• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara dimensi workplace spirituality dan employee engagement.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan antara dimensi workplace spirituality dan employee engagement."

Copied!
136
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA DIMENSI WORKPLACE SPIRITUALITY

DAN EMPLOYEE ENGAGEMENT

Elita Kirana

ABSTRAK

Penelitian ini membahas mengenai hubungan antara workplace spirituality dan employee engagement. Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah employee engagement, sedangkan variabel bebasnya adalah workplace spirituality yang terdiri dari 3 dimensi, yaitu meaningful work, sense of community, dan alignment with organizational value. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 85 orang. Subjek dipilih dengan metode purposive sampling, yaitu karyawan dari perusahaan yang memiliki karakteristik organisasi spiritual. Metode pengumpulan data dengan penyebaran skala yang dikembangkan oleh peneliti. Total aitem skala workplace spirituality

adalah 33 aitem dengan masing-masing dimensi 11 aitem. Reliabilitas skala dimensi meaningful work adalah α = 0,993, sense of community α = 0,863, alignment with organizational value α = 0,895. Sementara itu, reliabilitas skala employee engagement sebesar α = 0,949 dengan jumlah 36 aitem. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik korelasi Spearman karena sebaran data tidak normal. Koefisien korelasi employee engagement (n=36; mean=104,08; SD=10,33) dan dimensi meaningful work (n=11; mean=32,13; SD=4,073) r = 0,995, p = 0,000, sedangkan

employee engagement (n=36; mean=104,08; SD=10,33) dan dimensi sense of community (n=11; mean=34,71; SD=3,011) r = 0,986, p = 0,000, serta employee engagement (n=36; mean=104,08; SD=10,33)dan alignment with organizational values (n=11; mean=30,53; SD=4,078) r = 0,992, p = 0,000. Artinya, terdapat hubungan positif dan sangat kuat antara dimensi workplace spirituality

dan employee engagement. Maka, semakin tinggi dimensi workplace spirituality, semakin tinggi pula employee engagement. Sebaliknya, semakin rendah dimensi workplace spirituality, semakin rendah pula employee engagement.

(2)

THE CORRELATION BETWEEN DIMENSIONS OF WORKPLACE SPIRITUALITY AND EMPLOYEE ENGAGEMENT

Elita Kirana

ABSTRACT

This research discussed about the correlation between workplace spirituality and employee engagement. Dependent variable in this research was employee engagement, while the independent variable was workplace spirituality which is contains from 3 dimensions, such as meaningful work, sense of community, and alignment with organizational value. Subject of this research were 85 people. Subject were chosen by purposive sampling method, which is employee from a company who has the characteristic of spiritual organization. Data gained using psychological scale which developed by researcher. The total item in workplace spirituality scale were 33 items, with each dimension contains 11 items. Reliability for meaningful work was α = 0,993, sense of community α =0,863, and alignment with organizational value α =0,895. Reliability for employee engagement scale was α =0,949 with 36 items. Analytical data in this research used Spearman correlation because the abnormal on data distribution. The coefficient correlation of employee engagement (n=36; mean=104,08; SD=10,33) and meaningful work (n=11; mean=32,13; SD=4,073) r = 0,995, p = 0,000, employee engagement (n=36; mean=104,08; SD=10,33) and sense of community (n=11; mean=34,71; SD=3,011) r = 0,986, p = 0,000, then employee (n=36; mean=104,08; SD=10,33) engagement and alignment with organizational values (n=11; mean=30,53; SD=4,078) r = 0,992, p = 0,000. It means there was a positive and very strong correlation between dimensions of workplace spirituality and employee engagement. Then, higher dimension of workplace spirituality will also have higher employee engagement too. On the other way, lower dimension of workplace spirituality, will have lower employee engagement will be.

(3)

HUBUNGAN ANTARA DIMENSI WORKPLACE

SPIRITUALITY DAN EMPLOYEE ENGAGEMENT

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh :

Elita Kirana

119114027

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(4)
(5)
(6)

iv

Your plan B is

God’s plan A

Sometimes I just look up,

smile, and say :

(7)

v

For I know the plans

I have for you,” declares

the L

ORD, “plans to prosperyou

and not to harm you,

plans to give you hope and a future.

Jeremiah 29 : 11

Dedicated f

or…

my Heavenly Father

(8)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini

tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan

dalam kutipan dari daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 18 Mei 2015

Penulis,

(9)

vii

HUBUNGAN ANTARA DIMENSI WORKPLACE SPIRITUALITY DAN EMPLOYEE ENGAGEMENT

Elita Kirana

ABSTRAK

Penelitian ini membahas mengenai hubungan antara workplace spirituality dan employee engagement. Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah employee engagement, sedangkan variabel bebasnya adalah workplace spirituality yang terdiri dari 3 dimensi, yaitu meaningful work, sense of community, dan alignment with organizational value. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 85 orang. Subjek dipilih dengan metode purposive sampling, yaitu karyawan dari perusahaan yang memiliki karakteristik organisasi spiritual. Metode pengumpulan data dengan penyebaran skala yang dikembangkan oleh peneliti. Total aitem skala workplace spirituality

adalah 33 aitem dengan masing-masing dimensi 11 aitem. Reliabilitas skala dimensi meaningful work adalah α = 0,993, sense of community α = 0,863, alignment with organizational value α = 0,895. Sementara itu, reliabilitas skala employee engagement sebesar α = 0,949 dengan jumlah 36 aitem. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik korelasi Spearman karena sebaran data tidak normal. Koefisien korelasi employee engagement (n=36; mean=104,08; SD=10,33) dan dimensi meaningful work (n=11; mean=32,13; SD=4,073) r = 0,995, p = 0,000, sedangkan

employee engagement (n=36; mean=104,08; SD=10,33) dan dimensi sense of community (n=11; mean=34,71; SD=3,011) r = 0,986, p = 0,000, serta employee engagement (n=36; mean=104,08; SD=10,33)dan alignment with organizational values (n=11; mean=30,53; SD=4,078) r = 0,992, p = 0,000. Artinya, terdapat hubungan positif dan sangat kuat antara dimensi workplace spirituality

dan employee engagement. Maka, semakin tinggi dimensi workplace spirituality, semakin tinggi pula employee engagement. Sebaliknya, semakin rendah dimensi workplace spirituality, semakin rendah pula employee engagement.

(10)

viii

THE CORRELATION BETWEEN DIMENSIONS OF WORKPLACE SPIRITUALITY AND EMPLOYEE ENGAGEMENT

Elita Kirana

ABSTRACT

This research discussed about the correlation between workplace spirituality and employee engagement. Dependent variable in this research was employee engagement, while the independent variable was workplace spirituality which is contains from 3 dimensions, such as meaningful work, sense of community, and alignment with organizational value. Subject of this research were 85 people. Subject were chosen by purposive sampling method, which is employee from a company who has the characteristic of spiritual organization. Data gained using psychological scale which developed by researcher. The total item in workplace spirituality scale were 33 items, with each dimension contains 11 items. Reliability for meaningful work was α = 0,993, sense of community α =0,863, and alignment with organizational value α =0,895. Reliability for employee engagement scale was α =0,949 with 36 items. Analytical data in this research used Spearman correlation because the abnormal on data distribution. The coefficient correlation of employee engagement (n=36; mean=104,08; SD=10,33) and meaningful work (n=11; mean=32,13; SD=4,073) r = 0,995, p = 0,000, employee engagement (n=36; mean=104,08; SD=10,33) and sense of community (n=11; mean=34,71; SD=3,011) r = 0,986, p = 0,000, then employee (n=36; mean=104,08; SD=10,33) engagement and alignment with organizational values (n=11; mean=30,53; SD=4,078) r = 0,992, p = 0,000. It means there was a positive and very strong correlation between dimensions of workplace spirituality and employee engagement. Then, higher dimension of workplace spirituality will also have higher employee engagement too. On the other way, lower dimension of workplace spirituality, will have lower employee engagement will be.

(11)

ix

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma Nama : Elita Kirana

NIM : 119114027

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

HUBUNGAN ANTARA DIMENSI WORKPLACE SPIRITUALITY

DAN EMPLOYEE ENGAGEMENT

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencamtumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal : 18 Mei 2015 Yang menyatakan,

(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang bertahta di Kerajaan Surga

atas segala kasih, pertolongan, dan penyertaanNya yang nyata sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan tepat waktu. Penulis menyadari

bahwa skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan banyak pihak. Oleh

karena itu, penulis hendak mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. T. Priyo W., M.Si., selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas

Sanata Dharma.

