HUBUNGAN ANTARA DIMENSI WORKPLACE SPIRITUALITY
DAN EMPLOYEE ENGAGEMENT
Elita Kirana
ABSTRAK
Penelitian ini membahas mengenai hubungan antara workplace spirituality dan employee engagement. Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah employee engagement, sedangkan variabel bebasnya adalah workplace spirituality yang terdiri dari 3 dimensi, yaitu meaningful work, sense of community, dan alignment with organizational value. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 85 orang. Subjek dipilih dengan metode purposive sampling, yaitu karyawan dari perusahaan yang memiliki karakteristik organisasi spiritual. Metode pengumpulan data dengan penyebaran skala yang dikembangkan oleh peneliti. Total aitem skala workplace spirituality
adalah 33 aitem dengan masing-masing dimensi 11 aitem. Reliabilitas skala dimensi meaningful work adalah α = 0,993, sense of community α = 0,863, alignment with organizational value α = 0,895. Sementara itu, reliabilitas skala employee engagement sebesar α = 0,949 dengan jumlah 36 aitem. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik korelasi Spearman karena sebaran data tidak normal. Koefisien korelasi employee engagement (n=36; mean=104,08; SD=10,33) dan dimensi meaningful work (n=11; mean=32,13; SD=4,073) r = 0,995, p = 0,000, sedangkan
employee engagement (n=36; mean=104,08; SD=10,33) dan dimensi sense of community (n=11; mean=34,71; SD=3,011) r = 0,986, p = 0,000, serta employee engagement (n=36; mean=104,08; SD=10,33)dan alignment with organizational values (n=11; mean=30,53; SD=4,078) r = 0,992, p = 0,000. Artinya, terdapat hubungan positif dan sangat kuat antara dimensi workplace spirituality
dan employee engagement. Maka, semakin tinggi dimensi workplace spirituality, semakin tinggi pula employee engagement. Sebaliknya, semakin rendah dimensi workplace spirituality, semakin rendah pula employee engagement.
THE CORRELATION BETWEEN DIMENSIONS OF WORKPLACE SPIRITUALITY AND EMPLOYEE ENGAGEMENT
Elita Kirana
ABSTRACT
This research discussed about the correlation between workplace spirituality and employee engagement. Dependent variable in this research was employee engagement, while the independent variable was workplace spirituality which is contains from 3 dimensions, such as meaningful work, sense of community, and alignment with organizational value. Subject of this research were 85 people. Subject were chosen by purposive sampling method, which is employee from a company who has the characteristic of spiritual organization. Data gained using psychological scale which developed by researcher. The total item in workplace spirituality scale were 33 items, with each dimension contains 11 items. Reliability for meaningful work was α = 0,993, sense of community α =0,863, and alignment with organizational value α =0,895. Reliability for employee engagement scale was α =0,949 with 36 items. Analytical data in this research used Spearman correlation because the abnormal on data distribution. The coefficient correlation of employee engagement (n=36; mean=104,08; SD=10,33) and meaningful work (n=11; mean=32,13; SD=4,073) r = 0,995, p = 0,000, employee engagement (n=36; mean=104,08; SD=10,33) and sense of community (n=11; mean=34,71; SD=3,011) r = 0,986, p = 0,000, then employee (n=36; mean=104,08; SD=10,33) engagement and alignment with organizational values (n=11; mean=30,53; SD=4,078) r = 0,992, p = 0,000. It means there was a positive and very strong correlation between dimensions of workplace spirituality and employee engagement. Then, higher dimension of workplace spirituality will also have higher employee engagement too. On the other way, lower dimension of workplace spirituality, will have lower employee engagement will be.
HUBUNGAN ANTARA DIMENSI WORKPLACE
SPIRITUALITY DAN EMPLOYEE ENGAGEMENT
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun oleh :
Elita Kirana
119114027
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
iv
Your plan B is
God’s plan A
Sometimes I just look up,
smile, and say :
v
For I know the plans
I have for you,” declares
the L
ORD, “plans to prosperyouand not to harm you,
plans to give you hope and a future.
Jeremiah 29 : 11
Dedicated f
or…
my Heavenly Father
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dari daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 18 Mei 2015
Penulis,
vii
HUBUNGAN ANTARA DIMENSI WORKPLACE SPIRITUALITY DAN EMPLOYEE ENGAGEMENT
Elita Kirana
ABSTRAK
Penelitian ini membahas mengenai hubungan antara workplace spirituality dan employee engagement. Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah employee engagement, sedangkan variabel bebasnya adalah workplace spirituality yang terdiri dari 3 dimensi, yaitu meaningful work, sense of community, dan alignment with organizational value. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 85 orang. Subjek dipilih dengan metode purposive sampling, yaitu karyawan dari perusahaan yang memiliki karakteristik organisasi spiritual. Metode pengumpulan data dengan penyebaran skala yang dikembangkan oleh peneliti. Total aitem skala workplace spirituality
adalah 33 aitem dengan masing-masing dimensi 11 aitem. Reliabilitas skala dimensi meaningful work adalah α = 0,993, sense of community α = 0,863, alignment with organizational value α = 0,895. Sementara itu, reliabilitas skala employee engagement sebesar α = 0,949 dengan jumlah 36 aitem. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik korelasi Spearman karena sebaran data tidak normal. Koefisien korelasi employee engagement (n=36; mean=104,08; SD=10,33) dan dimensi meaningful work (n=11; mean=32,13; SD=4,073) r = 0,995, p = 0,000, sedangkan
employee engagement (n=36; mean=104,08; SD=10,33) dan dimensi sense of community (n=11; mean=34,71; SD=3,011) r = 0,986, p = 0,000, serta employee engagement (n=36; mean=104,08; SD=10,33)dan alignment with organizational values (n=11; mean=30,53; SD=4,078) r = 0,992, p = 0,000. Artinya, terdapat hubungan positif dan sangat kuat antara dimensi workplace spirituality
dan employee engagement. Maka, semakin tinggi dimensi workplace spirituality, semakin tinggi pula employee engagement. Sebaliknya, semakin rendah dimensi workplace spirituality, semakin rendah pula employee engagement.
viii
THE CORRELATION BETWEEN DIMENSIONS OF WORKPLACE SPIRITUALITY AND EMPLOYEE ENGAGEMENT
Elita Kirana
ABSTRACT
This research discussed about the correlation between workplace spirituality and employee engagement. Dependent variable in this research was employee engagement, while the independent variable was workplace spirituality which is contains from 3 dimensions, such as meaningful work, sense of community, and alignment with organizational value. Subject of this research were 85 people. Subject were chosen by purposive sampling method, which is employee from a company who has the characteristic of spiritual organization. Data gained using psychological scale which developed by researcher. The total item in workplace spirituality scale were 33 items, with each dimension contains 11 items. Reliability for meaningful work was α = 0,993, sense of community α =0,863, and alignment with organizational value α =0,895. Reliability for employee engagement scale was α =0,949 with 36 items. Analytical data in this research used Spearman correlation because the abnormal on data distribution. The coefficient correlation of employee engagement (n=36; mean=104,08; SD=10,33) and meaningful work (n=11; mean=32,13; SD=4,073) r = 0,995, p = 0,000, employee engagement (n=36; mean=104,08; SD=10,33) and sense of community (n=11; mean=34,71; SD=3,011) r = 0,986, p = 0,000, then employee (n=36; mean=104,08; SD=10,33) engagement and alignment with organizational values (n=11; mean=30,53; SD=4,078) r = 0,992, p = 0,000. It means there was a positive and very strong correlation between dimensions of workplace spirituality and employee engagement. Then, higher dimension of workplace spirituality will also have higher employee engagement too. On the other way, lower dimension of workplace spirituality, will have lower employee engagement will be.
ix
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma Nama : Elita Kirana
NIM : 119114027
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
HUBUNGAN ANTARA DIMENSI WORKPLACE SPIRITUALITY
DAN EMPLOYEE ENGAGEMENT
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencamtumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal : 18 Mei 2015 Yang menyatakan,
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang bertahta di Kerajaan Surga
atas segala kasih, pertolongan, dan penyertaanNya yang nyata sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan tepat waktu. Penulis menyadari
bahwa skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan banyak pihak. Oleh
karena itu, penulis hendak mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. T. Priyo W., M.Si., selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas
Sanata Dharma.
