• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN STRES AKIBAT PEMBELAJARAN DARING SAAT PANDEMI COVID-19 DENGAN KEJADIAN KONSTIPASI PADA MAHASISWA FK USU ANGKATAN 2018 TAHUN 2021 SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HUBUNGAN STRES AKIBAT PEMBELAJARAN DARING SAAT PANDEMI COVID-19 DENGAN KEJADIAN KONSTIPASI PADA MAHASISWA FK USU ANGKATAN 2018 TAHUN 2021 SKRIPSI"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Oleh :

AQYL HANIF ABDILLAH 180100140

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(2)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh :

AQYL HANIF ABDILLAH 180100140

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(3)

i

(4)

ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan nikmat dan rezeki yang diberikan-Nya sehingga penulis dapat mengerjakan dan menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan lancar. Skripsi yang berjudul “Hubungan Stres akibat Pembelajaran Daring saat Pandemi COVID-19 dengan Kejadian Konstipasi pada Mahasiswa FK USU Angkatan 2018 Tahun 2021” ini secara umum bertujuan untuk menentukan apakah ada hubungan antara stres akibat pembelaran daring saat pandemi COVID-19 dengan kejadian konstipasi, serta membahas teori- teori terkait bersamaan dengan analisis hasil hubungannya.

Dalam pengerjaannya, penulis banyak kesulitan tanpa adanya dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak, semenjak penyusunan proposal skripsi ini dilakukan.

Penulis mengucapkan terima kasih dan mengapresiasi sebesar-besarnya kepada:

1. Orang tua penulis yang penulis hormati dan sayangi, ibunda Almas Hijriah, SE., MSi. dan ayahanda Apollo Abdillah, SE., serta kakanda Fariz Izzan Abdillah yang telah mendukung penulis dari seluruh aspek dan memberikan doa yang terbaik sehingga pengerjaan skripsi ini menjadi lancar.

2. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr. Aldy Syafruddin Rambe, Sp.S (K) yang telah memfasilitasi pengerjaan skripsi ini.

3. Dr. dr. Supriatmo, M.Ked(Ped), Sp.A(K), sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan waktu, semangat, motivasi, dan bimbingan serta ajaran- ajaran yang tidak akan penulis lupakan sejak dari penulisan proposal skripsi ini dimulai.

4. dr. Yuke Sarastri, M.Ked(Cardio), Sp.JP, sebagai ketua penguji yang telah membantu memberikan ide, saran, dan penilaian terhadap pengerjaan skripsi ini.

(5)

iii

5. dr. Arya Tjipta Prananda, Sp.BP-RE, sebagai penguji yang telah membantu memberikan inovasi, semangat, dan motivasi dalam pengerjaan skripsi ini.

6. Seluruh staf pengajar dan sivitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu dan memfasilitasi seluruh kegiatan selama perkuliahan.

7. Seluruh rekan dan sahabat penulis, terutama Rasyid Ridha, Ahmad Razi Maulana Alnaz, Abdul Hakim Nasution, Ahmad Aziz Multazam Rangkuti, Dimas Pangestu, Muhammad Fahmi Ikram, Namira Zukhrufiyatul Mardhiyah, Nanda Andini, Putri Rhizkikah, Azhzhilla Izza Mora Lubis, Amalia Faghira Aldreyn dan sahabat-sahabat lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah memberikan semangat, motivasi, dan ilmu-ilmu baru dalam pengerjaan skripsi ini dari awal hingga akhir.

8. Seluruh pihak lain dan responden yang terlibat dan membantu penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

(6)

iv

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Pengesahan ... i

Kata Pengantar ... ii

Daftar Isi ... iv

Daftar Gambar ... vi

Daftar Tabel ... vii

Daftar Singkatan ... viii

Abstrak ... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.3.1 Tujuan Umum ... 4

1.3.2 Tujuan Khusus ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Stres ... 6

2.1.1 Definisi Stres ... 6

2.1.2 Etiologi Stres ... 6

2.1.3 Mekanisme Terjadinya Stres ... 8

2.1.4 Jenis-Jenis Stres ... 11

2.1.5 Pengaruh Stres terhadap Kesehatan ... 12

2.1.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi dan Respon Stres ... 16

2.2 Konstipasi ... 16

2.2.1 Definisi Konstipasi ... 16

2.2.2 Etiologi Konstipasi ... 18

2.2.3 Patogenesis dan Patofisiologi Konstipasi ... 19

2.2.4 Manifestasi Klinis Konstipasi ... 20

2.2.5 Penatalaksanaan Konstipasi ... 21

2.2.6 Prognosis Konstipasi ... 24

2.3 Hubungan Stres akibat Pembelajaran Daring dan Konstipasi ... 24

2.4 Kerangka Teori ... 26

2.5 Kerangka Konsep ... 27

2.6 Hipotesis ... 27

(7)

v BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian ... 28

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ... 28

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 28

3.3.1 Populasi Penelitian ... 28

3.3.2 Sampel Penelitian ... 28

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 30

3.4.1 Instrumen Penelitian ... 30

3.4.2 Cara Kerja Penelitian ... 30

3.5 Definisi Operasional ... 31

3.6 Pengolahan dan Analisis Data ... 32

3.6.1 Pengolahan Data ... 32

3.6.2 Analisis Data ... 32

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Lokasi Penelitian ... 33

4.2 Hasil Penelitian dan Pembahasan ... 33

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 40

5.2 Saran ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 42

LAMPIRAN A ... 47

LAMPIRAN B ... 49

LAMPIRAN C ... 50

LAMPIRAN D ... 51

LAMPIRAN E ... 52

LAMPIRAN F ... 53

LAMPIRAN G ... 54

LAMPIRAN H ... 59

LAMPIRAN I ... 63

LAMPIRAN J ... 72

(8)

vi

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Peran utama otak dalam menelaah kejadian-kejadian yang memicu stres dan respon tingkah laku respon fisiologis

terhadap kejadian-kejadian tersebut... 9 2.2 Sistem stres, mulai dari jenis stresor sampai terjadinya

adaptasi oleh karena adanya

respon... 10 2.3 Tahapan dari General Adaptation

Syndrome... 12 2.4 Kerangka teori... 26 2.5 Kerangka konsep... 27

(9)

vii

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Kriteria diagnosis konstipasi ROME IV... 17 3.1 Definisi operasional... 31 4.1 Distribusi frekuensi sampel berdasarkan jenis

kelamin... 34 4.2

4.3 4.4 4.5

Distribusi frekuensi sampel berdasarkan

usia...

Distribusi frekuensi sampel berdasarkan kejadian

stres...

Distribusi frekuensi sampel berdasarkan kejadian

konstipasi...

Hubungan antara kejadian stres akibat pembelajaran daring saat pandemi COVID-19 dengan kejadian

konstipasi...

34 35 37

38

(10)

viii

DAFTAR SINGKATAN

5-HT₄ : 5-hydroxytryptamine receptor 4 ACTH : Adrenocorticotrophic Hormone ANS : Autonomic Nervous System BSFS : Bristol Stool Form Scale

CFTR : Cystic Fibrosis Transmembrane Regulator CRH : Corticotropin Releasing Hormone

CSSQ : COVID-19 Student Stress Questionnaire GAS : General Adaptation Syndrome

HPA : Jaras Hypothalamus-Pituitary-Adrenal IBS : Irritable Bowel Syndrome

PTSD : Post-Traumatic Stress Disorder SAM : Jaras Sympathetic-Adrenomedullar SPSS : Statistical Product and Service Solutions STC : Slow-transit Constipation

WHO : World Health Organization

(11)

ix ABSTRAK

Latar Belakang. Konstipasi merupakan hal yang umum dijumpai dan mengenai sekitar 15% dari populasi dunia. Konstipasi dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup dari penderita dan dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk stres. Stres juga umum dijumpai, terutama pada kelompok mahasiswa, di mana hal ini mengakibatkan tingginya angka kecenderungan untuk bunuh diri dan gangguan dari berbagai macam aspek lainnya. Dewasa ini, saat pandemi COVID-19, kejadian stres menjadi lebih umum dijumpai, karena berbagai penyebab. Salah satu penyebab tersebut adalah pembelajaran daring saat pandemi COVID-19 yang dapat menjadi pemicu stres bagi mahasiswa.

Tujuan. Menentukan adanya hubungan antara stres akibat pembelajaran daring saat pandemi COVID- 19 dengan kejadian konstipasi pada mahasiswa FK USU angkatan 2018 tahun 2021. Metode. Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan desain penelitian cross-sectional study. Sampel pada penelitian ini adalah mahasiswa FK USU angkatan 2018 sebanyak 112 orang yang memenuhi kriteria inklusi dan dipilih dengan metode consecutive sampling. Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang dibagikan secara daring dalam bentuk google form yang diisikan oleh responden. Lalu, dilakukan analisis univariat dan bivariat pada data dengan menggunakan aplikasi SPSS, dengan analisis bivariat dilakukan dengan menggunakan fisher exact test. Hasil. Dalam penelitian ini, didapatkan 78 orang (69,6%) mengalami stres dan 8 orang (7,1%) mengalami konstipasi.

