BAB II KAJIAN PUSTAKA
3.5 Metode Analisis Data
Metode Analisis data dalam penelitian ini mengunakan metode analisis deskriptif. Metode ini bertujuan untuk mengkaji aspek psikologis tokoh dalam cerita Halilian Turi-turian Ni Halak Sipirok Banggo-banggo Karya Abddurrahman Ritongga dengan pendekatan psikoanalisis yang dikembangkan oleh Sigmund Freud yaitu teori kepribadian .
Selain mengungkapkan teori kepribadian yang ada dalam psikologi.
Pendekatan psikologi juga digunakan untuk mengungkap faktor-faktor yang melatarbelakangi aspek psikologis yang terjadi pada tokoh yang dikembangkan oleh Jalaludin Rakhmat.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Aspek Psikologis Tokoh Dalam Cerita Halilian Turi-Turian Ni Halak Sipirok Banggo-Banggo Karya Abdurrahman Ritonga
Dalam menganalisis aspek psikologis tokoh dalam cerita ini berdasarkan teori kepribadian psikoanalisis Sigmund Freud, yang terdiri dari id, ego, superego.
Antara id, ego, superego dalam diri manusia tidak dapat dipisahkan. Jadi menganalisis penelitian ini suatu data bisa terdapat satu atau dua, bahkan ketiganya.
a. Tokoh Utama 1. Tigor
Tigor / Si Tigor adalah salah satu tokoh utama dalam cerita ini, dimana dalam kehidupannya di dunia nyata pada cerita tersebut sebagai pemuda miskin yang putus sekolah. Ibunya sudah meninggal saat ia masih kecil, lalu ayahnya pun menikah lagi, setelah menikah ayahnya pun menyusul ibu yang melahirkannya dan ibu tiri Tigor pun menikah lagi. Di dalam kehidupannya bermasyarakat Tigor selalu dikucilkan. Bahkan ia di juluki Bittot Van De longas atau Sibodoh bin Tolol. Tigor adalah pemuda yang sangat pendiam dikehidupannya di dunia nyata.
Apabila ada yang hilang di kampung tersebut selalulah Tigor yang dituduh. Hal inilah yang membuat Tigor enggan tinggal di kampungnya, yaitu Sipirok. Apakah memang Tigor sebodoh dan setolol itu? Mungkin semuanya bisa di analisis dari kalimat-kalimat yang ada pada cerita. Pada suatu hari ketika Tigor mencari kayu bakar ke hutan ia pun tersesat di alam gaib dan bertemu dengan seorang gadis.
Lalu bagaimana Tigor selama tinggal di alam gaib tersebut? Hingga berujung pada kematian Tigor.
“Jago jolo so masuk au tu bagasan”, ning roha si Tigor. “Atco huligi jolo bagi ise do halak nampuna bagas on. Boti pe ma songgon na manguas hulala, bettak na bisa do mangido aek sandorguk tu nappuna bagason” (Ritonga, 2010: 4).
“Permisi aku ingin masuk ke dalam”, kata hati si Tigor. “biar ku lihat dulu siapa yang punya rumah ini. Lagi pula aku sudah merasa haus, siapa tahu bisa meminta air barang seteguk kepada pemilik rumah”.
Kutipan di atas adalah id Tigor. Ketika itu Tigor sudah berada di alam gaib. Pada kalimat “Permisi aku ingin masuk ke dalam” kata hati si Tigor. Biar aku lihat dulu siapa yang punya rumah ini” adalah superego-nya sebab kalimat tersebut adalah gagasan yang muncul dalam proses ia berfikir sebab ia ingin memenuhi id-nya yaitu rasa haus dengan meminta minum kepada pemilik rumah.
Namun saat Tigor memasuki pekarangan rumah tersebut ia pun bertemu dengan seorang wanita yang membuat Tigor terkesima.
“Mangido moop, mangido isin, marsantabi sampulu noli, sampulu noli marsantabi”, ning si Tigor pacokak-cokakon laho juguk di ginjang ni bangku tar dao saotik sian anak boru i, binoto do popat hum saotik, ning roha ni si Tigor, na dong popat muda juguk iba donok sian boru i, pado hal on dope ia ditanda”, laho manambahi” (Ritonga, 2010: 4).
