• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENINGKATAN PERILAKU MORAL MELALUI PERMAINAN TRADISIONAL PADA ANAK KELOMPOK B RA HARAPAN MULIA DI KECAMATAN MOYUDAN KABUPATEN SLEMAN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENINGKATAN PERILAKU MORAL MELALUI PERMAINAN TRADISIONAL PADA ANAK KELOMPOK B RA HARAPAN MULIA DI KECAMATAN MOYUDAN KABUPATEN SLEMAN."

Copied!
218
0
0

Teks penuh

(1)

i

PENINGKATAN PERILAKU MORAL MELALUI PERMAINAN TRADISIONAL PADA ANAK KELOMPOK B RA HARAPAN MULIA

DI KECAMATAN MOYUDAN KABUPATEN SLEMAN

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan

Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh Arum Novita Sari NIM 11111241010

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

JURUSAN PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

v MOTTO

“ Bangsa yang besar terlihat dari anak negerinya yang berwawasan dan berakhlak mulia yang berdasarkan pada moral dan norma yang ada”

(Rahmat Febi Ferdian)

“Jujur pada diri sendiri’ Tanggung jawab serta mawas diri berperilaku santun

yang berdasar pada moral”

(Rahmat Febi Ferdian)

“Moral adalah dasar mutlak dan wajib untuk menjadi pribadi yang berakhlak, bertanggung jawab, berwawasan, bersosial dan berbudaya”

(6)

vi

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan kepada:

(7)

vii

PENINGKATAN PERILAKU MORAL MELALUI PERMAINAN TRADISIONAL PADA ANAK KELOMPOK B RA HARAPAN MULIA

DI KECAMATAN MOYUDAN KABUPATEN SLEMAN

Oleh Arum Novita Sari NIM 11111241010

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan perilaku moral melalui permainan tradisional pada anak Kelompok B RA Harapan Mulia di Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman.

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas. Subjek penelitian anak Kelompok B yang berjumlah 10 anak, terdiri dari 7 anak laki-laki dan 3 anak perempuan. Penelitian ini dilakukan melalui permainan tradisional dengan model penelitian Hopkins. Metode pengumpulan data dalam penelitian menggunakan observasi. Dan teknik analisis data menggunakan analisis deskriptif kuantitatif dan deskriptif kualitatif.

Adapun proses pembelajaran untuk meningkatkan perilaku moral melalui permainan tradisional adalah dengan mempersiapkan rencana kegiatan, memberikan penjelasan dan tata cara bermain serta memberikan kesempatan kepada anak untuk bermain Trim-triman, Jamuran dan Dhingklik Oglak Aglik di kegiatan inti, dan melakukan evaluasi di akhir kegiatan. Ketika bermain anak-anak diberi kesempatan untuk menentukan kesepakatan dan keputusan dalam bermain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku moral anak pada pra tindakan sampai siklus I meningkat 22,6% dan peningkatan pada siklus I sampai II meningkat sebesar 29,4%. Dari data menunjukkan bahwa perilaku moral anak dapat ditingkatkan melalui kegiatan bermain permainan tradisional.

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, kesehatan dan segala kemudahan. Ungkapan rasa syukur atas selesainya skripsi

ini dengan judul “Peningkatan Perilaku Moral melalui Permainan Tradisional pada Anak Kelompok B RA Harapan Mulia di Kecamatan Moyudan Kabupaten Slemandengan harapan karya ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi penulis, para guru, calon guru Pendidikan Anak Usia Dini dan bagi masyarakat pada umumnya.

Skripsi ini dapat diselesaikan dengan lancar berkat bantuan dari banyak pihak yang telah memberikan masukan dan bantuan moril. Oleh karena itu, pada kesempatan ini disampaikan terimakasih kepada:

1. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan ijin dan kesempatan untuk melakukan penelitian dan ujian Tugas Akhir Skripsi.

2. Ketua Jurusan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan ijin dan kesempatan dalam penelitian dan penyelesaian Tugas Akhir Skripsi.

(9)

ix

4. Ibu. Dr. Christina Ismaniati, M.Pd. dan Ibu Eka Sapti C., MM., M.Pd. selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah memberikan waktu, arahan, dan nasehat dalam membimbing, menyusun, serta mengarahkan peneliti dalam menyelesaikan hasil penelitian menjadi skripsi dengan penuh kesabaran. 5. Kepala Sekolah RA Harapan Mulia, Sejati Dukuh, Sumberarum, Moyudan,

Sleman yang telah memberikan kesempatan untuk penelitian. Ibu Hestinurwiningsih, S.Ag., serta rekan guru yang memberikan bantuan selama proses penelitian berlangsung.

6. Bapak, Ibu dan Adikku yang telah memberikan doanya.

7. Riza Satya Rahman, Nurul Fatimah Umairoh serta teman-teman yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu dan telah memberikan bantuan, motivasi dan semangat serta semua pihak yang telah membantu menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi.

Semoga segala bantuan, dukungan dan waktu yang telah diberikan kepada penulis menjadi amal baik yang diterima oleh Allah SWT. Penulis berharap skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi dunia pendidikan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun.

(10)

x

B. Identifikasi Masalah... 6

C. Batasan Masalah... 7

D. Rumusan Masalah... 7

E. Tujuan Penelitian... 7

F. Manfaat Penelitian... 8

G. Definisi Operasional... 8

BAB II KAJIAN TEORI... 10

A. Pengembangan Perilaku Moral Anak... 10

1. Aspek-aspek Perkembangan Moral Anak... 10

2. Pengertian Perilaku Moral... 17

3. Tahap-tahap dan Ciri-ciri Perilaku Moral Anak... 19

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Moral Anak... 28

5. Tujuan Pengembangan Perilaku Moral... 33

B. Karakteristik Peserta Didik... 34

(11)

xi

1. Pengertian dan Macam-macam Permainan Tradisional... 36

2. Manfaat Permainan Tradisional untuk Perilaku Moral... 51

3. Alat dan Bahan Permainan Tradisional... 61

D. Pembelajaran untuk Meningkatkan Perilaku Moral dengan Permainan Tradisional... 63 1. Pengertian dan Karakteristik Pembelajaran... 63

2. Strategi Pembelajaran Perilaku Moral... 67

3. Langkah-langkah Pembelajaran Permainan Tradisional... 80

4. Landasan Teoritik Peningkatan Perilaku Moral melalui Permainan Tradisional... 88 E. Kerangka Pikir... 89

F. Hipotesis... 92

BAB III METODE PENELITIAN... 94

A. Jenis Penelitian... 94

B. Subyek Penelitian... 95

C. Tempat dan Waktu Penelitian... 95

D. Desain Penelitian... 95

E. Jadwal Penelitian... 100

F. Metode Pengumpulan Data... 100

G. Instrumen Penelitian... 101

H. Teknik Analisis Data... 103

I. Indikator Keberhasilan... 107

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 108

A. Hasil Penelitian... 108

1. Deskripsi Lokasi Penelitian... 108

2. Kondisi Awal Anak Sebelum Tindakan... 110

3. Pelaksanaan Pra Tindakan... 111

4. Pelaksanaan Siklus I... 113

(12)

xii

B. Analisis Data Peningkatan Perilaku Moral Anak... 142

C. Pembahasan Hasil Penelitian... 144

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 149

A. Kesimpulan... 149

B. Saran... 150

DAFTAR PUSTAKA... 151

(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Hal. Gambar 1. Contoh Arena dalam Permainan Engklek... 48 Gambar 2. Kerangka Pikir... 92 Gambar 3. Penelitian Tindakan Model Hopkins... 90 Gambar 4. Diagram Peningkatan Perilaku Moral Pra Tindakan,

Siklus I dan Siklus II Kelompok B RA Harapan Mulia

(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Hal.

Tabel 1. Lembar Observasi Perilaku Moral... 102

Tabel 2. Rubrik Penilaian Perilaku Moral... 103

Tabel 3. Penentuan Kriteria... 105

Tabel 4. Hasil Observasi Perilaku Moral Pra Tindakan... 113 Tabel 5. Peningkatan Perilaku Moral Siklus I Kelompok B RA Harapan

Mulia...

127 Tabel 6. Peningkatan Perilaku Moral Siklus II Kelompok B RA

Harapan Mulia...

143 Tabel 7. Analisis Data Peningkatan Perilaku Moral Pra Tindakan,

Siklus I dan Siklus II Kelompok B RA Harapan Mulia...

(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Hal.