2. Ibu Ratri Sunar A. M.Si., selaku Kepala Program Studi Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma.

3. Bapak Prof. A. Supratiknya, selaku Dosen Pembimbing Akademik selama

penulis menempuh studi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

4. Ibu Dewi Soerna Anggraeni M. Psi., selaku Dosen Pembimbing Skripsi

yang telah membimbing dan mengarahkan penulis hingga terwujudlah

skripsi ini dan selesai tepat waktu.

5. Bu Etta dan Pak Tius selaku dosen penguji skripsi, sehingga ujian skripsi

saya tidak menyeramkan yang saya bayangkan.

6. Segenap dosen Fakultas Psikologi atas segala ilmu dan pengetahuan yang

telah dibagikan selama penulis menempuh pendidikan di Fakultas

(13)

xi

7. Segenap karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, Mas

Muji dan Mas Doni di lab beserta Bu Nanik dan Mas Gandung di sekre

yang telah banyak membantu dan melayani demi kelancaran studi penulis.

8. DIKTI dan (Almh) Ibu Christina Siwi yang telah memberikan kesempatan

kepada penulis untuk menerima Beasiswa Unggulan dalam menempuh

studi dan penulis dapat mempertanggungjawabkannya.

9. Bpk. Gideon Hartono dan Ibu Inge Santosa, selaku pimpinan PT. K-24

Indonesia yang telah mengijinkan dan memberi kesempatan kepada

penulis untuk melakukan penelitian, dan kepada Mbak Lina beserta

karyawan PT.K-24 Indonesia yang tidak dapat penulis sebutkan satu per

satu yang telah membantu penulis dalam penelitian ini.

10. (Alm.) Papa, Mama, Emak, Iik, Aldo, yang menjadikan saya kaya dan

memiliki arah karena memiliki keluarga.

11. A. Deddy Kurniawan, my growing up partner and soon become my

growing old partner, terima kasih atas dorongan, daya, dukungan, bahkan

dana yang telah diberikan, Tidak lupa beserta keluarga yang selalu

membawa proses dan kelancaran skripsi saya dalam pokok doa.

12. Keluarga besar KaMbing (Kakak Pembimbing) Komisi Pra Remaja GKI

Ngupasan : Momski, Mbok Sus, Mbok Nik, Kak Sin, Ooh, Emon, Wellia,

Evan, Ega, Meglin, Ani, Obed, Nanda, dan Tepong beserta Krucil-krucil

kesayangan atas canda, tawa, dukungan dan doanya.

13. Sahabat saya (urut NIM ya) : Anka (panggil saja Bebek), Ribka (panggil

(14)

teman-xii

teman yang ada bersama dan akan selalu ada dalam cerita terbaik di hidup

saya (ps : another holiday and photoshoot?. Tidak lupa pada Mas Mesach,

Jojon, Andik, dan Dek Dika yang turut mendukung dan meramaikan ujian

pendadaran saya sekaligus family gathering.

14. Team Parampampa – Tim Minggu ke-2 Ibadah Sabtu GKI Ngupasan : Om

Surya, Om Aan, Om Paul, Om Lingga, Banu, C Kitty, C Inez, Vanni, dan

Ucu atas segala doa dan dukungan dibalik keceriaan dan jadwal rutin

makan B2 bersama. Semoga Parampampa semakin keren aja!

15. Nathan dan Pika, yang mau saya repotkan dan membantu saya berusaha

memperbaiki flashdisk berisi file skripsi yang error mendadak di H-1

pengumpulan :’)

16. Ko Engger, yang mau membantu dengan suka rela ketika saya repotkan

akan kekurangpahaman saya atas regresi.

17. Meta, teman sejak kanak-kanak hingga saat ini, yang walaupun terpisah

tapi tidak pernah lupa memberikan dorongan dan semangat dalam proses

pengerjaan skripsi, serta sharing mengenai masa depan

18. Teman-teman, kakak angkatan maupun adik angkatan di Fakultas

Psikologi Universitas Sanata Dharma yang tidak bisa disebutkan satu per

satu karena tentunya akan menghabiskan banyak halaman, kita

dipertemukan bukan tanpa alasan, namun untuk sebuah alasan yang

mungkin saat ini belum kita ketahui. See you when I see you!

(15)

xiii

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan masih

terdapat banyak kekurangan dalam penelitian ini. Oleh karena itu, penulis

mengharapkan adanya kritik dan saran dari pembaca untuk memperbaiki karya

penulis ini. Selain itu, penulis berharap bahwa skripsi ini bermanfaat bagi

pembaca. Terima kasih.

Yogyakarta, 18 Mei 2015

Penulis

(16)

xiv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ii

HALAMAN PENGESAHAN iii

HALAMAN MOTTO iv

HALAMAN PERSEMBAHAN v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA vi

ABSTRAK vii

ABSTRACT viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ix

KATA PENGANTAR x

DAFTAR ISI xiv

DAFTAR SKEMA .xviii

DAFTAR TABEL xix

DAFTAR GAMBAR xx

DAFTAR LAMPIRAN xxi

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Rumusan Masalah 10

C. Tujuan Penelitian 10

D. Manfaat Penelitian 11

1. Manfaat Teoritis 11

(17)

xv

BAB II LANDASAN TEORI 12

A. Workplace Spirituality 12

1. Spiritualitas 12

2. Definisi Workplace Spirituality 13

3. Dimensi Workplace Spirituality 14

a. Meaningful work 14

b. Sense of community 14

c. Alignment with organizational values 15

4. Definisi dan Karakteristik Organisasi Spiritual 16

5. Dampak Workplace Spirituality 17

B. Employee Engagement 19

1. Definisi Employee Engagement 19

2. Aspek Employee Engagement 20

3. Faktor Yang Mempengaruhi Terbentuknya Employee

Engagement 21

4. Kategori Employee Engagement 23

5. Perbedaan Employee Engagement dengan Konstruk

Psikologi Lain 24

C. Dinamika Hubungan Antara Workplace Spirituality

dan Employee Engagement 25

D. Kerangka Penelitian 30

E. Hipotesis 33

(18)

xvi

A. Jenis Penelitian 34

B. Identifikasi Variabel Penelitian 34

1. Variabel Bebas 34

2. Variabel Tergantung 34

C. Definisi Operasional 34

1. Workplace Spirituality 34

2. Employee Engagement 35

D. Subjek Penelitian 36

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data 37

F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur 40

1. Validitas 40

2. Seleksi Item 41

a. Skala Workplace Spirituality 42

b. Skala Employee Engagement 44

3. Reliabilitas 45

G. Metode Analisis Data 46

1. Uji Asumsi 46

a. Uji Normalitas 47

b. Uji Linearitas 47

2. Uji Hipotesis 47

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 49

A. Pelaksanaan Penelitian 49

(19)

xvii

C. Deskripsi Data Penelitian 52

D. Hasil Analisis Data 56

1. Uji Asumsi Penelitian 56

a. Uji Normalitas 56

b. Uji Linearitas 59

1) Employee engagement dan meaningful work 60

2) Employee engagement dan Sense of community 61

3) Employee engagement dan Alignment with

organizational values 62

E. Uji Hipotesis 63

F. Pembahasan 66

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 71

A. Kesimpulam 71

B. Saran 71

1. Bagi Subjek 72

2. Bagi Perusahaan 72

3. Bagi Penelitian Selanjutnya 73

DAFTAR PUSTAKA 74

(20)

xviii

DAFTAR SKEMA

Skema 1 Hubungan Dimensi Meaningful Work dan Employee

Engagement 30

Skema 2 Hubungan Dimensi Sense of Community dan Employee

Engagement 31

Skema 3 Hubungan Dimensi Alignment with Organizational Value dan

(21)

xix

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Tabel pemberian skor pada skala 37