“Mohon maaf, mohon izin, permisi sepuluh kali, sepuluh kali permisi”, kata si Tigor basa-basi sambil duduk di bangku itu, sedikit jauh dari anak gadis itu. Aku masih tahu aturan walaupun sedikit, dalam hati si tigor, “ tahunya tidak ada aturan kalau kita duduk di sebelah anak gadis ini, padahal baru kenal.”
Tambahnya”.
Kutipan di atas jelaslah id Tigor kemudian Tigor memproses superego.
Dimana Tigor masih memiliki moral yang sesuai dengan masyarakat.
Setelah Tigor menceritakan bahwasanya ia tersesat. Kemudian gadis itu pun menawarkan menetap dengannya.
“Ro alus ni si Tigor, “Bope inganan ni begu na rara, bope inganan Begu na balau, asal sonang rohamu manarimo au, ape sonang ma rohakku”, ning si Tigor laho pauli parjugknia atco mur tama mangaligi toppa ni anak boru i…”
(Ritonga, 2010: 6).
“Di jawab si Tigor, “Walaupun tempat ini tempat Begu Narara, walau pun tempat Jihin Na Balau, asal hati mu senang menerima aku, aku pun dengan senang hati.”
Katanya sambil memperbaiki posisi duduk biar makin sedap melihat wajah anak gadis itu…”.
Kutipan di atas adalah id Tigor. Seperti yang diharapkan Tigor ia pun menetap dengan gadis itu meski pun anak gadis itu telah menjelaskan kondisinya dan siapa pemilik rumah tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa Tigor tidak memikirkan apa yang sedang terjadi di kemudian hari, menunjukkan ego Tigor.
Setelah mendengarkan lagi cerita gadis itu. Sebenarnya Tigor sedikit ragu dengan tawaran gadis itu. Namun gadis itu berhasil meyakinkan Tigor.
Dari awal pertama bertemu dengan gadis itu, telah membuat Tigor jatuh hati dengan gadis itu. Mulai dari fisik anak gadis itu sampai dengan cara gadis itu memperlakukannya, saat pertama kali bertemu membuat Tigor pun langsung jatuh hati.
“Diligi huling-huling ni muko ni anak boru i pe, bia ma na alus, bohina boti limus, songon sanggar, landit ias cocok muse tu parpayak ni igungna i, songon ni muse tu bibir, pinggolna bottar maratting-atting menek marmata berlian lomlom muda mangaligi palambok pusu-pusu, paginjang angan-angan.
Sugari dibean sada horja, dipaluhut sude bujing-bujing mulai sian lombang Hutaimbaru lalu tu Palsabolas, sain Pasar Sipirok lalu tu Simangambat, dipili bagi ise ma na jumeges, arokku, nanggo pola be leleng mamareso, manigor ma tarpili si Bonur Togur Niari Boregar nomor sada, dongan ni si Tigor mangecet i.
Pangecet ni anak boru on pe tata ma i. huhul-kuhul martata anak boru i na martcarito i, dohot ma si Tigor martata, tai ma diboto ia bagi aha carito, akke dipikirannua asing do. Hukul diatto-attoi ia carito ni anak boru i atco ulang binoto na so tusi rohania, hape na diattoannia I appal sian isi ni carito. Harupe songoni i nda pola muruk anak boru i, tai diboto ia bahaso si Tigor marangan-angan sago do” (Ritonga, 2010: 8).
“Di perhatikan kulit wajah anak gadis itu, begitu halus, wajahnya mulus, seperti sangkar, licin bersih cocok lah letak hidungnya, begitu pula bibirnya, telingganya
beranting-anting putih kecil bermata berlian hitam kalau dilihat melembutkan hati, memperpanjang angan-angan.
Sekiranya di buat suatu pesta, di kumpulkan semua anak gadis mulai dari bawah Hutainbaru terus ke Palsabolas, terus ke Pasar Sipirok lanjut ke Simangambat, dipilih siapa yang paling cantik, mungkin, tidak butuh waktu lama-lama mencarinya, langsung terpilih si Bonur Togur Niari Boregar yang nomor satu, temannya si Tigor bercerita itu.