Hasil analisis kedua variabel dengan fisher exact test menunjukkan nilai p sebesar 0,431 yang dapat diartikan bahwa tidak ada hubungan antara stres akibat pembelajaran daring saat pandemi COVID-19 dengan kejadian konstipasi. Kesimpulan. Stres akibat pembelajaran daring saat pandemi COVID-19 tidak berhubungan dengan kejadian konstipasi.

Kata kunci: konstipasi, pandemi, pembelajaran daring, stres

(12)

x ABSTRACT

Background. Constipation is common and affects 15% of population worldwide. Constipation can decrease the quality of life of the patients and may be affected by many factors, including stress. Stress too, is general, especially in students, causing higher rates in suicidal tendency and impairments from various aspects. Today, in COVID-19 pandemic, stress is more common due to numerous causes. One of the causes is online studying in COVID-19 pandemic, which might trigger stress in students.

Objectives. To determine the relationship between online study stress in COVID-19 pandemic with constipation in year 2018 medical students of USU in 2021. Methods. This study is an analytic observational study using cross-sectional design. Samples in this study were 112 year 2018 medical students of USU satisfied the inclusion criteria and gathered by using consecutive sampling method.

Primary data acquired by using online-shared questionnaire in google form and submitted by the respondents. Then, univariate and bivariate analysis were performed to the data using SPSS, with the latter used fisher exact test analysis. Results. In this study, 78 students (69,6%) were stressed and 8 students (7,1%) were constipated. The analysis between the two variables using fisher exact test shown the p value about 0,431, which can be interpreted as no association found between online study stress in COVID-19 pandemic with constipation. Conclusion. Online study stress in COVID-19 pandemic is not associated with constipation.

Keywords: constipation, pandemic, online study, stress

(13)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Konstipasi merupakan hal yang umum dan sering dijumpai setiap harinya.

Gangguan ini mengenai sekitar 15% populasi dan menjadi salah satu permasalahan sistem gastrointestinal fungsional terbanyak yang dijumpai secara global (Rao dan Camilleri, 2016; Sperber et al., 2021). Di Indonesia sendiri, pada studi yang sama, konstipasi menempati urutan kedua dari lima penyakit gastrointestinal fungsional yang umum, dengan angka 3,5% (Sperber et al., 2021). Peningkatan prevalensi lebih mudah tampak dengan faktor risiko, seperti peningkatan usia menjadi dewasa, jenis kelamin wanita, dan aktivitas fisik (Yurtdaş et al., 2020). Selain itu, status ekonomi yang rendah juga meningkatkan angka kejadian dari konstipasi (Suares dan Ford, 2011).

Umumnya, konstipasi dapat menyebabkan kualitas hidup dari penderita menurun tanpa bergantung pada ras dan daerah dari penderita. Hal ini disebabkan adanya dampak negatif dari gangguan tersebut, seperti rasa nyeri atau pun permasalahan umum yang ditimbulkan, yaitu besarnya biaya yang diperlukan untuk diagnosis dan pengobatan (Gonzalez-Martinez et al., 2014; Ruiz-López dan Coss-Adame, 2015).

Penurunan kualitas hidup pada penderita konstipasi dapat dibandingkan dengan penderita diabetes mellitus, asma, dan osteoartritis (Leung et al., 2011; Liu, 2011).

Oleh karenanya, konstipasi bukanlah sebuah masalah sederhana, di mana penurunan kualitas hidup juga dapat mengganggu kehidupan bersekolah dan bekerja (Ruiz-López dan Coss-Adame, 2015).

Secara garis besar, konstipasi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu konstipasi primer dan konstipasi sekunder. Pada konstipasi primer, mekanisme yang mendasari kejadian konstipasi dapat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, seperti tidur, bangun, makanan, stresor fisik dan emosional, jenis kelamin, penuaan, dan faktor-

(14)

faktor regional lainnya (Rao dan Camilleri, 2016). Stresor yang menyebabkan stres ini nantinya akan mempengaruhi hubungan sistem saraf pusat dan sistem gastrointestinal dan menyebabkan abnormalitas pada kolon, seperti transit kolon yang berkepanjangan.

Selain itu, stres juga dapat menyebabkan tegangnya otot-otot rangka dan mengakibatkan defekasi yang tidak sinergis (Heidelbaugh et al., 2021). Pada konstipasi sekunder, stres kronis yang secara progresif menjadi gangguan psikologis seperti depresi dan ansietas lebih umum dianggap sebagai penyebabnya (Davis et al., 2017;

Forootan et al., 2018; Heidelbaugh et al., 2021). Gangguan psikologis tersebut dianggap sebagai penyebab konstipasi sekunder oleh karena tidak langsung berhubungan dengan mekanisme dasar terjadinya konstipasi primer dan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi secara sistemik (Andrews dan Storr, 2011).

Namun, secara keseluruhan, telah terbukti secara klinis dan teoritis, bahwa keadaan stres dapat mempengaruhi motilitas gastrointestinal (Chang et al., 2014).

Stres merupakan salah satu gangguan kondisi psikis dan mental yang juga sering ditemukan pada kehidupan sehari-hari. Menurut World Health Organization (WHO), dalam Ambarwati (Ambarwati et al., 2019), stres mengenai sekitar 350 juta penduduk dunia. Stres ini, lebih umum lagi, ditemukan pada mahasiswa, di mana hal ini ditunjukkan dengan angka 38-71% di dunia, dan 39,6-61,3% di Asia. Selain itu, hal ini didukung dengan angka 34,5% dari populasi penelitian di Universitas San Jorge, Spanyol yang menunjukkan gejala stres (Ramón-Arbués et al., 2020). Di Jakarta, tingkat stres sangat berat pada mahasiswa Universitas Negeri lebih banyak dibandingkan tingkat berat, sedang, dan ringan (El-Matury et al., 2018).

Lalu, sebuah studi epidemiologi menyatakan bahwa sebanyak 12-50% dari mahasiswa setidaknya memiliki satu kriteria diagnostik gangguan mental (Bruffaerts et al., 2018). Stres pada mahasiswa, terutama diakibatkan oleh tuntutan akademis yang semakin meningkat, adanya lingkungan yang baru, perubahan kehidupan sosial, dan juga termasuk kompetisi yang ketat (Kumaraswamy, 2013). Akibat yang ditimbulkan dapat berupa peningkatan kecenderungan untuk bunuh diri, gangguan hubungan sosial, gangguan bekerja, dan dampak negatif lainnya (Teh et al., 2015). Selain itu, fisik juga

(15)

dapat terganggu secara signifikan (Musabiq dan Karimah, 2018). Dewasa ini, saat pandemi COVID-19, kejadian stres juga lebih umum dijumpai, karena berbagai faktor penyebab (Adamson et al., 2020).

Sekitar satu tahun yang lalu, seluruh dunia, termasuk Indonesia dilanda kepanikan oleh karena adanya pandemi COVID-19. Pemerintahan di setiap negara mulai mencari solusi seperti isolasi dan karantina (Balkhair, 2020). Di Indonesia sendiri, dalam menekan penularan virus secara cepat, dimulailah regulasi baru oleh pemerintah dalam menjalani kehidupan sehari-hari dengan cara belajar secara daring dan bekerja dari rumah (Andiarna dan Kusumawati, 2020).

Di era pandemi COVID-19 seperti sekarang ini, pola kehidupan masyarakat tentunya berubah dibandingkan sebelumnya, termasuk juga sistem pembelajaran pada mahasiswa (Adamson et al., 2020; PH et al., 2020). Pembelajaran daring pada mahasiswa ini, terutama di Indonesia, dapat menyebabkan stres dikarenakan adanya beberapa faktor pencetus, seperti kurangnya pemahaman mahasiswa terhadap kuliah dan beban tugas yang berat (Andiarna dan Kusumawati, 2020; Argaheni, 2020). Selain itu juga, peningkatan waktu paparan terhadap perangkat dan gawai saat pembelajaran daring dikaitkan sebagai pemicu stres (Mheidly et al., 2020). Sebuah penelitian oleh AlAteeq (AlAteeq et al., 2020), mengemukakan bahwa terdapat tingkat stres sedang- tinggi pada mereka yang melakukan pembelajaran daring di Saudi Arabia.

Dilatarbelakangi oleh permasalahan tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti dan menilai lebih lanjut tentang hubungan stres akibat pembelajaran daring saat pandemi COVID-19 dengan kejadian konstipasi pada mahasiswa FK USU angkatan 2018 tahun 2021.

(16)

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang dikemukakan, dapat dirumuskan sebuah masalah penelitian sebagai berikut: “Apakah ada hubungan antara stres akibat pembelajaran daring saat pandemi COVID-19 dengan kejadian konstipasi pada mahasiswa FK USU angkatan 2018 tahun 2021?”

