• Tidak ada hasil yang ditemukan

JURNAL REPRESENTASI BUDAYA PATRIARKI PADA FILM SELESAI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "JURNAL REPRESENTASI BUDAYA PATRIARKI PADA FILM SELESAI"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

JURNAL

REPRESENTASI BUDAYA PATRIARKI PADA FILM SELESAI

(Studi Kualitatif Analisis Semiotika John Fiske: Representasi Budaya Patriarki pada Film

“Selesai” 2021)

Diajukan Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi

Disusun Oleh:

Nabilla Fiscaninda Putri D1219029

PROGRAM STRATA I ILMU KOMUNIKASI (NON REGULER) FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2021

(2)

REPRESENTASI BUDAYA PATRIARKI PADA FILM SELESAI

(Studi Kualitatif Analisis Semiotika John Fiske: Representasi Budaya Patriarki pada Film

“Selesai” 2021)

Nabilla Fiscaninda Putri Chatarina Heny Dwi Surwati

Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret

Abstract

Movie as a form of mass communication be able to represent social issues. One of Indonesian movie who raises social issues is movie entitled “Selesai” in 2021. The social issues on this movie is about patriarchal culture. Patriachy is a system that places the position of men as in central ruler in any aspects, it caused of women that being placed in a subordinate position and they can’t determine their freedom. Patriarchy is called as a “culture” for it’s inherited from a generation to generation then it’s legitimized by society which leads to opression of women.

This type of research is qualitative research using John Fiske’s semiotics method, the researcher used John Fiske’s semiotics methode to find out the signs and the meanings that built on movie entitled “Selesai” which focuses to the text which is divided into three levels namely; level of reality, level of represenation, and level of ideology. The researcher also used patriarchy theory which combined the theory of Bhasin and Walby.

Based of the analysis, there are 7 aspects of patriarchal culture on movie entitled “Selesai”

including; productive resources and women’s labor, control over women’s reproduction, control over property and economic resources, control over women's sexuality, control over women's movement, violence against men, and patriarchal relations in cultural institutions.

The findings of this study, there is oppression of women, but women are also one of the agents that legitimized patriarchal culture.

Keyword: John Fiske, Movie, Patriarchal Culture, Representation, Semiotic.

(3)

Latar Belakang Masalah

Salah satu bentuk komunikasi massa yang sering ditemui di kehidupan sehari-hari adalah film, menurut Baran dalam Asri (2020:74) film merupakan suatu bentuk media komunikasi yang terdiri dari unsur audio dan visual yang mampu menggambarkan sebuah cerita dalam waktu yang singkat, film bertujuan untuk menyampaikan suatu pesan yang terkandung kepada khalayaknya dan dapat mempengaruhi khalayaknya. Fungsi film yang ada di masyarakat menurut Sumarno dalam Kaestiningtyas, et al (2021:49) tidak hanya berfungsi sebagai hiburan semata, namun film juga dapat berperan sebagai sarana informasi yang edukatif yang dapat mempersuasi khalayaknya. Film yang baik menurutnya, film yang dapat merepresentasikan kehidupan masyarakat yang sesugguhanya melalui audio, visual, dan teks. Maka dari itu, melalui film pikiran khalayak dapat dikonstruksikan sesuai dengan yang ingin disampaikan oleh pembuat film.

Saat ini sudah banyak film Indonesia yang mengangkat isu-isu sosial dan dikemas dalam berbagai macam genre film, isu sosial dalam film bertujuan sebagai media kritik sosial. Salah satunya adalah isu patriarki, patriarki berasal dari kata “patriarkat” yang berarti memposisikan kedudukan laki-laki sebagai penguasa sentral, menurut Spardley dalam Aprilliandra dan Krisnani (2021:1) definisi patriarki adalah sebuah pemikiran yang menempatkan posisi perempuan berada di bawah posisi laki-laki di berbagai bidang seperti;

pendidikan, pekerjaan, politik, dan lain sebagainya. Patriarki disebut budaya karena diwariskan secara turun-temurun tanpa disadari. Patriarki berawal dari adanya konstruksi perbedaan “gender” di masyarakat. Istilah gender sendiri merupakan hasil konstruksi sosial yang merujuk pada peran pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan di ranah publik dan domestik. Budaya patriarki di Indonesia sendiri masih cukup kental, pembentukan awal budaya patriarki menurut Millet dalam Zahruddin (2017:22) adalah keluarga, keluarga menanamkan nilai-nilai patriarki dan berperan untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang ada pada masyarakat patriarki. Pada akhirnya, masyarakat pun menginternalisasi nilai-nilai patriarki ke dalam kehidupannya dan mewariskan kepada generasi selanjutnya dan negara pun ikut melanggengkan sitem ini.

