• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VII DAMPAK PENETAPAN DPL TERHADAP KONDISI EKONOMI NELAYAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB VII DAMPAK PENETAPAN DPL TERHADAP KONDISI EKONOMI NELAYAN"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB VII

DAMPAK PENETAPAN DPL TERHADAP KONDISI EKONOMI NELAYAN

7.1 Pola Produksi Nelayan

7.1.1 Armada dan Peralatan Tangkap

Armada yang digunakan oleh masyarakat Kampung Saporkren untuk kegiatan penangkapan ikan hingga saat ini adalah berupa perahu tradisional yang disebut perahu katingting, perahu dayung, dan perahu bermesin jhonson dengan kekuatan lebih dari 15 PK. Antara ketiga jenis perahu tersebut, perahu katingting adalah perahu yang paling banyak dimiliki oleh nelayan, kemudian diikuti oleh perahu dayung, dan perahu bermesin jhonson. Perahu katingting adalah perahu semang (penyeimbang yang terbuat dari kayu) yang menggunakan mesin tempel berkekuatan kurang dari 15 PK dengan bahan bakar bensin. Perahu jhonson adalah perahu yang menggunakan mesin berkekuatan lebih dari 15 PK dan memiliki panjang badan dua kali panjang dari pada perahu katingting. Rata-rata penggunaan bahan bakar (bensin) yang digunakan oleh para nelayan dalam satu kali melaut mencari tangkapan yaitu lima liter bensin perhari, termasuk juga penggunaan untuk menjual hasil tangkapan di Waisai.

Tabel 16. Jumlah Armada Responden menurut Jenis Perahu dan Status

Jenis Perahu Jumlah (Unit) Status

Perahu Dayung 11 Milik sendiri

Perahu Katingting 28 Milik sendiri

Perahu Jhonson - -

Total 39

Tabel 16 menunjukkan jenis dan jumlah perahu yang dimiliki oleh nelayan yang menjadi responden penelitian. Sebanyak 11 responden adalah nelayan yang melaut dengan menggunakan perahu dayung, sebanyak 28 orang menggunakan perahu katingting, sedangkan yang menggunakan perahu jhonson tidak ada.

(2)

Peralatan tangkap yang digunakan oleh nelayan Saporkren umumnya berupa pancing atau nilon dan kalawai atau tombak. Alat pancing nilon adalah alat pancing yang menggunakan nilon atau senar dengan nomor 10, 15, 20, 25, dan 30. Senar atau nilon tersebut akan dikaitkan pada gulungan yang berbeda-beda ukurannya. Pancing nilon terdiri dari beberapa tipe, diantaranya adalah, nilon tonda, nilon dasar, nilon pompa, dan masing-masing menggunakan jenis nilon atau tali senar yang berbeda. Alat pancing lainnya yang biasa digunakan adalah kalawai atau tombak. Alat pancing ini berbentuk kayu sepanjang dua meter dan memiliki ujung yang tajam berbentuk pisau. Kalawai biasanya digunakan oleh para nelayan jika melaut di malam hari dengan menggunakan perahu berlampu. Penggunaan jaring di Kampung Saporkren merupakan hal yang sangat dilarang untuk digunakan, karena penggunaan jaring saat menangkap ikan dianggap akan merusak terumbu karang dan ikan-ikan kecil akan ikut terambil.

Tabel 17. Jenis Alat Tangkap dan Jenis Tangkapan Nelayan Saporkren

Jenis alat tangkap Jenis tangkapan

Pancing Nilon Nilon tonda Ikan Tenggiri, ikan

Cakalang Nilon dasar

Nilon Pompa

Ikan Mubara, ikan Geropah, ikan Gutila, ikan Merah

Ikan Mubara, ikan Oci

Kalawai Ikan apa saja tetapi pada

malam hari

Alat pancing nilon tonda sering digunakan untuk menangkap ikan Tenggiri dan ikan Cakalang, nilon dasar untuk jenis ikan Bubara, ikan Geropah, ikan Gutila, dan ikan Merah, sedangkan kalawai digunakan untuk jenis ikan apa saja tetapi digunakan hanya pada malam hari dengan menggunakan perahu berlampu petromax (Balobe)7.

