Pelangi Hati
Pelangi Hati
Oleh: Adji
PT. Lingkar Pena Kreativa
Jl. Keadilan Raya No. 13 Blok XVI
Depok 16418
Email: lingkarpena@indo.net.id
Telp/Fax: (021) 7712100
Desain sampul: M .Lutfi dan Intraja
Ilustrator: Giant Sugianto
Editor: Sakti Wibow o
Layout: Tim Kreatif Pracetak M M U
Diterbitkan pertama kali oleh
PT. Lingkar Pena Kreativa
Depok, M ei 2004
Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT)
Adji
Pelangi Hati/Adji; Editor, Sakti Wibow o, — Depok: PT. Lingkar Pena
Kreativa, 2004.
146 hlm. ; 18 cm.
I. Judul II.Wibow o, Sakti
Didistribusikan oleh:
M izan M edia Utama (M M U)
Jl. Cinambo (Cisaranten Wetan) N o. 146
Ujung Berung Bandung 40294
Telp. (022) 7815500, Faks. (022) 7802288
DAFTAR ISI
1. Salam Itu 1
2. Suara dari Kamar Batin 17
3. Teman Bicara 41
4. Hari-hari Bersama 55
5. Kekecew aan N isya 73
6. Ketika H arus M enyendiri 101
7. Daun-daun Yang Luruh 117
SALAM ITU
Aku ingin seperti burung
Terbang bebas melanglang buana
Tinggalkan semua yang ado di bumf
M elew ati musim-musim yang seperti berkejaran
Singgah di tempat yang penuh kehangatan
Nisya meletakkan pulpennya. Sungguh mengasyikkan memandang
sore yang kekuning-kuningan dari jendela kamarnya yang terbuka. Tak
setiap hari langit kota Jakarta begitu enak dinikmati. Biasanya kalau tidak
tertutup kabut asap, matahari menyorot begitu garang sehingga tidak ada
perasaan nikmat saat memandangi langit.
Tak biasanya pula, seekor burung kecil hinggap di dahan pohon
mahoni di halaman rumah N isya. Kicaunya yang kecil nyaring seperti
ungkapan riang pada sore yang ramah. Tangannya ingin sekali menjuntai
merengkuh burung kecil itu. Tapi N isya takut, gerakan kecil akan membuat
burung kecil itu terbang dan pergi menjauh. Akhirnya is hanya dapat
Beruntung sekali menjadi burung, bisiknya dalam hati. Bisa terbang
ke mana-mana dan hinggap di mana pun dengan sutra. M ungkin ia sudah
mengelilingi seluruh dunia. Bagaimana, ya, rasanya? Kalau aku jadi burung,
mungkin aku akan sering-sering mengunjungi Abah. Pulang sekolah, setelah
makan slang, langsung cabut ke rumah Abah. Setelah pulang, pulang lagi ke
rumah. Oh, tidak. Aku akan singgah dulu ke rumah Oneng, Entin...
main-main sebentar, lalu barn pulang. Pasti asyik, ya, kalau bisa tiap hari begitu!
Nisya buru-buru menyudahi khayalannya karena merasa malu
sendiri dengan dirinya. Tentu saja semuanya itu tidak mungkin. Ada-ada
saja.
Nisya menutup buku hariannya. H ari semakin sore.
mUda
"Hayoo! Pagi-pagi udah melamun!"
Nisya tersentak kaget. Dhani cengegesan di depannya.
"Ayam tetanggaku coati gara-gara melamun pas nyeberang jalan!"
Nisya memanyunkan mulutnya. Dhani menyimpan tasnya di laci
meja lalu beranjak keluar kelas.
"Ke mana, Dhan?" tanyanya ingin tahu.
"Orang jelek nggak boleh tahu!" sahutnya sambil berlari-lari kecil.
Nisya memandang dari kejauhan sampai tubuh Dhani menghilang
dari pandangannya. Kadangkadang ia tersenyum sendiri kalau ingat aw al
perkenalannya dengan Dhani. Saat itu, hari pertama mereka masuk ke
sekolah. Pipi Dhani yang gembul sudah menarik perhatian N isya sejak aw al.
Gara-gara tubuhnya yang subur itu, tingkah polahnya jadi selalu kelihatan
lucu. Apalagi ia memang termasuk orang yang tidak bisa diam. Pada saat
perkenalan dengan kakak kelas, ia sering melemparkan celetukan yang
mengundang taw a anak-anak yang lain. Jadilah ia diberi julukan 'Si Tukang
Ribut' oleh kakak kelas mereka.
"Kamu dari sekolah mana? Kok, tadi senyum-senyum terus?" Entah
bagaimana, saat istirahat tiba-tiba Dhani menghampiri N isya.
Begitu melihat Dhani, Nisya berusaha menyimpan taw anya. "Saya
dari SM P Lima Belas," jaw abnya sopan.
"Kakak-adik, dong! Saya dari Empat Belas. Namamu siapa? Saya
Dhani. Dhani itu kependekan dari Ramadhani. Jangan ketaw a dulu, ya,
soalnya saga lahir pas bulan puasa," katanya nyerocos.
"Nisya," balas N isya singkat.
Hari pertama N isya di SM u terasa menyenangkan. Padahal ia sudah
berpikiryang tidak-tidak dengan sekolah barunya. Apalagi kota Jakarta
belum begitu diakrabinya. Tapi, setelah kenal Dhani, Nisya jadi yakin
hari-harinya akan menjadi berw arna. Pipinya yang gembul dan gerak-geriknya
"Hayo, pasti lagi ngelamunin Pak Sanif?!" tiba-tiba Listy sudah ada di
depannya.
Nisya yang kaget, langsung memasang tampang cemberut. Pagi-pagi
sudah ada dua orang yang mengganggu keasyikannya. "Siapa yang
ngelamunin Pak Sanif?" balasnya keki.
"Itu, buktinya senyum-senyum begitu?! Kamu, kan, sutra geli kalau
lihat kumisnya Pak Sanif"
"M endingan ngebayangin bakso Pak Kumis daripada kumisnya Pak
Sanif," sahut N isya.
"Wah, ngomongin Pak Kumis jadi pengin bakso, nih! Sudah sarapan
belum?"
"Sudah. Tadi di rumah."
"Temenin ke kantin, yuk! Aku belum sarapan, nih!" ajak Listy.
"Sebentar lagi masuk."
"Lima betas menit lagi. M asih ada w aktu, kok!" kata Listy sambil
menarik tangan Nisya. Nisya menyerah saat tubuhnya diseret Listy.
Di lorong kelas, mereka berpapasan dengan Dhani.
"Nis, kamu sudah belum bikin laporan praktikum Kimia?"tanya
Dhani.
"Sedikit lagi. Kenapa?"
"Bikin bareng, yuk!"
"Belum. M akanya kita bikin bareng-bareng." Senyum jahil Dhani
mengembang.
"Huu... maunya!" Listy langsung menyambar. "Listy sirik aja!
Itung-itung amal, N is!"
Nisya hanya tersenyum. Entah mengapa, ia tak bisa menolak
permintaan Dhani.
mUda
Alangkah senangnya menjadi bintang. Lepas di hamparan langit yang
membentang. Bersinar memancarkan cahaya yang indah. Kata Pak Herman,
guru Geogafi di sekolah, bintang adalah meteor yang yang menabrak
lapisan pelindung bumf yang memancarkan cahaya. Alangkah indahnya.
Dan, ia tidak sendirian. Beribu bintang yang lain juga memancarkan sinar
sehingga membuat langit begitu gemerlap.
Nisya memandangi langit dengan kagum dari kamarnya di lantai
atas. Kalau begini, ia Bering ingat teman-temannya di sekolah. Seperti itu
jugakah kerumunan bintang-bintang di atas? Sating bercanda, meledek,
membuat humor, atau Baling marahan kalau lagi kesal. Apakah mereka
punya perasaan juga?
M ereka kan ciptaan Allah juga, batin Nisya. Bisa jadi mereka juga punya
"Nisya, kamu di atas?"
M ama sudah pulang, batinnya. Bergegas ia menuruni tangga.
"Kamu ngapain di atas? Sudah makan?" M ama mencium keningnya.
Nisya tersenyum. "Biasa, M a. Lagi bengong sendirian."
M ama memandang Nisya. "M aafkan M ama, ya. M ama ninggalin
Nisya sendirian. Bik Irah ke mana?"
"Ada di kamar." N isya mengikuti M ama. "Papa kapan pulangnya,
M a?"
"M ungkin besok. M ama ganti baju dulu, ya?"
Nisya menyalakan televisi. Tak ada acara menarik. Kebanyakan
sinetron. N isya malas nontonnya. Soalnya, artis-artis yang itu melulu yang
muncul. Kalau Dhani, justru tiap hari tak jauh dari sinetron. N isya barn tahu
kalau ternyata ada jugs cow ok yang suka nonton sinetron. Herannya, dia
selalu bisa mengemas cerita dengan tambahan parodi sehingga selalu
menarik untuk didengar.
M ama muncul dengan baju rumah dan duduk di samping Nisya
yang sedang mengganti-ganti chane/televisi. Wajah M ama masih kelihatan
lelah sekali.
"M ama masih capek, ya?"
M ama menoleh pada Nisya. "M ama? Yaa... tadi M ama banyak
meeting, jadinya masih merasa lelah sekarang. N isya sendiri gimana? Ada
"Baik-baik saja, M a."
"Syukurlah kalau begitu."
M ama meraih kepala N isya dan mengeluselusnya.
"M a, kapan kita main ke Abah?"