Anak gadis itu pun berbicara sangat ramah. Kadang-kadang dia bercerita sambil tertawa, membuat si Tigor pun ikut tertawa, tetapi ia tidak tahu apa yang diceritakan itu karena isi hati si Tigor sudah melayang-layang, terkadang dia mengiiyakan saja isi cerita gadis itu agar dia tidak ketahuan berakhayal saja.
Ternyata yang dijawabnya tidak sesuai apa yang di ceritakan. Walapun begitu gadis itu tidak marah, karena dia mengetahui karena si Tigor sedang Berakhyal-khayal”.
Kutipan-kutipan di atas adalah id Tigor, yang kemudian ia proses menjadi ego-nya, hal itu terlihat dari bagaimana perasaannya yang sedang jatuh cinta hal yang mungkin tidak pernah dirasakannya di dunia nyata. Hal itu akibat dari dorangan id Tigor, yaitu kebutuhan seksualnya dimana pada kutipan di atas dikatakan Tigor berkhayal-khayal dan membandingkan Bonur dengan wanita yang lain.
“…Saleleng jop dope rohania di au, salelengi ma hu taonkon tinggal dison, tai muda na sonang rohania, bia jo baenon, tarpaksa mulak tu Sipirok…” (Ritonga, 2010: 10).
“…Selama hatinya masih senang kepadaku, selama itu pula ku tahankan tinggal disini, tetapi kalau dia tidak hatinya tidak senang lagi, bagaimana lagi, terpaksa pulang ke Sipirok…”.
Kutipan di atas adalah id Tigor kemudian Tigor menunjukkan ego-nya, Keinginannya pun untuk menetap dengan anak gadis itu pun menimbulkan perasaan yang emosinal. karena kalimat di atas menunjukkan emosional Tigor, yaitu senang dan juga waswas. Tetapi Tigor telah membulatkan tekadnya.
“Rupa na mangolu on, nanggo totop di bagasan parkacitan”, ning roha si Tigor.
“Na so diambang-ambang roha, lalu iba tu bagas tu inganan ni Boru Regar on”.
Parsalisian antara inganan si Tigor di Sipirok dohot di inganan si Bonur Togur
Niari, tar-tar songon narako dohot surgo, songon borgin dohot arian. Na porlu sijagahon, ulang nian dibaen hatcit roha ni si Bonur…” (Ritonga, 2010:14).
“Ternyata dalam hidup ini, tidak selamanya dalam kesusahan”, bisik si Tigor dalam hati. “Tidak diduga-duga, aku sampai di rumahnya Boru Regar ini”. Beda antara tempat tinggal si Tigor di Sipirok dengan tempat tinggal Boru Regar ini bagaikan surga dan neraka, seperti siang dan malam. Yang perlu dijaga jangan membuat sakit hati si Bonur”.
Kutipan di atas adalah id Tigor, lalu Tigor memprosesnya ego-nya tersebut menujukkan bagaimana kehidupan yang dijalani oleh Tigor sebelum bertemu dengan Bonur namun pada kalimat terakhir menunjukkan superego, dimana Tigor menemukan gagasan agar bisa menetap dengan Bonur, hal itu adalah kunci agar Tigor bisa tinggal dengan Bonur.
“Bia pe so bia, hurang sonang ma dilala si Tigor tinggal dibagasan ni halak hum turangan mangan sajo. Mangan na perei dohot mamake pakean na dilehen, hurang tama ma dilala ia, bope mangalehennai dohot ias ni roha. Hara ni i, sai dilului ia do aha sibaenon sanga sikarejohonnia, ulang hum sajo” (Ritonga, 2010: 16).
“Biar bagaimana pun, perasaan si Tigor tidak enak hati tinggal di rumah orang yang kerjanya hanya makan saja. Makan gratis dan memakai pakaian yang diberi, dia kurang merasa nyaman, walaupun yang memberikannya dengan ikhlas hati. Karena itu, dia selalu mencari apa yang bisa ia lakukan, agar tidak hanya diam saja”.
Kutipan di atas menunjukkan id Tigor, kemudian Tigor memprosesnya menjadi ego-nya tetapi setelah itu superego-nya muncul dimana ia masih berfikir untuk melakukan suatu cara agar menjadi orang yang tidak bermalas-malasan ketika berada di rumah orang.
