(Studi Analisis Semiotik tentang Representasi NilaiNilai Budaya Patriarki pada Lirik Lagu “Karena Wanita (Ingin Dimengerti)”)
SKRIPSI
Disusun oleh : VARIDA DWI YULIANI
NPM. 0443310596
YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
iv
karena hanya dengan rahmat dan ridhoNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul REPRESENTASI NILAINILAI BUDAYA PATRIARKI DALAM LIRIK LAGU KARENA WANITA (INGIN DIMENGERTI), yaitu sebuah studi semiotik tentang Representasi Nilainilai Budaya Patriarki dalam Lirik Lagu Karena Wanita (Ingin Dimengerti) yang diciptakan dan dipopulerkan oleh Kelompok Musik ADA Band.
Bagi penulis, skripsi ini bukanlah sekedar sebuah karya ilmiah yang hanya menjadi tanda keberhasilan penulis dalam menyelesaikan studi pada tingkat S1. Dengan ini, penulis menjadi tahu akan pentingnya sikap saling menghargai antar sesama manusia, meskipun kita diciptakan dalam wujud yang berbeda, baik lakilaki maupun perempuan, namun pada hakikatnya kita adalah manusia yang samasama memiliki hak untuk menjadi manusia seutuhnya dalam menentukan sikap dan pilihan hidup kita sendiri. Selain itu baik kekurangan dan kelebihan pada diri kita adalah suatu anugerah yang memang diberikan Allah SWT untuk kita syukuri, karena hal tersebut akan menjadikan kita dapat saling melengkapi satu sama lain dalam kehidupan ini. Sehingga sepatutnyalah kita tidak menjadikan orang lain lebih rendah atau lebih tinggi dari kita, yang berujung pada sikap saling merugikan.
v
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
2. Bapak Juwito, S.Sos., Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
3. Seluruh dosen pengajar di Program Studi Ilmu Komunikasi yang telah mendidik dan membimbing penulis selama studi dan seluruh staff di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang telah banyak memberikan begitu banyak bantuan dalam proses kelulusan ini.
4. Kedua orang tua dan keluarga, yang senantiasa memberikan dukungan baik moril maupun materiil, maaf jika selama ini telah banyak memberikan kekhawatiran. 5. Suamiku tercinta yang telah dengan sabar dan penuh perhatian memberikan
dorongan dan bantunannya.
6. Temanteman yang telah banyak membantu, menemani dan memberikan semangat, terutama untuk Roas yang begitu sangat banyak memberikan bantuannya hingga akhir, “Kamu memang yang terbaik, sukses ya Bu’…..”
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Karena itu, peneliti mengharapkan saran dan kritik yang dapat membantu peneliti mencapai hasil yang lebih baik. Semoga hasil penelitian nantinya dapat bermanfaat khususnya bagi perkembangan ilmu komunikasi.
vi
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI.. ii
HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI... iii
KATA PENGANTAR... iv
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
ABSTRAKSI... xi
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 12
1.3. Tujuan Penelitian ... 12
1.4. Kegunaan Penelitian ... 13
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori ... 14
2.1.1. Produksi Pesan dalam Proses Komunikasi ... 14
2.1.2. Lirik Lagu sebagai Pesan Komunikasi ... 16
2.1.3. Hubungan Pandangan, Bahasa dan Budaya ... 18
2.1.4. Ideologi Patriarki dalam NilaiNilai Budaya ... 19
2.1.5. Representasi ... 26
2.1.6. Pandangan Feminis ... 28
2.1.7. Pendekatan Semiotik dalam Ilmu Komunikasi ... 31
2.1.8. Penampakan Ideologi dalam Studi Semiotik ... 34
2.1.9. Lirik Lagu dalam Kajian Semiotik ... 36
2.1.10. Interpretasi Sistem Tanda dalam Lirik Lagu ... 39
vii
3.1. Metode Penelitian ... 46
3.2. Definisi Operasional Konsep ... 47
3.2.1. Representasi ... 47
3.2.2. Nilainilai Budaya Patriarki ... 47
3.2.3. Lirik Lagu ... 48
3.3. Unit Analisis ... 48
3.4. Korpus ... 48
3.5. Teknik Pengumpulan Data ... 49
3.6. Teknik Analisis Data ... 50
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Obyek Penelitian ... 53
4.1.1. Lirik Lagu Karena Wanita (Ingin Dimengerti) sebagai Lirik Lagu tentang Perempuan ... 53
4.1.1.1. Sekilas tenang Donnie Sibarani ... 56
4.1.1.2. Sekilas tentang ADA Band ... 58
4.2. Penyajian Data ... 60
4.3. Analisis Data ... 63
4.3.1. Interpretasi Lirik Lagu Karena Wanita (Ingin Dimengerti) dengan Model Signifikasi Dua Tahap Roland Barthes ... 64
4.4. Representasi NilaiNilai Budaya Patriarki dalam Lirik Lagu Karena Wanita (Ingin Dimengerti) ...104
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ...118
ix
Gambar 1.1 Komponenkomponen Ideologi... 11
Gambar 2.1 Elemenelemen Makna Saussure... 32
Gambar 2.2 Signifikasi Dua Tahap Barthes... 42
Gambar 4.1 Tubuh Ideal Perempuan ... 80
x
Lampiran 1 : Obyek Penelitian Lirik Lagu “Karena Wanita
(Ingin Dimengerti)” ...126 Lampiran 2 : Alamak! Keperawanan Siswi SMU Indramayu akan Dicek,
xi
DIMENGERTI) (Studi Analisis Semiotik tentang Representasi NilaiNilai Budaya Patriarki pada Lirik Lagu “Karena Wanita (Ingin Dimengerti)”)
Penelitian ini menaruh perhatian terhadap sebuah lirik lagu yang berjudul Karena Wanita (Ingin Dimengerti), yaitu sebuah lirik lagu yang ditulis oleh seorang lakilaki dengan memberikan kesan bahwa lirik lagu tersebut mengungkapkan rasa kekaguman dan penghormatan kepada kaum perempuan.
