• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini mengeksplorasi secara teoretis mengenai sosiologi agama dan dilema identitas yang terjadi dalam masyarakat Toraja. Dilema secara umum membahas tentang dualisme dalam pernyataan sikap individu yang menjadi bagian dari masyarakat. Identitas akan membahas terkait jati diri yang dinyatakan melalui praktik kebudayaan oleh kelompok masyarakat. Pemahaman mengenai sosiologi agama membahas keberadaan agama dalam kehidupan sosial masyarakat. Maka dalam bab ini, terdapat tiga bagian yang menjadi fokus pembahasan yaitu konsep identitas, kebudayaan dalam masyarakat, dan sosiologi agama.

2.1 Identitas

Identitas dalam bahasa Inggris disebut identity yang secara harfiah memiliki pengertian sebagai ciri, tanda atau jati diri yang melekat pada seseorang, kelompok atau sesuatu sehingga membedakan dengan yang lain.29 Identitas menurut Stella Ting Toomey merupakan refleksi diri atau cerminan diri yang berasal dari keluarga, gender, budaya, etnis dan proses sosialisasi.30 Identitas pada dasarnya merujuk pada refleksi diri kita sendiri dan persepsi orang lain terhadap diri kita. Identitas merupakan sesuatu yang

29 I Wayan Latra, Identitas Nasional sebagai salah satu Determinan dalam Pembangunan Bangsa dan Karakter, (Denpasar: UPT Pembangunan dan Pendidikan Karakter Universitas Udayana:, 2017), 3

30 Stella Ting Toomey, Identity Negotiation Theory, Sage Encyclopedia of Intercultural Competence, Volume 1: 2012, 418-422

(2)

16

penting bagi individu dalam keberadaannya di tengah masyarakat. Individu merupakan gabungan antara unsur hereditas dan lingkungan yang membentuk minat, cara berpikir, persepsi serta cara bertindak. Identitas individu tersusun dari berbagai konteks yang meliputi kepribadiannya.31 Beberapa faktor yang mempengaruhi kepribadian individu adalah lingkungan keluarga, lingkungan institutional, dan lingkungan masyarakat.

Individu dalam lingkungan masyarakat akan diatur sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang dibentuk oleh masyarakat itu sendiri sehingga setiap individu akan berusaha untuk menyesuaikan sikap serta tingkah laku sesuai dengan kebudayaan yang ada. Seturut dengan hal itu maka identitas bukan hanya persoalan individual, melainkan juga merupakan sesuatu yang bersifat sosial. Bagian ini akan mengarah pada individu yang memiliki identitas pribadi, dan tentunya tidak dapat melepaskan diri dari identitas sosial.

Fungsi dari identitas sosial adalah untuk mengkategorikan diri pada satu komunitas tertentu sehingga dengannya akan mengkategorikan orang lain.32

Identitas sosial itu pada dasarnya adalah pemahaman seseorang bahwa dirinya menjadi bagian dari sebuah kategori sosial atau kelompok.33 Melalui pemahaman mengenai identitas sosial ini maka individu dalam satu kelompok akan merasa memiliki keterkaitan dengan kelompoknya yaitu masyarakat. Pemahaman ini akan mempengaruhi cara pandang dan wujud tindakan individu. Perbedaan rasa keterkaitan menjadi

31 Dadan Iskandar, Identitas Budaya dalam Komunikasi Antar-Budaya: Kasus Etnik Madura dan Etnik Dayak, Jurnal Masyarakat dan Budaya, Vol 6 No 2, 2004: 126-128.

32 Rama Tulus Pilakoannu, Agama Sebagai Identitas Sosial, (Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana, 2010), vi.

33 Rama Tulus Pilakoannu, Agama sebagai Idetitas Sosial, 43

(3)

17

kemungkinan terjadinya proses pengungkapan identitas yang berbeda-beda pula. Identitas berkaitan dengan identifikasi yang menganalisis diri sendiri dan masyarakat tentang pemaknaan melalui interaksi, komunikasi, lingkungan sosial, dan segalanya timbal balik.

Setiap individu memiliki beragam posisi yang berbeda dalam masyarakat sehingga ia akan tampil dengan berbagai peran, tetapi merupakan suatu kesatuan dalam masyarakat.

