commit to user
i
PENERAPAN ANALISIS HIRARKI PROSES ( AHP ):
DALAM PENENTUAN FORMULA ALOKASI DANA DESA
DI KABUPATEN SRAGEN
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Magister Ekonomi dan Studi Pembangunan
Konsentarsi : Perencanaan Keuangan Daerah
Oleh :
EKOWATI YULI WIDYANINGSIH
S 4211007
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEBELAS MARET
PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN
SURAKARTA
commit to user
ii
PENERAPAN ANALISIS HIRARKI PROSES (AHP):
DALAM PENETUAN FORMULA ALOKASI DANA DESA
DI KABUPATEN SRAGEN
Disusun oleh :
EKOWATI YULI WIDYANINGSIH
S 4211007
Telah disetujui oleh Tim Penguji
Pada tanggal : Sabtu, 8 September 2012
Jabatan Nama Tanda Tangan
Ketua Tim Penguji Dr. Yunastiti P, MP ………
Pembimbing Utama Lukman Hakim, MSi PH. D ……...
Pembimbing Pendamping Dr. AM Soesilo, MSc ……….
Mengetahui Ketua Program Studi
Direktur PPs UNS Magister Ekonomi dan Studi
Pembangunan
Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS Dr. AM Soesilo, MSc
commit to user
iii
HALAMAN PERNYATAAN
Yang bertandatangan di bawah ini :
N a m a : EKOWATI YULI WIDYANINGSIH
NIM : S 4211007
Program Studi : magister Ekonomi dan Studi Pembangunan
Konsentrasi : PPW dan Keuangan Daerah
Menyatakan bahwa tesis ini adalah hasil karya sendiri bukan merupakan jiplakan
dari hasil karya orang lain.
Demikian surat pernyataan ini saya buat sebenar-benarnya.
Surakarta, 9 Agustus 2012
Tertanda
commit to user
iv
PERSEMBAHAN
Karya ini kupersembahkan untuk :
Bangsa Indonesia dan masyarakat Kabupaten
Sragen
Orang tuaku yang tidak lelah berdo’a untukku Suami dan anak-anakku tercinta yang selalu setia
commit to user
v
MOTTO
commit to user
vi
ABSTRAKSI
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan pembobotan variabel penentu Alokasi Dana Desa (ADD) menggunakan metode Analisis Hirarki Proses (AHP) dengan tanpa metode AHP, menentukan skala prioritas atau bobot dari masing-masing variabel penentu Aloakasi Dana Desa, menerapkan formula ADD menurut perspektif daerah sehingga mengetahui bobot variabel dalam formulasi Alokasi Dana Desa yang oleh Pemerintah pusat dalam memenuhi kebutuhan dan pembangunan desa serta menyusun formula Alokasi Dana Desa (ADD) dengan menambahkan variabel-variabel yang berhubungan dengan pembangunan manusia yaitu tingkat kemiskinan, pendidikan dan kesehatan di Kabupaten Sragen.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dengan memberikan kuesioner kepada responden ( anggota DPRD Kabupaten Sragen Komisi II, BKBPMD, DPPKAD, Kabag Pemdes, Bapeda, Kecamatan dan Lurah Desa) dan data sekunder yang berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS) Sragen, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bapeda) Sragen dan Badan Keluarga Berencana dan Pembangunan Masyarakat Desa (BKBPMD) Sragen. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini ada 2 macam, yaitu metode AHP dan formula ADD yang disesuaikan dengan Surat Mendagri Nomor 140/640/SJ Tahun 2005 perihal Alokasi Dana Desa dari Pemerintah kabupaten/Kota kepada Pemerintah Desa.
Hasil penelitian ini menunjukkaan bahwa formula ADD dibagi dalam dua alternatif dimana alternatif pertama jumlah anggaran ADD sama dengan jumlah dari Pemkab Sragen, untuk alternatif kedua jumlah ADD yang dianggarakan sebesar 10 % dari dana perimbangan yang diterima oleh Pemerintah Daerah. Hasil perhitungan formula ADD alternatif 1 menunjukkan ada 114 desa yang mengalami penurunan jumlah besaran dana yang diterima dibandingkan ketika menggunakan formula sebelumnya yaitu formula ADD pemkab Sragen dan sebanyak 82 desa mengalami kenaikan jumlah dana yang diterima. Sedangkan menggunakan formula ADD alternative 2 tidak ada desa yang mengalami penurunan jumlah dana yang diterima dan sebanyak 196 desa mengalami kenaikan dibandingkan ketika menggunakan formula ADD Pemkab Sragen.
commit to user level of poverty, education and health in Sragen.
The data used in this study is the primary data by giving a questionnaire to the respondent (the member of Commission II Sragen, BKBPMD, DPPKAD, Head Pemdes, Bapeda, District and Village Ward) and secondary data from the Central Statistics Agency (BPS) Sragen, Regional Planning Board (Bapeda) Sragen and Family Planning Board and Community Development (BKBPMD) Sragen. Analysis tools used in this study there are two kinds, namely the AHP method and the formula is adjusted to ADD is Letter Mendagri Number 140/640/SJ Year 2005 concerning allocation of funds from the Village District / Town to the Village Government
commit to user
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan ridhoNya, sehingga penulis dapat menyeleseikan penyusunan Tesis
dengan judul “ Penerapan Hirarki Analisis Proses (AHP): Dalam Penentuan
Formulasi Alokasi Dana Desa (ADD) di Kabupaten Sragen” dapat diselesaikan
dengan baik. Buah karya penelitian ini merupakan sebagian persyaratan akademis
dalam mencapai derajat kesarjanaan S-2 di Program Studi Magister Ekonomi Studi
Pembangunan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Banyak pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan dalam
penyusunan tesis ini, untuk itu maka dengan segala kerendahan hati penulis
menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus penulis sampaikan
kepada :
1. Bapak Lukman Hakim, MSi, Ph D, dan Dr. AM Soesilo, MSc yang telah
meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan bimbingan yang beliau
berikan menjadi petunjuk penguasaan yang luas atas berbagai topik dalam
penyusunan tesis ini.
2. Bapak Agus Faturrahman, SH,MHum, Bupati Sragen beserta jajaran eksekutif di
lingkungan Pemerintah kabupaten Sragen yang telah memberikan kesempatan,
bantuan moril dan materiil kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis
commit to user
ix
3. Bapak Sugiyamto, MM, Ketua DPRD Kabupaten Sragen yang telah memberikan
ijin dan bantuan data sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis.
4. Keluargaku yang terdiri dari suami (Aris Wijayanto), dan ketiga anakku (Sekti,
Sekar dan Laras) yang telah memberikan dukungan moril dan batin tiada kenal
lelah demi suksesnya pendidikan yang penulis tempuh ini.
5. Kedua orang tuaku yang senantiasa memberi dukungan, dorongan dan semangat
untuk penyelesaian tesis ini.
Akhirnya, penulis menyadari bahwa tesis ini banyak kekurangannya
dikarenakan berbagai keterbatasan yang dimiliki penulis dan sangat mengharapkan
kritikan dan saran terutama dalam penyempurnaan tesis ini, dengan segala
kerendahan, penulis mengharapkan tesis ini dapat bermanfaat secara akademis dan
praktis.
