• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggungjawaban Direksi Sebagai Representasi Korporasi Dalam Hal Terjadi Tindak Pidana Pencucian Uang Dengan Modus Penggelapan Pajak Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 T

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertanggungjawaban Direksi Sebagai Representasi Korporasi Dalam Hal Terjadi Tindak Pidana Pencucian Uang Dengan Modus Penggelapan Pajak Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 T"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

vii

PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI SEBAGAI REPRESENTASI KORPORASI DALAM HAL TERJADI TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN MODUS PENGGELAPAN PAJAK DIKAITKAN DENGAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS

Juncto UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN

DAN PEMBERATASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Prika Susrawita Siregar

1187043

ABSTRAK

KUHP belum menyatakan korporasi sebagai subjek hukum, namun hal itu tidak membuat korporasi bebas dari tanggung jawab pidana. Seiring perkembangan hukum, korporasi sebagai subjek hukum sudah diatur di Undang-Undang Nomor 7 Drt. tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, Undang Nomor 6 tahun 1984 tentang Pos, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 (UU TPPU). Oleh karena itu korporasi dapat diminta pertanggungjawaban pidana terkait dengan tindak pidana pencucian uang dengan modus penggelapan pajak. Penelitian ini bertujuan melihat kedudukan dan pertanggungjawaban hukum pidana korporasi, pertanggungjawaban direksi sebagai representasi dari korporasi dalam pertanggungjawaban mengelola korporasi dan kendala yang dihadapi untuk menjerat korporasi dalam tindak pidana pencucian uang dengan modus penggelapan pajak yang ditinjau dari Undang-Undang Nomor. 40 Tahun 2007 Juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 (UU PT).

Metode yang digunakan adalah metode yuridis normatif dengan mendasarkan pada sumber data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Undang-Undang No. 16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, UU TPPU, KUHP), sekunder (buku-buku teks tentang hukum, pendapat dari media massa), dan tersier (kamus, ensiklopedia). Penulis menyimpulkan bahwa korporasi dapat dibebankan pertanggungjawaban berdasarkan doktrin-doktrin yaitu seperti doctrine of strict liability, identification theory, doctrine of delegation, doctrine of aggregation dan diperkuat dengan adanya Pasal 6 UU TPPU. Terkait pertangggungjawaban direksi, penulis menyimpulkan bahwa direksi dapat dibebankan pertanggungjawaban berdasarkan doktrin fiduciary duties dan duty to skill and care, doktrin duty of care, doktrin ultra vires dan doktrin piercieng the corporate veil serta diperkuat dengan adanya dan Pasal 3 UU TPPU Selain hal tersebut penulis menemukan kendala yang dihadapi dalama menjerat korporasi.

Penulis berpendapat bahwa kurang tegasnya mengenai pengaturan pertanggungjawaban korporasi perlu dikaji ulang. Sehingga undang-undang dapat mengatur secara tegas pertanggungjawaban korporasi dan adanya mekanisme yang lebih mudah untuk melacak dan membuktikan adanya suatu tindak pidana pencucian uang.

(2)

viii

BOARD OF DIRECTORS OF A CORPORATION’S RESPONSIBILITY IN TERMS OF REPRESENTATION ON CRIMES OF MONEY LAUNDERING WITH TAX EMBEZZLEMENT RELATED ACT NO. 40/2007 ON LIMITED

COMPANY JUNCTO ACT NO. 8/2010 ON CRIME PREVENTION AND ERADICATION OF MONEY LAUNDERING

Prika Susrawita Siregar

1187043

Abstract

The criminal code (KUHP ) yet to say of the corporation as the subject of law , but it does not make corporate free from criminal responsibility. As the development of the law , corporate as legal subject set in act.no.7 drt. 1955 about the criminal act of economic, the law number 6/1984 on post, the law number 8/2010 (UU TPPU). Because of the corporate can be asked to criminal responsibility relating to crimes of money laundering with a mode of tax evasion. This research aims to look at it and responsibility corporate crimal law, a representation of the corporate responsibility of directors for corporate responsibility in managing and obstacles to make corporations in criminal tax evasion, money laundering in a review of the act no.40/2007 juncto act no.8/2010 (UUPT).

Methods used is a method of juridical normative with rested on secondary data consisting of a primary law the constitution of the republic of Indonesia , the act of no. 16 year 2000 regarding general provisions and the procedures for the taxation ,UU TPPU, KUHP) , secondary (text books about the law, the opinion of the mass media),and tertiary (a dictionary, encyclopedia). The author concluded that based on corporate accountability to be provided the doctrines that is as doctrine of the strict liability, identification theory, doctrine of delegation, doctrine of aggregation and strengthened with UU TPPU article 6. Relating to the liability of directors author assume responsibility to be provided in accordance with the doctrines of directors fiduciary duties and duty to care, and skill doctrine duty of care, an ultra vires doctrine and corporate piercieng doctrine of the veil as well as strengthened by the presence of article 3 UU TTPU. Besides the constraints faced by the writer is very difficult to find a kind of crime, money laundering could not the responsibility of the company and the lack of corporate law determining element of a corporation.

The author of the opinion that less attention on regulation of the corporate responsibility need to be examined. So that the bill can set strict mechanisms corporate accountability and the easier to trace and prove the existence of a crime of money laundering.

(3)

ix

Halaman

Lembar Pernyataan Keaslian ………... ii

Lembar Pengesahan Pembimbing ………... iii

Lembar Persetuan Revisi ……… iv

Lembar Persetujuan Panitia Sidang Ujian ……….. v

Abstrak ……… vii

Kata Pengantar ……… viii

Daftar Isi ………. ix

Daftar Tabel ……… xvi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ………..

B. Identifikasi Masalah ………..

C. Tujuan Penelitian ………

D. Kegunaan Penelitian ………...

E. Kerangka Pemikiran……….

F. Metode Penelitian ………...

G. Sistematika Penulisan ……….

1

8

8

9

10

17

22

BAB II KORPORASI SEBAGAI PEMEGANG HAK DAN

KEWAJIBAN DAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

DENGAN MODUS PENGGELAPAN PAJAK

A. Sejarah dan Pengertian Korporasi sebagai Subjek Hukum Pidana..

1. Korporasi Secara Umum ………...

25

(4)

x

2. Sejarah dan Latar Belakang Korporasi sebagai Subjek Hukum Pidana ………

3. Tahap-tahap Perkembangan dan Perubahan Korporasi sebagai Subjek Hukum Pidana ………...

B. Direksi sebagai Representasi Korporasi ……….

1. Pengertian Direksi ……….

2. Pengangkatan Direksi ………...

3. Tugas Direksi ………

4. Berakhirnya Tugas Direksi ………...

5. Pemberhentian Direksi ………..

6. Kewajiban Direksi ……….

7. Kewenangan Direksi ……….

C. Tindak Pidana Pencucian Uang dengan Modus Penggelapan Pajak ………

1. Tindak Pidana Pencucian Uang ………

2. Tindak Pidana Penggelapan Pajak ………

29

32

39

39

41

41

44

44

45

46

46

46

(5)

xi

DIREKSI SEBAGAI REPRESENTASI KORPORASI

A. Kedudukan dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi …………

1. Masalah Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana ………

2. Model Pertanggungjawaban Pidana Korporasi ………

3. Pengaruh Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan ………

4. Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana ……….