Budaya patriarki berdampak pada permasalahan sosial serius yang terjadi di masyarakat di antaranya menurut penelitian Sakina dan Siti (2017:74) adalah; KDRT, pelecehan seksual, pernikahan dini, dan sitgma terhadap perceraian. Indonesia merupakan negara yang masih melanggengkan budaya patriarki dalam kehidupan sehari-harinya, hal ini membuat Indonesia menempati peringkat keempat tertinggi di Asean. Cerminan permasalahan ketimpangan gender di Indonesia pada perempuan juga dipaparkan oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia menyatakan bahwa ketimpangan gender berdampak pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM), pada tahun 2019 posisi perempuan berada di bawah laki-laki dengan nilai IPM 69,18% sedangkan nilai IPM laki-laki adalah 75,96% angka tersebut mewakili ketimpangan yang disebabkan karena permasalahan ekonomi hingga kasus kekerasan yang dialami oleh

(4)

perempuan. Permasalahan ini muncul karena adanya konstruksi sosial yaitu budaya patriarki yang menempatkan posisi perempuan di bawah kekuasaan laki-laki, sehingga terjadinya ketimpangan yang cukup kentara (https://kemenpppa.go.id dilansir pada 2 Oktober 2021, pukul 22:00).

Berdasarkan gambaran di atas, budaya patriarki harus dihilangkan dari masyarakat agar mencapai kesetaraan gender. Agar masyarakat dapat melawan budaya patriarki, maka diperlukan sebuah agen perubahan, agen tersebut melalui film. Salah satu film yang mengandung unsur budaya patriarki adalah film “Selesai.” Pada awal peluncuran film ini mendapatkan pro dan kontra dari netizen media sosial Twitter, netizen menganggap film ini merendahkan perempuan. Namun, tidak sedikit netizen yang beranggapan bahwa film ini merupakan cerminan permasalahan sehari-hari.

Berdasarkan penjabaran di atas, peneliti tertarik untuk membahas mengenai representasi budaya patriarki pada film “Selesai,” penelitian ini akan dikaji dengan pendekatan kualitatif deskriptif dengan menggunakan metode semiotika yang dikemukakan oleh John Fiske, model semiotika John Fiske berfokus pada pada bidang kata-kata atau linguistik, kode pada sebuah film dijelaskan melalui tiga level, diantaranya adalah level realitas, level representasi, dan level ideologi (Vera, 2014:35). Penggunaan analisis semiotik oleh John Fiske digunakan pada penelitian ini karena peneliti ingin meguraikan makna yang ada pada teks dalam film “Selesai” karena tanda-tanda budaya patriarki pada film ini lebih banyak dibangun melalui teks.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah pada penelitian ini adalah:

“Bagaimana representasi budaya patriarki pada film “Selesai” menggunakan analisis semiotika John Fiske?”

Landasan Teori 1. Film

Film menurut UU nomor 33 tahun 2009 tentang perfilman, yaitu film sebagai karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komuikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan.

Terdapat beberapa struktur film menurut Pratista (2008:29) di antaranya adalah:

1. Shot

Shot merupakan unsur terkecil dari sebuah film, shot didapat ketika kamera dihidupkan (on) hingga telah selesai digunakan atau dimatikan (off), shot berlakau untuk satu kali pengambilan gambar (take) atau dengan kata lain, shot merupakan unit dari adegan.

(5)

2. Scene

Adegan merupakan salah satu bagian terpendek dari keseluruhan cerita yang memperlihatkan satu aksi berkesinambungan dan terikat oleh ruang, waktu, isi cerita, tema, karakter, serta motif.

3. Sequence

Sekuen merupakan satu segmen besar yang memperlihatkan satu rangkaian peristiwa besar secara utuh dan satu sekuen terdiri dari beberapa adegan yang saling berhubungan.

Film memiliki unsur yang dibagi menjadi dua yaitu, unsur sinematik dan unsur naratif. Berikut adalah penjelasan menurut Pratista (2008:23).

1. Unsur sinematik merupakan aspek teknis dalam produksi sebuah film, unsur sinematik dibagi menjadi empat unsur, di antaranya adalah; mise-en-scene, sinematografi, editing, dan suara.

2. Unsur naratif dalam film merupakan unsur yang berhubungan dengan aspek cerita film (Pratista, 2008:24). Setiap film fiksi pasti memiliki unsur naratif, karena dalam film memiliki unsur-unsur seperti tokoh, masalah, konflik, lokasi dan waktu.

Elemen tersebut saling berkaitan dan membentuk sebuah jalannya peristiwa.

2. Budaya Patriarki

Budaya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai pikiran, adat istiadat, sesuatu yang sudah berkembang, sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sukar diubah. Pada tingkatan tertentu budaya dapat dipahami sebagai cara hidup seseorang atau sekelompok orang. Definisi patriarki yang dipaparkan oleh Erika dalam You (2019:67) adalah sistem dimana perempuan dijadikan tidak terlihat dan kurang berpengaruh. Laki-laki dengan kekuatan, tekanan langsung, atau melalui ritual, tradisi, hukum, bahasa, adat-istiadat, etiket, pendidikan, dan pembagian kerja menentukan peran yang seharusnya bagi perempuan berada di bawah posisi laki-laki. Budaya patriarki yang berlangsung, membuat kaum perempuan tidak bebas bergerak sesuai dengan keinginannya, dalam hal ini ruang gerak perempuan dikendalikan oleh sebuah sistem.

