• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tim Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum Uiniversitas Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tim Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum Uiniversitas Indonesia"

Copied!
333
0
0

Teks penuh

(1)

HUKUM PIDANA

HPI 10102 3 SKS

Tim Pengajar Hukum Pidana

Fakultas Hukum Uiniversitas Indonesia

(2)

KULIAH 1

• Arti dan Ruang Lingkup Hukum Pidana

(3)

Pengertian Hukum Pidana

Prof. Moeljatno

• Hukum Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yg berlaku di suatu negara, yg mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk :

1) menentukan perbuatan-perbuatan mana yg tidak boleh dilakukan, yg dilarang, dg disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tsb;  Criminal Act

2) menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yg telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yg telah diancamkan ;  Criminal Liability/ Criminal

Responsibility

1) dan 2) = Substantive Criminal Law / Hukum Pidana Materiil

(4)

Pengertian Hukum Pidana

Prof. Pompe

• Hukum Pidana adalah semua aturan-aturan hukum yang menentukan terhadap

perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya

(5)

Pengertian Hukum Pidana

Prof. Simons

• Hukum Pidana adalah kesemuanya perintah-perintah dan larangan-larangan yang diadakan oleh negara dan yang diancam dengan suatu nestapa (pidana) barangsiapa yang tidak

mentaatinya, kesemuanya aturan-aturan yg menentukan syarat-syarat bagi akibat hukum itu dan kesemuanya aturan-aturan untuk

(6)

Pengertian Hukum Pidana

Prof. Van Hamel

• Hukum Pidana adalah semua dasar-dasar dan aturan-aturan yang dianut oleh suatu negara dalam menyelenggarakan ketertiban hukum (rechtsorde) yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan

(7)

Pembagian Hukum Pidana

• Hukum Pidana Materiil (Hukum Pidana)

(8)
(9)

KUHP dan Sejarahnya

• Andi Hamzah - Jaman VOC

(10)

Jaman VOC

• Statuten van Batavia • Hk. Belanda kuno

• Asas2 Hk. Romawi

Di daerah lainnya berlaku

Hukum Adat

(11)

Jaman Hindia Belanda

• Dualisme dalam H. Pidana

1. Putusan Raja Belanda 10/2/1866 (S.1866 no.55) --> Orang Eropa

2. Ordonnantie 6 Mei 1872 (S.1872) --> Orang Indonesia & Timur Asing

• Unifikasi :

Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch - Indie

- Putusan Raja Belanda 15/10/1915 Berlaku 1/1/1918 disertai

(12)

Jaman Jepang

• WvSI masih berlaku

• Osamu Serei (UU) No. 1 Tahun 1942, berlaku 7/3/1942

• H. Pidana formil yang

(13)

Jaman Kemerdekaan

• UUD 1945 Ps. II Aturan Peralihan

Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih berlaku selama belum

(14)

Jaman Kemerdekaan

• UU No. 1 Tahun 1946 : Penegasan tentang Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia

• Berlaku di Jawa-Madura (26/2/1946)

• PP No. 8 Tahun 1946 : Berlaku di Sumatera

• UU No. 73 Tahun 1958 : “ Undang-undang tentang

(15)

SUMBER-SUMBER HUKUM PIDANA DI

INDONESIA

• KUHP (beserta UU yang

mengubah & menambahnya)

• PerUU Pidana (perUU Hk Pidana ?) di luar KUHP

• Ketentuan Pidana dalam

(16)

KUHP

• Buku I : Ketentuan Umum (ps 1 – ps 103)

Pasal 103  Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku I juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam

dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain

• Buku II : Kejahatan (ps 104 – 488)

(17)

Beberapa UU yang mengubah KUHP (1)

 UU No.1/1946 : berlakunya KUHP, perubahan beberapa istilah, penghapusan beberapa pasal, penambahan pasal-pasal baru : Bab IX - XVI

 UU No. 20/1946 : tambahan jenis pidana Ps 10 a KUHP --> pidana Tutupan

 UU drt No. 8/1955 : menghapus Ps 527

 UU No. 73/1958 : menyatakan UU No. 1/1946 berlaku di seluruh Indonesia, tambahan Ps 52a, 142a, 154a

(18)

Beberapa UU yang mengubah KUHP (2)

• Perpu No. 16/1960 : penambahan nilai terhadap beberapa kejahatan ringan : Ps 364, 373, 379, 384, 407 (1)

• Perpu No. 18/1960 : pidana denda dilipatgandakan 15 X

(ditetapkan mjd UU melalui UU No. 1/1961-check) • UU No. 1/PNPS/1965 : tambahan Ps 156 a

• UU No. 7/1974 : tambahan sanksi untuk judi Ps 303 menjadi 10 juta & denda 25 juta, Ps 542 (1) menjadi Kejahatan, Ps 303 bis pidana menjadi 4 tahun, denda 10 juta.

• UU No. 4/1976 perubahan dan penambahan tentang

Kejahatan penerbangan : Ps 3, Ps 4 angka 4, Ps 95a, 95b,95c, Bab XXIX A.

(19)

UU Hukum Pidana di luar KUHP

• UU Pemberantasan T.P. Korupsi, UU No.

31/1999 sebagai mana diubah oleh UU No. 20/2001

• UU Tindak Pidana Ekonomi, UU No.7/drt/1955 • UU 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme

(20)

Contoh UU non hukum pidana yang memuat sanksi pidana

(21)

Hukum Pidana Umum & Khusus

Dasar Pembedaan ??? Hukum Pidana Umum Hukum Pidana Khusus

Subyek H.Pidana non militer H. Pidana militer

Substansi KUHP & UU yg mengubah TPE, TPK, TPS, H.Pid. militer, H.Pid. Fiskal

Tempat pengaturan ???

UU Hukum Pidana yg. Berlaku umum (KUHP, TPE,TPK, TPS, dll)

(22)

KULIAH 2

(23)

Pasal 1 KUHP

(1) Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan

perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya.

(2) Jika ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan

(24)

ASAS YG TERCAKUP

DLM PASAL 1 (1) KUHP

• Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege

poenali :

• Tiada delik, tiada hukuman tanpa suatu peraturan yg terlebih dahulu menyebut

perbuatan yang bersangkutan sebagai suatu delik dan yang memuat suatu hukuman yg dapat dijatuhkan atas delik itu

(25)

Asas legalitas mengandung 3 prinsip:

1. Aturan hukum pidana harus tertulis 2. Larangan berlaku surut

(26)

1.

Aturan hukum pidana harus tertulis (lex scripta)

• Aturan hukum pidana harus mrpkn atauran yg dibuat oleh badan legislatif (produk legislatif) • Produk legislatif yg dimaksud adl dlm bentuk

UU atau Perda

• Aturan tsb harus jelas rumusannya (lex certa) dan tdk multi tafsir

• Hukum adat ? Merupakan pengecualian ?

(27)

2. LARANGAN BERLAKU SURUT (non retroaktif)

• Undang-undang pidana berjalan ke depan dan tidak ke belakang :

X

mundur (ke belakang) harus ke depan (maju)

(Dilarang) --- UU Pidana ---

(28)

Teori2 Tempus Delicti

1. Teori Perbuatan fisik (de leer van de lichamelijke daad)

2. Teori bekerjanya alat yg digunakan (de leer van het instrument)

(29)

Tempus delicti penting diketahui

dalam hal2 :

• Kaitannya dg Ps 1 KUHP

• Kaitannya dg aturan tentang Daluwarsa • Kaitannya dg ketentuan mengenai pelaku

(30)

Larangan berlaku surut dalam berbagai ketentuan selain yang diatur dalam Ps. 1 ayat (1) KUHP

Internasional:

• Ps 15 (1) ICCPR: hukum tidak berlaku surut • Ps 15 (2) ICCPR pengecualian, untuk

kejahatan menurut hukum kebiasaan international: boleh berlaku surut • Ps 22, 23, dan 24 ICC (Statuta Roma)

Nasional

• Ps 28i UUD 1945

(31)

Ps 28i UUD 1945

(32)

UU No. 39/ 1999 ttg HAM

• Ps 18 (2)

Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali

berdasarkan suatu

peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana itu dilakukan

• Ps 18 (3)

Setiap ada perubahan dalam peraturan

perundang-undangan maka berlaku ketentuan yang paling

(33)

Pengecualian Larangan Berlaku Surut

• Ps 1 ayat (2) KUHP  dalam hal tjd perubahan UU yg

meringankan bagi tdkw, digunakan UU yg baru

• Ps 43 UU No. 26 Tahun 2000 (UU Pengadilan HAM)  diperlukan syarat2 ttt, al: pembentukan pengadilan HAM ad hoc dgn persetujuan DPR

• Perpu 1/2002 & 2/2002  UU 15/2003 (UU

(34)

UU No. 26/ 2000 ttg Pengadilan HAM

(bisa berlaku surut )

(1) Pelanggaran hak asasi manusia yg. Berat yg. terjadi sebelum diundangkannya UU ini,

diperiksa dan diputus oleh pengadilan HAM ad hoc. (2) Pengadilan HAM ad hoc

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul DPR Indonesia berdasarkan

peristiwa tertentu dg. Keputusan presiden.