Lampiran 1. Jadwal Penelitian... 155

Lampiran 2. Surat Keterangan Validitas Pedoman Penelitian... 156

Lampiran 3. Instrumen Penelitian... 157

Lampiran 4. Surat Ijin Penelitian... 160

Lampiran 5. Hasil Observasi Pra Tindakan... 163

Lampiran 6. Rencana Kegiatan Harian (RKH) Siklus I... 164

Lampiran 7. Hasil Observasi Siklus I... 179

Lampiran 8. Rencana Kegiatan Harian (RKH) Siklus II... 182

Lampiran 9. Hasil Observasi Siklus II... 197

Lampiran 10. Hasil Observasi Setelah Tindakan... 200

Lampiran 11. Rekapitulasi Data... 201

(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bermain merupakan hal yang paling disukai anak, bahkan orang dewasa. Melalui bermain anak-anak mampu menemukan pengalaman mereka dengan lingkungan. Terlebih lagi bagi anak usia dini yang memiliki ciri khas belajar melalui bermain. Anak usia dini merupakan masa anak melampaui pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat. Menurut NAECY (The National Association for The Education of Young Children) dalam Soemiarti Patmonodewo

(2003:43) yang dimaksud dengan “Early Childhood” (anak usia dini) adalah

“anak yang sejak lahir sampai dengan usia delapan tahun”.

(17)

2

dapat berfungsi sebagai manusia yang utuh sesuai falsafah suatu bangsa (Slamet Suyanto, 2005: 3). PAUD mengembangkan potensi yang ada dalam diri anak, potensi tersebut terdiri dari 5 aspek, yakni perkembangan fisik, motorik, intelektual, emosi, serta bicara dan bahasa. Sedangkan aspek perkembangan yang harus dicapai menurut Permendiknas No.58 Tahun 2009 terdiri dari 5 hal yakni pemahaman nilai agama dan moral, fisik, kognitif, bahasa dan sosial emosional, semua aspek tersebut penting untuk dikembangkan dan saling berkaitan satu sama lain. Salah satunya adalah nilai agama dan moral pada anak.

Pengertian moral menurut Rosmala Dewi (2005: 2) “berasal dari kata latin

(18)

3

perkembangan membedakan perbuatan baik dan buruk seperti mematuhi aturan yang berlaku atau membuat keputusan yang adil dalam bermain.

Dari pengamatan yang telah dilakukan pada anak kelompok B RA Harapan Mulia, terlihat beberapa permasalahan perilaku moral yang muncul pada anak-anak. Dari 10 anak dalam satu kelas muncul kendala dalam perkembangan perilaku moral anak seperti delapan anak di antaranya kesulitan untuk mengungkapkan kata maaf atau mengakui kesalahannya ketika anak melakukan kesalahan kepada teman saat kegiatan bermain atau belajar di dalam kelas, sehingga terkadang muncul pertikaian. Sembilan anak di antaranya masih membutuhkan bantuan dari guru dalam menerima anak yang lain sebagai teman bermain, hal ini ditunjukam melalui komunikasi yang kurang menyenangkan kepada teman yang lain seperti mengatakan wajah temannya jelek, menendang atau memukul teman tanpa alasan, ketika guru meminta anak-anak bekerja sama dan menolong teman mereka masih memilih-milih teman kecuali dengan teman dekatnya dan tidak mau bermain dengan teman yang tidak disukainya.

(19)

4

belajar, mengganggu teman sampai menangis, bermain keluar kelas ketika pembelajaran serta masih berebut ketika menunggu giliran. Guru telah menggunakan metode pembiasaan dan bercerita dalam meningkatkan perilaku moral anak.

Dari beberapa masalah yang dipaparkan di atas menunjukkan bahwa pembelajaran untuk meningkatkan perilaku moral kebersamaan dan ketaatan aturan di Kelompok B RA Harapan Mulia perlu diperbaiki. Pembelajaran yang dapat dilakukan yakni memberikan kegiatan yang lebih bervariatif dan menantang bagi anak seperti bermain permainan tradisional sebagai salah satu cara untuk menstimulasi perilaku moral. Hal tersebut diperkuat dengan pendapat Maria J. Wantah yang menyatakan bahwa semua kegiatan yang dilakukan dalam situasi dan suasana bermain merupakan kegiatan pembelajaran moral yang cocok bagi anak usia dini (Wantah, 2005: 125), karena permainan tradisional cocok sebagai kegiatan pembelajaran moral untuk anak karena dalam kegiatannya dilakukan dalam situasi dan suasana bermain.

(20)

5

melatih anak untuk membiasakan perilaku baik seperti mentaati aturan, menghormati orang lain, sopan, santun, dan berperilaku sesuai tata krama (Dharmamulya, 2008: 37), oleh karena itu permainan tradisioanal dapat dijadikan pilihan kegiatan bermain yang dapat menstimulasi perilaku moral pada anak.

Permainan tradisional yang digunakan untuk meningkatkan perilaku moral pada anak dalam penelitian ini adalah kategori permainan dengan nyanyian dan dialog, karena permainan dengan nyanyian dan dialog bersifat rekreatif, interaktif dan mengekspresikan pengenalan tentang lingkungan, hubungan sosial dan tebak-tebakan, selain itu melatih anak dalam bersosialisasi, bersifat responsif, berkomunikasi dan menghaluskan budi (Dharmamulya, 2008: 37-196). Menghaluskan budi adalah membentuk anak berperilaku santun atau lembut, sehingga mudah bergaul dan disenangi teman-temannya.

(21)

6

Kelompok B RA Harapan Mulia dapat menunjukkan kemajuan terkait aspek perkembangan perilaku moral pada anak melalui permainan tradisional.

B. Identifikasi Masalah

Dari uraian di atas ada beberapa masalah yang dapat kita amati dari 10 anak dalam satu kelas, yaitu:

1. Delapan anak di antaranya kesulitan untuk mengungkapkan kata maaf atau mengakui kesalahannya ketika anak melakukan kesalahan kepada teman saat kegiatan bermain atau belajar di dalam kelas, sehingga terkadang muncul pertikaian.

2. Sembilan anak di antaranya masih membutuhkan bantuan dari guru dalam menerima anak yang lain sebagai teman bermain, hal ini ditunjukam melalui komunikasi yang kurang menyenangkan kepada teman yang lain seperti mengatakan wajah temannya jelek, menendang atau memukul teman tanpa alasan, ketika guru meminta anak-anak bekerja sama dan menolong teman mereka masih memilih-milih teman kecuali dengan teman dekatnya dan tidak mau bermain dengan teman yang tidak disukainya.

(22)

7

4. Sembilan anak membutuhkan perhatian untuk mentaati peraturan yang dibuat berdasarkan kesepakatan kelas, guru, atau teman ketika proses belajar mengajar maupun kegiatan di luar jam belajar. Misalnya anak masih sering melanggar aturan ketika di kelas dengan makan atau minum ketika belajar, mengganggu teman sampai menangis, bermain keluar kelas ketika pembelajaran serta masih berebut ketika menunggu giliran.

C. Batasan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang masalah tersebut, dapat dilihat banyak masalah yang muncul. Oleh karena itu peneliti menfokuskan pada upaya peningkatan perilaku moral khususnya kebersamaan dan ketaatan aturan melalui permainan tradisional pada anak Kelompok B RA Harapan Mulia di Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah diatas, dapat diperoleh rumusan masalah

“Bagaimana meningkatkan perilaku moral khususnya kebersamaan dan ketaatan aturan melalui permainan tradisional pada anak Kelompok B TK RA Harapan Mulia di Kecamatan Moyudan Kabupaten Sleman?”

E. Tujuan Penelitian

(23)

8 F. Manfaat Penelitian

Adapun hasil dari penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi guru dan murid. 1. Bagi guru

Dengan penelitian ini, diharapkan membantu guru mengembangkan perilaku moral pada anak melalui kegiatan yang lebih variatif.

2. Bagi murid

Dengan adanya kegiatan dalam penelitian ini, diharapkan mampu meningkatkan perilaku moral anak seperti sikap taat aturan, saling menyayangi teman, mau menolong, jujur, mau berbagi, memiliki sikap sopan dan santun serta mampu diterima dalam masyarakat.

G. Definisi Operasional

Untuk menghindari kesalahpahaman pembahasan dalam tulisan ini maka perlu disampaikan definisi operasional yang akan digunakan dalam penelitian ini.

1. Perilaku Moral pada Anak

Peningkatan perilaku moral dalam penelitian ini difokuskan pada perilaku yang diwujudkan melalui tindakan yang dilakukan anak, yaitu sikap kebersamaan dan ketaatan terhadap aturan. Aturan dibuat atas kesepakatan antar kelompok, kesepakatan kelas, dibuat oleh guru, atau guru dengan anak. Aturan berfungsi mengontrol perilaku anak. Harapannya anak berperilaku baik kepada teman sehingga tercipta nilai kebersamaan di dalam kelas. Dalam prosesnya, anak diberi kesempatan untuk berpartisipasi membuat aturan. Peningkatan perilaku moral di

(24)

9

penelitian ini adalah mau bermain bersama teman, bersabar ketika menunggu giliran, mematuhi aturan yang berlaku dalam permainan, membuat keputusan yang adil dalam bermain, dan mau membantu teman.