5. Undang-Undang yang Telah Mengatur Mengenai Pertanggungjawaban Pidana terhadap Korporasi …………...

B. Kedudukan dan Pertanggungjawaban Pidana Direksi sebagai Representasi Korporasi ………...

1. Direksi Sebagai Pelaku (Dader) ………...

2. Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Direksi ………...

C. Sanksi Terhadap Korporasi dalam Hukum Pidana, Hukum Perdata, dan Hukum Admistrasi ……….

1. Sanksi Pidana ………...

2. Sanksi Perdata ………...

3. Sanksi Adminstrasi ………...

60

60

68

71

72

73

74

74

82

90

90

94

(6)

xii

BAB IV DIFERENSIASI KORPORASI DAN DIREKSI SEBAGAI

PELAKU DAN KENDALA DALAM MENJERAT KORPORASI

A. Diferensiasi Korporasi dan Direksi Sebagai Pelaku Terkait

Tindak Pidana Pencucian Uang dengan Modus Penggelapan

Pajak Ditinjau dari Undang-Undang Nomor. 40 Tahun 2007

Jouncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 ……….

1. Kronologis kasus tindak pidana pencucian uang dengan

modus penggelapan pajak yang dilakukan oleh PT. X ...

2. Kedudukan dan pertanggungjawaban hukum pidana korporasi

terkait tindak pidana pencucian uang dengan modus

penggelapan pajak ditinjau dari Undang-Undang Nomor. 40

Tahun 2007 Jouncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 ...

3. Pertanggungjawaban direksi sebagai representasi dari

korporasi dalam pertanggung jawaban mengelola korporasi

terkait tindak pidana pencucian uang dengan modus

penggelapan pajak ditinjau dari Undang-Undang Nomor. 40

Tahun 2007 Jouncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010…

B. Kendala-Kendala yang Dihadapi Untuk Menjerat Korporasi

Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Dengan Modus Penggelapan Pajak ………..

1. Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagai Tindak Pidana

Khusus yang Sulit Dalam Pembuktiannya ...

2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan 98

98

102

120

128

128

(7)

xiii

3. Pembuktian yang Sulit Bahwa Pelaku Tindak Pidana

Penggelapan Pajak Sebagai Kejahatan Asal Merupakan

Perintah dari Korporasi ...

4. Doktrin Mengenai Pertanggungjawaban Pidana Berkaitan Erat dengan Unsur Kesalahan ………...

134

139

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ……….

B. Saran ………

141

145

Daftar Pustaka

CV

(8)

xiv Daftar Tabel

Tabel 1.1 Perbedaan Hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana

(9)

xv

Daftar Lampiran Lampiran 1.1 Revisi penguji I

(10)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum (rechstats)

bukan negara berdasarkan atas kekuatan atau kesewenang-wenangan. Oleh

karena itu, segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan kenegaraan

dari segi ekonomi, politik, sosial, budaya akan diatur oleh hukum.

Sebagaimana telah tertulis dalam tujuan negara di dalam pembukaan UUD

1945 bahwa negara bertujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia,

memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan

ikut melaksanakan ketertiban dunia.1 Guna mewujudkan kesejahteraan

umum (rakyat) tersebut,tentunya negara harus mempunyai regulasi agar

tujuan tersebut dapat tercapai secara baik.

Pembangunan nasional sebagaimana diamanatkan UUD 1945

adalah pembangunan manusia yang seutuhnya, implementasinya berupa

pembangunan di segala bidang dalam rangka mewujudkan kesejahteraan

masyarakat Indonesia. Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan

bahwa :

(1) "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan;

(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara;

1

(11)

(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;

(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga kesseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional; (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pasal ini diatur dalam

Undang-Undang.”

Dimana artinya bahwa perekonomian disusun sebagai usaha

bersama berdasar atas azas kekeluargaan untuk kesejahteraan masyarakat.

Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak bisa terlepas dari kegiatan

ekonomi. Kegiatan ekonomi ini merupakan kegiatan yang melibatkan

lebih dari satu individu atau satu organ. Oleh karena itu, pembentuk

pelaksana/penggiat kegiatan ekonomi adalah organ (individu dan/atau

korporasi dalam jumlah lebih dari satu) yang saling membutuhkan dan

saling melengkapi dalam proses kegiatan ekonomi. Para pelaku ekonomi

saling berinteraksi hingga terjadinya transaksi ekonomi.

Pelaku ekonomi di Indonesia pada hakekatnya sangat bervariasi,

baik mengenai eksistensinya di dalam peraturan kegiatannya maupun

kedudukan institusinya. Pada strata terendah biasanya terdiri dari pelaku

ekonomi perorangan dengan kekuatan modal yang relatif terbatas. Pada

strata menengah ke atas dapat dijumpai beberapa bentuk badan usaha, baik

yang bukan Badan Hukum maupun yang mempunyai status sebagai Badan

Hukum yaitu Perseroan Terbatas dan Koperasi sebagai suatu korporasi.

Perseroan Terbatas atau PT mempunyai kemampuan untuk lebih

(12)

terutama yang tidak berbentuk Badan Hukum dalam menjalankan

perannya sebagai pelaku ekonomi.2

Keberadaan korporasi, sebenarnya sudah ada sejak lama. Namun

pada waktu itu belum dikenal istilah “korporasi” seperti sekarang ini.

Korporasi seperti memiliki dua sisi yaitu sisi positif dan negatif. Di sisi

positif, kehadiran korporasi telah menciptakan lapangan pekerjaan yang

luas dan mengurangi angka pengangguran. Belum lagi, korporasi juga

memberikan sumbangan yang dihasilkannya baik berupa pajak, maupun

devisa dan korporasi sendiri berguna dalam memenuhi kebutuhan hidup.

Eksistensi korporasi sebagai pelaku ekonomi di Indonesia tidak dapat

dielakkan lagi. Hadirnya korporasi ditengah-tengah masyarakat ini

tentunya memainkan peran dalam sistem ekonomi di Indonesia.

Di sisi lain, korporasi ternyata mempunyai sisi negatif, yang mana

sisi negatif tersebut diwujudkan dalam perilaku yang dapat merusak

keseimbangan ekosistem. Tindakan negatif tersebut dapat berupa

pencemaran, pengurasan (sumber daya alam yang terbatas), persaingan

usaha yang tidak sehat, manipulasi pajak, eksploitasi terhadap buruh,

mengeluarkan produk-produk yang membahayakan kepada penggunanya

serta penipuan terhadap konsumen yang ditimbulkan dari tindak kejahatan

yang dilakukan oleh korporasi tersebut.