Kekaguman merupakan salah satu bentuk penilaian terhadap suatu hal, dan kekaguman tersebut tentunya dapat diwujudkan dengan penggambaran penggambaran. Dan oleh karena lirik lagu ini bercerita tentang sosok wanita, maka sudah dapat dipastikan isi dari lirik lagu tersebut penuh tentang penilaian lakilaki terhadap sosok wanita.
Dalam penggambaran tersebut, tentunya penulis menyertakan pemahamanpemahamannya tentang perempuan berdasarkan pangalaman serta pengetahuan penulis lirik lagu yang telah dipengaruhi oleh lingkungan eksternal yang ada disekitarnya. Sehingga secara disengaja atau tidak, keberadaan pengaruh nilainilai budaya patriarki yang berkaitan dengan pandangan terhadap sosok perempuan ini telah turut terrepresentasikan dalam sistem tanda pada lirik lagu, dan diterima sebagai pesan oleh khalayaknya dengan baik.
Penelitian ini menggunakan pendekatan semiotika, khususnya model “Signifikasi Dua Tahap” Roland Barthes. Dengan menggunakan model tersebut, maka peneliti memberikan perhatian khusus pada makna konotasi dan makna denotasi yang terkandung dalam sebuah tanda, dimana berdasarkan kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai ‘mitos’ dan berfungsi untuk mengungkapkan serta memberikan pembenaran bagi nilainilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.
Metode penelitian yang digunakan bersifat deskriptif kualitatif interpretatif, dan yang menjadi korpusnya adalah lirik lagu Karena Wanita (Ingin Dimengerti). Sedangkan unit analisisnya adalah unit sintaksis dengan melihat katakata yang membentuk kalimat dalam lirik lagu dan unit referensi dengan melihat satuan kalimat yang ada dalam lirik lagu Karena Wanita (Ingin Dimengerti).
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari analisa data, maka dapat disimpulkan bahwa dalam lirik lagu terdapat nilainilai budaya patriarki. Hal tersebut hadir melalui pandangan lakilaki terhadap perempuan yang diterima sebagai kelaziman oleh khalayak dalam bentuk penggambaran identitas perempuan dalam kefeminitasan, penempatan perempuan sebagai obyek tatapan serta adanya legitimasi atas dominasi lakilaki terhadap perempuan. Tiga hal tersebut terlihat dari berbagai mitosmitos, seperti : kecantikan, keperawanan dan kepahlawanan yang kerap dijadikan acuan.
1 1.1. Latar Belakang Masalah
Bila ditanyakan kepada lakilaki apa yang mereka benarbenar dambakan
dari seorang perempuan, kebanyakan menjawab kecantikan lahiriah. Studi di
Amerika Serikat menunjukkan selama lebih dari 50 tahun jawaban pria sama saja.
Mereka ingin perempuan cantik dan menggairahkan. Itu sebabnya, semakin
banyak dokter operasi plastik yang semakin kaya. Kebanyakan lakilaki memilih
perempuan yang mempunyai tubuh yang berbentuk, likuliku yang indah. Hal ini
sudah lama menggangu kaum feminis bahwa kecantikan perempuan dibentuk atas
dasar tirani. Mengapa perempuan harus mengikuti definisi kecantikan yang dibuat
oleh lakilaki? Mengapa ia selalu menyetujui dijadikan obyek seks lakilaki?
Kenapa perempuan harus menerima perlakuan ini? (Arivia, 2006:6667).
Berbicara mengenai perempuan, tentunya tidak terlepas dari sistem sosial
dimana mereka berada. Adanya usaha untuk memahami perempuan juga
merupakan usaha untuk memahami masyarakat. Dari banyak penelitian yang
menjadikan perempuan sebagai objek pengamatannya, kebanyakan mendapati
bahwa perempuan selama ini berada dalam posisi yang kurang menguntungkan di
masyarakat. Selain itu juga berkesimpualan bahwa lakilaki banyak mendapat
keuntungan dari hakhak istimewanya yang terus terpelihara.
Fenomena ini disebabkan oleh hadirnya sebuah konstruk sosial yang
dimapankan menjadi sistem yang mendunia dan bisa jadi merupakan ideologi
yang paling banyak pengikutnya. Budaya patriarki merupakan salah satu ideologi
yang hadir dalam masyarakat di seluruh penjuru dunia dan menjadi salah satu
sumber terjadinya ketimpangan gender yang berujung pada bentukbentuk
perilaku yang merugikan kaum perempuan, tidak terkecuali di Indonesia.