Identitas adalah sebuah pemaknaan atau penghayatan atas peran atau cara menunjukkan posisi dalam berbagai hal berbeda yang dipegang dalam masyarakat.34

Richard Jenkins dalam tulisannya mengenai Social Identity menjelaskan bahwa apapun identitas dalam diri individu maka dapat dipastikan identitas tersebut akan menyebabkan tindakan individu itu.35 Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan proses pemaknaan yang muncul dalam dirinya. Makna tersebut dicerna dan disempurnakan saat proses interaksi sosial berlangsung untuk memperoleh idenitas.

Individu membangun identitas dirinya berdasarkan konsep dan gambaran dirinya sendiri sekaligus membangun identitas kolektif dari proses pemaknaan dari peran sosial yang dialaminya. Berbagai makna yang dibentuk mengiringi tindakan yang terkait pada konstruksi sosial. Makna yang dikonstruksikan secara sosial adalah tindakan yang dibangun berdasarkan komunikasi dan interaksi antarindividu. Konstruksi dapat ditentukan secara sadar maupun tidak sadar oleh masing-masing individu, yang kemudian diturunkan dari generasi ke generasi.

34 Jan E. Stets and Peter J. Burke, A Sociological Approach to Self and Identity, (Washington State University: Department of Sociology,2003), 8.

35 Richard Jenkins, Social Identity, (Milton Park, England: Routledge Publisher, 2008)

(4)

18 2.2 Dilema Identitas

Dilema idenititas terdiri dari gabungan kata dilema dan identitas. Identitas berasal dari bahasa latin “idem” yang mengacu pada karakter khusus individu, anggota kelompok atau kategori sosial tertentu.36 Dilema menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti situasi yang mengharuskan orang menentukan pilihan antara dua kemungkinan.37 Dilema menunjuk pada situasi yang membingungkan dalam memutuskan suatu pilihan, sedangkan identitas berarti tanda atau jati diri yang melekat pada seseorang. Melalui pengertian ini maka dilema identitas dapat dikatakan sebagai situasi dilema dalam proses menentukan identitas yang menandakan jati diri. Keberadaan dan aktivitas manusia dapat menunjukkan jati diri atau identitasnya. Identitas dalam diri manusia bisa saja tidak hanya satu, manusia itu sendiri dapat membentuk berbagai identitas dari dalam dirinya dan pola kelakuannya. James M. Jasper dan Aidan Mcgarry dalam bukunya yang berjudul The Identity Dilema: Social Movements and Collective Identity menulis bahwa individu dapat

memiliki identitas kolektif yang berfungsi sebagai sumber daya penggerak yang bermanfaat dan diperlukan dalam menggerakkan kelompok atau individu tertentu.38 Melalui identitas kolektif, individu atau kelompok dapat memahami dirinya sendiri dan dunia di sekitarnya dalam tindakannya sehari-hari.

36 Satrio H. Wicaksono dan N. Akbar Zuhri, Analisa Politik Identitas dalam Karya Potret Diri Agus Suwage dengan Pendekatan Semiotika, Jurnal Seni Rupa dan Desain Institut Seni Yogyakarta, Vol. 23 No. 1, 2020, 30

37 Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, diakses melalui https://kbbi.web.id/ pada April 2021

38 James M. Jasper and Aidan Mcgarry, The Identity Dilemma: Social Movements and Collective Identity,(Philadelpia: Temple University Press, 2015), 2

(5)

19

Manuel Castells memfokuskan kajian identitasnya dalam konteks masyarakat yang memiliki identitas kolektif (collective identities). Castells meyakini bahwa identitas yang ada di dalam masyarakat mengalami pemaknaan secara individu setelah mengalami proses konstruksi diri.39 Menurut Manuel Castells ada 3 konsep identitas yaitu 1) Legitimizing identity berarti membentuk idenititas dari sebuah institusi yang dominan.

