• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan orang lain melalui kegiatan sosialisasi, agar dapat dengan mudah diterima

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan orang lain melalui kegiatan sosialisasi, agar dapat dengan mudah diterima"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Komunikasi

2.1.1 Pengertian Komunikasi

Manusia sebagai makhluk sosial memiliki kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain melalui kegiatan sosialisasi, agar dapat dengan mudah diterima di lingkungannya dan menjalankan tugas serta fungsi dalam menjalani kehidupan bersama. Kegiatan bersosialisasi dan bermasyarakat tidak dapat terlepas dari yang namanya komunikasi, karena komunikasi menjadi sebuah alat dan senjata dalam berhasilnya aktivitas proses berinteraksi.

Komunikasi sendiri memiliki beberapa pengertian, Stanly J. Baran (2012:5) menjelaskan pengertian komunikasi dalam bentuk sederhana, yaitu merupakan transmisi pesan dari sumber kepada penerima. Pendapat tersebut sejalan dengan Alo Liliweri (2011:35) yang mendefinisikan komunikasi sebagai aktifitas pertukaran ide-ide dan merupakan transmisi informasi yang dihasilkan oleh pengiriman stimulus dari sumber yang kemudian direspons oleh penerima.

Sementara itu, Carl I. Hovland memiliki pengertian yang berbeda tentang komunikasi yang dikutip oleh Onong Ucjana Effendy (1986:12-13), namun Carl I. Hovland lebih memfokuskan pengertian komunikasi pada aspek psikologi yaitu komunikasi merupakan proses merubah perilaku orang lain (communication is the process to modify the behavior of other individuals). Ahmad Sihabudin

(2)

(2011:15) mengatakan hal yang serupa dengan Carl I. Hovland, bahwa

komunikasi didefinisikan sebagai proses dinamik transaksional yang

mempengaruhi perilaku komunikator dan komunikan dengan sengaja memberikan kode (to code) melalui perilaku mereka lewat sebuah salurah (channel) guna menghasilkan pesan yang dapat merangsang dan memperoleh sikap atau perilaku tertentu. Sehingga dapat diketahui bahwa komunikasi juga dilakukan dengan adanya tujuan merubah perilaku antara kedua pihak yang melakukan komunikasi, karena didalam perilaku yang dilakukan manusia terdapat pesan-pesan yang mengandung makna. Dalam hal tersebut juga menunjukkan bahwa komunikasi bukan hanya dapat disampaikan dalam bentuk verbal, tetapi juga dapat melalui perilaku nonverbal seperti yang diungkapkan Dedy Mulyana (2004:3) yang menjelaskan bahwa komunikasi adalah proses berbagi makna melalui perilaku verbal maupun non verbal.

Dari beberapa pendapat yang disampaikan di atas mengenai pengertian komunikasi, maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa komunikasi adalah aktivitas berbagi makna dan trasmisi pesan atau informasi baik verbal (kata-kata) maupun nonverbal yang dilakukan oleh sumber kepada penerima dengan memberikan kode sebagai stimulus untuk mendapatkan respons serta sikap dan perilaku orang lain/penerima.

2.1.2 Unsur Komunikasi

Komunikasi memiliki beberapa unsur yang saling mempengaruhi dan setiap unsurnya mempunyai peran penting dalam keberhasilan sebuah proses

(3)

komunikasi, Harold Laswell dalam Onong (1986:13) mengungkapkan paradigma dalam menjelaskan komunikasi adalah dengan mengetahui Who Says What In Wich Channel To Whom With What Effect?, dengan begitu untuk menjawab pertanyaan tersebut Laswell mengungkapkan bahwa terdapat lima unsur dalam komunikasi, yaitu:

1. Komunikator (Communicator, Source, Sender), pihak yang melakukan pengiriman pesan dan sumber bagi komunikan.

2. Pesan (Messege), apa yang ingin disampaikan komunikator kepada komunikan, seperti iformasi, ide dan gagasannya.

3. Media (Channel, Media) merupakan saluran atau sarana yang dipilih dan digunakan oleh komunikator untuk menyampaikan pesan kepada komunikan.

4. Komunikan (Communicant, Communicatee, Receiver, Recipient), pihak yang menerima pesan yang diberikan dari sumber atau komunikator serta merupakan pihak yang menjadi sasaran komunikasi.

5. Efek (Effect, Impact, Influence), pengaruh yang diterima komunikan terhadap pesan yang dikirim oleh komunikator.

Terdapat kesamaan dengan yang disampaikan Porter dan Samovar yang dikutip oleh Mulyana dan Rahmat dalam Ahmad Sihabudin (2011:16-17) mengenai unsur-unsur komunikasi dengan yang dikatakan oleh Harold Laswell diatas, namun ia menambahkan empat unsur lain, antara lain:

(4)

Kegiatan internal seseorang dalam merangsang dan memilih perilaku verbal dan non verbalnya, sehingga dengan adanya penyandian maka akan menstimulus seseorang dalam menciptakan sebuah pesan yang ingin disampaikan.

2. Penyandian balik (decoding)

Proses internal penerima dan pemberian makna terhadap kata-kata, maupun gerak tubuh sumber yang mewakili perasaan dan pikirannya.

3. Respons penerima (receiver respons)

Sesuatu yang dilakukan penerima setelah menerima pesan, karena komunikasi dapat dianggap berhasil dan efektif apabila respons dari penerima mendekati dengan apa yang dikehendaki oleh sumber.

4. Umpan balik (feed back)

Bagian dari respon yang diberikan sumber, informasi yang tersedia bagi sumber memungkinkannya melakukan penilaian terhadap keefektifan komunikasi yang dilakukan olehnya.

Selain dua pendapat diatas, Alo Liliweri (2011:39-42) menjelaskan terdapat tiga unsur lain lagi yang tidak disebutkan oleh Porter dan Samovar serta Laswell, ketiga unsur tersebut sebagai berikut:

1. Noise

Hambatan atau gangguan dan distorsi dalam komunikasi. Hambatan masuk dalam unsur komunikasi karena selalu terjadi pada berjalannya suatu aktivitas komunikasi.

(5)

2. Kerangka Pengalaman

Pengalaman yang pernah di alami penerima dan pengirim dapat mempengaruhi berjalannya proses komunikasi, seperti adanya latar belakang sosial budaya, adat istiadat, pendidikan, pengetahuan, interaksi dan relasi sosial, status sosial. Adanya perbedaan dari beberapa faktor tersebut dapat membentuk kerangka pengalaman yang berbeda pula dan dapat mempengaruhi cara seseorang berkomunikasi dengan orang lain.

3. Konteks

Semua komunikasi yang terjadi dalam beberapa konteks, seperti fisik (suasana lingkungan yang mempengaruhi suasana komunikasi), budaya (nilai, norma, aturan, atau keyakinan budaya), psikososial ( motivasi, presepsi sosial atau kultur, cara berpikir, dan lain-lain), temporal (waktu bagi terselenggaranya komunikasi).

Dari beberapa unsur yang telah dipaparkan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa komunikasi tidak akan bisa terjadi dan berjalan dengan baik serta efektif apabila unsur-unsur didalamnya tidak ada. Komunikasi harus didukung oleh adanya sumber, pesan, media, penerima, dan kemudian terjadi efek serta beberapa unsur lain yang membentuk komunikasi secara keseluruhan. Selain itu, dapat diketahui pula bahwa kondisi serta latarbelakang seseorang juga sangat mempengaruhi komunikasi yang sedang berjalan.

(6)

Dalam proses komunikasi tidaklah selalu lancar, melainkan akan sering mengalami kendala atau hambatan dalam beragam bentuk. Hambatan komunikasi adalah segala hal yang menghalangi dan mengganggu jalannya proses komunikasi, sehingga berdampak pada tidak terciptanya komunikasi yang efektif. Adanya hambatan dalam komunikasi dapat juga memberi pengaruh pada sulitnya proses penyampaian pesan, mempersulit pemahaman pesan yang disampaikan, dan juga mempersulit komunikan dalam memberikan umpan balik yang sesuai. Berikut terdapat beberapa jenis hambatan yang dapat mempengaruhi jalannya komunikasi menurut R. Kreitner yang dikutip oleh Ruslan (2012:8-10), yaitu:

1. Hambatan dalam proses penyampaian pesan.

Hambatan bisa datang dari komunikator ataupun penerima pesan, yang disebabkan karena komunikator yang kesulitan dalam menyampaikan pesannya, tidak dapat menguasai materi pesan dan belum memiliki kemampuan yang handal sebagai komunikator. Selain itu, komunikan atau penerima pesan mengalami kesulitan dalam memahami pesan dengan baik juga dapat menjadi hambatan dalam proses komunikasi.

2. Hambatan secara fisik

Gangguan yang berasal dari kondisi dan situasi fisik lingkungan sekitar saat komunikasi sedang berlangsung. Situasi dan kondisi yang kurang kondusif seperti komunikasi dilakukan di tempat ramai, pendengaran yang kurang tajam serta gangguan pada sistem pengeras suara.

(7)

Hambatan yang berasal dalam bentuk kata-kata (bahasa dan arti perkataan), hal ini karena terdapat perbedaan pengertian dan pemahaman antara pengirim dengan penerima pesan mengenai satu bahasa maupun lambang. Hambatan ini seringkali terjadi ketika komunikan dan komunikator memiliki latar belakang yang berbeda.