Ideologi patriarki mensyaratkan adanya pengendalian kekuasaan atau
dominasi oleh lakilaki serta stereotipe peran perempuan. Masyarakat yang
menganut ideologi ini akan menempatkan nilainilai budaya patriarkis sebagai
fondasi konstruk sosialnya. Kaum lakilaki akan selalu mewarisi sebuah tatanan
sosial yang menjadikan mereka mendominasi ruang kekuasaan dan kewenangan.
Sehingga aktivitasaktivitas sosial selalu dikaitkan dengan tindakan mereka dan
secara perlahan menjadi sebuah aturanaturan yang dianggap baku. Hal inilah yng
menimbulkan diskriminasi dan ketidakadilan atau bahkan penindasan terhadap
kaum perempuan dalam masyarakat.
Timpangnya relasi gender dan diskriminasi terhadap perempuan, diyakini
oleh para aktivis feminis terjadi di dalam lingkungan masyarakat yang terkecil
yaitu keluarga. Keluarga pun tidak luput dari intervensi negara dalam penerapan
kebijakan pembangunan. Salah satu aspek yang harus dikritik adalah bias gender
dalam merepresentasikan perempuan dalam media massa. Dimana banyak dari isi
program acara maupun pesan yang disampaikan oleh media massa tersebut tetap
saja memelihara nilainilai budaya patriarki. Dengan kata lain pesan yang
disampaikan media massa lebih banyak didominasi oleh simbolsimbol kekuasaan
Dalam berbagai produk media, perempuan dihadirkan sebagai obyek
penarik perhatian. Apapun ragam produk atau tayangan yang ditawarkan melalui
sebuah media, perempuan kerap dijadikan ‘tumbal’ untuk mencapai tujuan yang
diharapkan. Seperti yang diungkapkan Irwan Abdullah, bahwa media massa
membuat perempuan menjadi alat yang persuasif dalam menjual berbagai
komoditas, hal itu menjadi usaha untuk memberikan daya tarik erotis pada suatu
produk. Kelincahan, kesegaran, kenyamanan, dan keindahan adalah sifat yang
(dianggap) melekat pada perempuan dan menjadi daya tarik erotis produkproduk
tersebut. Kecantikan model perempuan dalam iklan (baca: media) – meskipun
tidak ada kaitannya dengan produk, adalah daya tarik utama sekaligus identifikasi
produk (Vidyarini, 2007:4). Beberapa contoh nyata yang sesuai dengan pendapat
ini adalah pada beberapa iklan televisi seperti: sebuah produk kopi bermerk Ya,
yang selalu menjadikan perempuan sebagai modelnya, seperti: Kembar Srikandi
atau Julia Perez. Jika dikaitkan dengan produk, maka penempatan Kembar
Srikandi atau Julia Perez beserta gaya tarian yang ditampilkan dalam iklan, sudah
jelas tidak memiliki korelasi apapun, selain sekedar untuk menarik perhatian
khalayaknya dengan kesan mensejajarkan kenikmatan minum kopi dengan
kenikmatan menatap Kembar Srikandi atau Julia Perez dalam gerak tariannya.
Lainnya, terlihat pada banyaknya tayangan sinetron yang menempatkan tokoh
wanita sebagai peran utamanya yang selalu digambarkan teraniaya dan
menyedihkan, karena selalu ditampakkan dalam wajah yang penuh dengan
linangan air mata; sedangakan pada media cetak, beberapa tabloid atau majalah
penghias sampul depannya dengan berbagai variasi tampilan, mulai dari yang
ditampakkan anggun hingga vulgar, dengan tujuan untuk menarik minat
konsumen. Dalam perspektif feminis maka hal demikian dapat menimbulkan
anggapan bahwa sajian media hanya diperuntukkan bagi kaum lakilaki saja,
seperti pendapat Aquarini sebagai berikut:
Dengan memperhatikan iklan, baik yang terbit di media cetak maupun yang muncul sebagai tayangan televisi, saya melihat adanya konstruksi feminitas dan seksualitas perempuan yang menunjukkan adanya konstruksi yang mengarahkan femininitas dan seksualitas perempuan sebagai cara penundukkan perempuan dalam kuasa lakilaki (Prabasmoro, 2006:322).
Media massa terusmenerus memproyeksikan peranperan berdasarkan
gender secara stereotip. Perempuan kerap ditampilkan sesuai dengan konstruksi
sosial yang telah diyakini oleh masyarakat, dimana perempuan adalah individu
yang identik dengan halhal yang feminin, seperti: lemah, lembut, anggun,
bertubuh langsing, sopan, berparas ayu, dilindungi, diberi, ditolong dan
sebagainya. Sedangkan lakilaki adalah individu yang identik dengan halhal yang
maskulin, seperti: kuat, kekar, gagah, tegas, pelindung, penolong dan sebagainya.