1.3 TUJUAN PENELITIAN

1.3.1 Tujuan Umum

Menentukan adanya hubungan antara stres akibat pembelajaran daring saat pandemi COVID-19 dengan kejadian konstipasi pada mahasiswa FK USU angkatan 2018 tahun 2021.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui banyaknya kejadian konstipasi pada mahasiswa FK USU angkatan 2018 tahun 2021.

2. Mengetahui banyaknya kejadian stres akibat pembelajaran daring saat pandemi COVID-19 pada mahasiswa FK USU angkatan 2018 tahun 2021.

3. Menjelaskan korelasi antara stres akibat pembelajaran daring saat pandemi COVID-19 dengan kejadian konstipasi pada mahasiswa FK USU angkatan 2018 tahun 2021.

1.4 MANFAAT PENELITIAN

1. Bagi penelitian: Dapat menjadi referensi dan menjadi pemicu bagi penelitian-penelitian berikutnya yang berhubungan dengan hubungan antara stres akibat pembelajaran daring saat pandemi COVID-19 dengan kejadian konstipasi.

(17)

2. Bagi pendidikan: Menjadi sarana pembelajaran dan pengetahuan bagi dunia pendidikan, baik kepada pengajar, maupun pelajar dan para pembaca.

3. Bagi mahasiswa: Menurunkan angka kejadian konstipasi dengan memberikan informasi terhadap mahasiswa-mahasiswa yang kemungkinan memiliki gangguan stres.

4. Bagi peneliti: Menjadi ajang untuk pembelajaran tersendiri bagi peneliti untuk memahami dan melakukan penelitian secara baik, benar, dan sesuai dengan kaidah yang berlaku.

(18)

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 STRES

2.1.1 Definisi Stres

Stres memiliki cakupan makna yang sangat luas. Menurut King (King, 2017), stres adalah respon individual terhadap stresor, yaitu suatu keadaan atau kejadian yang mengancam dan memaksa kemampuan mereka untuk mengatasi keadaan tersebut.

Stres juga dapat diartikan sebagai cara spesifik mengatasi situasi yang mengancam, membahayakan, dan mengecewakan dan aktivasi nonspesifik dari tubuh yang mendukung respon terhadap situasi tersebut (Baum et al., 2016). Selain itu, menurut Selye, dalam Fink (Fink, 2017), stres adalah respon tubuh nonspesifik terhadap adanya suatu tuntutan.

Sarafino dan Smith (Sarafino dan Smith, 2011) mengemukakan bahwa stres adalah sebuah keadaan yang timbul, di mana seorang individu merasakan adanya kesenjangan antara kebutuhan fisik dan psikologis dengan ketersediaan dari sistem biologis, psikologis, dan sosial dari individu tersebut. Stres sendiri juga dapat dikonseptualisasikan sebagai ketidakpuasan emosional yang dapat menyebabkan kegelisahan ringan sampai perasaan kekacauan dalam emosi seseorang (Arnetz dan Ekman, 2006).

2.1.2 Etiologi Stres

Penyebab stres yang merupakan kejadian atau situasi yang menantang secara fisik atau psikologis disebut dengan stresor (Sarafino dan Smith, 2011). Dalam kata lain, stresor juga dapat dikatakan sebagai keadaan atau kejadian yang mengancam dan memaksa kemampuan individual untuk mengatasi keadaan tersebut (King, 2017).

Stresor dapat berupa banyak hal dan memiliki jenis yang bervariasi. Secara umum

(19)

stresor dapat dibagi menjadi dua, yaitu yang menyebabkan distress, atau efek akibat stresor yang tidak menyenangkan atau yang menyebabkan eustress, efek akibat stresor yang berupa kejadian positif yang dapat mengubah seseorang menjadi lebih baik (Ciccarelli dan White, 2018). Stresor dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok sebagai berikut (Sarafino dan Smith, 2011).

1. Dari dalam diri sendiri

Adanya faktor-faktor dalam diri seseorang dapat menyebabkan stres, seperti usia, ada atau tidaknya konflik, dan adanya tujuan. Seiring meningkatnya usia, pengetahuan akan sesuatu akan menjadi lebih baik, termasuk juga penyakit. Hal ini tentunya akan menyebabkan kekhawatiran yang lebih pada individu tentang penyakitnya pada usia dewasa dibandingkan dengan anak-anak. Adanya konflik, pilihan terhadap pengambilan keputusan di antara beberapa pilihan, juga dapat menjadi penyebab stres. Motivasi dan tujuan, terutama dalam kehidupan bersosial, seperti berinteraksi dengan individu yang dianggap lebih tinggi kedudukannya juga dapat merangsang stres.

2. Dari keluarga

Penyebab stres yang umum dapat juga muncul dari keluarga.

a. Penambahan anggota keluarga baru

Sebagai contoh, seseorang menjadi khawatir dan cemas terhadap kesehatan bayinya dan adanya perubahan sikap pada anak yang umumnya disebut dengan temperamen.

b. Permasalahan dalam pernikahan dan adanya perceraian

Suatu konflik dan permasalahan dalam pernikahan, seperti perdebatan akibat perbedaan pendapat dapat menjadi penyebab stres dan menimbulkan respon fisiologis yang berkaitan dengan stres. Perceraian juga dapat menyebabkan permasalahan kesehatan yang serius untuk seluruh anggota keluarga.

(20)

c. Penyakit, disabilitas, dan kematian anggota keluarga

Anggota keluarga yang sakit, baik anak, maupun orang tua dapat menyebabkan stres bagi anggota keluarga lainnya. Stres, akibat anak yang sakit, tidak jarang menjadi penyebab gejala untuk post-traumatic stress disorder (PTSD) bagi orang tuanya.

3. Dari komunitas dan masyarakat

Kehidupan sosial pada komunitas dan di luar dari keluarga dapat menimbulkan stres.

a. Pekerjaan

Tuntutan dari pekerjaan dapat menyebabkan stres dengan dua cara, yaitu adanya beban pekerjaan yang terlalu berat dan banyak, atau adanya pekerjaan yang cenderung repetitif dan membosankan. Hal lain dalam pekerjaan yang dapat menimbulkan stres adalah evaluasi kerja dari para pekerja. Pekerjaan yang berkaitan dengan tanggung jawab atas nyawa seseorang juga dapat menjadi penyebab stres. Hal-hal lainnya yang berkontribusi pada stres adalah lingkungan kerja, perasaan tidak dapat mengerjakan pekerjaan dengan baik, hubungan interpersonal yang tidak baik, dan kehilangan pekerjaan.

b. Lingkungan

Stres dapat disebabkan perasaan tidak nyaman pada lingkungan seperti adanya kebisingan, keramaian, lingkungan dengan tingkat ekonomi rendah yang dapat menyebabkan penyakit, dan berbagai macam hal lainnya.

2.1.3 Mekanisme Terjadinya Stres

Otak akan menerima informasi dari sekitarnya melalui reseptor penglihatan, pendengaran, dan penghidu, lalu menginterpretasikannya sebagai sesuatu yang berpotensi membahayakan atau dapat mengantisipasi terhadap suatu stimulus yang baru pada sistem limbik dan hipotalamus otak. Hal ini dilakukan dengan cara

(21)

mengombinasikan antara tiga komponen, yaitu sistem somatomotorik, sistem otonom, dan juga sistem hormonal (Arnetz dan Ekman, 2006).

Persepsi terhadap stresor akan menyebabkan aktivasi dari jaras-jaras simpatis.

Aktivasi dari jaras-jaras simpatis ini akan menyebabkan perilaku yang sesuai sebagai respon oleh sistem somatomotorik yang umumnya merupakan fight or flight response.

Persepsi terhadap stresor tersebut juga menyebabkan aktivasi dari emosi yang menentukan apakah stimulus tersebut membahayakan atau tidak. Emosi tersebutlah yang akan mengaktivasikan jaras-jaras simpatis tersebut dan mengubah aktivitas dan fungsi dari sistem tubuh dan organ. Proses perubahan keadaan fungsi ini disebut juga dengan allostasis. Jika stresor terus menerus menstimulasi otak dan mengakibatkan perubahan tersebut secara kronis, hal ini dapat menyebabkan allostasis overload yang dapat menyebabkan efek negatif pada fungsi neurobiologis pada seseorang seperti pada Gambar 2.1 (Arnetz dan Ekman, 2006).

Gambar 2.1 Peran utama otak dalam menelaah kejadian-kejadian yang memicu stres dan respon tingkah laku respon fisiologis terhadap kejadian-kejadian tersebut (Arnetz dan Ekman, 2006).

Deteksi dari stresor bergantung pada tipe stresor tersebut. Stresor fisik dan psikologis diproses dalam jaras yang berbeda pada otak. Saat stresor fisik yang nyata dipersepsikan oleh karena adanya proses signaling, seperti nyeri atau inflamasi pada

(22)

batang otak, neuron-neuron pada batang otak teraktivasi. Selain itu, seperti persepsi yang disebabkan stresor psikologis, sistem limbik juga akan teraktivasi yang menyebabkan adanya emosi tertentu pada stres yang diakibatkan stresor fisik. Kedua jaras deteksi tersebut akan menghasilkan respon autonomic nervous system (ANS) dari sympathetic-adreno-medullar (SAM) axis dan hypothalamus-pituitary-adrenal (HPA) axis (Godoy et al., 2018). Gambar 2.2 menunjukkan proses tersebut.