7

(3)

7.1.2 Musim Penangkapan Ikan

Pemanfaatan wilayah laut sebagai penghasil sumberdaya perikanan tangkap tidak hanya membutuhkan kemampuan nelayan serta armada yang digunakan untuk memperoleh tangkapan, tetapi juga membutuhkan pertimbangan faktor cuaca dan iklim untuk melaut. Pada suatu komunitas nelayan biasanya terdapat musim penangkapan ikan yang ditetapkan sendiri oleh para nelayan tersebut dengan menyesuaikan kondisi cuaca ataupun iklim serta keberadaan ikan-ikan di wilayah penangkapan mereka. Faktor-faktor iklim tersebut yang selama ini mempengaruhi kegiatan melaut para nelayan Saporkren adalah musim hujan, musim kemarau, angin kencang (selatan), angin teduh (barat), dan tingginya gelombang.

Nelayan Saporkren mengenal tiga musim yang berlaku yaitu musim gelombang kuat atau angin selatan, musim gelombang teduh atau angin barat dan musim pancaroba yaitu peralihan musim selatan dan musim barat. Jika musim gelombang kuat terjadi, nelayan biasanya mengurangi waktu melaut, dan mengganti profesi dengan berkebun untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tetapi ada juga nelayan yang memberanikan diri untuk melaut, dan keberanian ini didorong oleh keinginan mengejar pendapatan nelayan. Apabila musim angin barat atau laut teduh maka hasil tangkapan nelayan akan melimpah dan jika musim pancaroba, menurut nelayan kondisi laut tidak dapat dipastikan, adakalanya laut teduh namun tiba-tiba laut bergelombang kuat.

Tabel 18. Kalender Musim Tangkap Nelayan Saporkren No. Jenis musim Bulan Lokasi Penangkapan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1. Musim gelombang lemah (Barat) Tanjung Pisang dan sekitar kampung 2. Musim pancaroba Daerah sekitar kampung 3. Musim gelombang kuat (Selatan) Wilayah sekitar kampung dan Pulau Uray

(4)

Saat musim gelombang lemah atau angin barat terjadi, nelayan dapat menangkap dengan lebih mudah hingga menempuh jarak yang jauh dari perkampungan, seperti Tanjung Pisang, tetapi juga menangkap ikan di sekitar perkampungan. Pada musim gelombang kuat atau angin selatan, masyarakat merasa kesulitan untuk melakukan penangkapan ikan karena kencangnya angin, sehingga nelayan tidak berani menangkap ikan hingga pada jarak yang jauh dan sebagai pilihan alternatif lainnya adalah Pulau Uray. Cuaca yang buruk juga mendorong sebagian nelayan beralih profesi untuk berkebun. Namun saat ini penentuan musim berdasarkan hitungan bulan sulit untuk diprediksi. Memburuknya kondisi alam saat ini juga berpengaruh pada arah angin laut yang menjadi dasar penentuan musim tersebut. Saat ini arah angin ke utara ataupun ke selatan dapat berubah-ubah hanya dalam hitungan hari. Sama halnya ketika melakukan penelitian cuaca tidak menentu, misalnya pada hari senin udara sangat baik untuk melaut tetapi keesokan harinya angin yang sangat kencang datang dan membuat nelayan sulit untuk melaut dan masyarakat pun tidak bisa melakukan kegiatan di mana-mana. Hal inilah yang membuat nelayan mengalami kesulitan dalam memprediksi kondisi laut, bahkan berdasarkan hasil wawancara salah satu responden SM (56 tahun) menyatakan:

“…sekarang kami susah jawab kalau ditanya musim ikan melimpah dan musim angin kencang, karena kondisi dulu sangat berbeda dengan kondisi musim sekarang. Kami jadi dibuat bingung, dan susah untuk memperkirakan jenis ikan yang melimpah dibandingkan masa dulu.”

7.1.3 Lokasi Penangkapan Nelayan

Areal penangkapan ikan dan sumberdaya perairan lainnya di Kabupaten Raja Ampat pada umumnya adalah di pesisir dan daerah teluk. Bagi nelayan Saporkren pada umumnya melakukan kegiatan penangkapan hanya di perairan sekitar tempat tinggal mereka, tetapi jika angin kencang terjadi maka nelayan dapat menempuh hingga jarak yang lebih jauh hingga Pulau Uray.

Kegiatan penangkapan nelayan Saporkren dilakukan 5-6 hari dalam satu minggu, dan dengan lama waktu menangkap adalah 6-8 jam per hari. Aktivitas nelayan selain menangkap ikan adalah menjualkan hasil tangkapan mereka ke

(5)

daerah pemerintahan Kab. Raja Ampat yaitu Waisai. Terkait dengan aktivitas menjual hasil tangkapan, peran istri sangat berpengaruh.