Dengan semakin kuatnya pandangan stereotip gender melalui biasbias
gender yang ditampilkan oleh media massa, tentunya hal tersebut dapat semakin
memperkokoh pandangan nilainilai budaya patriarki dalam masyarakat.
Media memang merupakan suatu instansi yang sangat berpengaruh, karena
mampu membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya dari berbagai
aspek. Hal ini mengisyaratkan pula bahwa media juga dapat menjadi suatu acuan
masyarakat dalam menentukan nilai baik atau buruk dari suatu obyek atau situasi
yang ada di sekelilingnya.
Padahal dalam menghadirkan suatu sajian, media massa memindahkan
realitas sosial ke dalam pesan media, dengan atau setelah diubah citranya
(Bungin, 2001:2) untuk memenuhi tujuannya, atau juga berdasarkan sudut
pandang media dalam menilai realitas tersebut, hal ini karena media pun terfokus
pada selera massal untuk menjangkau konsumsi massal (Rivers, 2003:283),
sehingga kerap menghadirkan suatu hal yang bersifat bias, seperti yang
diungkapkan Sobur dalam bukunya yang berjudul Analisis Teks Media, sebagai
berikut:
“Media pada dasarnya adalah cermin dan refleksi dari masyarakat secara umum. Karena itu, media bukanlah saluran yang bebas; dia subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan bias, dan pemihakannya” (Sobur, 2004: 39).
Sebenarnya, kondisi itu dipengaruhi oleh kepentingan finansial media
yang tergantung kepada para sponsor dan pengiklan. Pengiklan selalu ingin
menyenangkan khalayaknya sehingga menghindari berbagai hal tabu, sensitif atau
kontroversial, termasuk didalamnya soalsoal politik (Rivers, 2003:285). Maka,
opini yang dinilai bersifat lebih obyektif akan menjadi acuan media sebagai materi
segala hal yang disajikan media dianggap khalayaknya sebagai sebuah fakta yang
memang begitu adanya.
Dengan demikian, media justru bisa menjadi subyek yang mengkonstruksi
realitas penafsiran dan definisinya sendiri untuk disebarkan kepada khalayak.
Media berperan dalam mendefinisikan realitas. Di sini, ada dua peran yang
dimainkan media. Pertama, media adalah sumber dari kekuasaan hegemonik,
dimana kesadaran khalayak dikuasai. Kedua, media juga dapat menjadi sumber
legitimasi, di mana lewat media, mereka yang berkuasa dapat memupuk
kekuasaannya agar tampak absah, benar, dan memang seharusnyalah seperti itu
(Eriyanto, 2001:58).
Selain film, drama, iklan, tabloid, majalah, koran dan sinetron, musik atau
lagu juga termasuk produk media yang tidak lepas dari nilainilai budaya
patriarki, terutama dalam merepresentasikan perempuan, seperti yang kerap
ditemukan pada lagulagu yang menjadikan perempuan sebagai obyek acuannya.
Dalam menggambarkan sosok perempuan, seorang penulis lirik lagu seringkali
dipengaruhi oleh nilainilai yang ada di dalam masyarakatnya. Secara sadar atau
tidak, penulis lirik lagu akan menghadirkan perempuan berdasarkan pengetahuan
dan pengalaman yang didapatkan dari lingkungannya. Jika masyarakat yang
melingkupinya dipengaruhi oleh ideologi patriarki dalam memandang sosok
perempuan, maka dapat dipastikan hal itu pula yang akan hadir dalam lirik lagu
yang dituliskannya. Dan apabila hal ini dibiarkan, maka lirik lagu dapat pula
menjadi kontribusi hegemoni yang terus melanggengkan nilainilai budaya
Kehadiran nilainilai budaya patriarki dalam sebuah lirik lagu kurang
mendapat perhatian masyarakat. Alasan yang mungkin bisa dikaitkan dengan
kondisi ini, antara lain: kehadiran lirik lagu yang diiringi oleh alunan musik lebih
ditempatkan sebagai sarana hiburan saja oleh sebagian besar masyarakat, sehingga
makna yang terkandung dalam lirik lagu kurang diperhatikan secara seksama.
Merujuk pada kondisi tersebut, maka perlu adanya suatu perhatian khusus
pada keberadaan liriklirik lagu, terutama yang menghadirkan perempuan sebagai
obyek acuannya. Oleh karena itu dalam penelitian ini, peneliti tertarik untuk
menjadikan lirik lagu sebagai obyek penelitian, dan yang menyita perhatian
penulis adalah sebuah lirik lagu yang berjudul Karena Wanita (Ingin dimengerti)
yang dibawakan oleh kelompok musik ADA Band. Alasannya, lirik lagu “Karena
Wanita (Ingin Dimengerti)” Kelompok Musik ADA Band ini, yang selanjutnya
disingkat KWID, dianggap peneliti sebagai sebuah lagu yang memberikan tema
cinta dalam bentuk yang berbeda. Karena seperti yang kita ketahui, meskipun
beberapa tahun belakangan ini dunia musik Indonesia telah banyak diramaikan
oleh kemunculan wajah (musisi) pendatang baru yang hadir dengan membawakan
berbagai variasi warna musik yang beragam, namun dari segi tema, lagu cinta
masih menjadi pilihan dominan bagi para penciptanya.