M ama melepaskan pelukannya. M atanya memandang Nisya tak
berkedip. "Kenapa? Nisya kangen sama Abah?"
Nisya mengangguk pelan.
"Tapi... sekarang, kan, belum liburan?" Nisya tahu, batinnya kecew a.
"Jangan khaw atir! N anti, kalau liburan, kita pasti ke sana. Sekarang,
Nisya tidur dulu, ya? Sudah malam."
Nisya beranjak ke kamar setelah mengecup kening mamanya.
Barangkali aku cuma kangen, kata N isya sambil memandang bulan.
Nisya ingat, malam-malam bertabur bintang seperti ini Bering diisi
dengan permainan di depan rumah. Abah duduk di bangku panjang,
sementara mereka bermain dengan gembira setelah pulang mengaji dari
masjid.
Sedang apa, ya, kira-kira Abah sekarang? "Abah, N isya kangen," bisiknya.
mUda
Bu Rini merapikan buku sebelum akhirnya meninggalkan kelas. Kelas
mendadakjadi gaduh. N isya mengemasi buku-buku dan memasukkannya ke
dalam tas.
"Nisya, temenin aku, yuk?" Dhani menghampiri.
"Ke mana?"
"Ke rumah sepupuku. Dia janji mau pinjemin aku komik.
Bagus-bagus! Kamu pasti suka. M au nggak? N anti aku pinjemin."
Nisya diam sesaat. M enimang-nimang sebentar.
"Nggak lama, kan? Habis itu langsung pulang, ya?"
Dhani mengangguk.
Gerbang sekolah masih dipenuhi teman sekolah mereka. Riuh sekah.
Angkutan kota berjajar memadat di pinggir trotoar, menambah macet lalu
lintas.
"Kita naik yang itu aja. Agak kosong, tuh!"
Nisya manggut-manggut. Dilihatnya Listy dan Karina menunggu bis
di halte. N isya melambaikan tangannya.
Baru beberapa jenak mereka naik angkot, seseorang menegur Dhani.
"Dhan, sombong kamu, ya?!'
Dhani menoleh. "Eh, Tyo! Lho, kok di sini?! Iya. Dari mana? 0 iya,
kenalin, ini temanku, N isya."
Nisya tersenyum kagok. Laki-laki di depannya sepantaran Dhani,
Sepanjang perjalanan, Dhani dan Tyo sibuk bernostalgia. Ada saja
yang mereka tertaw akan. N isya hanya menjadi pendengar setia. Ia
tersenyum saja melihat keceriaan mereka berdua. Lagipula, N isya memang
agak sulit beradaptasi dengan laki-laki yang barn dikenalnya.
"Siapa, Dhan?" tanya N isya setelah mereka sampai di rumah sepupu
Dhani.
"Tetuan SM P-ku. Kenapa? N aksir?" "Huu!!!" Nisya mencibir.
Nisya merasa senang. Sore ini dia punya buku bacaan banyak.
Sambil menunggu M ama pulang, dia bisa bersantai sambil menghabiskan
buku bacaan. Papa masih di luar kota. Kata M ama, mungkin lamanya
sepuluh hari. M udah-mudahan, pulangnya nanti, Papa baw a oleh-oleh
banyak, batinnya berharap.
mUda
Nisya sudah lupa w ajah Tyo kalau Dhani tidak mengingatkannya
lagi. Soalnya, kejadian di angkutan kota itu sudah seminggu yang lew at.
Tiba-tiba, hari ini Dhani membaw a titipan pesan dari Tyo.
"Sya, dapat salam tuh dari Tyo," kata Dhani saat jeda pelajaran.
Nisya yang sedang mengerjakan latihan M atematika mendongak.
"Tyo yang mana?"
Nisya tersenyum sambil mengangguk-angguk, lalu kembali asyik
dengan pekerjaannya. Tapi, bukan Dani kalau pantang menyerah. Ia punya
seribu jurus untuk menundukkan orang.
"Gimana?" kejarnya.
"Wa alaikumsalam."
Dhani manyun.
"Bukan gitu jaw abannya!"
Nisya pura-pura bego. "Nah, terus gimana?" "Diterima nggak?"
"Kan tadi udah, w a alaikumsalam."
Dhani makin kesal. M ukanya berlipat-lipat, persis ketupat. Nisya
ingin ketaw a lepas, tapi tidak jadi, soalnya Bu Rini memasuki kelas.
"Nanti lagi ngobrolnya, ya," kata N isya pelan sambil tersenyum jahil.
Dhani tidak menjaw ab. M alah bersungutsungut sambil pindah ke
bangkunya yang berseberangan dengan N isya.
Nisya menahan taw a. Senang dia merasa bisa mengerjai Dhani.
mUda
Ternyata usaha Dhani tidak hanya sampai di situ. Heran juga Nisya.
Dikasih apa, sih, Dhani, sampai begitu ngototnya mengirimkan salam buat
"Sya, kamu dapat salam lagi dari Tyo." Kali ini Dhani menyambutnya
di gerbang sekolah. Entah, ini sudah salam yang ke berapa. Nisya lupa
mengingatnya.
"Berapa ikat?!" sahut N isya sekenanya.
"Serius, Sya! Tyo, tuh, kayaknya suka berat sama kamu," Dhani
menjejeri langkah Nisya.
"Bagus, dong! Ternyata aku laku juga, ya?"
Nisya menaruh tasnya. Bersiap-siap keluar kelas. Tapi Dhani
menahannya.
"Dengerin dulu, dong! Kamu, kok, nggak pedulian gitu, sih!"
"Kan, tadi sudah aku dengerin. Tyo nitip salam, kan? N ah, sekarang
sudah aku terima. Apalagi?"
"Dia nitip ini, Sya." Dhani memberikan sebuah amplop w arna biru.
Nisya tertegun. "Apa ini?"
"Baca aja sendiri."
Dhani langsung berlari ke luar kelas. Tinggal N isya yang kebingungan
sendiri. Ia menimang-nimang surat itu dengan bimbang. Berbagai
pertanyaan mendesak masuk kepalanya. Tapi ia tak berani membukanya.
Dimasukkannya amplop itu ke dalam tas dan buru-buru ia keluar kelas.
M aksudnya ingin mengejar Dhani. Tapi bersekolah menghentikan
langkahnya. Tak mungkin mengorek apa pun dari Dhani karena jam
bersuara di kelas. Bahkan suara jangkrik sekecil apa pun. Setiap gerak pasti
akan tertangkap lensa matanya yang tajam.
Selama jam belajar, N isya menanti dengan tidak sabar. W aktu
istirahat akhirnya kesampaian juga.
"Kamu, kok, getol banget ngejodohin aku sama Tyo?" todong Nisya
di kantin sekolah.
"Siapa yang ngejodohin? Dia yang suka." "Kamu cerita apa aja
memangnya?"
"Apa, ya? N isya itu manis, balk, ramah, rajin salat... hehehe!" Dhani
terkekeh melihat w ajah N isya yang cemberut.
"Wah, lagi ngegosipin apa, nih?" Listy dan Karina nimbrung di meja
mereka.
"Nisya lagi ditaksir cow ok. Tapi, dia pura-pura jual mahal."
"Jual mahal gimana? Kenal juga baru kemarin," sahut Nisya.
"Tapi kalau kamunya suka, kenapa nggak?" balas Dhani.
"Beneran, Nis, ngapain ditutup-tutupi. Kalau memang suka, nggak
ada salahnya," Listy ikut nimbrung.
"Nggak, ah! Aku belum mau pacaran." "Pacaran juga nggak apa-apa,
kok, N is. Buat penambah semangat," seta Karina.
"Iya, pasti kamu juga butuh motivasi. Siapa yang mendorong kamu
buat semangat belajar? Sekolah lebih rajin? Siapa, hayoo?" sambung Listy.
"Iya... tapi, kan, beda rasanya. Pokoknya nanti rasain sendiri, deh,"
kata Listy serius.
mUda
Selembar kertas diremas-remas Nisya lalu dilemparkannya ke
keranjang sampah di sudut kaman Tangannya masih memegang pulpen.
Tapi, pikirannya berlarian ke sana kemari.
Apa betul pacaran itu bisa bikin semangat belajar? N isya
bertanya-tanya dalam hati. Ah, rasanya rumus kayak begitu baru sekali ini
didengarnya. Lagipula, selama ini, N isya nggak mengalami kesulitan belajar.
M ama selalu siap membantu dan mengingatkannya kalau ia mulai malas
belajar. H anya saja, belakangan ini M ama agakjarang menanyakan
pelajaran N isya. Soalnya, sekarang M ama sering pulang malam, dan saat
pulang ke rumah, N isya sudah terserang kantuk. Jadi, ia tidak pernah bisa
ngobrol lama dengan M ama.
"M ama lagi sibuk apa, sih?" pernah suatu kali N isya bertanya.
"Kantor M ama sedang dapat proyek dari pemerintah. Kebetulan
M ama yang ditunjuk sebagai penanggung jaw ab. M akanya M ama sekarang
sering lembur."
"Capek juga. Tapi M ama harus menyelesaikannya secepat mungkin
Supaya kerjaan lainnya nggak menumpuk. N isya sendiri bagaimana?
Baikbaik saja, kan, dengan sekolahmu?"
"Baik-baik aja, kok, M a."
"Syukurlah kalau begitu. M ama istirahat dulu, ya?"
Semenjak M ama sering pulang malam, Nisya jadi sering kesepian.
M eskipun Papa sering pulang lebih aw al, itu tidak banyak membantu.