Menurut Bhasin (1996) bidang kehidupan perempuan yang dikontrol oleh laki-laki dalam sistem patriarki adalah:

1. Daya produktif dan tenaga kerja perempuan

Pada aspek ini laki-laki mengontrol produktivitas perempuan di dalam dan diluar rumah tangga. Pada aspek dalam kegiatan rumah tangga, perempuan diharuskan untuk memberikan pelayanan untuk anak-anak, suami, dan anggota keluarga lainya. Dengan adanya pengontrolan atas daya produkttif dan tenaga kerja perempuan, laki-laki mendapat keuntungan secara material dari budaya patriarki, laki-laki cenderunng mendapat perolehan ekonomi konkret atas subordinasi perempuan. Dengan kata lain, patriarki merupakan basis yang menguntungkan secara material terhadap laki-laki.

(6)

2. Reproduksi perempuan

Reproduksi perempuan dikontrol oleh laki-laki, perempuan tidak memiliki kebebasan terhadap reproduksinya. Misalnya, perempuan tidak dapat menentukan berapa jumlah anak yang diinginkan, kapan mereka akan memiliki anak, apakah perempuan ingin menggunakan alat kontrasepsi, apakah mereka ingin hamil atau tidak, dan lain-lain. Pada zaman modern ini, budaya patriarki mengontrol perempuan melalui program-program keluarga berencana. Melalui program tersebut, negara memutuskan ukuran optimum atau mencegah perempuan untuk melahirkan anak sesuai dengan jumlah yang diinginkan oleh negara.

3. Kontrol atas seksualitas perempuan

Perempuan diwajibkan untuk memberikan pelayanan terhadap kegiatan seksual kepada laki-laki sesuai dengan keinginan dan kebutuhan laki-laki. Maraknya kasus pemerkosaan, ancaman perkosaan hingga kekerasan merupakan dominasi laki-laki terhadap perempuan.

4. Gerak perempuan

Kontrol terhadap gerak perempuan yaitu pembatasan terhadap perempuan yang hanya ditempatkan di rumah tangga atau ranah domestik, pemisahan yang ketat antara privasi dan publik, pembatasan interaksi antara dua jenis kelamin, dan lain sebagainya. Budaya patriarki mengontrol mobilitas dan kebebasan perempuan dengan cara yang khas dan hanya berlaku untuk perempuan, yaitu bersifat spesifik gender, laki-laki bukan sasaran pembatasan terhadap ruang gerak mereka.

5. Harta milik dan sumber daya ekonomi

Sebagian besar hak milik dan sumber daya produktif lain dikontrol oleh laki- laki dan diwariskan dari laki-laki ke laki-laki, biasanya dari ayah ke anak laki-laki.

Sekalipun menurut hukum perempuan juga memiliki hak untuk mewarisi harta, seluruh praktik kebiasaan yang gamblang mencegah mereka bisa memiliki kontrol atasnya.

Teori patriarki lainnya juga disampaikan oleh Walby (1990) mengungkapkan bahwa budaya patriarki dalam kehidupan sehari-hari terlihat dalam relasi kuasa, di antaranya adalah:

1. Relasi produksi patriarki dalam keluarga

Dalam struktur ini, pekerjaan rumah tangga perempuan diambil alih oleh suami atau orang-orang yang tinggal bersama dengan perempuan tersebut dalam suatu rumah. Ibu rumah tangga merupakan contoh kelas yang memproduksi, sementara suami adalah kelas pengambil.

2. Relasi patriarki pada pekerjaan dengan upah

Hal ini terlihat dari upah, yang pada akhirnya melarang perempuan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan memisahkan perempuan ke pekerjaan

(7)

yang buruk, hal ini terjadi karena adanya anggapan bahwa perempuan tidak terampil dalam melakukan pekerjaan di ranah publik.

3. Relasi patriarki dalam negara

Negara merupakan sebuah tempat dimana patriarki, sekaligus kapitalis dan rasialis. Negara memiliki bias sistematis terhadap kepentingan patriarki seperti kebijakan-kebijakan dan tindakan-tindakan lainnya.

4. Kekerasan laki-laki

Kekerasan laki-laki kerap kali menindas perempuan, kekerasan ini menurut Walby secara sistematis dimaafkan dan disahkan oleh penolakan negara untuk campur tangan melawan kekerasan tersebut, kecuali dalam kejadian tertentu.

Contoh kekerasan laki-laki yang sering ditemukan di sebuah negara terhadap perempuan adalah praktik pemerkosaan, KDRT, pelecehan seksual, dan lain-lain.

5. Relasi patriarki dalam seksualitas

Struktur patriarki dalam seksualitas membahas tentang alasan-alasan bagi orientasi seksual sebagai seorang heteroseksual seperti lesbian atau homoseksual.

6. Relasi patriarki dalam lebaga budaya

Lembaga budaya melengkapi susunan struktur sebelumnya, struktur ini menciptakan representasi perempuan dari pandangan patriarki dalam berbagai arena, diantaranya seperti agama, pendidikan, dan media. Selain itu, struktur patriarki dalam budaya mencakup gagasan-gagasan mengenai maskulinitas dan feminitas.