2. Permainan Tradisional

(25)

10

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Pengembangan Perilaku Moral Anak 1. Aspek – aspek Perkembangan Moral Anak

Pendidikan nilai agama dan moral memiliki peranan yang penting dalam membentuk perilaku seseorang. Webster’s New World Dictionary dalam Maria J. Wantah (2005: 45) menyatakan bahwa “moral dirumuskan sebagai sesuatu yang berkaitan atau ada hubungannya dengan kemampuan menentukan benar salah dan baik buruknya sesuatu tingkah laku”. Sedangkan menurut Rosmala Dewi (2005: 24) “moral berasal dari kata latin mores yang berarti tata cara, kebiasaan, dan adat”. Dari kedua pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa moral merupakan suatu aturan masyarakat sebagai pedoman untuk menentukan benar salah dan baik buruknya tingkah laku yang ditunjukan oleh seseorang. Bila tingkah laku yang ditunjukan oleh seseorang sesuai dengan aturan yang ada dalam masyarakat, maka sesorang tersebut akan diterima dalam masyarakat. Tetapi jika tingkah laku yang ditunjukan oleh seseorang tidak sesuai dengan aturan yang ada dalam kelompok masyarakat, maka individu akan dikucilkan atau tidak diterima oleh masyarakat.

(26)

11

moral seorang anak. Hal ini diperjelas oleh Goods (1945) dalam Sjarkawi (2006: 43) yang menyatakan bahwa “negara yang mengakui agama dan sekolah agama, maka pendidikan moral di sekolah diajarkan melalui pendidikan agama atau sekolah agama, sedangkan negara yang tidak mengakui agama, pendidikan moral diajarkan melalui pendidikan kewarganegaraan atau civis”.

Dari penjelasan yang dikemukakan oleh Goods dapat disimpulkan bahwa di Indonesia mengakui keberadaan agama, sehingga pendidikan moral di Indonesia juga menggunakan posisi agama dalam membentuk moral anak. Aturan yang ada dalam agama menjadi patokan dalam proses pembelajaran moral yang dilakukan didunia pendidikan. Namun dalam proses pembelajaran moral tersebut harus disesuaikan dengan tahapan usia atau perkembangan anak.

(27)

12

sehingga anak-anak harus memahami apa itu benar dan salah, hal ini untuk melatih anak agar dapat berinteraksi dengan teman sebaya. Bila telah mengetahui tugas perkembangan anak terkait dengan moral, maka perlu mngetahui juga implikasi tugas perkembangan pada dunia pendidikan, sehingga penyelenggara pendidikan dapat mengetahui strategi pembelajaran yang cocok bagi anak dalam kegiatan belajar yang akan diselenggarakan.

Implikasi tugas perkembangan pada pendidikan moral bagi anak adalah anak-anak perlu diperkenalkan pada keterampilan sosial sederhana seperti kapan mengatakan terima kasih, maaf, tolong dan atau ungkapan-ungkapan lain, anak juga diajarkan membedakan apa yang benar dan apa yang salah, nilai kejujuran, keadilan, persahabatan, tingkah laku prososial dan tanggung jawab sosial (Izzaty, dkk., 2008: 98-99). Nilai-nilai kejujuran, keadilan, persahabatan dan tanggung jawab penting diajarkan agar anak menghargai dirinya sendiri serta orang lain. Sebagai contoh saat bermain boneka anak yang berusia 4 tahun tidak mau meminjamkan boneka kepada temannya, maka pengasuh memberikan pengertian kepada anak bahwa tidak mau meminjamkan mainan kepada teman itu merupakan hal yang tidak baik karena mungkin suatu saat temannya juga tidak akan mau meminjamkan mainan kepadanya. Hal inilah yang menjadi bagian proses belajar bagi anak untuk mengenal dan memahami perbuatan yang benar dan yang salah.

(28)

13

benar salah, kejujuran, keadilan, persahabatan, tingkah laku yang sesuai dengan masyarakat dan tanggung jawab dalam kelompok masyarakat. Jika implikasi tugas perkembangan moral anak dapat dicapai dalam dunia pendidikan, maka anak anak yang berperilaku moral yang sesuai dengan nilai dalam masyarakat dapat diterima sebagai anggota masyarakat.

Moral tidak muncul begitu saja pada diri seorang anak, akan tetapi butuh proses yang cukup panjang untuk membuat moral seseorang itu berkembang. Proses pengembangan moral dapat dilakukan dengan baik melalui kegiatan belajar yang diselenggarakan oleh dunia pendidikan apabila kegiatan dilakukan dengan memperhatikan tahapan moral sesuai dengan usia anak. Tahapan moral yang dikemukakan Piaget (1965) terdiri dari tahap premoral, moral realism dan moral relativism (Slamet Suyanto, 2005: 67-68).

a. Premoral

Pada tahap ini anak belum dapat menggunakan pertimbangan moral dalam perilakunya. Anak belum mempunyai pengalaman bersosialisasi dengan orang lain dan masyarakat tempat aturan, etika atau norma itu ada. Anak terkadang masih memiliki sifat egosentris karena belum dapat memandang suatu masalah dari sudut yang lain.

b. Moral realism

(29)

14

semata-mata untuk menghindari hukuman yang diperoleh dari orang tua

sebagai akibat dari perilaku “benar” atau “salah” (Daeng Sari, 1996: 130). Jadi

tingkah laku yang dilakukan anak pada tahap ini adalah karena adanya konsekuensi yang mengikutinya, misalnya jika anak berlaku baik maka guru akan memberikan pujian dan bila anak berlaku tidak baik ketika bermain anak akan ditinggal oleh teman-temannya.

c. Moral realitivism

Pada tahap ini perilaku sudah didasarkan berbagai pertimbangan yang dilakukan anak. Anak sudah tidak lagi terpengaruh oleh orang lain. Anak sudah mengembangkan suatu nilai moral sebagai dasar pembentukan perilaku yang ia gunakan untuk memecahkan persoalan yang terkait dengan perilaku moral atau

nilai. Pada tahap ini anak menilai perilaku “benar” atau “salah” atas dasar tujuan

atau alasan dilakukannya perilaku dan tahap ini dicapai apabila anak sudah mencapai perkembangan kognitif tahap operasional formal (Daeng Sari,

1996: 130). Pada tahap ini anak sudah dapat berpikir bahwa belum tentu semua berbohong itu salah, tetapi terkadang berbohong itu dibolehkan atas pertimbangan-pertimbangan tertentu atau untuk tujuan kebaikan.

(30)

15

menggunakan pertimbangan dalam berperilaku, sehingga dalam perilakunya mereka akan memilih untuk bersikap baik agar terhindar dari hukuman.

Berdasarkan pada kajian perkembangan perilaku moral disimpulkan bahwa dalam tahapan perkembangan moral Piaget memiliki hubungan dengan aspek kognitif dan penerapan teori behavioristik atau perilaku terkait dengan hukuman dan pujian. Kedua aspek tersebut memiliki peranan masing-masing dalam tahapan perkembangan moral anak. Penjelasan Piaget dalam Dini P. Daeng Sari (1996:

130) menyatakan bahwa “perkembangan moral yang terjadi pada seseorang

dikaitkan dengan perkembangan kognitif”.

(31)

16

Aspek kognitif yang terkait dengan tahapan perilaku moral pada teori Piaget terlihat ketika menginjak tahapan perkembangan moral relativism. Bila anak telah mencapai tahap operasional formal maka anak akan memiliki alasan dan tujuan dilakukannya sesuatu. Kemampuan berpikir pada tahap operasional formal adalah anak sudah mampu mempertimbangkan berbagai faktor yang mendasari keputusan dalam berperilaku. Mereka sudah mampu membuat alasan-alasan yang logis.

Dalam tahap moral realism lebih mengarah kepada penggunaan teori perilaku yakni pendekatan perilaku operant conditioning yang dikemukakan oleh Skinner. Dalam pendekatan ini penggunaan hukuman dan hadiah berlaku untuk memberi penguatan perilaku yang baik pada anak. Perilaku yang diikuti dengan stimulus yang menyenangkan akan cenderung diulangi dan dilakukan lagi oleh anak, tetapi perilaku yang diikuti oleh stimulus hukuman cenderung ditinggalkan atau tidak dilakukan lagi oleh anak (Santrock, 2007: 52). Jadi bila seorang anak melakukan perilaku yang sesuai dengan apa yang ada dalam aturan kelompok dan dinilai baik, kemudian anak tersebut mendapatkan pujian atau hadiah maka ia akan cenderung mengulangi perilaku baik tersebut. Tetapi bila anak melakukan perilaku yang buruk dan mendapatkan hukuman berupa sikap acuh atau tidak diperhatikan maka perilaku akan berkurang atau berhenti.

(32)

17

kognitif seseorang maka dapat mendukung kematangan perkembangan moral seseorang. Proses pembentukan perilaku moral pada anak juga memakai teori perilaku operant conditioning, yang melibatkan adanya pujian atau hadiah dan hukuman untuk membentuk perilaku baik pada anak. Teori ini diterapkan pada penguatan perilaku moral (positif) yang digunakan ketika proses belajar mengajar berlangsung.