Kejahatan korporasi (corporate crime) merupakan salah satu

kejahatan yang timbul dengan semakin majunya kegiatan perekonomian

2

Sri Rejeki Hartono, “Makalah Seminar dan Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional VIII”.

(13)

dan teknologi. Perkembangan zaman serta kemajuan peradaban dan

teknologi turut disertai dengan perkembangan tindak kejahatan yang

merupakan salah satu penyebab kejahatan korporasi.

Soedjono Dirdjosisworo menyatakan bahwa :

“Kejahatan sekarang menunjukan bahwa kemajuan ekonomi juga menimbulkan kejahatan baru yang tidak kurang berbahaya dan besarnya korban yang diakibatkannya. Indonesia dewasa ini sudah dilanda kriminalitas, sumber energi, dan pola-pola kejahatan dibidang ekonomi seperti kejahatan bank, kejahatan computer, penipuan terhadap konsumen berupa barang-barang produksi kualitas rendah yang dikemas indah dan dijajakan lewat advertensi secara besar-besaran dan berbagai pola kejahatan korporasi yang beroperasi lewat penetrasi dan penyamaran”.3

Kejahatan korporasi merupakan hal yang baru jika dibandingkan

dengan tindak pidana biasa (konvensional). Kejahatan korporasi yang

dibahas dalam penelitian ini adalah kejahatan korporasi terhadap

penggelapan pajak yang dilakukan korporasi (tax evasion). Kejahatan

korporasi yang dimaksud adalah tindak pidana karena merupakan rekayasa

subyek (pelaku) dan obyek (transaksi) pajak untuk memperoleh

penghematan pajak secara melawan hukum (unlawfully), dan penggelapan

pajak boleh dikatakan merupakan virus yang melekat (inherent) pada

setiap sistem pajak yang berlaku di hampir setiap yurisdiksi4.

Penggelapan pajak mempunyai risiko terdekteksi yang melekat

(inherent) pula, serta mengundang sanksi pidana badan dan denda. Tidak

tertutup kemungkinan bahwa untuk meminimalkan risiko terdeteksi

3

Soedjono Dirdjosisworo, “Hukum Pidana Indonesia dan Gelagat Kriminalitas Masyarakat

Pascaindustri”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada FH UNPAR, Bandung: 1991, hlm 10.

4

(14)

biasanya para pelaku penggelapan pajak akan berusaha menyembunyikan

atau mengaburkan asal-usul "hasil kejahatan" (proceeds of crime) dengan

melakukan tindak kejahatan lanjutannya yaitu praktik pencucian uang.

Tindakan tersebut dilakukan dapat memaksimalkan utilitas ekspektasi

pendapatan dari penggelapan pajak tersebut5. Oleh sebab itulah tindak

kejahatan di bidang perpajakan termasuk salah satu tindak pidana asal

(predicate crime) dari tindak pidana pencucian uang.

Tindak pidana pencucian uang merupakan suatu upaya perbuatan

untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang/dana atau harta

kekayaan hasil tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan agar

uang atau harta kekayaan tersebut seolah-olah berasal dari kegiatan yang

sah/legal.6 Hampir semua kejahatan ekonomi yang dilakukan oleh

korporasi mempunyai tujuan untuk mendapatkan keuntungan, sehinga

salah satu cara untuk membuat pelaku jera atau mengurangi tindak pidana

yaitu dengan memburu hasil kejahatan agar pelaku tidak dapat

menikmatinya dan akhirnya diharapkan motivasi untuk melakukan

kejahatan tersebut juga sirna.

Praktik menyimpang dalam upaya pencapaian target pajak justru

menjadi celah (loophole) yang memberi peluang bagi oknum petugas

pajak, wajib pajak dan konsultan pajak untuk bekerjasama dan secara

5 Ibid.

6Budi Raharjo, “Kronologis Kasus PT. Asian Agri” 2010

(15)

terencana melakukan tindak kejahatan dibidang perpajakan (tax crime)

seperti penggelapan, penghindaran, penyimpangan, pemerasan dan

pemalsuan dokumen yang tujuan pokoknya untuk mendapatkan

keuntungan illegal yang sebesar-besarnya atau memperkaya diri sendiri,

sehingga pada saatnya menyebabkan distorsi penerimaan atau kekayaan

negara.

Terkait dengan tindak pidana penggelapan pajak sebagai modus

tindak pidana pencucian uang, terdapat beberapa kasus yang terjadi di

Indonesia. Salah satunya adalah kasus yang dilakukan oleh P.T X. PT. X

adalah salah satu induk usaha terbesar kedua di Grup X, perusahaan milik

ST. Dugaan penggelapan pajak oleh PT. X, bermula dari aksi VA

membobol brankas PT. X di Bank Fortis Singapura senilai US$ 3,1 juta

pada tanggal 13 November 2006. Modusnya dilakukan dengan cara

menjual produk minyak sawit mentah (Crude Palm Oil) keluaran PT. X ke

perusahaan afiliasi di luar negeri dengan harga di bawah harga pasar untuk

kemudian dijual kembali ke pembeli riil dengan harga tinggi. Dengan

begitu, beban pajak di dalam negeri bisa ditekan. Selain itu, ternyata

perusahaan-perusahaan luar negeri yang menjadi rekanan PT AA sebagian

adalah perusahaan fiktif. Kerugian negara akibat penggelapan pajak

tersebut diperkirakan kurang lebih sebesar Rp 1.300.000.000.000 (satu

triliun tiga milyar rupiah)7. Selain itu, PT. X juga melakukan tindak

pidana pencucian uang setelah mengecilkan laba perusahaan dalam negeri

7

(16)

agar terhindar dari beban pajak yang semestinya dengan cara mengalirkan

labanya ke luar negeri (Mauritius, Hongkong Macao, dan British Virgin

Island). Dengan membuat Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) kelompok

usaha PT. X kepada Ditjen Pajak telah direkayasa sehingga kondisinya

seolah merugi.8 Tindakan tersebut sangat berkaitan dengan kewenangan

direksi dimana direksi PT. X dalam kewenangannya sengaja ikut

membantu tindakan kejahatan penggelapan pajak diikuti pencucian uang

yang dilakukan oleh oknum-oknum yang ada didalam PT. X tersebut.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, seharusnya direksi dalam hal

ini sebagai organ dari korporasi mempunyai wewenang yang mana

tindakan dalam menjalankan fungsi sebagai direksi tidak sesuai dengan

wewenangnya sehingga direksi harus berakibat dari tindak kejahatan yang

dilakukan oleh korporasi tersebut. Dalam hal ini penulis tertarik membuat penelitian yang berjudul “PERTANGGUNG JAWABAN DIREKSI

SEBAGAI REPRESENTASI KORPORASI DALAM HAL TERJADI

TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN MODUS

PENGGELAPAN PAJAK DIKAITKAN DENGAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN

TERBATAS Juncto UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2010

TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERATASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG”

(17)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dikemukakan

identifikasi masalah antara lain :

1. Bagaimana kedudukan dan pertanggungjawaban hukum pidana

korporasi terkait tindak pidana pencucian uang dengan modus

penggelapan pajak ditinjau dari Undang-Undang Nomor. 40 Tahun

2007 Juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010?

2. Bagaimana pertanggungjawaban direksi sebagai representasi dari

korporasi dalam pertanggung jawaban mengelola korporasi terkait

tindak pidana pencucian uang dengan modus penggelapan pajak

ditinjau dari Undang Nomor. 40 Tahun 2007 Juncto

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010?