Di tengahtengah maraknya tema percintaan atas dua insan manusia
sebagai sepasang kekasih, lirik lagu KWID menyuguhkan tema cinta yang lebih
luas. Lirik lagu KWID dikesankan mengungkapkan perasaan cinta dengan cara
memberikan rasa kekaguman dan hormat kepada kaum perempuan (
September 2007), tapi yang dimaksud bukan perempuan sebagai pasangan hidup
yang diidamkan, ataupun seorang ibu yang kerap dijadikan sebuah tema lagu,
seperti: “Bunda” Melly Goslow, “Ibu” – Opick Feat. Amanda, “Surga di Telapak
Kakimu” – Gita Gutawa.
Perlu diketahui bahwa kekaguman merupakan salah satu bentuk penilaian
terhadap suatu hal, dan kekaguman tersebut tentunya dapat diwujudkan dengan
penggambaranpenggambaran berdasatkan pengalamannya terhadap suatu hal
yang diamatinya. Dan oleh karena lirik lagu ini bercerita tentang sosok wanita,
maka sudah dapat dipastikan isi dari lirik lagu tersebut penuh tentang penilaian
lakilaki terhadap sosok wanita.
Dalam lirik lagu KWID, pengungkapan rasa kagum kepada kaum
perempuan dihadirkan dengan memberikan gambaran tentang sosok perempuan
sebagai seorang individu di ‘mata’ kaum lakilaki. Dalam penggambaran tersebut,
tentunya penulis menyertakan pemahamanpemahamannya tentang perempuan
berdasarkan pangalaman serta pengetahuan penulis lirik lagu yang telah
dipengaruhi oleh lingkungan eksternal yang ada disekitarnya, seperti yang
diungkapkan penulis lirik lagu KWID, yaitu Donnie Sibarani dalam sebuah media
online : "Lagu ini (Karena Wanita Ingin Dimengerti) dibuat dari curhat orang
orang sekitar saya" (http://www.detikhot.com/index.php/tainment.read/tahun
/2006/bulan/05/tgl/01 /time /121653 /idnews/585721/idkanal/217, 30 September
2007). Sehingga secara disengaja atau tidak, keberadaan pengaruh nilainilai
telah turut terrepresentasikan dalam sistem tanda pada lirik lagu KWID, dan
diterima sebagai pesan oleh khalayaknya.
Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti bermaksud untuk meneliti
bagaimana representasi nilainilai budaya patriarki dalam lirik lagu ‘Karena
Wanita (Ingin Dimengerti)’, yang telah hadir secara nyata namun tidak dapat
disadari secara langsung, karena adanya pemahaman yang dianggap sebagai
kewajaran.
Dalam penelitian ini, penulis akan mengutamakan halhal (segi) eskternal
yang melatari lirik lagu sebagai sesuatu yang signifikan dalam proses produksi
pesan. Karena sebagai teks, lirik lagu tidak berdiri sendiri, tetapi dilatarbelakangi
oleh konteks sosial kultural (Wahyudianata, 2007:88). Halhal eksternal seperti:
opini masyarakat, fenomena atau peristiwa yang merupakan realitas sosial
tersebut, dijelaskan dalam pembentukan tandatanda berupa rangkaian katakata
yang membentuk lirik lagu. Jadi, fokus dari penelitian ini adalah untuk memahami
pula bagaimana konstruksi hegemoni budaya dari masyarakat patrialkal yang
berlangsung berabadabad telah berpengaruh dalam pandangan kaum lakilaki dan
perempuan itu sendiri hingga ke generasi saat ini. Oleh karena itu dalam
penelitian ini, perlu adanya pembanding antara sistem tanda yang digunakan oleh
si pencipta lirik lagu dalam karyanya dengan peristiwa atau fenomena yang
Pendekatan yang akan digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah
analisis semiotik. Hal tersebut berdasarkan apa yang dituliskan Alex Sobur
sebagai berikut:
Analisis semiotik memang merupakan sebuah ikhtiar untuk merasakan sesuatu yang “aneh” –sesuatu yang dipertanyakan lebih lanjut– ketika kita membaca atau mendengar naskah atau narasi (baca : lirik lagu) (Sudjiman & van Zoest, 1996:105; Sudibyo, Hamad, Qodari, 2001:20 21 dalam Sobur, 2004:117).
