HUKUM PIDANA
HPI 10102 3 SKS
Tim Pengajar Hukum Pidana
Fakultas Hukum Uiniversitas Indonesia
KULIAH 1
• Arti dan Ruang Lingkup Hukum Pidana
Pengertian Hukum Pidana
Prof. Moeljatno
• Hukum Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yg berlaku di suatu negara, yg mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk :
1) menentukan perbuatan-perbuatan mana yg tidak boleh dilakukan, yg dilarang, dg disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tsb; Criminal Act
2) menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yg telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yg telah diancamkan ; Criminal Liability/ Criminal
Responsibility
1) dan 2) = Substantive Criminal Law / Hukum Pidana Materiil
Pengertian Hukum Pidana
Prof. Pompe
• Hukum Pidana adalah semua aturan-aturan hukum yang menentukan terhadap
perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya
Pengertian Hukum Pidana
Prof. Simons
• Hukum Pidana adalah kesemuanya perintah-perintah dan larangan-larangan yang diadakan oleh negara dan yang diancam dengan suatu nestapa (pidana) barangsiapa yang tidak
mentaatinya, kesemuanya aturan-aturan yg menentukan syarat-syarat bagi akibat hukum itu dan kesemuanya aturan-aturan untuk
Pengertian Hukum Pidana
Prof. Van Hamel
• Hukum Pidana adalah semua dasar-dasar dan aturan-aturan yang dianut oleh suatu negara dalam menyelenggarakan ketertiban hukum (rechtsorde) yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan
Pembagian Hukum Pidana
• Hukum Pidana Materiil (Hukum Pidana)
KUHP dan Sejarahnya
• Andi Hamzah - Jaman VOC
Jaman VOC
• Statuten van Batavia • Hk. Belanda kuno
• Asas2 Hk. Romawi
• Di daerah lainnya berlaku
Hukum Adat
Jaman Hindia Belanda
• Dualisme dalam H. Pidana
1. Putusan Raja Belanda 10/2/1866 (S.1866 no.55) --> Orang Eropa
2. Ordonnantie 6 Mei 1872 (S.1872) --> Orang Indonesia & Timur Asing
• Unifikasi :
Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch - Indie
- Putusan Raja Belanda 15/10/1915 Berlaku 1/1/1918 disertai
Jaman Jepang
• WvSI masih berlaku
• Osamu Serei (UU) No. 1 Tahun 1942, berlaku 7/3/1942
• H. Pidana formil yang
Jaman Kemerdekaan
• UUD 1945 Ps. II Aturan Peralihan
Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih berlaku selama belum
Jaman Kemerdekaan
• UU No. 1 Tahun 1946 : Penegasan tentang Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia
• Berlaku di Jawa-Madura (26/2/1946)
• PP No. 8 Tahun 1946 : Berlaku di Sumatera
• UU No. 73 Tahun 1958 : “ Undang-undang tentang
SUMBER-SUMBER HUKUM PIDANA DI
INDONESIA
• KUHP (beserta UU yang
mengubah & menambahnya)
• PerUU Pidana (perUU Hk Pidana ?) di luar KUHP
• Ketentuan Pidana dalam
KUHP
• Buku I : Ketentuan Umum (ps 1 – ps 103)
Pasal 103 Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku I juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam
dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain
• Buku II : Kejahatan (ps 104 – 488)
Beberapa UU yang mengubah KUHP (1)
UU No.1/1946 : berlakunya KUHP, perubahan beberapa istilah, penghapusan beberapa pasal, penambahan pasal-pasal baru : Bab IX - XVI
UU No. 20/1946 : tambahan jenis pidana Ps 10 a KUHP --> pidana Tutupan
UU drt No. 8/1955 : menghapus Ps 527
UU No. 73/1958 : menyatakan UU No. 1/1946 berlaku di seluruh Indonesia, tambahan Ps 52a, 142a, 154a
Beberapa UU yang mengubah KUHP (2)
• Perpu No. 16/1960 : penambahan nilai terhadap beberapa kejahatan ringan : Ps 364, 373, 379, 384, 407 (1)
• Perpu No. 18/1960 : pidana denda dilipatgandakan 15 X
(ditetapkan mjd UU melalui UU No. 1/1961-check) • UU No. 1/PNPS/1965 : tambahan Ps 156 a
• UU No. 7/1974 : tambahan sanksi untuk judi Ps 303 menjadi 10 juta & denda 25 juta, Ps 542 (1) menjadi Kejahatan, Ps 303 bis pidana menjadi 4 tahun, denda 10 juta.
• UU No. 4/1976 perubahan dan penambahan tentang
Kejahatan penerbangan : Ps 3, Ps 4 angka 4, Ps 95a, 95b,95c, Bab XXIX A.
UU Hukum Pidana di luar KUHP
• UU Pemberantasan T.P. Korupsi, UU No.
31/1999 sebagai mana diubah oleh UU No. 20/2001
• UU Tindak Pidana Ekonomi, UU No.7/drt/1955 • UU 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme
Contoh UU non hukum pidana yang memuat sanksi pidana
Hukum Pidana Umum & Khusus
Dasar Pembedaan ??? Hukum Pidana Umum Hukum Pidana KhususSubyek H.Pidana non militer H. Pidana militer
Substansi KUHP & UU yg mengubah TPE, TPK, TPS, H.Pid. militer, H.Pid. Fiskal
Tempat pengaturan ???
UU Hukum Pidana yg. Berlaku umum (KUHP, TPE,TPK, TPS, dll)
KULIAH 2
Pasal 1 KUHP
(1) Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan
perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya.
(2) Jika ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan
ASAS YG TERCAKUP
DLM PASAL 1 (1) KUHP
• Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege
poenali :
• Tiada delik, tiada hukuman tanpa suatu peraturan yg terlebih dahulu menyebut
perbuatan yang bersangkutan sebagai suatu delik dan yang memuat suatu hukuman yg dapat dijatuhkan atas delik itu
Asas legalitas mengandung 3 prinsip:
1. Aturan hukum pidana harus tertulis 2. Larangan berlaku surut
1.
Aturan hukum pidana harus tertulis (lex scripta)• Aturan hukum pidana harus mrpkn atauran yg dibuat oleh badan legislatif (produk legislatif) • Produk legislatif yg dimaksud adl dlm bentuk
UU atau Perda
• Aturan tsb harus jelas rumusannya (lex certa) dan tdk multi tafsir
• Hukum adat ? Merupakan pengecualian ?
2. LARANGAN BERLAKU SURUT (non retroaktif)
• Undang-undang pidana berjalan ke depan dan tidak ke belakang :
X
mundur (ke belakang) harus ke depan (maju)(Dilarang) --- UU Pidana ---
Teori2 Tempus Delicti
1. Teori Perbuatan fisik (de leer van de lichamelijke daad)
2. Teori bekerjanya alat yg digunakan (de leer van het instrument)
Tempus delicti penting diketahui
dalam hal2 :
• Kaitannya dg Ps 1 KUHP
• Kaitannya dg aturan tentang Daluwarsa • Kaitannya dg ketentuan mengenai pelaku
Larangan berlaku surut dalam berbagai ketentuan selain yang diatur dalam Ps. 1 ayat (1) KUHP
Internasional:
• Ps 15 (1) ICCPR: hukum tidak berlaku surut • Ps 15 (2) ICCPR pengecualian, untuk
kejahatan menurut hukum kebiasaan international: boleh berlaku surut • Ps 22, 23, dan 24 ICC (Statuta Roma)
Nasional
• Ps 28i UUD 1945
Ps 28i UUD 1945
UU No. 39/ 1999 ttg HAM
• Ps 18 (2)
Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali
berdasarkan suatu
peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana itu dilakukan
• Ps 18 (3)
Setiap ada perubahan dalam peraturan
perundang-undangan maka berlaku ketentuan yang paling
Pengecualian Larangan Berlaku Surut
• Ps 1 ayat (2) KUHP dalam hal tjd perubahan UU yg
meringankan bagi tdkw, digunakan UU yg baru
• Ps 43 UU No. 26 Tahun 2000 (UU Pengadilan HAM) diperlukan syarat2 ttt, al: pembentukan pengadilan HAM ad hoc dgn persetujuan DPR
• Perpu 1/2002 & 2/2002 UU 15/2003 (UU
UU No. 26/ 2000 ttg Pengadilan HAM
(bisa berlaku surut )
(1) Pelanggaran hak asasi manusia yg. Berat yg. terjadi sebelum diundangkannya UU ini,
diperiksa dan diputus oleh pengadilan HAM ad hoc. (2) Pengadilan HAM ad hoc
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul DPR Indonesia berdasarkan
peristiwa tertentu dg. Keputusan presiden.
