PENERAPAN KLAUSULA BANK (BANKER’S CLAUSE) DALAM MENGANTISIPASI RISIKO KREDIT DITINJAU BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN
ABSTRAK
Klausula bank (Banker’s Clause) merupakan salah satu klausula yang tercantum di dalam polis asuransi yang secara tegas dinyatakan bahwa Pihak Bank sebagai penerima ganti kerugian atas peristiwa yang terjadi atas objek pertanggungan sebagaimana yang sudah disebutkan dalam perjanjian asuransi tersebut. Klausula ini muncul sebagai akibat adanya hubungan kredit antara Debitur dan Bank dimana objek pertanggungan menjadi jaminan, sehingga klausula ini merupakan klausula yang diperjanjikan antara para pihak. Bila terjadi peristiwa terhadap objek yang dipertanggungkan maka pihak asuransi akan membayarkan kepada pihak bank untuk menutup sisa pinjaman atau baki debet.
Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu pada asas-asas hukum dan hukum positif. Sifat penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis dalam penerapan klausula bank (Banker’s Clause) ditinjau dari Undang-Undang Nomor 40 tahun 2014 tentang Perasuransian. Sumber bahan hukum primer yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, dan peraturan lain yang mengatur klausula bank (Banker’s Clause). Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan konseptual dan undang-undang. Data yang digunakan dianalisis secara deduksi sebelum mengambil kesimpulan. Hasil penelitian menunjukan bahwa dalam pemberian kredit oleh bank berlandaskan prinsip Kehati-hatian (Prudential Banking) untuk mengantisipasi risiko kredit apabila Debitur gagal membayar. Klausula bank (Banker’s clause) diakomodir dengan maksud bila terjadi kegagalan pembayaran oleh Debitur ditanggung oleh pihak penanggung yaitu perusahaan asuransi. Kewajiban debitur yang ditanggung berupa sisa pinjaman, bunga, dan biaya-biaya.
Klausula Banker’s Clause digunakan oleh seluruh bank di Indonesia dalam mengantisipasi risiko-risiko kredit yang muncul sebelum kredit dilunasi pihak Debitur. Mitigasi risiko merupakan salah satu prinsip Prudential Banking agar pihak bank tidak memikul risiko terhadap objek yang dipertanggungkan. Hal ini tentunya harus diperjanjikan sebelum ditandatangani oleh kedua belah pihak dan debitur menerima syarat yang diperjanjikan. Penulis menyarankan agar debitur memahami dengan baik sehingga tidak menimbulkan permasalahan dengan bank dikemudian hari.
APPLICATION OF BANKER'S CLAUSE IN ANTICIPATION OF CREDIT RISK BASED ON LAW NUMBER 40 YEAR 2014 CONCERNING
INSURANCE ABSTRACT
Banker's Clause is one of the clauses contained in the insurance policy that explicitly stated that The Bank as the recipient of compensation for the events that occurred on insured object as already mentioned in the insurance agreement. This clause appears as a result of the credit relationship between the debtor and the bank in which the insured object as collateral, therefore which agreed between the parties. When events occur on the insured objects, the insurance company will pay to the bank to cover the remainder of the loan or the outstanding balance.
This undergraduated thesis method is in normative juridicial research which refers to the general principles of law and positive law. The nature of the research is descriptive in the application of Banker's Clause in terms of Law No. 40 year 2014 on Insurance. The sources of primary law material used is Law No. 40 year 2014 on Insurance, Law No. 10 year 1998, and other regulations governing Banker's Clause. The approach used in this study is a conceptual approach and legislation. The data used were analyzed deduction before drawing a conclusion. The results showed banks credit granted based on principles of Prudential (Prudential Banking) to anticipate the credit risk if the debtor fails to pay. Banker's clause accommodated with the intention in the event of failure to pay by the Debtor borne by the insurer that the insurance company. The obligations to Debtor that covered in the form of the loan, interest, and costs.
Banker's Clause is used by all banks in Indonesia in the anticipating credit risks that arise before the credit is repaid by the Debtor. Risk mitigation is one of the principles Prudential Banking so that the banks do not bear the risk of the insured objects. This should be agreed before it is signed by both parties and the Debtor receives the agreed terms. The authors suggest that the Debtor understand well so it does not cause problems with the bank in the future.
DAFTAR ISI
PERNYATAAN KEASLIAN ... PENGESAHAN PEMBIMBING ... PERSETUJUAN PANITIA SIDANG UJIAN ...
PERNYATAAN TELAH MENGIKUTI SIDANG……….
PERSETUJUAN REVISI……….. ABSTRAK ... ABSTRACT ... KATA PENGANTAR ... DAFTAR ISI ... BAB I PENDAHULUAN ...