Selain itu, lirik lagu dapat dikategorikan sebagai pesan verbal. Karena dalam
pesan verbal proses komunikasi dilakukan melalui katakata, yang merupakan
unsur dasar bahasa, dan katakata sudah jelas merupakan simbol verbal
(Sobur,2004:42). Kata, merupakan bagian integral dari simbol yang dipakai
kelompok masyarakatnya. Itu sebabnya, kata bersifat simbolis. Simbol itu,
menurut Robbert Sibarani (Wibowo, 2003:34;Sobur, 2004:42), mengutip
pendapat van Zoest, adalah sesuatu yang menyimbolkan dan mewakili ide,
pikiran, perasaan, benda, dan tindakan secara arbitrer, konvensional, dan
representatifinterpretatif (Sobur, 2000:42)
Jadi jika dikaitkan dengan penulisan lirik lagu KWID, maka katakata
yang dituliskan pengarang dalam lirik tersebut sebagai pesan yang
mengungkapkan pandangannya tentang sosok perempuan, tentunya memiliki
hubungan dengan kelompok masyarakatnya dalam menyimbolkan suatu ide,
pikiran, perasaan, benda, dan tindakan secara arbitrer, konvensional, dan
representatifinterpretatif. Dengan mengamati tandatanda (signs) yang terdapat
dalam sebuah teks (pesan), maka dapat diketahui ekspresi emosi dan kognisi si
mitologis (Manning dan Cullum Swan, 1994; Sudibyo, Hamid, dan Qodari, 2001
dalam Sobur, 2004:122). Semiotik melihat bahwa pesan merupakan konstruksi
tandatanda, yang pada saat bersinggungan dengan penerima akan memproduksi
makna (Fiske, 1990:2 dalam Sobur, 2004:122).
Dan oleh karena dalam penelitian ini berkaitan dengan sebuah nilainilai
dalam masyarakat, maka hal tersebut menyangkut keberadaan sebuah ideologi,
karena nilainilai merupakan bagian dari ideologi.
Bahwa ideologi berkaitan dengan pendapat umum, Apter melukiskan ideologi itu berada pada perpotongan antara prinsip atau tujuan filosofis, pilihan dan keyakinan individual, serta nilainilai umum dan khusus. Perpotongan ini diiktisarkan dalam gambar berikut ini (Sobur, 2004 : 219220):
Gambar 1.1
Komponenkomponen Ideologi
Sumber : David E. Apter. 1996. Pengantar Analisa Politik. Jakarta: LP3ES, hlm. 236
Menurut Susilo (2000:24), suatu teknik yang menarik dan memberikan
hasil baik untuk masuk ke dalam titik tolak berpikir ideologis yang terdapat pada
suatu kebudayaan tertentu adalah mempelajari mitos. Mitos adalah suatu wahana
dimana suatu ideologi berwujud. Mitos dapat berangkai menjadi mitologi yang
memainkan peranan penting dalam kesatuankesatuan budaya (Sobur, 2004:128).
Kita dapat menemukan ideologi dalam teks dengan jalan meneliti konotasi Pilihan
Nilai
konotasi yang terdapat di dalamnya (van Zoest, 1991:70). Salah satu cara adalah
mencari mitologi dalam teksteks semacam itu (Sobur, 2004:129).
Dari sini, maka peneliti merasa tepat jika dalam penelitian ini peneliti
menggunakan model semiotik Roland Barthes sebagai alat analisis, karena
semiotika yang dikembangkan Barthes memberikan perhatian khusus pada makna
konotasi dan makna denotasi yang terkandung dalam sebuah tanda. Dan dalam
kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya
sebagai ‘mitos’, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan
pembenaran bagi nilainilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu
(Budiman, 2001; Sobur, 2002:71).
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah peneliti sajikan, maka dapat
ditarik sebuah rumusan permasalahan sebagai berikut :
“Bagaimanakah representasi nilainilai budaya patriarki dalam lirik lagu ‘Karena
Wanita (Ingin Dimengerti)’?”
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan untuk mendeskripsikan representasi nilainilai
budaya patriarki yang tertuang dalam sebuah lirik lagu Karena Wanita (Ingin
1.4. Kegunaan Penelitian
Kegunaan yang diharapkan dapat muncul dari adanya penelitian ini, antara
lain :
1. Kegunaan teoritis
Hasil penelitian ini dapat menambah ragam kajian penelitian ilmu komunikasi
khususnya mengenai studi semiotik.
2. Kegunaan praktis
a. Bagi yang ingin mengkaji karya musik atau lagu, khususnya dari segi
lirik lagu, dengan menggunakan pendekatan semiotik, maka penelitian
ini dapat digunakan sebagai rujukan, tambahan pengetahuan atau bahan
pertimbangan dalam kajian semiotik lirik lagu selanjutnya.
b. Penelitian ini dapat menambah wawasan, referensi atau bahan
pertimbangan bagi masyarakat dalam menilai karya seni, khususnya
karya lagu atau musik dari segi liriknya.
c. Memberikan kesadaran kepada masyarakat agar lebih kritis dalam
menerima terpaan media massa, apapun itu bentuknya. Sehingga tidak
dengan mudah menganggap segala tampilan media adalah sebagai
14 2.1. Landasan Teori
2.1.1. Produksi Pesan dalam Proses Komunikasi
Pesan merupakan seperangkat simbol verbal dan/atau nonverbal yang
mewakili perasaan, nilai, gagasan atau maksud sumber (pengirim pesan)
(Mulyana, 2001:63). Berdasarkan paradigma Lasswell, pesan merupakan salah
satu dari lima unsur komunikasi yang bergantung satu sama lain, seperti :
komunikator (source, comunicator, sender), media (channel, media), komunikan
(communicant, receiver, recipient) dan efek (effect, impact, influence) (Effendy,
2007:10).
