BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.2 Faktor-faktor Yang Melatarbelakangi
Banggo-Banggo Karya Abdurrahman Ritonga
Munculnya gejala psikologis tokoh dalam cerita Halilian Turi-Turian Ni Halak Sipirok Banggo-Banggo karya Abdurrahman Ritonga dipengaruhi oleh banyak faktor. Berikut faktor ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi psikologis tokoh dalam cerita Halilian Turi-Turian Ni Halak Sipirok Banggo-Banggo karya Abdurrahman Ritonga.
1. Faktor-Faktor Yang Melatarbelakangi Psikologis Tigor
“Kehe ma‟ttong iba mulak tu Sipirok, paridian pe aekna aek saba nadung loja. Muda mangan iba indahanna pe indahaan narara do, dahanon sipahattan nabara, mambaen bahat halak salimbolbolon. Pe huhul na adong. Ikkayuna harasak na marbola pala na gadapang ditutung dituk-tukkon tu lasiak i, atci tyk bagi-bagion. Tambana lalat nadiduda, tai nada dipaitan. Muda adong harambirna, didudahon mai tu lalati, jadi pati borsanm songon na dibaen halak Sialagundi i…” (Ritonga, 2010: 10).
“Kalau lah aku pulang ke Sipirok, pemandiannya pun air sawah yang sudah keruh. Kalau makan nasi, nasinya pun nasi merah, beras pun membuat banyak orang susah buang air besar. Itu pun kadang tidak ada.
Lauknya pun ikan asin yang dibelah, kalau tidak ada ikan asin yang di bakar dan digiling dengan cabai, biar cukup dibagi-bagikan. Tambahannya daun singkong yang di tumbuk, tapi tidak di beri santan kalau pun kelapanya, ditumbuklah itu dengan daun singkong, jadi seperti yang dibuat orang-orang Sialagundi…”.
Selain “motif cinta” yang telah banyak disinggung pada sub bab sebelumnya. Kutipan di atas juga adalah aspek yang melatar belakangi psikologis Tigor ketika ia ditawarkan oleh Bonur untuk menetap di dunia alam gaib. Kutipan di atas menunujukkan “faktor personal” Tigor yaitu “motif kebutuhan pemenuhan akan diri”.
“Taringot tu hutania bagi na piga-piga ari na solpu. Diida ia inangnia pamasukkon hepeng na disaputan dohot sapu tangan tu bagasan ni kutangnia. Mangida hepeng i por situtu ma rohania. Nada pola ginjang marpikir, dipangido ia ma hepeng i bo hem saotik, anggo ning roha ni si Tigor, muda dilehen, syukur muda nada dilehen pe, na‟dong rugiku, ning roha nia, laho makkuling.
“dia pe da deba hepeng mi pai sigaret sabukkus”
Tai aha alus ni inangnia i, pala do siingoton. Manyosal do ia na mangado i. Na diamabang rohania songon i alus ni inangnia i.
“Hum hepeng pai sigaretmu pe‟ttong na dapot ho. Indon ma di ho”, ningia laho manudu manulakkon asok ujung ni igungnia, paadopkon tu si Tigor, “dua lubangna”.
“Hum sigaret mu na dapot hom na gonanan ma ho kehe manyikkot”
(Ritonga, 293-294).
“Ia pun teringat kampung halamannya beberapa hari yang lalu. Dilihatnya ibunya memasukkan uang ke baju dan sapu tangan ke dalam kutangnya.
Melihat uang itu pun dia sangat ingin. Tidak berpikir panjang, dimintanya lah duit itu walaupun sedikit. Kalau kata hati si Tigor, kalau diberi, syukur, kalau tidak diberi pun aku tidak rugi, kata hatinya, mau berbicara.
“Minta lah sedikit uang mu itu mau beli rokok sebungkus”.
Tetapi apa jawaban si ibu si Tigor, kalaulah diingat. Menyesalnya dia yang meminta itu. Tidak disangka hatinya seperti itu jawaban ibunya itu.
“Hanya uang untuk membeli rokok mu pun tidak dapat mu. Ini sama mu”, katanya sambil kembali menunjukkan pelan ujun hidungnya itu, menghadap ke si Tigor, “Dua lubangnya”.