Penjelasan Ps 43 (2)
“Dalam hal DPR Indonesia mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc, DPR Indonesia mendasarkan pada dugaan telah terjadinya
pelanggaran HAM yang berat yg dibatasi pada locus dan tempus delicti tertentu yg terjadi sebelum
UU Pemberantasan TP Terorisme
dan Putusan MK
3. Larangan penggunaan analogi
1. Penafsiran diperbolehkan dalam
hukum pidana karena diperlukan utk
memahami UU hukum pidana yang
tidak selalu jelas rumusannya
2. Analogi tdk diperbolehkan krn analogi
bukan penafsiran melainkan metode
konstruksi
Penafsiran Ekstensif Vs Analogi ?
• Putusan HR 23 Mei 1921 (kasus pencurian listrik di Gravenhage)
• Putusan Rechtbank Leeuwarden, 10 Des 1919 (pencurian sapi)
Pendapat Scholten
(dan juga Utrecht)
• Pada hakekatnya tidak ada perbedaan antara penafsiran ekstensif dan analogi. Dalam kedua hal itu hakim membuat konstruksi , yaitu membuat (mencari) suatu pengertian
hukum yang lebih tinggi. Hakim membuat suatu kaidah yang lebih tinggi dan yang dapat dijadikan dasar beberapa
ketentuan yang mempunyai kesamaan.
Mis.
• Mengambil = mengadakan suatu perbuatan yang bermaksud
Pendapat Scholten
(
dan Utrecht)• PENAFSIRAN EKSTENSIF Hakim meluaskan
lingkungan kaidah yang lebih tinggi sehingga perkara yang
bersangkutan termasuk juga di dalamnya
• ANALOGI
Pasal 1 Ayat (2) KUHP
1. UU dimungkinkan utk berlaku surut
2. 3 syarat memberlakukan surut suatu UU a. terjadi perubahan UU
b. perubahan tjd setelah tindak pidana dilakukan
Pasal 1 ayat (2) KUHP
-+---+---+---->
UU Perbuatan Perubahan UU
• Apa yg dimaksud dgn
Perubahan UU
?Teori : (1) Teori formil (2) Teori materiil terbatas (3) Teori materiil tidak terbatas
•Apa yg dimaksud dgn
Paling
Yg menguntungkan bg TSK/TDKW
• Hal ini tidak dapat ditentukan sec. Umum (in abstracto), dan hanya dapat ditentukan untuk masing2 perkara sendiri (in concreto). Yang menguntungkan bagi TSK/TDKW:
sanksi menjadi lebih ringan, diubah menjadi delik aduan, unsur- unsur pokok delik menjadi lebih banyak (ditambah)
Perubahan UU yg dimaksud
Pasal 1 ayat (2) KUHP
• Teori Formil :Ada perubahan undang kalau redaksi undang-undang pidana berubah (Simons)
ditolak oleh Putusan HR 3 Des 1906 , kasus ps 295 sub 2 KUHP, batas dewasa 23 21 tahun dlm BW
• Teori Materiil Terbatas : Tiap perubahan sesuai dg suatu perubahan perasaan (keyakinan) hukum pada pembuat undang-undang (jadi tidak boleh diperhatikan perubahan keadaan karena waktu)
Perubahan kesadaran/perasaan hukum
• Menjadi tidak dapatnya dihukum suatu perbuatan
• Menjadi dapat dihukumnya suatu perbuatan • Diperberat/diperingan pidana atas suatu
perbuatan.
Perubahan UU terjadi setelah
tindak pidana dilakukan
Yang harus diperhatikan:
1. Waktu terjadinya tindak pidana (tempus delictie)
Berlakunya Hukum Pidana
menurut Tempat
Untuk mengetahui hukum pidana negara
mana yang digunakan: hukum pidana
Asas2 Berlakunya Hukum Pidana menurut tempat(1)
Indonesia menganut asas2 di bawah dibuktikan dgn dasar hukum yg terdapat dalam KUHP:
• Asas Teritorialitas/ wilayah :
Ps 2 --> Ps 3 KUHP --> Ps 95 KUHP , UU No 4/1976
• Asas Nasionalitas Pasif/ perlindungan : Ps 4 :1,2 dan 4 --> Ps 8 KUHP , UU No. 4/1976 , Ps 3 UU No. 7/ drt/ 1955 Lihat Ps 16 UU 31/1999
• Asas Personalitas/ Nasionalitas Aktif : Ps 5 KUHP --> Ps 7 KUHP --> Ps 92 KUHP • Asas Universalitas :
Ps 4 :2 , Ps 4 sub 4 , Ps 1 UU 4/ 1976
Asas-asas Berlakunya Hukum Pidana Menurut Tempat
1. Asas teritorial/wilayah
berlakunya hukum pidana sesuai tempat terjadinya tindak pidana
Pasal 2 dan 3 KUHP
– KUHP Indonesia
– TP terjadi di Indonesia – Pelaku WNA/WNI
UU No.43/2008 tentang Wilayah Negara
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut dengan Wilayah
Negara adalah salah satu unsur negara yang merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang udara di atasnya,
Batas Wilayah
Pasal 5
• Batas Wilayah Negara di darat, perairan, dasar laut dan tanah di bawahnya serta ruang udara di atasnya ditetapkan atas dasar perjanjian bilateral dan/atau trilateral mengenai batas darat, batas laut, dan batas udara serta berdasarkan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.
Pasal 6
• (1) Batas Wilayah Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, meliputi:
a. di darat berbatas dengan Wilayah Negara: Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste;
• b. di laut berbatas dengan Wilayah Negara: Malaysia, Papua Nugini, Singapura, dan Timor Leste; dan
• c. di udara mengikuti batas kedaulatan negara di darat dan di laut, dan batasnya dengan angkasa luar ditetapkan berdasarkan perkembangan hukum internasional. • (2) Batas Wilayah Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk titik-titik
koordinatnya ditetapkan berdasarkan perjanjian bilateral dan/atau trilateral. • (3) Dalam hal Wilayah Negara tidak berbatasan dengan negara lain, Indonesia
Asas-asas Berlakunya Hukum Pidana
2. Asas Nasionalitas Aktif/Personalitas Pasal 5 – 6 (perluasan Ps. 5) & 7 KUHP
– KUHP Indonesia
– TP terjadi di luar Indonesia
Asas-asas Berlakunya Hukum Pidana
3. Asas Nasionalitas Pasif/Perlindungan Pasal 4 dan 8 KUHP
– KUHP Indonesia
– TP terjadi di mana saja (di luar Ind) – Pelaku WNA/WNI
4. Asas universal
• Ps 4 :2 , Ps 4 sub 4 , Ps 1 UU 4/ 1976
“melakukan kejahatan ttg mata uang, uang kertas negara atau uang kertas Bank”
• Untuk melindungi kepentingan dunia
Teori2 Locus Delicti
1. Teori Perbuatan fisik (de leer van de lichamelijke daad)
2. Teori bekerjanya alat yg digunakan (de leer van het instrument)
Locus delicti penting diketahui dalam
hal2 :
• Hukum pidana mana yang akan diberlakukan? - Hukum Indonesia atau Hukum negara lain
• Kompetensi relatif suatu pengadilan
Teori mana yg dipilih ?