Institusi yang dimaksud dapat berupa keberadaan kelompok masyarakat adat, gereja, konstitusi, ataupun berbagai lembaga. Individu dapat membentuk identitasnya melalui kontribusi, partisipasi, serta posisi atau jabatannya dalam suatu institusi tersebut. 2) Resistance identity merupakan bentuk perlawanan dari legitimizing identity yang menjadi

proses pertahanan untuk melawan keberadaan institusi yang lebih dominan. Misalnya individu lebih cenderung memilih keterlibatan dengan suatu institusi maka resistance identity akan muncul sebagai identitas yang berasal dari proses perlawanan terhadap

logika berpikir kaum dominan dan pertahanan oleh institusi lainnya. 3.) Project identity membentuk identitasnya menurut cara individu mendefinisikan struktur sosial yang kemudian mengkreasikan sebuah perilaku kolektif. Bagi individu tertentu terdapat pluralitas identitas yang saling berkontradiksi dalam representasi diri sendiri maupun keberadaan sosial. Peran individu ditentukan oleh norma-norma yang disusun dalam kelompok sosial dan cara menerapkan ajaran atau dogma suatu institusi di mana individu tersebut berpartisipasi.

39 Manuel Castells, The Power of Identity, (New Jersey United States: Wiley- Blackwell Publishing, 2010), xxvi.

(6)

20

Keterikatan individu dalam suatu kelompok secara tidak langsung akan mempengaruhi persepsinya terhadap dirinya sendiri dan kelompok lain termasuk terhadap institusi keagaaman. Menurut Tajfel dan Turner manusia mempunyai kecenderungan untuk membuat kategorisasi sosial atau mengklasifikasikan individu-individu dalam kategori atau bagian-bagian tertentu. Agama dan institusi tidak boleh mengalami stagnasi dan harus terus menjadi cair untuk mencari kebenaran bukan sibuk melakukan kebenaran dalam aras kekristenan.40 Kebudayaan yang terkandung dalam adat istiadat pun harus terus dijalankan demi mewujudkan kelestarian masyarakat berbudaya. Dengan demikian, identitas dalam inkarnasinya saat ini memiliki arti ganda yang dapat menghasilkan dilema. Individu dapat menggunakan "identitas" untuk merujuk pada karakteristik pribadi sekaligus mencerminkan kategori sosial secara implisit.41

2.3 Kebudayaan

Secara etimologi kata kebudayaan berasal dari akar kata budaya yang berasal dari bahasa sansekerta. Budaya berasal dari kata tunggal Buddhi, sehingga kata jamaknya menjadi buddhayah yang diartikan sebagai budi, atau akal, atau akal budi atau pikiran.

Setelah mendapat awalan ke- dan akhiran –an menjadi kebudayaan, pada akhirnya kebudayaan didefinisikan menjadi hal ihwal tentang alam pikiran manusia.42 Menurut Tylor, kebudayaan adalah kumpulan dari pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral,

40 Jimmy M. Sormin, Masyarakat Adat: Pengakuan kembali, Identitas, dan Keindonesiaan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2019), 15

41 James D. Fearon, What is Identity (As We now use the word?), (Stanford University: Department of Political Science, 1999), 2

42 Wilda Bayuningsih, Bousouzoku sebagai Bentuk Youth Subculture, (Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2009), 16

(7)

21

adat istiadat, dan setiap kemampuan lain atau kebiasaan manusia.43 Adat istiadat yang mengandung kebudayaan merupakan bagian dari diri manusia yang membimbing nilai- nilai, keyakinan dan perilaku serta interaksi. Adat sebagai wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yang saling berkaitan menjadi suatu sistem.

Menurut beberapa ahli, konsep mengenai kebudayaan memiliki makna yang luas menyangkut total dari pikiran ataupun hasil karya manusia. Koentjaraningrat berpendapat bahwa ada tiga wujud kebudayaan, yaitu:

1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Wujud ini bersifat abstrak sehingga tak dapat diraba ataupun difoto. Wujud ini berada dalam pemikiran manusia di mana kebudayaan bersangkutan itu hidup.

2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat atau sering disebut sistem sosial yang terdiri atas aktivitas- aktivitas manusia yang berinteraksi. Wujud kebudayaan ini bersifat konkret dan terjadi dalam kehidupan sehari-hari di dalam hubungan kemasyarakatan.