7.1.4 Jenis-jenis Hasil Tangkapan

Hasil tangkapan nelayan Saporkren terdiri dari beragam jenis ikan, yaitu ikan Cakalang, ikan Merah, ikan Bubara, ikan Gutila, ikan Tenggiri, ikan Oci, dan ikan Geropah. Ikan hasil tangkapan nelayan sebagian besar untuk dijual, dan sebagian kecilnya untuk dikonsumsi. Beberapa jenis ikan tertentu atau ikan bernilai ekonomis akan dijual dengan sistem pertali (kisaran satu kg) dan per ekor, sedangkan untuk ikan tertentu seperti ikan Puri, Oci atau ikan Kembung akan dikonsumsi. Adapun kisaran harga jual untuk jenis ikan hasil tangkapan nelayan seperti tabel 19.

Tabel 19. Harga Jual Ikan menurut Jenisnya

No. Jenis Ikan Harga Jual

Per ekor (Rp) Per tali (Rp)

Kecil Sedang Besar

1. Gutila - 30.000 50.000 20.000 2. Geropah - 30.000 50.000 20.000 3. Tenggiri - 40.000-50.0000 70.000 - 4. Cakalang 20.000 30.000 50.000 - 5. Ikan Merah 20.000 40.000 60.000 - 6. Bubara - 20.000 40.000 20.000

Tabel 19 menunjukkan harga jual ikan yang berlaku di Kampung Saporkren berdasarkan jenis ikan yang didapatkan. Sistem penjualan yang berlaku di Kampung Saporkren adalah sistem penjualan per tali dan per ekor. Harga tersebut sudah merupakan harga baku yang digunakan oleh para nelayan Saporkren. Para nelayan Saporkren tidak mengenal sistem jual perkilo. Besar atau kecilnya ukuran ikan yang didapatkan hanya diperkirakan saja.

Jenis ikan Tenggiri, ikan Cakalang, dan ikan Merah biasanya dijual per ekor dan penentuan harga jual disesuaikan dengan ukuran ikan tersebut. Untuk jenis ikan Gutila, Bubara, dan Geropah biasanya di jual pertali dengan kisaran satu tali

(6)

3-5 ekor, jika ketiga jenis ikan tersebut memiliki ukuran yang besar maka akan dijual per ekor, tetapi pada umumnya kebanyakan dijual per tali karena ukuran besar sulit didapatkan.

Selain ikan, hasil tangkapan lainnya adalah udang dan cumi-cumi atau sotong. Harga jual udang lobster yang berlaku adalah Rp. 150.000 per tali sedangkan cumi-cumi ataupun sotong akan dijual dengan harga Rp. 20.000 per tali dengan jumlah empat cumi. Udang yang umumnya tertangkap adalah jenis lobster (Ponulirus sp.), kemudian akan ditampung dalam satu keranjang khusus dengan istilah lokal akan ditabung. Seperti yang dinyatakan oleh salah satu anggota LPSTK yang juga merangkap nelayan, OS(43 Tahun):

“…sa sering tangkap lobster, tapi nanti ditampung dulu baru sampai banyak baru saya jual supaya untungnya lebih besar.”

7.2 Biaya Investasi

Biaya investasi merupakan biaya yang dikeluarkan oleh investor untuk membeli barang-barang yang diperlukan dalam melaksanakan suatu unit usaha. Berdasarkan hasil wawancara dengan 39 nelayan di Kampung Saporkren, kegiatan usaha penangkapan memerlukan biaya investasi yang tidak begitu besar. Biaya tersebut digunakan untuk pengadaan perahu, mesin perahu, dan kotak pendingin (cool box). Khusus bagi nelayan yang menggunakan perahu dayung tidak menginvestasikan dananya untuk pengadaan mesin.

Pada Tabel 20 disajikan komponen investasi usaha penangkapan nelayan Saporkren.

Tabel 20. Rataan Biaya Investasi Perikanan Responden menurut Jenisnya

No. Jenis Investasi Rataan Biaya Investasi

(Rp)

1. Perahu 937.500

2. Mesin 1.892.300

3. Kotak Pendingin (cool box) 138.700

(7)

Biaya investasi untuk kegiatan perikanan di Kampung Saporkren meliputi investasi untuk perahu, mesin, dan kotak pendingin. Responden penelitian ini terdiri dari 39 orang dan yang memiliki perahu bermesin berjumlah 28 orang dan 11 orang merupakan nelayan yang menggunakan perahu dayung. Hampir semua nelayan (31 orang) memiliki perahu tanpa mengeluarkan biaya atau tidak membeli, karena perahu yang dimiliki adalah perahu buatan sendiri, sedangkan sebanyak 8 orang membeli perahu dengan kisaran rata-rata biaya satu perahu adalah Rp. 937.500.