A. Latar Belakang Masalah ...
B. Identifikasi Masalah ...
C. Tujuan Penelitian ...
D. Manfaat Penelitian ...
E. Kerangka Pemikiran ...
F. Metode Penelitian...
G. Sistematika Penulisan ...
BAB II FASILITAS KREDIT YANG DIFASILITASI OLEH LEMBAGA KEUANGAN BANK ... A. Lembaga Keuangan Bank Sebagai Entitas Dalam
Memfasilitasi Kebutuhan Kredit ... 1. Lembaga Keuangan Bank ...
2. Pengertian Kredit ...
3. Prinsip-prinsip Pemberian Kredit ...
4. Tujuan dan Fungsi Kredit ...
5. BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit) ...
1. Asas-asas Hukum Dalam Perjanjian ...
2. Prinsip Kehati-hatian (Prudential Banking) sebagai
Asas Pemberian Kredit ...
3. Keabsahan suatu Perjanjian...
4. Unsur-unsur Dalam Perjanjian ...
C. Klausula dalam Perjanjian Kredit Bank ... 1. Pengertian Klausula Perjanjian ...
2. Klausula Baku dalam Perjanjian Kredit Bank ...
3. Prinsip Take It or Leave It dalam Perjanjian Kredit
Bank ...
BAB III PERTANGGUNGJAWABAN RISIKO DALAM
LEMBAGA ASURANSI ... A. Asuransi sebagai Lembaga Pengalihan Risiko ...
1. Pengertian Asuransi dan Perusahaan di Bidang
Asuransi ...
2. Dasar Hukum Perjanjian Asuransi ...
3. Tujuan Asuransi ...
4. Fungsi Lembaga Asuransi ...
B. Asas Hukum dalam Kegiatan Asuransi dan Pertanggungjawaban Asuransi Kredit ...
1. Asas-asas Pokok Dalam Asuransi ...
2. Pertanggungjawaban Perusahaan Asuransi dalam
Pengelolaan Kredit ...
3. Jenis-jenis Asuransi dalam Pertanggungjawaban
Kredit...
C. Perjanjian Asuransi dan Pertanggungjawaban dalam Asuransi Kredit ...
1. Kesepakatan dalam Perjanjian Asuransi ...
2. Syarat sahnya perjanjian asuransi ...
3. Polis Sebagai Alat Bukti dalam Perjanjian Asuransi ...
BAB IV ANALISA PENERAPAN KLAUSULA BANK (BANKER’S CLAUSE) DALAM MENGANTISIPASI RISIKO KREDIT ...
A. Penerapan Banker’s Clause Dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan ...
1. Klausula Bank (Banker’s Clause) Dalam Prinsip
Prudential Banking ...
2. Prinsip Prudential Banking sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan dalam mengantisipasi risiko kredit ...
B. Penerapan Banker’s Clause Dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian ...
1. Banker’s Clause Dalam Perjanjian Asuransi ...
2. Peran perusahaan asuransi dalam menerima Klausula
Bank Banker’s Clause ...
C. Hak-Hak Debitur Dalam Pencairan Dana Asuransi Dikaitkan Dengan Penerapan Banker’s Clause ...
1. Pencairan Dana Asuransi dalam Penerapan Banker’s
Clause ...
2. Pertanggungan pihak asuransi terhadap hak-hak
debitur ...
BAB V PENUTUP ... A. Kesimpulan ...
B. Saran ...
Daftar Pustaka ...
Matriks Revisi……….
95
95
95
97
101
101
103
108
108
111
114
114
117
119
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kegiatan ekonomi sebagai salah satu kegiatan sosial manusia juga perlu diatur oleh
hukum agar sumber daya ekonomi, pemanfaatan dan kegiatannya dapat berjalan dengan
baik dengan mempertimbangkan sisi keadilan bagi para pelaku ekonomi. Hukum atau
peraturan perekonomian yang berlaku disetiap kelompok sosial atau suatu bangsa
berbeda-beda tergantung kesepakatan yang berlaku pada kelompok sosial atau bangsa tersebut.
Berdasarkan Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa:
“ Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional.”
Yang artinya bahwa kemakmuran rakyatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran
orang seorang.
Saat ini perkembangan bisnis di masyarakat Indonesia semakin tinggi, namun hal ini
tidak diimbangi dengan peran pemerintah dalam menjamin beban ekonomi yang dihadapi
masyarakatnya. Persaingan antara para pelaku bisnis tidak jarang menimbulkan
risiko-risiko yang membahayakan pelaku bisnis sendiri atau bahkan orang lain. Tingkat
kesadaran akan bahayanya risiko yang dihadapi ini, membuat munculnya
perusahaan-perusahaan asuransi yang berfungsi untuk mengantisipasi risiko yang akan muncul dan
membahayakan para pelaku usaha.
Risiko yang dimaksud adalah suatu ketidakpastian, dimana jika terjadi suatu keadaan
kehilangan suatu benda harta karena pencurian. Perusahaan asuransi adalah perusahaan
yang bertindak sebagai penanggung risiko yang dalam menjalankan usahanya berhubungan
langsung dengan tertanggung atau melalui pialang asuransi.1
Peranan asuransi bermanfaat dalam mekanisme untuk mengalihkan risiko, yaitu
mengalihkan risiko dari satu pihak (tertanggung) kepada pihak lain (penanggung).