3. Wujud kebudayaan ini disebut sebagai kebudayaan fisik karena merupakan total dari hasil fisik manusia dari aktivitas, karya, dan perbuatan manusia yang bersifat konkret berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, maupun difoto.44

43 Alo Liliweri, Pengantar Studi Kebudayaan, 4

44 Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia, 1974), 5

(8)

22

Berbagai wujud kebudayaan merupakan hasil cipta manusia dalam bentuk material maupun spiritual secara menyeluruh berdasarkan akal, rasa, dan keinginan untuk mengolah kelangsungan hidup suatu masyarakat di berbagai aspek kehidupan. Clifford Geertz memakai bingkai deskripsi menyeluruh untuk membaca kebudayaan sebagai sistem nilai dan sistem makna yang dipakai oleh pelaku kebudayaan dalam memaknai dan mengartikan hidup.45 Teori-teori besar budaya menyebutkan kebudayaan sebagai sistem makna dan pemahaman arti a system of beliefs. Pemahaman system of beliefs dinyatakan melalui tindakan yang dilakukan anggota kelompok masyarakat yang menghayati kebudayaan dengan menunjukkan identitasnya secara individual maupun kolektif. Teori besar kebudayaan mengungkapkan konsep nilai-nilai yang mendukung kelangsungan hidup dan mampu mengartikan pandangan hidup dalam rangkuman peristiwa yang dialami. Pandangan hidup yang diteruskan menjadi ajaran akan membentuk pola kebudayaan yang menjadi tradisikan dari generasi ke generasi.46

Adat istiadat sebagai salah satu wujud dari kebudayaan merupakan perwujudan dan bentuk perilaku masyarakat. Masyarakat menunjuk pada sejumlah individu sedangkan adat istiadat menunjukan pola-pola perilaku yang khas dari masyarakat tersebut. Perilaku itu sendiri merupakan wujud nyata dari kepribadian yang menjadi latar belakang perilaku dalam diri seorang individu.47 Manusia merupakan pembentuk sekaligus pendukung adat istiadat sebagai sumber gagasan. Gagasan yang dimiliki oleh manusia memiliki daya cipta

45 Alo Liliweri, Pengantar Studi Kebudayaan, 6-7

46 Mudji Sutrisno, Membaca Rupawajah Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 2014), 9

47 Tri Widiarto, Pengantar Antropologi Budaya, (Salatiga: Widya Sari Press, 2005) 50

(9)

23

baik secara individual atau kolektif. Adat istiadat yang mengandung kebudayaan mencoba memberi jawaban mengenai pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan manusia sebagai makhluk sosial.48

Masyarakat adat disebutkan sebagai penduduk asli atau sekelompok orang yang hidup dan tinggal secara turun temurun di daerah tertentu.49 Kebudayaan yang terkemas dalam adat istiadat telah menjadi tingkah laku sehari-hari dan perihidup yang dimaknai sebagai sesuatu yang berharga oleh masyarakat tersebut. Kebudayaan menjadi pola perilaku yang secara historis disalurkan kepada orang lain. Kebudayaan merupakan sesuatu yang mempengaruhi kehidupan manusia sebagai individu namun keberadaannya tidak statis dan terus-menerus berubah sesuai konteks, tuntutan, dan kebutuhan.50 Sehingga dapat dikatakan bahwa kebudayaan merupakan sebagian dari keberadaan manusia dan dinamika kehidupan yang tidak bersifat statis.51

Kebudayaan yang berwujud nonmaterial bisa berbentuk adat istiadat mengacu pada ide-ide nonfisik masyarakat misalnya tentang keyakinan, nilai-nilai, aturan, bahasa bahkan agama. Agama sebagai keyakinan tentang Tuhan yang merujuk pada etika dapat menentukan bagaimana individu merespon sebuah topik atau peristiwa yang bersifat religius.52 Bentuk kebudayaan nonmaterial ini bersifat internal karena mencerminkan sifat

48 T.O. Ihromi, Pokok-pokok Antropologi Budaya, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2016), xi

49 Jimmy M.I. Sormin, Masyarakat Adat: Pengakuan kembali, Identitas, dan Keindonesiaan, 16

50 Alo Liliweri, Pengantar Studi Kebudayaan, 10

51 Dr. Theodorus Kobong, Aluk, adat, dan kebudayaan Toraja dalam perjumpaannya dengan Injil (Rantepao: Pusbang Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja, 1992), 204

52 Alo Liliweri, Pengantar Studi Kebudayaan, 14

(10)

24

batin dari individu atau komunitas tertentu. Para sosiolog cenderung memahami bentuk kebudayaan ini sebagai proses penggunaan budaya untuk membentuk pikiran, perasaan, dan perilaku dari masyarakat yang dinyatakan melalui simbol, bahasa, nilai-nilai dan norma.

