati mu senang menerima aku, aku pun dengan senang hati.”
Katanya sambil memperbaiki posisi duduk biar makin sedap melihat wajah anak gadis itu…”.
Kutipan di atas adalah id Tigor. Seperti yang diharapkan Tigor ia pun menetap dengan gadis itu meski pun anak gadis itu telah menjelaskan kondisinya dan siapa pemilik rumah tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa Tigor tidak memikirkan apa yang sedang terjadi di kemudian hari, menunjukkan ego Tigor.
Setelah mendengarkan lagi cerita gadis itu. Sebenarnya Tigor sedikit ragu dengan tawaran gadis itu. Namun gadis itu berhasil meyakinkan Tigor.
Dari awal pertama bertemu dengan gadis itu, telah membuat Tigor jatuh hati dengan gadis itu. Mulai dari fisik anak gadis itu sampai dengan cara gadis itu memperlakukannya, saat pertama kali bertemu membuat Tigor pun langsung jatuh hati.
“Diligi huling-huling ni muko ni anak boru i pe, bia ma na alus, bohina boti limus, songon sanggar, landit ias cocok muse tu parpayak ni igungna i, songon ni muse tu bibir, pinggolna bottar maratting-atting menek marmata berlian lomlom muda mangaligi palambok pusu-pusu, paginjang angan-angan.
Sugari dibean sada horja, dipaluhut sude bujing-bujing mulai sian lombang Hutaimbaru lalu tu Palsabolas, sain Pasar Sipirok lalu tu Simangambat, dipili bagi ise ma na jumeges, arokku, nanggo pola be leleng mamareso, manigor ma tarpili si Bonur Togur Niari Boregar nomor sada, dongan ni si Tigor mangecet i.
Pangecet ni anak boru on pe tata ma i. huhul-kuhul martata anak boru i na martcarito i, dohot ma si Tigor martata, tai ma diboto ia bagi aha carito, akke dipikirannua asing do. Hukul diatto-attoi ia carito ni anak boru i atco ulang binoto na so tusi rohania, hape na diattoannia I appal sian isi ni carito. Harupe songoni i nda pola muruk anak boru i, tai diboto ia bahaso si Tigor marangan- angan sago do” (Ritonga, 2010: 8).
“Di perhatikan kulit wajah anak gadis itu, begitu halus, wajahnya mulus, seperti sangkar, licin bersih cocok lah letak hidungnya, begitu pula bibirnya, telingganya
beranting-anting putih kecil bermata berlian hitam kalau dilihat melembutkan hati, memperpanjang angan-angan.
Sekiranya di buat suatu pesta, di kumpulkan semua anak gadis mulai dari bawah Hutainbaru terus ke Palsabolas, terus ke Pasar Sipirok lanjut ke Simangambat, dipilih siapa yang paling cantik, mungkin, tidak butuh waktu lama-lama mencarinya, langsung terpilih si Bonur Togur Niari Boregar yang nomor satu, temannya si Tigor bercerita itu.
Anak gadis itu pun berbicara sangat ramah. Kadang-kadang dia bercerita sambil tertawa, membuat si Tigor pun ikut tertawa, tetapi ia tidak tahu apa yang diceritakan itu karena isi hati si Tigor sudah melayang-layang, terkadang dia mengiiyakan saja isi cerita gadis itu agar dia tidak ketahuan berakhayal saja.
Ternyata yang dijawabnya tidak sesuai apa yang di ceritakan. Walapun begitu gadis itu tidak marah, karena dia mengetahui karena si Tigor sedang Berakhyal- khayal”.
Kutipan-kutipan di atas adalah id Tigor, yang kemudian ia proses menjadi ego-nya, hal itu terlihat dari bagaimana perasaannya yang sedang jatuh cinta hal yang mungkin tidak pernah dirasakannya di dunia nyata. Hal itu akibat dari dorangan id Tigor, yaitu kebutuhan seksualnya dimana pada kutipan di atas dikatakan Tigor berkhayal-khayal dan membandingkan Bonur dengan wanita yang lain.