 Penjelasan Ps 43 (2)

“Dalam hal DPR Indonesia mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc, DPR Indonesia mendasarkan pada dugaan telah terjadinya

pelanggaran HAM yang berat yg dibatasi pada locus dan tempus delicti tertentu yg terjadi sebelum

(35)

UU Pemberantasan TP Terorisme

dan Putusan MK

(36)

3. Larangan penggunaan analogi

1. Penafsiran diperbolehkan dalam

hukum pidana karena diperlukan utk

memahami UU hukum pidana yang

tidak selalu jelas rumusannya

2. Analogi tdk diperbolehkan krn analogi

bukan penafsiran melainkan metode

konstruksi

(37)
(38)

Penafsiran Ekstensif Vs Analogi ?

• Putusan HR 23 Mei 1921 (kasus pencurian listrik di Gravenhage)

• Putusan Rechtbank Leeuwarden, 10 Des 1919 (pencurian sapi)

(39)

Pendapat Scholten

(dan juga Utrecht)

• Pada hakekatnya tidak ada perbedaan antara penafsiran ekstensif dan analogi. Dalam kedua hal itu hakim membuat konstruksi , yaitu membuat (mencari) suatu pengertian

hukum yang lebih tinggi. Hakim membuat suatu kaidah yang lebih tinggi dan yang dapat dijadikan dasar beberapa

ketentuan yang mempunyai kesamaan.

Mis.

• Mengambil = mengadakan suatu perbuatan yang bermaksud

(40)

Pendapat Scholten

(

dan Utrecht)

• PENAFSIRAN EKSTENSIF Hakim meluaskan

lingkungan kaidah yang lebih tinggi sehingga perkara yang

bersangkutan termasuk juga di dalamnya

• ANALOGI

(41)

Pasal 1 Ayat (2) KUHP

1. UU dimungkinkan utk berlaku surut

2. 3 syarat memberlakukan surut suatu UU a. terjadi perubahan UU

b. perubahan tjd setelah tindak pidana dilakukan

(42)

Pasal 1 ayat (2) KUHP

-+---+---+---->

UU Perbuatan Perubahan UU

• Apa yg dimaksud dgn

Perubahan UU

?

Teori : (1) Teori formil (2) Teori materiil terbatas (3) Teori materiil tidak terbatas

•Apa yg dimaksud dgn

Paling

(43)

Yg menguntungkan bg TSK/TDKW

• Hal ini tidak dapat ditentukan sec. Umum (in abstracto), dan hanya dapat ditentukan untuk masing2 perkara sendiri (in concreto). Yang menguntungkan bagi TSK/TDKW:

sanksi menjadi lebih ringan, diubah menjadi delik aduan, unsur- unsur pokok delik menjadi lebih banyak (ditambah)

(44)

Perubahan UU yg dimaksud

Pasal 1 ayat (2) KUHP

• Teori Formil :Ada perubahan undang kalau redaksi undang-undang pidana berubah (Simons)

 ditolak oleh Putusan HR 3 Des 1906 , kasus ps 295 sub 2 KUHP, batas dewasa 23  21 tahun dlm BW

• Teori Materiil Terbatas : Tiap perubahan sesuai dg suatu perubahan perasaan (keyakinan) hukum pada pembuat undang-undang (jadi tidak boleh diperhatikan perubahan keadaan karena waktu)

(45)

Perubahan kesadaran/perasaan hukum

• Menjadi tidak dapatnya dihukum suatu perbuatan

• Menjadi dapat dihukumnya suatu perbuatan • Diperberat/diperingan pidana atas suatu

perbuatan.

(46)

Perubahan UU terjadi setelah

tindak pidana dilakukan

Yang harus diperhatikan:

1. Waktu terjadinya tindak pidana (tempus delictie)

(47)
(48)

Berlakunya Hukum Pidana

menurut Tempat

Untuk mengetahui hukum pidana negara

mana yang digunakan: hukum pidana

(49)

Asas2 Berlakunya Hukum Pidana menurut tempat(1)

Indonesia menganut asas2 di bawah dibuktikan dgn dasar hukum yg terdapat dalam KUHP:

• Asas Teritorialitas/ wilayah :

Ps 2 --> Ps 3 KUHP --> Ps 95 KUHP , UU No 4/1976

• Asas Nasionalitas Pasif/ perlindungan : Ps 4 :1,2 dan 4 --> Ps 8 KUHP , UU No. 4/1976 , Ps 3 UU No. 7/ drt/ 1955 Lihat Ps 16 UU 31/1999

• Asas Personalitas/ Nasionalitas Aktif : Ps 5 KUHP --> Ps 7 KUHP --> Ps 92 KUHP • Asas Universalitas :

Ps 4 :2 , Ps 4 sub 4 , Ps 1 UU 4/ 1976

(50)

Asas-asas Berlakunya Hukum Pidana Menurut Tempat

1. Asas teritorial/wilayah

berlakunya hukum pidana sesuai tempat terjadinya tindak pidana

Pasal 2 dan 3 KUHP

– KUHP Indonesia

– TP terjadi di Indonesia – Pelaku WNA/WNI

(51)

UU No.43/2008 tentang Wilayah Negara

 Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut dengan Wilayah

Negara adalah salah satu unsur negara yang merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang udara di atasnya,

(52)

Batas Wilayah

Pasal 5

• Batas Wilayah Negara di darat, perairan, dasar laut dan tanah di bawahnya serta ruang udara di atasnya ditetapkan atas dasar perjanjian bilateral dan/atau trilateral mengenai batas darat, batas laut, dan batas udara serta berdasarkan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.

Pasal 6

• (1) Batas Wilayah Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, meliputi:

a. di darat berbatas dengan Wilayah Negara: Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste;

• b. di laut berbatas dengan Wilayah Negara: Malaysia, Papua Nugini, Singapura, dan Timor Leste; dan

• c. di udara mengikuti batas kedaulatan negara di darat dan di laut, dan batasnya dengan angkasa luar ditetapkan berdasarkan perkembangan hukum internasional. • (2) Batas Wilayah Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk titik-titik

koordinatnya ditetapkan berdasarkan perjanjian bilateral dan/atau trilateral. • (3) Dalam hal Wilayah Negara tidak berbatasan dengan negara lain, Indonesia

(53)

Asas-asas Berlakunya Hukum Pidana

2. Asas Nasionalitas Aktif/Personalitas Pasal 5 – 6 (perluasan Ps. 5) & 7 KUHP

– KUHP Indonesia

– TP terjadi di luar Indonesia

(54)

Asas-asas Berlakunya Hukum Pidana

3. Asas Nasionalitas Pasif/Perlindungan Pasal 4 dan 8 KUHP

– KUHP Indonesia

– TP terjadi di mana saja (di luar Ind) – Pelaku WNA/WNI

(55)

4. Asas universal

• Ps 4 :2 , Ps 4 sub 4 , Ps 1 UU 4/ 1976

“melakukan kejahatan ttg mata uang, uang kertas negara atau uang kertas Bank”

• Untuk melindungi kepentingan dunia

(56)

Teori2 Locus Delicti

1. Teori Perbuatan fisik (de leer van de lichamelijke daad)

2. Teori bekerjanya alat yg digunakan (de leer van het instrument)

(57)

Locus delicti penting diketahui dalam

hal2 :

• Hukum pidana mana yang akan diberlakukan? - Hukum Indonesia atau Hukum negara lain

• Kompetensi relatif suatu pengadilan

(58)

Teori mana yg dipilih ?