2. Ibu Ratri Sunar A. M.Si., selaku Kepala Program Studi Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma.
3. Bapak Prof. A. Supratiknya, selaku Dosen Pembimbing Akademik selama
penulis menempuh studi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
4. Ibu Dewi Soerna Anggraeni M. Psi., selaku Dosen Pembimbing Skripsi
yang telah membimbing dan mengarahkan penulis hingga terwujudlah
skripsi ini dan selesai tepat waktu.
5. Bu Etta dan Pak Tius selaku dosen penguji skripsi, sehingga ujian skripsi
saya tidak menyeramkan yang saya bayangkan.
6. Segenap dosen Fakultas Psikologi atas segala ilmu dan pengetahuan yang
telah dibagikan selama penulis menempuh pendidikan di Fakultas
xi
7. Segenap karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, Mas
Muji dan Mas Doni di lab beserta Bu Nanik dan Mas Gandung di sekre
yang telah banyak membantu dan melayani demi kelancaran studi penulis.
8. DIKTI dan (Almh) Ibu Christina Siwi yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk menerima Beasiswa Unggulan dalam menempuh
studi dan penulis dapat mempertanggungjawabkannya.
9. Bpk. Gideon Hartono dan Ibu Inge Santosa, selaku pimpinan PT. K-24
Indonesia yang telah mengijinkan dan memberi kesempatan kepada
penulis untuk melakukan penelitian, dan kepada Mbak Lina beserta
karyawan PT.K-24 Indonesia yang tidak dapat penulis sebutkan satu per
satu yang telah membantu penulis dalam penelitian ini.
10. (Alm.) Papa, Mama, Emak, Iik, Aldo, yang menjadikan saya kaya dan
memiliki arah karena memiliki keluarga.
11. A. Deddy Kurniawan, my growing up partner and soon become my
growing old partner, terima kasih atas dorongan, daya, dukungan, bahkan
dana yang telah diberikan, Tidak lupa beserta keluarga yang selalu
membawa proses dan kelancaran skripsi saya dalam pokok doa.
12. Keluarga besar KaMbing (Kakak Pembimbing) Komisi Pra Remaja GKI
Ngupasan : Momski, Mbok Sus, Mbok Nik, Kak Sin, Ooh, Emon, Wellia,
Evan, Ega, Meglin, Ani, Obed, Nanda, dan Tepong beserta Krucil-krucil
kesayangan atas canda, tawa, dukungan dan doanya.
13. Sahabat saya (urut NIM ya) : Anka (panggil saja Bebek), Ribka (panggil
teman-xii
teman yang ada bersama dan akan selalu ada dalam cerita terbaik di hidup
saya (ps : another holiday and photoshoot?. Tidak lupa pada Mas Mesach,
Jojon, Andik, dan Dek Dika yang turut mendukung dan meramaikan ujian
pendadaran saya sekaligus family gathering.
14. Team Parampampa – Tim Minggu ke-2 Ibadah Sabtu GKI Ngupasan : Om
Surya, Om Aan, Om Paul, Om Lingga, Banu, C Kitty, C Inez, Vanni, dan
Ucu atas segala doa dan dukungan dibalik keceriaan dan jadwal rutin
makan B2 bersama. Semoga Parampampa semakin keren aja!
15. Nathan dan Pika, yang mau saya repotkan dan membantu saya berusaha
memperbaiki flashdisk berisi file skripsi yang error mendadak di H-1
pengumpulan :’)
16. Ko Engger, yang mau membantu dengan suka rela ketika saya repotkan
akan kekurangpahaman saya atas regresi.
17. Meta, teman sejak kanak-kanak hingga saat ini, yang walaupun terpisah
tapi tidak pernah lupa memberikan dorongan dan semangat dalam proses
pengerjaan skripsi, serta sharing mengenai masa depan
18. Teman-teman, kakak angkatan maupun adik angkatan di Fakultas
Psikologi Universitas Sanata Dharma yang tidak bisa disebutkan satu per
satu karena tentunya akan menghabiskan banyak halaman, kita
dipertemukan bukan tanpa alasan, namun untuk sebuah alasan yang
mungkin saat ini belum kita ketahui. See you when I see you!
xiii
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan masih
terdapat banyak kekurangan dalam penelitian ini. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan adanya kritik dan saran dari pembaca untuk memperbaiki karya
penulis ini. Selain itu, penulis berharap bahwa skripsi ini bermanfaat bagi
pembaca. Terima kasih.
Yogyakarta, 18 Mei 2015
Penulis
xiv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
HALAMAN MOTTO iv
HALAMAN PERSEMBAHAN v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA vi
ABSTRAK vii
ABSTRACT viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ix
KATA PENGANTAR x
DAFTAR ISI xiv
DAFTAR SKEMA .xviii
DAFTAR TABEL xix
DAFTAR GAMBAR xx
DAFTAR LAMPIRAN xxi
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 10
C. Tujuan Penelitian 10
D. Manfaat Penelitian 11
1. Manfaat Teoritis 11
xv
BAB II LANDASAN TEORI 12
A. Workplace Spirituality 12
1. Spiritualitas 12
2. Definisi Workplace Spirituality 13
3. Dimensi Workplace Spirituality 14
a. Meaningful work 14
b. Sense of community 14
c. Alignment with organizational values 15
4. Definisi dan Karakteristik Organisasi Spiritual 16
5. Dampak Workplace Spirituality 17
B. Employee Engagement 19
1. Definisi Employee Engagement 19
2. Aspek Employee Engagement 20
3. Faktor Yang Mempengaruhi Terbentuknya Employee
Engagement 21
4. Kategori Employee Engagement 23
5. Perbedaan Employee Engagement dengan Konstruk
Psikologi Lain 24
C. Dinamika Hubungan Antara Workplace Spirituality
dan Employee Engagement 25
D. Kerangka Penelitian 30
E. Hipotesis 33
xvi
A. Jenis Penelitian 34
B. Identifikasi Variabel Penelitian 34
1. Variabel Bebas 34
2. Variabel Tergantung 34
C. Definisi Operasional 34
1. Workplace Spirituality 34
2. Employee Engagement 35
D. Subjek Penelitian 36
E. Metode dan Alat Pengumpulan Data 37
F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur 40
1. Validitas 40
2. Seleksi Item 41
a. Skala Workplace Spirituality 42
b. Skala Employee Engagement 44
3. Reliabilitas 45
G. Metode Analisis Data 46
1. Uji Asumsi 46
a. Uji Normalitas 47
b. Uji Linearitas 47
2. Uji Hipotesis 47
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 49
A. Pelaksanaan Penelitian 49
xvii
C. Deskripsi Data Penelitian 52
D. Hasil Analisis Data 56
1. Uji Asumsi Penelitian 56
a. Uji Normalitas 56
b. Uji Linearitas 59
1) Employee engagement dan meaningful work 60
2) Employee engagement dan Sense of community 61
3) Employee engagement dan Alignment with
organizational values 62
E. Uji Hipotesis 63
F. Pembahasan 66
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 71
A. Kesimpulam 71
B. Saran 71
1. Bagi Subjek 72
2. Bagi Perusahaan 72
3. Bagi Penelitian Selanjutnya 73
DAFTAR PUSTAKA 74
xviii
DAFTAR SKEMA
Skema 1 Hubungan Dimensi Meaningful Work dan Employee
Engagement 30
Skema 2 Hubungan Dimensi Sense of Community dan Employee
Engagement 31
Skema 3 Hubungan Dimensi Alignment with Organizational Value dan
xix
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Tabel pemberian skor pada skala 37
Tabel 2 Blue Print Skala Workplace Spirituality 39
Tabel 3 Blue Print Skala Employee Engagement 39
Tabel 4 Blue Print Skala Workplace Spirituality Setelah Uji Coba 44