2. Pengertian Perilaku Moral

Perkembangan moral pada anak tidak hanya sampai pada pemahaman terhadap benar salah. Tujuan selanjutnya setelah pemahaman tentang perkembangan moral pada anak adalah pembentukan perilaku yang sesuai dengan aturan yang ada dalam suatu kelompok masyarakat. Dini P. Daeng Sari (1996: 127) menyatakan “perilaku moral diartikan sebagai perilaku yang sesuai norma dan nilai moral, yang berkaitan dengan tata cara, kebiasaan dan adat yang berlaku dalam masyarakat”. Senada dengan Yosephine Priscilia Putri Rosari, dkk. (2014: 2) yang menyatakan bahwa “perilaku moral berarti perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial”. Dari kedua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa perilaku moral adalah perilaku yang ditunjukan oleh seseorang sesuai dengan norma dan nilai moral yang ada dalam kelompok sosialnya. Perilaku anak pada awalnya diperkenalkan melalui pola asuh yang diterapkan dalam keluarga. Anak melihat perilaku orang tuanya dan meniru perilaku mereka hingga diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

(33)

18

oleh anak terhadap teman bermain akan menunjukan bagaimana anak mengambil keputusan apakah sesuai dengan aturan yang disepakati atau tidak. Perilaku yang muncul dari anak tentu telah melalui beberapa pertimbangan yang terbaik. Demikian juga dengan teori Kohlberg (1977) yang menyatakan penalaran atau pemikiran moral merupakan faktor penentu yang melahirkan perilaku moral pada seseorang (Asri Budiningsih, 2004: 5).

Penalaran moral merupakan alasan mengapa suatu tindakan itu dilakukan, bukan hanya arti tindakannya saja, sehingga dapat dinilai apakah tindakah itu baik atau buruk. Penalaran-penalaran moral tersebut adalah indikator dari tingkat atau tahap kematangan moral yang dimiliki seseorang (Asri Budiningsih, 2004: 25). Penalaran moral bukan pada perilaku baik atau buruk yang ditampilkan, tetapi lebih pada pertimbangan atau penalaran moral pada seseorang melakukan tindakan itu.

Tindakan moral yaitu kemampuan untuk melakukan keputusan dan perasaan moral ke pada perilaku-perilaku yang ditunjukan secara nyata (Asri Budiningsih, 2004; 7). Jadi sebenarnya perilaku moral dapat dilihat dari penalaran moral yang dimiliki seseorang. Perilaku moral didasarkan dari penalaran moral seseorang, karena dalam proses penalaran itu seseorang akan mempertimbangkan bagaimana yang benar dan yang salah untuk menentukan tindakan moral.

(34)

19

telah mereka pertimbangkan, sehingga dalam perilaku moral terdapat penalaran atau pemikiran moral. Pemikiran moral inilah yang menjadi dasar seseorang melakukan tindakan.

1. Tahap-tahap dan Ciri-ciri Perilaku Moral pada Anak a. Tahap Perkembangan Kesadaran Perilaku Moral

Dalam melakukan tidakan moral tentu harus mempertimbangkan berbagai hal terkait dengan konsekuensi yang harus ditanggung oleh seseorang. Aturan yang dibuat bertujuan sebagai tali kendali seseorang dalam mengambil tindakan. Dini P. Daeng Sari (1996: 3) menyatakan bahwa “peraturan adalah pola yang

ditentukan untuk bertingkah laku atau merupakan pedoman untuk berperilaku”.

(35)

20

Piaget membagi tahapan kesadaran anak terhadap aturan dalam tiga fase (Wantah, 2005: 76-77), yaitu:

1) Fase absolute. Pada fase ini, anak menghayati peraturan sebagai sesuatu hal yang tidak dapat diubah. Bagi anak peraturan memiliki peran tersendiri dalam diri mereka, dan menjadi suatu hal yang harus dihormati karena aturan dibuat oleh orang yang memiliki kedudukan diatas mereka seperti orang tua, pemerintah, guru atau orang dewasa lainnya. Biasanya anak-anak melakukan hal tersebut agar mereka terhindar dari hukuman yang telah berlaku. Mereka hanya menaati peraturan karena perasaan takut.

(36)

21

3) Fase subyektif. Anak mulai melihat pandangan lain dan mulai terlepas dari ketergantungan terhadap orang tua atau orang dewasa. Lebih mementingkan motif yang mendasari dan kesengajaan dalam melakukan sesuatu. Mulai memahami bagaimana yang benar dan salah dilihat dari beberapa sudut pandang, bukan hanya dari teman atau kelompoknya tetapi juga dari dirinya sendiri. Misalnya ketika tidak sengaja menendang 3 gelas karena membereskan mainan dan sengaja membanting satu gelas karena ia tidak menyukai minuman.

Dilihat dari beberapa tahapan tersebut dapat disimpulkan bahwa kesadaran moral anak berkembang mulai dari sudut pandang dirinya sendiri, kelompok dan kedudukan hukum yang lebih tinggi dari mereka. Semakin maju kesadaran moral anak maka semakin tinggi pertimbangan anak dalam melakukan benar dan salah. Mereka tidak hanya memandang kesalahan atas orang lain tetapi berdasarkan isi atau alasan yang mendasari tindakan moral.

Piaget juga membagi 4 tahap usia dalam temuan penelitian yang mengkaji tingkah laku anak didalam aktivitas bermain. Tahapan usia Piaget tentang tingkah laku anak dalam aktivitas bermain merupakan hubungan antara aktivitas bermain anak dan pelaksanaan aturan permainan. Berikut tahap-tahap usia yang dikemukakan Piaget:

(37)

22

dibuat untuk menyertai kegiatan bermain. Permainan menjadi lebih fleksibel dan bebas dimainkan bagi mereka karena tidak ada tuntutan aturan yang menyertainya.

2) Tahap kedua, antara usia 2-6 tahun. Usia ini terlihat kecenderungan ke arah permainan kelompok. Di tahap ini anak mulai melihat dan memahami bagaimana cara bermain permainaan yang dilakukan pada anak yang lebih tua. Aktifitas permainan yang mereka lihat kemudian ditiru dengan menerapkan aturan-aturan yang berlaku. Anak sadar bahwa aturanlah yang akan membuat hidup suatu permainan, meskipun dalam penerapan aturan-aturan masih menganggap bahwa dirinya yang paling benar, akan tetapi mereka juga mulai mentaati aturan-aturan dalam kegiatan bermain (Wantah, 2005: 80). Anggapan dirinya paling benar tersebut dapat diamati ketika terjadi pelanggaran masing-masing akan mengajukan pendapat agar mereka terhindar dari pelanggaran atau hukuman.

(38)

23

4) Tahap terakhir, usia 11-12 tahun ke atas. Anak mulai mencermati setiap detail permainan, dari menentukan aturan yang disepakati sampai berlakunya ganjaran atau hukuman (Wantah, 2005: 81).

Dilihat dari tahapan usia tersebut, anak-anak usia prasekolah atau Taman Kanak-kanak (TK) masuk pada tahap ke 2 yakni pada usia 2-6 tahun. Anak bermain dengan menggunakan beberapa aturan main yang mulai mereka lakukan dengan meniru apa yang dilakukan oleh anak yang lebih tua, meskipun mereka masih memiliki sikap egosentris agar mereka terhindar dari pelanggaran. Tahap selanjutnya masuk pada jenjang yang lebih tinggi yaitu usia 7-10 tahun yang umumnya merupakan usia anak mulai menempuh Sekolah Dasar (SD), anak-anak akan mulai meninggalkan sikap egosentrisnya dan mulai mengembangkan kerjasama. Dari kedua tahap tersebut terlihat perbedaan karakteristik cara bermain dari usia Taman Kanak-kanak dengan anak usia Sekolah Dasar, sehingga anak Taman Kanak-kanak membutuhkan persiapan untuk mengembangkan rasa kerjasama dan membantu meninggalkan sikap egosentris pada anak.

(39)

24 b. Ciri-ciri Perilaku Moral pada Anak

Perkembangan perilaku moral anak dapat ditandai dengan kemampuan anak dalam memahami aturan, norma dan etika yang berlaku dalam masyarakat atau kelompok (Slamet Suyanto, 2005: 67). Aturan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dapat diartikan sebagai tindakan yang harus dijalankan atau adat sopan santun. Norma dapat diartikan sebagai ukuran, garis pengarah, atau aturan, kaidah bagi pertimbangan dan penilaian (Sjarkawi, 2006: 29). Sedangkan etika menurut Sjarkawi (2006: 27) adalah “sebuah cabang filsafat yang membicarakan tentang nilai dan norma yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya”. Etika lebih menekankan pada pikiran rasional terhadap nilai dan norma yang menentukan dan terwujud kedalam sikap serta perilaku hidup manusia. Perilaku hidup manusia ini bisa sebagai individu atau sebagai bagian dari kelompok.