Tabel 2 Blue Print Skala Workplace Spirituality 39

Tabel 3 Blue Print Skala Employee Engagement 39

Tabel 4 Blue Print Skala Workplace Spirituality Setelah Uji Coba 44

Tabel 5 Blue Print Skala Employee Engagement Setelah Uji Coba 45

Tabel 6 Hasil Uji Reliabilitas Skala Uji Coba Dimensi Workplace

Spirituality 46

Tabel 7 Kategorisasi nilai korelasi 48

Tabel8 Subjek berdasar jenis kelamin 52

Tabel 8 Subjek berdasar masa kerja 52 Tabel 9 Subjek berdasar usia 52 Tabel 10 Hasil Pengukuran Deskriptif Variabel 53

Tabel 11 Hasil Uji T Dimensi Meaningful work 54

Tabel 12 Hasil Uji T Dimensi Sense of community 54

Tabel 13 Hasil Uji T Dimensi Alignment with organizational value 55

Tabel 14 Hasil Uji T Employee Engagement 55 Tabel 15 Hasil Uji Normalitas 56

Tabel 16 Hasil Uji Linearitas Employee Engagement dan

Meaningful work 60

Tabel 17 Hasil Uji Linearitas Employee Engagement dan

Sense of community 61

Tabel 18 Hasil Uji Linearitas Employee Engagement dan

Alignment with organizational value 62

(22)

xx

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kurva Meaningful work 57

Gambar 2 Kurva Sense of community 58

Gambar 3 Kurva Alignment with organizational values 58

Gambar 4 Kurva Employee Engagement 59

Gambar 5 Scatter Plot Meaningful work dan Employee Engagement 60

Gambar 6 Scatter Plot Sense of community dan Employee

Engagement 61

Gambar 7 Scatter Plot Alignment with organizational values

(23)

xxi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Skala Uji Coba 79

Lampiran 2 Hasil Reliabitas dan Seleksi Item 90

Lampiran 3 Skala Final 97

Lampiran 4 Statistik Deskriptif 106

Lampiran 5 Hasil Uji Beda Mean (Uji T) 107

Lampiran 6 Hasil Uji Normalitas 109

Lampiran 7 Hasil Uji Linearitas 110

(24)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bendell (dalam Cawe, 2005) menyatakan “In the business world, expected

outcomes are quite specific, viz: you compete to remain profitable in order to

survive and grow” atau dengan kata lain bahwa dalam dunia bisnis, hasil yang diharapkan adalah hal yang penting karena perusahaan harus berkompetisi

mengejar keuntungan untuk tetap bertahan dan berkembang. Kunci

keberhasilan organisasi atau perusahaan bertahan adalah sumber daya manusia

(Kreitner & Kinicki, 2005). Sulit bagi perusahaan untuk beroperasi secara

lancar dan mencapai sasarannya jika sumber daya manusia atau karyawannya

tidak mampu bekerja dengan baik (Robbins & Judge, 2015).

Setiap sumber daya manusia adalah unik dan berbeda satu sama lain,

sehingga perilakunya juga akan unik (Sopiah, 2008). Oleh karena itu,

perusahaan perlu memahami hal ini dengan baik agar mampu menggerakkan

karyawan dengan lebih arif dan bijak yang berujung pada pencapaian tujuan

organisasi secara efektif dan efisien (Sopiah, 2008). Para ahli pun mulai

melakukan penelitian dengan perhatian yang lebih besar pada faktor manusia,

terutama hubungan antar manusia dan memperbaiki kondisi kerja (Kreitner &

Kinicki, 2005).

Mengelola sumber daya manusia atau karyawan dengan baik pada kondisi

(25)

(Robbins & Judge, 2015). Pada kondisi baik, perusahaan harus

memprioritaskan bagaimana memberi penghargaan, memuaskan dan

mempertahankan karyawan (Robbins & Judge, 2015). Mempertahankan

karyawan atau mencegah berhentinya karyawan dari pekerjaan penting untuk

mendapat perhatian perusahaan karena karyawan yang berhenti mengganggu

kelangsungan organisasi dan juga menghabiskan biaya (Kreitner & Kinicki,

2005).

Hasil riset menunjukkan adanya hubungan negatif antara kepuasan kerja

dengan berhentinya karyawan, sehingga perusahaan disarankan untuk

meningkatkan kepuasan kerja karyawan (Kreitner & Kinicki, 2005). Hasil

riset lain menunjukkan bahwa pekerja yang puas cenderung lebih efektif

dalam produktivitas (Robbins & Judge, 2015). Pada faktanya, karyawan yang

merasa puas dengan pekerjaannya dan berkomitmen, terlibat dalam pekerjaan

bahkan memiliki Organizational Citizenship Behavior yang tinggi tidak

menjamin bahwa karyawan akan tinggal dalam organisasi dengan memberikan

kinerja terbaiknya bagi perusahaan (Santosa, 2012). Perusahaan membutuhkan

lebih dari itu, yaitu karyawan yang memiliki employee engagement terhadap

perusahaan (Santosa, 2012).

Pada tahun 2013, Saks menyatakan bahwa employee engagement masih

berupa konsep baru dengan hanya ada sedikit penelitian akademik mengenai

topik ini (dalam Agyemang & Ofei, 2013). Employee engagement adalah

sebuah konsep baru yang dikembangkan dari konsep komitmen karyawan dan

(26)

employee engagement lebih banyak ditemukan dalam jurnal umum yang

hanya memiliki dasar praktikal, dibanding teori dan riset (Margaretha &

Saragih, 2013).

Artikel Crabtree (2013) membahas mengenai hasil penelitian Gallup

mengenai tingkat engagement lebih dari 6,5 juta karyawan di 170 negara dan

membaginya dalam 3 kategori utama, yaitu karyawan “terikat”, “tidak terikat”

dan “aktif terlepas”. Hasil penelitian Gallup menyatakan bahwa terdapat 63%

karyawan berada dalam fase “tidak terikat”. Karyawan pada fase “tidak

terlibat” adalah karyawan yang tidak memiliki motivasi dan memiliki

kemungkinan lebih kecil untuk ikut terlibat dalam tujuan maupun hasil

organisasi. 24% karyawan berada pada kategori “aktif terlepas”, yaitu

karyawan yang merasa tidak bahagia, tidak produktif dan kemungkinan besar

menyebarkan hal-hal negatif, seperti berusaha mengganggu pekerja lain.

Sementara itu, hanya 13% karyawan di seluruh dunia yang berada pada

kategori “terikat” dengan perusahaannya. Hal ini berarti hanya 13% karyawan

di seluruh dunia yang berkomitmen secara psikologis terhadap pekerjaannya

dan kemungkinan memberikan kontribusi positif bagi perusahaan. Survei

Gallup tahun 2011-2012 untuk Indonesia menunjukkan hasil yang tidak

berbeda jauh, yaitu 77%+3 (estimasi margin error 3%) tidak terikat, 15%+2

(estimasi margin error 2%) aktif terlepas, dan hanya 8%±3 (estimasi margin

error 3%) karyawan yang terikat.

Crabtree (2013) menyatakan banyak hasil penelitian menunjukkan

(27)

konsumen, dan bertahan dari godaan meninggalkan perusahaan. Hal inilah

yang dipahami banyak perusahaan terbaik dunia bahwa dengan

mengembangkan employee engagement akan membantu perusahaan dalam

mencapai keberhasilan perusahaan. Hasil penelitian ini memperkuat

pernyataan Yadnyawati (2012) bahwa faktor penting bagi kesuksesan

perusahaan adalah employee engagement.

Schultz dan Schultz (2010) mendefinisikan employee engagement sebagai

kegembiraan kerja yang sebenarnya yang dikarakteristikkan dengan tingginya

skor energi, keterlibatan dan efikasi. Lockwood (dalam Yadnyawati, 2012)

mendefiniskan employee engagement sebagai sejauh mana karyawan memiliki

komitmen terhadap sesuatu atau seseorang dalam perusahaan. Employee

engagement didefinisikan pula sebagai motivasi afeksi, pemenuhan karyawan

yang berhubungan dengan giat (vigor), dedikasi (dedication) dan penyerapan

(absorption) (Schaufeli & Baker, 2004).