3. Bagaimana kendala yang dihadapi dalam menjerat korporasi dalam

tindak pidana pencucian uang dengan modus penggelapan pajak?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan identifikasi masalah diatas, maka tujuan penelitian

antara lain :

1. Untuk mengetahui kedudukan dan pertanggung jawaban Hukum

Pidana korporasi terkait tindak pidana pencucian uang dengan modus

penggelapan pajak ditinjau dari Undang-Undang Nomor. 40 Tahun

2007 Jouncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010Untuk

mengetahui kendala yang dihadapi dalam menjerat korporasi dalam

(18)

2. Untuk mengetahui pertanggung jawaban direksi sebagai representasi

dari korporasi dalam pertanggung jawaban mengelola korporasi terkait

tindak pidana pencucian uang dengan modus penggelapan pajak

ditinjau dari Undang-Undang Nomor. 40 Tahun 2007 Jouncto

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010;

3. Untuk mengetahui kendala yang dihadapi dalam menjerat korporasi

dalam tindak pidana pencucian uang dengan modus penggelapan

pajak.

D. Kegunaan Penelitian 1. Secara Teoritis

Kegunaan penulisan ini secara teoritis adalah memberikan

pemahaman sebagai bahan kajian lebih lanjut terhadap persoalan

dibidang pidana, khususnya tentang kejahatan yang dilakukan oleh

korporasi. Dapat digunakan sebagai literatur tambahan bagi yang

berminat untuk meneliti lebih lanjut tentang masalah yang akan

dibahas dalam penelitian ini.

2. Praktis

Kegunaan penulisan ini secara praktis adalah sebagai bahan

masukan bagi aparat penegak hukum dalam sistem peradilan di

Indonesia dalam menangani kasus yang dilakukan oleh korporasi

terlebih dalam hal ini kasus penggelapan pajak yang diikuti pencucian

(19)

E. Kerangka Pemikiran

Pengertian tanggung jawab menurut kamus besar bahasa Indonesia

adalah keadaan wajib apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan

dan dipersalahkan sebagai akibat sendiri atau pihak lain.9 Setelah bentuk dasar, kata “tanggung jawab” mendapat imbuhan awal “per” dan akhiran

“an” menjadi “pertanggung jawaban” yang berarti perbuatan bertanggung

jawab atas sesuatu yang dipertanggung jawabkan.10

Menelaah pengertian “tanggung jawab” sebagaimana rumusan di

atas merujuk kepada makna tanggung jawab dalam proses hukum, dimana

seseorang dapat dituntut, diperkarakan dan dipersalahkan dan kesiapan

menerima beban sebagai akibat dari sikap sendiri atau tindakan orang lain.

Jika dikaitkan dengan kata pertanggung jawaban, maka berarti kesiapan

untuk menanggung segala bentuk beban berupa dituntut, diperkarakan dan

dipersalahkan akibat dari sikap dan tindakan sendiri atau pihak lain yang

menimbulkan kerugian bagi pihak lain.

Setelah melakukan elaborasi teori pertanggung jawaban, Atmadja

menyimpulkan pengertian pertanggung jawaban sebagi suatu kebebasan

bertindak untuk melaksanakan tugas yang dibebankan, tetapi pada

akhirnya tidak dapat melaksanakan diri dari resultante kebebasan

bertindak, berupa penuntutan untuk melaksanakan secara layak apa yang

diwajibkan kepadanya. Pandangan tersebut bersesuaian dengan batasan

Esiklopedia Administrasi yang mendifinisikan responsibility sebagai

9 Hasan Almwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ketiga Jakarta; Balai Pustaka, 1991, hlm. 1139.

10

(20)

keharusan seseorang untuk melaksanakan secara layak apa yang telah

diwajibkan kepadanya.11

Mulyosudarmo membagi pengertian pertanggung jawaban dalam 2

(dua) aspek sebagai berikut :

a) “Aspek Internal yakni pertanggung jawaban yang diwujudkan dalam bentuk laporan pelaksanaan kekuasaan yang diberikan oleh pimpinan dalam suatu instansi.

b) Aspek Eksternal yakni pertanggung jawaban kepada pihak ketiga. Jika suatu tindakan menimbulkan kerugian kepada pihak lain atau dengan perkataan lain berupa tanggung jawab berupa gugatan atas kerugian kepada pihak lain atas tindakan jabatan yang diperbuat.”12

Roscoe Pound termasuk salah satu pakar yang banyak

menyumbangkan gagasannya tentang timbulnya pertanggung jawaban.

Melalui pendekatan analisis kritisnya, Roscoe Pound meyakini bahwa

timbulnya pertanggung jawaban karena suatu kewajiban atas kerugian

yang ditimbulkan terhadap pihak lain dan juga karena suatu kesalahan.13

Suatu konsep yang terkait dengan teori kewajiban hukum adalah

konsep tangggung jawab hukum (liability). Seseorang secara hukum

dikatakan bertanggung jawab untuk suatu perbuatan tertentu karena

seseorang tersebut dianggap melawan hukum dan dapat dikenakan sanksi.

Normalnya dalam kasus sanksi dikenakan karena perbuatannya sendiri

yang membuat orang tersebut harus bertanggung jawab. Menurut teori

tradisional terdapat 2 (dua) bentuk pertanggung jawaban hukum, yaitu

11

Sutarto, Enyclopedia Adminstrasi, MCMLXXVII, Jakarta, hlm. 291.

12 Suwoto Mulyosudarmo, Peralihan Kekuasaan; Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Pidato

Newaksara, Jakarta: Gramedia, 1997, hlm. 42.

13

(21)

berdasarkan kesalahan (based on faulth) dan pertanggung jawaban mutlak

(absolute responsibility).14

Tindak pidana adalah Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan

hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana

tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut15. Untuk

mengetahui adanya tindak pidana, maka pada umumnya dirumuskan

dalam peraturan perundang-undangan pidana tentang perbuatan-perbuatan

yang dilarang dan disertai dengan sanksi. Dalam rumusan tersebut

ditentukan beberapa unsur atau syarat yang menjadi ciri atau sifat khas

dari larangan tadi sehingga dengan jelas dapat dibedakan dari perbuatan

lain yang tidak dilarang. Perbuatan pidana menunjuk kepada sifat

perbuatannya saja, yaitu dapat dilarang dengan ancaman pidana kalau

dilanggar.

Menurut Moeljatno unsur-unsur perbuatan pidana16 :

a. “Perbuatan (manusia);

b. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil);

c. Bersifat melawan hukum (syarat materiil).”