3. Semiotika John Fiske

Semiotika atau yang biasa dikenal dengan semiologi merupakan alat analisis yang banyak digunakan oleh peneliti untuk menganalisis isi pesan media massa, semiotika pada dasarnya adalah pendekatan yang berfokus pada cara produsen tanda bahasa (author) membuat tanda bahasa dan cara khalayak memahaminya (Suryanto, 2015:298).

Semiotika John Fiske merupakan model yang menyempurnakan semiotika milik Saussure dan Pierce yang berfokus pada kata-kata Teks merupakan fokus utama yang menjadi perhatian dalam analisis semiotika milik Fiske, teks dalam media tidak hanya berupa segala hal yang tertulis, namun segala sesuatu yang memiliki sistem tanda komunikasi seperti film, sinetron, opera sabun, kuis, iklan, fotografi juga bisa dianggap sebagai teks. Fiske menganalisis teks dalam media, untuk memeriksa berbagai lapisan sosio-budaya terhadap makna dan isi (Fiske, 2007:282). Berikut model analisis semiotika John Fiske:

No Level Analisis

Dominan Analisis Unsur Audiovisual

1 Level Realitas

Dalam bahasa tulis hal ini termasuk ke dalam dokumen, wawancara,

Naratif

(8)

transkrip dan lain sebagainya. Sedangkan dalam televisi, realitas digambarkan seperti;

penampilan, kostum, riasan, lingkungan, perilaku, cara bicara, gerakan, ekspresi 2 Level

representasi

Elemen-elemen yang ada pada level representasi ditandakan secara teknis.

Dalam bahasa tulis seperti kata, proposisi, kalimat, foto, caption, grafik, dan lain-lain. Sedangkan dalam televisi hal tersebut adalah;

kamera, pencahayaan, penyuntingan, musik.

Elemen-elemen tersebut ditransmisikan ke dalam kode representasional yang memasukkan di antaranya

bagaimana objek

digambarkan: karakter, narasi, seting, dialog, dan lain sebagainya.

Sinematografi

3 Level ideologi

Individualisme, patriarki, ras, kelas, materealisme, kapitalisme

Naratif

Tabel 1.1 Model Semiotika John Fiske Sumber: Setiawan, et al (2020)

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif analisis melalui pendekatan kualitatif. Pendekatan yang dipakai pada penelitian ini adalah pendekatan semitoka, semiotika merupakan ilmu yang mempelajari tentang tanda. Menurut Kusuma dan Fitriawan (2020:4) dalam semiotika terdapat dua perhatian utama, yaitu hubungan antara tanda dan maknanya dan bagaimana suatu tanda dikombinasikan menjadi suatu kode. Semiotika yang digunakan pada penelitian ini adalah semiotika milik John Fiske. Objek penelitian ini berupa unsur film “Selesai” yang menjadi korpus penelitian ini. Di antaranya adalah shot, scene, dan

(9)

sequence yang mengandung budaya patriarki. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan dokumentasi, studi pustaka, serta observasi.

Hasil dan Pembahasan

Pada penelitian ini, peneliti menggabungkan teori miliki Bhasin dan Walby untuk menganalisis budaya patriarki yang terdapat pada film “Selesai.” Hal ini bertujuan untuk memperkuat analisis dan melengkapi teori, peneliti menemukan sebanyak tujuh budaya patriarki yang terdapat pada film “Selesai” di antaranya adalah:

1. Daya Produktif dan Tenaga Kerja Perempuan

Level Realitas

Level realitas pada gambar ini ditunjukkan melalui kostum yang digunakan yaitu pakaian yang menadakan untuk di rumah, riasan pada kedua scene ini cenderung tipis, perilaku yang tampak pada kedua scene ini terlihat bahwa laki-laki mempekerjakan perempuan dalam ranah rumah tangga untuk memberikan pelayanan kepada mereka.

Ekspresi yang nampak pada kedua scene ini terlihat ekspresi antusias laki-laki saat dilayani oleh perempuan.

Level Representasi

Level realitas pada kedua scene ini menampilkan cara kerja kamera, pada gambar 1.2 menggunakan teknik long shot, sedangkan gambar 1.2 menggunakan teknik medium close up, keduanya sama-sama menggunakan sudut kamera eye view. Pada gambar 1.1 terdapat tone warna kuning yang mengartikan bahwa warna kuning pada film melambangkan ketidakjujuran, pengkhianatan, pengecut, dan cemburu. Sedangkan pada gambar 1.2 tone warna hitam yang melambangkan seksualitas (Yoodeo.com, 2017).

Level Ideologi

Level ideologi pada kedua scene ini adalah budaya patriarki, menurut Bhasin (1996:5) di dalam rumah, perempuan memberikan pelayanan untuk anak-anak, suami, dan anggota keluarga lainnya. Tokoh Ayu merupakan seorang ibu rumah tangga yang melayani ibu mertuanya dan suaminya, selain itu ibu mertua Ayu sangat senang saat tahu akan dimasakan makanan kesuakaannya, ibu mertua sangat menyukai Ayu karena Ayu

Gambar 1. 1 Laki-Laki Menyuruh Perempuan mengerjakan Pekerjaan Domestik

Gambar 1. 2 Double Burden Perempuan

(10)

terampil dalam mengurus rumah tangga dan perempuan penurut. Sedangkan, menurut feminis Marxis, seringkali bahwa pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci, membersihkan rumah jarang diperhitungkan dan kurang dihargai, namun di sisi lain perempuan juga dapat melakukan pekerjaan produktif yang diyakini sebagai pekerjaan yang menghasilkan uang, seperti pekerjaan sektor publik, buruh, dan lain-lain. Mirisnya, perempuan menerima dan secara sukareala ditindas oleh laki-laki (Soebiyanto &

Harianto, 2015:4). Pada gambar 1.2 terdapat double burden yang diterima perempuan, karena selain bekerja ia tetap harus melayani keluarga dan laki-laki.