(40)

25

Di Indonesia, pedoman yang digunakan untuk menandai sejauh mana tingkat perkembangan moral anak dicantumkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia (Permendiknas) No. 58 Tahun 2009 tentang Standar Pendidikan Anak Usia Dini. Adapun tingkat pencapaian perkembangan dan capaian perkembangan perilaku moral anak usia 5 sampai 6 tahun berdasarkan Pedoman Pengembangan Program Pembelajaran di Taman Kanak-kanak adalah :

1) Memahami perilaku mulia. Adapun beberapa capaian perkembangan anak dalam memahami perilaku mulia adalah berperilaku sopan santun, memiliki perilaku mulia dan terbiasa saling hormat menghormati. Contoh berperilaku sopan santun misalnya menyapa teman dan orang lain, atau berbicara sopan. Yang kedua memiliki perilaku mulia, misalnya mau membantu teman (suka menolong) atau bersikap jujur. Yang ketiga adalah terbiasa saling hormat menghormati, misalnya mendengarkan dan memperhatikan teman yang berbicara, mau bermain bersama teman, bersabar ketika menunggu giliran atau mau memohon dan memberi maaf.

(41)

26

lebih menekankan pada kebersamaan dan ketaatan aturan anak seperti sikap hormat menghormati misalnya mau bermain bersama teman, bersabar menunggu giliran, membuat keputusan secara adil, mau membantu teman serta menunjukan mana yang benar dan salah seperti mematuhi aturan yang berlaku dalam permainan. Hukum sosial dan adat membelajarkan anak tentang sudut pandang orang lain serta memberikan kesempatan kepada anak untuk mengambil sejumlah peran dan memberikan pengalaman sosial (Asri Budiningsih, 2004: 67). Dengan adanya kesempatan anak dalam berjumpa dengan sudut pandang orang lain dapat membelajarkan tentang konsep persahabatan dan kewajiban dengan kelompok.

(42)

27

yaitu tindakan tegas dan positif terhadap orang lain untuk membela kebenaran dan keadilan.

Lima perilaku moral yang sebaiknya dikembangkan pada anak-anak menurut Wiwit Wahyuning yaitu sopan santun, tolong menolong, menghargai milik orang lain, mendengarkan dengan tenang ketika orang lain sedang berbicara, serta jangan memukul, mendorong atau menyakiti orang lain (Wiwit Wahyuning, dkk., 2003: 36-44). Lima perilaku moral tersebut bila dikembangkan sejak dini akan mempengaruhi anak dalam proses penerimaan anak dalam kelompok, karena kelima perilaku tersebut menjadi aturan dalam berinteraksi dengan individu lain.

(43)

28

Berdasarkan uraian ciri-ciri pencapaian moral di dalam tingkat pencapaian perkembangan moral dan beberapa teori dapat dijadikan indikator perilaku moral pada anak untuk usia 5-6 tahun yang digunakan dalam kegiatan bermain permainan tradisional antara lain seperti mau bermain bersama teman, mau membantu teman, bersabar ketika menunggu giliran, mematuhi aturan yang berlaku dalam permainan serta membuat keputusan yang adil dalam bermain. Indikator ini berfungsi sebagai penanda bahwa anak telah mencapai perkembangan moral sesuai yang diharapkan dalam Permendiknas No.58 Tahun 2009.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Moral

(44)

29

Maria J. Wantah membagi dasar-dasar pembentukan perilaku moral tersebut dalam beberapa poin:

a. Moral perhatian prenatal

Pada awal kehidupannya seorang anak di bentuk oleh nilai-nilai orang dewasa (Wantah, 2005: 45). Nilai-nilai tersebut ditunjukan oleh ayah dan ibu ketika anak tersebut masih didalam kandungan. Nilai tersebut diwujudkan seperti seorang ibu yang hati-hati dalam mengkonsumsi makanan dan menjaga kandungannya agar anak tersebut tumbuh sehat sesuai dengan yang diharapkan. Begitu juga dengan ayah yang memberikan perhatian kepada ibu yang mengandung anaknya. Wujud perhatian tersebut merupakan nilai-nilai yang ditunjukan orang tua untuk kebaikan anaknya.

b. Arkeologi moral : prinsip kenikmatan.

Selain perhatian yang ditunjukan oleh orang tua, perbuatan baik memiliki suatu nilai tersendiri dalam prinsip kenikmatan (Wantah, 2005: 97). Perbuatan baik adalah apabila perbuatan itu manjamin adanya atau mendatangkan kenikmatan atau suatu kesenangan. Sedakan tidak baik adalah apabila perbuatan itu menghasilkan rasa sakit, penderitaan atau keadaan yang tidak menyenangkan.

c. Kecemasan dan krisis dalam dasar-dasar perkembangan moral.

(45)

30

anak mengalami keterbatasan dalam pengembangannya maka dapat mengahambat perkembangan perilaku moralnya, seperti ragu-ragu dalam mengambil keputusan.

d. Kehidupan emosional sebagai dasar pembentukan perilaku moral.

Dalam penelitian oleh Coles (2000) dalam Maria J. Wantah (2005: 104) ditemukan bahwa kehidupan moral anak usia dini telah jauh berkembang sebelum perkembangan bahasanya. Komunikasi nonverbal umumnya melibatkan unsur emosional pada seseorang, menjadi landasan pembentukan perilaku moral pada anak.

e. Bahasa sebagai sarana dasar pembentukan perilaku moral.

Bahasa menjadi sarana ekspresi perilaku moral. Pada usia awal anak belajar mengungkapkan pemikiran, keinginan dan tindakanya melalui kata “ya” dan

“tidak” (Wantah, 2005: 106). Terkadang orang dewasa juga menggunakan kata-kata untuk membentuk perilaku pada anak, seperti larangan atau nasihat. Jika

larangan yang diberikan oleh orang dewasa hanya menggunakan kata “jangan”

atau “tidak” tanpa diberikan alasannya maka akan memberikan landasan yang mungkin keliru bagi anak dalam pembentukan perilaku moral, sehingga anak menjadi kaku, penurut dan kemudian kelak anak tidak mempu mengembangkan penalaran moral (moral reasoning).

(46)

31

a. Karakteristik siswa berhubungan dengan pemahaman atau penalaran moral Dalam kebanyakan pendidik penanaman perilaku moral pada karakteristik ini adalah menggunakan cara instruktif, ceramah, nasihat, hukuman edukatif, dan diskusi. Sebaiknya guru atau orang tua dalam mengembangkan pembelajaran perilaku moral menggunakan pendekatan kognitif karena penalaran moral lebih menekankan pada pertimbangan-pertimbangan yang mengikutsertakan pemikiran untuk menentukan kebenaran atau mempertimbangkan berbagai faktor dalam tindakan moral.

(47)

32

c. Karakteristik siswa berhubungan dengan perasaan moral (empati)

Dilihat dari budayanya, setiap daerah memiliki karakteristik perasaan moral yang berbeda. Seperti di Jawa prisnip kerukunan dan prisip hormat akan menentukan pola pergaulan (Hildred Geertz, 1983 dalam Asri Budiningsih, 2004: 79-81). Kerukunan yang ada dalam masyarakat Jawa bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan harmonis, selaras, tenang dan tentram, tanpa perselisihan dan pertentangan. Persatuan yang dibentuk dari prinsip kerukunan dimaksudkan untuk saling membantu satu sama lain. Dari prinsip tersebut akan melahirkan perilaku moral, karena mereka dituntut menggunakan bahasa-bahasa yang lembut dan terkesan lebih menghormati orang lain.

d. Karakteristik siswa berhubungan dengan tindakan moral (peran sosial)

Peran sosial merupakan bagaimana seseorang dapat menjadi bagian dari sekelompok masyarakat. Dalam mengambil tindakan moral atau sebagai peran sosial maka diperlukan pengalaman sosial. Pengalaman sosial tersebut berupa jumlah dan keanekaragaman kesempatan untuk mengambil sejumlah peran dan untuk berjumpa dengan sudut pandang lain.

(48)

33

pembelajaran perilaku moral mengikutsertakan pemikiran untuk menentukan kebenaran. Yang kedua guru melibatkan kepercayaan (agama) anak. Ketiga berhubungan dengan perasaan yang didapat dari pola pergaulan masyarakat. Keempat keterlibatan individu menjadi bagian dari kelompok. Dapat dilihat peran agama dan orang dewasa yang ada disekitar anak merupakan hal penting dalam peningkatan perilaku moral pada anak.

3. Tujuan Pengembangan Perilaku Moral

Pada dasarnya tujuan pendidikan moral di sekolah adalah membantu siswa mempertinggi tingkat pertimbangan, pemikiran dan penalaran moral (Sjarkawi, 2006: 50-51). Sekolah hanya memberikan pengalaman untuk mengasah secara kognitif atas perkembangan moral anak. Sedangkan menurut Maria J. Wantah (2005: 123) “tujuan utama dari pembelajaran moral adalah membantu anak mengembangkan kemampuan belajar menginternalisasikan prinsip-prinsip dasar dan nilai-nilai yang menuntun perilaku dan pengambilan keputusan”.

(49)

34

Dari beberapa kajian teori di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan utama dari pembelajaran perilaku moral pada anak adalah untuk membantu mengasah kemampuan dan ketrampilan terutama dalam hal perilaku moral melalui kegiatan-kegiatan yang dirancang oleh sekolah. Kegiatan- kegiatan-kegiatan tersebut seperti adu argumen, pemecahan masalah atau dihadapkan pada konflik. Dengan demikian tujuan utama bagi anak adalah untuk membelajarkan bagaimana bertindak berdasarkan penalaran moral. Sedangkan tujuan pembelajaran perilaku moral adalah menuntun anak pada kematangan moral sehingga mampu bergabung dengan masyarakat. Untuk anak usia TK tujuan pembelajaran perilaku moral ditujukan pada pembinaan perilaku dan sikap melalui pembiasaan.