Dalam proses penyampaian pesan, pihak komunikator atau sumber
akan melakukan proses penyandian (encoding) terlebih dahulu. Untuk
menyampaikan apa yang ada dalam hatinya (perasaan) atau dalam kepalanya
(pikiran), sumber harus mengubah perasaan atau pikiran tersebut ke dalam
seperangkat simbol verbal dan/atau nonverbal yang idealnya dipahami oleh
penerima pesan (Mulyana, 2001:63). Seperangkat simbol yang mewakili perasaan
atau pikiran penyampai pesan, dalam wacana linguistik disebut sebagai bahasa
atau kata.
Komunikasi dapat berlangsung apabila terjadi kesamaan makna dalam
pesan yang diterima oleh komunikan (Effendi, 2007:13). Oleh karena itu Wilbur
Schramm, seorang ahli komunikasi kenamaan, dalam karyanya, “Communication
Research in the United State”, menyatakan bahwa komunikasi akan berhasil
apabila pesan yang disampaikan oleh komunikator cocok dengan kerangka acuan
(frame of reference), yakni paduan pengalaman dan pengertian (collection of
experiences and meanings) yang pernah diperoleh komunikan. Menurut Schramm,
bidang pengalaman (field of experience) merupakan faktor yang penting dalam
komunikasi (Effendy, 2007:1314). Maka pengalaman masa lalu, rujukan nilai,
pengetahuan, persepsi, pola pikir, dan perasaan sumber mempengaruhi dalam
merumuskan pesan tersebut (Mulyana, 2001:63). Oleh karena itu, komunikasi
akan lebih efektif apabila para pelakunya memiliki latar belakang budaya yang
sama.
Human are limited in their abilities to understand the content and/or meaning of what they percieve. These limitation are primarily the result of the listener’s degree of interest in the material, intelect, and physical condition. The same material (music recording) will yield different information to different listeners (or the same listener on different hearing), depending on knowledge, experience, analytic reasoning, socialcultural conditioning, expectations of context, attentiveness, and the condition of hearing mechanism (Moylan, 2007:74).
Dengan mengetahui proses produksi pesan dalam proses komunikasi,
akan memberi pemahaman tentang bagaimana suatu ideologi atau nilai yang
dimiliki oleh satu individu dapat tertularkan kepada individu yang lainnya dalam
suatu masyarakat, sehingga ideologi tersebut dapat terus dan mampu bertahan dari
2.1.2. Lirik Lagu sebagai bentuk Pesan Komunikasi
Proses komunikasi pada hakikatnya adalah proses penyampaian pikiran
atau perasaan oleh seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan).
Pikiran bisa merupakan gagasan, informasi, opini dan lainlain yang muncul dari
benaknya. Perasaan bisa berupa keyakinan, kepastian, keraguraguan,
kekhawatiran, kemarahan, keberanian, kegairahan, dan sebagainya yang timbul
dari lubuk hati (Effendy, 2007:11). Dalam istilah komunikasi pikiran atau
perasaan tersebut disebut sebagai pesan.
Secara praktisi, manusia mempunyai banyak cara dalam menyampaikan
pikiran atau perasaannya, dan salah satu media yang dapat digunakan adalah
melalui karya seni seperti musik. Musik merupakan salah satu bentuk dari fungsi
fungsi komunikasi yaitu komunikasi ekspresif. Komunikasi ekspresif tidak
otomatis bertujuan mempengaruhi orang lain, namun dapat dilakukan sejauh
komunikasi tersebut menjadi instrumen untuk menyampaikan perasaanperasaan
(emosi) kita. Dan harus diakui, musik juga dapat mengekspresikan perasaan,
kesadaran, dan bahkan pandangan hidup (ideologi) manusia (Mulyana,
2000:21&22).
Lirik lagu merupakan salah satu elemen dari musik yang menjadi pusat
kegiatan komunikasi antara pencipta dan khalayaknya, seperti yang diungkapkan
William Moylan dalam bukunya The Art of Recording : Understanding and
Crafting The Mix, sebagai berikut :
The interplay between the music and the drama of the text is often an important contributor to the total experience of these work’s (Moylan, 2007:62).
Seperti halnya sebuah puisi, lirik lagu juga terdiri atas kalimatkalimat
yang dengan sengaja oleh pengarangnya disusun secara sistematis dalam baitbait
agar memiliki keharmonisan untuk didengar. Oleh karena itu dalam beberapa
kesempatan, sebuah lagu kerap dipilih sebagai ilustrasi musik atas sebuah
peristiwa tertentu, baik dalam tayangan televisi, siaran radio, film dan sebagainya.
Melalui liriknya, sebuah lagu atau musik dapat diidentifikasi sebagai lagu yang
memiliki maksud tertentu, seperti: pujian, hinaan/cacian, kritikan, pengharapan,
berdasarkan obyek rujukannya, seperti : kekasih, sahabat, pemerintah, golongan,
Tuhan, ibu, ayah dan sebagainya. Dengan adanya sebuah lirik pula, maka sebuah
alunan lagu atau musik dapat menunjukkan muatan emosi yang ingin disampaikan
oleh pengarang/pencipta lagu secara jelas, apakah kesedihan, kegembiraan,
kemarahan atau rasa cinta.