Lalu pada hari berikutnya Bonur pun mengajak Tigor jalan-jalan. Banyak hal yang mereka temui di tempat itu salah satunya adalah sebuah batu yang persis anak gadis yang sedang duduk terlebih dari cara pemakainya. Menurut Bonur batu itu adalah batu yang durhaka kepada ibunya.
“Dung leleng, baru ma barani ia maniop tanganna i, dungi maniop hurum entah dari mana, keberaniannya pun datang, disentuhnya payudara patung itu. Sedikit geli hatinya, tetapi ia jadi malu, malu-malu senang”.
Kutipan di atas menunjukkan id si Tigor betapa kebutuhan seksual Tigor sebagai seorang pemuda diperlihatkan yaitu pada kalimat “disentuhnya payudara patung tersebut”, sebagai sifat dasar manusia yaitu id. Pada kalimat akhir yang memunculkan superego, yang sebenarnya hal tersebut sangatlah tidak baik untuk dilakukan.
Pada suatu malam, Tigor pun mengungkapkan isi hatinya kepada Bonur.
“Sabotulna madung leleng hu pikiri, sai husimpan-simpan dibagasan rohakku. Ia muda hudokkon, mabiar au betak sai murukko. Muda inda hudokkon, sai dohot sude pambaenanmu tu au, ido benna pala hupapuluk rohakku mandokkon sude aha-aha na di bagasan ni rohakkon.
Jungada do tarbasa au di sada buku siseon na marsaro Malay didokkon disi:
Anggur, makin lama disimpan, makin lezat cita rasanya Tetapi cinta, makin lama disimpan, makin hambar rasanya.
Ido da benna hupuragahon mandokkon hata on.
Onpe, atco sonang noma rohakku, alusi ma jolo hatakkon. Nanggo huboto, be bagi ahaa sidokkononku, aturanna madiboto ho makasudku dohot tujuan ni hatakki” (Ritonga, 2010: 283-284).
“Sebenarnya sudah lama ku pikirkan, selalu ku simpan-simpan di dalam hati ku.
Kalau aku katakan, aku takut kau marah. Menurutku kau tahu, sesudah kita bertemu sampai sekarang, hatiku ini hanya untuk mu saja. Sedikitpun tidak ada keinginan hatiku untuk pulang. Kalau aku tidak melihat mu sebentar, hatiku pun
mencari-cari. „dimana dia tadi‟, begitulah hatiku. Menurutku aku tidak akan bisa hidup kalau tidak tetap bersama dengan mu.
Aku tahu bagaimana hati mu kepada ku dari cara mu berbicara kepada ku, dari sikapmu dan semua yang kau lakukan kepada ku, itulah alasannya ku beranikan hatiku mengatakan semua apa-apa yang ada didalam hati ku.
Aku pernah membaca sebuah buku siswa yang berbahasa Melayu, dikatakan disitu:
Anggur, makin lama disimpan, makin lezat cita rasanya Tetapi cinta, makin lama disimpan, makin hambar rasanya.
Itulah yang membuatku memberanikan diri mengatakan hal ini.
Ini pun, biar hatiku senang, jawablah dulu apa yang aku katakan ini. Aku tidak tahu apa saja yang mau aku katakan lagi, seharusnya kau sudah tahu maksudku dan tujuan kata-kata ku”.
Kutipan-kutipan di atas adalah id dari Tigor yang kemudian ia proses menjadi superego lalu ia proses lagi menjadi ego-nya. Superego-nya terlihat pada kalimat “Sebenarnya sudah lama ku pikirkan, selalu ku simpan-simpan di dalam hati ku. Kalau aku katakan, aku takut kau marah. Menurutku kau tahu, sesudah kita bertemu sampai sekarang”, kalimat tersebut menunjukkan kalau Tigor masih memikirkan benar atau salah terhadap apa yang akan dikatakannya. Namun kalimat selanjutnya menujukkan emosional Tigor diaman perasaannya pun diungkapkannya kepada Bonur, lalu ia mendesak Bonur untuk memberikan jawaban.
Bonur hanya diam tidak menjawab.