“Hanya karena rokok mu tidak dapat mu, bukankah lebih baik kau pergi gantung diri”.
Kutipan di atas adalah aspek psikologi yang melatar belakangi Tigor bunuh diri ialah “emosi” dikarenakan emosi menunjukkan kegoncangan yang disertai kesadaran perilaku dan proses fisiologis, yaitu diantara lain sebagi pembangkit energi dan pembawa informasi. Pada sub bab sebelumnya mulutnya menjawab ia ingin gantung diri ketika didesak oleh Jihin Sirata Butuha.
“Bia ma he‟ttong baenon, rupa madung sibat di na mardunia on do. Muda taradong di iba, kecet pe murbahat. Na pola maralang-alang iba
makkuling gogo di lopo-lopo sanga diparluhut-luhutan. Bisa muse ma iba mandok sipaingot tu halak, on na tusi on na tuson. Bope na so tutu nadidokkonan i, halak pen a bagi aha didokkon na manangihon i. tai muda nadon di iba, giot mangecet iba, na ditanggihon halak. Anggo hum na ditangiho, napola hatcit dilala. Tai muda batcing mata na mambegesa, na ma mudangol dilala. Hohom-kohom iba, didikkon kalak iba si longas.
Songon na didiokkon ni halak huta suhut i, sip muap bau, makkuling muap et. Tarsongon i ma si Tigor, sai hohom-kohom. Saba sobaenon pe na sadia marbola pe ia, na dilehen kalak. Tarpaksa ma ia sai kehe mai soban atco bisa manyambung nglu. Anggo sabutolna, na mao soban on pe nanggo na taromo. Pas-pas mai bisa manabusi dahanon dua tolu takar. Giot manggotti sattut pe maol. Tai benna so adong pangomon, nadong haimbaran, bia jo labuna. Holi-holi pe mapukpukm na diomo so suada”
(Ritonga, 2010: 2-3).
“Apa yang mau dikata, Ternayata beginilah kehidupan di dunia ini. Kalau kita orang yang punya, cerita pun makin banyak. Tidak segan-segan kalau mau bersuara kuat di warung-warung kopi ataupun diperkumpulan-perkumpulan. Bisa pula lah kita memberikan kata nasehat ke orang-orang, ini yang kesini, ini yang kesana. Walaupun belum pasti yang dikakatan itu, orang-orang pun yakin mendengarkannya itu. Tapi kalau kita bukan orang yang punya, mau berbicarapun pun orang tidak ada yang mendengarkan. diharapkan. Pas-pasan buat membeli beras dua tiga takar. Mau mengganti celana pun susah. Tapi bagaimanalah tidak ada lagi yang mau di cari, tidak jalan lain. Apapun terjadi. Sekuat apapun banting tulang, yang di cari pun tidak seberapa”.
Kutipan di atas menunjukkan aspek yang melatarbelakangi psikologis Tigor. Kutipan tersebut menunjukkan “faktor situasional” yaitu faktor psikososial yang hadir dari luar individu tersebut. Tigor menjadi orang yang pendiam dikarenakan kemiskinan yang menimpah hidupnya. Bahkan kemisikan itu membuat Tigor untuk bermain bola pun tidak di izinkan oleh orang-orang yang
ada dikampungnya. Kemudian diamnya itu pula yang membuat Tigor mendapat julukan Tigor Van De Longas atau Tigor Bodoh Bin Tolol yang diberikan oleh gurunya semasa ia bersekolah.
2. Faktor-Faktor Yang Melatarbelakangi Psikologis Bonur Togur Niari Boru Regar / Bonur atas kedatangan mu ini” katanya pula, “ karena aku sangat rindu melihat dan bercerita dengan manusia, bangsa ku sendiri. Banyak orang yang kulihat tetapi tidak bisa menjadi lawan bicara. Karena apapun yang dikatakan mereka tidak bisa mendengar, apapun yang dilakukan ke badan mereka, mereka tidak merasakannya” lanjut gadis itu”.
“Au pe da”, ning anak boru i muse, “songon ho on do, manusia biaso.