Nelayan yang memiliki mesin berjumlah 28 orang dan terdiri dari nelayan yang membeli mesin sebanyak 18 orang, sedangkan 10 orang mendapatkan mesin perahu dengan dana bantuan yang diberikan oleh Coremap II Raja Ampat. Biaya yang harus dikeluarkan oleh nelayan yang membeli mesin adalah Rp. 1.892.300, sedangkan investasi nelayan untuk kotak pendingin atau cool box tidak dimiliki oleh semua nelayan Saporkren, hanya 21 orang nelayan yang mengeluarkan biaya investasi untuk kotak dengan rataan harga per kotak adalah Rp. 138.700. Data pada tabel di atas menunjukkan secara keseluruhan total investasi dana nelayan untuk pembelian perahu, mesin, dan box ikan adalah sebesar Rp. 2.968.500.

7.3 Biaya Tetap

Biaya tetap adalah biaya yang jumlahnya tetap, tidak tergantung pada perubahan tingkat kegiatan dalam menghasilkan tingkat pengeluaran atau produk dalam interval waktu tertentu.

Tabel 21. Rataan Biaya Tetap Perikanan Responden menurut Jenisnya No. Jenis Biaya Tetap Rataan Biaya Tetap (Rp)

1. Perawatan perahu 97.900

2. Perawatan mesin 145.500

3. Alat pancing 31.700

(8)

Tabel 21 menunjukkan total biaya tetap yang dikeluarkan untuk kegiatan melaut para nelayan Saporken. Jenis biaya tetap terdiri dari tiga yaitu, biaya perawatan perahu, biaya perawatan mesin, dan biaya alat pancing untuk satu bulan.

Rataan biaya yang dikeluarkan responden untuk perawatan perahu adalah Rp.97.900, dimana biaya tersebut digunakan untuk membeli cat perahu. Dari seluruh jumlah responden yang ada, terdapat 19 orang yang melakukan pengecatan perahu sedangkan sebanyak 20 orang tanpa mengecat perahu.

Pengeluaran bagi perawatan mesin dilakukan hanya oleh responden yang menggunakan perahu bermesin dan rata-rata biaya tersebut adalah Rp.145.500 per individu. Sedangkan biaya tetap untuk kategori alat pancing dikeluarkan oleh seluruh responden dengan rataan Rp. 7.600 per individu. Perhitungan biaya tetap dilakukan saat responden menghadapi musim pancaroba yaitu pada bulan Maret sampai dengan bulan April.

7.4 Biaya Variabel

Biaya variabel adalah biaya yang jumlahnya mengalami perubahan sesuai dengan tingkat produksi yang dilakukan (Soeharto 1999 dalam Lee Won Jae 2010). Penghitungan biaya variabel nelayan Saporkren dilakukan selama sebulan peneliti berada di lapangan. Rincian biaya variabel kegiatan penangkapan nelayan Saporkren disajikan pada tabel 22.

Tabel 22. Rataan Biaya Variabel Perikanan Responden menurut Jenisnya No. Jenis Biaya Variabel Rataan Biaya Variabel (Rp)

1. BBM Perahu (bensin) 895.000 2. Rokok 285.500 3. Makan/Biskuit 234.000 4. Es 422.600 5. Oli mesin 36.400 Total 1.873.500

(9)

Jenis biaya variabel terdiri dari lima kategori yaitu BBM, rokok, makan/biskuit, es, dan oli mesin. Perhitungan biaya ini berdasarkan pengeluaran individu setiap satu bulan. Diantara kelima jenis biaya, proporsi biaya untuk pembelian BBM (bensin) lebih besar daripada biaya yang lain. Kemudian diikuti oleh pengeluaran untuk pembelian es, dimana responden biasanya menggunakan 10-20 es balok per hari. Sedangkan biaya untuk rokok dan makan berkisar pada rataan dua ratus ribu, dan biaya untuk pembelian oli adalah Rp. 36.500. Penggunaan oli adalah satu liter per satu bulan. Setiap jenis variabel dikonversi ke dalam hitungan biaya per satu bulan, misalnya biaya rokok dan makan setiap hari dikalikan dengan waktu melaut dalam satu bulan (biaya perhari x waktu tangkap dalam satu bulan). Setelah itu dikalkulasikan untuk mendapat total pengeluaran biaya variabel setiap responden.