Pengalihan ini bertujuan untuk menyediakan pengamanan serta ketenangan bagi
tertanggung. Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian menyatakan bahwa :
“Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang
polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai
imbalan untuk:
a. memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena
kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung
jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau
pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau
b. memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau
pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang
besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.”
Sehubungan dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat atas produk asuransi, yang
diikuti dengan peningkatan pemasaran produk asuransi melalui aktivitas kerjasama
pemasaran antara asuransi dengan bank. Dengan demikian peranan asuransi sendiri sangat
dibutuhkan oleh bank dalam hal pemberian kredit kepada nasabahnya.
Kredit merupakan suatu fasilitas keuangan yang memungkinkan seseorang atau badan
usaha untuk meminjam uang untuk membeli produk dan membayarnya kembali dalam
jangka waktu yang ditentukan. Kredit yang diberikan oleh suatu lembaga kredit didasarkan
atas kepercayaan, sehingga pemberian kredit pada dasarnya merupakan pemberian
kepercayaan. Dalam hal ini, kredit hanya akan diberikan bila benar-benar diyakini bahwa
calon peminjam dapat mengembalikan kepercayaan tersebut tepat pada waktunya.2
Bank sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat memberikan kredit bagi
masyarakat yang membutuhkan. Penyalur/pemberi Kredit Bank dalam kegiatannya tidak
hanya menyimpan dana yang diperoleh, akan tetapi untuk pemanfaatannya bank
menyalurkan kembali dalam bentuk kredit kepada masyarakat yang memerlukan dana
segar untuk usaha. Pemberian kredit akan menimbulkan resiko, oleh sebab itu
pemberiannya harus benar-benar teliti.
Kredit adalah pinjaman uang yang akan diberikan oleh pemberi kredit (Bank, Lembaga
Keuangan) kepada nasabahnya. Sejak kredit diberikan kepada nasabah, oleh bank selaku
pemberi kredit dapat terjadi hal yang mungkin dapat tidak diperolehnya kembali kredit
tersebut dari nasabah, sehingga pemberi kredit menderita kerugian.
Pemberian suatu fasilitas kredit yang diberikan oleh bank yang satu dengan yang lain
nyaris sama. Bukan hanya karena ketentuan yang dijadikan acuan dalam pemberian kredit
adalah sama, tetapi juga karena tradisi pemberian fasilitas kredit nyaris tidak mengalami
perubahan. Ketatnya persaingan antar bank tersebut telah memberikan dorongan
keberanian bank untuk ‘take risk’ atas berbagai risiko.Pada satu sisi, bank diminta untuk
mengedepankan prinsip kehati-hatian/prudential banking, di sisi lain terdapat tuntutan
pasar yang semakin longgar.3
Dalam prinsip kehati-hatian tersebut, kredit harus ada jaminan untuk meminimalisir
seorang debitur suatu saat wanprestasi. Adapun macam – macam kredit berdasarkan
2 Nasroen Yasabari dan Nina Kurnia. Penjaminan Kredit. Bandung: Alumni, 2007, hlm. 7.
jaminan berupa kredit jaminan orang, dan kredit jaminan barang . Jaminan yang diberikan
oleh debitur akan diikat suatu hak atas jaminan sesuai dengan jenis jaminan yang
diserahkan. Dalam praktik perbankan, jaminan merupakan langkah terakhir bila debitur
tidak dapat melaksanakan kewajibannya lagi.4
Untuk melindungi diri dari kemungkinan kerugian tersebut, pemberi kredit menutup
asuransi atas kredit yang diberikannya kepada nasabah. Dalam asuransi kredit, tertanggung
adalah pemberi kredit ( Bank atau Lembaga Keuangan ) dan yang ditanggung oleh
penanggung adalah risiko kredit dimana tidak diperolehnya kembali kredit kepada para
nasabahnya
Asuransi kredit mempunyai kaitan erat dengan jasa perbankan terutama di bidang
perkreditan yang selalu dikaitkan dengan jaminan kredit berupa barang-barang bergerak
dan barang-barang tidak bergerak yang sewaktu-waktu dapat tertimpa risiko yang dapat
mengakibatkan kerugian bagi pemilik barang dan bank sebagai pemberi kredit.
Bank selaku pemberi kredit berhak meminta agar pada polis atas jaminan kredit ditutup
dengan persyaratan Banker’s Clause. Yang artinya setiap ganti rugi yang diberikan
penanggung kepada tertanggung harus diterima lebih dahulu kepada pihak bank. Masalah
pun timbul saat pihak tertanggung meninggal dunia dan saat pihak penanggung akan
memberikan sejumlah tunjangan atau hak santunan tetapi malah diambil oleh pihak bank.