Sragen, Agustus 2012
commit to user
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ……… i
HALAMAN PENGESAHAN ………. ii
HALAMAN PERNYATAAN ………. iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ……….. . iv
HALAMAN MOTTO ……….. . v
ABSTRAKSI ………. vi
ABSTRACT ……… vii
KATA PENGANTAR ………. viii
DAFTAR ISI ……… ix
DAFTAR TABEL ………. xiii
DAFTAR GAMBAR ……… xiv
DAFTAR LAMPIRAN ……… xv
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah ……….. 1
B. Perumusan Masalah……….. 13
C. Tujuan dan Manfaat ……… 13
1. Tujuan Penelitian ……… 13
2. Manfaat Penelitian ………. 14
commit to user
xi
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian teoritis
1. Alokasi Dana Desa ……….. 15
2. Pengertian Desa, Desentralisasi dan Otonomi Desa ……... 17
3. Fungsi dan Kewenangan Pemerintah Desa ……….. 19
4. Transfer Keuangan dan Pembiayaan Pemerintahan Desa … 20
5. Pembangunan Desa ……….. 25
a. Pembangunan Masyarakat Desa ……….. 25
b. Keswadayaan masyarakat Desa ……….. 27
c. Perencanaan Pembangunan Berbasis Sosbud Laokal 28
d. Perencanaan Pembangunan Partisipatuf Desa …… 29
e. Pembangunan Desa yang Berkelanjutan ………… 31
6. Gambaran Umum Kebijakan Alokasi Dana Desa ……….. 33
7. Pengelolaan Alokasi Dana Desa ……… 36
8. Metoda AHP ………. 45
B. Penelitian Relevan ……… 47
C. Kerangka Pemikiran ………. 49
BAB III. METODE PENELTIAN A. Jenis dan Sumber data ……….. 64
B. Definisi Operasional ………. 63
C. Unit Analisis ……….. 53
1. Model Formula ADD ……….. 53
2. Penghitungan Bobot Desa dengan AHP ……… 57
commit to user
xii
BAB IV. ANALISA DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Lokasi Penelitian ………. 69
1. Kondisi Geografis Kabupaten Sragen ……… 69
a. Letak dan Batas Wilayah ………... 69
b. Kondisi Demografis ………. 70
2. Pembagian Administratif ……… 72
3. Jumlah penduduk ………. 73
4. Jumlah Penduduk Miskin ………. 74
5. Luas Wilayah ……… 76
6. Jumlah Penduduk Usia 7-15 Tahun yang tidak Sekolah 77
7. Jumlah Penduduk Buta Huruf ……… 78
8. Angka Kematian Bayi ……… 79
9. Penderita Penyakit Menular ……… 81
B. Hasil Analisis data dan Pembahasan ……… 82
1. Metode AHP ……….. 82
2. Konsistensi AHP ……… 87
3. Perumusan Formula ADD ……….. 89
commit to user
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel Hal
1.1 Alokasi Dana Desa di Tiap Kecamatan Se Kabupaten Sragen Tahun
2010
11
3.1 Skala banding secara berpasangan (Saaty,1993) 58
3.2 Nilai Indeks Random 63
4.1 Data Kepadatan Penduduk Tahun 2010 71
4.2 Nama Kecamatan, Luas Wilayah, Jumlah Desa di Kabupaten
Sragen Tahun 2010
72
4.4 Matrix Perbandingan Pasangan Hasil Survey 82
4.5 Bobot Relatif Dan Eigenvector Utama 84
4.6 Nilai Pembangkit Random (RI) 89
4.7 Bobot variabel Penentu Bobot Desa 90
4.8 Besaran ADD yang diterima masing-masing desa 92
4.9 Desa Penerima Dana terbesar dan terkecil 93
commit to user
xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Siklus Pembangunan Partisipatif Desa 30
2.2 Penggunaan Alokasi Dana Desa 33
2.3. Struktur Organisasi Tim Pengelola ADD 45
2.4. Struktur Hirarki 52
3.1. variabel-variabel Penentu Bobot Desa 55
4.1. Jumlah Penduduk Per Kecamatan Tahun 2010 (orang) 74
4.2. Jumlah Penduduk Miskin Per Kecamatan Tahun 2010 (orang) 75
4.3. Letak geografis Kabupaten Sragen 76
4.4. Jumlah Penduduk usia 7 – 15 tahun tidak sekolah per kecamatan tahun
2010 (orang) 77
4.5. Jumlah penduduk buta huruf per kecamatan Tahun 2010 (orang) 79
4.6. Kasus Kematian Bayi Per Kecamatan Tahun 2010 (orang) 80
4.7. Penderita penyakit menular per kecamatan tahun 2010(kasus) 81
commit to user
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Responden AHP (35 orang) ………..…… 102
Lampiran 2 Kuesioner AHP ………. 105
Lampiran 3 Hasil Kuesioner AHP ………... 113
Lampiran 4 Alokasi Dana Desa Di Tiap Desa Se Kabupaten Sragen
Tahun 2010 ………. 114
Lampiran 5 Perbandingan Rincian Besaran ADD masing-masing Desa 120
Lampiran 6 Perhitungan Besaran Anggaran Untuk Alokasi Dana Desa
commit to user ABSTRAKSI
Ekowati Yuli Widyaningsih, 2012. Penerapan Analisis Hirarki Proses (AHP) dalam Penentuan Formula Alokasi Dana Desa (ADD) di Kabupaten Sragen
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan pembobotan variabel penentu Alokasi Dana Desa (ADD) menggunakan metode Analisis Hirarki Proses (AHP) dengan tanpa metode AHP, menentukan skala prioritas atau bobot dari masing-masing variabel penentu Aloakasi Dana Desa, menerapkan formula ADD menurut perspektif daerah sehingga mengetahui bobot variabel dalam formulasi Alokasi Dana Desa yang oleh Pemerintah pusat dalam memenuhi kebutuhan dan pembangunan desa serta menyusun formula Alokasi Dana Desa (ADD) dengan menambahkan variabel-variabel yang berhubungan dengan pembangunan manusia yaitu tingkat kemiskinan, pendidikan dan kesehatan di Kabupaten Sragen.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dengan memberikan kuesioner kepada responden ( anggota DPRD Kabupaten Sragen Komisi II, BKBPMD, DPPKAD, Kabag Pemdes, Bapeda, Kecamatan dan Lurah Desa) dan data sekunder yang berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS) Sragen, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bapeda) Sragen dan Badan Keluarga Berencana dan Pembangunan Masyarakat Desa (BKBPMD) Sragen. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini ada 2 macam, yaitu metode AHP dan formula ADD yang disesuaikan dengan Surat Mendagri Nomor 140/640/SJ Tahun 2005 perihal Alokasi Dana Desa dari Pemerintah kabupaten/Kota kepada Pemerintah Desa.
ABSTRACT
Ekowati Yuli Widyaningsih, 2012. Application of Analytical Hierarchy Process in determining The Allocation Formula Villages in The District Sragen.
The purpose of this study was to compare the determinants of the variable level of poverty, education and health in Sragen.
The data used in this study is the primary data by giving a questionnaire to the respondent (the member of Commission II Sragen, BKBPMD, DPPKAD, Head Pemdes, Bapeda, District and Village Ward) and secondary data from the Central Statistics Agency (BPS) Sragen, Regional Planning Board (Bapeda) Sragen a nd Family Planning Board and Community Development (BKBPMD) Sragen. Analysis tools used in this study there are two kinds, namely the AHP method and the formula is adjusted to ADD is Letter Mendagri Number 140/640/SJ Year 2005 concerning allocation of funds from the Village District / Town to the Village Government
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Paradigma baru pembangunan daerah dewasa ini lebih mengutamakan pemerintahan desa dengan otonomi desanya. Sebagai konsekuensi logis adanya
kewenangan dan peran penting dari desa adalah tersedianya dana yang cukup. Salah
satu sumber Pendapatan desa yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah bagian dari dana perimbangan
keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/kota yang merupakan
Alokasi Dana Desa (ADD).
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah yang kemudian diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor
72 Tahun 2005 tentang desa memberikan kepastian hukum terhadap keberadaan
Aloaksi Dana Desa (ADD). Alokasi Dana Desa yang diberikan ke desa merupakan
hak desa. Sebelumnya, desa tidak memperoleh kejelasan anggaran untuk mengelola
pembangunan, pemerintahan dan sosial kemasyarakatan desa. Saat ini, melalui ADD
desa berpeluang untuk mengelola pembangunan, pemerintahan dan kemasyarakatan
commit to user
Namun dalam pelaksanaannya Alokasi Dana Desa (ADD) belum ada standar baku
petunjuk pembuatan formulasi Alokasi Dana Desa dengan variabel-variabel
pembobotan desa, terkait dengan hal tersebut penulis memberikan alternatif dalam
pembobotan desa dengan menggunakan analisis AHP (Analisis Hirarki Proses).
Nakagawa, Nasu, Saito dan Nobuyoshi Yamaguchi (2010) menyatakan
untuk memecahkan masalah sosial diperlukan analisis dampak alternatif kebijakan
pada tujuan keseluruhan dan berfungsi sebagai alat mendukung pengambilan
keputusan. Studi ini sangat relevan dengan Kebijakan Alokasi Dana Desa (ADD)
yang disusun oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, artinya Desa dapat memperoleh
ADD jika pihak SKPD yang mengelola kebijakan ADD telah melaksanakan Rencana
Kegiatan dan Anggaran (RKA) sesuai yang terangkum dalam APBD. Demikian juga,
Kustituanto (2001) menjelaskan bahwa dengan menggunakan metode AHP perspektif
individu dapat disimpulkan sebagi perspektif pemerintah Kabupaten/kota dan erat
berkaitan dengan tujuan yang diraihnya, artinya keberadaan Tim Fasilitasi ADD di
SKPD berperan penting dalam membagi ADD ke seluruh desa dengan memakai
rumus pembagian ADD.