7.5 Pendapatan dan karakteristik usaha

Perhitungan pendapatan kegiatan usaha penangkapan dilakukan dengan mengkombinasikan hasil wawancara dan hasil tangkapan yang peneliti temukan di lapangan selama sebulan, kemudian dikonversi dan disesuaikan dengan data hasil wawancara. Berdasarkan metode tersebut diperoleh kesamaan antara tingkat pendapatan berdasarkan wawancara dan hasil konversi pendapatan nelayan selama di lapangan (hasil tangkapan x harga).

Berdasarkan hasil di lapangan dimana peneliti mendatangi responden yang habis melaut dan melihat hasil tangkapan diperoleh hasil bahwa rata-rata tingkat pendapatan bersih yang diterima oleh nelayan Saporkren dalam satu bulan adalah Rp. 896.800. Saat perhitungan pendapatan ini dilakukan, nelayan menghadapi musim sedang atau pancaroba yang berada diantara bulan Maret sampai dengan bulan Juni. Perhitungan biaya dilakukan dengan menggunakan rumus total penerimaan dikurangi total biaya pengeluaran.

Keterangan : µ = Keuntungan (Rp)

TR = Total biaya penerimaan (Rp) TC = Total biaya pengeluaran (Rp)

(10)

Perhitungan pendapatan bersih nelayan dari kegiatan penangkapan ikan diperoleh dari pengurangan hasil biaya penerimaan responden dalam satu bulan (maret-april 2011) terhadap total biaya pengeluaran responden dalam satu bulan.

Tabel 23. Pendapatan Rata-rata Nelayan Per Bulan

Rata-rata per individu (Rp)

Total Reveneu (TR) 3.045.400

Total Cost (TC) 2.148.600

Profit (µ) 896.800

Tabel 23 menunjukkan data rata-rata biaya penerimaan, biaya pengeluaran, dan biaya bersih dari aktivitas nelayan dalam satu bulan. Data tersebut adalah data yang diperoleh dari penghasilan 39 responden. Secara keseluruhan biaya total penerimaan bersih dari aktivitas per individu adalah Rp.896.800 per satu bulan. Biaya yang diterima nelayan dari aktivitas melaut dalam satu bulan adalah Rp. 3.045.400, sedangkan biaya pengeluaran yang mencakup total biaya tetap dan biaya variabel dalam satu bulan adalah Rp. 2.148.600. Perhitungan tersebut berlaku saat musim pancaroba di bulan Maret hingga bulan April Tahun 2011.

Keuntungan responden dari kegiatan penangkapan ikan diperoleh dari pengurangan biaya penerimaan (jumlah tangkapan x harga jual) terhadap biaya pengeluaran untuk proses operasional saat menangkap ikan yang mencakup biaya tetap dan biaya variabel. Perhitungan biaya investasi tidak dimasukkan dalam total biaya pengeluaran karena sifatnya yang dikeluarkan tidak dalam hitungan perbulan. Melalui perhitungan tersebut diperoleh pendapatan bersih dari kegiatan menangkap ikan untuk setiap individu adalah Rp.896,800.

Perolehan rataan biaya keuntungan masing-masing responden kemudian digolongan berdasarkan struktur pendapatan. Struktur pendapatan dalam penelitian ini dikategorikan menjadi dua kategori yaitu, rendah (<rata-rata) dan tinggi (>rata-rata). Data pada gambar 16 menunjukkan penggolongan responden berdasarkan pendapatan per bulan.

(11)

Gambar 14. Penggolongan Responden menurut Tingkat Pendapatan Rata-rata Kampung Saporkren

Gambar 14 menunjukkan penggolongan hasil pendapatan responden, dimana sebanyak 7 orang tergolong pada kategori rendah dengan jumlah pendapatan bersih dari kegiatan melaut kurang dari pendapatan rata-rata (< Rp. 896.800). Sedangkan sebanyak 32 orang termasuk dalam kategori tinggi yang memiliki pendapatan lebih dari rata-rata pendapatan kegiatan melaut (> Rp.896.800).

7.6 Hubungan Penetapan DPL Terhadap Pendapatan Nelayan

Keterkaitan antara pembentukan Daerah Perlindungan Laut terhadap pendapatan nelayan dapat ditunjukkan dengan Persentase pernyataan responden menanggapi hal tersebut. Selain itu didukung pula dengan data jumlah tangkapan dan pendapatan nelayan sebelum dan setelah adanya DPL. Data jumlah tangkapan dan pendapatan nelayan sebelum penetapan DPL diperoleh dengan sistem “recall” atau daya ingat para nelayan dan diperkuat dengan data yang diperoleh oleh Coremap II saat melakukan pendataan awal pembentukan DPL terkait hasil dan jumlah tangkapan para nelayan.