2. Kontrol Atas Reproduksi Perempuan

Level Realitas

Realitas pada scene ini ditunjukkan melalui kostum yang menandakan baru bangun tidur di pagi hari, riasan pada scene ini juga tipis, serta terdapat perilaku mertua yang sedang mengajari agar Ayu cepat menghasilkan keturunan.

Level Representasi

Pada scene ini menggunakan teknik pengambilan gambar long shot yang bertujuan untuk memperlihatkan pergerakan karakter, dengan eye view. Serta tone grading normal.

Level Ideologi

Ideologi pada scene ini adalah budaya patriarki, yang ditunjukkan melalui dialog yang mendorong agar Ayu cepat punya anak. Pada aspek ini, perempuan dianggap sebagai mesin yang dapat menghasilkan anak, hal tersebut juga sejalan dengan pernyataan yang dikemukakan Bhasin (1996:6) yaitu, kaum perempuan tidak memiliki kebebasan untuk menentukan jumlah anak, kapan mereka akan punya anak, dan apakah mereka bisa menggunakan alat kontrasepsi dan hamil lagi. Hal ini menandakan bahwa budaya patriarki menempatkan perempuan sebagai objek reproduksi semata, sejalan dengan penelitian yang diungkapkan oleh Rachmah (2019:67) yang mengatakan bahwa perempuan yang telah berkeluarga dituntut untuk bisa hamil jika perempuan tersebut belum memiliki anak, maka belum menjadi perempuan sempurna.

Gambar 1. 3 Kontrol Atas Reproduksi Perempuan

(11)

3. Kontrol Atas Harta Milik dan Sumber Daya Ekonomi

Level Realitas

Scene ini memperlihatkan ekspresi marah Broto, sedangkan ekspresi Ayu adalah sedih. Hal ini disebabkan karena Broto menceraikannya dan akan membagi hartanya.

Level Representasi

Level representasi pada scene ini menggunakan teknik pengambilan kamera yaitu medium close up dengan eye view yang bertujuan untuk memperlihatkan ekspresi pemain.

Level Ideologi

Budaya patriarki menurut Sihite dalam Putri dan Lestari (2015:73) menempatkan laki-laki kepada ciri-ciri berupa kepala rumah tangga dan pencari nafkah yang terlihat dalam pekerjaan produktif di luar rumah maupun sebagai pengurus keturunan. Adanya gagasan tersebut, membuktikan Broto menganut budaya patriarki karena merasa dirinya adalah sumber nafkah utama dan pemimpin rumah tangga dan pengambil keputusan utama, selain itu Broto merupakan seorang keturunan Jawa. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Putri dan Lestari (2015:73) budaya Jawa dikenal sebagai penganut patriarki yang kental dan banyak memposisikan kedudukan perempuan lebih rendah daripada laki-laki, salah satunya adalah dalm pengambilan keputusan.

4. Kekerasan Laki-Laki

Gambar 1. 4 Laki-Laki Menentukan Pembagian Harta

Gambar 1. 5 Kekerasan Seksual Laki-Laki Gambar 1. 6 Perempuan Objek Seksual Laki-

Laki

(12)

Level Realitas

Pada level realitas, gambar 1.5 memperlihatkan Ayu yang berpenampilan menarik bagi Bambang, hingga Bambang melecehkannya. Hal ini terlihat pada gambar 1.6 yang memperlihatkan perilakunya yang sedang bermasturbasi karena melihat Ayu. Ekspresi Bambang adalah penuh nafsu dan senang.

Level Representasi

Pada level representasi, teknik pengambilan kamera pada gambar 1.5 adalah long shot yang bertujuan untuk memperlihatkan keseluruhan badan Ayu, sedangkan pada gambar 1.6 menggunakan medium close up yang memperlihatkan aktivitas Bambang.

Terdapat backsound suara drum yang mengartikan hasrat yang menggebu-gebu.

Level Ideologi

Maka dari itu, ideologi yang timbul pada sceneini adalah budaya patriarki, dimana perempuan dijadikan sebagai objek pelampiasan hasrat seksual laki-laki, hal ini merupakan pelecehan seksual. Menurut Fushilat dan Apsari (2020:122) adanya budaya patriarki pada masyarakat menyebabkan kerugian pada perempuan, karena posisinya yang subordinat atau terpinggirkan sehingga adanya kekerasan seksual yang dianggap wajar karena adanya konstruksi mengenai bahwa perempuan adalah objek fantasi seksual laki-laki.