• Van Hamel, Simons :

Bergantung sifat dan corak perkara konkret yang hendak diselesaikan • Hazewinkel-Suringa, Zevenbergen,

Noyon-Langemejer :

Mempergunakan 3 teori secara teleologis

(59)

Surabaya Semarang Cirebon ---- racun --> ----diminum ---> --- mati

A --> B B B

• Meervoudige locus delicti

(60)

Asas2 berlakunya H. Pidana : Beberapa masalah

• Kapal :

a) kapal Indonesia b) kapal perang c) kapal dagang

• Prinsip ius passagii innoxii (thdp kapal, maka berlaku hk pidana di wilayah mana kapal melintas/lewat)

• Asas Universalitas :

- Kejahatan Terorisme ? - Kejahatan HAM berat ?

(61)

Asas2 Berlakunya H. Pidana : Pengecualian (2)

• Ps 9 KUHP : Hukum publik internasional membatasi berlakunya Ps 2,3,4,5, 7, dan 8 KUHP

• Termasuk yg memiliki imunitas h.pidana : Sesuai perjanjian Wina 18/4/1961

• Yg memiliki imunitas :

1) Kepala-kepala negara & keluarganya (sec. resmi, bukan incognito/singgah)

2) Duta negara asing & keluarganya --> konsul : tergantung traktat antar negara.

3) Anak buah kapal perang asing : termasuk awak kapal terbang militer

(62)

• Menurut perjanjian Wina 18/4/1961, maka keluarga termasuk memiliki

imunitas (hak eksteritorial)

• Untuk ketua organisasi internasional biasanya dilindungi (tergantung

(63)

KULIAH 3

• Istilah • Definisi

• Cara Merumuskan Tindak Pidana • Subjek Tindak Pidana

(64)

Tindak Pidana

Istilah

• Tindak pidana • Perbuatan pidana • Peristiwa pidana • Strafbaar feit • Delict / Delik • Criminal act • Jinayah

Apa alasan dan implikasi penggunaan istilah tindak

(65)

Tindak Pidana

Definisi

 Simons : “kelakuan yg diancam dg pidana, yg bersifat

melawan hukum yg berhubungan dg kesalahan & dilakukan oleh orang yg mampu bertanggung jawab”

 Van Hamel : “kelakuan manusia yg dirumuskan dalam UU, melawan hukum, yg patut dipidana & dilakukan dg kesalahan”

 Vos : “suatu kelakuan manusia yg oleh per UU an diberi pidana; jadi suatu kelakuan manusia yg pada umumnya dilarang & diancam dengan pidana”

Aliran Monistis ………...

(66)

Aliran Monistis

• Tidak memisahkan antara perbuatan dan pertanggungjawaban

(67)

Aliran Dualistis

• Memisahkan secara tegas antara perbuatan (pidana) dan

pertanggungjawaban pidana

(68)

TINDAK PIDANA:

Pada dasarnya ada 3 cara merumuskan Tindak Pidana

• Disebutkan unsur-unsurnya & disebut kualifikasinya (namanya) --> mis, Ps 362 KUHP

• disebutkan kualifikasinya tanpa disebut unsur-unsurnya --> mis. Ps 184, Ps 297, Ps 351

(69)

Subjek Tindak Pidana

Manusia (natuurlijk persoon)

a) Cara merumuskan “Barangsiapa ….”

b) Hukuman : mati, penjara, kurungan (Ps 10 KUHP),

hanya dapat dikenakan pada manusia

c) Pertanggungjawaban pidana disandarkan pada kesalahan, yang hanya mungkin dimiliki oleh manusia (orang)

Korporasi

adanya kebutuhan untuk memidana korporasi:

• R-KUHP, UU Hk. Pidana Khusus dan UU non H. Pidana, korporasi:

- Badan Hukum

- Bukan badan hukum

(70)

Unsur-Unsur Tindak Pidana

• Unsur2 dalam perumusan

A. Unsur Obyektif

- perbuatan (aktif/pasif) atau akibat

- melawan hukum B. Unsur Subyektif -Manusia (pelaku) - kesalahan :

(a) kesengajaan; atau (b) kealpaan

C. Keadaan

D. Syarat tambahan untuk pemidanaan

• Unsur2 di luar perumusan

- melawan hukum (materil) - Kesalahan dalam arti materiil

dapat dipersalahkan (dicela) sehingga dapat

dipertanggungjawabkan

(71)

Apa gunanya unsur (tertulis) ?

Secara umum:

• Untuk memberikan ciri/kekhasan antara satu delik dgn delik lainnya

• Untuk pembeda suatu delik dgn delik2 yang lain

(72)

Tindak Pidana

Unsur-unsur (van Bemmelen)

Di dalam perumusan (bagian) dimuat dalam surat dakwaan

semua syarat yg dimuat dalam rumusan delik

merupakan bagian-bagian, sebanyak itu pula, yang apabila dipenuhi membuat tingkah laku menjadi tindakan yang melawan hukum

1. Tingkah laku/akibat yang dilarang /diharuskan (Bagian Obyektif)

2. Bagian yang terkait dengan bagian obyektif: melawan hukum

3. Manusia/pelaku (Bagian subyektif)

4. Bagian yang terkait dengan pelaku: kesalahan (kesengajaan atau kealpaan)

5. Keadaan (keterangan mengenai bagian obyektif atau bagian subyektif)

6. Syarat tambahan untuk pemidanaan

4. Bagian yg dapat memperberat/memperingan

pidana

• Di luar perumusan (unsur) : syarat dapat dipidana

1. Melawan hukum (materil) 2. Dapat dipersalahkan (dicela)

sehingga dapat

dipertanggungjawabkan

(73)

Contoh unsur2 dalam rumusan tindak

pidana

Pasal 362 KUHP • barangsiapa • mengambil • barang - yg sebagian/ seluruhnya kepunyaan orang lain

• dengan maksud memiliki • secara melawan hukum

Pasal 338 KUHP • barangsiapa

• dengan sengaja

(74)

Contoh unsur dalam rumusan tindak pidana

Pasal 285

• barangsiapa

• dengan kekerasan atau • ancaman kekerasan

• memaksa

• seorang wanita

(75)

KULIAH 4

(76)

Tindak Pidana

Pembagian Tindak Pidana (Jenis Delik)

• Delik Kejahatan & Delik pelanggaran • Delik Materiil & Delik Formil

• Delik Komisi & Delik Omisi • Delik Dolus & Delik Culpa • Delik Biasa & Delik Aduan

• Delik yg Berdiri sendiri & Delik Berlanjut • Delik Selesai & Delik yg diteruskan

• Delik Tunggal & Delik Berangkai

• Delik Sederhana & Delik Berkualifikasi; Delik Berprivilege • Delik Politik & Delik Komun (umum)

• Delik Propia & Delik Komun (umum)

(77)

Jenis Delik

Kejahatan (misdrijf)

 dlm. MvT : sebelum ada UU sudah dianggap tidak baik (recht-delicten)

 Hazewinkel-Suringa : tidak ada perbedaan kualitatif,

hanya perbedaan kuantitatif a) Percobaan : dipidana

b) Membantu : dipidana c) Daluwarsa : lebih panjang d) Delik aduan : ada

e) Aturan ttg Gabungan berbeda

 KUHP : Buku II

Pelanggaran (overtreding)

 dlm MvT : baru dianggap tidak baik setelah ada UU (wet delicten)

 Perbedaan dg kejahatan:

a) Percobaan : tidak dipidana b) Membantu : tidak dipidana c) Daluwarsa : lebih pendek d) Delik aduan : tidak ada

e) Aturan ttg Gabungan berbeda

(78)