Data jumlah tangkapan dan pendapatan nelayan setelah pembentukan DPL didapatkan dari hasil penelitian ini selama sebulan di lapangan dan diperkuat dengan data creel tahun lalu terkait hasil tangkapan dan penghitungan pendapatan

0 5 10 15 20 25 30 35 Rendah Tinggi Ju m lah R e sp on d e n < Rp.896.800 > Rp.896.800

(12)

nelayan yang dilakukan oleh pihak Coremap II Raja Ampat. Selain itu, diperkuat pula dengan hasil wawancara dengan responden dan informan.

7.6.1 Sebelum Penetapan DPL

Sebelum pembentukan Daerah Perlindungan Laut di Kabupaten Raja Ampat, secara khusus di Kampung Saporkren, Coremap wajib melakukan perencanaan program yang didukung oleh data dasar yaitu aspek sosial ekonomi. Untuk mendapatkan data dasar tersebut maka perlu dilakukan baseline studi social economi yang bertujuan mengumpulkan data tentang kondisi sosial ekonomi di suatu kampung tempat DPL itu dibentuk. Hasil baseline ini merupakan titik awal (T0) yang menggambarkan kondisi sosial maupun kondisi ekonomi di suatu kampung sebelum adanya DPL (Coremap 2008).

Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil studi awal kondisi ekonomi nelayan yang dilakukan oleh Coremap fase I pada awal Tahun 2007 pendapatan nelayan dari kegiatan melaut adalah Rp. 735.600 per bulan (CRITC-LIPI 2007). Perhitungan pendapatan nelayan saat itu dilakukan pada bulan Januari atau diawal Tahun 2007, artinya saat nelayan menghadapi musim gelombang lemah atau laut dalam kondisi teduh.

Menurut pendapat responden, hasil tangkapan dan pendapatan mereka sebelum adanya DPL berkisar 3-5 tali sehari (3 kg – 5 kg) untuk jenis ikan Bubara, Gutila, Lakorea, Mubara yang berukuran kecil dan sedang, sedangkan hasil tangkapan untuk ikan besar tidak tetap selalu dapat. Penerimaan rata-rata yang di dapatkan Rp.500,000. Kisaran pendapatan tersebut merupakan jawaban responden secara kualitatif dengan mengingat kembali penghasilan mereka sebelum adanya DPL, dan telah diperkirakan dengan pengeluaran untuk biaya yang harus dikeluarkan selama melaut. Seperti yang dinyatakan oleh salah satu responden, LS (45 tahun):

“…kalo dulu itu kita memang bebas menangkap ikan dimana saja kita pu mau, tapi pendapatan kalau dibandingkan dengan sekarang, mending sekarang karena bertambah, dan kalau hitung pendapatan, hitung saja satu bulan bisa dapat Rp, 1.500.000 terus dikasih keluar lagi untuk beli bensin, rokok, sama biskuit yah bisa tinggal Rp.500.000, pokoknya tinggal sedikit saja.“

(13)

7.6.2 Setelah Penetapan DPL

Coremap fase II yang telah dimulai sejak Tahun 2004 di Kabupaten Raja Ampat bertujuan menciptakan pengelolaan ekosistem terumbu karang agar sumberdaya laut dapat direhabilitasi, diproteksi, dan dikelola secara berkesinambungan yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kemiskinan. Begitupula dengan salah satu aspek yang diharapkan berpengaruh dari pembentukan DPL adalah aspek ekonomi yakni terjadinya peningkatan pendapatan penduduk dari kegiatan penangkapan ikan karena meningkatnya kuantitas ikan di daerah DPL dan menyebar ke luar DPL.

Keberadaan DPL diharapkan akan berpengaruh pada pendapatan dan hasil tangkapan nelayan di lokasi penangkapan sekitar perkampungan. Berdasarkan wawancara yang dilakukan tentang pendapatan dan hasil tangkapan nelayan, dapat dikatakan bahwa keberadaan DPL telah dapat meningkatkan pendapatan dan jumlah tangkapan nelayan. Gambar di bawah ini menunjukkan pernyataan nelayan terhadap peningkatan hasil tangkapan dan pendapatan mereka.