4. Hambatan Psiko-sosial

Hambatan yang muncul akibat dari adanya perbedaan dalam aspek kebudayaan, adat istiadat, kebiasaan, presepsi serta nila-nilai yang dianut

kedua belah pihak yang berkomunikasi dapat menyebabkan

kecenderungan terjadinya perbedaan kebutuhan dan harapan-harapan pula. Perbedaan tersebut seringkali menjadi gangguan dalam aktivitas komunikasi.

Orbe dan Bruess yang dikutip dalam Alo Liliweri (2011:41) juga menyampaikan hambatan komunikasi yang serupa dengan R. Kreitner diatas, namun ia menambahkan dua point yang berbeda yakni hambatan karena jarak dan fisiologis. Selain itu, Orbe dan Bruess memaparkan lebih jelas hambatan psiko-sosial dari Kreitner dengan membaginya menjadi hambatan psikologi, sosiologis dan antropologis, berikut penjelasannya :

1. Jarak.

Adanya jarak dapat membatasi kegiatan komunikasi yang sedang berlangsung, karena komunikasi akan dapat lebih jelas diterima maknanya oleh komunikan jika disampaikan secara langsung tanpa ada

(8)

jarak sebagai penghalang. Sebagai contoh, saat berkomunikasi terhalang dengan lokasi yang berbeda antara kominkator dan komunikan.

2. Psikologis.

Gangguan yang bersumber dari faktor-faktor psikologis dan berpengaruh

pada kelancaran pengiriman dan penerimaan pesan, seperti

self-awereness, self-preception, presepsi, motivasi, hambatan mental. Hambatan ini dapat bersumber pada dalam diri komukator matupun komunikan.

3. Sosiologis.

Perbedaan status sosial, stratifikasi sosial, kedudukan dan peran diantara pengirim dan penerima pesan dapat menyebabkan timbulnya hambatan komunikasi.

4. Antropologis,

Latar belakang kultural yang berbeda antara pengirim dan penerima seperti budaya, kebiasaan, adat istiadat, dan lain-lain juga dapat menjadi gangguan dalam komunikasi. Dengan adanya perbedaan tersebut maka akan muncul pula presepsi atau pandangan yang berbeda pula antara

komunikator dan komunikan, dan diantara keduanya akan

mempertahankan presepsinya masing-masing.

(9)

Segala aspek fisik yang menjadi hambatan dan dapat mengganggu komunikasi, baik kondisi lingkungan, keadaan fisik komunikator maupun komunikan dan lain-lain.

Jika kedua ahli diatas telah memaparkan beberapa bentuk hambatan dalam komunikasi, berbeda dengan Elizabeth Tierney (2004:25-31) yang menjelaskan tentang cara yang mengganggu suatu komunikasi yang efektif sehingga dapat menjadi hambatan dalam komunikasi, antara lain sebagai berikut :

1. Ketidakjelasan.

Hambatan ini sama seperti yang diungkapkan oleh R. Kreitner yaitu hambatan dalam proses penyampaian pesan. Seringkali terjadi masalah ketidakpahaman yang dialami komunikan dalam mengartikan apa yang disampaikan oleh komunikator, hal ini disebabkan karena komunikator tidak mempertimbangkan audience atau komunikan mereka saat sedang menyampaikan pesan. Komunikator membuat asumsi-asumsi yang tidak banyak dimengerti oleh orang lain serta banyak pesan yang disampaikan memuat hal-hal abstrak atau tidak disampaikan secara sederhana atau berbelit-belit.

2. Membuat pilihan yang tidak baik.

Menggunakan kata-kata atau gambaran yang samar dan tidak sesuai situasi dapat menyebabkan komunikan merasa kebingungan dalam menerima pesan dari komunikator. Sebagai contoh “sepertinya kita mempunyai beberapa hal yang harus dikhawatirkan mengenai anggaran”

(10)

‘dikhawatirkan’ dalam anggaran tersebut dapat membingungkan lawan bicaranya dalam menafsirkan. Sehingga, dalam memilih kata-kata, bahasa, memberikan grafik atau visual kepada lawan komunikasi itu sangat perlu diperhatikan.

3. Memilih media yang salah.

Cara lain yang dapat membuat komunikasi terhambat adalah karena pemilihan media komunikasi yang salah dalam menyampaikan pesan. Sebagai contoh, menciptakan rekaman padahal tanpa melakukannya justru akan lebih cepat dan bijaksana, tidak memiliki dokumen yang diperlukan dan seharusnya ada, dan lain sebagainya.

4. Menghilangkan pesan.

Pesan yang tidak sampai ke pihak lain dapat menghalangi dan menghambat komunikasi, salah satu penyebabnya bisa datang karena menghilangkan pesan-pesan harfiah didalamnya. Hal tersebut dapat terjadi dalam berbagai cara seperti tidak mendengar orang lain yang berbicara terlalu lembut, surat yang dikirim ke alamat yang salah, pesan faksimili yang hilang di salah satu halaman, dan lain-lain.

5. Menjauhkan diri dari audiens

Menjauhkan diri dari audiens atau lawan bicara dapat dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja yang dapat disebabkan karena audiens tersinggung oleh sebagian pesan yang disampaikan oleh komunikator, meskipun apa yang dimaksudkan terkadang memiliki gagasan atau maksud yang baik. Misalnya, saat berbicara tidak menatap audiens atau

(11)

lawan bicara, tidak memperhatikan apa yang lawan bicara sampaikan dan tidak menyampaikan informasi sesuai dengan kebenarannya, serta menggunakan bahasa tubuh yang terkesan angkuh.

Melihat berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak faktor yang menjadi hambatan dalam komunikasi. Hambatan-hambatan tersebut berupa fisik, adanya perbedaan kultural dan budaya, serta cara-cara berkomunikasi dalam organisasi. Berbagai hambatan tersebut secara tidak sadar seringkali kita alami dalam kehidupan sehari-hari, terutama saat sedang melakukan interaksi dengan orang lain. Selain itu, dengan menyadari adanya hambatan dalam komunikasi serta memahami penyebabnya, maka akan membantu dalam meminimalisir gangguan yang dapat terjadi dalam menciptakan komunikasi yang efektif.

2.2 Manajemen Komunikasi

2.2.1 Pengertian Manajemen Komunikasi

Komunikasi adalah sarana interaksi manusia, sehingga menjadi aktivitas yang sangat penting dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, demikian pula bagi suatu organisasi. Komunikasi memungkinkan orang untuk mengkoordinir kegiatan mereka untuk mencapai tujuan bersama dimana hal tersebut menggambarkah bahwa komunikasi merupakan suatu “kekuatan luar biasa” dalam kehidupan organisasi (Masmuh 2010:7), sehingga komunikasi yang dimaksud dalam manajemen komunikasi adalah komunikasi organisasi.

(12)

Manajemen Komunikasi itu sendiri menurut Suprapto (2009:132) secara sederhana merupakan manajemen yang diterapkan dalam kegiatan komunikasi, yang berarti manajemen akan berperan sebagai penggerak segala aktivitas komunikasi dalam usaha pencapaian tujuan komunikasi. Maka dari itu, asas-asas manajemen secara umum dan komunikasi harus dipadukan serta disesuaikan di atas landasan tujuan yang ingin dicapai.

Pendapat yang diungkapkan Suprapto, tampaknya sejalan dengan pendapat Emeraldy Cahtra dan Rulli Nasurllah (2008:137) yang mengatakan bahwa manajemen komunikasi pada dasarnya adalah aplikasi dari manajemen umum. Dalam penerapannya, manajemen komunikasi juga memerlukan tahap-tahap perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi. Manajemen komunikasi lebih mengacu kepada tujuan komunikasi, yaitu mempengaruhi pikiran dan perilaku.

Sementara itu, Harry Irwin (1994) dalam Dewi K. Soedarsono menjelaskan tentang definisi manajemen komunikasi: “communication management involves administering and managing communication resources (personal, group, organizational, and technical) and communication process to facilitate communication in corporate context”(Soedarsono, 2017). Pendapat dari Harry Irwin memberikan penjelasan bahwa manajemen komunikasi adalah proses pengelolaan sumberdaya komunikasi yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan efektivitas kegiatan pertukaran pesan yang terjadi dalam berbagai konteks komunikasi pada perusahaan.

(13)

Berdasarkan pengertian-pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa manajemen komunikasi menitikberatkan pada bagaimana mengelola informasi guna mencapai sebuah tujuan. Adapun setiap aktivitas pendistribusian pesan atau informasi merupakan aktivitas komunikasi. Selain itu, manajemen komunikasi merupakan proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan / pengontrolan dalam penyampaian atau pertukaran pesan (ide, gagasan) dari satu pihak kepada pihak yang lain untuk mencapai sasaran dan tujuan secara efektif dan efisien. Dengan kata lain, tujuan dapat dicapai sesuai dengan perencanaan yang telah dipersiapkan dan pelaksanaan tugas berjalan dengan benar serta terorganisir secara baik dengan adanya manajemen komunikasi.