Menurut Saaty dan Shang (2007) , AHP digunakan untuk menyusun suatu
kerangka kerja dan membentuk kembali proses pengambilan keputusan kelompok
tersebut, hal ini efektif untuk alokasi sumber daya dan prioritas ketika sekelompok
kecil terlibat. Demikian juga, Kamal M Subhi Al-harbi suatu menejemen proyek
dapat menggunakan AHP sebagai metode untuk membuat potensi dalam
yang ada dalam pemerintahan untuk menyusun formula Alokasi Dana Desa dengan
memberikan skala penilaian yang penting sampai yang paling penting menggunakan
skala 1 – 9 sehingga diperoleh keputusan kelompok (Beynon, 2002: 104-117).
Pemahaman desa di atas menempatkan desa sebagai suatu organisasi
pemerintahan yang secara politis memiliki kewenangan tertentu untuk mengatur dan
mengurus warganya atau komunitasnya. Dengan posisi tersebut desa memiliki peran
yang sangat penting dalam menunjang kesuksesan Pemerintah Pusat secara luas. Desa
menjadi garda terdepan dalam menggapai keberhasilan dari segala urusan dan
program dari pemrintah. Hal ini juga sejalan apabila dikaitkan dengan komposisi
penduduk Indonesia menurut Sensus Penduduk Tahun 2000 bahwa sekitar 60% atau
sebagian besar penduduk Indonesia saat ini masih bertempat tinggal di kawasan
permukiman pedesaan. Maka menjadi sangat logis apabila pembangunan desa
menjadi prioritas utama bagi kesuksesan Pembangunan Nasional.
Transisi politik yang terjadi di Indonesia menghasilkan dua proses politik
yang berjalan secara stimultan, yaitu desentralisasi dan demokratisasi. Kedua proses
politik itu terlihat jelas dalam dalam pergeseran pengaturan format politik di area
lokal maupun nasional, yaitu dari pengaturan politik otoritarian- sentralistik menjadi
lebih demokratis- desentralistik (Dwipayanan, 2005:3).
Menurut Dwipayana (2005:6) desentralisasi memungkinkan dengan cepat
berlangsungnya perubahan mendasar dalam karakteristik hubungan kekuasaan antar
commit to user
lembaga-lembaga politik utama dalam berbagai tingkatan.Salah satu perubahan
karakter hubungan kekuasaan tercermin dari pergeseran locuspolitics dari pemerintah
oleh birokrasi menjadi pemerintahan oleh partai (party gonverment). Sementara
Noordiawan (2007:284) menyatakan bahwa desentralisasi, penyerahan wewenang
pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan republik Indonesia.
Selain itu, Suparmoko (2002:19) menyatakan bahwa untuk pemahaman
sistem pemerintahan perlu dipahami perbedaan pengertian antara istilah desentralisasi
dekonsentrasi. Desentralisasi diartikan suatu pengembangan otonomi daerah,
dekonsentrasi diartikan sebagai penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah
pusat kepada daerah otonom yaitu pelimpahan wewenamg dari pemerintah kepada
Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat atau perangkat pusat di daerah.
Mardiasmo (2002:6-7) menyatakan, secara teoritis desentralisasi akan
menghasilkan dua manfaat nyata, yaitu : pertama mendorong meningkatnya
partisipasi, prakarsa dan kreatifitas masyarakat dalam pembangunan, serta
mendorong pemerataan hasil-hasil pembangunan (keadilan) diseluruh daerah dengan
meningkatkan sumber daya dan potensi yang tersedia di masyarakat-masyarakat
daerah; kedua memperbaiki alokasi sumberdaya produktif melalui pergeseran peran
pengambilan keputusan ke tingkat pemerintahan yang paling rendah yang memiliki
informasi yang paling lengkap, sedangkan tingkat pemerintahan yang paling rendah
adalah desa. Oleh karena itu otonomi desa benar-benar merupakan kebutuhan yang
Implementasi otonomi bagi desa akan menjadi kekuatan bagi pemerintahan
desa untuk mengurus, mengatur dan menyelenggrakan rumah tangganya sendiri,
sekaligus bertambah pula beban tanggungjawab dan kewajiban desa, namun demikian
penyelenggaraan pemerintahan tersebut tetap harus dipertanggungjawabkan.
Pertanggungjawaban keuangan desa yang dimaksud diantaranya adalah
pertanggungjawaban dalam pengelolaan anggaran desa. Untuk saat ini kendala umum
yang dirasakan oleh sebagian besar desa terkait keterbatasan dalam keuangan desa.
Seringkali Anggaran Pendapatan Dan Belanja Desa (APBDes) tidak berimbang,
antara pendapatan dan pengeluaran. Kenyataan demikian disebabkan oleh empat
faktor utama (Hudayana dan FPPD,2005). Pertama, Desa memiliki APBDes yang
kecil dan sumber pendapatannya sangat tergantung pada bantuan yang sangat kecil
pula. Kedua, Kesejahteraan masyarakat desa rendah. Ketiga, rendahnya dana
operasional desa untuk menjalankan pelayanan. Keempat, banyak program
pembangunan masuk desa , tapi hanya dikelola oleh dinas.
Alokasi Dana Desa adalah dana yang diberikan kepada desa dari dana sesuai
perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah yang diterima oleh
Kabupaten/kota (Pasal 1 ayat 11, PP 72/2005). Kelahiran UU No.32/2004 yang
kemudian diperkuat dengan PP 72/2005 memberikan kepastian hukum terhadap
perimbangan keuangan desa dan Kabupaten/Kota. Berdasarkan PP 72/2005 pasal 68
ayat 1 huruf c, desa memperoleh jatah Alokasi Dana Desa (ADD). ADD yang
commit to user
kejelasan anggaran untuk mengelola pembangunan, pemerintahan dan sosial
kemasyarakatan desa.
Saat ini, melalui ADD berpeluang untuk mengelola pembangunan,
pemerintahan dan sosial kemasyarakatan desa secara otonom.Menteri Dalam Negeri
tertanggal 17 Agustus 2006 mengeluarkan Surat Kawat bernomor 140/1841/SJ yang
ditujukan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota di seluruh Indonesia untuk segera
merealisasikan ADD, terutama kepada Kabupaten/Kota yang sama sekali belum
melaksanakan ADD. Dalam Surat kawat tersebut, Menteri Dalam Negeri dengan jelas
menyebutkan bahwa percepatan ADD dilakukan untuk mendukung peningkatan
kinerja pemerintahan Desa.
Agar dapat melaksanakan perannya dalam mengatur dan mengurus
komunitasnya, desa berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun
2005, diberikan kewenangan yang mencakup :
1. Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa;
2. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan
pengaturannya kepada desa;
3. Tugas pembantuan dari pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah
Kabupaten/kota; dan
4. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan
Sebagai konsekuensi logis adanya kewenangan dan tuntutan dari pelaksanaan
otonomi desa adalah tersedianya dana yang cukup. Wasistiono (2006:107)
menyatakan bahwa pembiayaan atau keuangan merupakan faktor essensial dalam
mendukung penyelenggaraan otonomi desa, sebagaimnan juga ada penyelenggaraan
otonomi daerah. Sejalan dengan pendapat yang mengatakan bahwa “autonomy”
indentik dengan “aotomoney”, maka untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri desa membutuhkan dana atau biaya yang memadai sebagai dukungan
pelaksanaan yang dimiliki.
Sumber pendapatan desa berdasarkan pasal 212 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 terdiri dari :
1. Pendapatan Asli Desa, meliputi :
- hasil usaha desa;
- hasil kekayaan desa;
- hasil swadaya dan partisipasi;
- hasil gotong royong;
- lain-lain pendapatan asli desa yang sah.
2. Bagi hasil pajak daerah dan restribusi daerah kabupaten/kota;
3. Bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh
commit to user
4. Bantuan dari Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/kota;
5. Hibah dan sumbangan dari pihak ketiga.
Lebih lanjut pasal 68 Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005
menyebutkan bahwa sumber pendapatan desa terdiri atas :
1. Pendapatan asli desa, terdiri dari hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil
swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa
yang sah;
2. Bagi hasil pajak daerah kabupaten/kota paling sedikit 10% (sepuluh perseratus)
untuk desa dan dari restribusi kabupaten/kota sebagian diperuntukkan bagi desa;
3. Bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh
kabupaten/kota untuk desa paling sedikit 10% (sepuluh per seratus), yang
pembagiannya untuk setiap desa secara proporsional yang merupakan alokasi dana
desa;
4. Bantuan keuangan dari pemerintah, pemerintah propinsi, dan pemerintah
kabupaten/kota dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan;
5. Hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat.
Ketentuan pasal tersebut mengamanatkan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota
untuk mengalokasikan dana perimbangan yang diterima kabupaten kepada desa-desa
dengan memperhatikan prinsip keadilan dan menjamin adanya pemerataan.
yang reponsif terhadap tuntutan desa tersebut. Sejak tahun 2007 Kabupaten Sragen
telah mengalokasikan dana untuk desa yang disebut Alokasi Dana Desa (ADD),
sebagai analogi DAU dari Pemerintah Pusat kepada daerah yang dipraktekkan oleh
Kabupaten Sragen kepada Desa dengan harapan pembangunan semakin merata
sampai tingkat desa.