“…Saleleng jop dope rohania di au, salelengi ma hu taonkon tinggal dison, tai muda na sonang rohania, bia jo baenon, tarpaksa mulak tu Sipirok…” (Ritonga, 2010: 10).
“…Selama hatinya masih senang kepadaku, selama itu pula ku tahankan tinggal disini, tetapi kalau dia tidak hatinya tidak senang lagi, bagaimana lagi, terpaksa pulang ke Sipirok…”.
Kutipan di atas adalah id Tigor kemudian Tigor menunjukkan ego-nya, Keinginannya pun untuk menetap dengan anak gadis itu pun menimbulkan perasaan yang emosinal. karena kalimat di atas menunjukkan emosional Tigor, yaitu senang dan juga waswas. Tetapi Tigor telah membulatkan tekadnya.
“Rupa na mangolu on, nanggo totop di bagasan parkacitan”, ning roha si Tigor.
“Na so diambang-ambang roha, lalu iba tu bagas tu inganan ni Boru Regar on”.
Parsalisian antara inganan si Tigor di Sipirok dohot di inganan si Bonur Togur
Niari, tar-tar songon narako dohot surgo, songon borgin dohot arian. Na porlu sijagahon, ulang nian dibaen hatcit roha ni si Bonur…” (Ritonga, 2010:14).
“Ternyata dalam hidup ini, tidak selamanya dalam kesusahan”, bisik si Tigor dalam hati. “Tidak diduga-duga, aku sampai di rumahnya Boru Regar ini”. Beda antara tempat tinggal si Tigor di Sipirok dengan tempat tinggal Boru Regar ini bagaikan surga dan neraka, seperti siang dan malam. Yang perlu dijaga jangan membuat sakit hati si Bonur”.
Kutipan di atas adalah id Tigor, lalu Tigor memprosesnya ego-nya tersebut menujukkan bagaimana kehidupan yang dijalani oleh Tigor sebelum bertemu dengan Bonur namun pada kalimat terakhir menunjukkan superego, dimana Tigor menemukan gagasan agar bisa menetap dengan Bonur, hal itu adalah kunci agar Tigor bisa tinggal dengan Bonur.
“Bia pe so bia, hurang sonang ma dilala si Tigor tinggal dibagasan ni halak hum turangan mangan sajo. Mangan na perei dohot mamake pakean na dilehen, hurang tama ma dilala ia, bope mangalehennai dohot ias ni roha. Hara ni i, sai dilului ia do aha sibaenon sanga sikarejohonnia, ulang hum sajo” (Ritonga, 2010: 16).
“Biar bagaimana pun, perasaan si Tigor tidak enak hati tinggal di rumah orang yang kerjanya hanya makan saja. Makan gratis dan memakai pakaian yang diberi, dia kurang merasa nyaman, walaupun yang memberikannya dengan ikhlas hati. Karena itu, dia selalu mencari apa yang bisa ia lakukan, agar tidak hanya diam saja”.
Kutipan di atas menunjukkan id Tigor, kemudian Tigor memprosesnya menjadi ego-nya tetapi setelah itu superego-nya muncul dimana ia masih berfikir untuk melakukan suatu cara agar menjadi orang yang tidak bermalas-malasan ketika berada di rumah orang.
Lalu pada hari berikutnya Bonur pun mengajak Tigor jalan-jalan. Banyak hal yang mereka temui di tempat itu salah satunya adalah sebuah batu yang persis anak gadis yang sedang duduk terlebih dari cara pemakainya. Menurut Bonur batu itu adalah batu yang durhaka kepada ibunya.
“Dung leleng, baru ma barani ia maniop tanganna i, dungi maniop hurum na i, hatiha tardao panili ni si Bonur, nabinoto, bagi nasiandia, ro puluknia, dipisatkon ia cucuna i. sim do rohania, tai ila muse rohania.
Maila-ila sonang” (Ritonga, 2010: 223).