B. Karakteristik Peserta Didik

Agar memiliki persepsi yang sama tentang anak usia dini maka perlu adanya penjelasan tentang karakteristik yang dimiliki anak usia dini. Karakteristik anak usia dini juga menentukan bagaimana cara kita menyampaikan materi kepada anak. Richard D. Kellough (1996) dalam Sofia Hartati (2005: 8-11) menjelaskan tentang karakteristik anak usia dini yang dijelaskan sebagai berikut:

1. Anak itu bersifat egosentris

(50)

35 2. Anak memiliki rasa ingin tahu yang besar

Menurut Brooks and Brooks (1993) dalam Maria J. Wantah (2005: 9)

“keuntungan yang dapat diambil dari rasa keingintahuannya adalah dengan menggunakan fenomena atau kejadian yang tidak biasa”. Dengan keingintahuannya tersebut dapat memancing keinginan anak untuk terus memecahkan masalah.

3. Anak adalah makhluk sosial

Anak senang diterima dan berada di antara teman-temannya. Mereka senang bekerja sama dalam membuat rencana dan menyelesaikan pekerjaannya. Hal ini juga dilihat dari bagaimana mereka bermain dan melakukan hal-hal eksploratif.

4. Anak bersifat unik

Setiap anak memiliki gaya dan bawaan tersendiri. Mereka memiliki minat, bakat dan latar belakang yang berbeda-beda. Meskipun secara umum tahapan perkembanganya dapat diprediksi, namun pola perkembangan dan belajarnya memiliki perbedaan antara individu satu dengan yang lain.

5. Anak umumnya kaya dengan fantasi

Anak senang dengan hal-hal yang bersifat imajinatif, terkadang mereka juga bercerita melebihi pengalaman-pengalaman yang ia miliki.

6. Anak memiliki daya konsentrasi yang pendek

(51)

36

konsentrasi terhadap materi akan berkurang. Kecuali kegiatan tersebut memang yang ia sukai dan tidak membosankan atau bervariasi.

7. Anak merupakan masa belajar yang paling potensial.

Pada masa ini anak memiliki pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat. Periode ini seluruh potensi anak mengalami masa peka dan berkembang secara pesat serta lebih cepat. Bila orang dewasa memberikan stimulasi yang tepat pada usia ini, maka anak akan mengalami kenaikan terhadap stimulasi yang dilakukan. Sehingga sangat baik bila pada usia tersebut, anak diberikan stimulasi dalam berbagai aspek.

Berdasarkan uraian teori tentang karakteristik anak usia dini di atas dapat disimpulkan bahwa anak usia dini umumnya melihat dan memahami persoalan dari sudut pandang dan kepentingan diri sendiri, memiliki rasa ingin tahu yang besar terhadap lingkungannya. Dalam kegiatan bermain anak senang berada diterima dan berada di antara teman-temannya. Dalam kemampuannya anak memiliki minat dan bakat yang berbeda-beda serta memiliki fantasi yang tinggi terhadap sesuatu sehingga terkadang dilebih-lebihkan, namun dalam hal perhatian anak memiliki daya konsentrasi yang pendek tetapi pada masa anak usia dini merupakan masa yang potensial untuk mengembangkan seluruh kemampuannya.

C. Permainan Tradisional untuk Pengembangan Perilaku Moral 1. Pengertian dan Macam-macam Permainan Tradisional

(52)

37

atau permainan tersebut terdapat unsur budaya yang telah memberikan sumbangan bagi kehidupan manusia dimasa lampau sehingga mereka dapat bertahan hingga saat ini (Sukirman Dharmamulya, 2008: 18). Hal ini dikarenakan anak kecil selalu meniru permainan anak yang lebih besar, dimana anak yang lebih besar tersebut dahulu juga meniru permainan dari generasi anak sebelumnya (Hurlock, 1978: 322-323). Sehingga dapat dikatakan pada satu kebudayaan yang dimiliki dalam masyarakat dalam satu generasi akan menurunkan bentuk permainan yang paling memuaskan ke generasi berikutnya. Permainan tersebut merupakan warisan turun temurun dari suatu nenek moyang masyarakat itu tinggal. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa permainan tradisiona masuk ke dalam salah satu permainan yang dipengaruhi tradisi dari generasi yang terdahulu atau nenek moyang, dan memiliki nilai budaya di dalamnya.

Permainan tradisional memiliki makna tersendiri bagi orang-orang yang menjalaninya, misalnya berlomba untuk menang tanpa berbuat curang yang mengajarkan nilai untuk berjuang dan berbuat baik tanpa kebohongan sehingga mereka dapat mencapai apa yang mereka harapkan. Nilai-nilai yang terdapat dalam masing-masing permainan akan memupuk rasa tanggung jawab dan kebijaksanaan bagi yang melakukannya. Pemain dituntut untuk mematuhi aturan agar mendapat hasil yang baik tanpa berbuat curang. Permainan juga mengasah kognitif anak untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi ketika bermain.

(53)

38

memiliki banyak sekali koleksi permainan tradisional yang masih dimainkan hingga saat ini oleh anak-anak. Sukirman Dharmamulya (2008, 35-36) menggolongkan jenis-jenis permainan tradisional berdasarkan kategori menurut pola permainan menjadi 3 macam, yaitu kategori bermain dengan bernyanyi dan dialog, kategori bermain dan olah pikir, serta bermain dan adu ketangkasan. Semua permainan yang ada dalam setiap kategori permainan memiliki aturan-aturan yang mengatur jalannya permainan. Di setiap daerah atau kecamatan berbeda aturannya, tetapi pada umumnya memiliki kesamaan tujuan dalam memainkannya. Menurut Sukirman Dharmamulya, dari 4 kabupaten (Bantul, Sleman, Kulon Progo dan Gunung Kidul) yang ada di DIY, Kabupaten Sleman memiliki paling banyak ragam permainan tradisional. Permainan-permainan tradisional yang ada di DIY antara lain:

a. Bermain dan Bernyanyi, atau Dialog

Permainan anak dengan pola bernyanyi atau berdialog adalah bernyanyi atau dialog merupakan inti dari permainan tersebut. Biasanya permainan dilakukan secara berkelompok. Permainan dilakukan dengan bernyanyi, bertepuk tangan atau bergerak sesuai irama lagu. Beberapa permainan yang masuk dalam katagori permainan bermain, bernyanyi dan dialog yaitu:

(54)

39

berbagai usia. Permainan dimulai dengan mencari tempat yang cukup luas, kemudian mereka mencari salah satu anak yang akan menjadi Embok (ibu), misalnya dari A, B, C , D dan E maka A dipilih menjadi Embok. Embok merupakan pemimpin jalannya permainan. Permainan diawali dengan membentuk lingkaran dengan posisi duduk dan mengangkat tangan kiri mereka setinggi dada dengan telapak tangan menghadap ke bawah, kemudian menyanyikan lagu Bhetet Thing-Thong bersama-sama. Adapun syair lagu Bhetet Thing-Thong sebagai berikut:

Bethet thing thong legendhut gong Gonge ilang

Camcao gula kacang Wung-kedawung ilang

(55)

40

2) Cublak-Cublak Suweng. Nama permainan Cublak-cublak Suweng berasal dari kata Cublek-cublek yang artinya ditonjok-tonjok dan Suweng (subang) yang terbuat dari tanduk (disebut uwer) (Dharmamulya, 2008: 57). Bila uwer sulit didapat maka dapat diganti dengan kerikil, biji-bijian atau apa saja yang mudah didapat.

(56)

41

Bila pemain dadi berhasil menebak dimana uwer disembunyikan maka pemain dadi berubah menjadi pemain mentas, tetapi jika pemain dadi salah menebak maka ia kembali menjadi pemain dadi. Permainan cublak-cublak suweng berakhir ketika anak-anak sudah merasa bosan. 3) Dhingklik Oglak-aglik. Kata Dhingklik oglak-aglik berarti sebuah

bangku terbuat dari kayu atau bambu yang pasaknya tidak seimbang atau tidak bagus sehingga bergerak-gerak dan yang duduk akan jatuh (Dharmamulya, 2008: 57). Jumlah pemain pada permainan ini sekitar 3-5 orang, tetapi bila dibuat pertandingan maka dibutuhkan 2 kali lipatnya dan terbagi menjadi dua tim. Permainan dhingklik oglak-aglik hanya membutuhkan ruang berupa sebidang tanah yang sebaiknya tidak berubin agar tidak sakit ketika jatuh. Jika permainan hendak dilakukan dengan bentuk pertandingan, maka dapat dibuat peraturan seperti kelompok yang jatuh terlebih dahulu itulah yang kalah, bagi kelompok yang kalah akan dikenakan sanksi sesuai dengan kesepakatan dan peserta yang terpisah dari ikatan kelompoknya dianggap jatuh.