5. Kontrol Atas Seksualitas Perempuan

Level Realitas

Level realitas pada scene ini ditandai dengan kostum yang digunakan Yani berupa daster yang menandakan pekerjaannya, sedangkan Bambang menggunakan baju safari yang menandakan pekerjannya adalah seorang supir. Ekspresi keduanya pada gambar 1.8 terlihat senang dan gesture Bambang terlihat sedang meminta layanan seksual.

Level Representasi

Pada level representasi, gambar 1.7 menggunakan teknik long shot yang memperlihatkan bahwa Yani akan melayani nafsu Bambang, sedangkan pada gambar 1.8 mengunakan teknik medium close up untuk mempelrihatkan ekspresi keduanya.

Gambar 1. 7 Laki-Laki Meminta Layanan Seksual

Gambar 1. 8 Perempuan Melayani Laki-Laki

(13)

Level Ideologi

Level idelogi pada kedua scene ini adalah budaya patriarki, dimana laki-laki menjadikan perempuan sebagai objek seksualnya. Menurut Bareket dan Shnabel (2019:1) tubuh perempuan diobjektifkan untuk memberikan pelayanan kepada laki-laki untuk mencapai kebutuhannya dan kesenangan. Objektifikasi tubuh perempuan menempatkan perempuan sekadar dinilai bagian seksual atau fungsi tubuh mereka saja, sementara laki-laki megabaikan kepribadian dan subjektivitas perempuan. Objektifikasi tidak hanya mencerminkan hierarki gender, tetapi memperkuat pengembangan penaklukan perempuan dan penurunan nilai mereka.

6. Kontrol Atas Gerak Perempuan

Level Realitas

Pada scene ini menggambarkan bahwa Ayu ingin pergi dan bercerai dari Broto karena sudah lelah diselingkuhi berkali-kali. Namun gesture Broto terlihat menghalangi Ayu hingga membanting kopernya. Ekspresi keduanya adalah marah dengan nada bicara yang tinggi. Kemudian, pada scene ini laki-laki menyalahkan perempuan atas perselingkuhan yang dilakukan oleh laki-laki.

Level Representasi

Pada level representasi, teknik pengambilan gambar yang digunakan adalah long shot dengan sudut kamera eye view. pada scene ini terdapat tone berwarna kuning yang melambangkan ketidakjujuran, pengkhianatan, pengecut, dan cemburu (Yoodeo, 2017).

Level Ideologi

Level ideologi pada scene ini adalah budaya patriarki yang mengontrol kebebasan perempuan, Ayu ingin bercerai. Namun, tidak diperbolehkan oleh Broto, kemudian ia menyalahkan Ayu atas perselingkuhannya. Peneliti mengidentifikasikan bahwa Broto beragama Islam dimana, hak cerai dalam agama Islam ditentukan oleh laki-laki. Menurut Yudistiawan (2019:4) perceraian dalam agama Islam, suami merupakan pemilik hak cerai, sedangkan istri hanya semata-mata pihak yang diceraikan bahkan tidak memiliki hak untuk bercerai. Implikasi dari adanya hak cerai yang dikuasai oleh laki-laki, maka akan merugikan pihak istri. Selain itu, Ayu yang berkali-kali meminta cerai namun tidak didengar tidak terlepas dari perempuan yang posisinya ada pada a muted group.

Gambar 1. 9 Laki-Laki Melarang Perempuan Pergi

(14)

7. Relasi Patriarki dalam Lembaga Budaya

Level Realitas

Pada level realitas, terlihat pada gambar 1.10 Ayu berdialog dengan Broto, ia memaki Anya yang merupakan selingkuhan Broto dengan kata-kata kasar yang merendahkan dengan kata-kata “perek”. Ayu lebih menyalahkan Anya atas perselingkuhan yang terjadi daripada menyalahkan Broto. Ekspresi yang terlihat pada gambar 1.10 adalah ekspresi Ayu yang marah, sedangkan Broto pun panik. Sedangkan, pada gambar 1.11 terlihat tokoh Ayu terjatuh ke bawah, karena Broto lebih memilih Anya yang ternyata sedang mengandung anaknya. Kemudian, tidak ada yang berpihak kepada Ayu hingga ia mengidap penyakit mental.

Level Representasi

Pada level representasi, pada gambar 1.10 teknik pengambilan gambar adalah medium close up yang bertujuan untuk memperlihatkan ekpresi dan berfokus pada dialog. Juga terdapat tone warna kuning pada film melambangkan ketidakjujuran, pengkhianatan, pengecut, dan cemburu (Yoodeo, 2017). Sedangkan, pada gambar 1.11 teknik pengambilan gambar yang digunakan adalah long shot, yang bertujuan untuk memperlihatkan semua pergerakan pemain serta objeknya. Keduanya menggunakan eye view.