2.4 Sosiologi Agama

Sosiologi agama membahas mengenai agama dalam masyarakat yang dapat terdiri dari komponen-komponen konstitutif. Agama mempengaruhi masyarakat dan sebaliknya masyarakat juga mempengaruhi kehidupan beragama.53 Analisis tentang hubungan diantara keduanya yang bersifat dinamis membuat para sosiolog tertarik untuk meneliti hubungan antara agama dan institusi-institusi sosial di dalam masyarakat. Sosiologi agama menangani masyarakat yang beragama sebagai sasaran atau subjek yang langsung.

Masyarakat dan agama disoroti menurut struktur dan fungsinya serta pengaruhnya dalam keberadaan masyarakat.54 Terdapat beberapa aliran sosiologi agama yang ada dalam masyarakat, aliran tersebut yaitu: aliran klasik, aliran positivisme, aliran teori konflik, dan aliran fungsionalisme.55 Aliran-aliran ini berguna untuk menghubungkan pemikiran ahli teologi dan para sosiolog untuk menjabarkan kebedaraan agama dalam masyarakat.

Emile Durkheim seringkali berbicara tentang sosiologi agama yang disorot menurut aliran fungsionalisme. Menurut pemikiran Durkheim, di dalam sosiologi agama terdapat

53 Gunawan Adnan, Sosiologi Agama: Memahami Teodi dan Pendekatan, (Banda Aceh: Ar Rainy Press, 2020), 7

54 Hendropuspito, Sosiologi agama, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1983), 8

55 Hendropuspito, Sosiologi agama, 24

(11)

25

refleksi dan analisis terhadap masyarakat, kebudayaan dan agama sebagai proyek manusia. Pemikiran mengenai sosiologi agama dimulai dengan defisini agama yang menurut Durkheim merupakan bagian dari fakta sosial yang jauh lebih fundamental dibandingkan dengan fakta individu. Fakta sosial dibentuk atas kesadaran bersama yang disebut sebagai Collective Consciousness atau kesadaran kolektif sebagai hasil dari pengelolaan sosiologi agama dalam pemahaman masyarakat.56 Durkheim menyebutkan bahwa agama dapat membantu dalam menjelaskan hakekat religius manusia. Orientasi religiusitas manusia diwujudkan melalui makna yang mempersatukan dan membentuk komunitas keagamaan dalam masyarakat. Bagi Durkheim, agama sebagai fakta sosial mengkritisi dan mendefinisikan agama pada hal-hal yang bersifat spritualitas dan religius.

Durkheim beranggapan definisi yang terbatas tersebut berusaha mengungkap peran agama dalam kehidupan sosial.57

Durkheim berpendapat bahwa agama dapat dipelajari dan dipahami pada sistem kepercayaan yang paling sederhana dan berada dalam masyarakat yang memiliki sistem sosial paling sederhana.58 Agama dalam keberadaannya di tengah masyarakat sampai saat ini telah melewati sejarah panjang. Agama dalam teori evolusi diperkenalkan dalam berbagai bentuk, mulai dari yang sederhana hingga bentuk yang modern. Salah satu bentuk paling menonjol ialah animisme atau kepercayaan terhadap makhluk lain selain manusia yang dipercaya memiliki kekuatan lebih tinggi daripada manusia secara

56 Kenneth Smith, A Study in Criminology, (United Kingdom : Anthem Press, 2014), 41

57 Bryan S. Turner, Teori-teori Sosiologi Modernitas (Terjamahan Baihaqi dan Baidowi), (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2008), 95

58 Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life, Translated from the French by Joseph Ward Swain (New York: The Free Press, London: Collier Macmillan Publishers, 1965), 16-17

(12)