(57)

42

bertepuk tangan sambil melompat lompat berputar. Permainan berakhir ketika ada pemain yang jatuh atau terlepas.

4) Jamuran. Permainan Jamuran adalah permainan dengan diiringi lagu. Jamuransendiri berasal dari kata “jamur” yang berarti cendawan dengan

imbuhan kata “–an”, dan berbentuk bulat sehingga dalam permainan

digambarkan membentuk lingkaran (Dharmamulya, 2008: 83). Peserta permainan tidak dibatasi namun pada umumnya adalah sekitar 4-12 anak dengan jenis kelamin bebas.

Permainan dimulai dengan berkumpul dan mengundi siapa yang dadi dan siapa yang mentas. Dadi berarti kalah dan berada di tengah menjadi pusat dan mentas berarti berdiri membentuk lingkaran dan mengelilingi yang di tengah atau yang sedang dadi. Pemain yang membentuk lingkaran bergerak berputar sambil menyanyikan lirik lagu Jamuran. Setelah bait terakhir maka gerakan berputar berhenti dan pemain tengah menjawab pertanyaan. Jenis jawaban yang biasanya digunakan contohnya Jamur Let Uwong, yaitu ketika anak yang di tengah meminta jawaban ini maka semua pemain harus mencari pasangannya sekitar 2-3 orang dalam 1 kelompok kemudian saling berangkulan. Pemain dianggap dadi bila pemain yang berada di tengah mampu memisahkan anak dari rangkulan. Sehingga pemain yang semula ditengan menjadi mentas dan ikut berputar dalam permainan.

(58)

43

pohon untuk dipegang atau dipeluk dan yang dadi harus lari untuk mengejar anak yang belum mendapatkan benda yang terbuat dari kayu. Jika pemain belum mendapatkan benda dari kayu dan tertangkap oleh yang dadi maka pemain yang tertangkap tersebut menjadi pemain dadi. Dan pemain yang semula dadi menjadi mentas.

Jamur parut, jika pemain dadi menginginkan jamur parut, maka pemain yang melingkar harus menyiapkan telapak kaki mereka untuk digelitik oleh pemain dadi. Jika ada anak yang digelitik merasa geli dan tertawa maka berubah status menjadi pemain dadi.

Jamur kethek menek, para pemain yang membentuk lingkaran meniru gerakan monyet dan mereka memanjat pohon, bangku atau yang lainnya, yang penting tidak menginjak tanah. Demikian beberapa jenis jamur yang sering dikenal anak-anak, akan tetapi masih banyak lagi yang dikenal anak tergantung daerah masing-masing.

5) Sliring Gending. Di beberapa wilayah permainan Sliring Gending juga dikenal dengan nama Blarak Sempal (daun kelapa yang lepas dari pohonnya). Di beberapa daerah seperti di daerah Sleman dinamakan Trim-triman karena mirip dengan permainan komedi putar dalam pasar malam (Dharmamulya, 2008: 115).

(59)

44

kelapa ini digunakan sebagai landasan bertumpunya kaki-kaki para pemain yang mentas.

Permainan dimulai dengan menentukan kelompok yang dadi dan mentas dengan jalan melakukan sut. Kelompok yang menang akan bermain terlebih dahulu (kelompok mentas). Kelompok mentas duduk dengan kaki terjulur ke tabon,dan meletakan tumit diatas tabon, kemudian kelompok dadi berdiri menggandeng kelompok mentas. Jika permainan telah disepakati untuk dimulai maka kelompok dadi akan berputar sambil menarik tangan para pemain mentas. Pemain mentas harus berusaha untuk tetap menumpu pada tabon. Bila pemain mentas saat diayun ada yang jatuh maka mereka gantian bermain, yaitu menjadi kelompok dadi.

b. Bermain dan olah pikir

Permainan jenis ini umumnya bersifat individual dan bersifat kompetitif. Contoh permainan yang masuk kedalam katagori bermain dan olah pikir antara lain:

(60)

biji-45

bijian, dan bentuk biji-bijian setiap anak harus berbeda misalnya A biji sawo dan B menggunakan biji salak atau melinjo.

Permainan dimulai dengan membuat petak-petak sebagai arena permainan. Petak-petak tersebut dibuat seperti papan catur namun dikeempat sisi terdapat lengkungan mirip seperti rel kereta api. Permainan bas-basan sepur dimulai dengan menentukan siapa yang bermain lebih dahulu. Di awal permainan pemain hanya boleh bergeser satu langkah maju, mundur, kekanan atau kekiri dan dilakukan secara bergantian misalnya A kemudian B dan seterusnya. Setelah dirasa memiliki peluang maka pemain menyusun strategi untuk memakan uwong lawan, tetapi harus melewati lengkung yang ada disalah satu sisi. Jadi langkah-langkah permulaan hanya bisa menggeser satu langkah uwong yang mereka miliki untuk membuka jalan yang ada di sekitar lengkung pojok agar dapat memakan uwong lawan. Ketika telah memiliki peluang untuk memakan uwong lawan, maka kita menggerakan uwong melalui lengkungan dahulu kemudian masuk ke garus lurus yang bersih yang tidak ada uwongnya kemudian baru memakan uwong lawan.

(61)

46

2) Dhakon. Dhakon berasal dari kata dhaku dan mendapatkan imbuhan an pada akhir kata. Dhaku berarti mengaku bahwa sesuatu yang menjadi miliknya (Dharmamulya, 2008: 128). Permainan dhakon merupakan permainan yang berlatar belakang pertanian, oleh karena itu dalam permainan ini dikenal sawah (lubang-lubang kecil sejumlah 5, 7, 9 atau 11 yang terdiri dari dua baris) dan lumbung (2 lubang besar yang ada di sisi kanan dan kiri). Jadi didalam permainan dhakon adalah menggambarkan bagaimana cara petani mendapatkan hasil sebanyak mungkin dari sawah yang kemudian disimpan dalam lumbung.

Permainan dimulai dengan mengisi sawah dengan kepingan biji yang biasa disebut kecik. Jumlah kecik yang digunakan disesuaikan dengan jumlah sawah yang ada disetiap baris. Apabila dalam satu baris terdapat 5 lubang (sawah) maka cara menghitung kecik yang dibutuhkan adalah 5 biji x 5 sawah x 2 pemain = 50 biji, jadi semua sawah diisi dengan masing-masing 5 biji. Setelah semua sawah terisi kemudian kedua pemain menentukan siapa yang bermain terlebih dahulu dengan cara suit, dan yang menang akan bermain lebih dahulu. Pemain yang pertama mengambil semua biji dari salah satu sawah yang dimilikinya, kemudian membagi satu persatu ke dalam sawah dengan urutan ke kanan kemudian ke sawah lawan.

(62)

47

maka pemain harus berhenti dan bergantian dengan pemain selanjutnya. Kecuali bila ia berhenti pada sawahnya yang kosong tetapi di atasnya (sawah lawan) terdapat kecik maka pemain boleh mengambil kecik yang ada di sawah lawan tersebut untuk disimpan di lumbungnya, hal ini biasa disebut mbedhil atau ngebom. Pemain yang menang adalah yang paling banyak memiliki kecik, dan yang kalah adalah pemain yang hanya mendapatkan sedikit kecik.

c. Bermain dan adu ketangkasan

Jenis permainan ini merupakan salah satu permainan kompetitif yang bisa dimainkan oleh kelompok. Permainan ini membutuhkan lokasi yang cukup luas dan pola permainan ini diakhiri dengan posisi menang atau kalah. Contoh permainan yang termasuk kedalam adu ketangkasan adalah:

(63)

48

gacuk yang berbeda untuk memudahkan menandai kepemilikannya. Adapun petak yang dibuat sebagai berikut ;

1 2 3 4

5 6

7

8 9

10

Gambar 1. Contoh Arena dalam Permainan Engklek

(64)

49

boleh bertumpu pada tangan atau kaki yang satu tetap tidak boleh menyentuh tanah kemudian kembali kepentasan untuk melempar gacuk pada petak ke 2 dan selanjutnya.

Permainan berganti jika si A atau pemain melakukan pelanggaran yakni menginjak garis pada petak, pemain menginjak gacuk lawan, atau pemain mengenai gacuk lawan ketika melempar gacuk yang ia miliki. Bila pemain telah sampai pada petak ke 9, maka selanjutnya ia melempar gacuk pada petak ke 10 atau disebut dengan bulan, kemudian ia engklek dari petak ke 1 sampai 9 dan keluar dari petak ke 9 dan mengambil gacuk di petak 10 lewat atas atau luar. Bila ia telah mendapatkan gacuk tersebut maka ia harus kembali engklek dari petak ke 9 sampai 1. Apabila pemain A berhasil mendapatkan bulan atau di petak 10, maka ia berhasil mendapatkan omah atau sawah.