Level Ideologi

Level ideologi pada kedua scene ini adalah budaya patriarki, pada gambar 1.10 perempuan yang menyalahkan perempuan lain atas perselingkuhan adalah bentuk budaya patriarki. Menurut Ananda (2018:152) pada kasus perselingkuhan penggunaan istilah-istilah sumpah serapah terhadap pihak perempuan menempatkan kesalahan pada perempuan ketiga yang melakukan perilaku menyimpang dan menghilangkan letak kesalahan laki-laki. Kesalahan perselingkuhan menggambarkan laki-laki yang baik harus tergoda oleh perempuan lain, pada akhirnya pelabelan terhadap perempuan ketiga membungkam dan memojokkan perempuan sebagai sumber kesalahan utama, pada pelabelan istilah terhadap wanita ketiga yang dilakukan oleh perempuan terhadap perempuan disebabkan karena perempuan juga ikut terjajah oleh budaya patriarki yang

Gambar 1. 11 Ayu Menemukan Bukti Selingkuh Gambar 1. 10 Tokoh Ayu Mengalami Ketertindasan

(15)

pada akhirnya perempuan pun ikut melanggengkan budaya tersebut. Sedangkan, pada gambar 1.11 ketertindasan Ayu disebabkan karena keputusan Broto yang memilih Anya.

Karena Anya dapat menghasilkan keturunan dan sifatnya yang feminin, sedangkan Ayu tidak kunjung memiliki keturunan. Sifat feminin perempuan dalam budaya patriarki salah satunya dikonstruksikan sebagai seorang yang pasif dan menuruti perintah laki- laki, sejalan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Lulungan, et al (2020:4) bahwa perempuan dipersepsikan sebagai manusia yang memiliki kelemahan, keterbatasan, selalu menggunakan perasaan, dan tidak logis. Maka dari itu perempuan tidak dipercayai sebagai makhluk yang dapat mengambil keputusan yang ada di rumah tangga, budaya patriarki menempatkan laki-laki sebagai pengambil keputusan utama. Dalam kasus Broto dan Ayu, Ayu sering mengambil keputusan terkait rumah tangganya, sikap yang dijalankan Ayu berdasarkan budaya patriarki tidak sesuai dengan konstruksi streotip pada perempuan, maka dari itu Broto merasa muak dengan sifat Ayu. Kemudian, Broto pun bersikap seksis dan misoginis karena menyudutkan Ayu sebagai sumber masalah atas perselingkuhan yang ia lakukan. Ia merasa lelah karena Ayu sering mengambil keputusan dalam rumah tangganya, hal ini tidak sesuai dengan sifat feminin perempuan.

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, kesimpulan yang dapat diambil adalah:

1. Budaya patriarki yang terjadi pada film “Selesai” merupakan budaya patriarki yang terjadi di ranah domestik, dimana terdapat tujuh teori yang merepresentasikan budaya patriarki. Di antaranya adalah; daya produktif dan tenaga kerja perempuan, kontrol atas reproduksi perempuan, kontrol atas harta miliki dan sumber daya ekonomi, kekerasan laki-laki, kontrol atas seksualitas perempuan, kontrol atas gerak perempuan, dan relasi patriarki dalam lembaga dan budaya.

2. Kedua tokoh perempuan pada film ini yaitu Ayu dan Yani merupakan tokoh yang tertindas karena adanya dominasi oleh laki-laki.

3. Budaya patriarki merupakan sebuah pemikiran yang turun-menurun dan diwariskan ke generasi selanjutnya, hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa perempuan juga melanggengkan budaya patriarki. Dalam film ini, perempuan juga turut melegitimasi kekuasaan laki-laki.

Saran

Berdasarkan penjabaran di atas, peneliti memberikan saran agar sebisa mungkin menghindari perselingkuhan dan budaya patriarki. Keduanya dapat merugikan perempuan baik dari segi fisik, mental, hingga material. Kemudian, seharusnya film ini tidak mengabaikan menganai kesehatan mental, karena tokoh Ayu sepanjang film ini sudah cukup menderita, ia berhak mendapatkan kebahagiaan, namun malah berujung tragis di rumah sakit jiwa.

(16)

Terlepas dari kontroversi film “Selesai” film ini secara tidak langsung mengedukasi masyarakat bahwa perselingkuhan dan patriarki bukan hal yang seharusnya dibenarkan, melalui film ini masyarakat dapat berpihak pada korban yang mengalami penindasan yaitu, Ayu. Saran untuk penelitian selanjutnya adalah, peneliti menemukan adanya tindakan seksisme dan misoginis, penelitian selanjutnya bisa mengkaji aspek tersebut dengan menggunakan teori perempuan sebagai a muted group.

Daftar Pustaka

Ananda, V. (2018). Viral Video Pelabrakan ‘Pelakor’: Upaya Perlawanan atau Pengukuhan Patriarki?. Prosiding Seminar Nasional FISIP UNSEOD. 148-154.

Apriliandra, S., & H. Krisnani. (2021). Perilaku Diskriminatif Terhadap Perempuan Akibat Kuatnya Budaya Patriarki di Indonesia Ditinjau Dari Persprektif Konflik. Jurnal Kolaborasi Resolusi Konflik. 3(1). 1-13.

Asri, R. (2020). Membaca Film Sebagai Sebuah Teks: Analisis Isi Film “Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI)”. Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Ilmu Sosial. 1(2). 74-87.

Bareket, O., & N. Shnabel. (2019). Domination and Objectification: Men’s Motivation For Dominance Over Women Affect Their Tendency to Sexually Objectify Women. 1-22.

Bhasin, K. (1996). Menggugat Patriarki. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.