• Van Hamel, Simons :
Bergantung sifat dan corak perkara konkret yang hendak diselesaikan • Hazewinkel-Suringa, Zevenbergen,
Noyon-Langemejer :
Mempergunakan 3 teori secara teleologis
Surabaya Semarang Cirebon ---- racun --> ----diminum ---> --- mati
A --> B B B
• Meervoudige locus delicti
Asas2 berlakunya H. Pidana : Beberapa masalah
• Kapal :
a) kapal Indonesia b) kapal perang c) kapal dagang
• Prinsip ius passagii innoxii (thdp kapal, maka berlaku hk pidana di wilayah mana kapal melintas/lewat)
• Asas Universalitas :
- Kejahatan Terorisme ? - Kejahatan HAM berat ?
Asas2 Berlakunya H. Pidana : Pengecualian (2)
• Ps 9 KUHP : Hukum publik internasional membatasi berlakunya Ps 2,3,4,5, 7, dan 8 KUHP
• Termasuk yg memiliki imunitas h.pidana : Sesuai perjanjian Wina 18/4/1961
• Yg memiliki imunitas :
1) Kepala-kepala negara & keluarganya (sec. resmi, bukan incognito/singgah)
2) Duta negara asing & keluarganya --> konsul : tergantung traktat antar negara.
3) Anak buah kapal perang asing : termasuk awak kapal terbang militer
• Menurut perjanjian Wina 18/4/1961, maka keluarga termasuk memiliki
imunitas (hak eksteritorial)
• Untuk ketua organisasi internasional biasanya dilindungi (tergantung
KULIAH 3
• Istilah • Definisi
• Cara Merumuskan Tindak Pidana • Subjek Tindak Pidana
Tindak Pidana
Istilah
• Tindak pidana • Perbuatan pidana • Peristiwa pidana • Strafbaar feit • Delict / Delik • Criminal act • JinayahApa alasan dan implikasi penggunaan istilah tindak
Tindak Pidana
Definisi
Simons : “kelakuan yg diancam dg pidana, yg bersifat
melawan hukum yg berhubungan dg kesalahan & dilakukan oleh orang yg mampu bertanggung jawab”
Van Hamel : “kelakuan manusia yg dirumuskan dalam UU, melawan hukum, yg patut dipidana & dilakukan dg kesalahan”
Vos : “suatu kelakuan manusia yg oleh per UU an diberi pidana; jadi suatu kelakuan manusia yg pada umumnya dilarang & diancam dengan pidana”
Aliran Monistis ………...
Aliran Monistis
• Tidak memisahkan antara perbuatan dan pertanggungjawaban
Aliran Dualistis
• Memisahkan secara tegas antara perbuatan (pidana) dan
pertanggungjawaban pidana
TINDAK PIDANA:
Pada dasarnya ada 3 cara merumuskan Tindak Pidana
• Disebutkan unsur-unsurnya & disebut kualifikasinya (namanya) --> mis, Ps 362 KUHP
• disebutkan kualifikasinya tanpa disebut unsur-unsurnya --> mis. Ps 184, Ps 297, Ps 351
Subjek Tindak Pidana
Manusia (natuurlijk persoon)
a) Cara merumuskan “Barangsiapa ….”
b) Hukuman : mati, penjara, kurungan (Ps 10 KUHP),
hanya dapat dikenakan pada manusia
c) Pertanggungjawaban pidana disandarkan pada kesalahan, yang hanya mungkin dimiliki oleh manusia (orang)
Korporasi
adanya kebutuhan untuk memidana korporasi:
• R-KUHP, UU Hk. Pidana Khusus dan UU non H. Pidana, korporasi:
- Badan Hukum
- Bukan badan hukum
Unsur-Unsur Tindak Pidana
• Unsur2 dalam perumusan
A. Unsur Obyektif
- perbuatan (aktif/pasif) atau akibat
- melawan hukum B. Unsur Subyektif -Manusia (pelaku) - kesalahan :
(a) kesengajaan; atau (b) kealpaan
C. Keadaan
D. Syarat tambahan untuk pemidanaan
• Unsur2 di luar perumusan
- melawan hukum (materil) - Kesalahan dalam arti materiil
dapat dipersalahkan (dicela) sehingga dapat
dipertanggungjawabkan
Apa gunanya unsur (tertulis) ?
Secara umum:
• Untuk memberikan ciri/kekhasan antara satu delik dgn delik lainnya
• Untuk pembeda suatu delik dgn delik2 yang lain
Tindak Pidana
Unsur-unsur (van Bemmelen)
• Di dalam perumusan (bagian) • dimuat dalam surat dakwaan
• semua syarat yg dimuat dalam rumusan delik
merupakan bagian-bagian, sebanyak itu pula, yang apabila dipenuhi membuat tingkah laku menjadi tindakan yang melawan hukum
1. Tingkah laku/akibat yang dilarang /diharuskan (Bagian Obyektif)
2. Bagian yang terkait dengan bagian obyektif: melawan hukum
3. Manusia/pelaku (Bagian subyektif)
4. Bagian yang terkait dengan pelaku: kesalahan (kesengajaan atau kealpaan)
5. Keadaan (keterangan mengenai bagian obyektif atau bagian subyektif)
6. Syarat tambahan untuk pemidanaan
4. Bagian yg dapat memperberat/memperingan
pidana
• Di luar perumusan (unsur) : syarat dapat dipidana
1. Melawan hukum (materil) 2. Dapat dipersalahkan (dicela)
sehingga dapat
dipertanggungjawabkan
Contoh unsur2 dalam rumusan tindak
pidana
Pasal 362 KUHP • barangsiapa • mengambil • barang - yg sebagian/ seluruhnya kepunyaan orang lain• dengan maksud memiliki • secara melawan hukum
Pasal 338 KUHP • barangsiapa
• dengan sengaja
Contoh unsur dalam rumusan tindak pidana
Pasal 285
• barangsiapa
• dengan kekerasan atau • ancaman kekerasan
• memaksa
• seorang wanita
KULIAH 4
Tindak Pidana
Pembagian Tindak Pidana (Jenis Delik)
• Delik Kejahatan & Delik pelanggaran • Delik Materiil & Delik Formil
• Delik Komisi & Delik Omisi • Delik Dolus & Delik Culpa • Delik Biasa & Delik Aduan
• Delik yg Berdiri sendiri & Delik Berlanjut • Delik Selesai & Delik yg diteruskan
• Delik Tunggal & Delik Berangkai
• Delik Sederhana & Delik Berkualifikasi; Delik Berprivilege • Delik Politik & Delik Komun (umum)
• Delik Propia & Delik Komun (umum)
Jenis Delik
Kejahatan (misdrijf)
dlm. MvT : sebelum ada UU sudah dianggap tidak baik (recht-delicten)
Hazewinkel-Suringa : tidak ada perbedaan kualitatif,
hanya perbedaan kuantitatif a) Percobaan : dipidana
b) Membantu : dipidana c) Daluwarsa : lebih panjang d) Delik aduan : ada
e) Aturan ttg Gabungan berbeda
KUHP : Buku II
Pelanggaran (overtreding)
dlm MvT : baru dianggap tidak baik setelah ada UU (wet delicten)
Perbedaan dg kejahatan:
a) Percobaan : tidak dipidana b) Membantu : tidak dipidana c) Daluwarsa : lebih pendek d) Delik aduan : tidak ada
e) Aturan ttg Gabungan berbeda