2.2.2 Manajemen Komunikasi Saat Terjadi Krisis

Manajemen komunikasi akan selalu digunakan oleh sebuah organisasi atau perusahaan, karena secara umum manajemen komunikasi berarti mengatur segala komponen komunikasi dan pengelolaan informasi dalam sebuah aturan langkah untuk mencapai sasaran tujuan yang ingin dicapai secara efektif. Sehingga manajemen komunikasi saat terjadi situasi krisis dan implikasi Public Relations menjadi suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dan harus bergerak dalam satu formasi, karena Public Relations dalam organisasi memiliki peranan yang berkaitan dengan fungsi-fungsi manajemen perusahaan (Ruslan 2012:12). Hal tersebut menunjukkan bahwa praktisi Public Relations juga menggunakan konsep manajemen untuk memudahkan pelaksanaan tugas dan mendukung segala tahap kerjanya. Selain itu, menyampaikan pesan dan infromasi secara tepat kepada

(14)

publik juga merupakan tugas Public Relations, apalagi saat terjadi krisis dalam perusahaan, Public Relations dituntut untuk memberikan langkah terbaik untuk manajemen agar dapat mengendalikan krisis, atau mengidentifikasi krisis yang bisa saja melanda suatu perusahaan, dan menentukan bagaimana cara mengkomunikasikan kepada publik secara tepat.

Seperti yang dikemukakan oleh Rachmad Kriyantono (2015:244) Public Relations memiliki peran dalam aktivitas fungsi manajemen komunikasi, karena sebuah krisis dapat muncul akibat dari adanya kekurangan dan ketidakpastian informasi. Public Relations bertanggung jawab membantu mengatasi krisis dengan cara menjamin bahwa publik dilayani dengan baik oleh organisasi. Public Relations menyarankan manajemen untuk menerapkan strategi komunikasi yang memungkinkan organisasi beradaptasi dengan situasi lingkungannya.

Serupa dengan pendapat Harlow yang disampaikan oleh Zinal Mukarom dan Muhibudin Wijaya Laksanana (2015:109), Public Relations adalah fungsi manajemen yang membantu mendirikan serta memelihara hubungan komunikasi yang saling menguntungkan, keterbukaan, dan kerja sama antara organisasi dan publiknya, yang melibatkan manajemen problem dan isu, membantu manajemen untuk tetap terinformasi dan responsive terhadap publik. Dari definisi yang diungkapkan Harlow memberikan arti penting bagi kegiatan Public Relations itu sendiri, bahwa kegiatan Public Relations dilakukan oleh setiap organisasi atau perusahaan yang pada intinya adalah kegiatan komunikasi, dan membantu agar manajemen tetap terinformasi baik keluar maupun kedalam organisasi, serta responsive terhadap apa yang sedang terjadi pada lingkungannya.

(15)

Sementara Cutlip, Center, dan Broom (2000:4) menjelaskan lebih detail mengenai peran Public Relation dalam manajemen komunikasi yakni : Public Relations adalah fungsi manajemen, khususnya dalam membantu membangun dan memelihara jalur komunikasi, pemahaman, penerimaan, dan menciptakan kerja sama yang saling menguntungkan antara organisasi dan publiknya. Selain itu, Public Relations juga turut terlibat dalam pengelolaan terjadinya masalah perusahaan, membantu mengelola informasi dan bertindak responsif terhadap opini publik, menekankan tanggungjawab manajemen untuk melayani publik, mengikuti dan memanfaatkan perubahan yang terjadi terhadap perusahaan secara efektif, berfungsi sebagai sistem peringatan dini untuk mengantisipasi terhadap kondisi perusahaan dengan publiknya.

Dari beberapa pendapat ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam organisasi, komunikasi adalah unsur yang paling krusial. Komunikasi untuk perusahaan menjadi salah satu landasan suatu keberhasilan program kerja dan kebijakan dalam perusahaan. Komunikasi juga menjadi “alat” perusahaan untuk memahami kepentingan publiknya. Oleh karena itu, Public Relations dalam manajemen komunikasi saat terjadi krisis memegang peranan penting dalam perkembangan perusahaan ditengah publik. Public Relations merupakan jawaban untuk pemecahan masalah yang berhubungan dengan krisis yang melanda perusahaan, dengan menerapkan praktek pro aktif dan dapat membantu dalam perencanaan penanggulangan krisis yang dilakukan perusahaan dalam mengantisipasi sebuah krisis, Public Relations berperan penting secara menyeluruh dalam sistem penanggulangan krisis, dan Public Relations juga yang akan memberikan masukan mengenai evaluasi penanggulangan krisis setelah

(16)

krisis berakhir (Ardianto 2008:206). Adapaun tugas Public Relations dalam bidang komunikasi guna menjaga hubungan dengan publik internal dan eksternal yang disampaikan Syarifuddin S. Gassing dan Suryanto (2016:127-128) sebagai berikut :

1. Menganalisis dan mengevaluasi kecenderungan perilaku publik

Perilaku publik harus selalu dipantau dan dijadikan perhatian serius oleh Public Relations dengan melakukan pengamatan dan analisis serta evalusi yang kemudian direkomendasikan kepada manajemen, karena perilaku publik dapat mencerminkan baik-buruknya perusahaan dalam hal memberikan pelayanan. Rekomendasi dari Public Relations terkait komunikasi menjadi salah satu dasar untuk merumuskan kebijakan yang akan diambil perusahaan untuk publiknya.

2. Mempertemukan kepentingan organisasi dan publik

Seringkali terdapat perbedaan dalam kepentingan perusahaan dengan publik atau sebaliknya. Disinilah tugas Public Relations menjalankan

manajemen komunikasi yang harus menghubungkan dan

mempertemukan berbagai kepentingan perusahaan dan publik sehingga tercipta saling memahami dan menghormati.

3. Mengevaluasi program organisasi berkaitan dengan kepentingan publik

Setelah program kerja yang dilaksanakan perusahaan telah selesai, praktisi Public Relations harus segera tanggap dalam melakukan evaluasi. Hasil evaluasi akan menjadi bahan pertimbangan perusahaan terkait

(17)

kebijakan, terutama yang menyangkut kepentingan publik dan respon publik terhadap kebijakan tersebut. Hal tesebut bertujuan untuk melihat apakah kebijakan yang telah diterbitkan sudah sesuai dengan kepentingan yang diharapkan mampu diakomodasi oleh perusahaan. Sehingga program kerja yang tepat sasaran bergantung pada kemampuan

evaluasi Public Relations terhadap terciptanya keseimbangan

kepentingan perusahaan dan publik.

2.2.3 Strategi Komunikasi Krisis

Perusahaan yang sedang menghadapi situasi krisis perlu mendapatkan penanganan dengan perencanaan strategi yang tepat, agar segera dapat terlepaskan dari kondisi yang bisa mengancam keberlangsungan perusahaan. Public Relations dalam menangani kondisi tersebut, pada saat sebelum atau selama krisis perlu tahu mengapa mereka harus menggunakan berbagai strategi dan taktik serta praktik dasar organisasi apa yang akan berhasil digunakan (Fearn-Banks 2002:15). Pemilihan strategi yang tidak tepat akan membawa perusahaan semakin berada pada kondisi yang memungkinkan terjadinya kebangkrutan.

Dalam prinsip manajemen krisis, perusahaan harus berorientasi pada keselamatan publik. Maka Public Relations sebagai penghubung antara perusahaan dan publik dalam menerapkan strategi komunikasi krisis juga harus memprioritaskan keselamatan publik. Berikut terdapat beberapa strategi komunikasi krisis menurut Kriyantono (2015:240), antara lain:

(18)

1. Mengupayakan satu suara melalui crisis center dengan satu juru bicara, untuk ketercukupan informasi dan mencegah rumor. Seperti pada kasus produk Jhonson & Jhonson yang memperoleh presepsi negatif dari publik sebagai “produk racun”, tetapi melalui tindakan prioritas pada keselamatan publik serta komunikasi melalui media, akhirnya presepsi tersebut berbalik menjadi positif.

2. Menjalin komunikasi dengan publik terkait, mengajak kerja sama guna mendorong partisipasi dan tidak lupa memberikan penghargaan atas perhatian kooperatif mereka.

3. Meneliti dengan cermat penyebab krisis. Jika ditengarai terdapat orang atau kelompok sebagai penyebabnya, maka teliti motivasi dari penyebab tindakan tersebut. Serta hindari terlebih dahulu upaya menyalahkan pihak lain dan mencari kambing hitam, ataupun menggunakan jalur hukum. Seperti contohnya pada kasus rumah sakit Omni yang cenderung menyalahkan konsumen dan menanggap konsumen telah memfitnah serta mencemarkan nama baiknya, sehingga melaporkan ke polisi .

Sementara itu terdapat beberapa larangan yang perlu dihindari seorang Public Relations dalam menghadapi krisis menurut Suwanto (2018:172) antara lain sebagai berikut :

1. Mengatakan “no coment” atas permasalahan yang sedang terjadi kepada publik maupun media, karena akan mengarah pada berkembangnya spekulasi yang tercipta dikalangan publik, selain itu publik maupun

(19)

media akan membuat perkiraan dengan sudut pandang mereka mengenai situasi yang sedang terjadi.

2. Jangan mendebat subyek, karena akan menyebabkan permasalahan akan semakin tidak menemukan titik terang.

3. Berusaha menyalahkan, lebih baik menghadapi dan menyelesaikan masalah dengan segera. Upaya menyalahkan pihak lain merupakan salah satu tindakan yang mencerminkan bahwa perusahaan atau organisasi tidak ingin ikut tenggelam dan dipersalahkan pada situasi yang tengah terjadi.

4. Jangan bereaksi berlebihan dan membesar-besarkan situasinya. Bersikap tenang dan segera melakukan analisis serta fokus menghadapi dan mencari solusi atas permasalahan yang terjadi akan lebih baik dilakukan.