Soalnya, Papa juga sering membaw a pekerjaan kantornya ke rumah.
Kadang-kadang Papa juga sering ke luar kota. Seperti kemarin.
Nisya lagi-lagi diusik oleh obrolan di kantin Siang tadi. Kenapa, sih,
harus ada laki-laki dan perempuan? Tiba-tiba N isya ingat Abah. Dulu, ia
pernah menanyakan hal itu pada Abah w aktu usianya masih kecil. Jaw aban
Abah kira-kira begini, "M anusia itu sengaja diciptakan Allah
berpasangpasangan, laki-laki dan perempuan. Supaya apa?
Supaya Nisya tahu Encep, tahu Sodin. Jadi tidak hanya kenal Oneng
atau Entin saja"
Lalu apakah karena itu ada orang pacaran? N isya
menimbang-nimbang dalam hati. Tapi ia tidak bisa menjaw abnya.
"Yang pasti, hidup itu akan lebih indah kalau kamu punya pacar,"
terngiang ucapan Listy saat bubaran sekolah tadi.
Diambilnya Surat dari Tyo. Dibukanya lagi, tapi segera disimpannya
kembali ke dalam amplop. Pikirannya meneraw ang menembus langit
malam.
SUARA DARI
KAM AR BATIN
Halo, N isya!" Nisya barn saja turun angkutan umum ketika sebuah
suara menegurnya. Nisya tersentak kaget. Ditolehnya asal suara itu. Dhani
sedang berdiri di depan gerbang sekolah sambil tersenyum jahil. Tapi, yang
membuat Nisya kaget adalah cowok di sebelah Dhani. Itu, kan...Tyo! Dia
yang menegur tadi?
"Eh, ya, hai juga. Sedang apa di sini?" sahut N isya berusaha ramah.
"Ini, nganterin Dhani ke sekolah."
"Nggak tahu, nih, tiba-tiba Tyo jadi balk begini!" sahut Dhani. Ia
tertaw a menang ketika tonjokan Tyo mendarat di bahunya.
"Ooo ... !" Setelah itu Nisya bingung mau ngomong apa lagi. Untung
Dhani langsung tanggap.
"Sudah dulu, ya, Tyo. M akasih sudah dianterin, nih!"
Tyo melambai pada N isya. Nisya diam saja. Ia berjalan masuk ke
sekolah.
"Ngapain Tyo ngantar kamu segala?"
"Dia yang maksa. Aku, sih, mau aja. Gratis ini," jaw ab Dhani.
Nisya terdiam.
"Kenapa, N is? Kamu nggaksuka?"
"Sori, deh, kalau kamu nggak suka. Aku nggak bermaksud begitu.
Tapi, Tyo pengin banget ketemu kamu."
Nisya tak menjaw ab. Ia tak mau pagi ini perasaannya jadi tidak
mood.
"Kenapa, sih, Nis? Kamu jangan diam begitu, dong? Kalau kamu
marah, aku minta maaf, deh! Aku janji nggak akan ngajak Tyo ke sini lagi."
"Bukan masalah itu." N isya diam sebentar. "Semalam Tyo nelepon."
"Ha? Kok bisa? Tahu dari mana dia nomor telepon kamu?"
"Justru itu yang aku pengin nanya sama kamu."
"Nggak! Aku nggak pernah ngasih dia nomor telepon, kok!"
"M asak?'
"Beneran! Aku... aku nggak tahu, Nis. Tapi... w aktu itu Tyo sempat
buka-buku buku agendaku. M ungkin itu, Nis."
"Tuh, kan!" N isya gemas.
"Kamu marah, ya?" Dhani menebak-nebak. "M emangnya dia
ngomong apa?"
Nisya tak menjaw ab. Bukan soal omongan Tyo sebenarnya. H anya
saja, N isya merasa hari-harinya jadi terasa tidak bebas lagi. Seakan-akan ada
yang mengaw asinya setiap w aktu.
"Eh, kemarin isi suratnya apaan, Nis? Curhat, dong! Dia nyatain, ya?
Sudah, terima aja! Apa lagi, sih?! Tyo, kan, cakep... meskipun cakepan aku
"Bukan begitu."
"Terus, kenapa?"
"Aku belum mau pacaran, Dhan."
"Ah, kamu kuno! Kamu kebanyakan mikir, jadinya begini, nih!
Sudah, terima aja! Kamu nggak rugi, kok!"
Nisya diam. Dhani tidak mengerti maksudnya. "Kenapa, sih, Nis?"
"Nggak! Nggak apa-apa, kok."
"Begini, nih, kalau kebanyakan mikir," ledeknya. Nisya tidak
menanggapi. N amun, diam-diam ia menghela napas.
mUda
Nisya membolak-balik badannya di tempat tidur. Ia ingin tidur, tapi
matanya sulit terpejam. Ia ingin melupakan semuanya. Ingin melupakan
Tyo, Dhani, dan terutama... surat itu! Tapi memang ia tidak bisa
memejamkan mata sedetik pun. Terngiang ucapan Dhani. "Kamu kuno,
Nisya.... Kamu kuno...!"
Nisya tercenung. Benar aku kuno? M emangnya salah kalau aku nggak mau
pacaran?
Apakah setiap laki-laki dan perempuan harus selalu berpacaran?
Nisya tidak bisa menjaw ab. Ia merasa saat ini tidak ada yang
siapa? Dhani yang dianggap sahabatnya pun tidak mengerti perasaannya.
M alah seperti menyudutkannya.
Ah, M ama! Tiba-tiba terlintas dalam pikiran Nisya. M ungkin M ama
bisa membantunya.
Nisya turun ke lantai baw ah. Dilihatnya lampu kamar kerja masih
menyala. Ia ragu-ragu. Dilihatnya M ama begitu serius di hadapan meja
kerja sampai-sampai tidak menyadari kehadirannya.
"M a...?„
Kepala M ama menoleh. Ia menurunkan kacamatanya. "Ya? Kamu
belum tidur, Nisya?" N isya menggeleng.
"Kenapa?"
Nisya tak menjaw ab. "M ama masih sibuk, ya?" katanya batik
bertanya.
"Iya. Ada yang harus M ama selesaikan malam ini. Sebenarnya M ama
juga sudah ngantuk, tapi apa boleti buat, M ama harus selesaikan malam ini
juga."
"Oo...." N isya seperti ingin mengatakan sesuatu.
"Kenapa, N isya?"
"Nggak! Nggak apa-apa, M a," kata Nisya. "M ama mau dipijit?"
M ama tersenyum. "Nggak usah. Sebentar lagi juga M ama selesai.
M ama juga ingin tidur."
M ama ingin memanggil N isya, tapi ia lebih dikhaw atirkan oleh
laporan yang harus dipresentasikannya besok.
Di dalam kamarnya, Nisya kembali merenung. Ia merasa
benar-benarsendirian. Diambilnya buku harian. Lalu, mulailah tangannya
menggerakkan pulpen.
mUda
Hampir saja Nisya kesiangan. Untunglah hari ini ia sedang tidak
w ajib salat. Terburu-terburu ia makan roti sarapan paginya, lalu mengucap
salam pada papanya. M ama sudah lebih dulu berangkat.
” H ati-hati di jalan," kata Papa.
"Iya, Pa."
Semalam, N isya benar-benar tidak bisa tidur. Ia ingin membalas surat
Tyo. Tapi, berlembarlembar kertas hanya menjadi sampah. N isya tidak
tahu apa yang harus ia katakan. Dan ia juga tidak tahu mengapa ia harus
menulis surat.
"Tumben, datang Siang?" sambut Roni.
Nisya hanya membalasnya dengan senyum.
"Dia nggak bisa tidur karena mikirin kamu, Ron," sahut Angga yang
Nisya tak sempat membalas ledekan Angga karena Bu Rini sudah
masuk kelas. Ia langsung duduk di bangku. Dicobanya berkonsentrasi pada
pelajaran meskipun rasa kantuk begitu kuat menderanya. N isya barn bisa
bernapas lega setelah bel istirahat berbunyi.
"Nisya, ke kantin, yuk!" ajak Listy.
"Duluan, deh," kata N isya. Tapi, ia buru-buru meralat ucapannya
ketika dilihatnya Dhani hendak menghampirinya. "Aku ikut, Lis!" katanya
sambil berlari mengejar Listy.
Ia tahu, pasti Dhani akan menagih jaw aban N isya.
mUda
M alam-malam saat bulan purnama selalu membuat N isya teringat
Abah. Sedang apa, ya, Abah di sang? Apakah Abah sedang ingat N isya juga?
Atau, sekarang ia sedang bermain-main dengan anak-anak tetangga
mereka?
Nisya tiba-tiba merasa iri.
"Lihat bulan itu, N isya! Indah sekali, ya?" "Ya, Abah, indah sekali.
Bah, katanya bulan itu tempat tinggal putri. Benar, Bah?"
Abah tertaw a. "Ah, itu cuma dongeng, N isya. Tapi, keindahan bulan
itu memang ada yang menciptakan."
"Allah. Bulan itu ciptaan Allah. Sama seperti kita."
"Jadi bulan itu hidup seperti kita, Bah?"
"Dia hidup, tapi tidak sama seperti kita, Nisya," katanya sambil
merangkul N isya.
Nisya menyandarkan kepalanya di dada Abah. "N isya pengin ke
bulan, Bah."
"Suatu saat nanti, Nisya bisa ke sana." "M emangnya bisa, Bah?"
"Bisa. Tapi N isya harus belajar rajin, ya?!"