Gambar 15. Pernyataan Nelayan Atas Hasil Tangkapan

Gambar 15 menunjukkan pernyataan masyarakat terkait pengaruh pembentukan DPL terhadap hasil tangkapan mereka. Setelah adanya pembentukan

0,00% 10,00% 20,00% 30,00% 40,00% 50,00% 60,00% 70,00% 80,00% 90,00%

Berkurang Bertambah Sama saja

P er se nt as e

Pernyataan Nelayan Atas Hasil Tangkapan

Berkurang Bertambah Sama saja

(14)

Daerah Perlindungan Laut, nelayan mengalami perubahan wilayah tangkapan dan mempengaruhi jumlah tangkapan para nelayan. Berdasarkan hasil, ditemukan bahwa sebesar 76,9 persen responden menyatakan bahwa hasil tangkapan dan pendapatan mereka bertambah dengan adanya Daerah Perlindungan Laut. Menurut mereka, ikan di sekitar wilayah tangkapan dan terlebih khusus di sekitar perkampungan semakin banyak, sebagaimana diungkapkan oleh SM (50 tahun):

“…sekarang to ikan tambah banyak, anak-anak ikan juga semakin bertambah, apalagi di daerah yang dekat dengan DPL. Karna DPL itu tempat ikan berkembang biak, makanya ikan yang keluar juga semakin banyak, dan saya jadi mudah tangkap ikan sekarang.”

Hal senada juga diungkapkan oleh DM (42 tahun) selaku ketua LPSTK dan merangkap sebagai responden:

“…DPL ini punya konsep seperti bank ikan, artinya tempat ikan berkembang biak. Nanti kalo sudah banyak secara otomatis samua ikan da keluar trus nelayan bisa tangkap. Kalo liat sa punya pengalaman, ikan di sekitar DPL itu semakin banyak saja, itu karna ikan rasa aman tinggal di DPL.”

Daerah Perlindungan Laut dianggap menjadi lokasi ikan untuk berkembang biak atau dengan istilah nelayan Saporkren, DPL adalah tempat tabungan ikan. Secara otomatis ikan akan merasa terlindungi di dalam daerah tersebut, hal ini dikarenakan karang terjaga dan ketika ikan semakin bertambah maka ikan tersebut akan keluar dari area DPL dan berenang ke luar. DPL di Kabupaten Raja Ampat tidak hanya satu tetapi 19 DPL, dan untuk kasus Kampung Saporkren, bertambahnya jumlah pasokan ikan di laut dipengaruhi juga dengan DPL-DPL yang berada di kampung sebelah seperti Yenbeser. Kemudian sebesar 7,7 persen nelayan menyatakan bahwa hasil tangkapan mereka berkurang sejak adanya Daerah Perlindungan Laut. Menurut mereka, lokasi DPL adalah tempat mereka menangkap ikan sebelum daerah itu dilarang, dan ketika DPL dibentuk maka wilayah tangkap mereka pun berkurang atau terbatas, alhasil berpengaruh terhadap penurunan jumlah tangkapan dan pendapatan mereka. Kemudian sebesar 15,4 persen nelayan menyatakan bahwa tidak terjadi perubahan sebelum dan sesudah adanya DPL. Mereka merasa bahwa hasil tangkapan dan pendapatan

(15)

mereka sama saja dari dulu hingga sekarang, artinya bahwa tidak ada pengaruh apapun dari pembentukan Daerah Perlindungan Laut.

Peningkatan hasil tangkapan dan pendapatan nelayan setelah adanya DPL diperkuat dengan pernyataan pihak Coremap II Raja Ampat sebagai penanggung jawab dan yang telah melakukan monitoring setiap tahunnya di daerah DPL. Seperti yang dinyatakan koordinator Coremap II Raja Ampat ibu M (43 tahun):

“…DPL yang telah ada selama empat tahun sudah menyediakan suplai ikan ke luar wilayah DPL yang banyak, sehingga suplai ikan tersebut memudahkan nelayan yang menangkap di daerah luar DPL mendapatkan ikan lebih banyak dibandingkan dulu.”

Pada dasarnya prinsip yang dipegang dalam Daerah Perlindungan Laut adalah, ketika DPL dibentuk maka ikan-ikan kecil dari area yang berdekatan dari DPL akan masuk untuk mencari makan dan berkembang biak. Kemudian ikan-ikan kecil yang terbawa oleh arus selanjutnya akan menetap di area DPL dan berkembang biak. Setelah membesar dan menjadi semakin padat dengan kuantitas ikan kecil dan besar, maka tidak menutup kemungkinan ikan di dalam DPL mulai berenang ke luar dan menetap di area luar DPL yang akhirnya akan ditangkap oleh nelayan. Konsep ekologis penerapan DPL yang berlaku di Raja Ampat dapat dilihat pada gambar 16.