5. Menyimpang dari kebijakan perusahaan ataupun prosedur krisis yang telah disepakati. Pembuatan prosedur krisis adalah tahap dimana perusahaan melakukan analisis secara detail dan menyeluruh terhadap permasalahan yang terjadi hingga menemukan perencanaan solusi yang kemudian disepakati secara bersama oleh pihak-pihak yang berkompeten dalam menangani kasus tersebut. Sehingga apabila proses penyelesaian krisis tidak sesuai dengan prosedur yang telat ditetapkan, maka akan timbul permasalahan baru yang memungkinkan perusahaan akan semakin mengalami keadaan yang sulit.

6. Membuat pernyataan “off-the-record”, karena biasanya akan diekspos di media. Media memiliki andil yang besar dalam situasi krisis yang

(20)

dihadapi perusahaan, sehingga menyampaikan sesuatu pada media harus dipertimbangkan secara serius.

Sedikit berbeda dengan pendapat Suwanto diatas, Jhon P. Simanjutak, dkk (2003:160) mengungkapkan strategi komunikasi di masa krisis yang lebih berfokus pada saat menanggapi pers. Terdapat tiga langkah konsep dasar yang dapat membantu Public Relations sebelum menghadapi pers saat krisis, yakni :

1. Public Relations sebagai bagian dari manajemen dan juru bicara organisasi atau perusahaan harus menekankan pada kepala departemen untuk memberitahukan bawahannya bahwa mereka tidak diperkenankan berbicara dengan wartawan selama masa krisis berlangsung.

2. Menentukan secara cepat dan tepat mengenai fakta-fakta terkait kejadian krisis yang sedang terjadi sebelum menjawab atau merespon media

3. Berinisiatif menghubungi media jika ingin menyampaiakan suatu berita terkait perkembangan krisis yang sedang perusahaan hadapi dan tangani. Karena dengan cara tersebut, maka penyebaran berita akan menjadi lebih akurat serta mencerminkan bahwa organisasi atau perusahaan dapat bertindak kooperatif kepada media.

Pendapat yang disampaikan Jhon P. Simanjutak mengenai pentingnya mengatur stategi saat menghadapi pers di masa krisis sangatlah penting diperhatikan, karena perlu disadari oleh tim manajemen krisis bahwasannya berita-berita buruk yang dialami oleh perusahaan, justru merupakan berita baik bagi para jurnalis (Anggoro 2001:274). Sehingga terungkapnya suatu permasalahan pada perusahaan akan menjadi bahan pemberitaan yang selalu

(21)

dinanti oleh suatu media. Jhon P. Simanjutak juga mengungkapkan pentingnya menjalin komunikasi dengan pers atau media menjadi sesuatu yang harus dilakukan, karena mengingat Public Relations dan pers/media massa saling membutuhkan dalam menjalankan tugasnya. Hal ini disebabkan seorang Public Relations tidak mungkin dapat menjangkau khalayaknya (publik) sebagai sasarannya yang tersebar dalam sebaran geografis yang luas, dengan menggunakan komunikasi secara langsung. Oleh karena itu, Public Relations membutuhkan pers/media massa untuk mempermudah pekerjaannya dan dijadikan sebagai linknya (Darmastuti 2012:3-4).

Selain itu, terdapat satu hal penting dalam pencapaian komunikasi yang baik pada saat keadaan krisis. Disampaikan Steven Fink, yang dikutip oleh Suparmo (2011:37) yakni tim krisis harus membuat strategi dalam menentukan siapa yang bertanggung jawab mengumumkan secara resmi kepada publik (karyawan yang tepat, media, maupun lembaga pemerintah). Hal tersebut menekankan bahwa komunikator atau pembicara sangat berpengaruh penting dalam hal menyampaikan informasi kepada khalayak/publik terkait permasalahan yang sedang dialami perusahaan, sehingga menjadi tugas Public Relations yang mengatur strategi dalam komunikasi krisis dan menentukan pihak yang tepat untuk angkat bicara terkait permasalahan yang sedang melanda perusahaan.

Setelah menentukan orang yang tepat untuk mengumumkan secara resmi kepada publik, ada hal utama lain yang tidak boleh juga dilewatkan oleh organisasi atau perusahaan dalam proses komunikasi krisis setelah terjadi krisis. Dikatakan oleh Puspitasari (2016:26) dalam bukunya bahwa perusahaan harus membuat pernyataan dengan segera untuk mengurangi ketidakpastian di kalangan

(22)

pemangku kepentingan. Hal tersebut merupakan salah satu upaya mengkomunikasikan situasi krisis yang dilakukan perusahaan untuk menghindari terjadinya berbagai spekulasi yang dapat meningkatkan ketidakpastian bagi seluruh pemangku kepentingan.

2.3 Krisis Humas

2.3.1 Pengertian Krisis Humas

Krisis adalah istilah yang sering terdengar dan terjadi dalam ruang publik. Krisis selalu berkaitan dengan suasana yang mencekam dan mengkhawatirkan serta menjadi momok yang sangat menakutkan bagi organisasi atau perusahaan, karena krisis akan datang secara tiba-tiba tanpa diundang, seperti yang diungkapkan Steven Fink dan dikutip oleh Puspitasari (2016:11) krisis merupakan hal yang tidak dapat terhindarkan, dan dapat terjadi kapanpun, bahkan kadang kala tanpa ada peringatan apa pun terlebih dahulu. Pendapat tersebut sejalan dengan yang dikatakan oleh James Lukaszewski, bahwa krisis digambarkan sebagai “prediksi yang tidak dapat direncanakan” (Seitel 2016:362). Sehingga dapat diartikan bahwa krisis dapat terjadi kapan saja dan seringkali beberapa pihak tidak menyadari bahwa mereka akan mengalami situasi krisis.

Merujuk pada rumusan yang dibuat oleh Bernstein L. Jonathan untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan krisis, disebutkan bahwa krisis sebagai segala bentuk situasi yang mengancam atau berpotensi mengancam untuk menyakiti orang atau properti, mengganggu bisnis secara serius, merusak reputasi dan memberikan dampak negatif terhadap nilai saham (Suwanto 2018:160).

(23)

Sementara menurut Thimoty W Coombs, krisis didefinisikan sebagai sebuah ancaman utama yang tak terduga serta dapat menimbulkan efek negatif pada perusahaan, industri, atau stakeholder jika tidak ditangani dengan tepat (Sulistyorini 2015:30).

Pendapat Bernstein L. Jonathan dan Coombs tersebut diperkuat oleh G. Harrison yang menyampaikan krisis termasuk dalam peristiwa yang membawa perusahaan pada masa kritis dan memungkinkan perusahaan mendapat pengaruh negatif. Oleh karena itu, perlu dilakukan keputusan cepat dan tepat agar tidak memengaruhi keseluruhan operasional perusahaan. Sebuah krisis cenderung menjadi sebuah situasi yang melahirkan efek negatif yang dapat mempengaruhi perusahaan dan publiknya, produk-produknya, dan reputasi serta citranya (Kriyantono 2015:198)

Beberapa pendapat dan definisi diatas fokus pada krisis sebagai kondisi yang dapat terjadi kapan pun serta memberi dampak negatif yang bisa menjadi ancaman bagi suatu organisasi atau perusahaan. Berbeda dengan konsep tentang definisi krisis menurut Michael Regester dan Judy Larkin yang menyebutkan bahwa krisis merupakan kondisi yang menjadikan perusahaan sebagai subjek pembicaraan kalangan luas, yang memiliki potensi untuk tidak disukai, mendapat perhatian dari berbagai media baik nasional maupun internasional, dan berbagai kelompok lain yang mempunyai satu alasan tertentu memiliki ketertarikan terhadap segala kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan, seperti konsumen, karyawan beserta keluarganya, pemegang saham, politisi, kelompok lingkungan hidup, serta serikat perdagangan (Puspitasari 2016:21).

(24)

Dari konsep yang disampaikan Michael Regester dan Judy Larkin, maka dapat disimpulkan bahwa krisis pada umumnya dilihat sebagai suatu kondisi atau kejadian yang negatif, sehingga memiliki implikasi negatif pada organisasi yang sedang mengalaminya. Hal ini semakin menyadarkan bahwa krisis adalah persoalah yang berbeda dengan masalah yang dialami sehari-hari, dimana krisis sering kali menarik minat dan menjadi pusat perhatian publik melalui liputan di media. Keadaan tersebut dapat mengganggu operasional normal pada perusahaan (Dan Lattiemore, dkk 2010:434).

2.3.2 Tipe Krisis Humas

Untuk mengetahui apa saja yang dapat menyebabkan munculnya suatu krisis yang dialami perusahaan dan harus diatasi oleh Humas atau Public Relations, maka harus diketahui tipe dari krisis yang sedang terjadi. Menurut Rachmad Kriyantono (2015:206-210) krisis memiliki tipe atau jenis yang beragam, antara lain :

1. Krisis Teknologi

Krisis yang disebabkan oleh kesalahan penggunaan teknologi tertentu dalam oprasional organisasi. Misalnya, kesalahan dalam mendesign pesawat, kesalahan pengeboran yang dilakukan lapindo di Sidoarjo, dan lain sebagainya.

(25)

Salah satu bentuk konfrontasi adalah akibat dari relasi yang buruk antara organisasi dengan publiknya, dan akan terjadi krisis apabila publik mulai mengekspresikan kemarahannya karena ketidakpuasan terhadap operasi sehari-hari organisasi. Misalnya, boikot konsumen terhadap produk Albotyl.

3. Krisis Malevolence

Adanya seseorang atau kelompok yang memiliki keinginan untuk menjatuhkan dan membahayakan organisasi, seperti sabotase atau pengeboman yang terjadi di Word Trade Center, Amerika Serikat.