Nisya merapatkan kepalanya. Ia menatap w ajah kakeknya yang
bercahaya tertimpa sinar bulan. "N anti kalau N isya bisa ke bulan, Nisya
ajak Abah ikut," katanya.
Abah tersenyum sambil memeluk Nisya dengan erat.
Tangan Nisya perlahan membuka jendela. Cahaya bulan masuk ke
dalam kamar, membasuh tubuh N isya dalam baluran w arna
kekuningemasan. Nisya tertegun dalam diam. Kerinduan itu sangat
menyesakkan dadanya.
Abah, Nisya kangen, desisnya hampir tak terdengar. M elihat bulan
yang bulat itu, ia seakan melihat Abah. Seakan Abah sedang tersenyum
sehingga membuat kedua sudut bibirnya berlekuk-lekuk. Dan, ketika Abah
mengangguk-angguk, janggut putihnya seperti ikut berayun-ayun.
Inginnya Nisya bergayut di bahu Abah dan merasakan kehangatan di
bercerita pada Abah tentang Tyo dan surat itu! Kira-kira apa, ya, reaksi
Abah? Ah, alangkah kangennya N isya pada Abah.
"Nisya, kalau lagi ada masalah, jangan dipendam sendiri, ya? Cerita
pada M ama." N isya ingat, M ama Bering berucap begitu pada N isya saat
pertama N isya datang ke rumah ini. Waktu itu, N isya hanya
manggut-manggut dengan canggung. Perlahan, ia memang bisa lebih terbuka dengan
mamanya.
Tapi, sekarang M ama sangatsibuk, desahnya dalam hati. N isya tak
mungkin mengganggu M ama.
Nisya ingin mengeluh. Tapi tak tahu mengeluh pada siapa. Kalau
dulu, sebelum M ama sesibuk sekarang, ia masih bisa bercerita pada M ama.
Tapi, rasanya itu sudah berlangsung lama sekali. Kini, Nisya merasa M ama
semakin jauh darinya.
Suara Bik Irah terdengar dari baw ah menghentikan lamunan Nisya.
"Nisya! Ada telepon!"
"Dari siapa, Bik?" teriak Nisya dari dalam kamar.
"Dari Tyo!"
Nisya tertegun sesaat. Hatinya bimbang, antara menerima telepon
dan tidak. Ini sudah kelima kalinya Tyo menelepon. Padahal barn dua hari
yang lalu telepon terakhirnya. Akhirnya, dengan malas-malasan Nisya turun
Nisya mengangkat gagang telepon. "Halo! Assalamualaikum," kata
Nisya mulai bicara.
"Wa alaikumsalam. Nisya, ya? Lagi ngapain?" suara Tyo terdengar
begitu riang.
"Ngg ... nggak lagi ngapa-ngapain. Baca buku aja."
"Wah, Nisya rajin, ya?"
Nisya tertaw a kecut. Entah, Tyo merasa-kannya atau tidak.
"Ee, N isya suka jalan-jalan ke mal nggak?" tanya Tyo lagi.
"Ngg... nggak begitu suka. Soalnya suka pusing," kata N isya jujur.
"Wah, sayang, ya? Padahal saga pengin ngajak Nisya jalan-jalan.
Kalau nonton, gimana?
Suka?"
"Suka juga. Biasanya nonton di VCD bareng M ama."
"Kalau ke bioskop gimana?"
Nisya terdiam beberapa jenak. Bingung mau menjaw ab bagaimana.
"Sesekali. Tapi biasanya sama keluarga."
"Oo...," lalu diam. N isya menunggu.
"M m... padahal tadinya pengin ngajak Nisya jalan-jalan."
"Terima kasih. Tapi, mungkin lain kali aja, ya?" jaw ab N isya.
"Ya, udah. N ggak pa-pa. Sampai nanti, ya? Assalamualaikum."
Nisya menutup telepon. Pikirannya berkecamuk. Ia berjalan seperti
tidak memandang ke depan.
"Nisya kenapa?" tegur Bik Irah heran.
Nisya tergagap. "Nggak! Nggak apa-apa, Bik. M ama belum pulang?"
"Belum."
Dalam hati Nisya mengeluh. "Saga tidur dulu, Bik," katanya.
Nisya buru-buru naik ke kamarnya. Tapi setelah mengunci kamarnya, Nisya
malah tidak bisa tidur. Pikirannya berlarian ke sana kemari.
mUda
"Kamu itu sebenarnya suka nggak, sih, sama Tyo?" tanya Dhani saat
istirahat.
"Kenapa, Dhan?"
"Semalam, Tyo nelepon ke rumah, nanyain jaw aban kamu. Dia
mendesakku terus."
Nisya terdiam.
"Kamu suka, tapi malu bilangnya, ya?" N isya tersentak. "Kata siapa?"
"Kata saya," sahut Dhani asal. "Soalnya kamu kayak kebingungan
begitu."
"Kalau kamu nggak suka, ngomong dari sekarang. Jadi aku nggak
perlu tiap hari selalu ngarang jaw aban bust Tyo."
"M emangnya kamu ngasih jaw aban apa ke Tyo?"
Dhani meringis. "Jaw aban asal aja. Aku bilang iya-iya aja kalau dia nanya
jaw aban kamu."
"Astagfirullah, Dhan! Kok, kamu bilang begitu?" N isya betul-betul
kaget. Pantas saja Tyo jadi begitu rajin meneleponnya. M ungkin gara-gara
Dhani banyak memberi harapan pada Tyo.
"Habisnya nungguin jaw aban kamu lamaaa...!"
"Tapi, kan, kamu nggak mesti bilang begitu. Kamu tahu, sekarang
Tyo jadi Bering nelepon ke rumah."
"M akanya, kasih jaw aban yang jelas, dong!" Nisya merasa tersudut.
"Aku, kan, sudah bilang belum mau pacarpacaran begitu," katanya
mencoba membela diri.
"Ah... jaw aban itu melulu. Kalau kasih jaw aban harus yang jelas!"
"M emangnya itu belum jelas?"
"Itu, sih, sama Baja menggantung orang!" kata Dhani.
Nisya terdiam. Ia tidak mau ngomong lagi sama Dhani.
Kenapa, sih, nggak ada yang mau mengerti? Nisya bertanya dalam
hati. Sepertinya tak ada yang mau peduli perasaannya saat ini. Nisya
mengerti, Dhani teman Tyo. M ungkin Dhani merasa tidak enak dengan
Tyo, atau merasa selalu terteror dengan pertanyaan Tyo.
Nisya juga ngerti, dia salah. Tidak memberikan jaw aban yang pasti.
Tapi Nisya ingin Dhani juga mengerti perasaannya. Ini benar-benar
pengalaman pertama buat N isya. Dikirimi surat cinta oleh laki-laki selama
ini tidak terbayangkan olehnya. Apalagi harus memberikan keputusan.
Nisya benar-benar bingung. Apa yang harus ia jaw ab. Apakah ia
harus menjaw ab iya? Lalu mengapa ia harus menjaw ab iya? Apa hanya
karena Tyo teman Dhani. That's it?
"Ia cakep, kurang apalagi, coba?" kata Dhani suatu kali mencoba
meyakinkannya.
Tapi apakah cukup karena itu? Nisya akui Tyo cakep. Bahkan ia juga
kelihatan baik. Tapi masak ha iya karena itu? M emangnya kalau melihat
orang itu cuma karena w ajah cakepnya? Apa nggak ada yang lain?
Saat ini ia ingin menjaw ab tidak, tapi ia takut itu menyinggung perasaan
Tyo. N isya bingung harus menjaw ab seperti apa. Kemarin, ia sudah
berusaha memberikan surat jaw aban. Tapi berlembar-lembar kertas surat
dibuang, tetap saja ia tidak menemukan jaw aban yang pas.
Kalau sedang dilanda gelisah seperti ini, selalu saja N isya teringat
masalah, Abah mau menjadi pendengaryang baik. Rasanya N isya ingin
terbang saat ini juga. Sayang aku nggak punya sayap, batinnya. Coba kalau
aku burung, sudah kulintasi Jakarta menuju desa di ujung Jawa Barat sang.
Tapi N isya tak berdaya apa-apa.
Perlahan-lahan N isya menjangkau buku hariannya, meraih pulpen,
lalu mulai merangkai kata-kata yang ada dalam hatinya. Semua
perasaannya. Tapi, gejolak hatinya ternyata tak sama dengan apa yang
ditulis. Rasanya sulit sekali mengungkapkan perasaan hati, mengungkapkan
semua hal yang dirasakannya. Diremasnya sobekan kertas yang barn ia tulis
sebelum dilemparkannya ke dalam kotak sampah. Ia tercenung dalam
kesendirian. Saat ini ia benarbenar membutuhkan seorang teman.
Dalam kesendirian begini, suara Abah seperti melintas ke telinganya.
"Nisya, kalau lagi ada masalah, w udhu dulu, lalu salat!"
Nisya tersentak. Suara itu begitu dekat. Seperti ada dalam dirinya
sendiri. Dengan cepat Nisya berdiri. Terima kasih Abah, sudah
mengingatkan, katanya dalam hati.
Selesai salat, N isya merasa pikirannya lebih jernih. M emang aku
harus memutuskan, katanya dalam hati. Lalu, dengan perasaan tenang,
Nisya mulai menulis.
Assalamualaikum w arahmatullahi w abarakatuh. Tyo, terima kasih
Tangan N isya bergerak begitu lancar, seperti ada yang
menuntunnya.
mUda
Sikap Dhani tiba-tiba berubah. Di mata Nisya, Dhani tak lagi seperti
dulu. Kenapa, sih, orang bisa berubah? N isya tak habis pikir, apa yang
membuat Dhani kelihatan jadi tak bersahabat. Dhani tak selucu dulu lagi.