Sehubungan dengan penerapan Banker’s Clause diatas, terdapat permasalahan hukum
antara para pihak. Penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab permasalahan pencantuman
Banker’s Clause dalam perjanjian asuransi berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun
2014 tentang perasuransian. Oleh karena itu penulis terdorong untuk membuat skripsi
mengenai : “ PENERAPAN KLAUSULA BANK (BANKER’S CLAUSE) DALAM
MENGANTISIPASI RISIKO KREDIT DITINJAU BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN “
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, bahwa dalam prakteknya terdapat sebuah
masalah dalam penerapan klausula bank Banker’s Clause dalam hal pengantisipasian risiko
kredit dalam kaitannya dengan Undang-Undang asuransi. Sehubungan dengan masalah
tersebut maka permasalahan yang akan dikaji adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana penerapan Banker’s Clause dalam mengantisipasi risiko kredit
dikaitkan dengan prinsip Prudential Banking sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan?
2. Bagaimana penerapan Banker’s Clause dalam pemberian kredit ditinjau dari
Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang perasuransian?
3. Bagaimana hak-hak dari debitur dalam pencairan dana asuransi oleh pihak
penanggung terhadap bank dikaitkan dengan penerapan Banker’s Clause?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui penerapan Banker’s Clause dalam mengantisipasi risiko
kredit yang dikaitkan dengan prinsip Prudential Banking berdasarkan
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
2. Untuk mengetahui penerapan Banker’s Clause dalam pemberian kredit jika
ditinjau dari Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang perasuransian.
3. Untuk mengatahui hak-hak debitur dalam pencairan dana asuransi oleh pihak
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi lebih dalam mengenai
penerapan Banker’s Clause dalam mengantisipasi risiko kredit yang ditinjau
berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemikiran dan pengetahuan
sebagai bahan referensi dan acuan untuk pembaca dan penulis selanjutnya.
E. Kerangka Pemikiran
Dalam melakukan bisnis tidak mungkin pelaku bisnis terlepas dari hukum karena
hukum sangat berperan penting didalam mengatur kegiatan bisnis agar bisnis bisa berjalan
dengan lancar, tertib, aman sehingga tidak ada pihak-pihak yang dirugikan akibat adanya
kegiatan bisnis tersebut.
Adanya pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat serta kompleks melahirkan berbagai
bentuk kerjasama bisnis. Kerjasama bisnis yang terjadi sangat beraneka ragam tergantung
pada bidang bisnis apa yang sedang dijalankan. Keanekaragaman kerjasama bisnis ini tentu
saja melahirkan masalah serta tantangan baru yang sangat kompleks karena itu hukum
harus siap untuk dapat mengantisipasi setiap perkembangan yang muncul.
Adapun beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan hukum bisnis di
Indonesia, diantaranya yakni salah satunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
Dengan demikian jelas sudah bahwa aturan-aturan hukum tersebut diatas sangat
1. Pihak-pihak yang terlibat dalam persetujuan/ perjanjian bisnis itu membutuhkan
sesuatu yang lebih daripada sekadar janji serta itikad baik saja.
2. Adanya kebutuhan untuk menciptakan upaya-upaya hukum yang dapat
digunakan seandainya salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya.5
Berdasarkan hal diatas sangatlah terlihat bahwa hukum sangat penting dalam dunia
bisnis sebagai alat pengatur kegiatan bisnis tersebut. Kemajuan suatu bisnis tidak akan
berarti kalau kemajuan tidak berdampak pada kesejahteraan dan keadilan yang dinikmati
secara merata oleh rakyat. Negara harus menjamin semua itu, agar tidak ada terjadi
pengusaha kuat menindas pengusaha lemah, yang kaya semakin kaya yang miskin semakin
miskin, sehingga tidak ada keseimbangan dalam tatanan kehidupan masyarakat. Disinilah
peran hukum membatasi hal tersebut.
Dalam dunia bisnis tidak hanya itikad baik saja yang dibutuhkan , tetapi dibutuhkan
juga suatu persetujuan / perjanjian antara pelaku bisnis. Menurut Subekti suatu perjanjian
adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang
itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu
hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan
suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu
berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang
diucapkan atau ditulis.6
Sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian, kesepakatan memegang peran penting
dalam proses terbentuknya suatu perjanjian. Kita dapat mengenali dengan mudah
terjadinya kesepakatan apabila terdapat kesesuaian antara penawaran dan penerimaan.
5 http://erlannopri.blogspot.com/2013/10/normal-0-false-false-false-in-x-none-x_23.html, diunduh pada tanggal 7
Mei 2015
Namun akan timbul suatu masalah apabila tidak terdapat kesesuaian antara penawaran dan
penerimaan.7
Ada beberapa teori yang berusaha untuk menjelaskan hal tersebut,8 yaitu :
1. Teori Kehendak (Wilstheorie)
Menurut teori kehendak, faktor yang menentukan adanya perjanjian adalah
kehendak. Meskipun demikian, terdapat hubungan yang tidak terpisahkan
antara kehendak dan pernyataan. Oleh karena itu suatu kehendak harus
dinyatakan. Namun apabila terdapat ketidak sesuaian antara kehendak dan
pernyataan, maka tidak terbentuk suatu perjanjian.