Gambar 2.2 Sistem stres, mulai dari jenis stresor sampai terjadinya adaptasi oleh karena adanya respon (Godoy et al., 2018).

(23)

2.1.4 Jenis-Jenis Stres

Penggolongan jenis atau tipe stres dapat diklasifikasikan dalam berbagai macam konteks. Berikut adalah pengelompokan yang umum dari stres.

Menurut Kumar (Kumar et al., 2013), stres muncul akibat ancaman yang jelas nyata atau pun hal yang menjadi ancaman secara subjektif dan dibagi menjadi dua:

1. Sistemik/fisiologik

Stres jenis ini merupakan stres yang diakibatkan oleh adanya ancaman yang nyata dan jelas berpotensi membahayakan, di mana stimulus tersebut menyebabkan munculnya respon yang segera pada suatu individu. Selain itu, kesadaran atas stimulus tersebut tidak diperlukan. Contohnya adalah kehilangan banyak darah setelah terjadinya kecelakaan.

2. Prosesif/psikogenik

Stres jenis ini bergantung pada persepsi dan kualitas ancaman yang diinterpretasikan oleh otak. Besarnya ancaman tergantung dan respon fisiologis yang ditimbulkan dapat berbeda dari suatu individu dengan individu yang lain.

Contohnya adalah kehilangan sesuatu, baik barang, maupun benda.

Menurut Crosswell dan Lockwood (Crosswell dan Lockwood, 2020), stres dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan skala waktu terhadap paparan oleh stresor:

1. Kronik

Stresor yang mengancam dan menantang, jika terpapar dalam waktu berkepanjangan, akan menyebabkan gangguan pada aktivitas rutin sehari-hari.

Waktu terpapar oleh stresor yang dibutuhkan minimal adalah satu bulan.

2. Kejadian-kejadian dalam hidup

Kejadian-kejadian yang terjadi dalam hidup terjadi dalam waktu yang terbatas dan episodik yang melibatkan perubahan signifikan terhadap hidup seorang individu. Contohnya adalah dipecat dari pekerjaan, mengalami kecelakaan lalu lintas, atau adanya kematian dari seseorang yang sangat berarti dalam kehidupan individu tersebut. Beberapa kejadian dapat berupa kejadian positif

(24)

seperti menikah, perpindahan ke lingkungan yang baru dan dapat juga menjadi hal kronis yang berkepanjangan seperti disabilitas setelah kecelakaan.

3. Kejadian-kejadian dalam hidup yang menimbulkan trauma

Merupakan subkelas dari kejadian-kejadian dalam hidup di mana keselamatan fisik atau psikologis seseorang dapat terancam.

4. Permasalahan sehari-hari

Stresor berasal dari kejadian dalam kehidupan sehari-hari seperti perdebatan ringan, kepadatan lalu lintas, atau beban kerja yang berat dan dapat membentuk frustrasi yang persisten.

5. Akut

Stres yang terjadi dalam waktu singkat oleh karena adanya kejadian yang membahayakan atau menantang yang dapat mengganggu keadaan psikologis dan memicu respon stres fisiologis, seperti memberikan pidato di depan umum.

2.1.5 Pengaruh Stres terhadap Kesehatan

Stres dapat mempengaruhi beberapa aspek dalam tubuh, yaitu aspek biologis dan psikososial sebagai berikut (Sarafino dan Smith, 2011).

1. Aspek biologis

Dalam aspek biologis, respon fisiologis terhadap stres tersebut ditunjukkan oleh aktivasi sistem saraf simpatis yang timbul dan umumnya dikenal dengan General Adaptation Syndrome (GAS). GAS memiliki tiga tahapan yang ditunjukkan oleh Gambar 2.3 (Sarafino dan Smith, 2011; King, 2017).

Gambar 2.3 Tahapan dari General Adaptation Syndrome (GAS) (Sarafino dan Smith, 2011).

(25)

1. Reaksi alarm

Tahap pertama dari GAS adalah reaksi alarm, di mana dalam reaksi ini, terjadi respon cepat dari aktivasi sistem saraf simpatis. Pada reaksi ini, jaras HPA teraktivasi akibat adanya produksi corticotropin releasing hormone (CRH) pada hipotalamus yang akan mengaktivasi adrenocorticotrophic hormone (ACTH). Lalu, ACTH akan merangsang kelenjar adrenal untuk membentuk glukokortikoid pada lapisan fasikulata (Godoy, 2018). Epinefrin dan norepinefrin berperan juga pada pengaktivasian jaras HPA tersebut. Selain itu, norepinefrin juga berperan pada perangsangan hipokampus dan amigdala (Kumar et al., 2013). Jaras HPA dikontrol secara sirkadian dan ultradian yang menyebabkan adanya perbedaan efek yang ditimbulkan pada jam tubuh biologis (McEwen et al., 2015; Russell dan Lightman, 2019).

Respon fisiologis yang cepat juga dimediasikan oleh katekolamin seperti epinefrin dan norepinefrin. Kedua katekolamin ini disekresikan oleh kelenjar adrenal dan norepinefrin dari aktivasi ganglion saraf-saraf simpatis. Hal ini terjadi pada jaras SAM, di mana pada jaras ini, efek yang dihasilkan umumnya tampak dalam waktu yang singkat. Di lain sisi, pada jaras HPA, efek yang dihasilkan dapat tampak dalam waktu, baik singkat, maupun panjang (Godoy et al., 2018). Hasil produksi dari glukokortikoid oleh jaras HPA ataupun norepinefrin dari jaras SAM akan mengakibatkan adaptasi fisik pada tubuh sebagai berikut (Tsigos et al., 2020).

1. Pengalihan energi secara adaptif

2. Pengalihan oksigen dan nutrien ke lokasi sistem saraf pusat dan lokasi tubuh yang stres

3. Peninggian tekanan darah dan denyut nadi 4. Peningkatan laju pernafasan

5. Peningkatan glukoneogenesis dan lipolisis

(26)

6. Detoksifikasi dari produk toksin dan racun

7. Penghambatan jaras-jaras reproduksi dan pertumbuhan 8. Adanya respon terhadap stres

9. Adanya respon dari sistem imun dan inflamasi

Selain merangsang sistem saraf otonom, stres juga dapat mempengaruhi sistem imun melalui dua jalur utama, yaitu mengurangi inhibisi pada glukokortikoid dan secara langsung mempengaruhi sistem imun melalui jaras HPA dan jaras SAM. Hal ini secara akut akan meningkatkan sitokin-sitokin inflamasi dan meningkatkan kekebalan tubuh (Godoy et al., 2018). Namun, secara kronis, sistem imun akan melemah (King, 2017). Selain itu, stres juga mempengaruhi sistem endokrin, seperti jaras reproduksi, jaras pertumbuhan, dan jaras sekresi dari kelenjar tiroid. Sistem metabolisme dan sistem gastrointestinal juga dipengaruhi oleh hal tersebut (Tsigos et al., 2020). Pada fase ini, adaptasi pada perilaku juga dapat berubah seperti berikut.

1. Perubahan perilaku adaptif sebagai respon yang sesuai 2. Peningkatan kesadaran dan kewaspadaan

3. Meningkatkan kognisi dan perhatian yang terfokus 4. Supresi dari perilaku makan

5. Supresi dari perilaku reproduktif

6. Penghambatan motilitas gaster dan stimulasi motilitas kolon 7. Penahanan respon stres

2. Tahap resistensi

Tahap ini melibatkan respon fisiologis tubuh yang berusaha melakukan adaptasi dalam keadaan aktivasi dari jaras HPA yang predominan. Pada tahap ini tubuh mencoba untuk beradaptasi terhadap stresor. Respon simpatis tidak setinggi saat pada tahap alarm dan respon imun juga masih berfungsi dengan baik (King, 2017). Akan tetapi, respon terhadap stresor baru akan berkurang. Melalui mekanisme

(27)

kompleks dari berbagai mediator, adaptasi terhadap stresor dapat mengubah struktur otak sebagai tanda berhasilnya proses tersebut (McEwen et al., 2015).

3. Tahap kelelahan

Pada tahap ini, paparan stresor yang berkepanjangan dan kronis dapat menyebabkan sistem imun melemah, merusak organ-organ, dan bahkan dapat menyebabkan kematian.

2. Aspek psikososial

Pada aspek psikososial, stres dapat menyebabkan gangguan pada sistem kognisi, emosi, dan sosial seseorang.

1. Kognisi

Hubungan antara stres dan kognisi sangat penting dalam fungsi yang disebut sebagai fungsi eksekutif yang mengontrol perilaku yang sedang berlangsung secara sadar: memperhatikan dan mengalihkan perhatian saat dibutuhkan, kapasitas memori kerja, dan lain-lain. Fungsi kognitif sendiri dapat membantu untuk menghadapi dan menangani stresor.