Biasanya N isya selalu ingin tertaw a melihat tingkah lake Dhani. Tapi
sekarang, kok, Dhani Bering kelihatan sew ot. Setiap apa yang diucapkan
Nisya, Dhani selalu mengomentarinya dengan sinis.
Apa yang salah dengan Nisya? Apa gara-gara surat balasan N isya?
Dalam hati, N isya mengiraira. M ungkin Dhani sudah tahu jaw abannya dari
Tyo. Tapi kenapa Dhani harus marah? Itu, kan, hak Nisya untuk
menentukan keputusan. Lagipula, dia sudah ngomong berapa kali ke Dhani
sebelumnya? Seharusnya Dhani mengerti.
Seperti sekarang, siang ini. Nisya minta antar Dhani mampir ke toko
buku sebentar. Soalnya, jurusan rumahnya dengan Dhani search.
"Dhan, anterin aku, ya? M au nggak?"
"Ke mana?"
"M ampir ke toko buku sebentar. Ada yang mau dibeli."
"Ayo, dong, Dhan!" bujuk Nisya.
"M emangnya aku bodyguard? M akanya jangan pakai nolak cow ok
segala. Sekarang butuh, kan?" kata Dhani judes.
Nisya tersentak. Belum pernah Dhani bersikap begini.
"Kok, kamu ngomong begitu? Ya sudah kalau kamu nggak mau, aku
juga bisa sendiri. Tapi kamu nggak perlu ngomong begitu," teriak Nisya
kesal.
"Kenapa, Nis?" tanya Listy yang tiba-tiba sudah berada di samping
Nisya.
"Nggak apa-apa," kata Nisya pelan. Padahal hatinya bergolak. Ia
tidak bisa menerima sikap Dhani yang seperti itu.
"Berantem sama Dhani?" tebak Listy. N isya diam.
"Sahabat kok berantem?"
"Dhani sekarang berubah."
"Berubah gimana?'
Nisya menghela napas. "Kayaknya beda banget sama Dhani yang
dulu," katanya. "Aku juga nggak tahu apa masalahnya."
"M ungkin kamu pernah nyakitin hatinya?"
Nisya menggeleng. "Perasaan nggak pernah. Tapi, kayaknya
belakangan ini dia lebih gampang marah. M ungkin gara-gara Tyo."
"M emangnya kamu ngasih jaw aban apa sama Tyo?"
"Nah, mungkin itu, N is!" sahut Listy. "Tyo kan sahabatnya. M ungkin
dia juga merasa nggak bisa nerima itu."
"Tapi aku, kan, sudah bilang sebelumnya ke Dhani."
"Ya... namanya juga sahabat!" kata Listy tertaw a, berusaha
menenangkan hati Nisya.
Perasaan N isya tetap belum bisa menerima.
Sekarang kamu mau ke mana?" tanya Listy.
"M au ke toko buku. M au nemenin aku nggak?"
” Ayo! Siapa takut?"
Nisya meraih tangan Listy dengan senang. Sedikit kekesalannya pada
Dhani terobati.
mUda
Embun pagi menitik dari tangkai-tangkai bunga maw ar dan
membasahi dahannya. Begitu bening. Tangan Nisya tergoda menyentuh
kelopak yang mulai memerah itu. Bibirnya menyunggingkan senyum.
"Halo, adik manis! Lagi ngapain?"
Nisya tersentak kaget. Di ambang pintu kamarnya, kakaknya
tersenyum lebar.
"Kak Ryan!" N isya menjerit senang. "Kapan datang? Kok, Nisya
"Semalam. Kamu sudah motor duluan."
Nisya mencium telapak tangan kakaknya.
"Kamu lagi ngapain?" Ryan duduk di sisi tempat tidur, memandangi
adiknya yang bersender di tepi jendela.
Nisya tersenyum tersipu-sipu. "Lagi nggak ngapa-ngapain. Di rumah
aja, mumpung lagi libur."
"Kasihan adikku. N ggak ada teman, ya? Sini! Kak Ryan temani!"
Nisya cemberut merasa diolok-olok. "Biarin aja," sahutnya.
M ama dan Papa hari ini memang tidak di rumah. Ada undangan
pernikahan anak kolega Papa yang harus mereka hadiri di luar kota. Sejak
pagi tadi mereka sudah berangkat.
"Daripada bengong di rumah, mendingan jalan, yuk?!"
"Sekarang?"
"M emang maunya kapan? Besok?" ledek Ryan. N isya cemberut lagi.
"Ke mana?"
"Ke mana maunya? Ke mal? Katanya N isya nggak suka ke mal?"
Nisya menggeleng. "Ke toko buku aja, ya?" taw arnya.
"Boleh."
"Terus, traktir N isya makan!" teriak Nisya girang.
Ryan menggaruk-garuk kepala. "Pulang ke rumah justru pengin
minta sangu ke Papa, ini kok dibajak," katanya memelas.
Ryan mencubit pipi N isya dengan gemas. "Adikku ini memang paling
balk sedunia."
"Huh! Gombal! Kak Ryan sudah mandi belum?" Ryan meringis,
"Belum jadw alnya."
"Wah, kebiasaan kos dibaw a-baw a ke rumah. Sekarang Kak Ryan
mandi dulu. Biar N isya siapsiap."
"Siap, Bos!" Ryan memberi homat, lalu menghilang dari depan pintu.
Nisya tersenyum geli. Kedatangan kakaknya membuat hatinya
senang.
mUda
Pukul sepuluh mereka sudah ada di toko buku.
Nisya sibuk memilih novel remaja yang bertumpuk di depannya,
sementara Ryan sibuk membolak-batik komik. Biarpun sudah kuliah, Ryan
masih suka baca komik. Di kamarnya, poster tokohtokoh kartun memenuhi
Binding.
"Jangan salah, N is. Cerita komik banyak juga filosofinya, lho," kata
Ryan suatu ketika. Nisya cuma manggut-manggut. Setengah jam kemudian,
sebuah buku novel remaja islami berada di tangan Nisya. Ryan dilihatnya
masih asyik membaca.
"Sebentar. Sedikit lagi, N is," kata Ryan sambil membalik halaman
dengan cepat.
"Dibeli, dong, Kak."
"Tanggung. Lumayan, jadi irit pengeluaran."
Nisya menunggu dengan sabar. Tak berapa lama, mereka sudah
keluar dari toko buku. Suasana penuh sesak ketika mereka memasuki
sebuah restoran fast food. N isya mencari tempat makan sementara Ryan
memesan makanan.
"Tumben, nih, Kak Ryan udah pulang? Biasanya sebulan sekali bare
nongol," kata N isya sambil menyantap ayam goreng.
"Kan, tadi sudah dibilangin, sangunya habis." "Oo, pantas. Kalau
nggak begitu, pasti malas pulangnya.'
"Jakarta panas. Enakan di Bandung. Adem."
Dalam hati Nisya mengangguk setuju. Ia ingat masa kecilnya di
Tasikmalaya. Sejuk dan tenang.
"Kapan-kapan boleh, dong, N isya ikut ke Bandung?"
"Boleh aja. Tapi N isya, kan, belum libur." "Iya, sih. N tar, kalau
liburan, Nisya sekalian mau ke Tasik."
"Kangen, ya, sama Kakek?"
"Habis, di rumah sepi."
"M akanya cari pacar, biar nggak kesepian. M asak cakep-cakep begini
"Ada, sih, yang suka...." N isya tidak melanjutkan kata-katanya.
Tangannya memutar sedotan dalam gelas minuman.
"Terus?"
"Nggak pengen aja."
"Nggak pengin atau nggak pengin?" Ryan memainkan matanya
dengan jenaka.
Nisya tidak meladeni. "Sudah Siang, Kak. Pulang, yuk! M ama dan
Papa mungkin sudah pulang."
M ereka beranjak keluar dari tempat makan. Nisya tidak tahu, ada
sepasang mata yang mengaw asinya.
mUda
"Sya, aku mau ngomong!" Dhani tiba-tiba sudah berada di depannya.
M ukanya kelihatan ditekuk berlipat-lipat. N isya yang hendak keluar kelas
dengan Listy mengurungkan niatnya. Dibiarkannya Listy pergi bersama
Kania.
"M au ngomong apa?"
"Tapi bukan di sini," kata Dhani dingin.
"Lho, memangnya ada apa?" Nisya jadi penasaran.
"M akanya, sekarang kamu ikut aku."
"Sekarang, Sya, jaw ab dengan jujur, kenapa kamu menolak Tyo?"
todong Dhani dengan tiba-tiba.
Nisya bingung. Kemarin, kan, dia sudah ngomong dengan Dhani.
Apa Dhani sudah lupa? Tapi, melihat w ajah Dhani yang dingin, Nisya tahu
ada sesuatu yang serius.
"Dhan, kemarin aku kan sudah bilang kalau aku belum mau pacaran
dulu...."
"Bohong! Bilang aja kalau kamu nggak suka sama Tyo, soalnya dia
nggak terlalu cakep, beda sama cow okmu itu."
"Kamu ngomong apa, sih, Dhan?" tanya N isya tidak mengerti.
"Sudah, nggak usah bohong, deh! Aku sudah tahu semuanya, kok!
Cuma yang bikin aku kecew a, kenapa kamu harus ngomong seperti itu?!