2. Teori Pernyataan (Verklaringstheorie)
Menurut teori pernyataan, pembentukan kehendak terjadi dalam ranah kejiwaan
seseorang. Sehingga pihak lawan tidak mungkin mengetahui apa yang
sebenarnya terdapat di dalam benak seseorang. Dengan demikian suatu
kehendak yang tidak dapat dikenali oleh pihak lain tidak mungkin menjadi dasar
dari terbentuknya suatu perjanjian. Agar suatu kehendak dapat menjadi
perjanjian, maka kehendak tersebut harus dinyatakan. Sehingga yang menjadi
dasar dari terikatnya seseorang terhadap suatu perjanjian adalah apa yang
dinyatakan oleh orang tersebut.
3. Teori Kepercayaan (Vertrouwenstheorie)
Teori kepercayaan berusaha untuk mengatasi kelemahan dari teori pernyataan.
Oleh karena itu teori ini juga dapat dikatakan sebagai teori pernyataan yang
diperlunak. Menurut teori ini, tidak semua pernyataan melahirkan perjanjian.
Suatu pernyataan hanya akan melahirkan perjanjian apabila pernyataan tersebut
7http://www.jurnalhukum.com/teori-teori-yang-digunakan-untuk-menentukan-terjadinya-kesepakatan/diunduh
pada tanggal 7 Mei 2015
8 Herlien Budiono. Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan. Bandung: Citra
menurut kebiasaan yang berlaku di dalam masyarakat menimbulkan
kepercayaan bahwa hal yang dinyatakan memang benar dikehendaki. Atau
dengan kata lain, hanya pernyataan yang disampaikan sesuai teori ini
terbentuknya perjanjian bergantung pada kepercayaan atau pengharapan yang
muncul dari pihak lawan sebagai akibat dari pernyataan yang diungkapkan.
Dalam teori hukum dikenal suatu ajaran yang disebut dengan resicoleer (ajaran tentang
risiko) yang berkaitan dengan suatu perjanjian. Resicoleer adalah suatu ajaran, yaitu
seseorang berkewajiban untuk memikul kerugian, jika ada sesuatu kejadian di luar
kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang menjadi objek perjanjian.
Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam kamus hukum, yaitu
liability dan responsibility. Liability merupakan istilah hukum yang luas yang menunjuk
hampir semua karakter risiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung atau yang
mungkin meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara aktual atau potensial seperti
kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau kondisi yang menciptakan tugas untuk
melaksanakan undang-undang. Responsibility berarti hal yang dapat
dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, dan termasuk putusan, ketrampilan,
kemampuan dan kecakapan meliputi juga kewajiban bertanggung jawab atas
undang-undang yang dilaksanakan. Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability
menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang
dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah responsibility menunjuk pada
pertanggungjawaban politik.9
Mengenai persoalan pertanggungjawaban pejabat menurut Kranenburg dan Vegtig ada
dua teori yang melandasinya yaitu:
1. Teori Fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap
pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah
menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab ditujukan pada
manusia selaku pribadi.
2. Teori Fautes de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap
pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang bersangkutan. Menurut
teori ini tanggung jawab dibebankan kepada jabatan. Dalam penerapannya,
kerugian yang timbul itu disesuaikan pula apakah kesalahan yang dilakukan itu
merupakan kesalahan berat atau kesalahan ringan, dimana berat dan ringannya
suatu kesalahan berimplikasi pada tanggung jawab yang harus ditanggung.10
Tanggung jawab (responsibility) merupakan suatu refleksi tingkah laku manusia.
Penampilan tingkah laku manusia terkait dengan kontrol jiwanya, merupakan bagian dari
bentuk pertimbangan intelektualnya atau mentalnya. Bilamana suatu keputusan telah
diambil atau ditolak, sudah merupakan bagian dari tanggung jawab dan akibat pilihannya.
Tidak ada alasan lain mengapa hal itu dilakukan atau ditinggalkan. Keputusan tersebut
dianggap telah dipimpin oleh kesadaran intelektualnya.
Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai
berikut:11
1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau liability
based on fault) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan
perdata. Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang
dilakukannya.