Tabel 5 Blue Print Skala Employee Engagement Setelah Uji Coba 45
Tabel 6 Hasil Uji Reliabilitas Skala Uji Coba Dimensi Workplace
Spirituality 46
Tabel 7 Kategorisasi nilai korelasi 48
Tabel8 Subjek berdasar jenis kelamin 52
Tabel 8 Subjek berdasar masa kerja 52 Tabel 9 Subjek berdasar usia 52 Tabel 10 Hasil Pengukuran Deskriptif Variabel 53
Tabel 11 Hasil Uji T Dimensi Meaningful work 54
Tabel 12 Hasil Uji T Dimensi Sense of community 54
Tabel 13 Hasil Uji T Dimensi Alignment with organizational value 55
Tabel 14 Hasil Uji T Employee Engagement 55 Tabel 15 Hasil Uji Normalitas 56
Tabel 16 Hasil Uji Linearitas Employee Engagement dan
Meaningful work 60
Tabel 17 Hasil Uji Linearitas Employee Engagement dan
Sense of community 61
Tabel 18 Hasil Uji Linearitas Employee Engagement dan
Alignment with organizational value 62
xx
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Kurva Meaningful work 57
Gambar 2 Kurva Sense of community 58
Gambar 3 Kurva Alignment with organizational values 58
Gambar 4 Kurva Employee Engagement 59
Gambar 5 Scatter Plot Meaningful work dan Employee Engagement 60
Gambar 6 Scatter Plot Sense of community dan Employee
Engagement 61
Gambar 7 Scatter Plot Alignment with organizational values
xxi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Skala Uji Coba 79
Lampiran 2 Hasil Reliabitas dan Seleksi Item 90
Lampiran 3 Skala Final 97
Lampiran 4 Statistik Deskriptif 106
Lampiran 5 Hasil Uji Beda Mean (Uji T) 107
Lampiran 6 Hasil Uji Normalitas 109
Lampiran 7 Hasil Uji Linearitas 110
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bendell (dalam Cawe, 2005) menyatakan “In the business world, expected
outcomes are quite specific, viz: you compete to remain profitable in order to
survive and grow” atau dengan kata lain bahwa dalam dunia bisnis, hasil yang diharapkan adalah hal yang penting karena perusahaan harus berkompetisi
mengejar keuntungan untuk tetap bertahan dan berkembang. Kunci
keberhasilan organisasi atau perusahaan bertahan adalah sumber daya manusia
(Kreitner & Kinicki, 2005). Sulit bagi perusahaan untuk beroperasi secara
lancar dan mencapai sasarannya jika sumber daya manusia atau karyawannya
tidak mampu bekerja dengan baik (Robbins & Judge, 2015).
Setiap sumber daya manusia adalah unik dan berbeda satu sama lain,
sehingga perilakunya juga akan unik (Sopiah, 2008). Oleh karena itu,
perusahaan perlu memahami hal ini dengan baik agar mampu menggerakkan
karyawan dengan lebih arif dan bijak yang berujung pada pencapaian tujuan
organisasi secara efektif dan efisien (Sopiah, 2008). Para ahli pun mulai
melakukan penelitian dengan perhatian yang lebih besar pada faktor manusia,
terutama hubungan antar manusia dan memperbaiki kondisi kerja (Kreitner &
Kinicki, 2005).
Mengelola sumber daya manusia atau karyawan dengan baik pada kondisi
(Robbins & Judge, 2015). Pada kondisi baik, perusahaan harus
memprioritaskan bagaimana memberi penghargaan, memuaskan dan
mempertahankan karyawan (Robbins & Judge, 2015). Mempertahankan
karyawan atau mencegah berhentinya karyawan dari pekerjaan penting untuk
mendapat perhatian perusahaan karena karyawan yang berhenti mengganggu
kelangsungan organisasi dan juga menghabiskan biaya (Kreitner & Kinicki,
2005).
Hasil riset menunjukkan adanya hubungan negatif antara kepuasan kerja
dengan berhentinya karyawan, sehingga perusahaan disarankan untuk
meningkatkan kepuasan kerja karyawan (Kreitner & Kinicki, 2005). Hasil
riset lain menunjukkan bahwa pekerja yang puas cenderung lebih efektif
dalam produktivitas (Robbins & Judge, 2015). Pada faktanya, karyawan yang
merasa puas dengan pekerjaannya dan berkomitmen, terlibat dalam pekerjaan
bahkan memiliki Organizational Citizenship Behavior yang tinggi tidak
menjamin bahwa karyawan akan tinggal dalam organisasi dengan memberikan
kinerja terbaiknya bagi perusahaan (Santosa, 2012). Perusahaan membutuhkan
lebih dari itu, yaitu karyawan yang memiliki employee engagement terhadap
perusahaan (Santosa, 2012).
Pada tahun 2013, Saks menyatakan bahwa employee engagement masih
berupa konsep baru dengan hanya ada sedikit penelitian akademik mengenai
topik ini (dalam Agyemang & Ofei, 2013). Employee engagement adalah
sebuah konsep baru yang dikembangkan dari konsep komitmen karyawan dan
employee engagement lebih banyak ditemukan dalam jurnal umum yang
hanya memiliki dasar praktikal, dibanding teori dan riset (Margaretha &
Saragih, 2013).
Artikel Crabtree (2013) membahas mengenai hasil penelitian Gallup
mengenai tingkat engagement lebih dari 6,5 juta karyawan di 170 negara dan
membaginya dalam 3 kategori utama, yaitu karyawan “terikat”, “tidak terikat”
dan “aktif terlepas”. Hasil penelitian Gallup menyatakan bahwa terdapat 63%
karyawan berada dalam fase “tidak terikat”. Karyawan pada fase “tidak
terlibat” adalah karyawan yang tidak memiliki motivasi dan memiliki
kemungkinan lebih kecil untuk ikut terlibat dalam tujuan maupun hasil
organisasi. 24% karyawan berada pada kategori “aktif terlepas”, yaitu
karyawan yang merasa tidak bahagia, tidak produktif dan kemungkinan besar
menyebarkan hal-hal negatif, seperti berusaha mengganggu pekerja lain.
Sementara itu, hanya 13% karyawan di seluruh dunia yang berada pada
kategori “terikat” dengan perusahaannya. Hal ini berarti hanya 13% karyawan
di seluruh dunia yang berkomitmen secara psikologis terhadap pekerjaannya
dan kemungkinan memberikan kontribusi positif bagi perusahaan. Survei
Gallup tahun 2011-2012 untuk Indonesia menunjukkan hasil yang tidak
berbeda jauh, yaitu 77%+3 (estimasi margin error 3%) tidak terikat, 15%+2
(estimasi margin error 2%) aktif terlepas, dan hanya 8%±3 (estimasi margin
error 3%) karyawan yang terikat.
Crabtree (2013) menyatakan banyak hasil penelitian menunjukkan
konsumen, dan bertahan dari godaan meninggalkan perusahaan. Hal inilah
yang dipahami banyak perusahaan terbaik dunia bahwa dengan
mengembangkan employee engagement akan membantu perusahaan dalam
mencapai keberhasilan perusahaan. Hasil penelitian ini memperkuat
pernyataan Yadnyawati (2012) bahwa faktor penting bagi kesuksesan
perusahaan adalah employee engagement.
Schultz dan Schultz (2010) mendefinisikan employee engagement sebagai
kegembiraan kerja yang sebenarnya yang dikarakteristikkan dengan tingginya
skor energi, keterlibatan dan efikasi. Lockwood (dalam Yadnyawati, 2012)
mendefiniskan employee engagement sebagai sejauh mana karyawan memiliki
komitmen terhadap sesuatu atau seseorang dalam perusahaan. Employee
engagement didefinisikan pula sebagai motivasi afeksi, pemenuhan karyawan
yang berhubungan dengan giat (vigor), dedikasi (dedication) dan penyerapan
(absorption) (Schaufeli & Baker, 2004).