Madung adong sappulu taoun au inda mangecet dohot jolma. Nabaroun, au dilojongkon Jihin Sirata Butuha, hatiha au bujing-bujing. Hutakku sabtoulna di sadu do”, ning ia muse laho manudu tu sabola habitcaran,
“di lambung Aeknabara” (Ritonga, 2010: 6).
“Aku pun,” Kata anak gadis itu, “Seperti kau ini, manusia biasa. Sudah ada sepuluh tahun tidak berbicara dengan manusia. Dahulu aku di larikan Jihin Si Rata Butuha, ketika aku masih gadis. Kampungku sebenarnya disananya,” kata anak gadis itu sambil menunjuk arah tempat mata hari terbit, “di sebelah Aeknabara”.
Yang melatar belakangi aspek psikologis Bonur pada kutipan-kutipan di atas ialah “faktor siuasional”. Kutipan tersebut menunjukkan betapa Bonur sangat rindu berbicara dengan manusia semua itu dikarenakan dunia yang sudah berbeda.
Kemudian betapa ia sangat senang atas kedatangan Tigor yang tidak disengaja tersebut.
“…Sugari nian, anggo bolas pangidoan, au pe ra do au rap dohot ho, rap tatinggalkon inganan ni jihin on. Tai bagi na bia pe pasti ma hita dimatehon jihin i. tuda pe hita kehe akkon na dapot nia do, bope kehe ma tu maleku” (Ritonga. 2010: 285).
“…Kalaulah, keinginan, aku pun ingin dengan mu, bersama kita tinggalkan rumah jin ini. Kemana pun kita pergi pasti akan dia dapatkan, walaupun kita pergi ke Maleku”.
Kutipan di atas menunjukkan aspek “faktor situasional” dimana Bonur menolak ajakan Tigor dikarenakan ia sadar hal-hal tersebut tidak akan mungkin.
Mengingat apa yang akan nanti di lakukan oleh Jihin Sirata Butuha.
3. Faktor-Faktor Yang Melatarbelakangi Psikologis Jihin Sirata Butuha
“Diciritohon ia muse bahaso sude aha-aha haporluannia sude dipasikkop jihin i, sian si panganon, pakaean na por dirohania,inganan dohot na asing-asing i, hinggo nada adong hurangna, bia atco jop rohania tinggal rap dohot jihin. Tai sada ma na so tarpasikkop jihin i, ima taringot pasombu halalungun mangecet dohot jolma. Nalobi pangiburu ni jihin i muda sai dipasuohon anakboru i tu jolma” (Ritonga, 2010: 7).
“Dicertikannya lah bahwasanya semua apa yang menjadi kebutuhannya semua disediakan oleh jin itu, mulai dari makanan, pakaian yang di inginkan, tempat tinggal dan lain-lain, sampai apa yang kurang, biar bagaimana tetap senang hatinya tinggal bersama jin itu. Tetapi hanya satu lah yang tidak dikabulkan oleh jin itu, itulah pengobat kerinduan untuk berbicara dengan manusia. Terlebih cemburunya jin itu kalau sudah dipertemukan gadis itu dengan manusia”.
Kutipan di atas menunjukkan “faktor personal” dengan “motif cinta” dari Jihin Sirata Butuha. Kutipan di atas menjelaskan kenapa Jihin Sirata Butuha langsung ingin membunuh Tigor di akhir cerita.
4. Faktor-Faktor Yang Melatarbelakangi Psikologis Dja Pardomuan dan Boru Pagaran Padang
“Nakkon dipaboa jolo atcogot noma i. anon, jos, ningia ro. Ma sanga dipaboa tu koum, nanggo ho maila”, ning ia tu dadaboru i, “ia do”.
Dibaen ia songon dakdanak na menek. Ujungna dipahohom-kohom halahi mangalului” (Ritonga, 2010: 18).
“Tidak usah diberi tahukan dulu ke sanak pamili. Besok saja. Nanti, sudah diberitahu, datang pulalah dia. Kalau sudah di beritahu ke sanak pamili bukan kau yang malu.” Katanya kepada istrinya, “Dianya”. Dibuatnya seperti anak-anak yang masih kecil. Akhirnya mereka urungkan niat untuk mencarinya”.