Sesuai dengan pasal 68 huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005
tentang Desa telah diatur bahwa bagi dari dana perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah yang diterima kabupaten untuk desa paling sedikit 10%
(sepuluh per seratus) yang pembagiannya untuk setiap desa secara proporsional yang
merupakan Alokasi Dana Desa. Yang dimaksud bagi dari dana perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah adalah terdiri atas dana bagi hasil pajak
dan sumberdaya alam ditambah Dana Alokasi Umum setelah dikurangi belanja
pegawai. Sehingga ADD dapat dihitung dengan formulasi sebagai berikut :
Seringkali anggaran Alokasi Dana Desa dirasakan oleh Desa masih kurang
proporsional apabila dibandingkan dana perimbangan yang diterima Pemerintah
Kabupaten Sragen dari Pemerintah pusat. Sehingga pihak desa sering
mempertanyakan bagaimana Pemerintah daerah menghitung besaran anggaran ADD
bahkan desa juga mengusulkan kenaikan anggaran ADD setiap tahun.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Sragen No 1 Tahun 2010 tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2010, seharusnya
commit to user
anggaran untuk alokasi dana desa secara keseluruhan adalah Rp.17.801.000.000,-
sedangkan Peraturan Bupati Sragen Nomor 6 Tahun 2010 dana yang dialokasikan
sebesar Rp.7.346.000.000,-hanya 41,26% dari anggaran yang seharusnya dikeluarkan
oleh Pemerintah Kabupaten Sragen untuk alokasi dana desa.
Peraturan Bupati Sragen Nomor 6 Tahun 2010 menjelaskan bahwa dalam
penentuan besaran dana Alokasi Dana Desa untuk masing-masing desa adalah hasil
perkalian dari total alokasi dana desa yang dianggarkan dengan bobot desa
masing-masing desa. Bobot desa itu sendiri ditentukan berdasarkan kemiskinan,
keterjangkauan/jarak wilayah, pendidikan, kesehatan,jumlah penduduk, luas wilayah
dan partisipasi masyarakat/swadaya. Sementara dalam Surat Edaran Mendagri Nomor
140/640/SJ Tahun 2005 tentang Pedoman Alokasi Dana Desa dari Pemerintah
Kabupaten/Kota ke pemerintah desa disebutkan bahwa dalam penentuan bobot desa
didasarkan pada variabel utama dan variabel tambahan di mana variabel utama
mencakup kemiskinan, pendidikan dasar dan kesehatan.
Pelaksanaan asas merata yang selanjutnya disebut Alokasi Dana Desa
minimum ditentukan 70% dari jumlah Alokasi Dana Desa keseluruhan atau sebesar
Rp. 4.407.600.000,- yang dibagi rata sama besar kepada 196 desa. Dari pembagian
tersebut seluruh desa di Kabupaten Sragen minimum memperoleh dana sebesar Rp.
22.487.755,-. Sedangkan asas adil yang disebut Alokasi Dana Desa proporsional
dialokasikan sebesar 30% jumlah Alokasi Dana Desa keseluruhan atau sebesar Rp.
2.938.400.000,- yang dibagi berdasarkan variabel-variabel atau bobot masing-masing
Keseluruhan Alokasi Dana Desa di Kabupaten Sragen
Rp.7.346.000.000,-yang dibagi kepada 196 desa di 20 Kecamatan dalam komposisi proporsional tiap
desa yang terdiri dari Alokasi Dana Desa minimum dan Alokasi Dana Proporsional.
Dengan pembagian tersebut diperoleh Alokasi Dana Desa terendah adalah desa
Pringanom Kecamatan Masaran dengan alokasi sebesar Rp. 36.873.000,-, sedangkan
desa yang memperoleh alokasi Dana Desa tertinggi desa Gilirejo Baru Kecamatan
Miri sebesar Rp. 38.862.000,-. Adapun rincian pembagian pada masing-masing
kecamatan dapat dilihat pada tabel 1.1 berikut ini :
Tabel 1.1. Alokasi Dana Desa Di Tiap Kecamatan Se Kabupaten Sragen Tahun 2010
I KEC. MASARAN 292.340.815 192.020.206 484.361.021
II KEC. SIDOHARJO 269.853.060 175.248.132 445.101.192
III KEC. KARANGMALANG 179.902.040 121.100.836 301.002.876
IV KEC. SRAGEN 44.975.510 29.348.727 74.324.237
V KEC. KEDAWUNG 224.877.550 152.822.358 377.699.908
VI KEC. GONDANG 202.389.795 135.172.039 337.561.834
VII KEC. SAMBIREJO 202.389.795 132.711.733 335.101.528
VIII KEC. SAMBUNGMACAN 202.389.795 134.758.620 337.148.415
IX KEC. NGRAMPAL 179.902.040 117.426.072 297.328.112
X KEC. TANGEN 157.414.285 106.124.907 263.539.192
XI KEC. MONDOKAN 202.389.795 140.416.702 342.806.497
XII KEC. SUKODONO 202.389.795 137.107.837 339.497.632
XIII KEC. GESI 157.414.285 103.275.393 260.689.678
XIV KEC. JENAR 157.414.285 105.799.432 263.213.717
XV KEC. GEMOLONG 224.877.550 148.839.966 373.737.516
XVI KEC. KALIJAMBE 314.828.570 207.545.474 523.374.044
XVII KEC. PLUPUH 359.804.080 236.953.805 596.757.885
XVIII KEC. TANON 359.804.080 238.455.838 598.259.918
XIX KEC. MIRI 224.877.550 156.343.969 381.221.519
XX KEC. SUMBERLAWANG 247.365.305 166.907.975 414.273.280
Jumlah 4,407,600,000 2,938,400,000 7,346,000,000
commit to user
Dengan memperhatikan pembagian Aloaksi Dana Desa untuk masing-masing
Desa tersebut Pemerintah Kabupaten Sragen berharap penyelenggaraan pemerintahan
desa dapat berjalan dengan optimal, sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa dalam
hal pembangunan dan sosial kemasyarakatan desa.
Pemerintah Desa sebagai unit pemerintah terdepan yang berhubungan
langsung dengan masyarakat perlu mendapatkan dukungan dana dalam melaksanakan
tugas-tugas pemerintahan maupun pembangunan, terutama sekali dalam rangka upaya
peningkatan pelayanan masyarakat dan pemberdayaan masyarakat. Seiring dengan
Surat Edaran Mendagri No 140/640/SJ Tahun 2005, tentang pelaksanaan ADD dan
No 140/286/SJ Tahun 2006 tentang pelaksanaan ADD. Pemerintah Kabupaten Sragen
perlu menyusun strategi dan kabajikan terkait pembagian ADD yang berdasarkan
azaz merata adil yang diharapkan berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan
masyarakat dan membantu percepatan pembangunan desa yang kurang mampu.
Untuk menjaga terpeliharanya azaz merata dan adil dalam pembagian ADD
serta pemanfaatan dan penyaluran Alokasi Dana Desa secara tepat dengan
mempetimbangkan aspek/variabel jumlah penduduk, luas wilayah, jumlah penduduk
miskin, Anak tidak sekolah umur 7 s/d 15 tahun, Buta huruf, Angka kematian bayi
dan Penderita penyakit menular, maka perlu solusi alternatif formulasi Alokasi Dana
Desa dengan menggunakan berbagai variabel tersebut berdasarkan persepsi legislatif,
pemerintah Kabupaten Sragen dan masyarakat dengan menggunakan analisis AHP.
individu dapat disimpulkan sebagi perspektif pemerintah Kabupaten dan erat
berkaitan dengan tujuan yang diraihnya.
B. Perumusan Masalah
Bagaimana memformulasikan penyaluran Alokasi Dana Desa secara tepat
dengan mempertimbangkan bobot variabel jumlah penduduk, luas wilayah, jumlah
penduduk miskin, anak tidak sekolah umur 7 s/d 15 tahun, buta huruf, angka
kematian bayi dan penderita penyakit menular secara integratif menurut persepsi
legislatif, pemerintah Kabupaten Sragen dan masyarakat dengan menggunakan
analisis AHP.