Jenis Delik

 D. Materiil : Yang

dirumuskan akibatnya  Ps 338, 368, Ps 187, dll Perhatikan dgn seksama

unsur2 dalam pasal dlm

menentukan delik materiil dan delik formil, krn sering terjadi kerancuan. Secara sekilas spt delik formil tp ternyata delik materiil atau sebaliknya

 D. Komisi : melanggar

larangan dg perbuatan aktif

 D. Dolus : delik dilakukan dg sengaja, mis. Ps 338, Ps 310, Ps 368

 D. Formil : yang dirumuskan

bentuk perbuatannya --> Ps 362, Ps 263, dll

 D. Omisi : melakukan delik dg perbuatan pasif

 a) D. Omisi murni : melanggar perintah dg tidak berbuat, mis. Ps 164, Ps 224 KUHP

b) D. Omisi tak murni : melanggar larangan dg tidak berbuat, mis Ps 194 KUHP

(79)

Delik Pro Parte Dolus Pro Parte Culpa

• Delik yang dalam perumusannya sekaligus

mencantumkan unsur kesengajaan dan unsur kealpaan

(80)

Jenis Delik

Delik Biasa (bukan aduan)

• penuntutannya tidak

memerlukan pengaduan, mis. Ps 340, Ps 285

• Cukup dengan laporan dari setiap orang yang melihat/ mengetahui tindak pidana tsb., tidak harus dengan

pengaduan dari korban atau orang2 tertentu Delik Aduan • penuntutannya memerlukan pengaduan, mis. Ps 310, Ps 284, Ps 367 (2)

(81)

Delik Aduan

• Ada 2 jenis:

1. Delik Aduan Absolut 2. Delik Aduan Relatif

Ad.1. Delik Aduan Absolut:

Delik yang pada hakekatnya/mutlak memerlukan pengaduan untuk penuntutannya

Mis. Ps. 284

2. Delik Aduan Relatif:

(82)

Delik Berdiri Sendiri

• Terdiri atas satu delik yang berdiri sendiri

• Untuk pemidanaannya tidak perlu menggunakan ketentuan tentang gabungan TP; tinggal melihat berapa ancaman

pidana dari Pasal yang dilanggar

Delik Berlanjut

• Terdiri atas dua atau lebih delik, yang karena kaitannya yang erat mengakibatkan dikenakan satu sanksi kepada terdakwa

(83)

Delik Berlanjut

• Masih menjadi perdebatan apakah delik berlanjut (voortgezette delict) sama dengan perbuatan berlanjut (voortgezette handeling) • Sebagian sarjana (termasuk Utrecht) menyamakan voortgezette

delict dengan voortgezette handeling) dan untuk pemidanaannya memakai ketentuan Pasal 64 KUHP, dengan syarat:

• Perbuatan –perbuatan timbul dari 1 kehendak • Perbuatannya harus sejenis

(84)

Delik Selesai

• Satu atau beberapa

perbuatan tertentu yang selesai dalam suatu waktu tertentu yang singkat

• Mis: Pasal 362, Pasal 338

Delik Berlangsung terus

• satu atau beberapa perbuatan yang melangsungkan suatu

keadaan yang dilarang

(85)

Delik Tunggal

• Delik di mana untuk dapat dipidananya si pelaku

maka ybs. cukup

melakukan perbuatan tersebut sebanyak satu kali

• Mis: Pasal 362, Pasal 338

Delik Berangkai

• Delik di mana untuk dapat

dipidananya si pelaku maka ybs. harus melakukan perbuatan

tersebut beberapa kali (berulang-ulang, berturut-turut)

• Karena harus dilakukan

berulang-ulang: bisa berupa pencaharian atau kebiasaan (sebagai unsur yang

menentukan untuk dipidananya pelaku)

(86)

Delik Pokok/sederhana

• Delik yang dalam

perumusannya mencantumkan unsur2 pokok yang

menentukan pemidanaannya Pasal 362, Pasal 351 ayat (1)

• Delik Berkualifikasi

Delik pokok yang ditambah dengan unsur yang

memperberat pemidanaan mis: Pasal 351 ayat (2), Pasal

363, Pasal 365 ayat (4)

• Delik Berprevilege

Delik pokok yang ditambah dengan unsur yang meringan pemidanaan

(87)

Delik Politik

• Delik yang mengandung unsur politik

Mis: Makar untuk

menggulingkan pemerintah (Pasal 107), makar untuk membunuh kepala negara (Pasal 104)

Delik Komuna (bukan delik politik)

• Delik yang tidak mengandung unsur politik

Mis: pembunuhan orang

(88)

Delik Propria

• Delik yang hanya dapat dilakukan oleh orang2

tertentu (subjeknya adalah orang-orang tertentu)

• Mis: Pasal 308, Pasal 346, Pasal 449

Delik Komuna

• Delik yang dapat dilakukan oleh setiap orang

• Cirinya: Subjeknya adalah “barang siapa“

(89)

KULIAH 5

(90)

KAUSALITAS

1. Pengertian ?

2. Kapankah diperlukan ajaran kausalitas ? 3. Ajaran Kausalitas ?

Ilustrasi :

B pinjam uang ke rumah A, karena kedatangan B, maka A

terlambat ; karena terlambat A mengendarai mobil dengan

kecepatan tinggi; A menubruk C sehingga luka-luka; C dibawa ke RS dan dioperasi oleh dokter D; D meminta E merawat

(91)

Pengertian Kausalitas

• Hal sebab-akibat

• Hubungan logis antara sebab dan akibat • Persoalan filsafat yang penting

• Setiap peristiwa selalu memiliki penyebab sekaligus menjadi sebab peristiwa lain

• Sebab dan akibat membentuk rantai yang bermula di suatu masa lalu

• Yang menjadi fokus perhatian ahli hukum pidana (bukan makna di atas), tetapi makna yang dapat dilekatkan pada

pengertian kausalitas agar mereka dapat menjawab persoalan siapa yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas suatu

(92)

Pengertian Ajaran Kausalitas

• Ajaran yang berupaya untuk mencari sebab dari timbulnya akibat

• Dalam hukum pidana, sebab yang dicari adalah suatu perbuatan

(93)

Kapankah diperlukan ajaran Kausalitas/ Jenis delik apa yang memerlukan ajaran kausalitas?

• Delik Materiil : Delik yang perumusannya melarang

timbulnya akibat. Delik ini selesai ketika akibat timbul. mis. Ps. 338, Ps 359, Ps 360, Ps. 368

• Delik Omisi tak murni/semu (delicta commissiva per

omissionem/ Oneigenlijke Omissiedelicten) : Delik yang terjadi dengan dilanggarnya suatu larangan yang

menimbulkan akibat yang dilakukan dengan perbuatan pasif. Ps. 194 KUHP

(94)

Ajaran Kausalitas

• Conditio Sine Qua Non/ Ekuivalensi (Von Buri) • Teori-teori Individualisasi / Causa Proxima :

Birkmeyer , Mulder

• Teori-teori menggeneralisasi : teori Adekuat (Von Kries, Simons, Pompe, Rumelin)

(95)

Ajaran Conditio Sine Qua Non

• Semua faktor yaitu semua syarat, yang turut serta menyebabkan suatu akibat dan yang

tidak dapat dihilangkan dari rangkaian faktor-faktor ybs. Harus dianggap causa (sebab)

akibat itu.

• Semua syarat nilainya sama (ekuivalensi) • Ada beberapa sebab

(96)

Pembatasan Ajaran Von Buri

• Pembatasan ajaran Von Buri oleh Van Hamel [dibatasi dg ajaran kesalahan (dolus/culpa)] • Pengkesampingan semua sebab yang terletak

di luar dolus atau culpa; dalam banyak

(97)

Teori-teori Individualisasi /

Causa Proxima

• Birkmeyer :

 Teori ini berpangkal dari teori Conditio Sine Qua Non .