Fungsi kognitif yang terganggu akan menyebabkan kesulitan berpikir yang dapat diikuti dengan respon fisiologis yang buruk.

2. Emosi

Emosi dapat digunakan sebagai tolok ukur dalam respon seseorang terhadap stresor. Emosi yang umum dijumpai dalam keadaan stres adalah takut, depresi, dan marah.

3. Perilaku sosial

Saat sedang stres, umumnya seseorang akan mencari kenyamanan dan dukungan dari lingkungan sosialnya. Namun, pada beberapa kasus, tidak jarang juga dijumpai perilaku agresif pada orang-orang yang terkena stres yang menyebabkan munculnya efek-efek negatif pada kehidupan orang-orang tersebut. Stres dapat juga menjadi progresif dan

(28)

menyebabkan gangguan-gangguan psikiatri seperti kecemasan (Tsigos et al., 2020), depresi (Sarafino dan Smith, 2011), dan PTSD (McEwen et al., 2015).

2.1.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi dan Respon Stres

Efek tubuh dalam adaptasi terhadap stresor bergantung juga kepada faktor-faktor berikut (Sarafino dan Smith, 2011).

1. Besarnya paparan

2. Besarnya reaktivitas atau respon persepsi 3. Kecepatan pemulihan secara fisiologis

4. Pemulihan dari sumber ketersediaan kebutuhan fisik dan psikologis

2.2 KONSTIPASI

2.2.1 Definisi Konstipasi

Konstipasi memiliki banyak definisi dan tidak memiliki makna yang tentu.

Tercatat bahwa sampai 50% penderita mengartikan konstipasi dengan definisi yang berbeda dibandingkan dengan para klinisi. Penderita umumnya mendeskripsikan konstipasi sebagai mengejan yang berlebihan, rasa buang air besar yang tidak puas, defekasi yang gagal atau berkepanjangan, tinja yang keras, atau banyaknya tinja yang sedikit (Rao dan Camilleri, 2016). Hal ini menyebabkan peninggian prevalensi dari konstipasi (Forootan et al., 2018).

Dalam mengatasi hal ini, dibentuklah suatu kriteria konsensus yang disebut dengan kriteria ROME III. Beberapa penderita, dalam studi-studi observasional, tidak memenuhi kriteria ROME III ini. Oleh karena itu, American College of Gastroenterology Chronic Constipation Task Force membuat suatu definisi yang lebih luas, yaitu perasaan buang air besar yang tidak puas yang ditandai dengan adanya tinja yang sedikit, gangguan pasase tinja, atau keduanya (Rao dan Camilleri, 2016).

Umumnya, diagnosis dari konstipasi dapat menggunakan Bristol Stool Form Scale

(29)

(BSFS), karena cukup akurat (Chumpitazi et al., 2016). Namun, dalam beberapa waktu terakhir, kriteria konstipasi ditentukan dengan menggunakan ROME IV, sebuah perubahan minor terbaru dari ROME III yang lebih umum digunakan secara klinis dibandingkan BSFS, di mana kriteria ROME IV tidak menambah kejadian kesalahan diagnosis false positive walaupun adanya pengurangan durasi dalam gejala yang ada dalam kriteria tersebut pada irritable bowel syndrome (IBS) (Russo et al., 2019).

Menurut ROME IV (Lacy et al., 2016), kriteria konstipasi adalah sebagaimana dalam Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Kriteria diagnosis konstipasi ROME IV.

No. Kriteria Diagnosis Konstipasi ROME IV

1. Harus didapatkan dua dari hal-hal berikut:

a. Mengejan pada lebih dari seperempat (25%) dari defekasi

b. Tinja padat dan keras (BSFS 1-2) pada lebih dari seperempat (25%) dari defekasi c. Peraasaan buang air besar yang tidak puas pada lebih dari seperempat (25%) dari defekasi

d. Perasaan adanya sumbatan/hambatan anorektal pada lebih dari seperempat (25%) dari defekasi

e. Manuver manual untuk membantu pada lebih dari seperempat (25%) dari defekasi (seperti evakuasi digital, bantuan pada dasar pelvis)

f. Buang air besar spontan kurang dari tiga kali per minggu

2. Tinja yang lunak tidak didapatkan tanpa penggunaan obat-obatan pencahar 3. Kurangnya kriteria untuk mendiagnosis irritable bowel syndrome

Kriteria memenuhi dalam tiga bulan dengan onset gejala sudah ada setidaknya enam bulan.

Untuk studi-studi penelitian, pasien dengan kriteria opioid-induced constipation sebaiknya tidak didiagnosis sebagai konstipasi fungsional, karena sulit untuk membedakan efek samping dari opioid dan penyebab konstipasi. Dua keadaan tersebut dapat tumpang tindih.

(30)

2.2.2 Etiologi Konstipasi

Etiologi atau penyebab konstipasi dapat bermacam-macam. Secara garis besar, penyebab dari konstipasi, dikelompokkan berdasarkan jenisnya, adalah sebagai berikut (Rao dan Camilleri, 2016; Forootan et al., 2018).

1. Penyebab primer/idiopatik 1. Disfungsi kolorektal primer 2. Transit yang lambat

3. Defekasi yang tidak sinergis 4. IBS

IBS dipengaruhi oleh imobilitas, penggunaan obat pencahar, asupan yang kurang serat, pola hidup yang kurang bergerak, menahan-nahan defekasi, kurangnya asupan cairan, perubahan rutinitas, kurangnya olahraga, stres, dan adanya kehamilan.

2. Penyebab sekunder

1. Kelainan anorektal dan kolonik

Yang termasuk ke dalam kelainan anorektal dan kolonik adalah fisura ani, ambeien, proktitis ulseratif, divertikulitis, karsinoma kolorektal, striktur akibat inflamasi, postoperatif, dan radiasi.

2. Obat-obatan

Obat-obatan yang dapat menginduksi konstipasi adalah opioid, antikolinergik, antispasmodik, antidepresan, antihipertensi, terutama antagonis kanal kalsium seperti methyldopa. Selain itu, antiparkinson, antikonvulsan, antihistamin, diuretik, dan ion logam seperti antasida, dan juga antagonis serotonin seperti alosetron juga dapat menyebabkan konstipasi.

3. Penyakit endokrin dan metabolik

Penyakit yang dapat menimbulkan konstipasi adalah diabetes mellitus, hipotiroidisme, hipokalemia, hiperkalsemia, dan porfiria.

(31)

4. Kelainan neuromuskular

Contoh kelainan neuromuskular adalah lesi medulla spinalis, parkinson, multiple sclerosis, stroke atau penyakit serebrovaskular, penyakit chagas, dan hirschsprung.

2.2.3 Patogenesis dan Patofisiologi Konstipasi

Secara umum, konstipasi dibagi menjadi dua, yaitu konstipasi primer dan konstipasi sekunder. Masing-masing memiliki patogenesis dan patofisiologi yang berbeda (Rao dan Camilleri, 2016).

1. Konstipasi primer

Konstipasi jenis ini disebabkan oleh karena adanya kelainan regulasi normal dari kolon dan fungsi normal dari neuromuskular anorektal. Hal ini juga dapat disebabkan adanya kelainan dari fungsi neuroenterik pada jaras otak-saluran cerna. Pada konstipasi ini, terdapat tiga subtipe dengan mekanisme dasar yang berbeda, yaitu:

1. Slow-transit constipation (STC)

Pada konstipasi tipe ini, pasase tinja sedikit lebih lambat dibandingkan daripada orang normal yang sehat sehingga terjadi retensi tinja yang lebih lama. Hal ini disebabkan adanya gangguan pada aktivitas otot polos, persarafan, refleks kolon, dan lain-lain.

a. Dismotilitas kolon

Pergerakan pada kolon menjadi lambat, dengan pergerakan propagasi dan kontraksi simultan dari kolon berkurang. Selain itu, waktu yang diperlukan setelah makan untuk mencerna makanan juga semakin meningkat. Banyaknya bakteri flora normal pada usus juga dapat mempengaruhi motilitas kolon (Bharucha dan Lacy, 2020).

(32)

b. Neuropati kolonik

Saraf-saraf di otot polos memiliki respon yang berkurang, seperti pada sel ganglion mienterik atau sel interstisial Cajal. Penyebabnya, biasanya, adalah kerusakan pada saraf intrinsik dan sel interstisial Cajal dan menjadi indikator disfungsi motorik dari kolon (Bharucha dan Lacy, 2020).

c. Gangguan pada neurotransmitter dan hormon

Kurangnya hormon steroid dan hormon ovarium dikatakan sebagai penyebab konstipasi. Di lain sisi, peninggian kadar dari serotonin dan asetilkolin dikatakan juga sebagai penyebab konstipasi.

2. Gangguan evakuasi

Gangguan merupakan kelainan fungsional seperti defekasi yang tidak sinergis dan kelainan struktural yang mengganggu keluarnya tinja dari bagian anorektum seperti penyakit hirschsprung. Gangguan defekasi dissinergis menyebabkan adanya tahanan yang tinggi saat melakukan evakuasi tinja. Tahanan ini disebabkan oleh adanya kontraksi atau relaksasi yang tidak sempurna dari dasar pelvis atau sfingter ani eksternal (Bharucha dan Lacy, 2020).