Karyawan yang memiliki engagement, akan memiliki level energi yang
tinggi, antusias terhadap pekerjaannya, seringkali tenggelam dalam
pekerjaannya hingga lupa waktu dan memiliki nilai yang sama dengan
organisasi (Schaufeli & Baker, 2004). Schultz dan Schultz (2010) menyatakan
bahwa seorang karyawan yang penuh semangat dalam bekerja, resilien,
bersedia berkomitmen penuh terhadap pekerjaan, jarang merasa lelah dan
gigih menghadapi kesulitan adalah karyawan yang memiliki employee
engagement. Seseorang dengan skor employee engagement tinggi juga
bagi seseorang dengan skor employee engagement tinggi menjadikan
pekerjaan sebagai pusat dan fokus hidup mereka, serta mereka tidak mau dan
tidak mampu melepaskan diri dari pekerjaannya. Bagi seseorang dengan skor
employee engagement tinggi, bekerja adalah sumber dari kepuasan, tantangan
dan pemenuhan diri (Schultz & Schultz, 2010).
Employee engagement dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain
komunikasi dalam perusahaan, gaya kepemimpinan, reputasi perusahaan, dan
budaya organisasi (Yadnyawati, 2012). Yadnyawati (2012) menyatakan
bahwa budaya organisasi yang kuat dapat menghasilkan employee
engagement. Budaya organisasi yang kuat berdampak lebih besar pada
perilaku karyawan dan lebih terkait langsung dengan menurunnya perputaran
karyawan (Robbins & Judge, 20108). Budaya organisasi berfungsi untuk
menciptakan pembeda yang jelas antar organisasi, memberi rasa identitas pada
anggota organisasi, mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu,
meningkatkan kemantapan sosial dan mekanisme pembuat makna yang
memandu dan membentuk sikap serta perilaku karyawan (Robbins, 2006).
Budaya organisasi juga berfungsi untuk mendefinisikan ikatan, perasaan
identitas, dan membantu pembentukan komitmen organisasi, membentuk
stabilitas, sistem sosial dan petunjuk perilaku serta sikap bagi karyawan
(Cropley, 2005).
Robbins (2006) mendefinisikan budaya organisasi sebagai sistem makna
bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu
mendefiniskan budaya organisasi sebagai apa yang dipersepsikan karyawan
dan cara persepsi tersebut menciptakan suatu pola keyakinan, nilai dan
ekspektasi. Kreitner dan Kinicki (2000) menyatakan dasar dari budaya
organisasi adalah nilai organisasi.
Rokeach (1979) mendeskripsikan nilai organisasi memiliki komponen
kognitif, afektif dan tingkah laku yang berinteraksi secara terus menerus dan
muncul pada setiap aksi dan tingkah laku organisasi. Kreitner dan Kinicki
(2000) menyatakan nilai terdiri dari komponen konsep kepercayaan, mengenai
perilaku yang dikehendaki, keadaan yang amat penting, pedoman menyeleksi
atau mengevaluasi kejadian dan perilaku serta urut dari yang relatif terpenting.
Nilai menjelaskan bagaimana organisasi akan mencapai visi dan misinya
(Nelson & Gardent, 2011). Nilai juga menggambarkan prinsip utama dalam
budaya organisasi, dimana seluruh karyawan akan menyadari, menerima dan
mengintegrasikan nilai organisasi dalam setiap perilaku dan keputusan mereka
(Nelson & Gardent, 2011).
Konsep mengenai nilai organisasi kemudian berkembang menjadi sebuah
konsep baru yaitu workplace spirituality (Robbins & Judge, 2008). Robbins
dan Judge (2008) mendefinisikan workplace spirituality sebagai kesadaran
bahwa orang memiliki kehidupan batin yang tumbuh dan ditumbuhkan oleh
pekerjaan yang bermakna dan berlangsung dalam konteks komunitas.
Sementara itu, Giacalone & Jurkiewicz (dalam Nurtjahjanti, 2010)
mendefinisikannya sebagai kerangka kerja dari nilai budaya organisasi yang
perasaan terhubung dengan orang lain sekaligus memberikan perasaan
lengkap dan bahagia.
Workplace spirituality sama sekali tidak terkait dengan hal religius tentang
Tuhan atau teologi (Robbins & Judge, 2008). Hal ini karena spiritualitas
adalah kapasitas bawaan otak manusia, yaitu spiritualitas berdasarkan
struktur-struktur dalam otak yang memberi kita kemampuan dasar untuk membentuk
makna, nilai, dan keyakinan (Amalia & Yunizar, 2007). Spiritualitas memberi
nilai-nilai yang dapat dipahami dan dipegang bersama, misalnya saja
kejujuran dan integritas, namun pelaksanaannya sesuai dengan individu
masing-masing (Amalia & Yunizar, 2007).
Nilai spiritual harus berada di posisi utama dan menjadi roh bagi
keberlangsungan organisasi (Arief Yahya, dalam Yuswohady, 2013). Lebih
lanjut, Arief Yahya menyatakan jika karyawan memiliki karakter mulia yang
bersumber dari nilai universal spiritualitas, maka hal ini akan mewujudkan
kinerja organisasi yang luar biasa.
Pada masa kini, Pfeffer (dalam Jurkiewicz & Giacalone, 2004)
menyatakan bahwa terdapat 4 aspek utama yang dicari seseorang di tempat
kerja. Pertama, seorang karyawan mencari pekerjaan yang menarik dan
memberi kesempatan untuk belajar, berkembang, maupun berkompetisi.
Kedua, seseorang juga akan mencari pekerjaan yang bermakna dan memberi
perasaan kesadaran akan tujuan. Ketiga, seseorang juga menginginkan adanya
perasaan terhubung dan hubungan positif dengan rekan kerja. Keempat,
yang terintegrasi antara peran kerjanya dengan peran lainnya. Hal ini
konsisten dengan kerangka nilai yang terdapat dalam workplace spirituality,
yaitu kebajikan, humanisme, integritas, keadilan, mutualisme, penerimaan,
penghormatan, tanggung jawab, dan kejujuran (Jurkiewicz & Giacalone,
2004).
Milliman, Czaplewski dan Ferguson (2003) memfokuskan penelitian
mengenai workplace spirituality hanya pada 3 dimensi utama dari workplace
spirituality yaitu dimensi meaningful work, sense of community dan alignment
with organizational values. Hal ini dilakukan karena ketiga dimensi tersebut
menggambarkan keterlibatan individu yang mewakili level individu,
kelompok, dan organisasi,
Dimensi meaningful work menggambarkan bagaimana karyawan
berinteraksi dengan pekerjaan mereka dari hari ke hari di level individu.
Dimensi ini dipahami sebagai menciptakan makna dan tujuan dari pekerjaan
yang mendalam (Milliman, Czaplewski & Ferguson, 2003). Hal ini
dibutuhkan karena karyawan pada masa ini mengharapkan pekerjaan yang
memberi makna bagi hidup mereka (Ashmos & Duchon, 2000). Saat
workplace spirituality dapat memberikan makna dan tujuan pada karyawan
yang mendalam, produktivitas dan perfomansi karyawan akan meningkat
(Ajala, 2013).
Dimensi sense of community dipahami sebagi hubungan yang dalam
dengan orang lain dan berfokus pada perilaku individu di tingkat kelompok
Czaplewski & Ferguson, 2003). Hal ini dibutuhkan karena manusia sebagai
makhluk hidup terhubung dengan manusia lain, sehingga individu juga merasa
ingin terhubung satu sama lain di tempat kerja (Ashmos & Duchon, 2000).
Saat workplace spirituality dapat menciptakan keterhubungan dengan rekan
kerja, karyawan akan memiliki tingkat kelekatan, loyalitas, dan kepemilikan
yang lebih tinggi (Ajala, 2013).