C. Tujuan dan Manfaat 1. Tujuan Penelitian
a. Membandingkan pembobotan variabel penentu ADD menggunakan metode
AHP dengan tanpa metode AHP
b. Menentukan skala proritas atau bobot dari masing-masing variabel penentu
ADD
c. Menerapkan fomula ADD menurut perspektif daerah.
d. Untuk mengetahui bobot variabel dalam formulasi alokasi Dana Desa yang
commit to user
e. Menyusun formula Alokasi Dana Desa (ADD) dengan menambahkan
variabel-variabel yang berhubungan dengan pembangunan manusia yaitu
tingakt kemiskinan, pendidikan dan kesehatan di Kabupaten Sragen.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah :
a.Bagi pemerintah daerah
Hasil dari analisis menggunakan metode AHP ini selanjutnya dapat
bermanfaat sebagai referensi kebijakan pemerintah kabupaten Sragen dalam
meningkatkan prioritas pembangunan melalui pelaksanaan ADD
b.Bagi peneliti
Bagi peneliti sendiri,diharapkan penelitian ini mampu meningkatkan
kepekaan dan daya nalar terhadap masalah-masalah ekonomi khususnya
tentang masalah pembangunan.
c.Bagi pihak lain
Hasil penelitian ini sebagai bahan masukan bagi yang berminat melakukan
penelitian mengenai pembobotan kepentingan masing-masing program
pembangunan dengan melakukan alokasi sumber daya, baik pendanaan dan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Alokasi Dana Desa
Dalam sistem perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah terdapat penekanan atas kebijakan otonomi daerah yang menetapkan
kabupaten dan kota sebagai titik berat otonomi. Hal ini berusaha untuk memberikan
kesempatan kepada daerah untuk mengembangkan diri dan memberikan harapan
kepada masyarakat untuk dapat menikmati pelayanan publik yang lebih baik melalui
kebijakan-kebijakan daerah yang lebih mementingkan nasib mereka.
Hal ini dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Alokasi
Dana Desa (ADD) pada dasarnya adalah bantuan keuangan dari Pemerintah Pusat,
Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Pemerintah Desa yang
bersumber dari APBN, APBD Propinsi, APBD Kabupaten/Kota yang disalurkan
melalui kas desa dalam rangka penyelenggaraan pemerintah Desa.
Terkait dengan pengelolaan Keuangan Desa, Ali (2007:185) mengemukakan
commit to user
Isu penyelenggaraan dan pengelolaan keuangan desa bermula ketika Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Desa secara tegas menetapkan pemberian kewenangan yang cukup besar bagi kabupaten dan Desa mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Ketika UU tersebut dilaksanakan pada tanggal 1 januari 2001, banyak kalangan kemudian menggulirkan gagasan akan perumusan mekanisme Alokasi Dana Desa (ADD), sebagai aktualisasi dari penyaluran Dana Alokasi Umum (DAU) yang diterima pemerintah Kabupaten ke Pemerintah desa. Ini penting mengingat desa beerdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maupun Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang desa memiliki otonomi asli
Alokasi Dana Desa (ADD) merupakan salah satu bentuk hubungan keuangan
antar tingkat pemerintahan, yaitu hubungan keuangan antara pemerintahan kabupaten
dengan pemerintahan desa. Untuk dapat merumuskan hubungan keuangan yang
sesuai, maka diperlukan pemahaman mengenai kewenangan yang dimiliki
pemerintahan desa. Penjabaran kewenangan desa merupakan implementasi program
desentralisasi dan otonomi. Dengan adanya desentralisasi dan otonomi desa, maka
desa memerlukan pembiayaan untuk menjalankan kewenangan yang dilimpahkan
kepadanya,
Faktor-faktor penting dalam mendesain DAU pada dasarnya dapat diadopsi
dalam mendesaian ADD, menurut Sidik dkk (2001, 158-160) faktor-faktor yang
penting dalam mendesain DAU :
a. Sumber dana untuk alokasi DAU ada tiga cara untuk menentukan jumlah dana
yang akan dialokasikan sebagai transfer pusat kedaerah antara lain a) proporsi
tertentu dari pemerintah atau prosentase tertentu dari PDB, b) secara ad hoc artinya
seperti belanja yang lain, c) berdasarkan formula, misalnya sebagai proporsi tertentu
penerima transfer. Dalam hal ini DAU menggunakan cara pertama untuk
menciptakan stabilitas bagi pemerintah daerah sekaligus fleksibilitas bagi pemerintah
pusat.
b. Formula distribusi: formula yang baik harus diupayakan untuk membantu efisiensi
dan bertujuan untuk mengisi celah fiskal dalam rangka mencapai pemerataan akan
tetapi harus dapat mendefinisikan kebutuhan belanja dan kapasitas fiskal yang akurat
dengan menggunakan faktor-faktor obyektif
c. Kondisionalitas: apakah transfer akan dilakukan dengan bersyarat dalam arti
penyediaan standar pelayanan publik tertentu. DAU adalah unconditional block grant
sehingga persyaratan tersebut tidak ada
2. Pengertian desa, Desentralisasi dan Otonomi Desa
Istilah desa berasal dari bahasa India, Swadesi yang berarti tempat asal,
tempat tinggal, negeri asal, atau tanah leluhur yang merujuk pada kesatuan hidup
dengan suatu norma dan memiliki batas wilayah yang jelas (Yuliati dan Pramono,
2003:23)
Desentralisasi dan otonomi merupakan dua istilah yang memiliki makna
berbeda namun dalam prakteknya sering dianggap sama. Turner dan Hulme
(1997:152) menyimpulkan bahwa desentralisasi diartikan sebagai pelimpahan
kewenangan (transfer of authority) dalam menjalankan berbagai urusan publik dari
commit to user
pelayanan publik. Berdasarkan basis pendegelasian (basis for delegation),
desentralisasi dapat dilakukan berdasarkan territorial (kewajiban ) atau fungsional.
Desentralisasi dapat bersifat desentralisasi penuh (devolution), desentralisasi
administratif (decocentration), atau pengalihan dari sektor publik ke sektor swasta
(privatization )
Peraturan perundang-undangan telah menegaskan adanya pemberian
kewenangan kepada pemerintahan desa untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakatnya sendiri. Pengertian ini menjadi substansi desentralisasi di tingkat desa.
Desentralisasi desa dapat diartikan secara fungsional yaitu pendelegasian untuk
menjalankan fungsi pelayanan publik dan secara teritorial merupakan kewenangan
untuk mengatur masyarakat dalam batas kewilayahan tertentu. Dengan demikian
desentralisasi desa pada intinya merupakan pelimpahan kewenangan kepada desa
untuk megurus dirinya sendiri.
Otonomi berasal dari bahasa yunani autos dan nomos yang berarti
pemerintahannya sendiri. Dalam wacana administrasi publik, daerah otonom disebut
lokal self government yang berbeda dengan istilah daerah saja yang disebut sebagai
lokal self government (Nugroho, 2004:6). Sebuah daerah otonom memiliki hak dan
kewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dengan peraturan
perundangan yang berlaku.Pemahaman ini merupakan dasar adanya self governing
community ( Penjelasan unun PP No.76 tahun 2001). Konsekuensi desentralisasi dan
desa ke desa. Secara umum fungsi dan kewenangan tersebut adalah menjalankan roda
pemerintahan di desa dalam rangka memberikan pelayanan publik.
3. Fungsi dan kewenangan Pemerintah Desa.
Pada prinsipnya fungsi pemerintah dalam ekonomi dikelompokkan menjadi
tiga,yaitu fungsi lokal (allocation function ), fungsi distribusi (distribution function ),
dan fungsi stabilisasi (stabilization function ) (Musgrave and Musgrave, 1989:6).
Fungsi alokasi adalah fungsi pemerintah dalam menyediakan barang publik atau
pengadaan barang dan jasa yang gagal disediakan oleh mekanisme pasaar. Fungsi
distribusi adalah fungsi pemerintah dalam rangka mendistribusikan pendapatan dan
kesejahteraan kepada masyarakat secara berkeadilan. Fungsi stabilisasi adalah fungsi
pemerintah dalam rangka mencapai atau mempertahankan kondisi tertentu, seperti
terciptanya kesempatan kerja yang tinggi, stabilnya tingkat harga pada level yang
rasional, atau mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang diinginkan. Skala mikro
ketiga fungsi tersebut dapat dijalankan pemerintah desa dalam perekonomian desa,
untuk itu pemerintah desa memerlukan berbagai kewenangan.
Kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah desa secara formal merupakan
kewenangan yang ditegaskan dalam Peraturan Perundang-undangan. Berdasarkan
PPNo. 72 Tahun 2005 Tentang Desa, Bab III Pasal 7 bahwa terdapat empat hal yang
menjadi kewenangan desa yaitu (a) urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan
commit to user
kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa; (c) tugas pembantuan
dari Pemerintahan Pusat, pemerintahan Propinsi, dan pemerintahan kabupaten/kota.
Untuk tugas ini harus disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber
daya manusia; (d) urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan
perundang-undangan diserahkan ke desa.
4. Transfer Keuangan dan Pembiayaan Pemerintahan Desa
Sesuai dengan asas money follow function, kewenangan yang dilimpahkan
kepada pemerintahan desa harus disertai pendanaan untuk menjalankan kewenangan
tersebut. Pada tahun anggaran 1969/1970 pemerintah pusat mulai menganggarkan
dana untuk desa melalui Instruksi Presiden (Inpres) bantuan pembangunan desa.
Inpres ini bertujuan untuk mendorong peningkatan gotong royong dan swadaya
masyarakat dalam pembangunan desa. Inpres diberikan ke daerah berdasarkan jumlah
desa dikalikan jumlah subsidi per desa (Mahi dan Ardiansyah, 2002:10).
Pada tahun anggaran 1994/1995 terdapat jenis baru untuk pendanaan
pembangunan desa, yaitu melalui Inpres Desa Terpadu (IDT). Inpres ini dimaksudkan
untuk memberikan bantuan khusus (special assistance) kepada daerah-daerah yang
dikategorikan tertinggal dalam hal pembangunan dibandingkan daerah lain. Target
utama anggaran ini adalah untuk menekan jumlah penduduk miskin di desa.
Walaupin masih sedikit laporan yang secara khusus mengkaji keberhasilan
seperti halnya keberadaan transfer pemerintah pusat ke daerah pada masa lalu
menyisakan dua persoalan utama, yaitu tidak sesuainya berbagai jenis Inpres tersebut
dengan kebutuhan daerah dan meningkatkan kesenjangan fiskal antar daerah (Mahi
dan Ardiansyah, 2002:21).
Berdasarkan pengalaman transfer pemerintah tersebut, melalui konsep
desentralisasi fiskal UU No 25 tahun 1999 transfer dana dari Pemerintah lebih
menekankan peranan bantuan yang bersifat umum (general purpose grant). Peraturan
Pemerintah No. 72 Tahun 2005 Pasal 68 mengatur sumber pembiayaan pemerintah
desa berasal dari lima komponen, yaitu :
a. Pendapatan asli desa (PADes);
b. Bagi hasil pajak daerah kabupaten/kota paling sedikit 10 % untuk desa dan dari
restibusi kabupaten/kota sebagian diperuntukkan bagi desa;
c. Bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh
kabupaten/kota untuk desa paling sedikit 10% yang pembagiannya untuk setiap
desa secara proporsional yang merupakan alokasi dana desa;
d. Bantuan keuangan dari pemerintah pusat, pemerintah propinsi, dan pemerintah
kabupaten/kota dalam rangka urusan pemerintah;
commit to user
Berdasarkan pasal 68 PP No 72 tahun 2005 tersebut, diketahui bahwa
hubungan keuangan antara pemerintahan kabupaten dengan pemerintahan desa
berupa bagi hasil pendapatan (revenue sharing) yang berasal dari pajak dan restribusi
daerah dan bantuan (grants) yang berasal dari dana perimbangan yang diterima
kabupaten. Pendapatan desa dari dana perimbangan belum ada pengaturannya,
padahal bagi desa sumber penerimaan ini sangat penting.
Tujuan adanya dana bantuan dari pemerintah kabupaten ke pemerintahan desa
pada prinsipnya sama dengan tujuan dana bantuan antara pemerintah pusat ke
kabupaten. Menurut Simanjuntak dan Hidayanto (2002:27), pada prinsipnya ada tiga
tujuan adanya transfer dana bantuan antar tingkat pemerintah :
a. Meminimumkan ketimpangan fiskal vertikal, yaitu mengurangi perbedaan
kemampuan fiskal antara pemerintah yang pusat dengan pemerintah daerah;
b. Meminimumkan ketimpangan fiskal horizontal, yaitu mengurangi perbedaan
kemampuan fiskal antara pemerintah daerah;
c. Sebagai insentif bagi pemerintah daerah yang memberikan pelayanan dengan
manfaat yang menyebar, insentif ini juga dapat diberikan berdasarkan
pertimbangan lain misalnya prestasi pemerintah daerah dalam mengupayakan
penerimaan dari sumber daya yang dimiliki, prestasi atas penyelenggaraan
Simanjutak dan Hidayanto (2002:158) menyebutkan bahwa perumusan
alokasi dana bantuan harus memiliki sifat kecukupan, fleksibel dan stabil.Kecukupan
artinya alokasi dana dapat menutupi kebutuhan dana pemerintah daerah, Fleksibel
artinya besar dana alokasi disesuaikan dengan kemampuan pemerintah pusat,
sedangkan stabil artinya bahwa adanya kepastian bagi pemerintah daerah dalam
mendapatkan alokasi dana. Berdasarkan praktek di banyak Negara, ada tiga cara
untuk menentukan jumlah alokasi dana transfer.
a. Proporsi tertentu dari penerimaan pemerintah atau prosentase tertentu dari
penerimaan pemerintah;
b. Secara ad hoc dialokasikan seperti halnya pengalokasian keperluan belanja
lainnya;
c. Menggunakan formulasi tertentu, misalnya dikaitkan dengan proporsi dari
pengeluaran spesifik atau karakteristik daerah penerima bantuan.
Pendistribusian dana bantuan pemerintah kabupaten ke pemerintahan desa
pada prinsipnya sama dengan pendistribusian dana bantuan dari pemerintah pusat ke
daerah. Hasil studi Ma (1997) di berbagai Negara, menyimpulkan setidaknya ada
empat model pendistribusian yang dipraktekkan (Yansekardias, 2001:24-28). Model
tersebut antara lain :
a. Model kesenjangan fiskal (fiscal gap).
Pendistribusian transfer didasarkan atas perbedaan antara kebutuhan dan
kemampuan fiskal, sehingga merupakan model transfer yang paling baik. Model
commit to user
pengeluaran. Persyaratan ini belum banyak dipenuhi di Negara-negara
berkembang, karena keterbatasan data yang dimiliki pemerintah. Selisih antara
jumlah pengeluaran dengan kapasitas fiskal daerah merupakan kesenjangan fiskal
(fiscal gap) yang diharapkan dapat ditutupi dengan dana transfer yang bersifat
umum (block grant).
b. Model kapasitas fiskal (fiscal capacity).
Transfer dengan model ini didasarkan atas kemampuan atau kapasitas fiskal (fiscal
capacity) daerah, dan mengabaikan perbedaan kebutuhan fiskal antara daerah.
Menurut model ini, daerah yang memiliki kapasitas fiskal dibawah rata-rata
nasional akan mendapat dana transfer yang lebih besar, sehingga disimpulkan
tujuannya adalah pemerataan kemampuan fiskal antar daerah.
c. Model transfer berdasarkan indikator kebutuhan.
Model ini didasarkan atas pemikiran agar setiap daerah mampu memenuhi
kebutuhan pelayanan publik minimum yang telah ditentukan. Indikatornya sangat
tergantung dari berbagai sudut pandang seperti tujuan pemerintah, faktor sejarah,
dan politik. Indikator-indikator yang digunakan antara lain tingkat pendapatan per
kapita, kepadatan penduduk, luas daerah, tingkat kemiskinan, tingkat
pengangguran, tingkat kematian bayi, tingkat harapan hidup, tingkat putus
sekolah,infrstruktur yang tersedia, tingkat pembangunan, dan sebagainya.
d. Model transfer berdasarkan kesamaan basis pajak per kapita.
Model ini didasarkan atas rasio total transfer terhadap jumlah penduduk serta
walaupun tidak dapat menjamin kondisi tersebut berlangsung dalam kurun waktu
lama.