Karyawan yang memiliki engagement, akan memiliki level energi yang

tinggi, antusias terhadap pekerjaannya, seringkali tenggelam dalam

pekerjaannya hingga lupa waktu dan memiliki nilai yang sama dengan

organisasi (Schaufeli & Baker, 2004). Schultz dan Schultz (2010) menyatakan

bahwa seorang karyawan yang penuh semangat dalam bekerja, resilien,

bersedia berkomitmen penuh terhadap pekerjaan, jarang merasa lelah dan

gigih menghadapi kesulitan adalah karyawan yang memiliki employee

engagement. Seseorang dengan skor employee engagement tinggi juga

(28)

bagi seseorang dengan skor employee engagement tinggi menjadikan

pekerjaan sebagai pusat dan fokus hidup mereka, serta mereka tidak mau dan

tidak mampu melepaskan diri dari pekerjaannya. Bagi seseorang dengan skor

employee engagement tinggi, bekerja adalah sumber dari kepuasan, tantangan

dan pemenuhan diri (Schultz & Schultz, 2010).

Employee engagement dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain

komunikasi dalam perusahaan, gaya kepemimpinan, reputasi perusahaan, dan

budaya organisasi (Yadnyawati, 2012). Yadnyawati (2012) menyatakan

bahwa budaya organisasi yang kuat dapat menghasilkan employee

engagement. Budaya organisasi yang kuat berdampak lebih besar pada

perilaku karyawan dan lebih terkait langsung dengan menurunnya perputaran

karyawan (Robbins & Judge, 20108). Budaya organisasi berfungsi untuk

menciptakan pembeda yang jelas antar organisasi, memberi rasa identitas pada

anggota organisasi, mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu,

meningkatkan kemantapan sosial dan mekanisme pembuat makna yang

memandu dan membentuk sikap serta perilaku karyawan (Robbins, 2006).

Budaya organisasi juga berfungsi untuk mendefinisikan ikatan, perasaan

identitas, dan membantu pembentukan komitmen organisasi, membentuk

stabilitas, sistem sosial dan petunjuk perilaku serta sikap bagi karyawan

(Cropley, 2005).

Robbins (2006) mendefinisikan budaya organisasi sebagai sistem makna

bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu

(29)

mendefiniskan budaya organisasi sebagai apa yang dipersepsikan karyawan

dan cara persepsi tersebut menciptakan suatu pola keyakinan, nilai dan

ekspektasi. Kreitner dan Kinicki (2000) menyatakan dasar dari budaya

organisasi adalah nilai organisasi.

Rokeach (1979) mendeskripsikan nilai organisasi memiliki komponen

kognitif, afektif dan tingkah laku yang berinteraksi secara terus menerus dan

muncul pada setiap aksi dan tingkah laku organisasi. Kreitner dan Kinicki

(2000) menyatakan nilai terdiri dari komponen konsep kepercayaan, mengenai

perilaku yang dikehendaki, keadaan yang amat penting, pedoman menyeleksi

atau mengevaluasi kejadian dan perilaku serta urut dari yang relatif terpenting.

Nilai menjelaskan bagaimana organisasi akan mencapai visi dan misinya

(Nelson & Gardent, 2011). Nilai juga menggambarkan prinsip utama dalam

budaya organisasi, dimana seluruh karyawan akan menyadari, menerima dan

mengintegrasikan nilai organisasi dalam setiap perilaku dan keputusan mereka

(Nelson & Gardent, 2011).

Konsep mengenai nilai organisasi kemudian berkembang menjadi sebuah

konsep baru yaitu workplace spirituality (Robbins & Judge, 2008). Robbins

dan Judge (2008) mendefinisikan workplace spirituality sebagai kesadaran

bahwa orang memiliki kehidupan batin yang tumbuh dan ditumbuhkan oleh

pekerjaan yang bermakna dan berlangsung dalam konteks komunitas.

Sementara itu, Giacalone & Jurkiewicz (dalam Nurtjahjanti, 2010)

mendefinisikannya sebagai kerangka kerja dari nilai budaya organisasi yang

(30)

perasaan terhubung dengan orang lain sekaligus memberikan perasaan

lengkap dan bahagia.

Workplace spirituality sama sekali tidak terkait dengan hal religius tentang

Tuhan atau teologi (Robbins & Judge, 2008). Hal ini karena spiritualitas

adalah kapasitas bawaan otak manusia, yaitu spiritualitas berdasarkan

struktur-struktur dalam otak yang memberi kita kemampuan dasar untuk membentuk

makna, nilai, dan keyakinan (Amalia & Yunizar, 2007). Spiritualitas memberi

nilai-nilai yang dapat dipahami dan dipegang bersama, misalnya saja

kejujuran dan integritas, namun pelaksanaannya sesuai dengan individu

masing-masing (Amalia & Yunizar, 2007).

Nilai spiritual harus berada di posisi utama dan menjadi roh bagi

keberlangsungan organisasi (Arief Yahya, dalam Yuswohady, 2013). Lebih

lanjut, Arief Yahya menyatakan jika karyawan memiliki karakter mulia yang

bersumber dari nilai universal spiritualitas, maka hal ini akan mewujudkan

kinerja organisasi yang luar biasa.

Pada masa kini, Pfeffer (dalam Jurkiewicz & Giacalone, 2004)

menyatakan bahwa terdapat 4 aspek utama yang dicari seseorang di tempat

kerja. Pertama, seorang karyawan mencari pekerjaan yang menarik dan

memberi kesempatan untuk belajar, berkembang, maupun berkompetisi.

Kedua, seseorang juga akan mencari pekerjaan yang bermakna dan memberi

perasaan kesadaran akan tujuan. Ketiga, seseorang juga menginginkan adanya

perasaan terhubung dan hubungan positif dengan rekan kerja. Keempat,

(31)

yang terintegrasi antara peran kerjanya dengan peran lainnya. Hal ini

konsisten dengan kerangka nilai yang terdapat dalam workplace spirituality,

yaitu kebajikan, humanisme, integritas, keadilan, mutualisme, penerimaan,

penghormatan, tanggung jawab, dan kejujuran (Jurkiewicz & Giacalone,

2004).

Milliman, Czaplewski dan Ferguson (2003) memfokuskan penelitian

mengenai workplace spirituality hanya pada 3 dimensi utama dari workplace

spirituality yaitu dimensi meaningful work, sense of community dan alignment

with organizational values. Hal ini dilakukan karena ketiga dimensi tersebut

menggambarkan keterlibatan individu yang mewakili level individu,

kelompok, dan organisasi,

Dimensi meaningful work menggambarkan bagaimana karyawan

berinteraksi dengan pekerjaan mereka dari hari ke hari di level individu.

Dimensi ini dipahami sebagai menciptakan makna dan tujuan dari pekerjaan

yang mendalam (Milliman, Czaplewski & Ferguson, 2003). Hal ini

dibutuhkan karena karyawan pada masa ini mengharapkan pekerjaan yang

memberi makna bagi hidup mereka (Ashmos & Duchon, 2000). Saat

workplace spirituality dapat memberikan makna dan tujuan pada karyawan

yang mendalam, produktivitas dan perfomansi karyawan akan meningkat

(Ajala, 2013).

Dimensi sense of community dipahami sebagi hubungan yang dalam

dengan orang lain dan berfokus pada perilaku individu di tingkat kelompok

(32)

Czaplewski & Ferguson, 2003). Hal ini dibutuhkan karena manusia sebagai

makhluk hidup terhubung dengan manusia lain, sehingga individu juga merasa

ingin terhubung satu sama lain di tempat kerja (Ashmos & Duchon, 2000).

Saat workplace spirituality dapat menciptakan keterhubungan dengan rekan

kerja, karyawan akan memiliki tingkat kelekatan, loyalitas, dan kepemilikan

yang lebih tinggi (Ajala, 2013).

Alignment with organizational values dipahami sebagai individu

mengalami perasaan kesamaan yang kuat antara nilai individu dengan misi

dan tujuan organisasi (Milliman, Czaplewski & Ferguson, 2003). Dimensi ini

penting karena karyawan memiliki keinginan untuk bekerja di perusahaan

yang memiliki tujuan bukan hanya menjadi perusahaan yang baik, namun juga

perusahaan yang berusaha untuk memiliki integritas yang tinggi dan memberi

kontribusi lebih besar pada kesejahteraan karyawan, konsumen, dan

masyarakat sekitar (Milliman, Czaplewski & Ferguson, 2003). Saat penerapan

workplace spirituality menjadikan perusahaan berhasil memiliki keselarasan

nilai dengan karyawan, karyawan akan memiliki tingkat komitmen yang lebih

tinggi dari karyawan, kosnsumen dan masyarakat (Milliman, Czaplewski &

Ferguson, 2003).