Alignment with organizational values dipahami sebagai individu
mengalami perasaan kesamaan yang kuat antara nilai individu dengan misi
dan tujuan organisasi (Milliman, Czaplewski & Ferguson, 2003). Dimensi ini
penting karena karyawan memiliki keinginan untuk bekerja di perusahaan
yang memiliki tujuan bukan hanya menjadi perusahaan yang baik, namun juga
perusahaan yang berusaha untuk memiliki integritas yang tinggi dan memberi
kontribusi lebih besar pada kesejahteraan karyawan, konsumen, dan
masyarakat sekitar (Milliman, Czaplewski & Ferguson, 2003). Saat penerapan
workplace spirituality menjadikan perusahaan berhasil memiliki keselarasan
nilai dengan karyawan, karyawan akan memiliki tingkat komitmen yang lebih
tinggi dari karyawan, kosnsumen dan masyarakat (Milliman, Czaplewski &
Ferguson, 2003).
Kajian perusahaan konsultan terkemuka menemukan bahwa perusahaan
yang menerapkan workplace spirituality berdampak pada meningkatnya
produktivitas dan secara signifikan menurunkan perputaran karyawan serta
lebih berprestasi dibanding perusahaan yang tidak menerapkannya (Robbins
menunjukkan bahwa workplace spirituality memiliki hubungan positif yang
kuat dengan employee work attitudes, yaitu intention to quit, organizational
commitment, intrinsic job satisfaction, job involvement, dan
organization-based self esteem (OBSE).
Sementara itu, hasil penelitian Kolodinsky (dalam Saks, 2011)
menemukan bahwa workplace spirituality berhubungan positif dengan job
involvement, yang memiliki beberapa persamaan dengan employee
engagement. Mirvis (dalam Saks, 2011) menyatakan bahwa untuk
menciptakan keterikatan karyawan pada pekerjaan, maka diperlukan
maemperhatikan kehidupan spiritual seseorang. Saks (2011) meyakini bahwa
workplace spirituality adalah anteseden penting dalam menentukan employee
engagement. Saks (2011) pun menyarankan adanya penelitian mengenai
hubungan antara kedua variabel tersebut. Untuk itulah, peneliti ingin meneliti
mengenai hubungan antara dimensi workplace spirituality dan employee
engagement.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan
antara dimensi workplace spirituality dan employee engagement?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara dimensi
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya ilmu sekaligus digunakan
sebagai referensi untuk penelitian lain, terutama di bidang Psikolog
Industri dan Organisasi, khususnya dalam hal workplace spirituality dan
employee engagement.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi subjek penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat membantu karyawan untuk lebih
mengenali peran workplace spirituality yang ada dalam dirinya dan
employee engagement yang dimilikinya.
b. Bagi perusahaan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber data
untuk melakukan intervensi pada karyawan lama maupun baru dalam
rangka membentuk dan meningkatkan workplace spirituality dan employee
12
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Workplace Spirituality
1. Spiritualitas
Spiritualitas merupakan hal yang pribadi dan personal, memiliki
elemen banyak agama, dan mengarah pada pencarian diri seseorang
(Ivancevich, Konopaske, & Matteson, 2006). Robby Chandra (dalam
Abdurahman dan Agustini, 2011) mendefiniskan spiritualitas sebagai
kemauan dan kemampuan untuk menggali makna dari kenyataan hidup.
Sementara itu, Fernando dan Jackson (dalam Inkai & Kistyanto, 2013)
menyatakan bahwa spiritualitas adalah mengenai perasaan akan tujuan,
makna dan perasaan terhubung dengan orang lain. Dalam konteks ini
adalah spiritualitas yang berhubungan dengan komunitas di lingkungan
pekerjaan.
Selain itu, Inkai dan Kistyanto (2013) menyatakan spiritualitas adalah
kapasitas bawaan otak manusia yang memampukan manusia untuk untuk
membentuk makna, nilai, dan keyakinan. Spiritualitas juga didefinisikan
sebagai pengalaman pribadi individu yang dapat dilihat dari perilakunya
(McCormick, dalam Moore, 2008). Berdasarkan definisi yang ada, peneliti
menyimpulkan spiritualitas adalah kemampuan setiap manusia untuk
2. Definisi Workplace Spirituality
Workplace spirituality adalah kesadaran bahwa orang memiliki
kehidupan batin yang tumbuh dan ditumbuhkan oleh pekerjaan yang
bermakna dan berlangsung dalam konteks komunitas (Robbins & Judge,
2008). Menurut Giacalone & Jurkiewicz (dalam Miller & Ewest, 2011),
workplace spirituality adalah kerangka dari nilai organisasi yang
dibuktikan dengan adanya budaya organisasi yang mendorong pengalaman
transenden karyawan melalui proses pekerjaan dan perasaan terhubung
dengan orang lain yang menghasilkan perasaan lengkap dan bahagia.
Ashmos dan Duchon (2000) menyatakan bahwa workplace spirituality
adalah pengakuan bahwa karyawan memiliki pusat kehidupan yang
memelihara dan dipelihara dengan pekerjaan bermakna yang mengambil
tempat dalam konteks komunitas. Sementara itu, workplace spirituality
juga diartikan bahwa karyawan memiliki kehidupan personal yang
berkembang dan dikembangkan dengan melakukan pekerjaan yang
relevan, berarti dan menantang (Ivancevich, Konopaske, & Matteson,
2006).
Berdasarkan uraian yang ada, peneliti menggunakan definisi
workplace spirituality menurut Giacalone & Jurkiewicz (dalam Miller &
Ewest, 2011), yaitu kerangka dari nilai organisasi yang dibuktikan dengan
adanya budaya organisasi yang mendorong pengalaman transenden
karyawan melalui proses pekerjaan dan perasaan terhubung dengan orang
3. Dimensi Workplace Spirituality
Milliman, Czaplewski dan Ferguson (2003) menyatakan 3 dimensi
utama dari workplace spirituality, yaitu :
a) Meaningful work
Aspek fundamental dari workplace spirituality adalah adanya makna
dan tujuan mendalam dari pekerjaan (Milliman, Czaplewski &
Ferguson, 2003). Dimensi ini menggambarkan bagaimana karyawan
berinteraksi dengan pekerjaan mereka dari hari ke hari di level
individu (Milliman, Czaplewski & Ferguson, 2003). Spiritualitas
melihat pekerjaan tidak hanya sebagai suatu hal yang menarik dan
menantang, namun juga mencari makna dan tujuan yang mendalam,
menghidupkan mimpi seseorang dan menggambarkan kebutuhan hidup
seseorang dengan mencari makna kerja dan berkontribusi terhadap
orang lain (Ashmos & Duchon, 2000). Meaningful work dapat
dikarakteristikkan pada level individu bahwa karyawan menikmati
pekerjaan, merasa hidup karena pekerjaan, serta mendapat makna dan
tujuan personal (Milliman, Czaplewski & Ferguson, 2003).
b) Sense of community
Dimensi penting dari workplace spirituality adalah memiliki hubungan
yang dalam dengan orang lain (Ashmos & Duchon, 2000). Dimensi ini
berfokus pada perilaku individu di tingkat kelompok dan fokus pada
interaksi pekerja dengan rekan kerjanya. Menurut Neal dan Bennet
melibatkan hubungan mental, emosi dan spiritual antara karyawan
dalam organisasi. Hal ini membentuk dalamnya perasaan terhubung
antar individu, adanya dukungan, kebebasan berekspresi dan
penyayoman. Sense of community dikarakteristikkan dengan adanya
perasaan terhubung dengan rekan kerja, karyawan mendukung satu
sama lain, dan terhubung dengan tujuan bersama (Milliman,
Czaplewski & Ferguson, 2003).
c) Alignment with organizational values
Aspek ketiga dalam workplace spirituality adalah alignment with
organizational values yang mewakili level organisasi, dimana individu
mengalami perasaan kesamaan yang kuat antara nilai individu dengan
misi dan tujuan organisasi (Milliman, Czaplewski & Ferguson, 2003).