”Agak lama, barulah ia berani memengang tangannya itu, sesudah itu memengang pipinya. Ketika jauh pandangan si Bonur, tidak tidak tahu, entah dari mana, keberaniannya pun datang, disentuhnya payudara patung itu. Sedikit geli hatinya, tetapi ia jadi malu, malu-malu senang”.
Kutipan di atas menunjukkan id si Tigor betapa kebutuhan seksual Tigor sebagai seorang pemuda diperlihatkan yaitu pada kalimat “disentuhnya payudara patung tersebut”, sebagai sifat dasar manusia yaitu id. Pada kalimat akhir yang memunculkan superego, yang sebenarnya hal tersebut sangatlah tidak baik untuk dilakukan.
Pada suatu malam, Tigor pun mengungkapkan isi hatinya kepada Bonur.
“Sabotulna madung leleng hu pikiri, sai husimpan-simpan dibagasan rohakku. Ia muda hudokkon, mabiar au betak sai murukko. Muda inda hudokkon, sai manyosak-nyosak di bagasan ate-atekku. Arokku diboto ho do, dung hita pasuo lalu tu sannari, rohakku tu ho sajo do. Saotik pe nanggo adong rohakku giot mulak. Muda hum nahuida ho santokin pe, malulu-lulu rohakku. „didia de ia nakkin‟, masai ni rohakku. Hulala nanggo bisa au mangolu anggo nada totop rap dohot ho.
Huboto do bian rohamu tu au sian pangkulingmu tu au, sian panggalahomu dohot sude pambaenanmu tu au, ido benna pala hupapuluk rohakku mandokkon sude aha-aha na di bagasan ni rohakkon.
Jungada do tarbasa au di sada buku siseon na marsaro Malay didokkon disi:
Anggur, makin lama disimpan, makin lezat cita rasanya Tetapi cinta, makin lama disimpan, makin hambar rasanya.
Ido da benna hupuragahon mandokkon hata on.
Onpe, atco sonang noma rohakku, alusi ma jolo hatakkon. Nanggo huboto, be bagi ahaa sidokkononku, aturanna madiboto ho makasudku dohot tujuan ni hatakki” (Ritonga, 2010: 283-284).
“Sebenarnya sudah lama ku pikirkan, selalu ku simpan-simpan di dalam hati ku.
Kalau aku katakan, aku takut kau marah. Menurutku kau tahu, sesudah kita bertemu sampai sekarang, hatiku ini hanya untuk mu saja. Sedikitpun tidak ada keinginan hatiku untuk pulang. Kalau aku tidak melihat mu sebentar, hatiku pun
mencari-cari. „dimana dia tadi‟, begitulah hatiku. Menurutku aku tidak akan bisa hidup kalau tidak tetap bersama dengan mu.
Aku tahu bagaimana hati mu kepada ku dari cara mu berbicara kepada ku, dari sikapmu dan semua yang kau lakukan kepada ku, itulah alasannya ku beranikan hatiku mengatakan semua apa-apa yang ada didalam hati ku.
Aku pernah membaca sebuah buku siswa yang berbahasa Melayu, dikatakan disitu:
Anggur, makin lama disimpan, makin lezat cita rasanya Tetapi cinta, makin lama disimpan, makin hambar rasanya.
Itulah yang membuatku memberanikan diri mengatakan hal ini.
Ini pun, biar hatiku senang, jawablah dulu apa yang aku katakan ini. Aku tidak tahu apa saja yang mau aku katakan lagi, seharusnya kau sudah tahu maksudku dan tujuan kata-kata ku”.
Kutipan-kutipan di atas adalah id dari Tigor yang kemudian ia proses menjadi superego lalu ia proses lagi menjadi ego-nya. Superego-nya terlihat pada kalimat “Sebenarnya sudah lama ku pikirkan, selalu ku simpan-simpan di dalam hati ku. Kalau aku katakan, aku takut kau marah. Menurutku kau tahu, sesudah kita bertemu sampai sekarang”, kalimat tersebut menunjukkan kalau Tigor masih memikirkan benar atau salah terhadap apa yang akan dikatakannya. Namun kalimat selanjutnya menujukkan emosional Tigor diaman perasaannya pun diungkapkannya kepada Bonur, lalu ia mendesak Bonur untuk memberikan jawaban.