Sumber : DKP Raja Ampat (2009)

(16)

Berdasarkan hasil lapangan yang telah diolah, rataan penghasilan dari kegiatan penangkapan ikan para nelayan per individu adalah sebesar Rp.896.800 per bulan dengan jumlah tangkapan rata-rata 6-8 kg perhari atau 156-208 kg per bulan. Perhitungan pendapatan tersebut dilakukan saat nelayan menghadapi musim pancaroba, artinya jika musim laut teduh (musim barat) hasil tangkapan dan pendapatan bisa melebihi rataan biaya tersebut. Selain itu data terakhir yang menunjukkan pendapatan dan hasil tangkapan nelayan Saporkren adalah pada Tahun 2009 (data creel). Data creel tersebut menunjukkan grafik hasil tangkapan nelayan perbulan pada bulan Juli, Agustus, dan September 2009. Rata-rata hasil tangkapan nelayan Saporkren perbulan adalah 116,8 kg (Coremap II Raja Ampat 2009). Adapun grafik hasil tangkapan nelayan Saporkren pada Tahun 2009 sejak bulan Juli, Agustus, hingga September dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Gambar 17. Grafik Hasil Tangkapan Per bulan Nelayan Saporkren Tahun 2009

Jika dibandingkan dengan sebelum penetapan DPL, maka dapat dinyatakan bahwa penetapan DPL memberikan pengaruh yang positif terhadap hasil tangkapan dan pendapatan para nelayan. Hal ini didukung dengan perbandingan hasil tangkapan dan rata-rata pendapatan nelayan sebelum dan setelah adanya DPL. Rataan hasil tangkapan nelayan Saporkren perbulan pada Tahun 2009 adalah 116,8 kg (Coremap II 2009), sedangkan pada Tahun 2011 hasil tangkapan

0 20 40 60 80 100 120 140 H asi l T an gk ap an ( K g) Bulan

(17)

perbulan yang diperoleh berkisar antara 156-208 kg (data di lapangan). Kemudian rataan pendapatan bersih dari kegiatan penangkapan ikan sebelum adanya DPL adalah Rp.735.600 (CRITC-LIPI 2007) pada musim angin barat/laut teduh, sedangkan setelah adanya DPL pendapatan bersih yang didapatkan adalah sebesar Rp.896.800 per bulan (data dilapangan) saat nelayan menghadapi musim pancaroba, artinya pada musim laut teduh pendapatan yang diperoleh lebih besar lagi. Kesimpulannya adalah pembentukan Daerah Perlindungan Laut Yenmangkwan menjadi salah satu faktor yang berpengaruh positif terhadap peningkatan jumlah hasil tangkapan dan pendapatan nelayan Kampung Saporkren.

Gambar

Tabel 16.  Jumlah Armada Responden menurut Jenis Perahu dan Status
Tabel 23.   Pendapatan Rata-rata Nelayan Per Bulan
Gambar  14.  Penggolongan  Responden  menurut  Tingkat  Pendapatan  Rata-rata  Kampung Saporkren
Gambar 16. Konsep Ekologis DPL Raja Ampat

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan 1 Hasil belajar JPS Peserta Didik yang diajar dengan model pembelajaran kooperatif Jigsaw lebib tinggi daripada peserta didik yang diajar dengan

Apakah terdapat hubungan antara pemahaman pada prosedur pelayanan (X1) dan persepsi kemampuan kerja pegawai (X 2 ) dengan kualitas pelayanan (Y) dalam melayani

Sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah (1) mempelajari efektivitas asap cair sebagai disinfektan melalui uji aktivitas antimikroba asap cair terhadap antraknosa,

1. Divestasi yang dilakukan BUMN dan penanam modal asing memiliki kendala-kendala, yakni belum adanya suatu kriteria dalam menentukan bidang yang harus dikuasai

Menu Skenario Pengujian Hasil yang diharapkan Hasil yang didapat Kesimpulan Realisasi SKP Menginput kan kegiatan tugas jabatan, kuantitas, mutu, waktu, dan

Dalam kehidupan manusia pendidikan mempunyai peran strategis untuk membentengi peserta didik sebagai penerus bangsa, memberikan basic perilaku untuk saling menghormati

Pengamatan terhadap dinamika konsentrasi gula reduksi dari hasil hidrolisis karbohidrat yang berbeda oleh enzim kasar yang diperoleh dari cairan rumen, dengan atau tanpa