10 Ibid, hlm.365.
2. Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan dengan prinsip
tanggung jawab absolut (absolute liability). Menurut E.Suherman, strict liability
disamakan dengan absolute liability, dalam prinsip ini tidak ada kemungkinan
untuk membebaskan diri dari tanggung jawab, kecuali apabila kerugian yang timbul
karena kesalahan pihak yang dirugikan sendiri. Tanggung jawab adalah mutlak.12
F. Metode Penelitian
Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yaitu dengan
meneliti pada data sekunder bidang hukum yang ada sebagai data kepustakaan dengan
menggunakan metode berpikir deduktif. Pada penelitian hukum normatif hukum
dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang
dianggap pantas.13 Tradisi dalam suatu penelitian normatif adalah memperbolehkan
penggunaan analisis ilmiah ilmu-ilmu lain untuk menjelaskan fakta-fakta hukum yang
diteliti dengan cara kerja ilmiah yang ajeg serta cara berpikir yuridis mengolah hasil
berbagai disiplin ilmu terkait untuk kepentingan analisis bahan hukum, namun tidak
mengubah karakter khas ilmu hukum sebagai ilmu normatif.14
1. Pendekatan Penelitian
Metode pendekatan perundang-undangan (statute approach) yaitu penelitian
hukum yang menelaah semua undang-undang & regulasi yang berkaitan dengan isu
hukum yang sedang ditangani. Bentuk penelitiannya berupa konsistensi dan kesesuaian
antara suatu undang-undang dengan undang-undang lainnya, undang-undang dengan
undang-undang dasar, antara regulasi dengan undang-undang.15
12 E. Suherman. Masalah Tanggung Jawab Pada Charter Pesawat Udara Dan Beberapa Masalah Lain Dalam Bidang Penerbangan. Bandung, 1979, hlm. 23.
13 Amirudin,H. Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rajawali Pers, 2004, hlm. 118. 14 Jhonny Ibrahim. Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia Publishing, 2011,
hlm. 269.
2. Penelitian Statute Approach ini menggunakan data yang bersumber dari :
a) Bahan Hukum Primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif
artinya mempunyai otoritas.16 Bahan-bahan hukum primer ini mencakup
peraturan perundang-undangan antara lain Undang-Undang Dasar 1945,
Undang Nomor 40 tahun 2014 tentang Perasuransian dan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
b) Bahan Hukum Sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen-dokumen resmi. Bahan Hukum Sekunder ini berisikan
tentang informasi dari bahan primer, terdiri atas penjelasan undang-undang,
literatur-literatur mengenai banker’s clause, dan buku-buku hukum lainnya.
3. Langkah-langkah Penelitian
Langkah penelitian dilakukan melalui studi kepustakaan. Studi kepustakaan
menunjuk pada suatu cara memperoleh data yang diperlukan, dengan menelusuri
dan menganalisis bahan pustaka dan dokumen-dokumen yang relevan dengan
permasalahan. Tindakan-tindakan yang termasuk dalam langkah penelitian antara
lain :
a) Penelitian ini akan menelusuri peraturan hukum yang ada, yakni
undang-undang yang berkaitan dengan banker’s clause , mengenai kredit yang
ditinjau dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang perasuransian
dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
b) Mengumpulkan bahan-bahan hukum yang dianggap mempunyai relevansi
dengan permasalahan yang ada.
c) Menelaah setiap bahan-bahan yang diambil dan yang telah dikumpulkan
d) Menarik kesimpulan dari setiap bahan-bahan yang ditelaah.
4. Teknik Pengumpulan dan Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum diperoleh dari berbagai sumber.Bahan hukum yang diperoleh
keseluruhannya baik berupa buku, literatur, atau jurnal.
Setelah bahan dikumpulkan, digunakan metode deduktif untuk menganalisis
bahan-bahan kepustakaan yang telah diperoleh. Dengan menggunakan metode
deduktif ini maka dapat diketahui bagaimana penerapan Banker’s clause dalam
mengantisipasi risiko kredit jika ditinjau dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2014 tentang Perasuransian.
G. Sistematika Penulisan
BAB I :PENDAHULUAN
Pada bagian ini diuraikan latar belakang masalah, identifikasi masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, manfaat penelitian, kerangka
pemikiran, metode penelitian, sistematika penulisan.
BAB II :RISIKO KREDIT DALAM LEMBAGA KEUANGAN
Pada bagian ini akan diuraikan mengenai teori-teori, definisi,
Undang-Undang, dan Dasar Hukum yang berkaitan dengan masalah yang akan
dibahas.
BAB III :PERTANGGUNGJAWABAN RISIKO DALAM LEMBAGA
ASURANSI
Bab ini akan membahas mengenai pertanggung jawaban oleh pihak
lembaga asuransi terhadap tertanggung beserta hak-hak bagi debitur.
Bab ini akan membahas dan menganalisa mengenai bagaimana
penerapan klausula Banker’s Clause dalam hubungannya dengan
pengambilan kredit dan hubungannya dengan asuransi.
BAB V :KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisikan tentang simpulan dan saran yang berkaitan dengan
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan analisis dalam Bab IV, dapat disimpulkan bahwa:
1. Berdasarkan syarat Banker’s Clause dalam pemberian kredit oleh Bank kepada
pihak nasabah haruslah memperhatikan teknik dan pengelolaan kredit untuk
meminimalisir kemungkinan kegagalan pihak kredit debitur melunasi
pinjamannya. Prinsip Prudential Banking merupakan hal yang patut
dikedepankan oleh pelaku bisnis bank, dalam mengantisipasi
persyaratan-persyaratan yang belum dipenuhi debitur, khususnya dalam pencairan kredit.