Kajian perusahaan konsultan terkemuka menemukan bahwa perusahaan

yang menerapkan workplace spirituality berdampak pada meningkatnya

produktivitas dan secara signifikan menurunkan perputaran karyawan serta

lebih berprestasi dibanding perusahaan yang tidak menerapkannya (Robbins

(33)

menunjukkan bahwa workplace spirituality memiliki hubungan positif yang

kuat dengan employee work attitudes, yaitu intention to quit, organizational

commitment, intrinsic job satisfaction, job involvement, dan

organization-based self esteem (OBSE).

Sementara itu, hasil penelitian Kolodinsky (dalam Saks, 2011)

menemukan bahwa workplace spirituality berhubungan positif dengan job

involvement, yang memiliki beberapa persamaan dengan employee

engagement. Mirvis (dalam Saks, 2011) menyatakan bahwa untuk

menciptakan keterikatan karyawan pada pekerjaan, maka diperlukan

maemperhatikan kehidupan spiritual seseorang. Saks (2011) meyakini bahwa

workplace spirituality adalah anteseden penting dalam menentukan employee

engagement. Saks (2011) pun menyarankan adanya penelitian mengenai

hubungan antara kedua variabel tersebut. Untuk itulah, peneliti ingin meneliti

mengenai hubungan antara dimensi workplace spirituality dan employee

engagement.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan

antara dimensi workplace spirituality dan employee engagement?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara dimensi

(34)

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya ilmu sekaligus digunakan

sebagai referensi untuk penelitian lain, terutama di bidang Psikolog

Industri dan Organisasi, khususnya dalam hal workplace spirituality dan

employee engagement.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi subjek penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat membantu karyawan untuk lebih

mengenali peran workplace spirituality yang ada dalam dirinya dan

employee engagement yang dimilikinya.

b. Bagi perusahaan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber data

untuk melakukan intervensi pada karyawan lama maupun baru dalam

rangka membentuk dan meningkatkan workplace spirituality dan employee

(35)

12

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Workplace Spirituality

1. Spiritualitas

Spiritualitas merupakan hal yang pribadi dan personal, memiliki

elemen banyak agama, dan mengarah pada pencarian diri seseorang

(Ivancevich, Konopaske, & Matteson, 2006). Robby Chandra (dalam

Abdurahman dan Agustini, 2011) mendefiniskan spiritualitas sebagai

kemauan dan kemampuan untuk menggali makna dari kenyataan hidup.

Sementara itu, Fernando dan Jackson (dalam Inkai & Kistyanto, 2013)

menyatakan bahwa spiritualitas adalah mengenai perasaan akan tujuan,

makna dan perasaan terhubung dengan orang lain. Dalam konteks ini

adalah spiritualitas yang berhubungan dengan komunitas di lingkungan

pekerjaan.

Selain itu, Inkai dan Kistyanto (2013) menyatakan spiritualitas adalah

kapasitas bawaan otak manusia yang memampukan manusia untuk untuk

membentuk makna, nilai, dan keyakinan. Spiritualitas juga didefinisikan

sebagai pengalaman pribadi individu yang dapat dilihat dari perilakunya

(McCormick, dalam Moore, 2008). Berdasarkan definisi yang ada, peneliti

menyimpulkan spiritualitas adalah kemampuan setiap manusia untuk

(36)

2. Definisi Workplace Spirituality

Workplace spirituality adalah kesadaran bahwa orang memiliki

kehidupan batin yang tumbuh dan ditumbuhkan oleh pekerjaan yang

bermakna dan berlangsung dalam konteks komunitas (Robbins & Judge,

2008). Menurut Giacalone & Jurkiewicz (dalam Miller & Ewest, 2011),

workplace spirituality adalah kerangka dari nilai organisasi yang

dibuktikan dengan adanya budaya organisasi yang mendorong pengalaman

transenden karyawan melalui proses pekerjaan dan perasaan terhubung

dengan orang lain yang menghasilkan perasaan lengkap dan bahagia.

Ashmos dan Duchon (2000) menyatakan bahwa workplace spirituality

adalah pengakuan bahwa karyawan memiliki pusat kehidupan yang

memelihara dan dipelihara dengan pekerjaan bermakna yang mengambil

tempat dalam konteks komunitas. Sementara itu, workplace spirituality

juga diartikan bahwa karyawan memiliki kehidupan personal yang

berkembang dan dikembangkan dengan melakukan pekerjaan yang

relevan, berarti dan menantang (Ivancevich, Konopaske, & Matteson,

2006).

Berdasarkan uraian yang ada, peneliti menggunakan definisi

workplace spirituality menurut Giacalone & Jurkiewicz (dalam Miller &

Ewest, 2011), yaitu kerangka dari nilai organisasi yang dibuktikan dengan

adanya budaya organisasi yang mendorong pengalaman transenden

karyawan melalui proses pekerjaan dan perasaan terhubung dengan orang

(37)

3. Dimensi Workplace Spirituality

Milliman, Czaplewski dan Ferguson (2003) menyatakan 3 dimensi

utama dari workplace spirituality, yaitu :

a) Meaningful work

Aspek fundamental dari workplace spirituality adalah adanya makna

dan tujuan mendalam dari pekerjaan (Milliman, Czaplewski &

Ferguson, 2003). Dimensi ini menggambarkan bagaimana karyawan

berinteraksi dengan pekerjaan mereka dari hari ke hari di level

individu (Milliman, Czaplewski & Ferguson, 2003). Spiritualitas

melihat pekerjaan tidak hanya sebagai suatu hal yang menarik dan

menantang, namun juga mencari makna dan tujuan yang mendalam,

menghidupkan mimpi seseorang dan menggambarkan kebutuhan hidup

seseorang dengan mencari makna kerja dan berkontribusi terhadap

orang lain (Ashmos & Duchon, 2000). Meaningful work dapat

dikarakteristikkan pada level individu bahwa karyawan menikmati

pekerjaan, merasa hidup karena pekerjaan, serta mendapat makna dan

tujuan personal (Milliman, Czaplewski & Ferguson, 2003).

b) Sense of community

Dimensi penting dari workplace spirituality adalah memiliki hubungan

yang dalam dengan orang lain (Ashmos & Duchon, 2000). Dimensi ini

berfokus pada perilaku individu di tingkat kelompok dan fokus pada

interaksi pekerja dengan rekan kerjanya. Menurut Neal dan Bennet

(38)

melibatkan hubungan mental, emosi dan spiritual antara karyawan

dalam organisasi. Hal ini membentuk dalamnya perasaan terhubung

antar individu, adanya dukungan, kebebasan berekspresi dan

penyayoman. Sense of community dikarakteristikkan dengan adanya

perasaan terhubung dengan rekan kerja, karyawan mendukung satu

sama lain, dan terhubung dengan tujuan bersama (Milliman,

Czaplewski & Ferguson, 2003).

c) Alignment with organizational values

Aspek ketiga dalam workplace spirituality adalah alignment with

organizational values yang mewakili level organisasi, dimana individu

mengalami perasaan kesamaan yang kuat antara nilai individu dengan

misi dan tujuan organisasi (Milliman, Czaplewski & Ferguson, 2003).

Alignment with organizational values mencakup konsep bahwa

karyawan berkeinginan utnuk bekerja di organisasi dengan tujuan yang

tidak hanya menjadi perusahaan yang baik, namun menjadi organisasi

yang memiliki etika atau integritas dan berkontribusi lebih besar

daripada perusahaan biasa, yaitu kesejahteraan karyawan, pelanggan

dan masyarakat. Alignment with organizational values

dikarakteristikkan dengan adanya perasaan terhubung dengan tujuan

organisasi, mengidentifikasi diri dengan misi dan nilai organisasi, dan

adanya perhatian organisasi terhadap karyawan (Milliman, Czaplewski

(39)

4. Definisi dan Karakteristik Organisasi Spiritual

Robbins dan Judge (2005) menyatakan bahwa organisasi yang

mendukung spiritualitas di tempat kerja disebut dengan organisasi

spiritual. Robbins dan Judge (2005) mengidentifikasi karakteristik kultur

yang ada dalam organisasi spiritual, yaitu:

a. Kesadaran akan tujuan yang kuat

Organisasi spiritual akan mendasarkan budaya organisasi pada tujuan

yang bermakna. Keuntungan organisasi bukanlah nilai utama, namun

terilhami oleh tujuan yang diyakini penting dan bermakna.

b. Fokus terhadap pengembangan individu

Organisasi spiritual menyadari makna dan nilai pada setiap manusia.