Alignment with organizational values mencakup konsep bahwa
karyawan berkeinginan utnuk bekerja di organisasi dengan tujuan yang
tidak hanya menjadi perusahaan yang baik, namun menjadi organisasi
yang memiliki etika atau integritas dan berkontribusi lebih besar
daripada perusahaan biasa, yaitu kesejahteraan karyawan, pelanggan
dan masyarakat. Alignment with organizational values
dikarakteristikkan dengan adanya perasaan terhubung dengan tujuan
organisasi, mengidentifikasi diri dengan misi dan nilai organisasi, dan
adanya perhatian organisasi terhadap karyawan (Milliman, Czaplewski
4. Definisi dan Karakteristik Organisasi Spiritual
Robbins dan Judge (2005) menyatakan bahwa organisasi yang
mendukung spiritualitas di tempat kerja disebut dengan organisasi
spiritual. Robbins dan Judge (2005) mengidentifikasi karakteristik kultur
yang ada dalam organisasi spiritual, yaitu:
a. Kesadaran akan tujuan yang kuat
Organisasi spiritual akan mendasarkan budaya organisasi pada tujuan
yang bermakna. Keuntungan organisasi bukanlah nilai utama, namun
terilhami oleh tujuan yang diyakini penting dan bermakna.
b. Fokus terhadap pengembangan individu
Organisasi spiritual menyadari makna dan nilai pada setiap manusia.
Hal ini menjadikan organisasi tidak hanya sekedar menyediakan
pekerjaan, namun mencoba menciptakan budaya dimana karyawan
dapat belajar dan bertumbuh.
c. Kepercayaan dan respek
Ciri organisasi spiritual adalah adanya sikap saling percaya, jujur, dan
terbuka. Hal ini dapat menjadikan karyawan tidak takut untuk
mengakui kesalahan mereka.
d. Praktik kerja yang manusiawi
Organisasi spiritual menerapkan jadwal kerja fleksibel, imbalan
berbasis kelompok dan organisasi, penyempitan kesenjangan gaji dan
status, jaminan hak pekerja, pemberdayaan karyawan, dan keamanan
e. Toleransi bagi ekspresi karyawan
Organisasi berbasis spiritual tidak akan menekan sisi emosional
karyawan. Organisasi memberi ruang bagi karyawan untuk menjadi
diri sendiri dalam mengutarakan suasana hati dan perasaan.
5. Dampak Workplace Spirituality
Krishnakumar dan Neck (2002) menyatakan bahwa penerapan
workplace spirituality memberi dampak positif pada kreativitas, kejujuran
dan kepercayaan, pemenuhan personal, dan komitmen. Lebih lanjut, hal ini
juga akan berpengaruh terhadap meningkatnya performansi organisasi.
a. Kreativitas
Menurut Freshman (dalam Krishnakumar & Neck, 2002), spiritualitas
dapat menimbulkan kesadaran, kesadaran menimbulkan intuisi, dan
intiuisi menimbulkan kreativitas. Turner (dalam Krishnakumar &
Neck, 2002) menyatakan bahwa spiritualitas menimbulkan
kegembiraan dan kepuasaan sehingga karyawan dapat lebih kreatif.
Lebih lanjut, hal ini dapat meningkatkan performansi organisasi dan
kesuksesan finansial.
b. Kejujuran dan kepercayaan
Kriger dan Hanson (dalam Krishnakumar & Neck, 2002) menyatakan
bahwa kejujuran dan kepercayaan tidak dapat diragukan ada di seluruh
transaksi bisnis. Kepercayaan antara organisasi dan karyawan
Krishnakumar & Neck, 2002) menyatakan bahwa ketidakpercayaan
dapat menimbulkan masalah dan berdampak serius pada organisasi.
Sementara itu, kepercayaan dapat menimbulkan performansi organisasi
yang lebih baik, memperlancar pengambilan keputusan, komunikasi
yag lebih baik, fokus pada pelanggan dan inovasi yang lebih baik
(Kriger dan Hanson, dalam Krishnakumar & Neck, 2002).
c. Pemenuhan personal
Penerapan spiritualitas akan menuntun karyawan merasa lengkap saat
mereka dating ke tem[at kerja. Hal ini akan menghasilkan derajat
pemenuhan personal yang tinggi dan meningkatkan moral. Lebih
lanjut, hal ini dapat meningkatkan performansi organisasi dan
kesuksesan finansial. (Turner, dalam Krishnakumar & Neck, 2002)
d. Komitmen
Burack (dalam Krishnakumar & Neck, 2002) menyatakan bahwa
spiritualitas meningkatkan komitmen dengan menciptakan iklim penuh
kepercayaan di tempat kerja. Komitmen ini tampak dalam bentuk
komitmen afektif, yaitu karyawan mampu mengidentifikasi diri dengan
tujuan organisasi dan karyawan mau membantu organisasi mencapai
tujuan tersebut (Ketchand & Strawser, dalam Krishnakumar & Neck,
2002).
e. Performansi organisasi
Performansi organisasi dan kesuksesan finansial dapat meningkat
yang menerapkan spiritualitas secara nyata mendorong karyawan
untuk membawa diri secara keseluruhan ke pekerjaan. (Neck &
Milliman, dalam Krishnakumar & Neck, 2002).
B. Employee Engagement
1. Definisi Employee Engagement
Robbins dan Judge (2008) mendefinisikan employee engagement
sebagai keterlibatan seorang individu, kepuasan, dan antusiasme terhadap
pekerjaan yang dilakukannya. Sementara itu, Schultz dan Schultz (2010)
menyatakan bahwa employee engagement adalah kegembiraan kerja yang
sebenarnya yang dikarakteristikkan dengan tingginya skor energi,
keterlibatan dan efikasi. Schaufeli dan Baker (2004) menyatakan employee
engagement sebagai kondisi positif dan pemenuhan karyawan yang
berhubungan dengan pekerjaan, dikarakteristikkan oleh adanya giat
(vigor), dedikasi (dedication) dan penyerapan (absorption).
Lebih lanjut, Perrin’s Global Workforce Study (dalam Rachmawati,
2013) mendefinisikan employee engagement adalah kesediaan karyawan
dan kemampuannya untuk berkontribusi dalam kesuksesan perusahaan
secara terus menerus. Hewitt (dalam Cawe, 2006) menyatakan bahwa
employee engagement adalah pengukuran komitmen emosional dan
intelektual karyawan terhadap organisasi dan pencapaiannya. Selain itu,
employee engagement juga diartikan sebagai keterlibatan, kepuasan, dan
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan definisi employee
engagement dari Schaufeli dan Baker (2004) yang menyatakan employee
engagement sebagai kondisi positif dan pemenuhan karyawan yang
berhubungan dengan pekerjaan, dikarakteristikkan oleh adanya giat
(vigor), dedikasi (dedication) dan penyerapan (absorption).
2. Aspek Employee Engagement
Schaufeli dan Baker (2004) memiliki pandangan mengenai 3 aspek
employee engagement, yaitu :
a. Giat (vigor)
Giat dikarakteristikkan dengan tingginya level energi dan resiliensi
mental saat bekerja, kemauan untuk memberi upaya dalam bekerja dan
ketekunan dalam menghadapi kesulitan
b. Dedikasi (dedication)
Dedikasi dikarakteristikkan dengan adanya perasaan signifikan,
antusiasme, insprirasi, kebanggaan dan tantangan.
c. Penyerapan (absorption)
Penyerapan dikarakteristikkan dengan konsentrasi penuh dan
kesenangan bekerja dalam bekerja, dimana waktu berjalan cepat dan
3. Faktor Yang Mempengaruhi Terbentuknya Employee Engagement
Molinaro dan Weiss (2005) menyatakan beberapa faktor yang
mempengaruhi terbentuknya employee engagement, antara lain :
a. Menjadi bagian dari organisasi yang baik
Karyawan mengetahui bahwa mereka menjadi bagian dari sebuah
organisasi yang baik. Hal ini dapat berarti organisasi sukses secara
finansial, menjadi pemimpin dalam bidangnya, atau organisasi yang
memiliki visi ambisius, tujuan utama dan strategi bisnis yang yang
baik.
b. Bekerja untuk pemimpin yang dikagumi
Organisasi yang memiliki hubungan kuat dengan pemimpin yang
dikagumi akan membentuk kondisi engagement yang tinggi.
c. Memiliki hubungan kerja positif dengan rekan kerja
Karyawan yang memiliki hubungan positif dengan dengan rekan
kerjanya akan bersemangat dalam bekerja.
d. Mengerjakan pekerjaan bermakna
Pekerjaan bermakna sering diartikan sebagai bekerja yang
menghasilkan perbedaan atau dampak pada organisasi. Karyawan
sering ingin melihat bagaimana pekerjaannya berdampak pada visi dan
strategi organisasi. Karyawan juga ingin mengetahui apakah klien
e. Pengakuan dan apresiasi
Pengakuan adalah salah satu pendorong utama employee engagement.