 Di dalam rangkaian syarat-syarat yang tidak dapat

dihilangkan untuk timbulnya akibat, lalu dicari syarat manakah yang dalam keadaan tertentu itu, yang

paling banyak membantu untuk terjadinya akibat.

(98)

Teori-teori menggeneralisasi

Von Bar

Teori Von Bar ini tidak menyoal tindakan mana atau kejadian mana yang in concreto

memberikan pengaruh (fisik/psikis) paling

menentukan. Yang dipersoalkan adalah apakah satu syarat yang secara umum dapat dipandang mengakibatkan terjadinya peristiwa seperti yang bersangkutan mungkin ditemukan dalam

(99)

Teori-teori menggeneralisasi

Von Kries (Teori Adequat Subjectif)

 Sebab adalah keseluruhan faktor positif & negatif yang tidak dapat

dikesampingkan tanpa sekaligus meniadakan akibat. Namun pembatasan demi kepentingan penetapan pertanggungjawaban pidana tidak dicari dalam nilai kualitatif/kuantitatif atau berat/ringannya faktor dalam situasi konkret, tetapi dinilai dari makna semua itu secara umum, kemungkinan dari faktor-faktor tersebut untuk memunculkan akibat tertentu.

 Sebab = syarat-syarat yang dalam situasi dan kondisi tertentu memiliki kecenderungan untuk memunculkan akibat tertentu, biasanya

memunculkan akibat itu, atau secara objectif memperbesar kemungkinan munculnya akibat tersebut.

 Apakah suatu tindakan memiliki kecenderungan memunculkan akibat tertentu hanya dapat diselesaikan apabila kita memiliki 2 bentuk

pengetahuan :

(a) hukum umum probabilitas dalam peristiwa yg terjadi / pengetahuan Nomologis yg memadai

(100)

Teori-teori menggeneralisasi

• Rumelin (Teori Adequat Objectif) :

Faktor yang ditinjau dari sudut objektif , harus (perlu) ada untuk terjadinya akibat. Ihwal probabilitas tidak berdasarkan pada apa yang diketahui atau mungkin diketahui pada waktu melakukan tindakannya, melainkan pada fakta yang objektif pada waktu itu ada, entah diketahuinya atau tidak – jadi pada apa yang kemudian terbukti merupakan situasi dan kondisi yang melingkupi peristiwa tersebut.

• Simons :

Sebab adalah tiap-tiap kelakuan yang menurut garis-garis umum pengalaman manusia dapat menimbulkan akibat

• Pompe :

(101)

Teori Relevansi

• Langemeijer

(102)

Sifat Melawan Hukum

(Wederrechtelijkheid)

• Arti :

- tanpa hak sendiri (zonder eigen recht)

- bertentangan dg hak orang lain (tegen eens anders recht) - tanpa alasan yg wajar

(103)

Alasan Pencantuman unsur Melawan Hukum

• Pada umumnya dalam perundang-undangan , lebih banyak delik yang tidak memuat unsur melawan hukum dalam rumusannya

• Alasan pencantuman sifat melawan hukum dalam perumusan tindak pidana :

(104)

AJARAN SIFAT MELAWAN HUKUM

• Melawan hukum :

- aliran formil : melawan hukum = melawan UU, sebab hukum adalah UU.

- aliran materiil : melawan hukum adalah perbuatan yg oleh masyarakat tidak

(105)

Perbedaan Ajaran Materiil dan

Formil

AJARAN FORMIL

 melawan hukum tidak selalu menjadi unsur delik, hanya jika dalam rumusan delik disebutkan dengan nyata-nyata barulah

menjadi unsur delik

 hanya mengakui pengecualian yang tersebut dalam undang-undang saja/ mis, Ps. 49.

AJARAN MATERIIL

 melawan hukum adalah unsur mutlak dari tiap-tiap tindak pidana, juga bagi yang dalam rumusannya tidak menyebut unsur tersebut

(106)

Pembuktian Unsur Melawan Hukum

• Dengan mengakui bahwa sifat melawan hukum selalu

menjadi unsur delik, ini tidak berarti bahwa karena itu harus selalu dibuktikan adanya unsur tersebut oleh penuntut

umum

• Soal apakah harus dibuktikan atau tidak, adalah tergantung dari rumusan delik. Bila unsur tersebut tercantum dlm

rumusan pasal, maka hrs dibuktikan, sedangkan jika tidak tercantum maka tidak perlu dibuktikan.

(107)

KULIAH 6

(108)

Pengantar

• Kesalahan merupakan unsur yg melekat pada pelaku tindak pidana

• 4 pengertian kesalahan • Bentuk-bentuk kesalahan

(109)

Pengertian Kesalahan

• Ada 4 pengertian kesalahan (Utrecht):

1.Kesalahan sebagai unsur delik; dalam arti kumpulan (nama generik) yang mencakup dolus dan culpa

2.Kesalahan dalam arti pertanggungjawaban pidana: ketercelaan (verwijtbaarheid)

(110)

• 3. Kesalahan dalam arti bentuk khusus, yang hanya berupa culpa

• 4. Kesalahan yang digunakan dalam

rumusan delik untuk menetapkan bahwa pidana dapat diancamkan pada pelaku yang bersalah karena telah melakukan tindakan tertentu; mis. Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain dipidana karena bersalah

(111)

Kesalahan sebagai Unsur Delik

(112)

Dolus/ opzet/ sengaja

• Apakah sengaja itu ?

Sengaja = willen (menghendaki) en weten (mengetahui) (MvT- 1886)

• Teori2 “sengaja” :

(a) teori kehendak (wils theorie)

“ opzet ada apabila perbuatan & akibat suatu delik dikehendaki si pelaku”

(b) teori bayangan (voorstellings-theorie)

“opzet ada apabila si pelaku pada waktu mulai melakukan perbuatan, ada bayangan yg terang bahwa akibat yg

(113)

Dolus/ opzet/ sengaja

istilah2 dalam rumusan tindak pidana

• Dengan sengaja : Ps 338 KUHP

• Mengetahui bahwa : Ps 220 KUHP • tahu tentang : Ps 164 KUHP

• dengan maksud : Ps 362, 378, 263 KUHP • niat : Ps 53 KUHP

• dengan rencana lebih dahulu : Ps 340, 355 KUHP

- dengan rencana : (a) saat pemikiran dg tenang ; (b) berpikir dg tenang; ( c ) direnungkan lebih dahulu. - ada tenggang waktu antara timbulnya niat dengan

(114)

Bentuk-Bentuk Dolus

1. Dolus sebagai maksud /tujuan (als oogmerk) 2. Dolus dengan kesadaran/keinsyafan kepastian

(noodzakelijkheidsbewustzijn)

3. Dolus dengan kesadaran/keinsyafan kemungkinan

(opzet met waarschijnlijkheids bewustzijn/ awareness of probability)

4. Dolus eventualis (kesengajaan bersyarat; opzet met mogelijkheidsbewustzijn/voorwaardelijk

opzet/awareness of possibility)

(115)

• Ada sarjana yang membedakan bentuk-bentuk dolus menjadi 3 macam,yaitu: sebagai maksud, berkeinsyafan kepastian dan berkeinsyafan

kemungkinan (misalnya PAF Lamintang, Tresna, Moeljatno)

• Mereka menyamakan dolus eventualis dengan kesengajaan dengan keinsyafan kemungkinan

• Dolus eventualis merupakan perkembangan dalam hukum pidana, khususnya dalam hal bentuk-bentuk kesengajaan dan HR Belanda baru menerima

kesengajaan bentuk ini setelah PD II

(116)

Bentuk-bentuk kesengajaan

• Sengaja sebagai maksud/ tujuan :

- apabila pembuat menghendaki perbuatan dan/akibat perbuatannya;

- tidak dilakukan perbuatan itu jika pembuat tahu akibat perbuatannya tidak terjadi

• Sengaja sebagai keinsyafan kepastian :

- pembuat yakin bahwa akibat yg dimaksudkannya tidak akan tercapai tanpa terjadinya akibat yg tidak dimaksud

• Sengaja sebagai keinsyafan kemungkinan:

- pembuat sadar bahwa mungkin akibat yg tidak dikehendaki akan terjadi untuk mencapai akibat yg dimaksudnya

(117)

Dolus eventualis

• Pelaku dengan kehendak dan kesadaran

menerima kemungkinan munculnya akibat

yang buruk.