Hal ini menjadikan organisasi tidak hanya sekedar menyediakan

pekerjaan, namun mencoba menciptakan budaya dimana karyawan

dapat belajar dan bertumbuh.

c. Kepercayaan dan respek

Ciri organisasi spiritual adalah adanya sikap saling percaya, jujur, dan

terbuka. Hal ini dapat menjadikan karyawan tidak takut untuk

mengakui kesalahan mereka.

d. Praktik kerja yang manusiawi

Organisasi spiritual menerapkan jadwal kerja fleksibel, imbalan

berbasis kelompok dan organisasi, penyempitan kesenjangan gaji dan

status, jaminan hak pekerja, pemberdayaan karyawan, dan keamanan

(40)

e. Toleransi bagi ekspresi karyawan

Organisasi berbasis spiritual tidak akan menekan sisi emosional

karyawan. Organisasi memberi ruang bagi karyawan untuk menjadi

diri sendiri dalam mengutarakan suasana hati dan perasaan.

5. Dampak Workplace Spirituality

Krishnakumar dan Neck (2002) menyatakan bahwa penerapan

workplace spirituality memberi dampak positif pada kreativitas, kejujuran

dan kepercayaan, pemenuhan personal, dan komitmen. Lebih lanjut, hal ini

juga akan berpengaruh terhadap meningkatnya performansi organisasi.

a. Kreativitas

Menurut Freshman (dalam Krishnakumar & Neck, 2002), spiritualitas

dapat menimbulkan kesadaran, kesadaran menimbulkan intuisi, dan

intiuisi menimbulkan kreativitas. Turner (dalam Krishnakumar &

Neck, 2002) menyatakan bahwa spiritualitas menimbulkan

kegembiraan dan kepuasaan sehingga karyawan dapat lebih kreatif.

Lebih lanjut, hal ini dapat meningkatkan performansi organisasi dan

kesuksesan finansial.

b. Kejujuran dan kepercayaan

Kriger dan Hanson (dalam Krishnakumar & Neck, 2002) menyatakan

bahwa kejujuran dan kepercayaan tidak dapat diragukan ada di seluruh

transaksi bisnis. Kepercayaan antara organisasi dan karyawan

(41)

Krishnakumar & Neck, 2002) menyatakan bahwa ketidakpercayaan

dapat menimbulkan masalah dan berdampak serius pada organisasi.

Sementara itu, kepercayaan dapat menimbulkan performansi organisasi

yang lebih baik, memperlancar pengambilan keputusan, komunikasi

yag lebih baik, fokus pada pelanggan dan inovasi yang lebih baik

(Kriger dan Hanson, dalam Krishnakumar & Neck, 2002).

c. Pemenuhan personal

Penerapan spiritualitas akan menuntun karyawan merasa lengkap saat

mereka dating ke tem[at kerja. Hal ini akan menghasilkan derajat

pemenuhan personal yang tinggi dan meningkatkan moral. Lebih

lanjut, hal ini dapat meningkatkan performansi organisasi dan

kesuksesan finansial. (Turner, dalam Krishnakumar & Neck, 2002)

d. Komitmen

Burack (dalam Krishnakumar & Neck, 2002) menyatakan bahwa

spiritualitas meningkatkan komitmen dengan menciptakan iklim penuh

kepercayaan di tempat kerja. Komitmen ini tampak dalam bentuk

komitmen afektif, yaitu karyawan mampu mengidentifikasi diri dengan

tujuan organisasi dan karyawan mau membantu organisasi mencapai

tujuan tersebut (Ketchand & Strawser, dalam Krishnakumar & Neck,

2002).

e. Performansi organisasi

Performansi organisasi dan kesuksesan finansial dapat meningkat

(42)

yang menerapkan spiritualitas secara nyata mendorong karyawan

untuk membawa diri secara keseluruhan ke pekerjaan. (Neck &

Milliman, dalam Krishnakumar & Neck, 2002).

B. Employee Engagement

1. Definisi Employee Engagement

Robbins dan Judge (2008) mendefinisikan employee engagement

sebagai keterlibatan seorang individu, kepuasan, dan antusiasme terhadap

pekerjaan yang dilakukannya. Sementara itu, Schultz dan Schultz (2010)

menyatakan bahwa employee engagement adalah kegembiraan kerja yang

sebenarnya yang dikarakteristikkan dengan tingginya skor energi,

keterlibatan dan efikasi. Schaufeli dan Baker (2004) menyatakan employee

engagement sebagai kondisi positif dan pemenuhan karyawan yang

berhubungan dengan pekerjaan, dikarakteristikkan oleh adanya giat

(vigor), dedikasi (dedication) dan penyerapan (absorption).

Lebih lanjut, Perrin’s Global Workforce Study (dalam Rachmawati,

2013) mendefinisikan employee engagement adalah kesediaan karyawan

dan kemampuannya untuk berkontribusi dalam kesuksesan perusahaan

secara terus menerus. Hewitt (dalam Cawe, 2006) menyatakan bahwa

employee engagement adalah pengukuran komitmen emosional dan

intelektual karyawan terhadap organisasi dan pencapaiannya. Selain itu,

employee engagement juga diartikan sebagai keterlibatan, kepuasan, dan

(43)

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan definisi employee

engagement dari Schaufeli dan Baker (2004) yang menyatakan employee

engagement sebagai kondisi positif dan pemenuhan karyawan yang

berhubungan dengan pekerjaan, dikarakteristikkan oleh adanya giat

(vigor), dedikasi (dedication) dan penyerapan (absorption).

2. Aspek Employee Engagement

Schaufeli dan Baker (2004) memiliki pandangan mengenai 3 aspek

employee engagement, yaitu :

a. Giat (vigor)

Giat dikarakteristikkan dengan tingginya level energi dan resiliensi

mental saat bekerja, kemauan untuk memberi upaya dalam bekerja dan

ketekunan dalam menghadapi kesulitan

b. Dedikasi (dedication)

Dedikasi dikarakteristikkan dengan adanya perasaan signifikan,

antusiasme, insprirasi, kebanggaan dan tantangan.

c. Penyerapan (absorption)

Penyerapan dikarakteristikkan dengan konsentrasi penuh dan

kesenangan bekerja dalam bekerja, dimana waktu berjalan cepat dan

(44)

3. Faktor Yang Mempengaruhi Terbentuknya Employee Engagement

Molinaro dan Weiss (2005) menyatakan beberapa faktor yang

mempengaruhi terbentuknya employee engagement, antara lain :

a. Menjadi bagian dari organisasi yang baik

Karyawan mengetahui bahwa mereka menjadi bagian dari sebuah

organisasi yang baik. Hal ini dapat berarti organisasi sukses secara

finansial, menjadi pemimpin dalam bidangnya, atau organisasi yang

memiliki visi ambisius, tujuan utama dan strategi bisnis yang yang

baik.

b. Bekerja untuk pemimpin yang dikagumi

Organisasi yang memiliki hubungan kuat dengan pemimpin yang

dikagumi akan membentuk kondisi engagement yang tinggi.

c. Memiliki hubungan kerja positif dengan rekan kerja

Karyawan yang memiliki hubungan positif dengan dengan rekan

kerjanya akan bersemangat dalam bekerja.

d. Mengerjakan pekerjaan bermakna

Pekerjaan bermakna sering diartikan sebagai bekerja yang

menghasilkan perbedaan atau dampak pada organisasi. Karyawan

sering ingin melihat bagaimana pekerjaannya berdampak pada visi dan

strategi organisasi. Karyawan juga ingin mengetahui apakah klien

(45)

e. Pengakuan dan apresiasi

Pengakuan adalah salah satu pendorong utama employee engagement.