Kenapa kamu nggak mau jujur?! Pura-pure nggak mau pacaran segala!"
"Kamu ngomong apa, sih, Dhan? Aku nggak ngerti."
"Kemarin, Tyo lihat kamu jalan sama cow ok. Cakep! Pakai
mesra-mesraan lagi. Nah, sekarang kamu pugs?"
"Tunggu, Dhan! Dengar dulu!"
Nisya ingin menjelaskannya, tapi Dhani sudah keburu pergi.
"Aku nggak mau dengar kamu lagi!" teriaknya.
Nisya terdiam lemas. Kenapa semuanya jadi kacau begini? Dengan
lesu, ia melangkah ke kelas.
M ungkin sedang di kantin sekolah. Atau... mungkin dia di belakang
sekolah, nongkrong bergerombol dengan anak-anak cow ok yang lain.
Nisya duduk di bangkunya dengan bingung. Ruangan sepi. Nisya
mengambil buku dari laci mejanya. Ia membuka-bukanya sebentar, tapi
dengan malas-malasan menaruhnya kembali. Pikirannya terasa begitu
kacau.
mUda
Sejak peristiw a tempo hari, Dhani seperti enggan bertegur saps
dengan N isya. Seat keluar istirahat, Dhani sengaja lama-lama ngobrol
dengan Roni dan Adit. Atau, kalau tidak, ia duduk bergerombol di depan
kelas dengan anak-anak cow ok yang lain. Kelihatan sekali ia menghindari
Nisya.
Nisya juga merasa males lebih duluan menyapa. Ia merasa tidak
bersalah apa-apa. Tapi lama-lama ia tidak merasa nyaman dengan keadaan
seperti ini.
Nisya harus menjelaskannya pads Dhani. Tapi, sulit sekali menemukan
kesempatan itu. Hingga suatu kali, N isya melihat Dhani sendirian di
mejanya. N isya langsung menghampiri.
"Dhan, saga mau ngomong."
"Ngomong aja."
Nisya langsung bersikap serius. Suara Dhani dirasanya begitu dingin.
Ia mengambil napas sebelum berbicara. "Pertama, jaw abanku buatTyo
memang seperti itu. Nggak ada yang dibuat-buat, Dhan."
"Kenapa? Karena sudah ada cow ok yang kemarin?"
"Dan yang kedua," kata Nisya tidak menghiraukan kata-kata Dhani
yang penuh nada ledekan, "yang Tyo lihat itu bukan siapa-siapa. Dia
kakakku, Kak Ryan."
Dhani kelihatan kaget. "Ah, nggak percaya! Aku nggak pernah lihat
sebelumnya! Dan kamu juga nggak pernah cerita," sergah Dhani.
"Terserah. Itu hak kamu mau percaya atau nggak," tandasnya.
Dilihatnya Dhani terdiam.
Nisya merasa tidak ada lagi yang perlu diucapkannya. Ia langsung
berbalik meninggalkan Dhani. Perasaannya menjadi lebih tenang sekarang.
TEM AN BICARA
Nisya punya kesibukan baru, menonton pertandingan olahraga
antarsekolah. Sebenarnya Nisya tidak begitu suka dengan acaraacara
seperti. Tapi kali ini berbeda. Ada Amanda, teman sekelasnya yang menjadi
tim basket sekolah. Akhirnya ia dan teman-teman cew ek sekelas dengan
sukarela menjadi pemandu sorak gratisan.
Amanda memang jago main basket. Tubuhnya yang setinggi seratus
tujuh puluh senti itu bergerak lincah. Setiap kali ia melambungkan bola ke
keranjang, gemuruh suara penonton menggema pertanda lemparannya
tepat sasaran. Shinta dan Devi yang begitu bersemangat, tak henti-hentinya
berteriak. M ereka mungkin layak jadi pemandu sorak betulan.
Kadang-kadang saking semangatnya, mereka sudah bersorak duluan sebelum bola
masuk. Alhasil, gantian mereka yang jadi sorakan penonton.
Nisya mengedarkan pandangan. M eskipun baru semifinal, banyak
sekali penonton hari itu. Soalnya kedua tim merupakan tim favorit.
Penonton dari sekolah tuan rumah mengumpul di seberang mereka. Banyak
sekali. Suara mereka riuh rendah setiap kali tim mereka menyarangkan
bola. Perolehan angka Baling mengejar. Sebuah lemparan jarakjauh dari
Amanda menambah perolehan tiga angka membuat tim mereka tertinggal
tipis satu angka. Shinta dan and the gank bersorak dengan gempita.
Pandangan matanya terpaku ke sudut lapangan di seberang sang.
Tanga is kehendaki, dadanya berdetak lebih keras. Pada saat itu, Amanda
menyarangkan bola lagi. Teman-temannya bersorak keras. Nisya ikut
bersorak dengan kerasnya.
Tim mereka unggul.
Amanda langsung menjadi bintang. la
dikerumuni anak yang memuji penampilannya.
"Percaya, deh, kalau Amanda ada di depan, semuanya beres!" kata
Listy mengompori.
"Pokoknya, kalau tim kita juara, M anda saga traktir sebulan penuh!"
Devi tak kalah panas.
"Serius?" tantang Kania.
"Kalau ada uang jajan lebih... hehehe."
Tak ayal, Devi jadi sasaran kegemasan anak-anak.
Sore ini mereka memang ditraktir Pak Gatot.
"Sebagai rew ard atas keberhasilan kalian," kata beliau mirip seperti
kata sambutan. Anak-anak bertepuk tangan dengan riuh.
M ungkin hanya N isya yang tidak menikmati sore yang cerah itu.
Pikirannya masih dibayangbayangi sosok yang ia lihat tadi. Benarkah itu
Tyo? Lalu, siapa perempuan yang di dekatnya?
Nisya tiba-tiba merasa aneh dengan dirinya. Ada apa dengan
Bu Rini hari ini sakit. Anak-anak seperti mendapat keberuntungan.
Kelas yang biasanya tenang mendadak seperti pasar kaget. Tugas yang
diberikan oleh Pak Herman, w ali kelas I.A, tidak berpengaruh apa-apa.
Tampaknya mereka tahu itu cuma trik Pak Herman saja supaya mereka bisa
tenang. Anak-anak hilir-mudik ke sana kemari dengan suara seperti burung.
Ketika Bu Wanda yang sedang mengajar di kelas sebelah menengok
ke ruangan, dengan kompak mereka menjaw ab, "sedang mengerjakan tugas
M atematika, Bu!"
"Bu Rini ke mana?"
"Sakit, Bu!"
"Ya, sudah. Tapi jangan ribut, ya. Ibu sedang mengajar di kelas
sebelah."
"Iya, Bu!"
Tapi, setelah kepala Bu Wanda menghilang, kelas kembali riuh
seperti semula.
Nisya tampak sibuk membolak-balik buku catatannya. Listy yang
duduk di sebelahnya sudah mendok ke meja belakang. Ia sibuk bergosip
dengan teman-teman gank-nya. Nisya malas ikutikutan. Paling yang
diobrolin nggak jauh dari cow ok, pikirnya.
Nisya sedang gelisah. M atanya melirik ke meja seberang. Dhani
mengerjakan tugasnya. Tapi, ia sulit berkonsentrasi. Ketika Dhani kembali
ke mejanya, N isya menggeser badannya supaya lebih dekat ke meja Dhani.
"Than, Dharma N usa itu SM U-nya Tyo, ya?"
Dhani menoleh. "Iya," jaw abnya singkat.
"Pantas, kemarin aku lihat Tyo ada di sana."
Nisya diam beberapa saat, melirik ke Dhani, ingin melihat
responnya.
"Kemarin saya lihat dia sama cew ek. Pacarnya, ya, Dhan?"
"Kenapa? Cemburu, ya?" ledek Dhani.
"Enak aja. Emangnya Tyo siapa?" N isya merasa intonasi suaranya
menaik tanpa disadari. "N ah, itu pakai tanya-tanya segala?!"
"Cuma pengin tahu aja. M emangnya nggak boleh?"
"Kamu, sih, pakai menolak segala," balas Dhani.
Nisya tidak menjaw ab, berpura-pura sibuk dengan tugasnya. Dhani
tiba-tiba pindah ke meja di depan Nisya. "N is, kenapa sih kemarin pakai
menolak Tyo segala? sudah punya yang lain?"
"Nggak."
"Terus, yang kemarin itu siapa?"
"Itu kan kakakku, Ryan. Sekarang lagi kuliah di Bandung."
"M mm...." Dhani manggut-manggut. "N ah, terus kenapa?"
"Kan sudah dibilangin kemarin, aku nggak man pacaran dulu."
Nisya jadi sew ot. "Biarin!"
"Susah, deh, sama cew ek kuno...."
Nisya ingin marah, tapi Dhani sudah keburu pergi. N isya cuma bisa
memendam marahnya dalam hati. Kenapa, sih, Dhani sekarang makin
nyebelin? batin N isya ingin meledak.
Waktu istirahat, N isya sengaja tidak keluar kelas. Ia masih sebal
dengan Dhani. Ketika Dhani mengajaknya makan di kantin, ia pura-pura
sedang malas jajan. Padahal ia sedang malas ngobrol dengan Dhani. Tidak
tahu kenapa, ngobrol dengan Dhani tidak menyenangkan lagi. Nisya
merasa Dhani tidak seperti dulu lagi. Dulu, kalau sudah ngobrol dengan
Dhani, perasaan bete N isya bisa hilang. Kalau ia sedang merasa tidak
diperhatikan M ama di rumah, guyonan-guyonan Dhani yang kocak bisa
membuat Nisya tersenyum kembali. Tapi sekarang, setiap dekat dengan
Dhani, Nisya merasa kata-kata cow ok itu sering menyakitkan. Apa yang
salah dengan dirinya? Padahal selama ini ia bersikap balk-balk saja. Kalau
ingat itu semua, N isya makin sebal sama Dhani.