Kutipan di atas adalah aspek yang melatar belakangi psikologis Dja Pardomuan hal tersebut menunjukkan “faktor situasional” yaitu “faktor sosial”
dimana Dja Pardomuan masih memikirkan apa jadinya apa bila Tigor tiba-tiba kembali.
“Nanggo da songon i” ning inang ni si Anna mangalusi hata ni dongan saripenia i, “atcogot, betak sai mahua ia, „tanda sajo ma‟ttong ning halak. Iba juo do na maila” (Ritonga, 2010: 17).
“Bukan begitu”, kata Ibunya si Anna menyahut kata suaminya, “Besok, mana tahu kenapa-kenapanya dia, tanda sajanya pula, kata oranglah, kita juga yang malu”.
Kutipan di atas adalah aspek yang melatar belakangi psikologis Boru Pagaran Padang ialah “faktor situasional” dimana ia sangatlah khawatir apa yang akan menjadi perkataan orang-orang apabila mereka tidak begitu perduli dengan Tigor.
5. Nai Marbintang
“Naburagan, jubur ninna ma songon na ditondong ni batang ni hayu na godang ma bagas nai i, bia ma na sarsar sajo. Amang ni si Bintang pe manigor lippot sajo na tarida. Hatiha giot manakkup bagi na aha ma dohot sitiopan dibagasan ni aek na doras, huhul muldop huhul bonom, dohot naso di angan-angan roha dohot kuaso ni Tuhan tu sude hambonia, malua ma anakku, anak hasian ni inangna i, sian tanganku sandiri, taldus sian tanganku dihatiha tandos ulukku tu batu.
Leng takkas dope diparnidaanku lopus saonnari hatiha malua ii a sian au, tangannia na menek mokmok i mangadop tu au. Badannia dohot ulunia madung masuk tu bagasan aek na horu. Tangannia siamun i leng makkiap tarsongon na mangido tolong atco hutakkup ia. hupaida-ida ma i songon i, kuaso niba inda
adong, harana au sakkot dibatu rap dohot tunggul ni hayu hatiha i murmur dao sian au, lalu mago nada tarida be.
Anggo pakkilalaanku hatiha i tagonan noma au dohot mate mayup as alma tartakkup au tangannia…” ( Ritonga, 2010: 216).
“Seketika, terdengarlah seperti suara batang pohon besar yang menambrak rumah kami, bagaimana lah yang berserakan. Ayah dari si Bintang pun seketik tidak terlihat. Aku pun hanyut dengan mendekap si Bintang disebelah kananku. Ketika ingin meraih apapun yang bisa untuk dipegang di dalam air yang sangat deras, kadang terlihat, kadang terbenam, seperti hal yang tidak diinginkan hati atas kuasa Tuhan terhadap hambanya, anakku pun terlepas, anak kesayangan ibunya, dari tanganku sendiri, lepas dari tangan ku ketika kepala ku terbentur dari batu.
Masih terlihat jelas diingatan ku sampai sekarang ketika dia terlepas dari ku, tangan kecilnya gemuk itu menghadap kearah ku. Badan dan kepalanya masuk kedalam air yang keruh itu. Tangan kanannya itu pun bergerak-gerak seperti meminta tolong agar dia kuraih. Aku pun melihatnya seperti itu, kekuatan ku pun tidak ada, karena aku tersangkut dibatu dan kayu ketika ia semakin jauh dari ku, dan kemudian menghilang dan tak terlihat lagi.
Kalau menurutku saat itu lebih baik aku ikut mati hanyut asalkan aku bisa meraih tangannya…”.
Kutipan di atas menunjukkan aspek yang melatar belakangi psikologis Nai Marbintang ialah “faktor personal” dengan “motif cinta”. Kehilangan orang dikasihinya membuat psikologisnya terguncang sehingga ia pun tidak tahu lagi apa yang ia lakukan selanjutnya. Bahkan ketika ada makhluk astral yang menyerupai suaminya ia pun hanya mengikuti saja apa yang dikatakan jin yang menyerupai suaminya hingga ia bisa sampai di alam gaib.