Pengakuan dapat berupa hadiah uang atau kompensasi, namun dapat

juga berupa apresoasi dan timbal balik langsung dari atasan.

f. Menjalani kehidupan yang seimbang

Organisasi yang memiliki budaya keseimbangan nilai dan membantu

karyawan mencapai keseimbangan hidup akan menghasilkan employee

engagement. Keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan tidak

berarti bahwa karyawan tidak loyal, namun hal ini berarti karyawan

menjalani kehidupan secara menyeluruh, tidak hanya berpusat pada

pekerjaan.

Sementara itu, Rich, Lepine, dan Crawford (2010) menyatakan

beberapa faktor yang mempengaruhi terbentuknya employee engagement,

antara lain :

a. Kesesuaian nilai

Nilai organisasi di komunikasikan kepada anggota organisasi dan

berisi perilaku yang diharapkan dari karyawan dalam peran pekerjaan.

Sementara, nilai personal menggambarkan standar perilaku dan hasrat

gambaran diri seseorang. Individu yang memiliki kesesuaian antara

nilai personal dan nilai organisasi tempat bekerja merasa bahwa peran

pekerjaannya sesuai dengan gambaran dirinya. Hal ini menjadikan

karyawan akan memiliki keterikatan yang lebih tinggi dengan

(46)

b. Dukungan organisasi

Karyawan yang merasakan dukungan oganisasi tinggi memiliki

ekspektasi positif dan aman terhadap organisasi, serta lebih sedikit

alasan untuk cemas mengenai status dan karir. Sementara, karyawan

yang merasa dukungan organisasi rendah akan merasa tidak yakin akan

ekspektasinya, takut untuk mengikat diri dan memilih untuk

membentengi diri dengan menarik diri dari perannya.

c. Evaluasi diri inti

Evaluasi diri inti adalah penilaian individu atas efektivitas,

kemampuan, dan kelayakan dirinya. Karyawan dengan evaluasi diri

inti yang tinggi akan positif, percaya diri, memiliki efikasi diri, dan

percaya pada dirinya. Mereka juga menilai tuntutan dengan lebih

positif, memiliki kemampuan lebih untuk menghadapi tuntutan, dan

tersedia sumber daya yang lebih untuk peran performansi kerja.

4. Kategori Employee Engagement

Crabtee (2013) melalui hasil riset Gallup memperkenalkan kategori

engagement pada karyawan, yaitu :

a. Engaged atau“terikat”

Karyawan pada fase ini akan bekerja dengan sepenuh hati dan merasa

terikat dengan perusahaan. Mereka bekerja dengan menghadirkan

(47)

b. Not Engaged atau “tidak terikat”

Karyawan yang sebenarnya berada di luar. Mereka seperti orang-orang

yang tertidur dalam pekerjaannya karena hanya sekedar menghabiskan

waktu, tanpa adanya energi dan setengah hati pada pekerjaan mereka.

c. Actively Disengaged atau “aktif terlepas”

Karyawan yang tidak gembira dalam bekerja. Karyawan ini sibuk untuk menunjukkan ketidakgembiraan mereka dan berusaha untuk mengganggu pekerja lain.

5. Perbedaan Employee Engagement dengan Konstruk Psikologi Lain

Definisi dan pengertian dari employee engagement seringkali tampak

serupa dan tumpang tindih dengan beberapa konstruk psikologis lain.

Beberapa diantaranya adalah :

a. Employee Engagement dengan kepuasan kerja

Abhishek Mittal (2011) menyatakan mengenai perbedaan antara

employee engagement dengan kepuasan kerja. Kepuasan kerja hanya

berbicara satu arah, yaitu “Apa yang bisa perusahaan lakukan bagi

karyawan?” sementara employee engagement berbicara 2 arah, yaitu

“Apa yang bisa kita lakukan sebagai rekan kerja?”. Lebih lanjut,

engagement adalah kontrak 2 arah, dimana melibatkan lebih banyak

konstruk dan berdampak lebih besar terhadap hasil perusahaan.

b. Employee Engagement dengan komitmen organisasi

Margaretha dan Saragih (2013) membedakan antara employee

(48)

menunjuk pada sikap dan mengikat seorang karyawan terhadap

organisasi mereka. Sementara itu, engagement bukan sikap karena

engagement memberi kadar dimana karyawan memiliki perhatian dan

keterikatan pada pekerjaan dan perannya.

c. Employee Engagement dengan Organizational Citizenship Behavior

(OCB)

Margaretha dan Saragih (2013) juga menyatakan perbedaan antara

employee engagement dengan OCB. OCB melibatkan perilaku

sukarela dan informal dengan tujuan membantu rekan kerja dan

organisasi. Sementara itu, engagement fokus pada peran kinerja formal

seorang karyawan yang melebihi peran kerjanya dan perilaku suka

rela.

d. Employee Engagement dengan Job Involvement

Santosa (2012) menyatakan bahwa employee engagement juga berbeda

dengan job involvement. Job involvement merupakan hasil keputusan

kognitif, sementara engagement juga melibatkan emosi dan perilaku

aktif untuk mencapai kinerja dalam perusahaan.

C. Dinamika Hubungan Antara Workplace Spirituality dan Employee

Engagement

Workplace spirituality adalah kerangka dari nilai organisasi yang

dibuktikan dengan adanya budaya organisasi yang mendorong pengalaman

(49)

orang lain yang menghasilkan perasaan lengkap dan bahagia (Giacalone &

Jurkiewicz, dalam Miller & Ewest, 2011). Organisasi yang menerapkan

workplace spirituality mengakui bahwa manusia memiliki pikiran dan jiwa,

berusaha mencari makna dan tujuan dalam pekerjaan mereka, memiliki hasrat

untuk berhubungan dengan orang lain serta menjadi bagian dari sebuah

komunitas (Robbins & Judge, 2008). Robbins (2006) menyatakan bahwa

penerapan workplace spirituality dalam organisasi menjadikan sebuah

organisasi tersebut lebih unggul dan lebih maju dibanding organisasi yang

lain. Krishnakumar dan Neck (2002) menyatakan bahwa penelitian mengenai

penerapan workplace spirituality memberi dampak yang positif pada

kreativitas, kejujuran dan kepercayaan, pemenuhan personal, performansi

organisasi dan komitmen. Hal ini menyebabkan banyak organisasi tertarik

menerapkan workplace spirituality untuk mengikat hati dan pikiran karyawan

(Pfeffer, dalam Saks, 2011).

Dalam penelitian ini, hal yang akan diteliti adalah hubungan antara

dimensi workplace spirituality dengan employee engagement, yaitu 1)

meaningful work dengan employee engagement, 2) sense of community dengan

employee engagement, dan 3) alignment with organizational values dengan

employee engagement.

Meaningful work dipahami sebagai adanya makna dan tujuan mendalam

dari pekerjaan (Milliman, Czaplewski & Ferguson, 2003). Dimensi ini fokus

pada interaksi karyawan dengan pekerjaan mereka dari hari ke hari di level

(50)

meaningful work yang tinggi dapat dikarakteristikkan dengan karyawan

menikmati pekerjaan, merasa hidup karena pekerjaan, serta mendapat makna

dan tujuan personal (Milliman, Czaplewski & Ferguson, 2003). Karyawan

dengan meaningful work tinggi akan mengalami bagaimana pekerjaannya

berdampak pada visi dan strategi organisasi serta klien. Hal ini menjadikan

karyawan akan terikat dengan pekerjaannya. Sementara itu, karyawan dengan

meaningful work yang rendah tidak menikmati pekerjaannya, kurang

bersemangat dengan pekerjaan dan tidak mendapat makna serta tujuan

personalnya. Karyawan tidak mengalami bagaimana pekerjaan mereka

memiliki dampak pada visi dan strategi organisasi serta klien, sehingga

karyawan cenderung tidak terikat.

Sense of community dipahami sebagai karyawan yang memiliki hubungan

mendalam dengan orang lain (Ashmos & Duchon, 2000). Dimensi ini fokus

pada perilaku individu di tingkat kelompok dan fokus pada interaksi karyawan

dengan rekan kerjanya. Karyawan dengan sense of community yang tinggi

memiliki perasaan terhubung dengan rekan kerja, perasaan saling

mendukung satu sama lain, dan terhubung dengan tujuan bersama (Milliman,

Czaplewski & Ferguson, 2003). Karyawan yang mengalami hal ini akan

memiliki hubungan yang positif dengan rekan kerjanya dan lebih menikmati

pekerjaannya, sehingga karyawan akan terikat (engaged) dengan

pekerjaannya. Sementara itu, karyawan dengan sense of community yang

rendah tidak memiliki perasaan terhubung dengan rekan kerja, tidak

(51)

Karyawan yang mengalami hal ini akan memiliki hubungan yang negatif

dengan rekan kerjanya dan tidak menikmati pekerjaannya, sehingga karyawan

akan tidak terikat (not engaged) dengan pekerjaannya.