• Di Jerman disebut billigend in Kauf nehmen: menerima penuh risiko terwujudnya sesuatu kemungkinan

• Contoh: metro mini maut di Jakarta Utara, naik kuda di jalan ramai di kota London,

(118)

Arti “dan” diantara unsur dengan sengaja & unsur melawan hukum

• Van Hamel, simons, pompe : perbedaan itu mempunyai arti. Mis. Ps 406 KUHP : dengan sengaja dan melawan hukum ; Ps 333 KUHP : dengan sengaja melawan hukum

• Vos, zevenbergen, langemeijer :

tiadanya kata “dan” tidak berarti apa2,

semuanya mesti dibaca “dengan sengaja dan melawan hukum”

• Remelink, van Bemmelen :

kata penghubung “dan” tidak mempunyai arti, jadi istilah “dengan sengaja” meliputi pula

(119)

Culpa

Istilah2

- culpa - schuld - nalatigheid - sembrono - teledor

• istilah 2 yg digunakan dalam rumusan :

- kelalaian - kealpaan - kesalahan

(120)

Pengertian, Jenis, Syarat

• KUHP : tidak ada definisi ttg culpa

• MvT : kealpaan di satu pihak berlawanan benar2 dg kesengajaan dan di pihak lain dengan hal yg kebetulan

• Pada culpa, unsur menghendaki selalu tidak ada; sedangkan unsur mengetahui sering tidak ada

• Macam2 Culpa :

(a) culpa levis ; culpa lata

(b) culpa yg disadari (bewuste) : culpa yg tidak disadari (on bewuste) • Syarat adanya kealpaan :

(a) Hazewinkel-Suringa : 1) kekurangan menduga-duga; 2) kekurangan berhati-hati

(b) van Hamel : 1) tidak menduga-duga sebagaimana diharuskan hukum; 2) tidak berhati-hati sebagaimana diharuskan hukum

(121)

Culpa

• Untuk menentukan ada atau tidaknya culpa pada seseorang, maka harus digunakan tolok ukur yang

normal (upaya dan kehati-hatian dari orang yang sama kemampuan dan kecerdasannya dengan pelaku).

• Apabila pada situasi dan kondisi yang sama dengan pelaku, orang yang sama kemampuan dan

kecerdasannya dengan pelaku pada umumnya tidak melakukan perbuatan seperti yang dilakukan oleh

(122)

Culpa

• Culpa Levis (Kelalaian yang kecil/ringan)--- apabila tolok ukurnya adalah upaya dan kehati-hatian yang luar biasa

• Culpa yang disadari (bewuste culpa) : Apabila pelaku sudah membayangkan kemungkinan timbulnya suatu akibat yang dilarang, dan karena itu ia juga sudah berupaya agar tidak timbul akibat tsb. (dia tidak menghendaki akibat), namun akibat tetap terjadi

• Culpa yang tidak disadari (onbewuste culpa): Pelaku sama sekali tidak pernah membayangkan kemungkinan timbulnya akibat yang dilarang; tetapi ternyata terjadi akibat

(123)

Asas penting dalam masalah

pertanggungjawaban

• Geen straf zonder schuld

• Tiada Pidana tanpa kesalahan :

meskipun seseorang telah melakukan

(124)

Dapat dipersalahkan sehingga dapat dipertanggungjawabkan

• 3 syarat yang harus dipenuhi:

• Kemampuan bertanggungjawab

• Ada hubungan psikis antara pelaku dan perbuatannya , dalam bentuk dolus atau culpa

(125)

Kemampuan Bertanggungjawab (toerekeningsvatbaarheid)

• Dengan menggunakan penafsiran a-contrario dari MVT tentang tidak mampu bertanggungjawab; maka mampu bertanggungjawab artinya:

- pelaku melakukan perbuatannya dengan bebas; tanpa paksaan

- pelaku menginsyafi bahwa perbuatannya melawan hukum dan ia mengerti akibat perbuatannya

• Dalam praktik, setiap pelaku dianggap mampu

(126)

KULIAH 7

(127)

Percobaan Tindak Pidana

• Pengertian • Syarat

(128)

PERCOBAAN (POGING)

• PASAL 53

(1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan

tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.

(2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga.

(3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 tahun.

(4) Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.

• Pasal 54

(129)

POGING (PERCOBAAN)

• “Permulaan kejahatan yang belum selesai”

• Poging bukan suatu delik, tetapi poging dilarang dan diancam hukuman oleh undang-undang

• Poging adalah perluasan pengertian delik

• Suatu perbuatan dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang sebab perbuatan itu melanggar kepentingan hukum atau

membahayakan kepentingan hukum

• KUHP tidak memberi perumusan/ definisi

• Harus diketahui kapan suatu delik dianggap selesai

• Delik selesai berbeda antara delik formil dan delik materiil

• Pada delik formil : delik selesai apabila perbuatan yang dilarang telah dilakukan

(130)

Percobaan dapat Dipidana

• Percobaan Tindak pidana merupakan lembaga yang memperluas pertanggungjawaban pidana.

• Pada dasarnya seseorang baru bisa dipidana apabila ia memenuhi semua unsur suatu tindak pidana (delik selesai), tetapi meskipun delik belumk selesai (belum semua unsur dipenuhi), seseorang sudah dapat

dipidana jika memenuhi syarat-syarat percobaan sebagaimana diatur dalam Pasal 53 KUHP.

• Jenis tindak pidana yang percobaannya dapat dihukum adalah hanya kejahatan.

(131)

Pengecualian

• Dalam KUHP terdapat pasal-pasal yg

merupakan percobaan tindak pidana yg

dipidana sbg delik selesai. Hal ini terdapat juga dalam UU Pidana di luar KUHP.

• Ada juga delik-delik khusus dlm KUHP yg mirip dgn percobaan yaitu makar (ps. 87) dan

(132)

Melakukan percobaan

kejahatan

akan

tetapi tidak dihukum

• Pasal 184 ayat 5 KUHP –perkelahian tanding • Pasal 302 ayat 4 KUHP – penganiayaan ringan

terhadap binatang

(133)

Syarat Percobaan yg dapat dipidana

• Niat

• Permulaan Pelaksanaan

• Tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan

(134)

Syarat Pertama

NIAT atau “Voornemen”

• Menurut doktrin dan yurisprudensi

:”voornemen” harus ditafsirkan sebagai kehendak, “willen” atau “opzet”

• Seseorang harus mempunyai kehendak, yaitu kehendak melakukan kejahatan

• Karena ada 3 macam opzet, apakah opzet di sini harus dtafsirkan dalam arti luas atau

(135)

Syarat Kedua

Permulaan Pelaksanaan

• “Niat sudah terwujud dengan adanya permulaan pelaksanaan”  een begin van uitvoering

• Harus ada suatu perbuatan(handeling)

• apa yang dimaksud “perbuatan sebagai permulaan pelaksanaan” ?

• Undang-undang tidak merumuskan pelaksanaan atau”uitvoering” dan bagaimana bentuknya

(136)

Pelaksanaan Kehendak atau

Pelaksanaan Kejahatan ?

• Secara gramatika, harus dihubungkan dengan kata yang

mendahuluinya yaitu “voornemen”/ niat/kehendak  Niat sudah terwujud dengan adanya permulaan

pelaksanaan. Jadi : pelaksanaan itu ditafsirkan sebagai “pelaksanaan kehendak”  TEORI POGING SUBYEKTIF

• Tetapi, jika dihubungkan dengan anak kalimat berikutnya “… tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata

disebabkan karena kehendaknya sendiri” maka secara

(137)

PENDAPAT PARA AHLI DALAM MASALAH TERSEBUT

1.Van Hamel : “apabila dari perbuatan itu telah terbukti kehendak yang kuat dari si pelaku untuk melaksanakan perbuatannya”

2.Simons melihat dari jenis deliknya : delik materiil atau delik formil. • Pada delik formil apabila perbuatan itu merupakan perbuatan yang

dilarang dan diancam dengan hukuman oleh UU, apabila perbuatan itu merupakan sebagian dari perbuatan yang dilarang; jika ada beberapa unsur maka jika sudah melakukan salah satu unsur

• Pada delik materril apabila perbuatan itu dianggap sebagai perbuatan yang menurut sifatnya adalah sedemikian rupa , sehingga secara langsung dapat menimbulkan akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh UU

3.Vos : ada “permulaan pelaksanaan” apabila perbuatan itu mempunyai sifat terlarang terjadap suatu kepentingan hukum.