Unsur-unsur tindak pidana menurut Moeljatno terdiri dari :

a. “Kelakuan dan akibat;

14 Lihat Hans Kelsen dalam Jimly Assidiqie dan M. Ali Syafaat, Teori Hans Kelsen tentang

Hukum, Sekjend Mahkmah Konstitusi: Jakarta, 2006, hlm. 65.

15

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2009,.hlm. 59 16

(22)

b. Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, yang

dibagi menjadi :

1) Unsur subyektif atau pribadi;

2) Unsur objektif.”

Selanjutnya Definisi Pertanggung jawaban Pidana adalah

Pertanggung jawaban dan pidana merupakan ungkapan-ungkapan yang

terdengar dan digunakan dalam percakapan sehari-hari, dalam moral,

agama dan hukum. Tiga hal ini berkaitan satu dengan yang lain,dan

berakar pada suatu keadan yang sama, yaitu adanya suatu pelanggaran

terhadap suatu pelanggaran terhadap suatu sistem aturan-aturan. Sistem

aturan itu dapat bersifat luas dan beraneka macam, kesamaan ketiganya

adalah meliputi suatu rangkaian aturan tentang bertingkah laku tertentu

dan sistem hukum itu berlaku atas perbuatan tersebut, persoalan

pertanggung jawab pidana termasuk dalam persoalan keadilan.

Alf Ross, pernah mengemukakan pendapatnya sekitar apakah yang

dimaksud dengan seseorang yang bertanggung jawab atas perbuatannya.

Penegasan tentang pertanggung jawaban pidana dinyatakan dengan adanya

suatu hubungan antara kenyataan- kenyataan yang menjadi syarat dan

akibat hukum yang diisyaratkan. Hubungan antara keduanya itu bersifat

kodrat atau tidak bersifat kausal, melainkan diadakan suatu aturan hukum.

Jadi, pertanggung jawaban itu adalah pernyataan dari suatu keputusan

hukum. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancam

(23)

melakukan perbuatan itu dia mempunyai kesalahan, sebab azas dalam

pertanggung jawaban dalam hukum pidana ialah: tidak dipidana jika tidak

ada kesalahan (Geen staf zonderschuld; Actus non facit reum mens rea). 17

Mezger menerangkan bahwa kesalahan adalah syarat – syarat yang

berdasarkan celaan (peronlijk) terhadap orang yang melakukan perbuatan. Sedangkan yang dirumuskan Simons bahwa: “ kesalahan adalah suatu

keadaan psychis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan

pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut yang dilakukan

sedemikian rupa, hingga orang itu dapat dicela karena perbuatan tadi. A.

A. G. Peters (dalam bukunya Opzet en Sculd in het Strafrecht,Deventer

1996). Kesalahan dikemukakan sebagai suatu kesalahan instrumental yang

dikaitkan dalam pertanggung jawaban pidana.18

Berkorelasi dengan perkembangan konsep korporasi sebagai

subjek tindak pidana, dapat dikemukakan bahwa dalam ketentuan umum

KUHP Indonesia yang digunakan saat ini, Indonesia masih menganut

bahwa suatu delik hanya dapat dilakukan oleh manusia. Sedangkan fiksi

badan hukum (rechtpersoon) yang dipengaruhi pemikiran Von Savigny

yang terkenal dengan teori fiksi (fiction theory) tidak diakui dalam hukum

pidana. Sebab, pemerintah Belanda pada waktu itu tidak bersedia

mengadopsi ajaran hukum perdata ke dalam hukum pidana.19

17

Moljatno, Hukum Pidana II ,Jakarta: Rineka Cipta, 1995, hlm. 153.

18Roeslan Saleh, Pikiran pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982, hlm. 33.

19

Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia

(24)

Selain itu ada juga teori pertanggung jawaban direksi dalam

korporasi yaitu Fiduciary Duty. Teori fiduciary duty adalah suatu

kewajiban yang ditetapkan undang-undang bagi seseorang yang

memanfaatkan seseorang lain, dimana kepentingan pribadi seseorang yang

diurus oleh pribadi lainnya, yang sifatnya hanya hubungan atasan-bawahan

sesaat. Orang yang mempunyai kewajiban ini harus melaksanakannya

berdasarkan suatu standar dari kewajiban (standard of duty) yang paling

tinggi sesuai dengan yang dinyatakan oleh hukum. Sedangkan fiduciary ini

adalah seseorang yang memegang peran sebagai suatu wakil (trustee) atau

suatu peran yang disamakan dengan sesuatu yang berperan sebagai

wakil, dalam hal ini peran tersebut didasarkan kepercayaan dan

kerahasiaan (trust and confidence) yang dalam peran ini meliputi,

ketelitian (scrupulous), itikad baik (good faith), dan keterusterangan

(candor). Fiduciary ini termasuk hubungan seperti, pengurus atau

pengelola, pengawas, wakil atau wali, dan pelindung (guardian).

termasuk juga di dalamnya seorang lawyer yang mempunyai hubungan

fiduciary dengan client-nya.20

Doktrin atau prinsip fiduciary duty ini diatur dalam

Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Menurut Pasal

1 angka (5) Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas pengurusan PT dipercayakan kepada Direksi Lebih jelasnya Pasal

92 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

20Henry Campbell Black , Black’s Law Dictionar

(25)

menyatakan, bahwa Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan

perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili

perseroan baik di dalam maupun di luar pengadi.lan. sedangkan Pasal 97

ayat (5) Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas menetapkan bahwa setiap anggota Direksi wajib dengan itikad

baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan

usaha Perseroan. Pelanggaran terhadap hal ini dapat menyebabkan Direksi

bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan

bersalah atau lalai menjalankan tugasnya tersebut. Teori ini akan

digunakan untuk mengkaji pertanggung jawaban direksi sebagai korporasi

terkait kejahatan penggelapan pajak yang diikuti pencucian uang.

Jika dihubungkan dengan identification theory dalam wacana

common law sebagaimana telah diuraikan diatas, maka kesalahan yang

dilakukan oleh anggota direksi atau pejabat korporasi lainnya hanya dapat

dibebankan pada korporasi jika memenuhi syarat sebagai berikut21:

a. Tindakan yang dilakukan oleh mereka berada dalam batas tugas

atau instruksi yang diberikan pada mereka;

b. Bukan merupakan penipuan yang dilakukan untuk perusahaan;

c. Dimaksudkan untuk menghasilkan atau mendatangkan

keuntungan bagi korporasi.

21

(26)

Dengan kata lain, jika salah satu syarat ini tidak dipenuhi, maka

kesalahan tersebut tidak dapat dipikul oleh korporasi, namun harus dipikul

secara pribadi oleh organ korporasi yang melakukan tindakan tersebut.