Jenis Delik
D. Materiil : Yang
dirumuskan akibatnya Ps 338, 368, Ps 187, dll Perhatikan dgn seksama
unsur2 dalam pasal dlm
menentukan delik materiil dan delik formil, krn sering terjadi kerancuan. Secara sekilas spt delik formil tp ternyata delik materiil atau sebaliknya
D. Komisi : melanggar
larangan dg perbuatan aktif
D. Dolus : delik dilakukan dg sengaja, mis. Ps 338, Ps 310, Ps 368
D. Formil : yang dirumuskan
bentuk perbuatannya --> Ps 362, Ps 263, dll
D. Omisi : melakukan delik dg perbuatan pasif
a) D. Omisi murni : melanggar perintah dg tidak berbuat, mis. Ps 164, Ps 224 KUHP
b) D. Omisi tak murni : melanggar larangan dg tidak berbuat, mis Ps 194 KUHP
Delik Pro Parte Dolus Pro Parte Culpa
• Delik yang dalam perumusannya sekaligus
mencantumkan unsur kesengajaan dan unsur kealpaan
Jenis Delik
Delik Biasa (bukan aduan)
• penuntutannya tidak
memerlukan pengaduan, mis. Ps 340, Ps 285
• Cukup dengan laporan dari setiap orang yang melihat/ mengetahui tindak pidana tsb., tidak harus dengan
pengaduan dari korban atau orang2 tertentu Delik Aduan • penuntutannya memerlukan pengaduan, mis. Ps 310, Ps 284, Ps 367 (2)
Delik Aduan
• Ada 2 jenis:
1. Delik Aduan Absolut 2. Delik Aduan Relatif
Ad.1. Delik Aduan Absolut:
Delik yang pada hakekatnya/mutlak memerlukan pengaduan untuk penuntutannya
Mis. Ps. 284
2. Delik Aduan Relatif:
Delik Berdiri Sendiri
• Terdiri atas satu delik yang berdiri sendiri
• Untuk pemidanaannya tidak perlu menggunakan ketentuan tentang gabungan TP; tinggal melihat berapa ancaman
pidana dari Pasal yang dilanggar
Delik Berlanjut
• Terdiri atas dua atau lebih delik, yang karena kaitannya yang erat mengakibatkan dikenakan satu sanksi kepada terdakwa
Delik Berlanjut
• Masih menjadi perdebatan apakah delik berlanjut (voortgezette delict) sama dengan perbuatan berlanjut (voortgezette handeling) • Sebagian sarjana (termasuk Utrecht) menyamakan voortgezette
delict dengan voortgezette handeling) dan untuk pemidanaannya memakai ketentuan Pasal 64 KUHP, dengan syarat:
• Perbuatan –perbuatan timbul dari 1 kehendak • Perbuatannya harus sejenis
Delik Selesai
• Satu atau beberapa
perbuatan tertentu yang selesai dalam suatu waktu tertentu yang singkat
• Mis: Pasal 362, Pasal 338
Delik Berlangsung terus
• satu atau beberapa perbuatan yang melangsungkan suatu
keadaan yang dilarang
Delik Tunggal
• Delik di mana untuk dapat dipidananya si pelaku
maka ybs. cukup
melakukan perbuatan tersebut sebanyak satu kali
• Mis: Pasal 362, Pasal 338
Delik Berangkai
• Delik di mana untuk dapat
dipidananya si pelaku maka ybs. harus melakukan perbuatan
tersebut beberapa kali (berulang-ulang, berturut-turut)
• Karena harus dilakukan
berulang-ulang: bisa berupa pencaharian atau kebiasaan (sebagai unsur yang
menentukan untuk dipidananya pelaku)
Delik Pokok/sederhana
• Delik yang dalam
perumusannya mencantumkan unsur2 pokok yang
menentukan pemidanaannya Pasal 362, Pasal 351 ayat (1)
• Delik Berkualifikasi
Delik pokok yang ditambah dengan unsur yang
memperberat pemidanaan mis: Pasal 351 ayat (2), Pasal
363, Pasal 365 ayat (4)
• Delik Berprevilege
Delik pokok yang ditambah dengan unsur yang meringan pemidanaan
Delik Politik
• Delik yang mengandung unsur politik
Mis: Makar untuk
menggulingkan pemerintah (Pasal 107), makar untuk membunuh kepala negara (Pasal 104)
Delik Komuna (bukan delik politik)
• Delik yang tidak mengandung unsur politik
Mis: pembunuhan orang
Delik Propria
• Delik yang hanya dapat dilakukan oleh orang2
tertentu (subjeknya adalah orang-orang tertentu)
• Mis: Pasal 308, Pasal 346, Pasal 449
Delik Komuna
• Delik yang dapat dilakukan oleh setiap orang
• Cirinya: Subjeknya adalah “barang siapa“
KULIAH 5
KAUSALITAS
1. Pengertian ?
2. Kapankah diperlukan ajaran kausalitas ? 3. Ajaran Kausalitas ?
Ilustrasi :
B pinjam uang ke rumah A, karena kedatangan B, maka A
terlambat ; karena terlambat A mengendarai mobil dengan
kecepatan tinggi; A menubruk C sehingga luka-luka; C dibawa ke RS dan dioperasi oleh dokter D; D meminta E merawat
Pengertian Kausalitas
• Hal sebab-akibat
• Hubungan logis antara sebab dan akibat • Persoalan filsafat yang penting
• Setiap peristiwa selalu memiliki penyebab sekaligus menjadi sebab peristiwa lain
• Sebab dan akibat membentuk rantai yang bermula di suatu masa lalu
• Yang menjadi fokus perhatian ahli hukum pidana (bukan makna di atas), tetapi makna yang dapat dilekatkan pada
pengertian kausalitas agar mereka dapat menjawab persoalan siapa yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas suatu
Pengertian Ajaran Kausalitas
• Ajaran yang berupaya untuk mencari sebab dari timbulnya akibat
• Dalam hukum pidana, sebab yang dicari adalah suatu perbuatan
Kapankah diperlukan ajaran Kausalitas/ Jenis delik apa yang memerlukan ajaran kausalitas?
• Delik Materiil : Delik yang perumusannya melarang
timbulnya akibat. Delik ini selesai ketika akibat timbul. mis. Ps. 338, Ps 359, Ps 360, Ps. 368
• Delik Omisi tak murni/semu (delicta commissiva per
omissionem/ Oneigenlijke Omissiedelicten) : Delik yang terjadi dengan dilanggarnya suatu larangan yang
menimbulkan akibat yang dilakukan dengan perbuatan pasif. Ps. 194 KUHP
Ajaran Kausalitas
• Conditio Sine Qua Non/ Ekuivalensi (Von Buri) • Teori-teori Individualisasi / Causa Proxima :
Birkmeyer , Mulder
• Teori-teori menggeneralisasi : teori Adekuat (Von Kries, Simons, Pompe, Rumelin)
Ajaran Conditio Sine Qua Non
• Semua faktor yaitu semua syarat, yang turut serta menyebabkan suatu akibat dan yang
tidak dapat dihilangkan dari rangkaian faktor-faktor ybs. Harus dianggap causa (sebab)
akibat itu.