Bahwa sebagaimana Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang No. 10 Tahun 1998
tentang perbankan menjelaskan mengenai prinsip kehati-hatian :
“Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan
kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas,
solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib
melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.”
Bank wajib memiliki dan menerapkan sistem pengawasan intern dalam rangka
menjamin terlaksananya proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan
bank yang sesuai dengan prinsip kehati-hatian.
2. Asuransi merupakan upaya pengalihan risiko yang telah diatur dalam Kitab
Undang- Undang Hukum Dagang, dalam Pasal 247 berbunyi:
“Pertanggungan-pertanggungan itu antara lain dapat mengenai: bahaya
jiwa; satu orang atau beberapa orang;bahaya laut dan pembudakan;bahaya yang
mengancam pengangkutan di daratan, di sungai-sungai, dan diperairan darat.”
Penerapan Banker’s Clause dalam perjanjian asuransi mempunyai kekhususan
jika dibandingkan dengan perjanjian pada umumnya. Dalam hal ini, perjanjian
asuransi ini disebut sebagai perjanjian dipersiapkan sepihak (Contract of
Adhesion). Yang artinya tertanggung / debitur berada dalam posisi tidak bisa
bernegosiasi dengan pihak bank dikarenakan pihak bank selaku pemberi kredit
menutup asuransi dengan klausula Banker’s Clause.
Sehingga dengan adanya penerapan Banker’s Clause jika terjadi kegagalan
pembayaran kredit oleh nasabah, maka pengembalian ditanggung oleh pihak
penanggung hingga jumlah pelunasan bisa dibayarkan meliputi hutang pokok
ditambah bunga dan biaya-biaya tanpa mengurangi hak tertanggung atas jumlah
ganti rugi.
3. Sejak perjanjian tersebut ditutup penting bagi penanggung untuk mengetahui
berapa jumlah uang maksimum, dengan mana dia harus melaksanakan
prestasinya, jumlah uang maksimum tersebut dikenal dengan nama jumlah
pertanggungan yaitu jumlah maksimum uang sebagai batasan tertinggi dari
kewajiban penanggung untuk mengganti kerugian kepada tertanggung. Kalau
kepentingan itu jatuh bersama dengan benda pertanggungan maka nilai penuh
kepentingan tertanggung sama dengan nilai benda pertanggungan. Hak-hak
debitur berupa :
- Mendapatkan ganti kerugian dari penanggung berdasarkan jumlah
jatuh bersamaan dengan benda pertanggungan maka nilai penuh
kepentingan tertanggung sama dengan nilai benda pertanggungan.
- Penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian,
kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab
hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung.
- Mendapatkan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung
atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan
manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil
pengelolaan dana.
B. SARAN
Saran penulis dalam penulisan skripsi ini adalah:
1. Bagi Akademisi
Penelitian terhadap penerapan klausula bank (Banker’s Clause) dalam
pemberian kredit oleh bank, diharapkan bisa menjadi suatu referensi dalam
meneliti sejauh mana peran Banker’s Clause ini dalam pemberian kredit.
Sehingga menambah ilmu dalam hal penerapan klausula bank (Banker’s
Clause) terhadap pemberian kredit kepada nasabah.
2. Bagi Praktik Perbankan dan Perasuransian
Dalam pemberian kredit terhadap nasabahnya, pihak bank harus
memberlakukan prinsip Prudential Banking secara tegas. Hal ini tentunya
mempermudah pihak bank serta melindungi dari risiko kegagalan pengembalian
yang melindungi atau menanggung kepentingan tertanggung/nasabah/debitur
sebagai konsumen, pihak asuransi dalam hal ini harus meningkatkan dan
memperhatikan segala aspek pelayanan yang diberikan dan
mempetanggungjawabkannya.
3. Bagi masyarakat
Diharapkan bagi nasabah dalam pengambilan kredit bank dilindungi oleh pihak
penanggung yaitu perusahaan asuransi dalam pengembalian kredit. Sehingga
apabila terjadi evenemen dalam hal pengembalian kredit, maka pihak
penanggung bisa menanggung segala hal ganti kerugian terhadap pihak bank.
Tentunya hak dan kewajiban tertanggung sesuai yang tercantum dalam polis
DAFTAR PUSTAKA A. Buku
Abdulkadir dan Rilda. Lembaga Keuangan dan Pembiayaan. Bandung : Citra Aditya
Bakti.
Abdulkadir Muhammad. Hukum Asuransi di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti,
1999.
---. Pengantar Hukum Pertanggungan. Jakarta: Citra Aditya,
1994.
Ahmadi Miru. Hukum Kontrak. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.