F. Metode Penelitian

Dalam penelitian untuk menyusun karya ilmiah ini, penulis

menggunakan metode penelitian yuridis normatif yaitu metode pendekatan

yang menyatakan bahwa hukum adalah identik dengan norma-norma

tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga-lembaga atau pejabat

yang berwenang. Selain itu konsep ini juga memandang hukum sebagai

sistem normatif yang bersifat otonom, tertutup dan terlepas dari kehidupan

masyarakat22. Berkaitan dengan metode tersebut, dilakukan pengkajian

secara logis terhadap prinsip dan ketentuan hukum yang berkaitan dengan

pertanggung jawaban korporasi dalam hal ini direksi terhadap tindak

pidana penggelapan pajak diikuti dengan pencucian uang. Penyusun karya

ilmiah ini menggunakan sifat, pendekatan, jenis data teknik pengumpulan

data dan analisis data sebagai berikut:

1. Sifat Penelitian

Penelitian ini juga menggunakan tipe Deskriptif Analitis

yaitu penelitian yang disamping memberikan gambaran,

menuliskan dan melaporkan suatu obyek atau suatu peristiwa

juga akan mengambil kesimpulan umum dari masalah yang

22

(27)

dibahas23. Penelitian ini melakukan analisis dengan

menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematis sehingga

dapat lebih mudah untuk dipahami dan disimpulkan.24 Tujuan

penelitian deskriptif adalah membuat penjelasan secara

sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan

sifat-sifat populasi tertentu. Dalam penelitian ini, penulis akan

menggambarkan pertanggung jawaban direksi terhadap

kejahatan yang dilakukan oleh korporasi menurut hukum di

Indonesia ke dalam bentuk fakta yang seakurat mungkin untuk

kemudian dianalisis menggunakan hukum primer, sekunder,

dan tersier.

2. Pendekatan Penelitian

Metode penelitian dalam sebuah penelitian mempunyai

perananan yang sangat penting karena dapat dipergunakan

sebagai pedoman guna mempermudah dalam mempelajari,

menganalisa dan memahami permasalahan yang sedang diteliti.

Metode pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan

Perundang-Undangan (Statute Approach)25, Pendekatan Kasus

(Case Approach)26 dan Pendekatan Konseptual (Conceptual

23 Ibid.

24 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Grafindo, 2006, hlm 10

25 Johny Ibrahim, Pendekatan ekonomi Terhadap Hukum, Surabaya: Putra Media Nusantara dan ITS Press, 2009, hlm. 302-303

26

(28)

Approach)27 dengan tujuan mendekatkan kepada gambaran masalah serta mempermudah dalam analis penyelesaian

masalah menjadi komprehensif dan akurat. Pendekatan

perundang-undangan digunakan berkenanan dengan peraturan

hukum yang mengatur pertanggung jawaban direksi terhadap

tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi yaitu penggelapan

pajak diikuti pencucian uang. Kemudian pendekatan kasus

digunakaan untuk menelaah kasus-kasus yang relevan,

termasuk didalamnya kasus penggelapan PT. Asian Agri terkait

dengan isu hukum yang dihadapi, dan pendekataan konseptual

untuk menelaah konsep-konsep yang berkaitan dengan

teori-teori pertanggung jawaban seseorang atau lebih direksi dalam

korporasi.

3. Jenis Data

Sumber data dari penelitian ini dikumpulkan dengan cara

mempergunakan data sekunder, yaitu data dikumpulkan dari

tangan kedua atau dari sumber-sumber lain yang telah tersedia

sebelum penelitian dilakukan. Sumber sekunder meliputi

komentar, interpretasi, atau pembahasann tentang materi

original.28

27

Ibid hlm. 177 28

(29)

4. Teknik Pengumpulan Data dan Analisis Data

a. Teknik Pengumpulan Data

Data sekunder diperoleh dengan cara studi

kepustakan. Studi kepustakaan dilakukan untuk mencari

konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat yang

berkenaan dengan permasalahan yang diteliti. Berkenaan

dengan metode yuridids normatif yang digukanan dalam

penulisan skripsi ini maka penulis melakukan penelitian

dengan memakai studi kepustakaan yang merupakan data

sekunder yang berasal dari literatur, dengan bahan-bahan

hukum sebagai berikut :

1) Bahan hukum primer adalah bahan-bahan yang

bersumber dari peraturan perundang-undangan

ataupun putusan hakim yang ada kaitannya dengan

hukum yang akan diteliti29. Terdiri dari peraturan

perundang-undangan yang terkait dengan

permasalahan yang akan diangkat, seperti

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 (UUD 1945), Undang-Undang No. 40 Tahun

2007 tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang

No. 16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan

Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang Nomor 8

29

(30)

tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian

Uang, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP), KUHAP, RKUHP dan Putusan

Pengadilan;

2) Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang

bersumber dari pendapat ilmiah para sarjana dan

buku-buku literature yang mempelajari suatu

bidang tertentu secara khusus yang akan

memberikan petunjuk kemana penelitian akan

mengarah30. Dalam penulisan ini, seperti: hasil

karya dari kalangan hukum yang berupa buku-buku

teks tentang hukum, pendapat dari media massa,

jurnal dan sebagainya; dan

3) Bahan hukum tersier adalah yaitu data ataupun

bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder, yang dapat diperoleh dari kamus,

ensiklopedia, dan sebagainya31.

b. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yaitu pengolahan, analisis dan

kontruksi data yang diperoleh dari studi literatur atau

30 Ibid, hlm. 195. 31

(31)

dokumen. Teknik analisis terhadap data yang ada

menggunakan pendekataan kualitatif, yaitu dengan

melakukan penemuan konsep-konsep yang terkandung di

dalam bahan-bahan hukum dengan cara memberikan

intergretasi terhadap bahan-bahan hukum tersebut,

mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan

yang berkaitan, menentukan hubungan di antara berbagai

peraturan, serta yang berkaitan dengan pertanggung

jawaban direksi.

G. Sistematika Penulisan

Hasil penulisan ini disusun unuk membahas dan menguraikan

masalah yang terdiri dari 5 (lima) Bab, dimana diantara bab yang satu

dengan bab yang lainya saling berkaitan dan merupakan satu kesatuan dan

tidak terpisahkan, secara ringkas disusun dengan sistematika sebagai

berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini berisi uraian Latar Belakang Masalah, Identifikasi

Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Kerangka Pemikiran,

(32)

BAB II: KORPORASI SEBAGAI PEMEGANG HAK DAN

KEWAJIBAN DAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN MODUS PENGGELAPAN PAJAK

Dalam bab ini, dipaparkan aspek yang terkait dengan pertanggung

jawaban korporasi. Paparan akan dimulai dari pembahasan mengenai

sejarah dan pengertian korporasi sebagai subjek hukum pidana, kemudian

pemaparan mengenai direksi sebagai representasi korporasi dan terakhir

mengenai pengertian tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana

penggelapan pajak.

BAB III : PERTANGGUNG JAWABAN DIREKSI SEBAGAI REPRESENTASI KORPORASI

Dalam bab ini, dipaparkan tentang kedudukan dan pertanggung

jawaban pidana korporasi yaitu mengenai masalah pertanggung jawaban

korporasi dalam hukum pidana, pengaruh asas tiada pidana tanpa

kesalahan, korporasi sebagai pelaku tindak pidana, undang-undang yang

mengatur mengenai pertanggung jawabkan pidana terhadap korporasi.