26

kategorial.59 Misalnya roh nenek moyang yang dipercaya memiliki kekuatan untuk menguasai alam dan menentukan tata kelakuan masyarakat dalam menghidupi adat istiadat. Agama dikatakan berporos pada kekuatan nonempiris berarti bahwa agama secara khas berurusan dengan kekuatan dari dunia luar yang lebih tinggi dari kekuatan manusia.60 Manusia mendayagunakan kekuatan tersebut untuk kepentingannya sendiri dan masyarakat sekitarnya. Menurut seorang antropolog bernama Andrew Lang agama dalam masyarakat berasal dari keyakinan akan adanya keberadaan suatu wujud tertinggi dan abadi.61 Agama seringkali dipandang sebagai sistem sosial yang menjelaskan bahwa agama merupakan suatu fenomena sosial atau suatu peristiwa kemasyarakatan yang dianalisis karena terdiri atas suatu kompleks kaidah dan peraturan yang saling berkaitan dan terarahkan kepada tujuan tertentu.

Agama dapat memuat simbol yang memiliki peran membuat individu merasakan sesuatu dan juga ingin melakukan sesuatu dalam meraih tujuan dengan dibimbing oleh serangkaian nilai yang mereka anggap baik dan benar. Agama sebagai keyakinan hidup rohani pemeluknya, baik perseorangan maupun sebagai jemaat, adalah jawab manusia kepada panggilan ilahi di dalam alam dan rahmat. Keyakinan itu memuat iman, sikap sembah, rasa hormat, rasa tobat dan syukur yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia.62 Keyakinan hidup yang bersifat eksistensial itu menyatakan diri dalam seluruh kelakuan manusia dan menghasilkan nilai-nilai yang masuk dalam unsur kebudayaan. Agama

59 Hendropuspito, Sosiologi Agama, 33

60 Hendropuspito, Sosiologi Agama, 34

61 Gunawan Adnan, Sosiologi Agama: Memahami Teodi dan Pendekatan, 6

62 J. W. M Bakker, Filsafat kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 2017) 47

(13)

27

sebagai sistem objektif terdiri dari ajaran yang mengandung fasal-fasal iman, peraturan yang berkaitan dengan moral, dan ibadat banyak mengandung unsur kebudayaan.

Tanggapan individu terhadap hal yang diyakini baik secara ethis maupun simbol atau praktek dapat mengkonstruksi lingkungan.

Agama memuat pola makna yang diteruskan secara historis dalam wujud simbol- simbol atau suatu sistem yang berisi konsep-konsep. Agama sebagai sebuah sistem kebudayaan diwariskan dalam bentuk-bentuk simbolis yang dengannya manusia berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuannya dan sikap-sikap terhadap kehidupan.63 Tanggapan manusia terhadap agama mampu diungkapkan secara batin maupun lahir yaitu berbentuk praktek hidup. Sebagai sistem objektif, dalam agama terdapat badan ajaran seperti fasal-fasal iman, peraturan moral, dan kegiatan ibadat.

Pada dasarnya agama berfungsi sebagai alat pengatur terwujudnya integrasi hidup manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama, dan alam di sekitarnya. 64 Munculnya agama membuat manusia sebagai individu memiliki kesadaran tentang adanya kuasa di luar kekuatan nalar manusia sehingga di luar semuanya itu ada yang disebut Yang Maha Kuasa. Ibnu Khaldun menyatakan bahwa agama merupakan kekuasaan integrasi, pemersatu yang memiliki semangat untuk meredakan berbagai konflik.65 Turner melihat bahwa di kehidupan masa kini, agama dipahami sebagai sesuatu

63 Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 3

64 Dr. Theodorus Kobong, Aluk, Adat, dan Kebudayaan Toraja dalam perjumpaan dengan Injil, 7

65 Gunawan Adnan, Sosiologi Agama: Memahami Teodi dan Pendekatan, 27

(14)

28

yang bersifat komplimen bagi kehidupan.66 Agama mengandung arti ikatan serta ajaran yang harus dipegang dan dipatuhi individu sebagai manusia beragama. Ikatan ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap identitas individu sehari-hari. Pemahaman tentang agam akan mendorong inidividu menunjukkan identitasnya sebagai umat beragama. Artikel Ancok dan Suroso tahun 1995 menuliskan bahwa menurut Glock dan Stark, agama adalah simbol, keyakinan, nilai dan perilaku yang terlembagakan yang semuanya terpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi.