5. Pembangunan Desa
a. Pembangunan Masyarakat Desa
Esensi dari demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang berasal dari dan
untuk rakyat. Tidak ada alasan untuk meyakini bahwa esensi utama dari
pemerintahan yang demokratis akan berubah dalam beberapa waktu mendatang. Di
Indonesia mekanisme perencanaan pembangunan baik yang berlaku dipusat maupun
di daerah diatur melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri No 9 tahun 1982 tentang
P5D atau (Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan
Daerah), namun dengan beralihnya sistem pemerintahan dari sentralisasi ke
desentralisasi serta tuntutan reformasi yang berkembang, regulasi tersebut dirasa
kurang layak lagi untuk diterapkan.
Pembangunan merupakan proses kegiatan untuk meningkatkan keberdayaan
dalam meraih masa depan yang lebih baik. Pengertian ini meliputi upaya untuk
memperbaiki keberdayaan masyarakat, bahkan sejalan dengan era otonomi, makna
dari konsep hendaknya lebih diperluas menjadi peningkatan keberdayaan serta
penyertaan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan. Oleh karenanya
bahwa dalam pelaksanaannya harus dilakukan strategi yang memandang masyarakat
bukan hanya sebagi obyek tetapi juga subyek pembangunan yang mampu
menetapkan tujuan, mengendalikan sumber daya, dan mengarahkan proses
commit to user
kebijakan pembangunan yang lebih diprioritaskan kepada pemulihan kehidupan
sosial ekonomi masyarakat dan menegakkan citra pemerintah daerah dalam
pembangunan.
Menurut Surjadi (1995:1) Pembangunan Masyarakat Desa adalah sebagai
suatu proses dimana anggota-anggota masyarakat desa pertama-tama mendiskusikan
dan menentukan keinginan mereka, kemudian merencanakan dan mengerjakan
bersama untuk memenuhi keinginan mereka tersebut. Pembangunan Masyarakat Desa
mempunyai ruang lingkup dan tujuan meningkatkan taraf hidup masyarakat, terutama
masyarakat yang tinggal di wilayah dalam strata pemerintahan yang disebut sebagai
pemerintahan terbawah atau desa yaitu pemerintahan di tingkat „grass roots’
peningkatan taraf hidup yang berupa lebih banyak pengenalan atas benda-benda fisik
yang bernilai ekonomis, mungkin dapat saja diberi penilaian secara standard dan
kemudian jadi ukuran.
Pembangunan masyarakat desa pada dasarnya adalah bertujuan untuk
mencapai suatu keadaan pertumbuhan dan peningkatan untuk jangka panjang dan
sifat peningkatan akan lebih bersifat kualitatif terhadap pola hidup warga masyarakat,
yaitu pola yang dapat mempengaruhi perkembangan aspek mental (jiwa), fisik (raga),
intelegensia (kecerdasaan) dan kesadaran bermasyarakat dan bernegara. Akan tetapi
pencapaian obyektif dan target pembangunan desa pada dasarnya banyak ditentukan
oleh mekanisme dan struktur yang dipakai sebagai Sistem Pembangunan Desa.
dirumuskan secara umum dan merata dan menjadi pedoman setiap langkah
Pembangunan Sektoral di Bidang Pedesaan.
b. Keswadayaan masyarakat Desa
Keswadayaan bisa dipahami sebagai “semangat” yakni upaya yang didasarkan
pada kepercayaan kemampuan diri dan berdasarkan pada sumber daya yang dimiliki.
Keswadayaan juga berarti semangat untuk membebaskan diri dari ketergantungan
pada pihak luar atau kekuatan dari atas (Raharjo, 1992).
Penanganan masalah kemiskinan selama ini didasarkan pada asumsi bahwa
kemiskinan merupakan fenomena rendahnya kesejahteraan dan kurangnya
penguasaan terhadap sumber daya. Padahal sebenarnya fenomena kemiskinan sangat
komplek dan bersifat multidimensional. Masalah kemiskinan ditandai oleh banyak
faktor misalnya kerentanan, ketidakberdayaan, tertutupnya akses kepada berbagai
peluang kerja, kondisi fisik yang lemah akibat kurangnya gizi, tingginya tingkat
ketergantungan mereka dan terefleksikannya dalam budaya kemiskinan yang
digariskan satu generasi ke generasi berikutnya (Tjokrowinoto:1993). Kondisi
kemiskinan di atas terjadi bukan karena dikehendaki oleh si miskin, melainkan karena
tidak bisa dihindari dengan kekuatan yang ada padanya. Orang miskin adalah orang
yang serba kurang mampu dan terbelit dalam lingkaran ketidakberdayaan
(Bappenas-Depdagri, 1993)
Upaya penanggulangan kemiskinan,khususnya di pedesaan erat kaitannya
dengan partisipasi masyarakat dan kemandirian desa. Partisipasi masyarakat ini
commit to user
dan penilaian keberhasilan pembangunan. Dengan partisipasi ini diharapkan
masyarakat pada akhirnya memiliki kemampuan membangun dirinya sendiri dan
lingkungannya secara swadaya dan berkelanjutan.
Swadaya masyarakat merupakan semangat untuk membebaskan diri dari
ketergantungan pada pihak luar atau kekuatan dari atas dengan memanfaatkan sumber
daya yang mereka miliki. Swadaya juga dapat dipahami sebagai kemampuan untuk
memanfaatkan dan mengembangkan fasilitas-fasilitas yang telah tersedia sebagai
hasil pembangunan yang dilaksanakan pemerintah (Raharjo,1992).
Tidak berkembangnya swadaya masyarakat mengakibatkan penduduk miskin
tetap terperangkap dalam kemiskinan. Menurut Chamaers (1983), kemiskinan itu
sendiri bukanlah hal yang melekat pada diri orang miskin itu sendiri seperti
ketidakberdayaan, kerawanan, kelemahan fisik, isolasi dan kemiskinan itu sendiri,
dan dapat pula merupakan sesuatu yang bersifat eksternal seperti kebijaksanaan
pembangunan yang lebih mendukung perkembangan lapisan masyarakat ekonomi
kuat ketimbang lapisan masyarakat lemah. Menurut Soetrisno (1991) dominannya
kepala desa dalam perencanaan program-program pembangunan desa, telah
mengabaikan aspirasi dan partisipasi masyarakat desa menyebabkan matinya
kemandirian politik pembangunan.
c. Perencanaan Pembangunan Berbasis Sosial Budaya Lokal
Struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh dua ciri yang bersifat unik.
Secara horizontal ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial
serta perbedaan-perbedaan kedaerahan (bersifat majemuk). Secara vertikal, struktur
masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara
lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. Perencanaan pembangunan melalui
pendekatan sosial budaya ini diarahkan untuk meningkatkan peranan dan
pengembangan Lembaga Adat dan Budaya Lokal guna menumbuh kembangkan
kembali nilai-nilai budaya lokal dalam menunjang pemberdayaan masyarakat
sehingga akan tumbuh kondisi sosial budaya yang sehat dan dinamis, yang pada
akhirnya akan bermuara pada masyarakat madani dan mengembalikan citra budaya
bangsa Indonesia.
d. Perencanaan Pembangunan Partisipatif Desa
Pembangunan desa adalah proses kegiatan pembangunan yang berlangsung di
desa yang mencakup seluruh aspek kehidupan dan penghidupan masyarakat. Menurut
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 tahun 2005 tentang desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bahwa perencanaan pembangunan desa disusun
secara partisipatif oleh pemerintahan desa sesuai dengan kewenangannya dan
menurut ayat (3) bahwa dalam menyusun perencanaan pembangunan desa wajib
melibatkan lembaga kemasyarakatan desa.
Prinsip pembangunan partisipatif sebagai berikut :
1). pemberdayaan
2). tranparansi
3). akuntabilitas
commit to user 5). partisipasi.
Tujuan Perencanaan Pembangunan sebagai berikut :
1). mengkoordinasikan antar pelaku pembangunan
2). Menjamin sinkronisasi dan sinergi dengan pelaksanaan pembangunan daerah
3). Menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan dan pengawasan.
4). mengoptimalkan partisipasi masyarakat
5). menjamin tercapainya penggunaan sumber daya desa secara efisien, efektif,
e. Pembangunan Desa yang Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang berkelanjutan dapat
diartikan secara luas sebagai kegiatan-kegiatan di suatu wilayah untuk memenuhi
kebutuhan pembangunan di masa sekarang tanpa membahayakan daya dukung
sumberdaya bagi generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Tantangan
pembangunan berkelanjutan adalah menemukan cara untuk meningkatkan
kesejahteraan sambil menggunakanan sumberdaya alam secara bijaksana. Arus
globalisasi yang semakin kuat perlu diimbangi dengan kesadaran bahwa mekanisme
pasar tidak selalu mampu memecahkan masalah ketimpangan sumberdaya. Kebijakan
pembangunan harus memberi perhatian untuk perlunya menata kembali landasan
sistem pengelolaan aset-aset di wilayah pedesaan. Penataan kembali tersebut lebih
berupa integrasi kepada pemanfaatan ganda, akan tetapi keberhasilannya dapat dilihat
dan dirumuskan dengan melihat indikator-indikator antara lain : kontribusi terhadap
keberlanjutan lingkungan lokal, kontribusi terhadap keberlanjutan lingkungan lokal,
kontribusi terhadap peningkatan lapangan kerja, kontribusi terhadap keberlanjutan
ekonomi makro, efektifitas biaya dan kontribusi terhadap kemandirian teknis.