Kemudian memaparkan mengenai kedudukan dan pertanggung jawaban

pidana direksi sebagai representasi korporasi yang terdiri dari direksi

sebagai pelaku, pertanggung jawaban pidana terhadap direksi. Terakhir

memaparkan mengenai sanksi terhadap korporasi dalam Hukum Pidana,

(33)

BAB IV : ANALISIS TERHADAP DIFERENSIASI KORPORASI

DAN DIREKSI SEBAGAI PELAKU DAN KENDALA DALAM MENJERAT KORPORASI

Bagian ini berisikan analisa terhadap identifikasi masalah yaitu

pertama akan memaparkan mengenai diferensiasi korporasi dan direksi

sebagai pelaku terkait tindak pidana pencucian uang dengan modus

penggelapan pajak ditinjau dari Undang-Undang Nomor. 40 Tahun 2007

Jouncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 yang terdiri dari

kronologis kasus tindak pidana pencucian uang dengan modus

penggelapan pajak yang dilakukan oleh PT. X, kedudukan dan

pertanggungjawaban hukum pidana korporasi terkait tindak pidana

pencucian uang dengan modus penggelapan pajak, dan

pertanggungjawaban direksi sebagai representasi dari korporasi dalam

pertanggung jawaban mengelola korporasi terkait tindak pidana pencucian

uang dengan modus penggelapan pajak. Kemudian selanjutnya

memaparkan mengenai Kendala-kendala yang dihadapi untuk menjerat

korporasi dalam tindak pidana pencucian uang dengan modus penggelapan

pajak.

BAB V : PENUTUP

Bagian ini berisikan kesimpulan dan saran, kesimpulan merupakan

jawaban dari indentifikasi masalah, sedangkan saran merupakan usulan

yang operasional, konkret, dan praktis serta merupakan kesinambungan

(34)

140 BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian pembahasan diatas mengenai permasalahan

pertanggungjawaban korporasi, juga pertanggungjawaban direksi sebagai

representasi korporasi dan kendala-kendala yang dihadapi dalam menjerat

korporasi terkait tindak pidana pencucian uang dengan modus penggelapan

pajak, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Kedudukan dan pertanggungjawaban hukum pidana korporasi terkait

tindak pidana pencucian uang dengan modus penggelapan pajak diatur

diluar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut

KUHP) yaitu dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang

Pencegahan dan Pemberatasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi tersebut diperkuat

dengan adanya beberapa teori yaitu Doctrine of strict liability atau

doktrin pertanggungjawaban dimana unsur kesalahan bukan unsur

mutlak. Doktrin ini pada dasarnya dapat diterapkan kepada korporasi

atas tindak pidana yang dilakukannya membawa bahaya untuk

kepentingan masyarakat umum dan bersifat luar biasa. Korporasi dapat

memenuhi unsur-unsur kesalahan bila kesengajaan atau kelalaian

terdapat pada orang-orang yang menjadi alat korporasi tersebut.

Berdasarkan identification theory, korporasi dapat dibebankan

(35)

entitas yang dapat berbuat sendiri. Hal ini dapat dilakukan dengan

mengidentifikasi organ-organ mana dalam korporasi yang melakukan

tindak pidana. Faktor-faktor yang diperlukan untuk dapat menuntut

pertanggungjawaban pidana kepada koporasi adalah adanya directing

mind. Selain directing mind unsur lainnya adalah korporasi memberikan

wewenang kepada direksi dan direksi melakukan hal tersebut, tidak ada

fraud (penipuan yang dilakukan direksi) dan tindakan tersebut

memberikan keuntungan kepada korporasi. Berdasarkan Doctrine of

delegation, unsur untuk membebankan pertanggungjawaban kepada

korporasi menurut doktrin ini adalah adanya pendelegasian wewenang

dari seseorang kepada orang lain untuk melaksanakan kewenangan

yang dimilikinya. Dan Doctrine of Aggregation, unsur untuk

membebankan pertanggungjawaban kepada korporasi menurut doktrin

ini adalah adanya kesalahan sejumlah orang secara kolektif. Artinya

orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama korporasi. Selain

doktrin mengenai pertanggungjawaban korporasi diatur juga di dalam

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberatasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyebutkan bahwa

dalam hal tindak pidana pencucian uang sebagaimana yang dimaksud

Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 dilakukan oleh korporasi, pidana dijatuhkan

terhadap korporasi dan/atau personil pengendali korporasi dan pidana

dijatuhkan terhadap korporasi apabila tindak pidana pencucian uang

(36)

dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan koporasi,

dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah,

dan dilakukan dengan maksud dan fungsi pelaku atau pemberi perintah.

2. Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang

Perseroan Terbatas yang mendefinsikan direksi sebagai organ perseroan

yang berwenang dan bertanggungjawab penuh atas pengurusan

perseroan untuk kepentingan perseroan sesuai dengan maksud dan

tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di

luar pengadilan sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar. Setelah

menganalisis kasus terkait dengan penelitian ini kepada direksi dapat

diminta pertanggungjawaban pidana berdasarkan prinsip fiduciary

duties dan duty to skill and care. Berdasarkan doktrin ini, direksi dalam

menjalankan kepengurusan mempunyai duty of care dan duti of loyality

terhadap korporasi. Doktrin duty of care mewajibkan direksi dan organ

lainya untuk berperilaku hati-hati. Tanggung jawab berdasarkan prinsip

ultra vires. Prinsip ultra vires ini mengatur akibat hukum bilamana ada

tindakan direksi untuk dan atas nama korporasi, dan tindak tersebut

melampaui kewenangan sehingga menimbulkan tindak pidana yang

diatur oleh anggaran dasar korporasi dan perundang-undangan yang

terkait, maka direksi dapat dibebankan pertanggungjawaban atas

tindakan tersebut. Tanggung jawab berdasarkan prinsip piercieng the

corporate veil. Direksi dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana

(37)

didapatkan suatu ketidakadilan terjadinya dari dominasi pemegang

saham yang berlebihan dan korporasi merupakan alter ego dari

pemegang saham mayoritas tersebut. Doktrin Business Judgment Rule

atau doktrin putusan bisnis mengatur mengenai kewenangan direksi.

Doktrin tersebut mengharuskan adanya syarat bahwa putusan yang

diberikan direksi sesuai dengan hukum yang berlaku, direksi melakukan

tugasnya dengan itikad baik, direksi membuat keputusan dengan tujuan

yang benar, tujuan tersebut mempunyai dasar-dasar yang rasional,

dilakukan dengan kehati-hatian, dan direksi melakukan tugasnya

dengan secara layak dipercayai sebagai yang terbaik bagi korporasi.

Selain melihat dari teori yang dijelaskan tersebut, pertanggungjawaban

direksi juga secara tegas diatur didalam pasal Pasal 3 Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberatasan Tindak

Pidana Pencucian Uang, sehingga direksi PT. X tersebut dapat

dibebankan pertanggungjawaban hukum secara pidana.