“Biade, alusi ma jolo hatakki”, ning si Tigor manyosak, hurang sobar ia mambege haya sian anak baru, laho padonokkon tu jolo si Bonur. Si bonyr pe mur donok muse, hinggo taraso tu si Tigor asok hosa ni si Bonur tar songon muap bunga sinyongyong yang harum semerbak menghanyutkan, hinggo mago sude biarnia lalu mangadop di ummahon ia si Bonur”
(Ritongga, 2010: 284).
“Bagaimana, jawablah pertanyaan ku”, kata si Tigor mendesak, kurang bersabar ia mendengar kata dari anak gadis itu, sambil didekatkannya ke depan si Bonur. Si Bonur pun mendekat pula, sampai si Tigor merasakan
nafas si Bonur seperti bau bunga sinyongnyong yang harum semerbak menghanyutkan, hingga hilang semua ketakukan si Tigor sambil berhadapan ia pun mencium si Bonur”.
Kutipan di atas adalah id Tigor, pada kalimat “Bagaimana, jawablah pertanyaan ku”, kata si Tigor mendesak, kurang bersabar ia mendengar kata dari anak gadis itu…”, memprosesnya menjadi ego sehingga emosional Tigor yang belum mereda. Lalu pada kalimat, “…hingga hilang semua ketakukan si Tigor sambil berhadapan ia pun mencium si Bonur” kembali pada aspek dari id Tigor.
Setelah mendengarkan penjelasan Bonur, Tigor pun berkata,
“Tai anggo au do”, ning si Tigor manggotap hata ni si Bonur, “nanggo bisa au torus tinggal dison. Au halaklahi, adong do di au parasaan harga diri. Bope nimmu sonang tinggal dison, hulala sattokin do i, inda totop sonang tinggal dison. Harana sian dia ma „ttong sonang, ngolu niba manoppang-noppang do, dipasikkop ni na so ditiris ni hodok niba sandiri.
Bope ia hum dapot-dapot mangan lope takar tai na diluluan niba sandiri, sumang dope pakkilaan niba sian panganon dohot pakean na markacukupan tai sian na dapot ni halak.
Saumpamana ma jolo, harupe na dilehen sanga na diluluan ni amang simatobang niba sandiri, anggo iba dung tuk godang ni pamatang, gumonan dope dicari niba sandiri. Muda adong rokkap ni tondi, dongan saparkatcitan niba, dilayarkon parau niba. I do hudokkon di ho, anggo au nanggo tahan au totop dison, di inganan ni Jihin on. Adong do parasaanku atco morot sian on” (Ritonga, 2010: 285).
“Tetapi kalau aku”, kata si Tigor memotong perkataan si Bonur, “aku tidak bisa terus tinggal di sini. Aku anak laki-laki, masih ada memiliki perasaan harga diri. Walaupun katamu senang tinggal di sini. Karena dari manalah senangnya, hidup pun menumpang-numpang, disiapkan yang bukan dari keringat kita sendiri. Walaupun hanya dapat-dapat makan sekaleng, tetapi yang dicari sendiri, tidak senang perasaan kita makanan dan pakaian yang berkecukupan tetapi dapat dari orang.
Seumpamanyalah dulu, walaupun yang diberi atau yang dicari ayah kita sendiri, kalau kita sudah besar badannya, lebih baik lagi yang dicari sendiri. Kalau ada pasangan semangat, teman sehidup semati kita, perahu pun dilayarkan. Itulah yang ku katakana kepada mu, kalau aku tidak tahan hidup disini, di tempat Jihin ini. Ada perasaanku harus pergi dari sini.”
Kutipan di atas adalah id Tigor, pada kalimat “Tetapi kalau aku”, kata si Tigor memotong perkataan si Bonur, “aku tidak bisa terus tinggal disini…”
menunjukkan aspek ego Tigor yang telah ia proses hal ini disebabkan ketidakpuasan atas jawaban Bonur. Kemudian pada kalimat-kalimat berikutnya adalah aspek superego karena Tigor menjelaskan sebuah gagasan.
Setelah lebih empat jam mereka berbicara yang dimana Tigor terus membujuk Bonur untuk pergi dari tempat ini, namun Bonur tetap menolak.