Bonur hanya diam tidak menjawab.
“Biade, alusi ma jolo hatakki”, ning si Tigor manyosak, hurang sobar ia mambege haya sian anak baru, laho padonokkon tu jolo si Bonur. Si bonyr pe mur donok muse, hinggo taraso tu si Tigor asok hosa ni si Bonur tar songon muap bunga sinyongyong yang harum semerbak menghanyutkan, hinggo mago sude biarnia lalu mangadop di ummahon ia si Bonur”
(Ritongga, 2010: 284).
“Bagaimana, jawablah pertanyaan ku”, kata si Tigor mendesak, kurang bersabar ia mendengar kata dari anak gadis itu, sambil didekatkannya ke depan si Bonur. Si Bonur pun mendekat pula, sampai si Tigor merasakan
nafas si Bonur seperti bau bunga sinyongnyong yang harum semerbak menghanyutkan, hingga hilang semua ketakukan si Tigor sambil berhadapan ia pun mencium si Bonur”.
Kutipan di atas adalah id Tigor, pada kalimat “Bagaimana, jawablah pertanyaan ku”, kata si Tigor mendesak, kurang bersabar ia mendengar kata dari anak gadis itu…”, memprosesnya menjadi ego sehingga emosional Tigor yang belum mereda. Lalu pada kalimat, “…hingga hilang semua ketakukan si Tigor sambil berhadapan ia pun mencium si Bonur” kembali pada aspek dari id Tigor.
Setelah mendengarkan penjelasan Bonur, Tigor pun berkata,
“Tai anggo au do”, ning si Tigor manggotap hata ni si Bonur, “nanggo bisa au torus tinggal dison. Au halaklahi, adong do di au parasaan harga diri. Bope nimmu sonang tinggal dison, hulala sattokin do i, inda totop sonang tinggal dison. Harana sian dia ma „ttong sonang, ngolu niba manoppang-noppang do, dipasikkop ni na so ditiris ni hodok niba sandiri.
Bope ia hum dapot-dapot mangan lope takar tai na diluluan niba sandiri, sumang dope pakkilaan niba sian panganon dohot pakean na markacukupan tai sian na dapot ni halak.
Saumpamana ma jolo, harupe na dilehen sanga na diluluan ni amang simatobang niba sandiri, anggo iba dung tuk godang ni pamatang, gumonan dope dicari niba sandiri. Muda adong rokkap ni tondi, dongan saparkatcitan niba, dilayarkon parau niba. I do hudokkon di ho, anggo au nanggo tahan au totop dison, di inganan ni Jihin on. Adong do parasaanku atco morot sian on” (Ritonga, 2010: 285).
“Tetapi kalau aku”, kata si Tigor memotong perkataan si Bonur, “aku tidak bisa terus tinggal di sini. Aku anak laki-laki, masih ada memiliki perasaan harga diri. Walaupun katamu senang tinggal di sini. Karena dari manalah senangnya, hidup pun menumpang-numpang, disiapkan yang bukan dari keringat kita sendiri. Walaupun hanya dapat-dapat makan sekaleng, tetapi yang dicari sendiri, tidak senang perasaan kita makanan dan pakaian yang berkecukupan tetapi dapat dari orang.
Seumpamanyalah dulu, walaupun yang diberi atau yang dicari ayah kita sendiri, kalau kita sudah besar badannya, lebih baik lagi yang dicari sendiri. Kalau ada pasangan semangat, teman sehidup semati kita, perahu pun dilayarkan. Itulah yang ku katakana kepada mu, kalau aku tidak tahan hidup disini, di tempat Jihin ini. Ada perasaanku harus pergi dari sini.”