• Semua syarat nilainya sama (ekuivalensi) • Ada beberapa sebab
Pembatasan Ajaran Von Buri
• Pembatasan ajaran Von Buri oleh Van Hamel [dibatasi dg ajaran kesalahan (dolus/culpa)] • Pengkesampingan semua sebab yang terletak
di luar dolus atau culpa; dalam banyak
Teori-teori Individualisasi /
Causa Proxima
• Birkmeyer :
Teori ini berpangkal dari teori Conditio Sine Qua Non .
Di dalam rangkaian syarat-syarat yang tidak dapat
dihilangkan untuk timbulnya akibat, lalu dicari syarat manakah yang dalam keadaan tertentu itu, yang
paling banyak membantu untuk terjadinya akibat.
Teori-teori menggeneralisasi
Von Bar
Teori Von Bar ini tidak menyoal tindakan mana atau kejadian mana yang in concreto
memberikan pengaruh (fisik/psikis) paling
menentukan. Yang dipersoalkan adalah apakah satu syarat yang secara umum dapat dipandang mengakibatkan terjadinya peristiwa seperti yang bersangkutan mungkin ditemukan dalam
Teori-teori menggeneralisasi
Von Kries (Teori Adequat Subjectif)
Sebab adalah keseluruhan faktor positif & negatif yang tidak dapat
dikesampingkan tanpa sekaligus meniadakan akibat. Namun pembatasan demi kepentingan penetapan pertanggungjawaban pidana tidak dicari dalam nilai kualitatif/kuantitatif atau berat/ringannya faktor dalam situasi konkret, tetapi dinilai dari makna semua itu secara umum, kemungkinan dari faktor-faktor tersebut untuk memunculkan akibat tertentu.
Sebab = syarat-syarat yang dalam situasi dan kondisi tertentu memiliki kecenderungan untuk memunculkan akibat tertentu, biasanya
memunculkan akibat itu, atau secara objectif memperbesar kemungkinan munculnya akibat tersebut.
Apakah suatu tindakan memiliki kecenderungan memunculkan akibat tertentu hanya dapat diselesaikan apabila kita memiliki 2 bentuk
pengetahuan :
(a) hukum umum probabilitas dalam peristiwa yg terjadi / pengetahuan Nomologis yg memadai
Teori-teori menggeneralisasi
• Rumelin (Teori Adequat Objectif) :
Faktor yang ditinjau dari sudut objektif , harus (perlu) ada untuk terjadinya akibat. Ihwal probabilitas tidak berdasarkan pada apa yang diketahui atau mungkin diketahui pada waktu melakukan tindakannya, melainkan pada fakta yang objektif pada waktu itu ada, entah diketahuinya atau tidak – jadi pada apa yang kemudian terbukti merupakan situasi dan kondisi yang melingkupi peristiwa tersebut.
• Simons :
Sebab adalah tiap-tiap kelakuan yang menurut garis-garis umum pengalaman manusia dapat menimbulkan akibat
• Pompe :
Teori Relevansi
• Langemeijer
Sifat Melawan Hukum
(Wederrechtelijkheid)
• Arti :
- tanpa hak sendiri (zonder eigen recht)
- bertentangan dg hak orang lain (tegen eens anders recht) - tanpa alasan yg wajar
Alasan Pencantuman unsur Melawan Hukum
• Pada umumnya dalam perundang-undangan , lebih banyak delik yang tidak memuat unsur melawan hukum dalam rumusannya
• Alasan pencantuman sifat melawan hukum dalam perumusan tindak pidana :
AJARAN SIFAT MELAWAN HUKUM
• Melawan hukum :
- aliran formil : melawan hukum = melawan UU, sebab hukum adalah UU.
- aliran materiil : melawan hukum adalah perbuatan yg oleh masyarakat tidak
Perbedaan Ajaran Materiil dan
Formil
AJARAN FORMIL
melawan hukum tidak selalu menjadi unsur delik, hanya jika dalam rumusan delik disebutkan dengan nyata-nyata barulah
menjadi unsur delik
hanya mengakui pengecualian yang tersebut dalam undang-undang saja/ mis, Ps. 49.
AJARAN MATERIIL
melawan hukum adalah unsur mutlak dari tiap-tiap tindak pidana, juga bagi yang dalam rumusannya tidak menyebut unsur tersebut
Pembuktian Unsur Melawan Hukum
• Dengan mengakui bahwa sifat melawan hukum selalu
menjadi unsur delik, ini tidak berarti bahwa karena itu harus selalu dibuktikan adanya unsur tersebut oleh penuntut
umum
• Soal apakah harus dibuktikan atau tidak, adalah tergantung dari rumusan delik. Bila unsur tersebut tercantum dlm
rumusan pasal, maka hrs dibuktikan, sedangkan jika tidak tercantum maka tidak perlu dibuktikan.
KULIAH 6
Pengantar
• Kesalahan merupakan unsur yg melekat pada pelaku tindak pidana
• 4 pengertian kesalahan • Bentuk-bentuk kesalahan
Pengertian Kesalahan
• Ada 4 pengertian kesalahan (Utrecht):
1.Kesalahan sebagai unsur delik; dalam arti kumpulan (nama generik) yang mencakup dolus dan culpa
2.Kesalahan dalam arti pertanggungjawaban pidana: ketercelaan (verwijtbaarheid)
• 3. Kesalahan dalam arti bentuk khusus, yang hanya berupa culpa
• 4. Kesalahan yang digunakan dalam
rumusan delik untuk menetapkan bahwa pidana dapat diancamkan pada pelaku yang bersalah karena telah melakukan tindakan tertentu; mis. Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain dipidana karena bersalah
Kesalahan sebagai Unsur Delik
Dolus/ opzet/ sengaja
• Apakah sengaja itu ?
Sengaja = willen (menghendaki) en weten (mengetahui) (MvT- 1886)
• Teori2 “sengaja” :
(a) teori kehendak (wils theorie)
“ opzet ada apabila perbuatan & akibat suatu delik dikehendaki si pelaku”
(b) teori bayangan (voorstellings-theorie)
“opzet ada apabila si pelaku pada waktu mulai melakukan perbuatan, ada bayangan yg terang bahwa akibat yg
Dolus/ opzet/ sengaja
istilah2 dalam rumusan tindak pidana
• Dengan sengaja : Ps 338 KUHP
• Mengetahui bahwa : Ps 220 KUHP • tahu tentang : Ps 164 KUHP
• dengan maksud : Ps 362, 378, 263 KUHP • niat : Ps 53 KUHP
• dengan rencana lebih dahulu : Ps 340, 355 KUHP
- dengan rencana : (a) saat pemikiran dg tenang ; (b) berpikir dg tenang; ( c ) direnungkan lebih dahulu. - ada tenggang waktu antara timbulnya niat dengan
Bentuk-Bentuk Dolus
1. Dolus sebagai maksud /tujuan (als oogmerk) 2. Dolus dengan kesadaran/keinsyafan kepastian
(noodzakelijkheidsbewustzijn)
3. Dolus dengan kesadaran/keinsyafan kemungkinan
(opzet met waarschijnlijkheids bewustzijn/ awareness of probability)
4. Dolus eventualis (kesengajaan bersyarat; opzet met mogelijkheidsbewustzijn/voorwaardelijk
opzet/awareness of possibility)
• Ada sarjana yang membedakan bentuk-bentuk dolus menjadi 3 macam,yaitu: sebagai maksud, berkeinsyafan kepastian dan berkeinsyafan
kemungkinan (misalnya PAF Lamintang, Tresna, Moeljatno)
• Mereka menyamakan dolus eventualis dengan kesengajaan dengan keinsyafan kemungkinan
• Dolus eventualis merupakan perkembangan dalam hukum pidana, khususnya dalam hal bentuk-bentuk kesengajaan dan HR Belanda baru menerima
kesengajaan bentuk ini setelah PD II
Bentuk-bentuk kesengajaan
• Sengaja sebagai maksud/ tujuan :
- apabila pembuat menghendaki perbuatan dan/akibat perbuatannya;
- tidak dilakukan perbuatan itu jika pembuat tahu akibat perbuatannya tidak terjadi
• Sengaja sebagai keinsyafan kepastian :
- pembuat yakin bahwa akibat yg dimaksudkannya tidak akan tercapai tanpa terjadinya akibat yg tidak dimaksud
• Sengaja sebagai keinsyafan kemungkinan:
- pembuat sadar bahwa mungkin akibat yg tidak dikehendaki akan terjadi untuk mencapai akibat yg dimaksudnya
Dolus eventualis
• Pelaku dengan kehendak dan kesadaran
menerima kemungkinan munculnya akibat
yang buruk.