1) Benthik. Benthik berarti bentur, benturan ini biasanya akan menghasilkan bunyi “thik” (Dharmamulya, 2008: 157). Benturan yang dimaksud adalah ketika kayu-kayu saling berbenturan sewaktu bermain. Permainan benthik disetiap daerah memiliki perbedaan cara maupun aturan permainan. Umumnya dalam permainan ini dibutuhkan dua buah ranting dengan panjang yang berbeda. Benthong yaitu ranting berukuran kurang lebih 40 cm untuk mengungkit dan memukul janak, sedangkan janak yaitu ranting berukuran kurang lebih 15 cm.

(65)

50

menang adalah yang bermain terlebih dahulu, tetapi sebelum bermain harus membuat luwokan terlebih dahulu. Luwokan adalah lubang di tanah yang dibuat tidak terlalu dalam untuk meletakan janak melintang di atasnya. Misalnya posisi permainan membujur dari barat sampai timur, maka pemain kelompok 1 yang bukan melakukan uthat (mengungkit) serta kelompok 2 (yang kalah) melakukan jaga di sebelah timur luwokan. Pemain yang melakukan uthat berdiri di dekat luwokan dan memegang benthong dan ujungnya dimasukan ke dalam luwokan tepat dibawah janak yang melintang. Setelah semua pemain siap maka pemain uthat mengungkit janak sekuat tenaga ke arah timur sebisa mungkin jauh dari luwokan. Kelompok 2 sebisa mungkin untuk menangkap janak dan menyentuhkan ke tanah agar pemain A kelompok 1 berakhir bermain dan berganti pemain B, tetapi jika yang menangkap adalah anggota kelompok 1 maka pemain A melanjutkan uthat lagi. Apabila pemain B dan C kelompok 1 di dalam uthat gagal atau hangus maka dilakukan pergantian pemain yaitu yang melakukan lemparan adalah kelompok 2, namun bila janak berhasil ditangkap oleh teman sekelompok maka ia harus membuang janak lebih jauh lagi ke arah barat, dan kelompok 2 harus berusaha menangkap atau mengambil janak dan melempar kearah luwokan.

(66)

51

yang masih dalam satu kelompok, tetapi jika jaraknya adalah 4 benthong maka kelompok 1 mendapat nilai 4 dan pemain A dapat bermain lagi. Berbeda halnya jika pemain A memukul dan janak jatuh ke tanah atau tidak ada yang mampu menangkap, maka janak dilempar kembali ke arah luwokan kemudian diukur bila kurang dari satu benthong maka matilah si pemain dan berganti dengan kelompok 2. Permainan dinyatakan menang apabila kelompok tersebut mendapat nilai sesuai dengan kesepakatan sebelumnya misalnya nilai 10.

Dari uraian tentang pengertian dan macam-macam permainan tradisional dapat ditarik kesimpulan bahwa permainan tradisional merupakan permainan yang wariskan turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya dan memiliki unsur budaya diadalamnya. Adapun macam-macam permainan yang ada di Yogyakarta dibagi ke dalam 3 katagori permainan yaitu bermain dengan bernyanyi dan dialog, bermain dan olah pikir dan bermain dan adu ketangkasan. Adapun contoh permainan bermain dengan bernyanyi dan dialog meliputi permainan Bethet Thing Thong, Cublak-cublak Suweng, Dhingklik Oglak Aglik, Jamuran, dan Sliring Gendhing. Contoh permainan bermain dan olah pikir adalah Bas-basan Sepur dan Dhakon. Contoh permainan adu ketangkasan seperti Engklek dan Benthik.

2. Manfaat Permainan Tradisional Untuk Perilaku Moral

(67)

52

disebut Piaget sebagai moral realism (Maria J. Wantah, 2005: 126). Hurlock (1978: 322-326) menyatakan bahwa “bermain selama masa kanak-kanak mempunyai karakteristik tertentu yang membedakannya dari permainan remaja dan orang dewasa”. Permainan tradisional memiliki karakteristik sebagai permainan yang dilakukan oleh anak-anak, dan permainan tradisional juga masuk kedalam karakteristik bermain yang dipengaruhi tradisi. Ki Hajar Dewantara (1948) dalam Slamet Suyanto (2005: 123) menyatakan bahwa “H. Overback telah menghimpun ragam permainan dan nyanyian anak-anak di Indonesia yang jumlahnya lebih dari 690 macam”, karena perkembangan perilaku moral juga berkaitan dengan kekhususan budaya, maka memiliki nilai-nilai yang berbeda pula dalam pembentukan perilaku moral disetiap daerahnya (Izzati, dkk., 2008: 98). Disimpulkan bahwa keberagaman yang ada di antar daerah memiliki potensi dan fungsi dalam membentuk perilaku moral melalui aturan dalam permainan tradisional yang dimiliki oleh suatu daerah agar sesuai dengan tata aturan yang berlaku dalam daerah tersebut.

(68)

53

a. Aktivitas bermain sebagai sarana untuk membawa anak ke alam kehiduan bermasyarakat

Dari kegiatan bermain anak mulai mengenal, dan belajar untuk saling menghargai satu dengan yang lain. Bentuk belajar untuk saling menghargai ini dapat diwujudkan dalam bermain karena mereka tidak akan membeda-bedakan anak satu dengan yang lain, sehingga lama kelamaan akan memunculkan rasa saling peduli dan kebersamaan yang diwujudkan dalam sikap saling membantu anak satu dengan anak yang lain.

b. Dari kegiatan bermain anak-anak akan belajar mengenai kekuatan, kelemahan, dan kedudukannya di kalangan teman-temanya

Setiap individu pasti memiliki ciri khusus yang akan lebih menonjol dari anak lain. Misal anak A mampu dan lebih kuat untuk berlari dan mengejar teman lain, ia akan ditempatkan sebagai penjaga karena lebih cocok dan memiliki beberapa kriteria yang lebih dari teman lainnya. Dari hal itu anak akan belajar tentang menghargai teman, memahami kelemahan teman, memiliki pertimbangan yang adil dan saling menjaga diri. Dari kegiatan bermain anak akan mengenal lebih jauh tentang ciri-ciri alat yang dapat digunakan bagi mereka untuk bermain.

c. Bermain merupakan sarana dan kesempatan anak untuk mengembangan fantasi kreativitas, dan menyalurkan kecenderungan pembawaan dan minat pada anak untuk bermain.

(69)

54

menghargai antara satu dengan yang lain. Hal ini dapat dilihat ketika anak memberikan pendapat ketika bermain dan anak lain mendengarkan temannya.

d. Melalui aktivitas bermain, anak-anak akan berlatih menempa perasaannya. Yang dimaksud dengan berlatih menempa perasaan adalah ketika bermain anak akan mengeksprsikan perasaan mereka tanpa dibuat-buat dan lebih spontan. Seperti anak yang menunjukan rasa gembira, kecewa, sedih, acuh atau bahkan tidak peduli dengan teman lainnya, sehingga melalui bermain dapat mempermudah untuk menilai tingkat perkembangan sosial dan moral anak secara utuh karena akan ditunjukan secara jelas oleh anak ketika kegiatan bermain berlangsung. Mengendalikan perasaan yang mungkin timbul seperti mengendalikan emosi ketika bermain, tidak boleh marah ketika kecewa, tidak mengolok-olok teman, dan tidak menyalahkan teman yang lain. Apabila ketika bermain menemukan masalah dengan teman maka diselesaikan dengan baik-baik.

e. Dalam kegiatan bermain anak belajar mamatuhi aturan-aturan yang berlaku dalam permaianan serta belajar menerima hukuman jika seseorang bermain tidak mengikuri aturan atau bermain curang.

(70)

55

f. Manfaat aktivitas bermain yang paling utama adalah mendapatkan kegembiaraan, kesenangan dan kepuasan sehingga menimbulkan energi baru yang ada dalam tubuh anak.

Dari uraian manfaat bermain di atas dapat disimpulkan bahwa secara umum bermain berfungsi sebagai sarana anak untuk mendapatkan pengalaman-pengalaman kehidupan yang nyata bagi anak. Mereka belajar untuk mengembangkan potensi-potensi diri yang berguna bagi kehidupannya kelak.

Bermain erat kaitannya dengan permainan. Melalui permainan anak-anak anak-anak belajar bernegosiasi, memecahkan masalah dan menciptakan suasana kondusif, karena saat pengalaman bermain tercipta dalam suatu kelas maka akan timbul hubungan positif antar teman dan saling menghargai perbedaan yang ada (Sofie Hartati, 2005: 104). Hubungan positif dan saling menghargai inilah yang menjadikan seorang individu memiliki rasa persahabatan dan kebersamaan sehingga memungkinkan suasana kelas menjadi lebih menyenangkan dan kondusif. Sukirman Dharmamulya (2008; 21-16) juga menyebutkan beberapa manfaat dan fungsi permainan tradisional yang dilihat dari perspektif fungsional, permainan, psikologis, dan adaptasi.

Gambar

Gambar 1. Contoh Arena dalam Permainan Engklek
Gambar 2. Kerangka Pikir
Gambar 3. Penelitian Tindakan Model Hopkins
Tabel 3. Penentuan Kriteria
+6

Referensi

Dokumen terkait