Kutipan di atas adalah id Tigor, pada kalimat “Tetapi kalau aku”, kata si Tigor memotong perkataan si Bonur, “aku tidak bisa terus tinggal disini…”
menunjukkan aspek ego Tigor yang telah ia proses hal ini disebabkan ketidakpuasan atas jawaban Bonur. Kemudian pada kalimat-kalimat berikutnya adalah aspek superego karena Tigor menjelaskan sebuah gagasan.
Setelah lebih empat jam mereka berbicara yang dimana Tigor terus membujuk Bonur untuk pergi dari tempat ini, namun Bonur tetap menolak.
Pada keesokannya, setelah selesai mandi, berpakaian rapi, lalu sarapan pagi, ketika Tigor ingin memengatakan sesuatu kepada Bonur,
“Marangan-angan ma ia bisa sonangna muda jadi si Bonur dongan saripenia. Mangiburu ma halak tu au, „Na malo ma‟ttong si Tigor mangalului pardahannia‟, ning roha ni halak ma…” (Ritonga, 2010: 289).
“Dia pun berkhayal-khayal bagaimana senangnya kalau si Bonur jadi teman hidupnya. Orang-orang pun akan iri kepada ku, „yang pandailah si Tigor ini mencari istri‟, kata orang-orang lah…”.
Kutipan di atas adalah id Tigor lalu memprosesnya sehingga menujukkan aspek ego Tigor ketika Bonur jadi istrinya dan begitu juga dengan kalimat. Orang- orang pun akan iri kepadaku, „yang pandailah si Tigor ini mencari istri‟, kata orang-orang lah…”.
“Dungi taringat ma ia di Jihin Sirata Butuha. Kehe ia tu inganan ni sipumpe i. jonjong ia pas di jolo na i. dipanotnoti ia dohot mambayang- bayangkon tarbia de muda dialo jihin on marsiranggut.
Marragam-ragam ro tu pikirannia bagi tarbua carana appot sai marbada dohot jihin on. Anggo ning rohania, anggo ma pola dibaen si Tigor motcak bodak matcalong siarum dikombinasihon dohot motcak hutin namarando manakko gadapang, maolma tangkison ni jihin i tenju-tenju nia i. hatiha ia marangan-angan i ia diida ia ma toppa sipumpe jihin tar- tarsongon na pakia-kiahon ia. diparbarnit si Tigor bohinia dohot manatap tu muko ni sipumpe karet i, bolas jai pakkilalaannia do ro songon i, tar- tar songon na manganggap enteng ma tusia. Dilului ia bettak adong umban-umban di lambungnia. Toper rupa hatiha i diida ia soban tambiski namata na dibola. Dibuat ia magior. Dungi dipadonok si Tigor tu jolo na i bia ma dolngos sajo. Jonjong ia sattokin. Dipanjonjong ia soban marbola
i dilante dohot ujungna i pas hona tu talapak ni tangan siamunnia i.
tangan siambirang maniop ak, patina siamun dibaen ia tar tu jolo hira- hira dua pulu senti. Pat siambirang di pudi jongjong togos tigor. Matania pe sior mangaligi tu mata sipumpe koje i. “Pado-pado dipajolo jihin on, nangonanan iba pajolohon, mambuat paina”, ning roha ni si Tigor”
(Ritonga, 2010:289-290).
“Lalu ingatlah ia kepada Jihin Sirata Butuha. Pergilah ia ke tempat patung itu. Ia pun berdiri tepat di depan. Diperhatikannya dan membayang- bayangkan bagaimana lah kira-kira kalau dilawan jin ini berrebut.