4. Krisis Manajemen dan Perilaku Karyawan

Terjadi karena kelompok manajemen gagal dalam menjalankan tanggungjawabnya. Sebagai contoh, korupsi yang dilakukan manajemen perusahaan.

5. Kekerasan di lingkungan kerja

Kekerasan yang dapat dilakukan oleh pihak manajemen ataupun karyawan secara sengaja. Misalnya, penyekapan karyawan oleh manajemen.

6. Krisis Bencana Alam

Bencana alam dapat menyebabkan krisis pada suatu organisasi atau perusahaan. Contohnya terjadinya tsunami yang berpengaruh terhadap suatu bangsa, bisnis, maupun infrastruktir sosial.

(26)

Ada beberapa jenis masalah produk yang dapat mengakibatkan sebuah krisis terjadi, antara lain kredibilitas produk dan product tampering atau jika produk membahayakan konsumen seperti sakit, keracunan, hingga meninggal, dapat menyebabkan krisis terhadap perusahaan terkait.

Dari ke tujuh tipe krisis menurut Kriyantono diatas, memiliki kesamaan dengan pendapat yang disampaikan Larbinger yang dikutip oleh Suwanto (2018:161-162). Akan tetapi, terdapat tambahan tipe krisis lain yang diungkapkan oleh Larbinger dan tidak disebutkan oleh Rachmad Kriyantono, yaitu:

1. Krisis Deceptions (penipuan)

Penipuan yang dilakukan perusahaan terhadap publiknya atau konsumen. Misalnya penipuan pemilik perusahaan travel terhadap jamaah travel dalam kasus First Travel.

2. Krisis Bisnis dan Ekonomi

Misalnya kondisi ekonomi yang tidak stabil dapat mempengaruhi penurunan performa perusahaan.

Sementara itu, Ulmer dan kawan-kawan berpendapat sedikit berbeda mengenai tipe krisis yang dikutip oleh Puspitasari (2016:28-33). Ulmer dkk, mengelompokkan krisis ke dalam dua tipe yakni, Intentional Crises, atau krisis yang terjadi akibat faktor kesengajaan, dan yang kedua adalah Unintetional Crises, krisis yang terjadi akibat ketidaksengajaan, baik karena faktor alamiah pada alam maupun dalam proses produksi, berikut penjelasan dari kedua tipe tersebut:

(27)

1. Intentional Crises, krisis terjadi karena disengaja atau didesain untuk mengganggu keberlangsungan organisasi baik oleh individu maupun kelompok. Bentuk krisis ini dapat berupa terorisme, sabotase, kekerasan dalam dunia kerja, hubungan kerja yang buruk antara manajemen dengan karyawan, manajemen resiko yang buruk, pengambilalihan yang didasari sikap bermusuhan, dan kepemimpinan tanpa menjunjung tinggi etika.

2. Unintetional Crises, krisis ini tidak dapat terelakkan dan terhindarkan karena faktor alamiah. Kategorinya terdiri dari bencana alam, adanya wabah penyakit, interaksi yang bersifat teknis pada peralatan yang dimiliki perusahaan, kegagalan pada produk, serta terjadinya

kecenderungan pelemahan ekonomi akibat dari perlambatan

pertumbuhan ekonomi nasional.

Dengan demikian bahwa dapat diketahui krisis humas berasal dari berbagai keadaan yang dapat timbul karena ketidaksengajaan maupun secara disengaja. Sehingga dapat diketahui dari beberapa tipe krisis yang ada, sebagian tidak dapat dihindari seperti karena faktor alamiah atau bencana alam dan ada yang bisa diminimalisir sebelum krisis muncul atau semakin meluas dan sulit untuk terselesaikan.

2.3.3 Karakteristik Krisis Humas

Selain memiliki beberapa tipe atau jenis, krisis humas juga memiliki karasteristik yang beragam dan dapat ditandai dari beberapa hal yang dialami

(28)

perusahaan dan pihak-pihak didalamnya, seperti yang diungkapkan White dan Mazur dalam Suwanto (2018:160) terdapat tiga karakteristik krisis, yaitu:

1. Sebuah ancaman besar terhadap kehidupan, keamanan, dan keberadaan organisasi, karena terjadinya krisis dapat mempertaruhkan keselamatan organisasi atau perusahaan.

2. Adanya tekanan waktu yang mengharuskan pengambil keputusan untuk bekerja cepat dalam menyelesaikan situasi sebelum krisis semakin mengancam properti atau orang, mengganggu jalannya bisnis secara serius, merusak reputasi serta memberi efek negatif pada nilai saham.

3. Orang-orang yang bertanggung jawab mengelola situasi krisis mengalami stres akibat dari keputusan yang telah dibuat. Tidak semua keputusan dapat diterima dengan baik oleh beberapa pihak dan bagi orang-orang tertentu keputusan yang telah ditetapkan seringkali sulit untuk dihadapi serta dijalankan.

Sedikit berbeda antara pendapat White dan Mazur dengan pendapat Kriyantono (2012:174-176) yang memaparkan enam karakteristik krisis, antara lain :

1. Adanya suatu peristiwa yang spesifik sebagai penyebab terjadinya krisis yang dapat diketahui oleh organisasi. Seperti demonstarasi karyawan atau krisis yang menerpa produknya.

2. Krisis bersifat tidak diharapkan dan bersifat tak terduga, karena dapat menghasilkan kerusakan, ancaman, korban jiwa, serta dapat mengubah sistem sosial dan budaya, selain itu krisis dapat terjadi kapan saja.

(29)

3. Krisis menciptakan ketidakpastian informasi. Dimulai dari adanya rumor atau informasi yang tidak jelas dari mana asalnya, siapa yang membawa dan kebenarannya tidak dapat dipertanggungjawabkan.

4. Menimbukan kepanikan. Kepanikan muncul akibat dari ketidakpastian dan kekurangan dalam informasi, sehingga dapat mengakibatkan sebuah rumor beredar.

5. Menimbulkan dampak negatif bagi organisasi, seperti penurunan profit, kepercayaan public, pemerintah, dan publik akan tiada henti memberikan perhatian besar atau bahkan mengidentivikasi organisasi, hal tersebut dapat mengancam reputasi dan nama organisasi.

6. Berpotensi menimbulkan konflik, karena krisis melahirkan pro dan kontra serta debat ditengah publik akibat dari pemberitaan di media massa dan perhatian publik yang dilakukan secara terus menerus. Sehingga, hal tersebut dapat memicu terjadinya koflik. Konflik dapat terjadi karena adanya ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan.

Terdapat kesamaan dari ke enam karakteristik yang diungkapkan oleh Kriyantono di atas dengan pendapat Seitel (2015:365-366), namun Seitel menambahhkan tiga karakteristik yang tidak disebutkan oleh Kriyantono mengenai karasteristik krisis saat dalam situasi yang semakin larut dan pada saat berhadapan dengan pemberitaan di media, yaitu sebagai berikut :

1. Munculnya peningkatan Tensi peristiwaaat, krisis mulai menyebar dan banyak hal yang terjadi secara cepat dan bersamaan.

(30)

2. Organisasi dan pihak-pihak didalamnya kehilangan kendali. Akibat dari

meningkatnya tensi peristiwa, maka akan banyak

pemberitaan-pemberitaan di media bermunculan, dan pihak organisasi akan sulit mengendalikan.

3. Mentalitas organisasi terkepung, akibat dari banyaknya pemberitaan hingga membuat bingung untuk membuat pernyataan karena takut akan menjadi bumerang.

Melihat berbagai macam karasteristik dari pendapat ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa krisis dapat ditandai dengan munculnya suatu peristiwa tertentu yang membawa organisasi atau perusahaan berada pada situasi yang sulit. Selain itu, perusahaan yang mengalami sebuah krisis juga dapat terlihat melalui pengaruhnya yang dirasakan orang-orang didalam perusahaan tersebut, serta munculnya pemberitaan-pemberitaan dimedia yang semakin meningkatkan tensi peristiwa sehingga krisis akan semakin memberatkan perusahaan.

2.3.4 Tahapan-tahapan Krisis

Peristiwa atau kondisi dapat menjadi suatu krisis apabila berkembang melalui tahap-tahap tertentu, seperti yang dikatakan oleh beberapa tokoh seperti Coombs, Devlin, dan Smudde yang dikutip oleh Kriyantono dalam bukunya (2012:178-180), tahapan tersebut adalah:

(31)

Tahap ini terjadi ketika situasi serius mulai muncul dan organisasi menyadari tanda-tanda akan terjadinya krisis. Akan tetapi, situasi tersebut dibiarkan tanpa adanya tindakan pencegahan yang bisa menyebabkan situasi berkembang menjadi krisis besar.

2. Krisis Akut

Terjadi ketika situasi tidak dapat dimanajemeni dengan baik oleh organisasi hingga menyebabkan situasi meluas ke luar organisasi.

3. Pascaskrisis

Tahap terakhir, ketika organisasi berupaya mempertahankan citranya atau bahkan kehilangan citra karena krisis yang terjadi sudah terakumulasi. Pada tahap ini organisasi berusaha memperbaiki segala hal akibat dari timbulnya krisis yang telah terjadi.

Sementara itu, Steven Fink dalam Puspitasari (2016:52) menambahkan satu tahap lagi setelah tahap Pascakrisis oleh Kriyantono adalah tahap Resolusi Krisis. Tahap resolusi krisis merupakan tahap di mana organisasi mulai pulih dari dampak krisis dan melakukan evaluasi .