Amirudin,H. Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rajawali
Pers, 2004.
Dewan Asuransi Indonesia. Perjanjian Asuransi dalam Praktik dan Penyelesaian
Sengketanya dalam Simposium Hukum Asuransi di Padang. 13-15 November 1978,
Jakarta: BPHN, 1980.
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Uzman. Hukum Perbankan. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
E. Suherman. Masalah Tanggung Jawab Pada Charter Pesawat Udara Dan Beberapa
Masalah Lain Dalam Bidang Penerbangan. Bandung, 1979.
Emmy Pangaribuan Simanjuntak. Hukum Pertanggungan (pokok-pokok Pertanggungan
Kerugian, Kebakaran, dan Jiwa). Cetakan kesepuluh, Seksi Hukum Dagang FH.
UGM, 1990.
H.R. Daeng Naja. Contract Drafting. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006.
Hasanuddin Rahman. Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di Indonesia,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998.
Herlien Budiono. Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Hermansyah. Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Jakarta: Prenadamedia, 2012.
Jhonny Ibrahim. Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia
Publishing, 2011.
Johannes Ibrahim. Kartu Kredit. Bandung: Refika Aditama, 2010.
---. Mengupas Tuntas Kredit Komersial dan Konsumtif Dalam Perjanjian
Kredit. Bandung: Mandar Maju, 2004
---. Pengimpasan Pinjaman (Kompensasi) dan Asas Kebebasan
Berkontrak dalam Perjanjian Kredit Bank. Bandung: Utomo, 2003
Junaedy Ganie. Hukum Asuransi Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Kasmir. Dasar-Dasar Perbankan. Jakarta: Raja Grafindo, 2011.
Komariah. Hukum Perdata. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2002.
Man Suparman Sastrawidjaja. Aspek-Aspek Hukum Asuransi dan Surat berharga.
Bandung: Alumni, 2012.
Mariam Darus Badrulzaman. Perjanjian Kredit Bank. Bandung: Alumni, 1983.
Moch. Anwar Abdullah. Kamus Umum Asuransi. Jakarta: Kesaint Blanc, 1993, Cet. Ke
1.
Muhamad Djumhana. Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung : Citra Aditya Bakti,
2006.
Munir Fuady. Hukum kontrak. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999,.
Nasroen Yasabari dan Nina Kurnia. Penjaminan Kredit. Bandung: Alumni, 2007.
Neni Sri Imaniyati. Pengantar Hukum Perbankan Indonesia. Jakarta: Refika Aditama,
2010.
Permadi Gandapradja. Dasar dan Prinsip Pengawasan Bank. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama, 2004.
Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Raja Grafindo Persada,2006.
Safri Ayat. Kamus Praktis Asuransi. Jakarta: Erlangga, 1996.
Sentosa Sembiring. Hukum Asuransi. Bandung: Nuansa Aulia, 2014.
Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: Gramedia Widiasarana
Indonesia, 2006.
Sinungan M. Manajemen Dana Bank. Jakarta: Rineka Cipta, 1990.
Sri Redjeki Hartono. Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi. Jakarta: Sinar Grafika,
2001.
Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: Citra Aditya Bakti, 1998.
---. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa, 2008.
Suhawan. Pola Dasar Asuransi Kerugian. Bandung: Djatmika, 1988.
Sutan Remy Sjahdeini. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi
Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia. Jakarta: Institut Bankir
Indonesia, 1993.
---. Kebebasan Berkontrak. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2009.
Thomas Suyanto. Dasar-Dasar Perkreditan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007.
---. Kelembagaan Perbankan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993.
Tri Widiyono. Agunan Kredit dalam financial engeneering. Jakarta: Ghalia Indonesia,
2009.
Wirjono Prodjodikoro. Hukum Asuransi Indonesia. Jakarta: Intermasa, 1991.
B. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
C. Sumber Internet
http://asuransijiwaku.org/tips-cara-prosedur-klaim-asuransi-jiwa/.
http://www.bni-life.co.id/Layanan/Klaim/Finansial/BankersClause.aspx
http://www.gultomlawconsultants.com/batas-maksimum-pemberian-kredit-bmpk-suatu-transaksi-lindung-nilai-hedging/.
http://www.jurnalhukum.com/bagian-bagian-perjanjian/
http://www.jurnalhukum.com/teori-teori-yang-digunakan-untuk-menentukan-terjadinya-kesepakatan/
http://www.sinarmas.co.id/frequently-asked-question/asuransi-kredit
https://id.wikipedia.org/wiki/Klausula_Baku
www.mediaartikel.com/5-manfaat-asuransijiwa/
http://ardra.biz/ekonomi/ekonomi-keuangan-manajemen-keuangan/pengertian-fungsi-tujuan-asuransi/
http://erlannopri.blogspot.com/2013/10/normal-0-false-false-false-in-x-none-x_23.html
http://www.kembar.pro/2014/10/pengertian-fungsi-perencanaan-asuransi.html,