• Di Jerman disebut billigend in Kauf nehmen: menerima penuh risiko terwujudnya sesuatu kemungkinan
• Contoh: metro mini maut di Jakarta Utara, naik kuda di jalan ramai di kota London,
Arti “dan” diantara unsur dengan sengaja & unsur melawan hukum
• Van Hamel, simons, pompe : perbedaan itu mempunyai arti. Mis. Ps 406 KUHP : dengan sengaja dan melawan hukum ; Ps 333 KUHP : dengan sengaja melawan hukum
• Vos, zevenbergen, langemeijer :
tiadanya kata “dan” tidak berarti apa2,
semuanya mesti dibaca “dengan sengaja dan melawan hukum”
• Remelink, van Bemmelen :
kata penghubung “dan” tidak mempunyai arti, jadi istilah “dengan sengaja” meliputi pula
Culpa
Istilah2
- culpa - schuld - nalatigheid - sembrono - teledor
• istilah 2 yg digunakan dalam rumusan :
- kelalaian - kealpaan - kesalahan
Pengertian, Jenis, Syarat
• KUHP : tidak ada definisi ttg culpa
• MvT : kealpaan di satu pihak berlawanan benar2 dg kesengajaan dan di pihak lain dengan hal yg kebetulan
• Pada culpa, unsur menghendaki selalu tidak ada; sedangkan unsur mengetahui sering tidak ada
• Macam2 Culpa :
(a) culpa levis ; culpa lata
(b) culpa yg disadari (bewuste) : culpa yg tidak disadari (on bewuste) • Syarat adanya kealpaan :
(a) Hazewinkel-Suringa : 1) kekurangan menduga-duga; 2) kekurangan berhati-hati
(b) van Hamel : 1) tidak menduga-duga sebagaimana diharuskan hukum; 2) tidak berhati-hati sebagaimana diharuskan hukum
Culpa
• Untuk menentukan ada atau tidaknya culpa pada seseorang, maka harus digunakan tolok ukur yang
normal (upaya dan kehati-hatian dari orang yang sama kemampuan dan kecerdasannya dengan pelaku).
• Apabila pada situasi dan kondisi yang sama dengan pelaku, orang yang sama kemampuan dan
kecerdasannya dengan pelaku pada umumnya tidak melakukan perbuatan seperti yang dilakukan oleh
Culpa
• Culpa Levis (Kelalaian yang kecil/ringan)--- apabila tolok ukurnya adalah upaya dan kehati-hatian yang luar biasa
• Culpa yang disadari (bewuste culpa) : Apabila pelaku sudah membayangkan kemungkinan timbulnya suatu akibat yang dilarang, dan karena itu ia juga sudah berupaya agar tidak timbul akibat tsb. (dia tidak menghendaki akibat), namun akibat tetap terjadi
• Culpa yang tidak disadari (onbewuste culpa): Pelaku sama sekali tidak pernah membayangkan kemungkinan timbulnya akibat yang dilarang; tetapi ternyata terjadi akibat
Asas penting dalam masalah
pertanggungjawaban
• Geen straf zonder schuld
• Tiada Pidana tanpa kesalahan :
meskipun seseorang telah melakukan
Dapat dipersalahkan sehingga dapat dipertanggungjawabkan
• 3 syarat yang harus dipenuhi:
• Kemampuan bertanggungjawab
• Ada hubungan psikis antara pelaku dan perbuatannya , dalam bentuk dolus atau culpa
Kemampuan Bertanggungjawab (toerekeningsvatbaarheid)
• Dengan menggunakan penafsiran a-contrario dari MVT tentang tidak mampu bertanggungjawab; maka mampu bertanggungjawab artinya:
- pelaku melakukan perbuatannya dengan bebas; tanpa paksaan
- pelaku menginsyafi bahwa perbuatannya melawan hukum dan ia mengerti akibat perbuatannya
• Dalam praktik, setiap pelaku dianggap mampu
KULIAH 7
Percobaan Tindak Pidana
• Pengertian • Syarat
PERCOBAAN (POGING)
• PASAL 53
(1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan
tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
(2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga.
(3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 tahun.
(4) Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.
• Pasal 54
POGING (PERCOBAAN)
• “Permulaan kejahatan yang belum selesai”
• Poging bukan suatu delik, tetapi poging dilarang dan diancam hukuman oleh undang-undang
• Poging adalah perluasan pengertian delik
• Suatu perbuatan dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang sebab perbuatan itu melanggar kepentingan hukum atau
membahayakan kepentingan hukum
• KUHP tidak memberi perumusan/ definisi
• Harus diketahui kapan suatu delik dianggap selesai
• Delik selesai berbeda antara delik formil dan delik materiil
• Pada delik formil : delik selesai apabila perbuatan yang dilarang telah dilakukan
Percobaan dapat Dipidana
• Percobaan Tindak pidana merupakan lembaga yang memperluas pertanggungjawaban pidana.
• Pada dasarnya seseorang baru bisa dipidana apabila ia memenuhi semua unsur suatu tindak pidana (delik selesai), tetapi meskipun delik belumk selesai (belum semua unsur dipenuhi), seseorang sudah dapat
dipidana jika memenuhi syarat-syarat percobaan sebagaimana diatur dalam Pasal 53 KUHP.
• Jenis tindak pidana yang percobaannya dapat dihukum adalah hanya kejahatan.
Pengecualian
• Dalam KUHP terdapat pasal-pasal yg
merupakan percobaan tindak pidana yg
dipidana sbg delik selesai. Hal ini terdapat juga dalam UU Pidana di luar KUHP.
• Ada juga delik-delik khusus dlm KUHP yg mirip dgn percobaan yaitu makar (ps. 87) dan
Melakukan percobaan
kejahatan
akan
tetapi tidak dihukum
• Pasal 184 ayat 5 KUHP –perkelahian tanding • Pasal 302 ayat 4 KUHP – penganiayaan ringan
terhadap binatang
Syarat Percobaan yg dapat dipidana
• Niat
• Permulaan Pelaksanaan
• Tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan
Syarat Pertama
NIAT atau “Voornemen”
• Menurut doktrin dan yurisprudensi
:”voornemen” harus ditafsirkan sebagai kehendak, “willen” atau “opzet”
• Seseorang harus mempunyai kehendak, yaitu kehendak melakukan kejahatan
• Karena ada 3 macam opzet, apakah opzet di sini harus dtafsirkan dalam arti luas atau
Syarat Kedua
Permulaan Pelaksanaan
• “Niat sudah terwujud dengan adanya permulaan pelaksanaan” een begin van uitvoering
• Harus ada suatu perbuatan(handeling)
• apa yang dimaksud “perbuatan sebagai permulaan pelaksanaan” ?
• Undang-undang tidak merumuskan pelaksanaan atau”uitvoering” dan bagaimana bentuknya
Pelaksanaan Kehendak atau
Pelaksanaan Kejahatan ?