Sedikit berbeda dengan Coombs, Devlin, dan Smudde, Fearn-Banks (2002:10-13) mengungkapkan enam tahapan krisis lebih lengkap. Fearn-Banks juga memaparkan tahap yang sama dari Stevent Fink yakni resolusi krisis dengan membaginya menjadi dua tahap yakni pemulihan dan pembelajaran, berikut penjelasannya antara lain :

(32)

1. Pencegahan. Setelah memperhatikan sinyal-sinyal tersebut, organisasi mulai berencana secara proaktif untuk menghindari krisis.

2. Persiapan. Organisasi mempersiapkan menghadapi krisis yang bersifat tidak dapat dicegah dan ditanggulangi

3. Penahanan. Organisasi mulai mengambil langkah untuk membatasi dan waktu lamanya krisis.

4. Pemulihan. Memulai upaya-upaya agar kondisi dan efektivitas organisasi dapat menjadi normal kembali.

5. Pembelajaran. Organisasi yang dalam proses pemulihan harus melihat krisis yang telah terjadi sebagai bagian dari pembelajaran untuk berhati-hati di masa yang akan datang.

Melalui penjelasan diatas mengenai beberapa tahapan krisis yang dijelaskan oleh beberapa ahli, maka dapat diketahui bahwa krisis memang datang secara tiba-tiba dan tidak diharapkan namun kemunculannya selalu disertai dengan tanda-tanda yang dapat dirasakan oleh perusahaan. Tanda-tanda tersebut dapat dijadikan perusahaan untuk mengupayakan sebuah langkah pencegahan atau malah perusahaan membiarkan tanda yang muncul sehingga dapat membuat perusahaan berada pada tahap krisis. Selain itu, apabila tahap krisis telah usai dilalui, perusahaan juga menjalani beberapa tahap agar dapat kembali pada situasi yang kondusif setelah terjadinya krisis.

(33)

Krisis yang dialami perusahaan harus segera diatasi oleh humas sebagai pihak yang berkepentingan menangani krisis, guna meminimalisir dampak negatif dan kerugian besar serta rusaknya citra perusahaan. Jim Osborn dalam Suparmo (2011:37-38) mengemukakan langkah-langkah dalam menghadapi krisis sebagai berikut :

1. Membentuk tim Operasional Executive. Dalam membentuk tim, harus dipilih pihak-pihak yang berkompeten dan berwenang yang juga bisa berasal dari susunan organisasi untuk mengatasi krisis.

2. Membangun komunikasi sistem pengawasan dengan menyusun prosedur yang terdiri dari pembuatan kebijakan, adanya juru bicara, penugasan kerja, muatan strategis, dan muatan taktisnya.

3. Menentukan komunikasi yang tepat dengan stakeholder agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam menyampaikan pernyataan mengenai krisis yang sedang terjadi

4. Menyusun tindakan antisipasi dan stratgeis, agar kemungkinan terburuk yang dapat terjadi saat krisis dapat diminimalisir dengan baik.

5. Menyusun skenario dalam menghadapi krisis. Menghadapi krisis perlu penanganan secara teliti dan detail makadari itu penyusunan skenario menjadi hal yang sangat penting dalam proses mengatasi krisis

6. Menetapkan tindakan prioritas. Menentukan tindakan apa saja yang perlu dilakukan terlebih dahulu dan yang dilakukan setelahnya.

(34)

7. Perlunya melakukan latihan atau simulasi dalam menghadapi krisis, agar langkah maupun tindakan yang akan dipilih dapat diketaui dengan jelas bisa berjalan secara efektif atau tidak dalam memecahkan krisis.

Selain Jim Obsorn, Suparmo juga mengutip pendapat dari Rhenald Kasali dalam menentukan langkah-langkah yang harus diambil dalam menghadapi krisis secara lebih sederhana, yaitu :

1. Mengidentifikasi krisis yang sebenarnya, melihat dan

mempertimbangkan adanya ancaman, peluang, kekuatan, serta kelemahan yang akan mempengaruhi secara langsung maupun tidak terhadap organisasi. Selain itu, mencermati isu dan informasi yang tersebar pada media juga perlu dilakukan pada tahap indentifikasi.

2. Melakukan analisis terhadap segala data yang telah diperoleh, baik data yang bersifat primer maupun sekunder, sehingga hasil dari analisis kuat.

3. Isolasi kejadian krisis atau dengan kata lain menjauhkan serta menghindarkan krisis dari faktor yang bisa memicu timbulnya masalah baru.

4. Membentuk strategi untuk pemecahan, sebagai contoh langkah atau strategi yang digunakan adalah adaptif (mengubah kebijakan atau melakukan kompromi.

5. Melakukan program taktis untuk mengontrolnya. menentukan program yang tepat sesuai dengan kondisi atau konteks yang terjadi.

(35)

Dari kedua pendapat tersebut, Soleh Soemirat dan Elvinaro Ardianto (2008:184-185) memiliki pendapat yang sedikit berbeda dalam mengatasi krisis yang di alami perusahaan oleh humas. Perbedaan yang diungkapkan adalah pemaparan mulai dari startegi sebelum munculnya krisis hingga setelah terjadi krisis, yaitu startegi pencegahan, strategi persiapan, dan strategi penanggulangan, atau disingkat dengan “strategi 3P”:

1. Strategi Pencegahan, tindakan preventif melalui antisipasi terhadap situasi krisis. Memahami gejala-gejala yang timbul sebelum terjadinya sebuah krisis dengan cara mengantisipasi, menganalisa, dan memposisikan masalah krisis agar krisis dapat dicegah sedini mungkin.

2. Strategi Persiapan, jika krisis tidak dapat dicegah sejak dini, maka yang harus dilakukan adalah menerapkan strategi persiapan yang terdiri dari dua langkah, antara lain:

a) Membentuk tim krisis yang harus selalu menjalin hubungan baik melalui surat, telepon atau rapat, karena dengan seringnya berkomunikasi suasana krisis dapat dipantu dari waktu ke waktu.

b) Tim harus mendapat informasi mengenai krisis dengan jelas dan akurat untuk kemudian disampaikan kepada pers.

3. Strategi Penanggulangan, adalah langkah terakhir apabila pada tahap strategi pencegahan dan penanggulangan tidak sempat dilaksanakan. Dalam strategi ini terdapat langkah yang harus diambil sesuai dengan kondisi krisis, yaitu :

(36)

a) Kondisi krisis akut, pengamanan yang harus dilakukan dalam kondisi ini adalah mengidentifikasi atau mencari penyebab timbulnya krisis, mengisolasi krisis agar operasional perusahaan tidak terganggu dan penanggulangan dapat ditingkatkan secara efektif, serta selanjutnya mengendalikan krisis agar tidak semakin meluas.

b) Kondisi kesembuhan, perusahaan mengintropeksi mengapa krisis terjadi. Perusahaan yang gagal menanggulangi krisis, maka kondisi kesembuhan tidak dapat dicapai dan perusahaan akan berada pada masa kegoncangan atau kebangkrutan.

Dengan demikian dalam mengatasi krisis humas perlu adanya persiapan yang matang seperti menyusun rencana atau strategi, membentuk tim manajamen krisis, menentukan tindakan prioritas, melakukan pengawasan dan analisis terhadap krisis yang terjadi . Penting juga bagi humas perusahaan dalam memperhatikan strategi-strategi yang efektif sebelum munculnya suatu krisis diperusahaan, hingga cara mengatasi krisis yang telah terjadi. Mengatasi krisis yang terjadi di tengah perusahaan menjadi peran strategis bagi humas, sehingga keberhasilan perusaahan yang dapat terlepas dari kondisi krisis merupakan bentuk dari segala persiapan yang telah disusun dan direncanakan oleh humas.

2.4 Konflik

(37)

Konflik melekat erat dalam jalinan kehidupan manusia, dan menjadi hal yang tak terhindarkan. Konflik merupakan salah satu bentuk esensi dari kehidupan dan perkembangan manusia yang memiliki karakteristik berbeda-beda. Perbedaan antar manusia tersebut dapat dilihat dari adanya strata sosial dan ekonomi, suku, agama, kepercayaan, budaya, tujuan hidup dan masih banyak lagi. Dari adanya perbedaan serta keberagaman inilah yang dapat menimbulkan suatu konflik, dan selama perbedaan itu masih ada maka konflik akan selalu terjadi.

Ismail Nawawi (2009:4) mengatakan bahwa konflik adalah gangguan luar biasa terhadap sistem norma yang sudah tersusun pada tatanan masyarakat, serta dianggap sebagai wabah penyakit yang dapat mengancam kehidupan ekonomi dan masyarakat tersebut. Terjadinya konflik akan bisa memberikan pengaruh baik maupun buruk bagi kehidupan manusia dan konflik juga akan menimbulkan sesuatu perubahan kepada segala sesuatu yang telah terencana sebelumnya.

Jika pendapat Ismail Nawawi lebih fokus konflik sebagai sebuah gangguan, maka Wirawan juga menjelaskan konflik yang lebih fokus pada prosesnya. Wirawan (2010:5) menjelaskan bahwa konflik adalah proses pertentangan yang ditunjukkan dan diekspresikan di antara dua belah pihak atau bahkan lebih yang saling tergantung mengenai pokok permasalahan, menggunakan pola perilaku dan interaksi konflik yang menghasilkan keluaran konflik. Dalam bukunya tersebut Wirawan juga mengutip pendapat dari beberapa tokoh lain yaitu Joce L. Hocker & William W. Wilmot serta Joel A. Digirolamo yang memiliki kesamaan pandangan terkait definisi konflik.