"Nggak ke kantin, Nis?"
Nisya menoleh. Ternyata Wina. Ia langsung tersipu merasa terpergok
sedang melamun. "Lagi malas makan, Win."
Wina seperti ingin mengucapkan sesuatu, tapi tidak jadi. Ia kembali
sibuk memijit-mijit tombol handphone.
"Kirim sms ke teman," jaw abnya. Setelah itu, Wina tidak bersuara
lagi.
Diam-diam, N isya memerhatikan Wina. Selama ini ia jarang sekali
ngobrol dengan Wina. M ungkin karena memang letak meja mereka yang
berjauhan. M ungkin jugs karena mereka tak pernah dikondisikan untuk bisa
ngobrol lebih banyak. Hanya tegur saga seadanya saja kalau kebetulan
mereka berpapasan.
Nisya selama ini tidak pernah memikirkan hal ini. Tapi, entah
mengapa sekarang ia tiba-tiba ia ingin lebih banyak ngobrol dengan Wina.
"Kamu nggak ke kantin, Win?" tanya Nisya mulai membuka
percakapan. Dilihatnya Wina menoleh sekilas.
"Nggak. Lagi males," jaw ab Wina pendek.
Nisya tahu, kalau ke kantin Wina selalu dengan temannya yang
berbeda kelas. Tapi N isya tidak tahu namanya. Bagaimana bisa tahu,
ngobrol dengan Wina saja sangat jarang.
"Lho, nggak makan, Nis?" Tiba-tiba Listy sudah masuk kelas bersama
Kania. M ulut mereka berdesah-desah kepedasan.
"Nggak. Lagi malas," sahut Nisya tak bersemangat.
"Tumben," sahut Kania, "Biasanya sama si Gembul." N isya tidak
bereaksi.
"Apa? M arahan?" Kania yang bereaksi. Tangannya mengguncang
bahu Listy seperti ingin tahu lebih banyak. "M arahan kenapa?"
Listy memainkan matanya seperti minta persetujuan N isya. Tapi,
meskipun N isya memandanganya dengan sew ot, Listy tetap melanjutkan,
"Nggak apa-apa. Nisya cuma lagi sebal aja sama Dhani, kok," katanya
sambil mengerlingkan mata.
"Udah, ah ... !" sergah N isya.
Tapi bukannya berhenti, mereka semakin senang melihat Nisya
cemberut.
"Oh, pantesan kayaknya tadi ngelihat Dhani sendirian aja. Di
pojokan lagi!" kata Kania sambil terkikik.
"M arahannya lucu! Kayak orang pacaran aja," sahut Listy ikut
tertaw a. Tapi ia segera menyimpan taw anya ketika melihat Dhani masuk ke
dalam kelas bersama Rony dan Andika. Listy segera mencoba bersikap
w ajar, tapi rant mukanya tetap saja kelihatan menahan taw a.
Ingin sekali N isya mencubit pinggang Listy. Tapi ia tahu, kalau itu
dilakukan, justru Listy benarbenar akan tertaw a. N isya lebih memilih diam.
Untunglah bel sekolah menyelamatkan Nisya. Kania segera ke
tempat duduknya yang berada di belakang Nisya dan Listy. Tapi, saat
pelajaran dimulai, Kania berulang kali mencolek bahu Listy, lalu seperti
bahu mereka yang berguncang-guncang menandakan mereka sedang
tertaw a ditahan.
Nisya memandang ke arah lain, bersikap seolah-olah tidak tahu.
Pandangannya hinggap ke meja Dhani. Dhani sedang ngobrol berbisikbisik
dengan Roni. Apa Dhani tahu perasaannya saat ini? Apa Dhani tahu kalau
saat ini Nisya seda ng marah?
"Kania! Listy! Coba perhatikan ke depan!" suara Pak Herman
menyentakkan lamunan N isya.
Kania dan Listy langsung terdiam. Beberapa pasang mata melihat ke
arah mereka. Termasuk Dhani. N isya cepat beralih pandangan, pura-pura
tidak melihat.
Pulang sekolah, N isya sengaja pulang dengan Listy dan Kania, meskipun
tahu ia berbeda arah dengan mereka berdua.
"M au ke toko buku dulu bareng Listy dan Kania!" sahutnya saat
Dhani memanggilnya di koridor sekolah.
"Ke toko buku apa ke toko buku?" ledek Listy. "Huss!" Nisya
mendelik. Untunglah Dhani masih berada jauh di belakang mereka.
Listy dan Kania lagi-lagi tertaw a. Senang sekali mereka meledek Nisya.
Soalnya kalau sudah diledek, Nisya lebih banyak tidak berkutik dan hanya
M ereka menunggu di halte bis. Ramai sekali lalu lalang dan orang
naik-turun bis. Nisya tidak pernah menunggu di halte karena angkot
jurusannya urusannya biasanya berhenti langsung di depan sekolah.
"Toko bukunya di mana?" tanya Kania pada Listy. Wajahnya seperti
serius.
Nisya tahu, Kania masih mencoba meledeknya. "Udah, deh!"
pintanya.
Diam-diam Nisya menyesal telah berbohong pada Dhani. Tanga sengaja,
ekor matanya menangkap Dhani dan Roni keluar dari gerbang sekolah di
antara kerumunan anak-anak yang lain. M ereka langsung naik ke dalam
angkot yang sudah parkir di depan sekolah. N isya cepat terlibat obrolan
dengan Listy dan Kania. Dengan begitu ia bisa memalingkan muka ketika
angkot yang dinaiki Dhani lew at.
"Nis, beneran nih mau ke toko buku?" tanya Listy.
Nisya menggeleng. "Lain kali aja."
"Kalau begitu, kita duluan, ya? Tuh, bisnya sudah datang!"
Nisya melambai pada Kania dan Listy. Begitu bis itu sudah menjauh,
Nisya berjalan berbalik arah ke gerbang sekolah. Ia sengaja memperlambat
jalannya, menunggu penumpang agak berkurang. N isya mematung
sendirian. Tak enak juga rasanya seperti ini. Sendirian tak punya teman.
Kalau ada Dhani, ia sudah tertaw a-taw a sekarang ini. N isya merasa
Bunyi klakson mobil mengejutkan Nisya. Sebuah kepala menyembul
dari kaca mobil. "Pulang ke mana?"
Nisya terlihat gelagapan. "Eh... ke Pasar M inggu."
"Ikut, yuk!"
"Nggak usah, Win,"
"Ayo, nggak apa-apa. Kita sejurusan, kok! Aku ke Cinere."
Dengan ragu-ragu, N isya membuka pintu dan masuk ke dalam
mobil.
"Nggak apa-apa, Win? Jadi ngerepotin kamu," kata Nisya masih tak
enak hati.
"Nggak apa-apa, kok! Nggak ada kamu juga aku pasti lew at situ,"
kata Wina membuat N isya tersenyum.
"Kok, pulang sendiri?"
Nisya terdiam ditanya begitu. "Kebetulan aja. Yang lain sudah pads
duluan," jaw ab N isya buruburu.
Wina tidak bertanya lagi. Ia mulai sibuk memerhatikan jalan.
Kepalanya menganggukangguk mengikuti irama lagu dari tape mobil. Nisya
diam-diam memerhatikan. Tidak pernah terbayang oleh N isya ia bisa
duduk satu mobil dengan Wina. M akanya ia menjadi bingung harus
memulai obrolan dari mana. Ia sudah siap mengucapkan sesuatu, tapi ia
mengurungkan niatnya ketika melihat Wina tampak seperti tidak ingin
"Rumahmu di mana, N is?"Akhirnya Wina yang bertanya.
"Di Kompleks Pertanian," jaw ab N isya. "Oh, papamu kerja di sang?"
Nisya mengangguk. "Tapi, turunnya di jalan aja, Win. N ggak usah
masuk kompleks. Nggak enak sama kamu."
"Nggak apa-apa, sekalian aja!"
"Nggak usah, Win. Di depannya aja. TOW Aku turun di di situ aja,"
tunjuk Nisya.
Wina menghentikan mobil. N isya membuka pintu mobil.
"M akasih ya, Win, udah nganterin," kata Wina. "Sama-sama."
M obil melaju. Nisya melambai.
HARI-HARI BERSAM A
Kata orang, sesuatu yang baru itu selalu bikin penasaran. Tapi ini ada
nggak hubungannya dengan Wina?
Selama ini aku jarang ngobrol dengan Wina. Soalnya, Wina duduk di
pojok ruangan. Lagipula selama ini kayaknya Wina tertutup. Di kelas, ia
jarang ngumpul dengan teman-teman yang lain. Ternyata, satu kali ngobrol
dengan Wina, aku jadi tahu ia sebenarnya menyenangkan. Tidak seperti
sangkaku selama ini. Selama ini aku pikir Wina orang yang cuek dan tidak
peduli dengan lingkungannya.
mUda
Nisya punya sopir baru sekarang. Setiap pulang sekolah, ia selalu
diantar sampai ke rumah. Gimana nggak senang? la nggak perlu
capek-capek menunggu angkot, atau berdesak-desakan di dalamnya dengan
penumpang lain yang kadang-kadang saling nggak mau mengalah. Nisya
merasa senang sekali. Apalagi ternyata Wina juga membutuhkannya buat
ngobrol di jalan.