Beragam-ragam yang datang kepikirannya entah bagaimana cara sekiranya bertarung dengan jin ini. Kalau dalam hatinya, kalaulah dibuat si Tigor pencak monyet memetik sayur bayam dikombinasikan dengan pencak kucing yang ditinggal mati mencuri ikan asin, susah lah untuk ditangkis jin itu pukulan-pukulanya. Ketika berangan-angan ia melihat wajah patung jin itu seperti mengejeknya. Wajahnya si Tigor merengut dan menatap ke muka patung karet itu, perasaan mampu pun jadi datang kepadanya, kira- kira seperti menganggap enteng kepadanya. Dicarinya mana tahu ada kayu pemukul disebelahnya. Ternyata tepat ketika itu dilihatnya kayu bakar pohon perdu yang mentah dan sudah dibelah. Langsung diambilnya. Lalu didekatkan si Tigor ke depannya dekat sekali. Ia berdiri sebentar, kayu bakar yang sudah terbelah itu pun didirikannya di lantai dan ujungnya itu pas kena di telapak tangan kanannya. Tangan kirinya memengang pinggangnya, kaki kanannya dibuatnya sedikit ke depan kira-kira dua puluh senti. Kaki kirinya di belakang tegak berdiri kuat lurus. Matanya pun tajam melihat kemata patung itu. “Daripada jin ini terlebih dahulu, lebih baik aku yang memulai, memilih calon” , kata si Tigor”.
Kutipan di atas adalah id Tigor yang ia proses menjadi superego. kutipan tersebut menerangkan bagaimana sekiranya berhadapan dengan jin itu. Namun pada kalimat “Daripada jin ini terlebih dahulu, lebih baik aku yang memulai, memilih calon” , kata si Tigor”, adalah menunjukkan aspek ego Tigor dimana ia sudah menjadi emosional melihat patung tersebut. Hal itu pun terlihat pada kutipan berikutnya.
“Lalu „gadabab‟, ninna sora ni soban i tu muko ni patung sipumpe i na diumbankon sagogonia” (Ritonga, 2010: 290).
“Kemudian “gadabab”, suara kayu bakar itu ke muka patung itu yang dipukul sekuat-kuatnya.”
Kutipan di atas adalah id Tigor kemudian ia memperosesnya menjadi ego, hal itu terlihat bagaimana ia memukul patung tersebut dengan sekuat-kuatnya hal.
Seketika penglihatan Tigor menjadi gelap ia tidak bisa melihat apapun.
Suara gemuruh pun menggelugur. Jin itu pun muncul. Tigor ketakukan bukan main. Setelah penglihatannya mulai pulih ia hanya berlari secepat-cepatnya.
Namun kemana pun Tigor berlari jin itu selalu berada di dekat Tigor. Setelah berlarian kesana kemari akhirnya tenaga Tigor pun mulia habis. Lalu jin itu pun menangkap kepalanya dan Tigor angkat seperti kucing. Jin itu pun memberikan pilihan kepada Tigor. Jin itu bertanya bagaimana cara mengakhiri hidup yang disukai oleh Tigor. Kemudian Tigor pun membuat pilihan bagaimana ia harus mati.
“… hara ni borat ni pakkilaan ni si Tigor, nadisodari ia, karuar ma hata sian pamangannia i, “Mate mayikkot”…” (Ritonga, 2010: 293).
“…Karena beratnya perasaan si Tigor, ia tidak sadar, keluarlah kata dari mulutnya itu, “mati digantung”...”
Kutipan di atas adalah id Tigor yang kemudian ia proses menjadi superego. meskipun Tigor tidak sadar apa yang telah diucapkan dari mulutnya tetapi pikirannya tidak, hal itu lah yang menyebabkan ia mengatakan ingin mati dengan cara gantung diri.
Kemudian Jin itu memberikan kain sarung milik si Tigor, untuk dijadikannya sebagai tali pengingkat. Tigor pun menerimanya lalu ia jadikan tali.
Setelah itu di ikatnya ke batang pohon dan lehernya. Ia pun teringat akan kampung halamannya. teringat kepada keluarganya.
“Borat sajo roha ni si Tigor na giot manyikkoti, tai nadong be diida ia dalan karuar. “pado-pado mate ditutung sanga mate dilonjan sanga mate diusopkon ditahalakan, gonananma mate manyikkot”, ning roha si Tigor.