Pengakuan dapat berupa hadiah uang atau kompensasi, namun dapat
juga berupa apresoasi dan timbal balik langsung dari atasan.
f. Menjalani kehidupan yang seimbang
Organisasi yang memiliki budaya keseimbangan nilai dan membantu
karyawan mencapai keseimbangan hidup akan menghasilkan employee
engagement. Keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan tidak
berarti bahwa karyawan tidak loyal, namun hal ini berarti karyawan
menjalani kehidupan secara menyeluruh, tidak hanya berpusat pada
pekerjaan.
Sementara itu, Rich, Lepine, dan Crawford (2010) menyatakan
beberapa faktor yang mempengaruhi terbentuknya employee engagement,
antara lain :
a. Kesesuaian nilai
Nilai organisasi di komunikasikan kepada anggota organisasi dan
berisi perilaku yang diharapkan dari karyawan dalam peran pekerjaan.
Sementara, nilai personal menggambarkan standar perilaku dan hasrat
gambaran diri seseorang. Individu yang memiliki kesesuaian antara
nilai personal dan nilai organisasi tempat bekerja merasa bahwa peran
pekerjaannya sesuai dengan gambaran dirinya. Hal ini menjadikan
karyawan akan memiliki keterikatan yang lebih tinggi dengan
b. Dukungan organisasi
Karyawan yang merasakan dukungan oganisasi tinggi memiliki
ekspektasi positif dan aman terhadap organisasi, serta lebih sedikit
alasan untuk cemas mengenai status dan karir. Sementara, karyawan
yang merasa dukungan organisasi rendah akan merasa tidak yakin akan
ekspektasinya, takut untuk mengikat diri dan memilih untuk
membentengi diri dengan menarik diri dari perannya.
c. Evaluasi diri inti
Evaluasi diri inti adalah penilaian individu atas efektivitas,
kemampuan, dan kelayakan dirinya. Karyawan dengan evaluasi diri
inti yang tinggi akan positif, percaya diri, memiliki efikasi diri, dan
percaya pada dirinya. Mereka juga menilai tuntutan dengan lebih
positif, memiliki kemampuan lebih untuk menghadapi tuntutan, dan
tersedia sumber daya yang lebih untuk peran performansi kerja.
4. Kategori Employee Engagement
Crabtee (2013) melalui hasil riset Gallup memperkenalkan kategori
engagement pada karyawan, yaitu :
a. Engaged atau“terikat”
Karyawan pada fase ini akan bekerja dengan sepenuh hati dan merasa
terikat dengan perusahaan. Mereka bekerja dengan menghadirkan
b. Not Engaged atau “tidak terikat”
Karyawan yang sebenarnya berada di luar. Mereka seperti orang-orang
yang tertidur dalam pekerjaannya karena hanya sekedar menghabiskan
waktu, tanpa adanya energi dan setengah hati pada pekerjaan mereka.
c. Actively Disengaged atau “aktif terlepas”
Karyawan yang tidak gembira dalam bekerja. Karyawan ini sibuk untuk menunjukkan ketidakgembiraan mereka dan berusaha untuk mengganggu pekerja lain.
5. Perbedaan Employee Engagement dengan Konstruk Psikologi Lain
Definisi dan pengertian dari employee engagement seringkali tampak
serupa dan tumpang tindih dengan beberapa konstruk psikologis lain.
Beberapa diantaranya adalah :
a. Employee Engagement dengan kepuasan kerja
Abhishek Mittal (2011) menyatakan mengenai perbedaan antara
employee engagement dengan kepuasan kerja. Kepuasan kerja hanya
berbicara satu arah, yaitu “Apa yang bisa perusahaan lakukan bagi
karyawan?” sementara employee engagement berbicara 2 arah, yaitu
“Apa yang bisa kita lakukan sebagai rekan kerja?”. Lebih lanjut,
engagement adalah kontrak 2 arah, dimana melibatkan lebih banyak
konstruk dan berdampak lebih besar terhadap hasil perusahaan.
b. Employee Engagement dengan komitmen organisasi
Margaretha dan Saragih (2013) membedakan antara employee
menunjuk pada sikap dan mengikat seorang karyawan terhadap
organisasi mereka. Sementara itu, engagement bukan sikap karena
engagement memberi kadar dimana karyawan memiliki perhatian dan
keterikatan pada pekerjaan dan perannya.
c. Employee Engagement dengan Organizational Citizenship Behavior
(OCB)
Margaretha dan Saragih (2013) juga menyatakan perbedaan antara
employee engagement dengan OCB. OCB melibatkan perilaku
sukarela dan informal dengan tujuan membantu rekan kerja dan
organisasi. Sementara itu, engagement fokus pada peran kinerja formal
seorang karyawan yang melebihi peran kerjanya dan perilaku suka
rela.
d. Employee Engagement dengan Job Involvement
Santosa (2012) menyatakan bahwa employee engagement juga berbeda
dengan job involvement. Job involvement merupakan hasil keputusan
kognitif, sementara engagement juga melibatkan emosi dan perilaku
aktif untuk mencapai kinerja dalam perusahaan.
C. Dinamika Hubungan Antara Workplace Spirituality dan Employee
Engagement
Workplace spirituality adalah kerangka dari nilai organisasi yang
dibuktikan dengan adanya budaya organisasi yang mendorong pengalaman
orang lain yang menghasilkan perasaan lengkap dan bahagia (Giacalone &
Jurkiewicz, dalam Miller & Ewest, 2011). Organisasi yang menerapkan
workplace spirituality mengakui bahwa manusia memiliki pikiran dan jiwa,
berusaha mencari makna dan tujuan dalam pekerjaan mereka, memiliki hasrat
untuk berhubungan dengan orang lain serta menjadi bagian dari sebuah
komunitas (Robbins & Judge, 2008). Robbins (2006) menyatakan bahwa
penerapan workplace spirituality dalam organisasi menjadikan sebuah
organisasi tersebut lebih unggul dan lebih maju dibanding organisasi yang
lain. Krishnakumar dan Neck (2002) menyatakan bahwa penelitian mengenai
penerapan workplace spirituality memberi dampak yang positif pada
kreativitas, kejujuran dan kepercayaan, pemenuhan personal, performansi
organisasi dan komitmen. Hal ini menyebabkan banyak organisasi tertarik
menerapkan workplace spirituality untuk mengikat hati dan pikiran karyawan
(Pfeffer, dalam Saks, 2011).
Dalam penelitian ini, hal yang akan diteliti adalah hubungan antara
dimensi workplace spirituality dengan employee engagement, yaitu 1)
meaningful work dengan employee engagement, 2) sense of community dengan
employee engagement, dan 3) alignment with organizational values dengan
employee engagement.