(138)

Pendapat Hoge Raad

Ada “permulaan pelaksanaan” apabila antara perbuatan yang dilakukan dan kejahatan yang dkehendaki oleh seseorang itu terdapat hubungan erat langsung; yaitu apabila seorang

melakukan sesuatu perbuatan untuk melaksanakan kejahatan , perbuatan itu baru dianggap sebagai permulaan pelaksanaan apabila disamping perbuatan itu tidak dibutuhkan lagi

(139)

Teori Subyektif

- subjectieve pogingsleer –

• seseorang yang melakukan percobaan untuk melakukan kejahatan itu pantas dihukum,

oleh karena orang tersebut telah

menunjukkan perilaku yang tidak bermoral yang bersifat jahat ataupun yang bersifat berbahaya”

• Terdapat sikap batin atau watak yang

(140)

Teori Obyektif

- objectieve pogingsleer –

• Seseorang yang melakukan percobaan untuk melakukan suatu kejahatan itu dapat dihukum oleh karena “tindakan-tindakannya dinilai

telah membahayakan kepentingan-kepentingan hukum”.

• Teori Objectif ini dibagi menjadi: - Teori objectif formil

(141)

Pengklasifikasian Teori Objektif

• Teori Obyektif Formil

• Seseorang yang melakukan percobaan untuk

melakukan suatu kejahatan itu dapat dihukum oleh karena “tindakan-tindakannya telah bernilai

membahayakan bagi kepentingan-kepentingan hukum”. Teori ini tidak membedakan antara

percobaan pada delik formil dan delik materiil

• Teori Obyektif Materiil membedakan percobaan

(142)

• Teori Obyektif Materiil pada Delik Formil

“apabila telah dimulai perbuatan/tindakan yang disebut dalam rumusan delik”

• Teori Obyektif Materiil pada Delik Materiil • “segera setelah tindakan yang dilakukan oleh

pelakunya itu, menurut sifatnya secara langsung dapat menimbulkan akibat yang terlarang oleh UU

(143)

Teori Campuran

• Teori Subyektif

- subjectieve pogingsleer –

dan

• Teori Obyektif

- objectieve pogingsleer –

(144)

PEMBATASAN TERHADAP TEORI SUBYEKTIF

• Perbuatan dibedakan :

• 1. tindakan atau perbuatan persiapan (belum dapat dihukum)

• 2. tindakan atau perbuatan pelaksanaan (sudah dapat dihukum)

• Tetapi, pertanyaannya : mana yang

(145)

CONTOH KASUS

• A menghendaki untuk membunuh B , untuk melaksanakan maksudnya, A harus melakukan beberapa perbuatan, yaitu :

• a. A pergi ke tempat penjualan senjata api • b. A membeli senjata api

• c. A membawa senjata api ke rumahnya • d. A berlatih menembak

• e. A menyiapkan sebjata apinya dengan membungkusnya rapat-rapat • f. A menuju rumah B

• g. Sesampai di rumah B, A mengisi senjata itu dengan peluru • h. A mengarahkan senjata kepada B

(146)

MANA YANG MERUPAKAN PELAKSANAAN ? APAKAH TIAP2 PERBUATAN DALAM KASUS TSB

DAPAT DIHUKUM ?

• 1. Menurut Teori Poging Subyektif : perbuatan a sudah merupakan “permulaan

pelaksanaan” karena telah menunjukkan “kehendak yang jahat”

• 2. Menurut Teori Poging Obyektif : perbuatan a  f belum merupakan “permulaan

pelaksanaan” karena semua perbuatan itu

(147)

Percobaan delik formil

“apabila telah dimulai perbuatan/tindakan yang disebut dalam rumusan delik”

Hoge Raad arrest tanggal 8 Maret 1920 N.J.1920

• “perbuatan menawarkan untuk dibeli dan

perbuatan menghitung uang kertas yang telah dipalsukan di depan orang lain” adalah

(148)

Percobaan delik

materiil

• “segera setelah tindakan yang dilakukan oleh pelakunya itu, menurut sifatnya secara

langsung dapat menimbulkan akibat yang terlarang oleh undang-undang, tanpa

pelakunya tersebut harus mel;akukan suatu tindakan yang lain”

• Hoge Raad Arrest 19 Maret 1934, N.J 1934

(149)

Syarat Ketiga

Tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri

Kapan dikatakan bahwa tidak selesainya pelaksanaan itu “bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri”?

Tidak selesainya pelaksanaan bukan kehendaknya sendiri. (tidak secara sukarela).

• Apabila ia membatalkan niatnya secara sukarela/kehendak sendiri –

vrijwillige terugterd – maka syarat ke-3 ini tidak terpenuhi.

(150)

Coba bandingkan dengan Pasal 18 RUU KUHP (versi 2008)

(1) Dalam hal setelah permulaan pelaksanaan dilakukan, pembuat tidak

menyelesaikan perbuatannya karena kehendaknya sendiri secara sukarela, maka pembuat tidak dipidana.

(2) Dalam hal setelah permulaan pelaksanaan dilakukan, pembuat dengan

kehendaknya sendiri mencegah tercapainya tujuan atau akibat perbuatannya, maka pembuat tidak dipidana.

(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah menimbulkan kerugian atau menurut peraturan

(151)

Macam2 Percobaan (Doktrin)

• Percobaan yg Sempurna : Voleindigde Poging -->

apabila seseorang berkehendak melakukan kejahatan, ia telah

melakukan semua perbuatan yg diperlukan bagi selesainya kejahatan, tetapi kejahatan tidak selesai karena suatu hal

• Percobaan yg Tertangguh : Geschosrte Poging -->

apabila seseorang berkehendak melakukan kejahatan, ia telah melakukan beberapa perbuatan yg diperlukan bagi tercapainya kejahatan, tetapi kurang satu perbuatan ia terhalang oleh suatu hal

• Percobaan yg Tidak Sempurna (tidak wajar) :

Ondeugdelijke Poging --> apabila seseorang berkehendak melakukan suatu kejahatan, dimana ia telah melakukan semua

perbuatan yg diperlukan bagi selesainya kejahatan, namun tidak berhasil disebabkan alat (sarana) tidak sempurna atau obyek (sasaran) tidak

sempurna.

(152)

“Percobaan Tidak Sempurna” telah dirumuskan

dalam Pasal 20 R-KUHP (versi 2008)

Dalam hal tidak selesai atau tidak mungkin terjadinya tindak pidana disebabkan

(153)

Kasus 1

• Seorang yang sedang berdiri di bordes KA,

ketika akan diperiksa karcisnya oleh kondektur, ia telah menendang kaki petugas tersebut.

Sehingga apabila kondektur tidak dengan

cepat berpegang pada tiang besi KA, pasti ia jatuh keluar dan terlindas KA (Arrest HR Tgl

(154)

Kasus 2

• Seorang POLANTAS memberi tanda agar

sebuah kendaraan bermotor berhenti, karena tidak menyalakan lampu. Pengemudi tetap

tancap gas, sehingga kalau petugas tidak

(155)

Kasus 3

Percobaan Pembunuhan Berencana

KASUS

• A bermaksud menghabisi nyawa B dengan meletakkan bom di mobil B. Bom meledak sebelum B masuk mobil dan mengakibatkan B luka-luka parah.