"Kamu nggak repot, Win, nganterin aku terus?" tanya N isya suatu
kali.
Kadang-kadang, kalau ia ingin membeli buku baru ke toko buku,
Wina juga dengan senang hati mengantarnya, meskipun Wina hanya
melihat-lihat saja. Satu lagi yang membuat N isya senang. Ternyata Wina
punya pikiran yang sama dengannya: nggak mau pacaran!
"Buat apa pacaran kalau cuma nyusahin kita," katanya ketika suatu
kali Nisya minta pendapat Wina. "M endingan seperti sekarang. Kita bisa
bebas, nggak merasa dikekang sama yang namanya pacaran."
Nisya setuju. Dan sekarang, ia merasa punya teman yang
benar-benar mengerti apa yang dimauinya.
Perubahan Nisya membuat heboh seisi kelas. Bukan karena apa-apa.
Selama ini memang Wina dianggap sedikit aneh. Jarang ada yang mau
mendekatinya karena Wina seperti menjaga jarak dengan anak-anak. Tapi
Nisya cuek saja dengan reaksi teman-temannya, terutama Listy dan Kania.
"Kasihan, Dhani ditinggalin. M entang-mentang ada yang baru," ledek
Kania.
Semenjak akrab dengan Wina, N isya memang jadi tidak pernah lagi
pulang bareng dengan Dhani. Di kelas, Nisya juga merasa biasa-biasa saja.
Bahkan kalau ke kantin, kalau tidak dengan Wina, ia lebih sering bersama
Listy, Kania, dan temanteman perempuan lainnya.
"Ini namanya habis manis sepah dibuang," sambung Listy.
mUda
Nisya sedang mengamati ruangan kamar tidur Wina yang lugs. Di
pojok kamar, bertumpuk boneka-boneka lucu. Berbagai macam jenis dan
ukuran.
"Kamu mengoleksi boneka, Win?"
Wina mengangguk. "Iseng aja. Daripada nggak ada kerjaan."
Wina mengambil sesuatu di dalam lad meja belajar. N isya tertegun.
"Kamu merokok, Win?" suara Nisya bergetar, tak mampu
menyembunyikan rasa kegetnya.
Wina mengembuskan asap rokok dengan santai.
"Kenapa? Kaget, ya? Kalau lagi bete aja. Lumayan bisa bikin pikiran
tenang. Kamu mau nyoba?"
Nisya menggeleng.
Wina menarik rokoknya di asbak. "Eh, mau minum apa, Nis?"
"Orange juice aja, deh."
"Sebentar, ya, aku ke baw ah dulu."
Sepeninggal Wina, N isya mengamati rokok Yang ditinggalkan Wina.
Ujung jarinya memegang pangkal rokok tersebut dengan gemetar. Sudah
berapa lama Wina merokok? tanyanya dalam hati. Kenapa selama ini
"Hei, lagi melamun apa?" Wina tiba-tiba muncul. "Taruh situ aja,
M bak N ung!"
Wanita yang dipanggil M bak Nung tadi menaruh dug gelas jus dan
setoples penganan di meja belajar, kemudian berpamitan pergi.
"M elamun apa, sih?" goda Wina.
Nisya tersenyum kagok merasa terpergok. "Nggak, kok. Aku cuma
mikir, apa kamu nggak merasa kesepian di kamar segede ini?"
Wina menggeleng. "N ggak tuh! Kan aku banyak teman," sahut Wina
ringan. "Kalau bete di kamar, ya jalan-jalan keluar."
"Nggak dimarahin ortu jalan-jalan melulu?" Wina tertaw a lepas.
"M au march gimana, mereka juga jarang di rumah."
Nisya tertegun.
"Kamu nggak protes, Win?"
"Protes? Buat apa? Lagian aku lebih suka begini, kok. N ggak ada
pengaruh mereka ada atau nggak. Eh, Nis, kamu suka main PS nggak?"
Nisya menggeleng.
"M ain PS, yuk?!"
Tak lama mereka sudah asyik dengan permainan balapan mobil.
Wina tampaknya sudah mahir sekali sehingga N isya selalu kalah. Itu
membuat Nisya penasaran. Berkali-kali ia mengulang permainan supaya
bisa mengalahkan Wina. Sampai sesaat kemudian N isya tersadar sesuatu.
"Lho, memangnya harus bilang?" tanya Wina. "Santai sajalah, Nis."
"M amaku pasti kebingungan kalau aku belum pulang."
"Tapi kamu, kan, nggak ke mana-mana ini! Lagian masih panas
begini," kata Nisya. M emang di luar masih panas. Apalagi sekarang hujan
sedang malas mengguyur Jakarta.
Nisya ragu-ragu antara mau menelepon atau tidak. Ia tahu M ama
pasti pulang malam. Tapi kadang-kadang M ama suka menelepon ke rumah
kalau ada perlu dengan Bik Irah, dan biasanya menanyakan dirinya.
"Sudah, nggak usah khaw atir. Nanti aku antar!" kata Wina
menenangkan.
"Beneran ya, anterin!"
Wina mengangguk.
Jam tujuh malam, Nisya baru sampai di rumah. M obil Kijang sudah
berada di garasi, itu berarti M ama dan Papa sudah pulang. Nisya tiba-tiba
merasa cemas.
"Win, masuk dulu, ya," pintanya.
Wina mematikan mesin.
"Oke, deh," katanya.
M ama ada di ruang keluarga bersama Papa. N isya raga-ragu
melangkah. Tapi sebelum ia mengucapkan sesuatu, M ama sudah
"Nisya, dari mana saja? Kok, jam segini baru pulang?" tanya M ama.
Dari suaranya, N isya tahu, M ama memendam rasa jengkel.
"Dari rumah teman, M a," kata Nisya sambil menarik tangan Wina.
"M alam, Tante," Wina mengangguk dengan sopan. "Tadi Nisya
nemenin saya di rumah. Soalnya nggak ada orang di rumah, Tante." M ama
hanya manggut-manggut.
"Saya pamit dulu, Tante, Om, selamat malam." N isya mengantar
Wina ke pinto gerbang rumah.
"M akasih udah nganterin ke rumah, Win."
"Santai aja. N anti main ke rumahku lagi, ya?"
Nisya mengangguk.
"Itu tadi siapa, N isya?" tanya M ama ketika Nisya sudah duduk di
sampingnya.
"Itu Wina, M a. Teman sekolah N isya."
"Lain kali, kalau pulang sore, telepon ke rumah. Jadi orang rumah
nggak kebingungan," kata M ama mengingatkan. Kata-katanya terdengar
tajam di
telinga N isya.
"Iya, M a, maaf. Tadi lupa nelepon ke rumah," kata Nisya sambil
menunduk.
"Kamu sudah makan?" Papa mencoba menengahi.
"Ya, sudah, makan dulu sana."
Nisya diam-diam mengucap syukur dalam hati.
Padahal, hatinya tadi sudah kebat-kebit merasa bakal diomeli M ama.
mUda
M alam ini N isya bermalam di rumah Wina. M ama dan Papa sedang
ke luar kota. Tadi Bik Irah kelihatan sangat khaw atir ketika mengantar
Nisya ke depan rumah. Selama ini belum pernah Nisya bermalam di rumah
temannya. Terlebih tanpa izin seperti sekarang.
"Nggak apa-apa. N isya cuma nemenin Wina aja. Di rumahnya nggak
ada siapa-siapa, Bik. Kasihan, kan?" kata Nisya menenangkan.
"Bagaimana kalau mamamu nelepon? Bibik harus jaw ab apa?"
"Percaya, deh, sama N isya. Kalau Bibik nggak percaya, Bibik pegang
nomor ini." N isya menyebutkan nomortelepon rumah. "Kalau M ama
beneran menelepon, bilang aja sudah tidur."
"Huss! Ngajarin orang tua bohong!" N isya tertaw a kecil.
Sekarang N isya berada di kamar Wina yang lugs. Dalam keheningan
seperti sekarang, N isya benar-benar merasakan betapa sepinya kalau
sendirian di sini. Ia menutup majalah remaja yang dibacanya, menoleh pads
Begitu asyiknya sehingga ia tak menyadari sejak tadi Nisya
memerhatikannya.
"Win," panggil N isya, "kamu pernah merasa kesepian nggak?" Wina
menengok N isya. Tapi sebentar kemudian kembali asyik dengan permainan
kartu.
"Kenapa gitu, N is?"
"Nggak apa-apa, nanya aja."
Nisya kemudian diam. M enatap keluarjendela. Berharap barangkali
ada rembulan di luar sana. Tapi yang ada hanya rumah-rumah beton
berdinding tinggi.
"Kalau kamu, Sya?"
Nisya agak kaget. Sekarang ia yang jadi ditanya.
"Aku? Ngg... kadang-kadang."
"Kenapa? Ortumu jarang di rumah?" "Nggakjuga. Cuma
kadang-kadang kalau lagi sibuk, mereka sering pulang malam."
"Itu, sih, biasa. Aku malah sering ditinggal sendirian di rumah.
M ereka pergi, nggak ninggalin pesan nggak ninggalin apa. Tahu-tahu batik
lagi seminggu kemudian." Wina meneguk minuman kalengnya. "Nggak usah
dipikirin yang begitu, Sya. Santai aja."
"Waktu aku tinggal di kampung nggak begitu," desah N isya.
"Kamu pernah tinggal di kampung, Sya? Di mana?" mata Wina