Meaningful work dipahami sebagai adanya makna dan tujuan mendalam
dari pekerjaan (Milliman, Czaplewski & Ferguson, 2003). Dimensi ini fokus
pada interaksi karyawan dengan pekerjaan mereka dari hari ke hari di level
meaningful work yang tinggi dapat dikarakteristikkan dengan karyawan
menikmati pekerjaan, merasa hidup karena pekerjaan, serta mendapat makna
dan tujuan personal (Milliman, Czaplewski & Ferguson, 2003). Karyawan
dengan meaningful work tinggi akan mengalami bagaimana pekerjaannya
berdampak pada visi dan strategi organisasi serta klien. Hal ini menjadikan
karyawan akan terikat dengan pekerjaannya. Sementara itu, karyawan dengan
meaningful work yang rendah tidak menikmati pekerjaannya, kurang
bersemangat dengan pekerjaan dan tidak mendapat makna serta tujuan
personalnya. Karyawan tidak mengalami bagaimana pekerjaan mereka
memiliki dampak pada visi dan strategi organisasi serta klien, sehingga
karyawan cenderung tidak terikat.
Sense of community dipahami sebagai karyawan yang memiliki hubungan
mendalam dengan orang lain (Ashmos & Duchon, 2000). Dimensi ini fokus
pada perilaku individu di tingkat kelompok dan fokus pada interaksi karyawan
dengan rekan kerjanya. Karyawan dengan sense of community yang tinggi
memiliki perasaan terhubung dengan rekan kerja, perasaan saling
mendukung satu sama lain, dan terhubung dengan tujuan bersama (Milliman,
Czaplewski & Ferguson, 2003). Karyawan yang mengalami hal ini akan
memiliki hubungan yang positif dengan rekan kerjanya dan lebih menikmati
pekerjaannya, sehingga karyawan akan terikat (engaged) dengan
pekerjaannya. Sementara itu, karyawan dengan sense of community yang
rendah tidak memiliki perasaan terhubung dengan rekan kerja, tidak
Karyawan yang mengalami hal ini akan memiliki hubungan yang negatif
dengan rekan kerjanya dan tidak menikmati pekerjaannya, sehingga karyawan
akan tidak terikat (not engaged) dengan pekerjaannya.
Alignment with organizational values dipahami sebagai individu
mengalami perasaan kesamaan yang kuat antara nilai individu dengan misi
dan tujuan organisasi (Milliman, Czaplewski & Ferguson, 2003). Karyawan
dengan alignment with organizational values tinggi memiliki perasaan
terhubung dengan tujuan organisasi, mengidentifikasi diri dengan misi dan
nilai organisasi, dan karyawan merasa adanya perhatian organisasi terhadap
karyawan (Milliman, Czaplewski & Ferguson, 2003). Individu yang memiliki
kesesuaian antara nilai personal dan nilai organisasi tempat bekerja merasa
bahwa peran pekerjaannya sesuai dengan gambaran dirinya. Hal ini
menjadikan karyawan akan memiliki keterikatan yang lebih tinggi dengan
organisasi. Sementara itu, karyawan dengan alignment with organizational
values rendah memiliki perasaan terpisah dengan tujuan organisasi, tidak
mengidentifikasi diri dengan misi dan nilai organisasi, dan karyawan merasa
tidak adanya perhatian organisasi terhadap karyawan. Hal ini menjadikan
karyawan merasa bahwa peran pekerjaannya tidak sesuai dengan gambaran
dirinya, sehingga karyawan tidak merasa terikat dengan organisasi.
Karyawan yang terikat merupakan aset perusahaan yang berharga
(Dickson, dalam Santosa, 2012). Keterikatan karyawan atau employee
engagement juga diyakini sebagai salah satu kunci kesuksesan organisasi
dan pemenuhan karyawan yang berhubungan dengan pekerjaan,
dikarakteristikkan oleh adanya giat (vigor), dedikasi (dedication) dan
penyerapan (absorption) (Schaufeli & Baker, 2004). Giat (vigor)
dikarakteristikkan dengan tingginya level energi dan resiliensi mental saat
bekerja, kemauan untuk memberi upaya dalam bekerja dan ketekunan dalam
menghadapi kesulitan. Dedikasi (dedication) dikarakteristikkan dengan
adanya perasaan signifikan, antusiasme, insprirasi, kebanggaan dan tantangan.
Penyerapan (absorption) dikarakteristikkan dengan konsentrasi penuh dan
kesenangan bekerja dalam bekerja, dimana waktu berjalan cepat dan individu
sulit melepas diri dari pekerjaannya.
Crabtee (2013) menyatakan kategori engagement pada karyawan, yaitu
terikat (engaged) dan tidak terikat (not engaged). Karyawan yang engaged
atau“terikat” adalah karyawan yang bekerja dengan sepenuh hati dan merasa
terikat dengan perusahaan. Mereka bekerja dengan menghadirkan inovasi dan
memajukan perusahaan. Sementara itu, karyawan not engaged atau “tidak
terikat” sebenarnya adalah karyawan yang berada di luar. Mereka seperti
orang-orang yang tertidur dalam pekerjaannya karena hanya sekedar
menghabiskan waktu, tanpa adanya energi dan setengah hati pada pekerjaan
E. Hipotesis
Berdasarkan kajian teoritis terhadap konstruk workplace spirituality dan
employee engagement, maka hipotesis dari penelitian ini yaitu :
H1 Terdapat hubungan positif antara meaningful work dan employee
engagement
H2 Terdapat hubungan positif antara sense of community dan
employee engagement
H3 Terdapat hubungan positif antara alignment with organizational
34
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian korelasional, yaitu
penelitian dengan ciri adanya hubungan korelasi antar dua variabel
(Supratiknya, 1998 dalam Sutrisnawati, 2009). Dalam penelitian ini
terdapat dua variabel yang akan diteliti, yaitu workplace spirituality dan
employee engagement. Peneliti bertujuan untuk mengetahui hubungan
workplace spirituality dan employee engagement.
B. Identifikasi Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini akan diteliti 2 variabel, yaitu :
1. Variabel bebas : workplace spirituality yang memiliki 3
dimensi, yaitu meaningful work, sense of community dan alignment
with organizational values.
2. Variabel tergantung : employee engagement
C. Definisi Operasional
1. Workplace Spirituality
Workplace spirituality adalah kerangka dari nilai organisasi yang
dibuktikan dengan adanya budaya organisasi yang mendorong
perasaan terhubung dengan orang lain yang menghasilkan perasaan
lengkap dan bahagia (Giacalone & Jurkiewicz, dalam Miller & Ewest,
2011). 3 dimensi workplace spirituality yang akan diukur adalah
meaningful work, sense of community, dan alignment with
organizational values.
Meaningful work adalah aspek individu, dimana karyawan mencari
makna dan tujuan mendalam dari pekerjaan yang dilakukan. Sense of
community adalah aspek hubungan dengan orang lain, dimana
karyawan mencari perasaan terhubung dengan orang lain dalam
lingkungan kerja. Alignment with organizational value adalah aspek
organisasi, dimana karyawan mencari kesamaan nilai antara dirinya
dengan organisasi tempatnya bekerja.
Semakin tinggi skor setiap dimensi workplace spirituality
menunjukkan semakin tinggi tingkat workplace spirituality, sebaliknya
semakin rendah skor setiap dimensi menunjukkan semakin rendah
tingkat workplace spirituality.
2. Employee Engagement
Employee engagement adalah kondisi positif dan pemenuhan
karyawan yang berhubungan dengan pekerjaan, dikarakteristikkan oleh
adanya giat (vigor), dedikasi (dedication) dan penyerapan (absorption)
(Schaufeli dan Baker, 2004). Employee engagement akan diukur
oleh peneliti. Skala ini akan mengukur 3 aspek employee engagement,
yaitu giat (vigor), dedikasi (dedication), dan penyerapan (absorption).
Giat (vigor) adalah tingginya tingkat energi dan upaya dalam
bekerja. Dedikasi (dedication) adalah mengikat diri secara emosional
dan intelektual pada pekerjaan. Penyerapan (absorption) adalah
kondisi perhatian yang penuh dengan upaya mental tinggi karena
senang dengan sesuatu.
Semakin tinggi skor total pada skala employee engagement
menunjukkan semakin tinggi tingkat employee engagement.
Sebaliknya semakin rendah total skor menunjukkan semakin rendah
tingkat employee engagement.
D. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah karyawan yang sudah berstatus
sebagai karyawan tetap. Hal ini dikarenakan karyawan tetap diharapkan