PASAL YG DIDAKWAKAN

• Pasal 340 jo Pasal 53 KUHP ( Percobaan pembunuhan berencana)

ANCAMAN PIDANA

(156)

Mangel am tatbestand (gebrek aan feitelijk tosdracht v/e zaak)

• Kejadian-kejadian yang mirip dengan percobaan

yang tidak sempurna/ tidak wajar di mana salah satu unsur dari kejahatan tertentu itu sebenarnya tidak mungkin ada atau tidak mungkin terjadi

• Misal:

• menggugurkan kandungan seorang perempuan

yang tidak pernah hamil;

• mencuri barang yang pencurinya tidak tahu bahwa

(157)

Putatif Delict

• Seseorang mengira bahwa apa yang

dilakukan merupakan suatu tindak pidana, padahal tindakan tersebut tidak dilarang

• Contoh:

• Seseorang masuk ke Indonesia dan membawa

sejumlah uang kertas asing. Semula ia beranggapan telah mencoba atau melakukan suatu kejahatan.

(158)

Percobaan dalam kealpaan

mungkinkah????

• Pasal 287 KUHP

• “…yang sepatutnya ia harus dapat menduga bahwa wanita itu belum cukup umurnya…” • Pasal 480 KUHP

(159)

PIDANA dan PEMIDANAAN

Bahan kuliah untuk :

Program Reguler kelas A, B, C dan D dan Program Ekstensi kelas A dan B

(160)

Pembahasan:

- Istilah

- Pengertian

(161)

Istilah PIDANA

Sanksi Straf

Hukuman

(162)

PIDANA

• Nestapa/derita

• Yang dijatuhkan dengan sengaja oleh

negara (melalui pengadilan)

• Dikenakan pada seseorang

• Yang secara sah telah melanggar

hukum pidana

(163)

Proses Peradilan Pidana

(the criminal justice process)

• Struktur, fungsi, dan proses

pengambilan keputusan

• Oleh sejumlah lembaga (kepolisian,

kejaksaan, pengadilan & lembaga pemasyarakatan)

• Yang berkenaan dengan penanganan

& pengendalian

(164)

Pidana sebagai pranata sosial

• Sebagai bagian dari reaksi sosial manakala

terjadi pelanggaran terhadap norma2 yang berlaku

• Mencerminkan nilai & struktur masyarakat • Merupakan reafirmasi simbolis atas

pelanggaran terhadap „hati nurani bersama‟

• Sebagai bentuk ketidaksetujuan terhadap

perilaku tertentu

• Selalu berupa konsekwensi yang

(165)

Pengertian

Hukum Penitentier (Utrecht II hal. 268) :

• Segala peraturan positif mengenai sistem hukuman dan sistem

tindakan yang memuat:

– Jenis sanksi atas tindak pidana yang dilakukan – Beratnya sanksi itu

– Lamanya sanksi itu dijalankan oleh pelaku – Cara sanksi itu dilakukan

– Tempat sanksi itu dijalankan • Hukuman, menurut pendapat :

Moeljatno : Lebih tepat “pidana” untuk menerjemahkan straf. Sudarto : Idem.

R. Soesilo : Suatu perasaan tidak enak/sengsara yang

(166)

Unsur-unsur atau ciri-ciri pidana

• Merupakan suatu pengenaan

penderitaan/nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;

• Diberikan dengan sengaja oleh badan yang memiliki kekuasaan (berwenang); • Dikenakan pada seseorang penanggung

jawab peristiwa pidana menurut UU (orang memenuhi rumusan delik/pasal).

(167)

PEMIDANAAN

Penjatuhan Pidana/sentencing :

• Upaya yang sah

• Yang dilandasi oleh hukum

• Untuk mengenakan nestapa penderitaan • Pada seseorang yang melalui proses

peradilan pidana

• Terbukti secara sah dan meyakinkan

(168)

Sejarah

a. Utrecht I Bab 1

b. Utrecht II Bab 5

• Mulai WvS diundangkan yaitu tahun 1915 • UU No. 1/1946 tentang KUHP (berlaku

berdasarkan asas konkordansi).

(169)

Jenis-jenis hukuman yg dpt dijatuhkan oleh Pengadilan berdasarkan plakat tgl. 22 April 1808

• Dibakar hidup, terikat pada suatu tiang

(hanya utk pelaku pembakar/pembunuh) • Dimatikan dgn suatu keris

• Dicap bakar

• Dipukul, dipukul dgn rantai (pidana badan/corporal punishment)

• Ditahan/dimasukkan dlm penjara

• Kerja paksa pada pekerjaan2 umum.

(170)

Dasar-Dasar Hukuman :

Hukum pidana sebagai suatu sanksi yang

bersifat istimewa: terkadang dikatakan melanggar HAM  melakukan

perampasan terhadap harta kekayaan

(pidana denda), pembatasan kebebasan bergerak/ kemerdekaan orang (pidana kurungan/penjara) dan perampasan

terhadap nyawa (hukuman mati).

Merupakan Ultimum Remedium (senjata

(171)

Siapakah yang berhak menuntut,

menjatuhkan, dan menjalankan pidana itu ?

Utrecht I Bab V, hal. 149 – dst :

• Beysens, pada dasarnya negaralah yang berhak,

krn perbuatan tsb bertentangan dgn tata tertib negara (sudut obyektif) & perbuatan yg dpt

dipertanggung-jawabkan oleh pelaku (sudut subyektif);

• Utrecht :

– Negara sebagai organisasi sosial tertinggi o.k.i. sangat

logis jika negara diberi tugas mempertahankan tata tertib masyarakat;

– Negara sebagai satu-satunya alat yang dapat menjamin

(172)

Teori-Teori Pemidanaan/

Tujuan Pemidanaan menurut doktrin

TeoriAbsolut/Retributif/Pembalasan

(lex talionis):

• Hukuman adalah sesuatu yang harus ada sebagai konsekwensi dilakukannya kejahatan;

• Orang yang salah harus dihukum

(173)

Menurut Leo Polak (aliran retributif), hukuman harus memenuhi 3 syarat :

• Perbuatan tersebut dapat dicela

(melanggar etika)

• Tidak boleh dengan maksud prevensi tp utk

represif.

• Beratnya hukuman seimbang dengan

beratnya delik.

• Contoh di Indonesia: Qisas dalam Hukum

(174)

Teori Relatif/Tujuan (utilitarian)

• Menjatuhkan hukuman untuk tujuan

tertentu, bukan hanya sekedar sebagai pembalasan:

• Hukuman pd umumnya bersifat

menakutkan, o.k.i, seyogyanya : Hukuman bersifat memperbaiki/merehabilitasi 

(175)

Prevensi:

hukuman dijatuhkan utk pencegahan

Prevensi Umum :

• sebagai contoh pada masyarakat secara luas agar

tidak meniru perbuatan/kejahatan yang telah dilakukan.

Prevensi Khusus:

• Ditujukan bagi pelaku sendiri, supaya jera/kapok,

tidak mengulangi perbuatan/kejahatan serupa; atau kejahatan lain.

• Deterrence : menakut/nakuti – serupa dengan

prevensi

• Perlindungan: agar orang lain/masyarakat pada

Referensi

Dokumen terkait

(2011), mengatakan bahwa corporate governance yang baik akan meningkatkan firm performance. Secara bersamaan, praktik ini dapat melindungi perusahaan dari kemungkinan

Sahabat penulis Findi Astri Larasati, Memes Wijayanti yang telah senantiasa memberikan doa, semangat dan bantua serta teman praktik kerja lapangan penulis Surya Deastrian

[r]

Penelitian ini dilatarbelakangi minimnya kemampuan siswa dalam menginterpretasi teks ulasan film. Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu:1)Bagaimanakah

11 Yang dimaksud kreativitas guru dalam skripsi ini adalah kemampuan guru untuk mengekspresikan dan mewujudkan potensi daya pikirnya sehingga dapat menghasilkan

Berdasarkan dari hasil penelitian dapat disimpulkan beberapa hal yaitu : Perangkat lunak ini dapat digunakan untuk menangani proses pengisian data, perubahan data,

2 Pada kesulitan tipe ini kebanyakan peserta didik mengalami ksalahan dalam menentukan rumus yang digunakan untuk menyelesaikan soal karena peserta didik tidak

[r]