6. Kelompok Masyarakat
“Dung torang ari, matakkas si Tigor na ro tu bagas. So jungada songon i, aha do luai ro tusia. Dung manyogot paboa ma tu akka koum-koum sisolkot”
(Ritongga, 2010: 19).
“Setelah hari terang, jelaslah si Tigor tidak pulang ke rumah. Tidak pernah seperti itu, apa yang terjadi dengannya. Paginya diberi tahukankan kepada semua sanak pamili”.
“Sidung mangan borngin, marluhut muse ma sude kaoum-koum sisolkot rap dohot torbing balok na laho makikirkon bia kiet atco dapot noma si Tigor on.
Paluhutan na sanoli on umbahat sian na porjolo-joli i. koum sisolkot na tardao pe ma marroan. Ujungna dapot ma putus ni tahi atco sude dohot manjalahi dohot manat-manat. Sude sopo-sopo na adong di saba-saba akkon dimasuhi.
Ulang hum dipittu i sajo manukkir. Sude bondar-bondar na tar bagas dipareso, harana na sai binoto, betak na unjom do ia disi na‟dong da midaan. Songon i muse mual-mual. Mula-mula dipareso na donok-donoknai, dungi baru ma murmur dao. Songon i muse kobun-kobun ni halak, sude dipareso, ulang adong na hatinggalan Batang aek pe didalani, na sai binoto betak na tinggan do ia disi na tarbaen ia manggulotkon pamatangnia.
Atco ummomo tu halahi mangalului, ganop-ganop rombongan akkon adong doal dohot mongmong…” (Ritonga 2010: 281).
“Selesai makan malam, berkumpul lah semua sanak pamili bersama raja kampung yang mau memikirkan bagaimana cara biar bisa mendapatkan si Tigor.
Perkumpulan kali ini lebih banyak dari yang sebelumnya itu. Sanak pamili yang jauh pun semuanya sudah berdatangan. Akhirnya dapat lah keputusan dari musyawarah tersebut biar semua sama mencari dengan hati-hati. Semua pondok-pondok yang ada disawah-sawah harus dimasuki. Jangan hanya melihat di depan pintu saja. Semua parit-parit yang agak dalam diperiksa, karena tidak ada yang tahu, mana tahu yang tersungkurnya dia disitu dan tidak ada yang melihat. Begitu juga dengan tempat mata air. Pertama-tama diperiksa yang dekat-dekat terlebih dahulu, setelah itu baru lebih jauh. Begitu pula dengan kebun milik orang, semua diperiksa, jangan ada yang ketinggalan sungai pun dilalui, mana tahu dia yang sudah ditimpa disitu tidak bisa lagi ia gerakkan badannya.
Agar lebih mudah mereka mencarinya, tiap-tiap rombongan harus ada membawa gong dan gong kecil…”.
Kutipan-kutipan di atas menunjukkan aspek yang melatar belakangi psikologis kelompok masyarakat ialah “faktor situasional” yaitu kutipan-kutipan yang menunjukkan
“faktor kebudayaan” suatu masyarakat dalam memecahkan sebuah masalah.
“…Tarmasuk ma datu na sian Situmba. Pandok ni bayo datu on, si Tigor nuaeng madung dilojongkon jihin tu indu di Sibualbuali an. Huhul-kuhul kehe do mardalan tu sabola Liangan lalu maridi di Dano Marsabut. Sannari sonang do parasaannia di sadu, indahan dilehen tusia pira ni porkis do. Na lapang sajo do dooda halahi harangan godangan. Marparau-parau di halahi di dano Marsabut, tai parauna bulung sikkut do. Anggo hita do nakkan na bisa tarida hita halahi, harana bia mahe „ttong, orang alus do. Angg na talului ia, ra do saulahon jadi dohot ia gabe jihin. Tai muda nada ra ia jadi jihin, biasona dipaulak halahi do i.
Adong muse datu mandokkon, anggo si Tigor bisa do mulak i, tai akkon dihiap indu sian tor Sibohi, mangadop tu tor Simagomago. Dungi dihiap muse sian tor Simagomago tu dolok Saipar Dolok Hole, tai na makkiapna akkon datu do, nanggo bisa simbarangan. Muda dapot ia saulahon, akkon na di upa-upa do.