Pada keesokannya, setelah selesai mandi, berpakaian rapi, lalu sarapan pagi, ketika Tigor ingin memengatakan sesuatu kepada Bonur,
“Marangan-angan ma ia bisa sonangna muda jadi si Bonur dongan saripenia. Mangiburu ma halak tu au, „Na malo ma‟ttong si Tigor mangalului pardahannia‟, ning roha ni halak ma…” (Ritonga, 2010: 289).
“Dia pun berkhayal-khayal bagaimana senangnya kalau si Bonur jadi teman hidupnya. Orang-orang pun akan iri kepada ku, „yang pandailah si Tigor ini mencari istri‟, kata orang-orang lah…”.
Kutipan di atas adalah id Tigor lalu memprosesnya sehingga menujukkan aspek ego Tigor ketika Bonur jadi istrinya dan begitu juga dengan kalimat. Orang-orang pun akan iri kepadaku, „yang pandailah si Tigor ini mencari istri‟, kata orang-orang lah…”.
“Dungi taringat ma ia di Jihin Sirata Butuha. Kehe ia tu inganan ni sipumpe i. jonjong ia pas di jolo na i. dipanotnoti ia dohot mambayang-bayangkon tarbia de muda dialo jihin on marsiranggut.
Marragam-ragam ro tu pikirannia bagi tarbua carana appot sai marbada dohot jihin on. Anggo ning rohania, anggo ma pola dibaen si Tigor motcak bodak matcalong siarum dikombinasihon dohot motcak hutin namarando manakko gadapang, maolma tangkison ni jihin i tenju-tenju nia i. hatiha ia marangan-angan i ia diida ia ma toppa sipumpe jihin tar-tarsongon na pakia-kiahon ia. diparbarnit si Tigor bohinia dohot manatap tu muko ni sipumpe karet i, bolas jai pakkilalaannia do ro songon i, tar-tar songon na manganggap enteng ma tusia. Dilului ia bettak adong umban-umban di lambungnia. Toper rupa hatiha i diida ia soban tambiski namata na dibola. Dibuat ia magior. Dungi dipadonok si Tigor tu jolo na i bia ma dolngos sajo. Jonjong ia sattokin. Dipanjonjong ia soban marbola
i dilante dohot ujungna i pas hona tu talapak ni tangan siamunnia i.
tangan siambirang maniop ak, patina siamun dibaen ia tar tu jolo hira-hira dua pulu senti. Pat siambirang di pudi jongjong togos tigor. Matania pe sior mangaligi tu mata sipumpe koje i. “Pado-pado dipajolo jihin on, nangonanan iba pajolohon, mambuat paina”, ning roha ni si Tigor”
(Ritonga, 2010:289-290).
“Lalu ingatlah ia kepada Jihin Sirata Butuha. Pergilah ia ke tempat patung itu. Ia pun berdiri tepat di depan. Diperhatikannya dan membayang-bayangkan bagaimana lah kira-kira kalau dilawan jin ini berrebut.
Beragam-ragam yang datang kepikirannya entah bagaimana cara sekiranya bertarung dengan jin ini. Kalau dalam hatinya, kalaulah dibuat si Tigor pencak monyet memetik sayur bayam dikombinasikan dengan pencak kucing yang ditinggal mati mencuri ikan asin, susah lah untuk ditangkis jin itu pukulan-pukulanya. Ketika berangan-angan ia melihat wajah patung jin itu seperti mengejeknya. Wajahnya si Tigor merengut dan menatap ke muka patung karet itu, perasaan mampu pun jadi datang kepadanya, kira-kira seperti menganggap enteng kepadanya. Dicarinya mana tahu ada kayu
Beragam-ragam yang datang kepikirannya entah bagaimana cara sekiranya bertarung dengan jin ini. Kalau dalam hatinya, kalaulah dibuat si Tigor pencak monyet memetik sayur bayam dikombinasikan dengan pencak kucing yang ditinggal mati mencuri ikan asin, susah lah untuk ditangkis jin itu pukulan-pukulanya. Ketika berangan-angan ia melihat wajah patung jin itu seperti mengejeknya. Wajahnya si Tigor merengut dan menatap ke muka patung karet itu, perasaan mampu pun jadi datang kepadanya, kira-kira seperti menganggap enteng kepadanya. Dicarinya mana tahu ada kayu