3. IBS dengan konstipasi yang predominan

IBS ini disebabkan oleh adanya patofisiologi yang banyak seperti faktor genetik, lingkungan, sosial, biologis, dan psikologis.

2. Konstipasi sekunder

Konstipasi ini disebabkan adanya penyakit lain yang mempengaruhi keadaan motilitas dari kolon.

2.2.4 Manifestasi Klinis Konstipasi

Gejala dan manifestasi klinis yang mungkin didapatkan pada penderita konstipasi adalah sebagai berikut (Rao dan Camilleri, 2016).

(33)

1. Mengejan yang berlebihan 2. Pengeluaran tinja yang sulit 3. Tinja yang berbentuk pellet

4. Berkurangnya frekuensi buang air besar

5. Didapatkan massa tinja pada kuadran bawah kiri abdomen 6. Adanya tinja saat dilakukan pemeriksaan colok dubur

2.2.5 Penatalaksanaan Konstipasi

Konstipasi dapat diobati dan ditata laksana dengan dua cara, yaitu secara farmakologis dan nonfarmakologis (Rao dan Camilleri, 2016; Bharucha dan Lacy, 2020).

1. Farmakologis

Penatalaksanaan farmakologis menggunakan obat-obatan dalam mengobati konstipasi. Berikut adalah obat-obatan yang dapat digunakan pada penderita konstipasi:

a. Pelunak tinja

Umumnya menggunakan dokusat yang merupakan surfaktan anion yang menurunkan tekanan dari tinja dan memudahkan pencampuran zat air dan minyak dan merangsang sekresi cairan intestinal. Melalui mekanisme ini, air dapat lebih mudah memasuki tinja. Dokusat dianggap memiliki efektifitas lebih rendah dibandingkan psyllium. Efek samping yang dapat terjadi dalam penggunaan obat ini adalah malabsorpsi vitamin larut lemak, aspirasi pneumonia lemak, reaksi tubuh terhadap adanya benda asing, dan adanya inkontinensia tinja.

b. Laksatif stimulan

Yang termasuk ke dalam laksatif stimulan adalah golongan anthraquinone (senna, cascara sagrada, danthron, dan casanthranol), golongan diphenylmethane (bisacodyl, natrium pikosulfat), dan asam rinoleat (minyak kastor). Laksatif stimulan biasanya digunakan untuk penderita konstipasi

(34)

yang belum buang air besar dalam 2-3 hari. Golongan laksatif ini mempengaruhi transportasi elektrolit pada mukosa usus dan meningkatkan pergerakan dan motilitas kolon dalam beberapa jam setelah pemberian obatnya. Golongan anthraquinone meningkatkan sekresi elektrolit dan cairan pada usus halus.

c. Laksatif osmotik

Yang termasuk laksatif osmotik adalah laksatif salin (magnesium, fosfat, dan sulfat), laktulosa, sorbitol dan manitol, dan polyethylene glycol. Kelompok ini terdiri atas ion atau molekul yang tidak diabsorpsi dengan baik pada usus dan merangsang penarikan air menuju lumen usus dan menjaga keseimbangan osmotik dengan plasma. Penggunaan berlebihan dari laksatif osmotik dapat menyebabkan kram abdomen, diare, dan dehidrasi.

d. Agen serotonergik

Serotonin merupakan neurotransmitter yang tersebar pada tubuh dan hampir lebih 90% jenisnya ditemukan pada saluran gastrointestinal. Sebanyak 14 subtipe reseptor serotonin, termasuk reseptor tipe 4, atau disebut juga dengan reseptor 5-hydroxytryptamine receptor 4 (5-HT₄), dijumpai. Reseptor tipe ini menginisiasi peristalsis, sekresi klorida, dan mengurangi hipersensitivitas viseral. Agonis reseptor 5-HT₄ seperti prucalopride telah terbukti sebagai pengobatan untuk konstipasi kronis dengan dosis 2 mg per hari pada orang dewasa dan 1 mg per hari pada orang yang berusia lebih dari 65 tahun. Efek samping yang sering dan umum dijumpai adalah sakit kepala, nausea, dan diare.

e. Aktivator kanal klorida

Contoh dari aktivator kanal klorida adalah lubiprostone yang secara selektif mengaktivasi kanal klorida tipe 2. Aktivasi ini akan menyebabkan peningkatan sekresi klorida pada sel usus. Sekresi dari klorida akan diikuti dengan pengeluaran dari natrium dan air dan dapat meningkatkan motilitas

(35)

dari usus halus. Efek samping yang sering didapatkan pada penggunaan lubiprostone adalah nausea ringan.

f. Agonis guanilat siklase C

Linaclotide meningkatkan sekresi air ke dalam saluran gastrointestinal dengan cara meningkatkan guanosin monofosfat siklik dan aktivasi dari cystic fibrosis transmembrane regulator (CFTR). Mekanisme ini akan mengurangi rasa sakit dan mempercepat jalannya pencernaan.

g. Obat-obatan lain yang sedang dikembangkan

Kolkisin, misoprostol, plecanatide, dan elobixibat juga dapat digunakan pada konstipasi.

2. Nonfarmakologis

Penatalaksanaan nonfarmakologis melibatkan adanya perubahan dari pola hidup menjadi lebih baik sebagai berikut:

a. Perubahan gaya hidup, asupan cairan, dan olahraga

Penderita konstipasi disarankan untuk tidak menunda buang air besar, optimalnya dua jam setelah bangun tidur dan setelah sarapan. Peningkatan asupan cairan dan olahraga sedang juga disarankan untuk memudahkan buang air besar.

b. Menghentikan obat-obatan yang dapat memicu konstipasi c. Menjaga pola makan dan meningkatkan asupan serat d. Latihan koordinasi rektoanal

Umumnya, penderita dilatih untuk meningkatkan pernapasan dengan diafragma untuk membantu usaha tekanan pada abdomen.

e. Latihan sensorik

Latihan sensorik dilakukan dengan cara simulasi buang air besar untuk meningkatkan fungsi sensorik dari rektum.

(36)

f. Pembedahan

Pembedahan dilakukan jika penderita tidak respon terhadap terapi obat- obatan dan pola hidup yang agresif di bawah pengawasan para ahli.

2.2.6 Prognosis Konstipasi

Prognosis dari konstipasi umumnya baik. Meskipun demikian, konstipasi bisa saja tidak sembuh dalam waktu yang cepat. Konstipasi sendiri tidak dapat dianggap remeh dan dapat menyebabkan komplikasi seperti fisura ani, ambeien, pengerasan tinja, ulkus pada kolon, dan rektokel. Pada suatu penelitian, sekitar 89% penderita mengalami gejala yang sama pada satu tahun ke depannya dan pada penelitian yang lain, 45% dari subjek yang diwawancarai mengalami gejala-gejala konstipasi setidaknya dalam waktu lima tahun (Rao dan Camilleri, 2016).

2.3 HUBUNGAN STRES AKIBAT PEMBELAJARAN DARING DAN KONSTIPASI

Pembelajaran daring adalah salah satu pemicu keadaan stres atau stresor (Andiarna dan Kusumawati, 2020). Keadaan stres pada tubuh yang disebabkan oleh adanya persepsi terhadap berbagai macam stresor akan mengaktifkan sistem saraf simpatis melalui jaras SAM dan jaras HPA. Jaras-jaras simpatis ini akan mengaktifkan fight or flight responses. Efek-efek yang dimaksud adalah menjaga kesadaran, mengaktifkan sistem metabolik untuk meningkatkan kadar glukosa dalam darah seperti glikogenolisis, lipolisis, dan peningkatan aksi dari sistem kardiovaskular (Godoy et al., 2018). Pada sistem gastrointestinal, aktivasi dari saraf simpatis ini akan menghambat pergerakan gaster dan akan menstimulasi pergerakan dari kolon pada stres akut (Tsigos et al., 2020).

Pada keadaan stres kronis, motilitas kolon jadi berkurang melalui mekanisme adaptasi yang diduga tidak berhubungan dengan pengurangan sensitivitas terhadap CRH. Pada keadaan kronis juga, perlambatan motilitas gaster juga akan menjadi

(37)

normal kembali. Oleh karena itu, stres dapat menyebabkan gangguan-gangguan gastrointestinal (Tsigos et al., 2020). Suatu studi yang dilakukan pada mahasiswa kedokteran juga menunjukkan dan menyimpulkan bahwa stres meningkatkan angka kejadian konstipasi (Yildirim et al., 2021). Akibatnya, pembelajaran daring, sebagai stresor, berpotensi untuk menyebabkan dan mempengaruhi kejadian konstipasi.

(38)

2.4 KERANGKA TEORI

Berdasarkan judul penelitian, maka didapatkan kerangka teori penelitian sebagai berikut.

Gambar 2.4 Kerangka teori.