Fiske, J. (2007). Cultural and Communication Studies Sebuah Pengantar Paling Komperhensif. Yogyakarta: Jalasutra.

Fushilat, S.R., & N.C. Apsari (2020). Sistem Sosial Patriarki Sebagai Akar dari Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan. Prosiding Penelitian dan Pengabdian Maysrakat. 7(1).

121-127.

Kaestiningtyas, et al. (2021). Representasi Gender Inequality dalam Film Kim Ji-Young, Born 1982 (Analisis Wacana Kritis Sara Mills). JISIP: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. 10(1). 48-62.

Lulungan, et al. (2021). Perempuan, Masyarakat Patriarki, dan Kesetaraan Gender.

Makassar: Bakti

Pratista, H. (2008). Memahami Film. Yogyakarta: Homerian Pustaka.

Putri, D.P.K., & S. Lestari. (2015). Pembagian Peran dalam Rumah Tangga pada Pasangan Suami Istri Jawa. Jurnal Penelitian Humaniora. 16(1). 72-84.

Rachmah, E.N. (2019). Resiliensi Pasien Pasca Operasi Histersektomi terhadap Kehidupan Seksual pada Tinjauan Psikologis dan Budaya. Proceeding National Confernce Psikologi UMG. 1(1). 67-74.

Sakina, A. & D.H. Siti. (2017). Menyoroti Budaya Patriarki di Indonesia. Share Social Work Journal. 7(1). 71-80.

(17)

Setiawan, et al. (2020). Ideologi Patriarki dalam Film (Semiotika John Fiske pada Interaksi Ayah dan Anak dalam Film Chef). Andharupa: Jurnal Desain Komunikasi Visual &

Multimedia. 6(2). 251-262.

Soebiyantoro, S.A., & S. Harianto. (2015). Praktik Penindasan pada Rumahtangga Buruh Tani Berdasarkan Perspektif Feminis Marxis. Jurnal Paradigma. 3(1). 1-6.

Suryanto. (2015). Pengantar Ilmu Komunikasi. Bandung: CV. Pustaka Setia.

Vera, N. (2014). Semiotika dalam Riset Komunikasi. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.

Walby, S. (1990). Teorisasi Patriarki. Yogyakarta: Jalasutra.

You, Y. (2019). Relasi Gender Patriarki dan Dampaknya terhadap Perempuan Hubula Suku Dani, Kabupaten Jayawijaya, Papua. Sosiohumaniora: Journal of Science and Humanities. 21(1). 65-77.

Yudistiawan, R. (2019). Perempuan dalam Pusaran Sistem Perceraian (Pemahaman Konsep Tentang Perempuan Berhadapan dengan Hukum). PCHPP III. 1-14.

Zahruddin, A. (2017). Perempuan dalam Budaya Politik Patriarkhi. Journal Unbara. 20-21.

Wesbite

Eros, M. (2017, Maret 17). Warna dalam Film dan Makna Dibaliknya. Diakses pada:

http://yoodeo.com/blog/read/warna-dalam-film-dan-makna-di-baliknya

Tim Redaksi (2021, Maret 25). Menteri PPPA: Budaya Patriarki Pengaruhi Rendahnya IPM

Perempuan. Diakses pada:

https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/3114/menteri-pppa-budaya- patriarki-pengaruhi-rendahnya-ipm-perempuan.

Gambar

Tabel 1.1 Model Semiotika John Fiske  Sumber: Setiawan, et al (2020)
Gambar 1.  1 Laki-Laki Menyuruh Perempuan  mengerjakan Pekerjaan Domestik
Gambar 1.  3 Kontrol Atas Reproduksi  Perempuan
Gambar 1.  4 Laki-Laki Menentukan  Pembagian Harta
+4

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini berfokus pada gambaran stereotip budaya di dalam representasi film Romeo Juliet sebagai salah satu faktor hambatan komunikasi antar budaya yang

REPRESENTASI IDENTITAS BUDAYA LOKAL BALI DALAM KUASA POSTCOLONIAL PADA FILM EAT PRAY

Representasi identiras budaya lokal Bali dalam kuasa postcolonial dalam film Eat Pray Love merupakan proses pengkonstruksian dari realita dan representasi budaya

Penelitian ini memiliki tujuan untuk membuktikan bahwa terdapat representasi nilai-nilai budaya patriarki dalam film Perempuan Berkalung Sorban yang disutradarai oleh Hanung

Pada level ideologi akan membahas bagaimana perempuan dalam film Sang Penari digambarkan melalui realita-realita di lingkungan sosial, baik itu dalam keluarga,

Representasi budaya Suku Kutai dalam Film “Erau Kota Raja” adalah gambaran mengenai makna di film Erau Kota Raja yang di analisis untuk mengkaji tanda dengan

Dari konsep yang telah peneliti paparkan diatas, yaitu representasi komunikasi interaktif budaya barat dalam film Chef melalui analisis semiotika dengan melihat

Berdasarkan hasil penelitian, peneliti menemukan representasi budaya Batak Toba dalam film Sang Prawira yang ditinjau dari unsur bahasa berupa dialek Toba yaitu olo-olo, attitek do