• Secara gramatika, harus dihubungkan dengan kata yang
mendahuluinya yaitu “voornemen”/ niat/kehendak Niat sudah terwujud dengan adanya permulaan
pelaksanaan. Jadi : pelaksanaan itu ditafsirkan sebagai “pelaksanaan kehendak” TEORI POGING SUBYEKTIF
• Tetapi, jika dihubungkan dengan anak kalimat berikutnya “… tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata
disebabkan karena kehendaknya sendiri” maka secara
PENDAPAT PARA AHLI DALAM MASALAH TERSEBUT
1.Van Hamel : “apabila dari perbuatan itu telah terbukti kehendak yang kuat dari si pelaku untuk melaksanakan perbuatannya”
2.Simons melihat dari jenis deliknya : delik materiil atau delik formil. • Pada delik formil apabila perbuatan itu merupakan perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan hukuman oleh UU, apabila perbuatan itu merupakan sebagian dari perbuatan yang dilarang; jika ada beberapa unsur maka jika sudah melakukan salah satu unsur
• Pada delik materril apabila perbuatan itu dianggap sebagai perbuatan yang menurut sifatnya adalah sedemikian rupa , sehingga secara langsung dapat menimbulkan akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh UU
3.Vos : ada “permulaan pelaksanaan” apabila perbuatan itu mempunyai sifat terlarang terjadap suatu kepentingan hukum.
Pendapat Hoge Raad
Ada “permulaan pelaksanaan” apabila antara perbuatan yang dilakukan dan kejahatan yang dkehendaki oleh seseorang itu terdapat hubungan erat langsung; yaitu apabila seorang
melakukan sesuatu perbuatan untuk melaksanakan kejahatan , perbuatan itu baru dianggap sebagai permulaan pelaksanaan apabila disamping perbuatan itu tidak dibutuhkan lagi
Teori Subyektif
- subjectieve pogingsleer –
• seseorang yang melakukan percobaan untuk melakukan kejahatan itu pantas dihukum,
oleh karena orang tersebut telah
menunjukkan perilaku yang tidak bermoral yang bersifat jahat ataupun yang bersifat berbahaya”
• Terdapat sikap batin atau watak yang
Teori Obyektif
- objectieve pogingsleer –
• Seseorang yang melakukan percobaan untuk melakukan suatu kejahatan itu dapat dihukum oleh karena “tindakan-tindakannya dinilai
telah membahayakan kepentingan-kepentingan hukum”.
• Teori Objectif ini dibagi menjadi: - Teori objectif formil
Pengklasifikasian Teori Objektif
• Teori Obyektif Formil
• Seseorang yang melakukan percobaan untuk
melakukan suatu kejahatan itu dapat dihukum oleh karena “tindakan-tindakannya telah bernilai
membahayakan bagi kepentingan-kepentingan hukum”. Teori ini tidak membedakan antara
percobaan pada delik formil dan delik materiil
• Teori Obyektif Materiil membedakan percobaan
• Teori Obyektif Materiil pada Delik Formil
“apabila telah dimulai perbuatan/tindakan yang disebut dalam rumusan delik”
• Teori Obyektif Materiil pada Delik Materiil • “segera setelah tindakan yang dilakukan oleh
pelakunya itu, menurut sifatnya secara langsung dapat menimbulkan akibat yang terlarang oleh UU
Teori Campuran
• Teori Subyektif
- subjectieve pogingsleer –
dan
• Teori Obyektif
- objectieve pogingsleer –
PEMBATASAN TERHADAP TEORI SUBYEKTIF
• Perbuatan dibedakan :
• 1. tindakan atau perbuatan persiapan (belum dapat dihukum)
• 2. tindakan atau perbuatan pelaksanaan (sudah dapat dihukum)
• Tetapi, pertanyaannya : mana yang
CONTOH KASUS
• A menghendaki untuk membunuh B , untuk melaksanakan maksudnya, A harus melakukan beberapa perbuatan, yaitu :
• a. A pergi ke tempat penjualan senjata api • b. A membeli senjata api
• c. A membawa senjata api ke rumahnya • d. A berlatih menembak
• e. A menyiapkan sebjata apinya dengan membungkusnya rapat-rapat • f. A menuju rumah B
• g. Sesampai di rumah B, A mengisi senjata itu dengan peluru • h. A mengarahkan senjata kepada B
MANA YANG MERUPAKAN PELAKSANAAN ? APAKAH TIAP2 PERBUATAN DALAM KASUS TSB
DAPAT DIHUKUM ?
• 1. Menurut Teori Poging Subyektif : perbuatan a sudah merupakan “permulaan
pelaksanaan” karena telah menunjukkan “kehendak yang jahat”
• 2. Menurut Teori Poging Obyektif : perbuatan a f belum merupakan “permulaan
pelaksanaan” karena semua perbuatan itu
Percobaan delik formil
“apabila telah dimulai perbuatan/tindakan yang disebut dalam rumusan delik”
Hoge Raad arrest tanggal 8 Maret 1920 N.J.1920
• “perbuatan menawarkan untuk dibeli dan
perbuatan menghitung uang kertas yang telah dipalsukan di depan orang lain” adalah
Percobaan delik
materiil
• “segera setelah tindakan yang dilakukan oleh pelakunya itu, menurut sifatnya secara
langsung dapat menimbulkan akibat yang terlarang oleh undang-undang, tanpa
pelakunya tersebut harus mel;akukan suatu tindakan yang lain”
• Hoge Raad Arrest 19 Maret 1934, N.J 1934
Syarat Ketiga
Tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri
Kapan dikatakan bahwa tidak selesainya pelaksanaan itu “bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri”?
• Tidak selesainya pelaksanaan bukan kehendaknya sendiri. (tidak secara sukarela).
• Apabila ia membatalkan niatnya secara sukarela/kehendak sendiri –
vrijwillige terugterd – maka syarat ke-3 ini tidak terpenuhi.
Coba bandingkan dengan Pasal 18 RUU KUHP (versi 2008)
(1) Dalam hal setelah permulaan pelaksanaan dilakukan, pembuat tidak
menyelesaikan perbuatannya karena kehendaknya sendiri secara sukarela, maka pembuat tidak dipidana.
(2) Dalam hal setelah permulaan pelaksanaan dilakukan, pembuat dengan
kehendaknya sendiri mencegah tercapainya tujuan atau akibat perbuatannya, maka pembuat tidak dipidana.
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah menimbulkan kerugian atau menurut peraturan
Macam2 Percobaan (Doktrin)
• Percobaan yg Sempurna : Voleindigde Poging -->
apabila seseorang berkehendak melakukan kejahatan, ia telah
melakukan semua perbuatan yg diperlukan bagi selesainya kejahatan, tetapi kejahatan tidak selesai karena suatu hal
• Percobaan yg Tertangguh : Geschosrte Poging -->
apabila seseorang berkehendak melakukan kejahatan, ia telah melakukan beberapa perbuatan yg diperlukan bagi tercapainya kejahatan, tetapi kurang satu perbuatan ia terhalang oleh suatu hal
• Percobaan yg Tidak Sempurna (tidak wajar) :
Ondeugdelijke Poging --> apabila seseorang berkehendak melakukan suatu kejahatan, dimana ia telah melakukan semua
perbuatan yg diperlukan bagi selesainya kejahatan, namun tidak berhasil disebabkan alat (sarana) tidak sempurna atau obyek (sasaran) tidak
sempurna.
“Percobaan Tidak Sempurna” telah dirumuskan
dalam Pasal 20 R-KUHP (versi 2008)
Dalam hal tidak selesai atau tidak mungkin terjadinya tindak pidana disebabkan
Kasus 1
• Seorang yang sedang berdiri di bordes KA,
ketika akan diperiksa karcisnya oleh kondektur, ia telah menendang kaki petugas tersebut.