Etiologi stres:

1. Dari diri sendiri 2. Dari keluarga 3. Dari lingkungan

komunitas dan masyarakat

Faktor-faktor yang mempengaruhi respon stres:

1. Besarnya paparan stres

2. Besarnya reaktivitas atau respon stres 3. Kecepatan pemulihan

secara fisiologis 4. Ketersediaan

kebutuhan fisik dan psikologis

Mekanisme terjadinya stres:

Aktivasi sistem saraf simpatis kronik dan hipomotilitas kolon

Patogenesis konstipasi Pandemi COVID-

19

Persepsi stres

(39)

2.5 KERANGKA KONSEP

Berdasarkan judul penelitian, maka didapatkan kerangka konsep penelitian sebagai berikut.

Variabel independen Variabel dependen

Gambar 2.5 Kerangka konsep.

2.6 HIPOTESIS

Hipotesis pada penelitian ini adalah ada hubungan antara stres akibat pembelajaran daring saat pandemi COVID-19 dengan kejadian konstipasi pada mahasiswa FK USU angkatan 2018 tahun 2021.

Stres Konstipasi

(40)

28

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 RANCANGAN PENELITIAN

Penelitian ini merupakan sebuah penelitian analitik observasional dengan menggunakan desain penelitian cross-sectional study. Penelitian ini dilakukan untuk menentukan adanya hubungan antara stres akibat pembelajaran daring saat pandemi COVID-19 dengan kejadian konstipasi pada mahasiswa FK USU angkatan 2018 tahun 2021.

3.2 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan yang dimulai pada akhir bulan Juni sampai bulan September 2021 di FK USU, Medan, Sumatera Utara.

3.3 POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN

3.3.1 Populasi

Populasi dari penelitian ini adalah populasi terjangkau, yaitu mahasiswa FK USU pada tahun 2021.

3.3.2 Sampel

Pengambilan sampel dilakukan agar dapat mewakili populasinya dengan metode consecutive sampling. Pengambilan sampel mengikuti kriteria inklusi dan kriteria eksklusi sebagai berikut.

(41)

1. Kriteria inklusi:

a. Mahasiswa FK USU angkatan 2018 aktif yang mengikuti kegiatan pembelajaran daring saat pandemi COVID-19

b. Mahasiswa yang bersedia menjadi responden dan mengisi kuesioner c. Mahasiswa yang mengumpulkan kuesioner

2. Kriteria eksklusi:

a. Mahasiswa yang diduga mengalami kejadian IBS

b. Mahasiswa yang diduga menggunakan obat-obatan opioid

Penghitungan estimasi sampel yang akan diambil dalam penelitian ini menggunakan rumus sebagai berikut.

n = !"²$% Keterangan:

• n : Jumlah sampel yang akan digunakan

• Zα : Nilai Z pada tingkat kemaknaan yang dikehendaki (1,96)

• P : Proporsi penyakit atau keadaan yang akan dicari, yaitu yang

mengalami stres dan konstipasi (Menggunakan proporsi maksimal, yaitu 50%)

• Q : Proporsi yang tidak mengalami stres dan tidak mengalami konstipasi o 1-P = 1-0,5 = 0,5 (50%)

• d : Tingkat ketepatan absolut yang diinginkan (10%)

• Perhitungan dilakukan sebagai berikut:

o n = ((,*+)²(-,.)(-,.)

(-,()² = 96

o Jumlah sampel minimal yang diperlukan pada penelitian adalah 96 orang

(42)

3.4 METODE PENGUMPULAN DATA

3.4.1 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut.

1. Kuesioner adaptasi COVID-19 Student Stress Questionnaire (CSSQ) 2. Kuesioner adaptasi ROME IV

3.4.2 Cara Kerja Penelitian

Penelitian dilakukan dengan menggunakan kuesioner adaptasi CSSQ sebagai indikator stres dan menggunakan kuesioner adaptasi ROME IV sebagai indikator konstipasi. Kuesioner akan dibagikan secara daring dalam bentuk google form dan kemudian akan diisi oleh para subjek penelitian. Lalu, hasil dari pengisian kuesioner akan diolah dengan menggunakan aplikasi komputer Statistical Product and Service Solutions (SPSS).

(43)

3.5 DEFINISI OPERASIONAL

Tabel 3.1 Definisi operasional.

No. No. Variabel Definisi operasional

Alat ukur Hasil pengukuran Skala

1. Stres Persepsi individual yang muncul akibat stresor yang berupa

pembelajaran daring saat pandemi COVID-19

Data primer dari

kuesioner yang diadaptasi dari CSSQ

• Tidak Stres: ≤6

Stres: 7-28

Nominal

2. Konstipasi Gangguan buang air besar yang ditandai dengan kriteria diagnosis dari ROME IV

Data primer dari

kuesioner yang diadaptasi dari ROME IV

• Tidak:

-IBS atau

menggunakan opioid atau jika tidak didapatkan setidaknya dua Jawaban Ya pada pertanyaan 1,2,3,4,5 dan tidak didapatkan Jawaban Ya pada pertanyaan 6 dan

• Ya: 7

-Tidak IBS dan tidak

menggunakan opioid dan jika didapatkan setidaknya dua Jawaban Ya pada pertanyaan 1,2,3,4,5 dan didapatkan Jawaban Ya pada pertanyaan 6 dan 7

Nominal

(44)

3.6 PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA

3.6.1 Pengolahan Data

Dalam pengolahan dan analisis data yang didapatkan, dilakukan tahapan-tahapan sebagai berikut.

1. Editing

Kuesioner yang akan diberikan kepada responden diperiksa terlebih dahulu.

2. Coding

Data yang didapatkan diklasifikasikan dengan cara diberikan kode.

3. Entry

Data yang sudah terkode dimasukkan ke dalam aplikasi SPSS.

4. Cleaning

Data yang telah dimasukkan diperiksa kembali untuk menghindari adanya kesalahan.

5. Saving

Data akan disimpan dalam aplikasi untuk diolah lebih lanjut.

3.6.2 Analisis Data

Analisis pada penelitian ini menggunakan analisis univariat untuk melihat gambaran deskriptif variabel independen dan variabel dependen dan analisis bivariat untuk mengukur hubungan antara variabel-variabel tersebut dengan menggunakan uji hipotesis chi square. Jika data tidak berdistribusi normal, digunakan uji hipotesis fisher exact test.

(45)

33

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 LOKASI PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang terletak pada Jl. Dr. Mansyur No.5, Padang Bulan, Kecamatan Medan Baru, Kota Medan, Sumatera Utara, Indonesia.

4.2 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil dari penelitian ini didapatkan dari pengisian kuesioner penilaian stres dan konstipasi dalam bentuk google form yang disebarkan secara online oleh mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2018 yang aktif mengikuti kegiatan pembelajaran daring saat pandemi COVID-19. Setelah itu, hasil pengisian dari kuesioner disunting dengan mengikuti kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan, di mana kriteria inklusinya merupakan mahasiswa FK USU angkatan 2018 yang aktif berkuliah dan mengikuti kegiatan pembelajaran daring selama pandemi COVID-19 dan mengumpulkan kuesioner. Kriteria eksklusi dari penelitian ini sendiri adalah responden yang didiagnosis dengan IBS atau menggunakan obat-obatan opioid dalam 6 bulan terakhir.

Sampel penelitian ini didapatkan dengan menggunakan metode consecutive sampling yang telah dikumpulkan sebanyak 117 orang, di mana 5 orang dieksklusikan;

1 orang didiagnosis dengan IBS dan 4 orang menggunakan kodein yang terkandung di dalam obat batuk sehingga didapatkan total sampel sebanyak 112 orang. Penegakan stres dilakukan dengan menggunakan kuesioner adaptasi COVID-19 Student Stress Questionnaire (CSSQ) dan penegakan konstipasi dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang telah diadaptasikan dari kriteria ROME IV dengan mengasumsikan

(46)

bahwasanya seluruh konstipasi yang terjadi merupakan konstipasi fungsional.

Distribusi frekuensi sampel yang didapatkan pada penelitian ini ditabulasikan pada Tabel 4.1 sampai dengan Tabel 4.4, sedangkan hasil hubungan antara kejadian stres dengan kejadian konstipasi ditunjukkan pada Tabel 4.5. Tabel-tabel tersebut adalah sebagai berikut.

Tabel 4.1 Distribusi frekuensi sampel berdasarkan jenis kelamin.

Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)

Laki-laki

Perempuan 50

62 44,6

55,4

Total 112 100

Pada Tabel 4.1 di atas, didapatkan sampel penelitian yang berjenis kelamin laki- laki sebanyak 50 orang (44,6%) dan berjenis kelamin perempuan sebanyak 62 orang (55,4%). Sampel pada penelitian ini didapatkan lebih banyak berjenis kelamin perempuan.

Tabel 4.2 Distribusi frekuensi sampel berdasarkan usia.