Bayo datu Dja Humutur na sian Baringin mandok, dung lilu do i nuaeng, akkon na dilului do i. mangaluluina ima ohot mamalu mongmomh dohot doal. Muda na so ra do ia mulak tu hita on, jihin na maroban ia i mulai ma goyak rohania mangaligi si Tigor. Di bornginna putus ma polat atco rap rim mangaluluisa
mangusahohon tarlobi-lobi tu koum kahanggi dohot sisolkot ro sude hombar balok atco dapot noma i. Sude nadidokkon datum dia na sapadena ihutkonon, diihutkon” (Ritonga, 2010: 23).
“…Termasuk lah Datu yang berasal dari Situmba. Menurut datu ini, si Tigor sekarang sudah dilarikan jin ke Sibualbuali sana. Kadang-kadang dia pergi berjalan ke sebelah Liangan sambil mandi di Danau Marsabut. Sekarang disana perasaannya sedang senang, nasi yang diberikan kepadanya pun telur semut.
Hutan itu terlihat luas baginya. Mereka bermain perahu di Dano Marsabut, tapi perahunya dari daun sikkut. Kita tidak akan bisa melihat mereka, karena bagaimana pun, mereka orang halus. Kalau tidak kita mencarinya, bisa saja nanti ia berubah menjadi jin. Tetapi kalau dia tidak mau menjadi jin, biasanya mereka akan mengembalikannya pulang. Ada seorang datu yang mengatakan, kalau si Tigor ini bisa pulang, tetapi kita harus memanggilnya dari bukit Sibiho, menghadap ke bukit Simagomago. Setelah dipanggil lagi dari bukit Simagomago ke puncak Saipar Dolok Hole. Tetapi yang memanggilnya harus seorang datu, tidak bisa sembarang orang. Jika dia ditemukan, harus di upa-upa.
Datu Dja Humutur yang dari Baringin, mengatakan, dia telah tersesat. Dia harus dicari dulu dengan memukul-mukul gong kecil dan gong besar.Kalau dia tidak mau pulang kepada kita , jin yang membawanya itu akan kesal melihat si Tigor.
Pada malamnya, keluarlah hasil musyawarah agar sama-sama mencarinya mengusahakan terlebih ke saudara semarga dan juga tetangga datang agar dia diketemuankan. Apapun yang disampaikan datu itu, mana yang baik diikuti, diikutilah.”
Kutipan di atas menunjukkan aspek yang melatar belakangi kelompok masyarakat tersebut ialah “faktor budaya” dikarenakan saat itu apa yang masyarakat lakukan dalam mencari Tigor yang hilang mereka hanya memanggil datu atau dukun. Lalu mereka menjalankan apa yang telah disampaikan oleh datu tersebut.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Melalui teori psikoanalasis Sigmund Freud, psikologis tokoh dalam cerita Halilian Turi-Turian Ni Halak Sipirok Banggo-Banggo karya Abdurrahman Ritongga disimpulkan sebagai berikut:
a. Tokoh Utama
1) Tigor yang merupakan tokoh utama dalam cerita, id Tigor yang terlalu banyak di alam gaib yang kemudian ia proses menjadi ego berbanding terbalik dengan ia yang berada di dunia nyata (Sipirok). Jika di dunia nyata Tigor menjadi orang yang pendiam, maka ketika ia berada di alam gaib Tigor berubah menjadi kebalikannya bahkan ia mengemukankan pendapatnya yang mungkin apabila di dunia nyata ia akan memendamnya di dalam hati. Lalu jika di dunia nyata tigor dikatakan bodoh bin tolol tetapi tidak ketika di alam gaib. Kemudian ego-nya yang tidak bisa ia kendalikannya di alam gaib lah yang berujung pada kematiannya sendiri (superego).
2) Bonur Togur Niari Boru Regar/Bonur, merupakan tokoh utama juga dalam cerita. Ia adalah wanita yang ditemui Tigor ketika Tigor tersesat
2) Bonur Togur Niari Boru Regar/Bonur, merupakan tokoh utama juga dalam cerita. Ia adalah wanita yang ditemui Tigor ketika Tigor tersesat