Ada empat aspek umum cirri-ciri spesifik terpenting mengenai konsep
agroekosistem. Empat aspek umum tersebut adalah :
1). Kemerataan (equitability)
2). Keberlanjutan (sustainability)
3). Kestabilan (stability) dan
commit to user
Secara sederhana, equitability merupakan penilaian tentang sejauh mana hasil
suatu lingkungan sumberdaya didistribusikan diantara masyarakatnya. Sustainability
dapat diberi pengertian sebagai kemampuan sistem sumberdaya mempertahankan
produktivitasnya, walaupun menghadapi berbagai kendala. Stability merupakan
ukuran tentang sejauh mana produktivitas sumberdaya bebas dari keragaman yang
disebabkan oleh fluktuasi faktor lingkungan. Productivity adalah ukuran sumberdaya
terhadap hasil fisik atau ekonominya. Di masa yang akan datang, dalam konteks
pembangunan pedesaan yang berkelanjutan, pengelolaan sumberdaya di desa
haruslah dilaksanakan dalam satu pola yang menjamin kelestarian lingkungan hidup,
menjaga keseimbangan biologis, memelihara kelestarian dan bahkan memperbaiki
kualitas sumberdaya alam sehingga dapat terus diberdayakan, serta menerapkan
model pemanfaatan sumberdaya yang efisien.
Pemerintah Kabupaten memberikan Alokasi Dana Desa merupakan wujud
nyata pemenuhan Hak Desa dalam membiayai Program Pemerintahan Desa dalam
melaksanakan kegiatan Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat di desa.
Alokasi Dana Desa tersebut digunakan dalam pembangunan fisik dan non fisik
dengan tujuan Perkembangan Desa. Indikator dalam hal ini meliputi tingkat
Gambar 2.2.
Penggunaan Alokasi Dana Desa.
6. Gambaran Umum Kebijakan Alokasi Dana Desa
Alokasi dana Desa (ADD) merupakan dana transfer dari pemerintah kabupaten
ke desa. ADD dibutuhkan karena adanya desentralisasi dan otonomi desa, yaitu
pelimpahan kewenangan untuk memberikan pelayanan publik dan penyelenggaraan
pemerintah desa sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan
prinsip money follow function, maka fungsi yang dijalankan pemerintahan desa harus
disertai aspek pendanaan.
Alokasi Dana Desa
Pembangunan Fisik dan non fisik
commit to user
Alokasi Dana Desa atau ADD adalah bagian keuangan Desa yang diperoleh
dari bagi hasil pajak daerah dan bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan
daerah yang diterima oleh Kabupaten. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa pada pasal 18
bahwa Alokasi Dana Desa berasal dari APBD kabupaten/kota yang bersumber dari
bagian Dana Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang diterima oleh
Kabupaten/kota untuk desa paling sedikit 10% (sepuluh persen).Menurut Peraturan
daerah kabupaten Sragen Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sumber Pendapatan Desa
(Lembaran Daerah Kabupaten Sragen Tahun 2006 Nomor 16) bahwa Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa selanjutnya disingkat APBDes adalah Rencana
keuangan Tahunan Desa yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Desa
dan Badan Permusyawaratan Desa yang ditetapkan dengan Peraturan Desa dan
Alokasi Dana Desa terdapat pada bantuan keuangan pemerintah Kabupaten dimaksud
peraturan daerah meliputi :
a. Alokasi Dana Desa
b. Penyisihan pajak
c. Sumbangan bantuan lainnya dari kabupaten
Dengan sasaran Alokasi Dana Desa (ADD) yang dibagikan kepada 196 desa
di 20 kecamatan Kabupaten Sragen. Pembagian Alokasi Dana Desa (ADD) dapat
dilihat berdasarkan variabel utama dan variabel tambahan. Variabel utama ditujukan
antar desa secara bertahap dan mengatasi kemiskinan struktural masyarakat desa.
Variabel utama meliputi :
a. Kemiskinan;
b. Pendidikan dasar;
c. Kesehatan
Variabel tambahan merupakan variabel yang dapat ditambahkan oleh
masing-masing daerah. Variabel tambahan meliputi :
a. Jumlah penduduk;
b. Luas wilayah;
c. Potensi ekonomi;
d. Partisipasi masyarakat;
e. Jumlah unit komunitas di desa (RT, RW, Dusun)
Bantuan langsung Alokasi Dana Desa (ADD) yang selanjutnya disebut ADD
adalah dana bantuan langsung yang dialokasikan kepada Pemerintah Desa digunakan
untuk meningkatkan sarana pelayanan masyarakat, kelembagaan dan prasarana desa
yang diperlukan serta diprioritaskan oleh masyarakat, yang pemanfaatan dan
administrasi pengelolaannya dilakukan dan dipertanggungjawabkan oleh Kepala
Desa.
Bantuan langsung Alokasi Dana Desa (ADD) dimaksudkan sebagai dana
stimultan atau dana perangsang untuk mendorong dalam membiayai program
pemerintah desa yang ditunjang dengan partisipasi swadaya gotong royong
commit to user 7. Pengelolaan Alokasi Dana Desa
Pengelolaan Keuangan Alokasi Dana Desa(ADD) merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Pengelolaan Keuangan Desa dalam APBDes oleh karena itu
dalam Pengelolaan Keuangan Alokasi Dana Desa (ADD) harus memenuhi prinsip
Pengelolaan Alokasi Dana Desa sebagai berikut :
a. Seluruh kegiatan yang didanai oleh Alokasi Dana Desa (ADD) direncanakan,
dilaksanakan dan dievaluasi secara terbuka dengan prinsip dari, oleh dan untuk
masyarakat.
b. Seluruh kegiatan harus dapat dipertanggungjawabkan secara administratif, teknis
dan hukum;
c. Alokasi Dana Desa (ADD) dilaksanakan dengan menggunakan prinsip hemat,
terarah dan terkendali.
d. Jenis kegiatan yang akan dibiayai melalui Alokasi Dana Desa (ADD) sangat
terbuka untuk meningkatkan sarana Pelayanan masyarakat berupa pemenuhan
kebutuhan dasar, penguatan kelembagaan desa dan kegiatan lainnya yang
dibutuhkan masyarakat desa yang diputuskan melalui musyawarah desa.
e. Alokasi Dana Desa (ADD) harus dicatat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Desa (APBDes) dan proses penganggarannya mengikuti mekanisme yang berlaku.
Dalam rangka mendukung pelaksanaan kelancaran pengelolaan Alokasi Dana
Desa (ADD) di kabupaten Sragen berdasarkan Peraturan Bupati Sragen Nomor 6
pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan terhadap penggunaan Alokasi Dana
Desa (ADD) di Kabupaten Sragen tahun anggaran 2010 sebagai berikut :
a. Persiapan
1).Guna membantu kelancaran dalam penggunaan dana ADD, Kepala desa
membentuk Tim Pengelola yang terdiri dari :
a). Ketua : Kepala Desa
b). Sekretaris : Sekretaris Desa
c). Bendahara ADD : Perangkat Desa (Kaur Keuangan/kaur umum)
d).Koordinator Pelaksana Pembangunan (khususnya pembangunan fisik)
:Anggota LP2MD
2). Alokasi Dana Desa (ADD) sebagaimana telah ditetapkan oleh Bupati, harus
dicantumkan dalam APBDesa.
b.Perencanaan
1).Berdasarkan besarnya ADD yang ditetapkan oleh Bupati, Kepala Desa
menyusun Rencana Kegiatan Desa (RKD) dengan tahapan/langkah sebagai
berikut :
a).Mengadakan Musyawarah Pembangunan Desa yang dihadiri oleh Kepala desa,
Perangkat Desa. Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Lembaga
Pemberdayaan Pembangunan Masyarakat Desa (LP2MD), Pengurus PKK,
RT/RW dan Tokoh Masyarakat.
b).Dalam musyawarah tersebut disepakati kesanggupan Swadaya Mayarakat untuk