(38)

Joce L. Hocker & William W. Wilmot mengungkapkan pendapatnya mengenai konflik adalah “an expressed struggle between at least two interpendent parties who perceived incompatible goal, scarce reward, and interference from other party in achieving their goals.” definisi tersebut menjelaskan bahwa konflik adalah antara setidaknya dua pihak yang saling berpandangan dan saling tergantung yang merasakan adanya tujuan yang tidak sesuai, penghargaan (rewords), dan terdapat gangguan dari pihak lain dalam proses mencapai tujuan mereka

Joel A. Digirolamo berpendapat mengenai definisi konflik “A process that begins when an individual or group perceives differences and opposition between itself and another individual or group about interests and resources, beliefs, values, or practices that matter to them.”Menurutnya konflik sebagai sebuah proses yang dimulai ketika seorang individu maupun kelompok memandang suatu perbedaan dan pertentangan antara dirinya sendiri dan individu lain serta kelompok mengenai kepentingan dan sumber daya, keyakinan, nilai, atau praktek yang penting bagi mereka.

Dari diskusi konsep tentang pengertian konflik diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa konflik adalah suatu gangguan yang terjadi dalam proses pencapaian sebuah tujuan, selain itu konflik dapat muncul akibat dari adanya perbedaan cara pandang maupun perbedaan tujuan dari pihak satu dengan pihak lain yang dapat berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Sehingga konflik yang terjadi baik dalam dunia bisnis, keluarga maupun kontak sosial dengan orang lain, perlu diperhatikan secara serius agar tidak semakin meluas dan memberikan pengaruh besar terhadap hal lain melainkan dapat diredam dan diatasi.

(39)

2.4.2 Penyebab Konflik

Konflik dapat terjadi secara alamiah tanpa terencana, hal tesebut diakibatkan karena adanya kondisi objektif yang menstimulus terjadinya konflik. Berikut adalah kondisi objektif yang menyebabkan timbulnya konflik menurut Wirawan (2010:8-14), antara lain:

1. Keterbatasan sumber

Manusia selalu mengalami keterbatasan sumber-sumber yang

dibutuhkan guna mendukung keberlangsungan kehidupannya.

Keterbatasan tersebut yang menimbulkan terjadinya kompetisi diantara mereka untuk mendapatkan sumber yang dibutuhkan dan hal ini sering kali menjadi penyebab munculnya suatu konflik. Sebagai contoh keterbatasan sumber di beberapa daerah yaitu terjadi konflik antara anggota masyarakat dengan perusahaan akibat pembebasan tanah.

2. Tujuan yang berbeda

Setiap individu maupun kelompok akan memiliki tujuan-tujuan yang berbeda-beda dalam menjalankan kehidupannya, sama halnya dengan banyaknya perusahaan yang mengalami konflik karena tujuannya tidak sejalan dengan masyarakat. Seperti yang dikemukakan oleh Hocker dan Wilmot, konflik terjadi karena pihak-pihak yang terlibat dalam konflik memiliki tujuan yang berbeda.

(40)

Konflik terjadi diantara pihak-pihak yang saling membutuhkan saling berhubungan, memiliki tugas yang tergantung satu sama lain dan tidak bisa meninggalkan satu sama lain tanpa konsekuensi negatif. Misalnya, aktivitas satu pihak tergantung pada aktivitas atau keputusan pihak lainnya.

4. Diferensiasi organisasi

Adanya perbedaan pembagian tugas di berbagai unit kerja dalam birokrasi organisasi dan spesialisasi tenaga kerja pelaksanaannya merupakan salah satu penyebab konflik. Hal tersebut menyebabkan timbulnya perbedaan pola pikir, perilaku, dan pendapat mengenai sesuatu.

5. Ambiguitas yurisdiksi

Tidak adanya kejelasan struktur organisasi dan pembagian tugas atau wewenang unit kerja dapat menyebabkan munculnya konflik intrernal organisasi yang juga dapat berdampak timbulnya konflik eksternal yang mempertaruhkan nama baik perusahaan.

6. Sistem Imbalan yang tidak layak

Dalam perusahaan konflik antara karyawan dan manajemen sering kali terjadi, manajemen perusahaan menggunakan sistem imbalan yang dianggap tidak adil oleh karyawan sehingga memicu aksi pemogokan yang berimbas pada bentuk kerugian pada karyawan (tidak mendapat upah), perusahaan (aktivitas produksi terhenti), konsumen (tidak mendapat produk yang diperlukan), dan pemerintah (tidak mendapatkan

(41)

pajak), serta tentunya citra perusahaan akan menjadi buruk akibat aksi tersebut.

7. Komunikasi yang tidak baik

Komunikasi yang menyebabkan konflik antara lain seperti, distorsi, informasi yang tidak tersedia dengan bebas, dan penggunaan bahasa yang tidak dimengerti oleh pihak-pihak yang melakukan komunikasi, serta perilaku komunikasi yang seringkali dapat menyinggung orang lain.

8. Perlakuan tidak manusiawi, melanggar hak asasi manusia, dan melanggar hukum

Berkembangnya masyarakat madani dan adanya undang-undang mengenai hak asasi manusia di Indonesia, mendorong pemahaman dan sensitivitas anggota masyarakat terhadap hak asasi manusia dan penegakan hukum semakin meningkat. Sehingga apabila ada pelanggaran hak asasi antara masyarakat dan organisasi dapat menimbulkan perlawanan dari pihak yang mendapat perlakuan tidak manusiawi.

9. Beragam karakteristik sistem sosial

Perbedaan suku, agama, dan ideologi merupakan salah satu contoh karakteristik yang beragam. Karakteristik tesebut seringkali diikuti dengan pola hidup yang eksklusif satu sama lain yang dapat menimbulkan konflik.

(42)

10. Pribadi orang

Sifat kepribadian yang menimbulkan konflik, seperti selalu curiga, egois, sombong, merasa selalu benar, tidak dapat mengendalikan emosi, ingin menang sendiri, merupakan sifat yang dapat dengan mudah menyulut timbulnya konflik jika berinteraksi dengan orang lain. Sebagai contoh dalam sekelompok orang yang berfikir fundamentalis atau radikal yang selalu menentukan benar atau salah sesuatu berdasarkan kesesuaian sesuatu hal terntentu dengan pendapat mereka.

11. Kebutuhan

Jika kebutuhan manusia diabaikan atau terhambat maka dapat mendorong terjadinya konflik. Tidak dapat terpenuhinya suatu kebutuhan, dapat membuat orang lain merasa stres.

12. Perasaan dan emosi

Perasaan dan emosi setiap orang berbeda-beda dalam berhubungan dengan sesuatu atau orang lain. Orang yang sangat dipengaruhi perasaan dan emosi seringkali menjadi tidak rasional saat sedang melakukan interaksi dengan orang lain, sehingga dapat menimbulkan konflik dan menentukan perilakunya saat terlibat konflik.

13. Budaya konflik dan kekerasan

Budaya konflik terjadi karena Indonesia mengalami krisis

kepemimpinan dari tingkat pusat dan daerah, serta sebagian sektor kehidupan. Lemahnya penegak hukum dan merosotnya moral para

(43)

penegak hukum membuat kepercayaan masyarakat menurun kepada mereka, sehingga orang lebih memilih jalan pintas dengan menyelesaikan melalui kekerasan dan main hakim sendiri.

Penyebab konflik yang diungkapkan diatas sangat beragam dan menyangkut beberapa hal secara umum. Berbeda dengan Simon Fisher, dkk (2000:8) yang menjelaskan penyebab konflik menurut teori Hubungan Masyarakat, yaitu konflik disebabkan oleh polarisasi (adanya kelompok orang yang berkepentingan) yang terus terjadi. Adanya ketidakpercayaan dan permusuhan diantara kelompok yang berbeda dalam satu masyarakat.

Sementara itu, Syafaruddin Alwi (2013:10) mengungkapkan terdapat beberapa elemen penyebab timbulnya konflik yang bersifat disfungsional, sebagai berikut:

1. Persaingan yang tidak sehat

Disebabkan adanya perbedaan tujuan personal maupun kelompok dari para pihak yang mengalami konflik.

2. Penyelesaian konflik Menang-Kalah

Pengambilan keputusan yang cenderung menggunakan pendekatan Menang-Kalah akan selalu berpotensi menimbulkan efek disfungsional. Maka penyelesaian dengan menggunakan pendekatan tersebut harus dihindari.

(44)

Ekskalasi konflik yang tidak terminor atau terabaikan oleh pemimpin dapat menyebabkan konflik menjadi desktruktif terhadap manajemen perusahaan.

4. Kurangnya rasa kebersamaan dan komitmen

Kurangnya rasa kebersamaan dan komitmen seringkali menjadi sebab konflik terus berkepanjangan dan tidak kunjung dapat terselesaikan, hingga berpengaruh pada proses pencapaian tujuan organisasi.

Sehingga dari ketiga pendapat diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa konflik pada perusahaan akan selalu dapat mucul karena disebabkan oleh berbagai hal. Dalam organisasi atau perusahaan terdapat banyak orang yang memiliki perbedaan pada individu mereka masing-masing seperti perbedaan karakter, perbedaan kepribadian, perbedaan kepentingan dan tujuan serta perbedaan cara dalam menghapi sebuah persoalan, hal tersebut tentunya dapat menjadi penyebab serta memicu timbulnya gesekan yang bisa berujung pada konflik yang dialami organisasi atau perusahaan.