Sehingga apabila kondektur tidak dengan
cepat berpegang pada tiang besi KA, pasti ia jatuh keluar dan terlindas KA (Arrest HR Tgl
Kasus 2
• Seorang POLANTAS memberi tanda agar
sebuah kendaraan bermotor berhenti, karena tidak menyalakan lampu. Pengemudi tetap
tancap gas, sehingga kalau petugas tidak
Kasus 3
Percobaan Pembunuhan Berencana
KASUS• A bermaksud menghabisi nyawa B dengan meletakkan bom di mobil B. Bom meledak sebelum B masuk mobil dan mengakibatkan B luka-luka parah.
PASAL YG DIDAKWAKAN
• Pasal 340 jo Pasal 53 KUHP ( Percobaan pembunuhan berencana)
ANCAMAN PIDANA
Mangel am tatbestand (gebrek aan feitelijk tosdracht v/e zaak)
• Kejadian-kejadian yang mirip dengan percobaan
yang tidak sempurna/ tidak wajar di mana salah satu unsur dari kejahatan tertentu itu sebenarnya tidak mungkin ada atau tidak mungkin terjadi
• Misal:
• menggugurkan kandungan seorang perempuan
yang tidak pernah hamil;
• mencuri barang yang pencurinya tidak tahu bahwa
Putatif Delict
• Seseorang mengira bahwa apa yang
dilakukan merupakan suatu tindak pidana, padahal tindakan tersebut tidak dilarang
• Contoh:
• Seseorang masuk ke Indonesia dan membawa
sejumlah uang kertas asing. Semula ia beranggapan telah mencoba atau melakukan suatu kejahatan.
Percobaan dalam kealpaan
mungkinkah????
• Pasal 287 KUHP
• “…yang sepatutnya ia harus dapat menduga bahwa wanita itu belum cukup umurnya…” • Pasal 480 KUHP
PIDANA dan PEMIDANAAN
Bahan kuliah untuk :
Program Reguler kelas A, B, C dan D dan Program Ekstensi kelas A dan B
Pembahasan:
- Istilah
- Pengertian
Istilah PIDANA
• Sanksi • Straf
• Hukuman
PIDANA
• Nestapa/derita
• Yang dijatuhkan dengan sengaja oleh
negara (melalui pengadilan)
• Dikenakan pada seseorang
• Yang secara sah telah melanggar
hukum pidana
Proses Peradilan Pidana
(the criminal justice process)
• Struktur, fungsi, dan proses
pengambilan keputusan
• Oleh sejumlah lembaga (kepolisian,
kejaksaan, pengadilan & lembaga pemasyarakatan)
• Yang berkenaan dengan penanganan
& pengendalian
Pidana sebagai pranata sosial
• Sebagai bagian dari reaksi sosial manakala
terjadi pelanggaran terhadap norma2 yang berlaku
• Mencerminkan nilai & struktur masyarakat • Merupakan reafirmasi simbolis atas
pelanggaran terhadap „hati nurani bersama‟
• Sebagai bentuk ketidaksetujuan terhadap
perilaku tertentu
• Selalu berupa konsekwensi yang
Pengertian
Hukum Penitentier (Utrecht II hal. 268) :
• Segala peraturan positif mengenai sistem hukuman dan sistem
tindakan yang memuat:
– Jenis sanksi atas tindak pidana yang dilakukan – Beratnya sanksi itu
– Lamanya sanksi itu dijalankan oleh pelaku – Cara sanksi itu dilakukan
– Tempat sanksi itu dijalankan • Hukuman, menurut pendapat :
Moeljatno : Lebih tepat “pidana” untuk menerjemahkan straf. Sudarto : Idem.
R. Soesilo : Suatu perasaan tidak enak/sengsara yang
Unsur-unsur atau ciri-ciri pidana
• Merupakan suatu pengenaan
penderitaan/nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;
• Diberikan dengan sengaja oleh badan yang memiliki kekuasaan (berwenang); • Dikenakan pada seseorang penanggung
jawab peristiwa pidana menurut UU (orang memenuhi rumusan delik/pasal).
PEMIDANAAN
Penjatuhan Pidana/sentencing :
• Upaya yang sah
• Yang dilandasi oleh hukum
• Untuk mengenakan nestapa penderitaan • Pada seseorang yang melalui proses
peradilan pidana
• Terbukti secara sah dan meyakinkan
Sejarah
a. Utrecht I Bab 1
b. Utrecht II Bab 5
• Mulai WvS diundangkan yaitu tahun 1915 • UU No. 1/1946 tentang KUHP (berlaku
berdasarkan asas konkordansi).
Jenis-jenis hukuman yg dpt dijatuhkan oleh Pengadilan berdasarkan plakat tgl. 22 April 1808
• Dibakar hidup, terikat pada suatu tiang
(hanya utk pelaku pembakar/pembunuh) • Dimatikan dgn suatu keris
• Dicap bakar
• Dipukul, dipukul dgn rantai (pidana badan/corporal punishment)
• Ditahan/dimasukkan dlm penjara
• Kerja paksa pada pekerjaan2 umum.
Dasar-Dasar Hukuman :
• Hukum pidana sebagai suatu sanksi yang
bersifat istimewa: terkadang dikatakan melanggar HAM melakukan
perampasan terhadap harta kekayaan
(pidana denda), pembatasan kebebasan bergerak/ kemerdekaan orang (pidana kurungan/penjara) dan perampasan
terhadap nyawa (hukuman mati).
• Merupakan Ultimum Remedium (senjata
Siapakah yang berhak menuntut,
menjatuhkan, dan menjalankan pidana itu ?
Utrecht I Bab V, hal. 149 – dst :
• Beysens, pada dasarnya negaralah yang berhak,
krn perbuatan tsb bertentangan dgn tata tertib negara (sudut obyektif) & perbuatan yg dpt
dipertanggung-jawabkan oleh pelaku (sudut subyektif);
• Utrecht :
– Negara sebagai organisasi sosial tertinggi o.k.i. sangat
logis jika negara diberi tugas mempertahankan tata tertib masyarakat;
– Negara sebagai satu-satunya alat yang dapat menjamin
Teori-Teori Pemidanaan/
Tujuan Pemidanaan menurut doktrin
TeoriAbsolut/Retributif/Pembalasan
(lex talionis):
• Hukuman adalah sesuatu yang harus ada sebagai konsekwensi dilakukannya kejahatan;
• Orang yang salah harus dihukum
Menurut Leo Polak (aliran retributif), hukuman harus memenuhi 3 syarat :
• Perbuatan tersebut dapat dicela
(melanggar etika)
• Tidak boleh dengan maksud prevensi tp utk
represif.
• Beratnya hukuman seimbang dengan
beratnya delik.
• Contoh di Indonesia: Qisas dalam Hukum
Teori Relatif/Tujuan (utilitarian)
• Menjatuhkan hukuman untuk tujuan
tertentu, bukan hanya sekedar sebagai pembalasan:
• Hukuman pd umumnya bersifat
menakutkan, o.k.i, seyogyanya : Hukuman bersifat memperbaiki/merehabilitasi
Prevensi:
hukuman dijatuhkan utk pencegahan
Prevensi Umum :
• sebagai contoh pada masyarakat secara luas agar
tidak meniru perbuatan/kejahatan yang telah dilakukan.
Prevensi Khusus:
• Ditujukan bagi pelaku sendiri, supaya jera/kapok,
tidak mengulangi perbuatan/kejahatan serupa; atau kejahatan lain.
• Deterrence : menakut/nakuti – serupa dengan
prevensi
• Perlindungan: agar orang lain/masyarakat pada