Agama dapat menjadi penghubung antara manusia dengan yang transenden dan diyakini memiliki kuasa lebih dari manusia. Keterkaitan dan hubungan tersebut diwujudkan dalam sikap hidup dan keyakinan batin serta perilaku sehari-hari.

Kehidupan beragama seringkali dikaitkan dengan kebudayaan karena dalam kebudayaan terdapat cakupan kehidupan spiritual dan material. Nisbah antara agama dan kebudayaan telah banyak dibahas sebelumnya, namun antara agama dan kebudayaan sebenarnya adalah hal yang terpisah menurut filsafat kebudayaan. Agama mengandung nilai yang memadai sehingga nilai-nilai dalam agama tidak dapat disamaratakan dengan karya-karya kebudayaan.67 Agama bukanlah hasil pemikiran dan usaha manusia semata tetapi juga ada wahyu Allah melalui ciptaan yang trasendental, sementara kebudayaan murni hasil karya tentang kehidupan manusia. Sosiologi agama hadir sebagai penghubung antara masyarakat dan pemahaman mengenai agama. Sosiologi agama menyatakan bahwa agama dan kebudayaan memiliki hubungan yang erat dan mempengaruhi satu sama lain.

66 Bryan S. Turner, Teori-teori Sosiologi Modernitas, 90

67 Bakker, Filsafat kebudayaan, 48

(15)

29

Hal ini dilihat dari bagaimana berbagai agama suku dalam masyarakat melibatkan ajaran kekristenan dalam kegiatan adatnya.

Agama melambangkan nilai religius sedangkan kebudayaan melambangkan nilai dan simbol dimana manusia diharapkan bisa hidup di dalamnya.68 Bagi para sosiolog, persinggungan antara agama dan budaya merupakan sebuah keniscayaan sehingga membutuhkan sarana kultural sosiologis. Dalam konteks inilah persinggungan agama dan budaya tidak bisa terelakkan, maka menjadi wajar apabila sebuah agama identik dengan kebudayaan masyarakat tertentu. Pandangan Durkheim tentang sosiologi agama memperkuat perikatan sosial antar individu dan kelompok, solidaritas sosial ini muncul berdasarkan kesamaan moralitas dan kepercayaan yang dianut bersama serta solidaritas yang diikat oleh pengalaman emosional penganut agama. Pemikiran Durkheim mengenai sosiologi agama tergolong fungsional, karena ia merekatkan masyarakat pada nilai-nilai yang harus dijaga seperti dalam praktik-praktik agama atau fungsi-fungsi dalam sistem sosial.

68 Gunawan Adnan, Sosiologi Agama: Memahami Teodi dan Pendekatan, 19

Referensi

Dokumen terkait

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH NUSA TENGGARA BARAT RESOR LOMBOK

• Pelat mikro dengan kepadatan lebih tinggi (pelat mikro 384 atau 1536 sumur) biasanya digunakan untuk aplikasi skrining, ketika banyak jumlah sampel per hari yang diproses

dalam konteks demikian tidak akan dapat dihindarkan karena tiap-tiap orang memiliki kebutuhannya masing-masing yang harus diperolehnya, dan peluang untuk mencapai

Untuk lebih mempermudah pegawas, maka data absensi pegawai yang ada dalam PC dapat dicetak tanpa melihat LCD atau tampilan peraga pada alat tersebut. Sencer Yeralan,

Puji  syukur  dan  sujud  syukur  senantiasa  terpanjatkan  kehadirat  Allah  SWT  atas  segala  keagungan  dan  kemahabesaran.  Hanya  dengan  petunjuk,  rahmat 

Melalui identi- fikasi awal hambatan melaluipembelajaran bersama dengan guru PAUD Gugus 11 Arjowinangun untuk menemukenali faktor kegagalan pemahaman pada K13 PAUD dari

Tabel 5.3 Realisasi Pendapatan Pemerintah Kabupaten Minahasa Menurut Jenis Pendapatan (juta rupiah), 2012-2015. Sumber: Kabupaten Minahasa Dalam Angka

Ledakan penduduk juga terjadi karena rumah tangga tidak direncanakan secara baik dan tidak melihat faktor sebab akibat, banyak rumah tangga yang berdiri tapi tidak