2.4.3 Pola Konflik

Konflik biasanya mengikuti pola yang teratur, yang terdiri dari tahapan-tahapan. Berikut pola konflik menurut Peg Pickering (2001:24-25) yang terdiri dari tiga tahap konflik :

1. Tahapan pertama: Persoalan dan perselisihan kecil, konflik yang belum memunculkan rasa terancam.

(45)

2. Tahapan kedua: Tantangan yang lebih besar. Pada tahap ini, konflik berlangsung dalam jangka panjang yang dapat memberikan dampak dan memicu emosi yang lebih besar.

3. Tahapan ketiga: Pertarungan terbuka. Terjadinya tahapan ini, merupakan efek dari tahap dua yaitu seseorang yang dikuasai emosi.

Tidak jauh berbeda dengan Peg Pickering, William Hendricks (2004:7-14) juga memaparkan tiga tahapan konflik, antara lain:

1. Tahap satu (peristiwa sehari-hari): Konflik yang terjadi pada peristiwa sehari-hari yang terjadi secara terus-menerus atau dalam intensitas rendah, namun biasanya memerlukan sedikit perhatian.

2. Tanap dua (tantangan): Pada tahap ini konflik lebih kompleks, karena terdapat unsur kompetisi didalamnya yang ditandai dengan “sikap kalah-menang”. Akan tetapi, kemungkinan mengalami kekalahan pada tahap ini lebih besar sebab orang diikat oleh masalah.

3. Tahap tiga (pertentangan): Konflik telah meningkat, tujuannya mengubah keinginan untuk menang menjadi keinginan untuk mencederai.

G.R Terry dalam Winardi (1994:1-2) mengungkapkan empat tahapan pola konflik yang berbeda dengan dua pendapat diatas. G.R Terry fokus menjelaskan tahap konflik yang dialami oleh perusahaan dan bagaimana perusahaan menanggapinya, antara lain sebagai berikut:

(46)

Tahap awal mengenai bahaya potensial tertentu yang mulai terlihat dan dapat mengancam pengoperasian secara harmonis serta eksistensi organisasi/perusahaan terkait, karena mulai terlihat pertentangan paham secara serius.

2. Gejala eskalasi ketidaksesuaian paham terjadi

Konflik yang berlangsung, mulai menarik perhatian manajemen dan dirasakan perlu adanya tindakan-tindakan korektif tertentu.

3. Konfrontasi menjadi pusat perhatian

Konfrontasi atau pertentangan yang terjadi menjadi pusat perhatian hingga menyebabkan antara para manajer yang menduduki peringkat lebih tinggi membuat pembicaraan-pembicaraan. Pada tahapan ini biasanya disampaikan janji-janji untuk meneliti keluhan-keluhan yang ada dan kemudian mulai dibuat sebuah perencanaan untuk tindakan selanjutnya.

4. Krisis selanjutnya dialihkan dalam arti

Melakukan penelitian mengenai kebenaran dari seluruh keluhan yang disampaikan. Mempertimbangkan proses prosedur-prosedur yang diusulkan sebagai penentu dalam mengambil keputusan penerimaan atau penolakan.

Jadi dapat disimpulkan bahwa konflik memiliki pola dalam prosesnya yang terjadi pada tahapan-tahapan tertentu. Diketahui pula bahwa konflik bermula dari kejadian kecil yang terjadi pada kehidupan sehari-hari, yang kemudian

(47)

dilanjutkan dengan adanya peristiwa yang lebih kompelks dan menimbulkan sebuah tantangan yang harus dihadapi, serta berakhir dengan adanya pertentangan yang memicu pertarungan terbuka antara kedua belah pihak yang mengalami konflik. Sementara pola konflik dalam perusahaan ditandai dengan munculnya krisis tertentu yang membuat ketidaksesuaian paham terjadi hingga mengharuskan manajemen untuk melakukan tindakan untuk menghadapi dan melakukan penelitian atas konflik yang terjadi.

2.4.4 Jenis Konflik

Konflik memiliki banyak jenis yang dapat dikelompokkan berdasarkan berbagai kriteria, seperti konflik berdasarkan altar terjadinya konflik, substansi atau objek konflik, dan pihak-pihak yang terkait didalamnya. Berikut beberapa jenis konflik menurut Peg Pickering (2001:12-17) adalah:

1. Konflik Diri

Konflik yang terjadi akibat gangguan emosi yang terjadi dalam diri seseorang, karena adanya beban dalam menjalankan kehidupan, seperti dituntut menyelesaikan suatu pekerjaan atau memenuhi suatu harapan, sementara pengalaman, minat, tujuan, dan tata nilainya tidak sanggup memenuhi tuntutat tersebut.

2. Konflik Antarindividu

Konflik antarindividu adalah konflik yang melibatkan antara dua individu yang dipengaruhi oleh tidak terpenuhinya kebutuhan dasar

(48)

psikologis, seperti keinginan untuk dihargai, keinginan memegang kendali, keinginan memiliki harga diri yang tinggi, dan keinginan untuk untuk konsisten.

Jenis Konflik yang diungkapkan Peg Pickering sama dengan yang diungkapkan oleh Wirawan mengenai konflik diri atau konflik interpersonal. Namun Wirawan (2010:55-62), menjelaskan beberapa jenis konflik lebih beragam dari pada Peg Pickering, antara lain:

1. Konflik Personal dan Konflik Interpesonal

Konflik personal dan konflik interpesonal merupakan pengelompokan konflik berdasarkan jumlah orang yang terlibat. Konflik Personal terjadi dalam diri individu karena harus memilih dari sejumlah alternatif pilihan atau karena memiliki kepribadian ganda, dalam artian seseorang yang munafik dan melakukan sesuatu yang berbeda antara perkataan dan perbuatannya. Sementara konflik Interpesonal, terjadi di dalam suatu organisasi atau di tempat kerja. Konflik ini terjadi di antara pihak-pihak yang saling tergantung dalam melaksanakan pekerjaan guna mencapai tujuan organisasi.

2. Konflik Interes

Konflik interes atau konflik kepentingan adalah konflik yang melibatkan individu (pejabat/aktor sistem sosial) yang memiliki kepentingan personal lebih besar daripada kepentingan organisasinya, sehingga

mempengaruhi pelaksanaan kewajibannya dalam melaksanakan

(49)

3. Konflik Realistis dan Konflik Nonrealistis

Konflik Realistis muncul karena adanya ketidaksepemahaman cara pencapaian tujuan dan interaksi konflik ini memfokuskan pada isu perbedaan pemahaman terkait substansi atau objek konflik yang harus diselesaikan oleh pihak yang terlibat konflik. Sehingga manajemen konflik yang digunakan adalah dialog, musyawarah, voting, persuasi dan negosiasi. Sementara konflik Nonrealistis terjadi tidak berhubungan dengan isu substasi penyebab konflik, melainkan konflik yang dipicu karena kebencian atau prasangka yang mendorong untuk mengalahkan atau menghancurkan lawan konflik. Metode manajemen konflik nonrealistis adalah agresi, kekuatan, paksaan dan menggunakan kekuasaan yang dimiliki. Sebagai contoh konflik akibat perbedaan agama, suku, dan ras.

4. Konflik Destruktif dan Konflik Konstruktif

Konflik destruktif (konflik produktif) adalah konflik yang prosesnya mengarah pada mencari solusi mengenai penyebab atau substansi konflik. Konflik ini membangun sesuatu yang baru atau dapat mempererat hubungan pihak-pihak yang terlibat konflik. Sementara konflik konstruktif (konflik nonproduktif) adalah konflik yang tujuannya mengalahkan satu sama lain, pihak-pihak yang terlibat tidak fleksibel atau kaku.

Agak berbeda dengan Peg Pickering dan Wirawan, maka Barker dan kawan-kawan dalam Alo Liliweri (2005:265-266) menjelaskan jenis konflik

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Mekanika Lagrange W.S. Mekanika Lagrange W.S. Fisika Koloid Dasar Suparno, Ph.D. Fisika Koloid Dasar Suparno, Ph.D. Media Audio Visual *) Nur Kadarisman, M.Si. Mikroprosesor *)

Macam – macam fungsi peran perawat di unit gawat darurat menurut Aryatmo ( 1993 ) yaitu : a) Mengkaji kebutuhan perawatan penderita, keluarga dan masyarakat,

Dalam memperoleh suatu pengetahuan akan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: 1) Pendidikan, semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin mudah menerima informasi.

Candida albicans dianggap sebagai spesies yang paling patogen dan menjadi penyebab terbanyak kandidiasis, tetapi spesies lain ada juga yang dapat menyebabkan penyakit

Pada tahap analisa sistem, akan dilakukan analisa dari suatu sistem yang sedang berjalan pada SMP Muhammadiyah 03 Medan untuk mengetahui permasalahan yang ada, kemudian akan

Ketidaksetaraan akibat pendidikan meningkatkan peluang unmetneed, KTD dan kehamilan remaja serta pemanfaatan akses layanan maternal yang lebih banyak oleh kelompok

Untuk menghindari unsur subjektif dalam melakukan penyeleksian penerima beasiswa, maka tujuan dari penelitian ini yaitu menghasilkan suatu aplikasi sistem pendukung keputusan yang

Dengan keluarnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 1992 tanggal 30 Oktober 1992 tentang Pedoman Pemungutan pajak Penerangan Jalan, maka Pemerintah