Alignment with organizational values dipahami sebagai individu

mengalami perasaan kesamaan yang kuat antara nilai individu dengan misi

dan tujuan organisasi (Milliman, Czaplewski & Ferguson, 2003). Karyawan

dengan alignment with organizational values tinggi memiliki perasaan

terhubung dengan tujuan organisasi, mengidentifikasi diri dengan misi dan

nilai organisasi, dan karyawan merasa adanya perhatian organisasi terhadap

karyawan (Milliman, Czaplewski & Ferguson, 2003). Individu yang memiliki

kesesuaian antara nilai personal dan nilai organisasi tempat bekerja merasa

bahwa peran pekerjaannya sesuai dengan gambaran dirinya. Hal ini

menjadikan karyawan akan memiliki keterikatan yang lebih tinggi dengan

organisasi. Sementara itu, karyawan dengan alignment with organizational

values rendah memiliki perasaan terpisah dengan tujuan organisasi, tidak

mengidentifikasi diri dengan misi dan nilai organisasi, dan karyawan merasa

tidak adanya perhatian organisasi terhadap karyawan. Hal ini menjadikan

karyawan merasa bahwa peran pekerjaannya tidak sesuai dengan gambaran

dirinya, sehingga karyawan tidak merasa terikat dengan organisasi.

Karyawan yang terikat merupakan aset perusahaan yang berharga

(Dickson, dalam Santosa, 2012). Keterikatan karyawan atau employee

engagement juga diyakini sebagai salah satu kunci kesuksesan organisasi

(52)

dan pemenuhan karyawan yang berhubungan dengan pekerjaan,

dikarakteristikkan oleh adanya giat (vigor), dedikasi (dedication) dan

penyerapan (absorption) (Schaufeli & Baker, 2004). Giat (vigor)

dikarakteristikkan dengan tingginya level energi dan resiliensi mental saat

bekerja, kemauan untuk memberi upaya dalam bekerja dan ketekunan dalam

menghadapi kesulitan. Dedikasi (dedication) dikarakteristikkan dengan

adanya perasaan signifikan, antusiasme, insprirasi, kebanggaan dan tantangan.

Penyerapan (absorption) dikarakteristikkan dengan konsentrasi penuh dan

kesenangan bekerja dalam bekerja, dimana waktu berjalan cepat dan individu

sulit melepas diri dari pekerjaannya.

Crabtee (2013) menyatakan kategori engagement pada karyawan, yaitu

terikat (engaged) dan tidak terikat (not engaged). Karyawan yang engaged

atau“terikat” adalah karyawan yang bekerja dengan sepenuh hati dan merasa

terikat dengan perusahaan. Mereka bekerja dengan menghadirkan inovasi dan

memajukan perusahaan. Sementara itu, karyawan not engaged atau “tidak

terikat” sebenarnya adalah karyawan yang berada di luar. Mereka seperti

orang-orang yang tertidur dalam pekerjaannya karena hanya sekedar

menghabiskan waktu, tanpa adanya energi dan setengah hati pada pekerjaan

(53)
(54)
(55)
(56)

E. Hipotesis

Berdasarkan kajian teoritis terhadap konstruk workplace spirituality dan

employee engagement, maka hipotesis dari penelitian ini yaitu :

H1 Terdapat hubungan positif antara meaningful work dan employee

engagement

H2 Terdapat hubungan positif antara sense of community dan

employee engagement

H3 Terdapat hubungan positif antara alignment with organizational

(57)

34

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian korelasional, yaitu

penelitian dengan ciri adanya hubungan korelasi antar dua variabel

(Supratiknya, 1998 dalam Sutrisnawati, 2009). Dalam penelitian ini

terdapat dua variabel yang akan diteliti, yaitu workplace spirituality dan

employee engagement. Peneliti bertujuan untuk mengetahui hubungan

workplace spirituality dan employee engagement.

B. Identifikasi Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini akan diteliti 2 variabel, yaitu :

1. Variabel bebas : workplace spirituality yang memiliki 3

dimensi, yaitu meaningful work, sense of community dan alignment

with organizational values.

2. Variabel tergantung : employee engagement

C. Definisi Operasional

1. Workplace Spirituality

Workplace spirituality adalah kerangka dari nilai organisasi yang

dibuktikan dengan adanya budaya organisasi yang mendorong

(58)

perasaan terhubung dengan orang lain yang menghasilkan perasaan

lengkap dan bahagia (Giacalone & Jurkiewicz, dalam Miller & Ewest,

2011). 3 dimensi workplace spirituality yang akan diukur adalah

meaningful work, sense of community, dan alignment with

organizational values.

Meaningful work adalah aspek individu, dimana karyawan mencari

makna dan tujuan mendalam dari pekerjaan yang dilakukan. Sense of

community adalah aspek hubungan dengan orang lain, dimana

karyawan mencari perasaan terhubung dengan orang lain dalam

lingkungan kerja. Alignment with organizational value adalah aspek

organisasi, dimana karyawan mencari kesamaan nilai antara dirinya

dengan organisasi tempatnya bekerja.

Semakin tinggi skor setiap dimensi workplace spirituality

menunjukkan semakin tinggi tingkat workplace spirituality, sebaliknya

semakin rendah skor setiap dimensi menunjukkan semakin rendah

tingkat workplace spirituality.

2. Employee Engagement

Employee engagement adalah kondisi positif dan pemenuhan

karyawan yang berhubungan dengan pekerjaan, dikarakteristikkan oleh

adanya giat (vigor), dedikasi (dedication) dan penyerapan (absorption)

(Schaufeli dan Baker, 2004). Employee engagement akan diukur

(59)

oleh peneliti. Skala ini akan mengukur 3 aspek employee engagement,

yaitu giat (vigor), dedikasi (dedication), dan penyerapan (absorption).

Giat (vigor) adalah tingginya tingkat energi dan upaya dalam

bekerja. Dedikasi (dedication) adalah mengikat diri secara emosional

dan intelektual pada pekerjaan. Penyerapan (absorption) adalah

kondisi perhatian yang penuh dengan upaya mental tinggi karena

senang dengan sesuatu.

Semakin tinggi skor total pada skala employee engagement

menunjukkan semakin tinggi tingkat employee engagement.

Sebaliknya semakin rendah total skor menunjukkan semakin rendah

tingkat employee engagement.

D. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah karyawan yang sudah berstatus

sebagai karyawan tetap. Hal ini dikarenakan karyawan tetap diharapkan

Gambar

Gambar 1 Kurva Meaningful work     57
Tabel 1 Tabel pemberian skor pada skala
Tabel 3 Blue Print Skala Employee Engagement
Tabel 4
+7

Referensi

Dokumen terkait

Madjar (2005) mengatakan bahwa dukungan dari rekan kerja akan dapat meningkatkan kreativitas karyawan melalui prilaku berbagi informasi, yang mana prilaku berbagi informasi ini

• Manager yang tercerahkan membantu orang lain mengenali diri mereka bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri, tetapi juga bahwa setiap bagian sangat penting

Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 23, Tambahan Lembaran

Hasil simulasi pada Gambar 4.8 menunjukkan drive shaft serat karbon/epoksi dengan variasi diameter tetapi dengan gaya dan arah torsi yang sama, apakah orientasi

Optimalisasi fungsi masjid ini pada gilirannya dapat juga bermanfa’at untuk pembinaan jama’ah dan masyarakat pada umumnya, bukan saja dalam aspek kegiatan ibadah ritual

Pada bagian pemetaan kerusakan jalan akan ada 4 modul, dimana pada penelitian ini hanya akan diselesaikan 2 modul saja, yaitu modul Image Stretching dan Image

Sedangkan kecerdasan spiritual (SQ) adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah dalam setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa sikap spiritual siswa yang diajarkan dengan menerapkan pembelajaran fisika berbasis Al- Qur’an lebih baik daripa da siswa