Pada Tabel 4.2 di atas, didapatkan sampel penelitian dengan usia yang bervariasi, dengan umur 19 tahun sebanyak 1 orang (0,9%), umur 20 tahun sebanyak 40 orang

Usia Frekuensi Persentase (%)

19 20 21 22 24 25

1 40 58 10 2 1

0,9 35,7 51,8 8,9 1,8 0,9

Total 112 100

(47)

(35,7%), umur 21 tahun sebanyak 58 orang (51,8%), umur 22 tahun sebanyak 10 orang (8.9%), umur 24 tahun sebanyak 2 orang (1,8%), dan umur 25 tahun sebanyak 1 orang (0,9%). Sampel pada penelitian ini, umumnya berusia 20-21 tahun dengan usia 21 tahun sebagai responden terbanyak.

Tabel 4.3 Distribusi frekuensi sampel berdasarkan kejadian stres.

Pada Tabel 4.3 di atas, didapatkan sampel penelitian dengan 78 orang (69,6%) mengalami stres dan 34 orang (30,4%) tidak mengalami stres. Hal ini sesuai dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Adamson yang menunjukkan bahwasanya kejadian stres meningkat saat pandemi COVID-19 di seluruh dunia (Adamson et al., 2020). Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang pernah diteliti oleh Son di Amerika Serikat, di mana sebanyak 71% mahasiswa melaporkan peningkatan stres dan kecemasan saat pandemi COVID-19 (Son et al., 2020). Penyebab stres saat pandemi bagi mahasiswa, dewasa ini, adalah keadaan finansial, pembelajaran daring yang menyulitkan, dan adanya pembatasan sosial yang menyebabkan terhambatnya berbagai macam aktivitas yang diperlukan. Koneksi internet yang buruk, durasi perkuliahan yang cukup lama, dan beban tugas yang banyak dan tidak fleksibel menyebabkan stres akibat pembelajaran daring (Sundarasen et al., 2020; Yang et al., 2021).

Dalam penelitian ini, responden yang merupakan mahasiswa fakultas kedokteran tingkat akhir juga dapat menjadi salah satu alasan tingginya angka stres yang didapatkan (Moutinho et al., 2017; Kumar et al., 2019). Usia mahasiswa yang umumnya dikategorikan sebagai usia dewasa muda juga dapat menjadi faktor risiko stres yang disebabkan berbagai macam faktor eksternal, seperti keluarga, pendapatan,

Kejadian Stres Frekuensi Persentase (%)

Ya Tidak

78 34

69,6 30,4

Total 112 100

(48)

pekerjaan, dan hal-hal lainnya. Pada kelompok usia inilah biasanya persepsi terhadap stresor tersebut makin meningkat sehingga memudahkan terjadinya stres (Stefaniak et al., 2021). Pada pandemi COVID-19 saat ini, stres pada kelompok usia tersebut juga dapat dikarenakan kurangnya komunikasi langsung secara tatap muka dengan pengajar dan sejawatnya saat pembelajaran daring dari rumah dilakukan (Li et al., 2021).

Stres pembelajaran daring pada masa pandemi COVID-19 ini diukur dengan menggunakan kuesioner adaptasi CSSQ yang terdiri atas beberapa aspek, seperti stres akan tertular COVID-19, melakukan isolasi, hubungan dengan keluarga, sejawat dan guru di universitas yang tidak baik, kegiatan pembelajaran yang tidak baik saat perkuliahan, dan stres akan perubahan dari kebiasaan seksual karena pembatasan dan isolasi yang diberlakukan di masa pandemi ini (Zurlo et al., 2020). Hal-hal tersebut, yang dapat terjadi selama pandemi COVID-19 ini, merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi suasana dan lingkungan kegiatan belajar mengajar daring dan dapat membuat stres bagi mahasiswa. Sebagai contoh, lingkungan belajar di rumah yang tidak kondusif yang dapat diakibatkan oleh hubungan keluarga yang memburuk menyebabkan pembelajaran daring membuat stres, karena sulit berkonsentrasi (Zurlo et al., 2020; Chandra, 2021). Selain itu, hubungan keluarga yang memburuk akibat orang tua yang terlalu menuntut anaknya untuk mendapatkan nilai yang bagus juga dapat menjadikan pembelajaran daring menjadi beban bagi mahasiswa (Pandey et al., 2021).

Alasan serupa dapat dijumpai pada indikator-indikator lainnya sehingga kuesioner adaptasi CSSQ ini dapat digunakan sebagai alat ukur kejadian stres akibat pembelajaran daring dengan menggunakan sampel yang merupakan mahasiswa aktif yang mengikuti pembelajaran daring saat pandemi COVID-19 (Elumalai et al., 2019;

Wahyu dan Simanullang, 2020; Zurlo et al., 2020). Namun, penelitian ini bertolak belakang dengan beberapa penelitian yang telah dilakukan, karena pada penelitian- penelitian tersebut, mahasiswa yang berada pada tahun akhirnya sudah terbiasa terhadap tekanan sehingga telah terbiasa terhadap beban perkuliahan (Sagita dan Rhamadona, 2021).

(49)

Tabel 4.4 Distribusi frekuensi sampel berdasarkan kejadian konstipasi.

Pada Tabel 4.4 di atas, didapatkan sampel penelitian dengan 8 orang (7,1%) mengalami konstipasi dan 104 orang (92,9%) tidak mengalami konstipasi. Hasil yang didapatkan pada penelitian ini menunjukkan angka yang lebih rendah dibandingkan beberapa penelitian lain yang menyatakan bahwasanya konstipasi dialami pada sekitar 15-16% populasi secara global (Lim et al., 2016; Rao dan Camilleri, 2016; Forootan et al., 2018). Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan hasil yang lebih rendah dibandingkan dengan penelitian oleh Suares dan Ford dan Sperber yang menunjukkan angka konstipasi sekitar 11% (Suares dan Ford, 2011; Sperber et al., 2021). Namun, secara umum, hasil dari penelitian ini masih dalam rentang prevalensi konstipasi pada populasi di Asia, yaitu antara 3,9-28,4% dan di luar Asia, yaitu antara 2-28% (Lim et al., 2016; Rao dan Camilleri, 2016; Werth, 2019).

Di Indonesia sendiri, belum ada data pasti yang menunjukkan prevalensi konstipasi nasional secara jelas. Namun, dari penelitian yang pernah dilakukan di rumah sakit di Jakarta pada 1998-2005, didapatkan sebanyak 9% pasien mengeluhkan konstipasi (Bardosono et al., 2020). Penelitian ini mendukung penelitian-penelitian lain yang serupa, di mana hampir selalu ada kejadian konstipasi dengan nilai yang berbeda-beda. Untuk prevalensi dari konstipasi hampir selalu bervariasi pada setiap studi (Werth, 2019). Variasi tersebut disebabkan adanya perbedaan faktor-faktor seperti budaya dan karakteristik populasi dari setiap daerah dan juga definisi konstipasi pada tiap studi yang dilakukan (Werth, 2019; Werth et al., 2019).

Pengukuran dari konstipasi pada penelitian ini menggunakan kuesioner yang telah diadaptasikan dari kriteria konsensus ROME IV untuk konstipasi fungsional.

Kejadian Konstipasi Frekuensi Persentase (%)

Ya Tidak

8 104

7,1 92,9

Total 112 100

Gambar

Gambar 2.1 Peran utama otak dalam menelaah kejadian-kejadian yang memicu stres dan respon  tingkah laku respon fisiologis terhadap kejadian-kejadian tersebut (Arnetz dan Ekman, 2006).
Gambar 2.2 Sistem stres, mulai dari jenis stresor sampai terjadinya adaptasi oleh karena adanya respon  (Godoy et al., 2018)
Gambar 2.3 Tahapan dari General Adaptation Syndrome (GAS) (Sarafino dan Smith, 2011).
Gambar 2.4 Kerangka teori.
+6

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Teknik sampling adalah merupakan teknik pengambilan sampel. 52 Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik purposive sampling, yakni teknik penentuan

Tidak adanya hubungan yang signifikan antara aktivitas fisik selama pandemi COVID-19 dengan kualitas tidur mahasiswa FK USU menunjukkan bahwa terdapat banyak faktor yang dapat

Penelitian ini menemukan bahwa ada hubungan antara asupan lemak dengan indeks massa tubuh pada masa pandemi COVID-19 dan tidak ada hubungan stres dengan indeks

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa sebagian besar mahasiswa yang berjumlah 208 (77,32%) mengalami stres akademik pada kategori sedang

Pada tahun kedua kegiatan penerapan paket teknologi usahatani padi dan kedelai di lahan pasang surut dilakukan dengan metode perbandingan berpasangan, yaitu

Teknik analisis data yang digunakan adalah regresi linear berganda.Didalam penelitian ini didapat hasil bahwa citra merek dan kualitas produk memiliki pengaruh secara parsial dan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan stres dan dukungan keluarga dengan risiko kejadian insomnia pada Mahasiswa Fakultas Ilmu Kesehatan UPN

Berdasarkan hasil temuan dari hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa stres yang muncul pada remaja dalam menghadapi pembelajaran daring akibat Pandemi Covid-19 dapat