3. Tindak pidana pencucian uang dengan modus penggelapan pajak

merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang dengan

intelegasi tinggi, sehingga tidak mudah untuk memberantas tindak

pidana tersebut. Oleh karena kendala tindak pidana pencucian uang

yang rumit untuk dibuktikan, pertanggungjawaban dalam UU PT tidak

mengatur pertanggungjawaban korporasi, dan pembuktian yang sulit

bahwa pelaku tindak pidana penggelapan pajak yang dilakukan

(38)

B. SARAN

Adapun saran yang penulis sampaikan dalam penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk Akademisi

Diharapkan bagi kalangan akademis untuk memberikan

sumbangsih atau pemikirannya bagaimana seharusnya

pertanggungjawaban korporasi dan pertanggungjawaban direksi diatur

lebih jelas sehingga korporasi dan direksi dapat dibebankan

tanggungjawab.

2. Untuk pemerintah

Diharapkan bagi aparat penegak hukum untuk mengatur lebih

konkrit tentang bagaimana korporasi bisa dipidana sehingga

pemaparan mengenai pengaturan pertanggungjawaban korporasi dan

pengaturan pertanggungjawaban direksi dapat lebih jelas. Selain itu

diharapkan juga bagi aparat penegak hukum untuk lebih mempertegas

penerapan aturan dan sanksi pidananya.

3. Untuk Masyarakat Umum

(39)

Nama : Prika Susrawita Siregar

Tempat dan Tanggal Lahir : Tapanuli Utara, 14 Juni 1992

Alamat : Jalan Teluk Jambe Nomor 32 RT 06/ RW 02,

Kelurahan Kadipaten, Kecamatan Kadipaten, Kabupaten Majalengka.

Nomor handphone : 081321037805

E-mail : prikasiregar@ymail.com

Riwayat Pendidikan :

1. SDN 4 Kadipaten (1999-2004)

2. SMPN I Kadipaten (2004-2007)

3. SMAN 2 Majalengka (2007-2010)

4. Fakultas Fisip Universitas Majalengka (2010/tidak tamat) 5. Fakultas Hukum Universitas Kristen Maranatha (2011-2015)

Pengalaman :

(40)

A. Buku

A. Abdurachman, Ensiklopedia Ekonomi Keuangan dan Perdagangan, (Inggris-Indonesia 1965), Jilid I, Jakarta, Yayasan Prapancha, 2006

Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, Jakarta, Sinar Grafika, 2011

BPHN, KUHP, Jakarta, Sinar Harapan, 1988

Corrot dan Desdemona, The Encyclopedia Americana International Edition, Vol. 8, New York, Americana Corporation, 1974

D. Schaffmeister, Het Daderschap van de Rechtspersoon, Bahan Penataraan Nasional Hukum Pidana Angkatan 1, tanggal 6-28 Agustus 1987, Semarang: FH-UNDIP,1987, hlm. 10-11.

Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI Disusun Menurut Sistem

Engelbrecht, Jakarta, Ichtiar Baru van Hoeve, 1989, hlm. 2010.

Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia (strictliability dan vicarius liability), Jakarta, Raja Grafindo

Persada, 1996

Hasan Almwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ketiga Jakarta, Balai Pustaka, 1991

Henry Campbell Black , Black’s Law Dictionary

Jimly Assidiqie dan M. Ali Syafaat, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Sekjend Mahkmah Konstitusi, Jakarta, 2006

(41)

Marrdjono Reksodiputro, Tinjauan Terhadap Perkembangan Delik-delik Khusus dalam Masyarakat yang Mengalami Modernisasi, Kertas Kerja

pada Seminar Perkembangan Delik-delik Khusus Dalam Masyarakat yang Mengalami Modernisasi, di FH-UNAIR, Bandung, Bianacipta, 1982

Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2010

Mohammad Radjab, Pengantar Filsafat Hukum, Diterjemahkan dari buku Roscoe Pound, Jakarta, Bhratara Karya Aksara

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 2009

Moljatno, Hukum Pidana II ,Jakarta, Rineka Cipta, 1995

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006

Roeslan Saleh, Pikiran – pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1982

Rony Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1988

Ronny Hanitijo Soemitro, Metedologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta, Ghalia Indonesia. 1994

(42)

Susno Duaji, Selayang Pandang dan Kejahatan Asal, Bandung, Books Trade Center, 2009

Sutarto, Enyclopedia Adminstrasi, MCMLXXVII, Jakarta

Suwoto Mulyosudarmo, Peralihan Kekuasaan; Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Pidato Newaksara, Jakarta, Gramedia, 1997

Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial,Bandung, Replika Aditama, 2009

Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, Hukum Pajak, Jakarta, Salemba Empat, 2010

B. Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2012

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

(43)

Januari 2015

Bismar Nasution, Pertanggungjawaban Direksi Dalam Pengelolaan Perseroan, disampaikan pada Seminar Nasional sehari dalam Rangka Menciptakan Good Corporate Governance pada Sistem Pengelolaan dan Pembinaan PT (Persero) BUMN “Optimalisasi Sistem Pengelolaan, Pengawasan, Pembinaan dan Pertanggungjawaban Keberadaan PT (Pesero)

Dilingkungan BUMN Ditinjau Dari Aspek Hukum Dan Transparansi”

diselenggarakan oleh Inti Sarana Informatika, Hotel Borobudur Jakarta, Kamis, 8 Maret 2007

Referensi

Dokumen terkait

Lapisan batuan ketiga yang memiliki nilai resistivitas terendah diduga sebagai pasir yang tersaturasi air tanah dengan nilai rsistivitas yang didapat sebesar 1,54

Tujuan nikah umumnya bergantung pada masing-masing individu yang akan melakukannya karena lebih bersifat subjektif. Namun demikian, ada juga tujuan umum yang

Berdasarkan latar belakang tersebut maka akan dilakukan kajian pengembangan TPST Edelweiss dari skala sampah pasar menjadi skala kawasan khususnya di Kecamatan Pontianak

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, 1 strategi yang digunakan guru PAI dalam menanamkan 9 nilai Isam rahmatan lil alamin dilakukan dengan beberapa cara, yaitu memberikan

Penelitian ini memiliki tujuan mendeskripsikan potensi yang dimiliki Kabupaten Rokan Hulu, yang mampu mendukung dalam pengembangan ekowisata, serta upaya yang dilakukan

antara lain: (1) memberikan tanggung jawab secara penuh kepada guru yang diimbangi dengan kewenangan dalam melaksanakan tugas sesuai dengan tugas pokok sebagai

Audit laporan keuangan dilakukan untuk menentukan apakah laporan keuangan telah dinyatakan sesuai dengan kriteria tertentu dan pihak yang bertanggung jawab dalam mengaudit laporan

Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas profesional guru sains adalah: studi lanjut; in-service training; memberdayakan musyawarah guru mata pelajaran