The lyrics of song might present a story line, or it might be a description of an event or the author’s feelings about some aspect of the world around them. The text might be a presentation of the soscialpolitical philosophies of the author, or it might be a love song. The potential subjects for song are perhaps limitless (Moylan, 2007:70).
Pada beberapa situasi, memang ada kalanya hanya dengan alunan musik saja para
pendengar sudah mampu menangkap makna dari musik tersebut, namun dengan
adanya lirik lagu, maka para pendengar akan lebih mengetahui gambaran spesifik
2.1.3. Hubungan Pandangan, Bahasa dan Budaya
Manusia adalah makhluk berpikir. Manusia mengucapkan pikirannya
lewat bahasa. Meskipun menurut Lorens Bagus (1990), bahasa tidak sama dengan
pikiran. Pikiran memakai bahasa sebagai alat ekspresi. Bahasa mempunyai
kekuatan yang begitu dahsyat dan lebih tajam dari sebuah pisau. Di dalamnya
terdapat sesuatu kekuatan yang tidak tampak yang diberi nama komunikasi.
Dalam filsafat bahasa dikatakan bahwa orang mencipta realita dan menatanya
lewat bahasa. Bahasa mengangkat ke permukaan hal yang tersembunyi sehingga
menjadi kenyataan. Tetapi, bahasa yang sama dapat dipakai menghancurkan
realitas orang lain (Sobur, 2004:16).
Bahasa adalah kombinasi kata yang diatur secara sistematis, sehingga bisa digunakan sebagai alat komunikasi. Kata itu sendiri, merupakan bagian integral dari simbol yang dipakai oleh kelompok masyarakatnya. Itu sebabnya, kata bersifat simbolis. Simbol itu, menurut Robert Sibarani (Wibowo, 2001:34), mengutip pendapat van Zoest, adalah sesuatu yang dapat menyimbolkan dan mewakili ide, pikiran, perasaan, benda, dan tindakan secara arbitrer, konvensional dan representatifinterpretatif (Sobur, 2004:42).
Penggunaan katakata dalam penyampaian pesan verbal sangat menentukan
keberhasilan dari proses komunikasi.
Bagi media, bahasa bukan sekedar alat komunikasi untuk menyampaikan
fakta, informasi, atau opini. Bahasa juga bukan sekedar alat komunikasi untuk
menggambarkan realitas, namun juga menentukan gambaran atau citra tertentu
yang hendak ditanamkan kepada publik. (Sobur, 2004:89)
Bahasa yang dimiliki seseorang (dalam sebuah masyarakat) merupakan
hasil pengenalan (cognition) terhadap lingkungan sekitarnya. Oleh karena apa
yang satu dan sama, maka bahasa yang dihasilkannya pun relatif menunjukkan
adanya kesamaan. Menurut Goodenough (via Carson,1981:17;via Kalangi,
1994:1) sistem kognitif itulah yang merupakan kebudayaan. Sistem kognitif itu
terdiri dari pengetahuan, kepercayaan, dan nilai yang berada dalam pikiran
anggotaanggota individual masyarakat. Sementara itu, bahasa yang merupakan
salah satu unsur pokok kebudayaan itu merupakan sistem simbol (Geertz via
Kalangi, 1994:2; via AhimsaPutra, 1997:14). Dalam bahasalah tersimpan
khasanah kebudayaan suatu masyarakat (Istiyani, 2004:23).
2.1.4. Ideologi Patriarki dalam Nilainilai budaya
Nilainilai budaya merupakan konsepkonsep mengenai apa yang hidup
dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat mengenai apa
yang mereka anggap bernilai, sebagai suatu pedoman yang memberi arah orientasi
kepada kehidupan para warga masyarakat. Walaupun nilainilai budaya berfungsi
sebagai pedoman hidup manusia dalam masyarakat, tetapi sebagai konsep, suatu
nilai budaya itu bersifat sangat umum. Mempunyai ruang lingkup yang sangat
luas, dan biasanya sulit diterangkan secara rasional dan nyata. Namun, justru
karena sifatnya yang umum, luas dan tidak konkret itu, maka nilainilai budaya
dalam suatu kebudayaan berada dalam daerah emosional dari alam jiwa para
individu yang menjadi warga dari kebudayaan bersangkutan. Para individu itu
sejak kecil telah diresapi dengan nilainilai budaya yang hidup dalam
masyarakatnya, sehingga konsepkonsep itu sejak lama telah berakar dalam jiwa
diganti dengan nilainilai budaya lain dalam waktu yang singkat, dengan cara
mendiskusikannya secara rasional (Koentjaraningrat, 1990:190).
Perlu diketahui, pengertian dari nilainilai itu sendiri sebenarnya adalah
perasaanperasaan tentang apa yang diinginkan ataupun yang tidak diinginkan,
atau tentang apa yang boleh atau tidak boleh. Adapun tingkatantingkatan nilai,
menurut Arnold Green, ada tiga tingkatan, yaitu: perasaan (sentimen) yang
abstrak, normanorma moral, dan keakuan (kedirian). Ketiga tingkatan tersebut
ditemukan di dalam kepribadian seseorang. Perasaan dipakai sebagai standar
untuk tingkah laku. Demikian pula normanorma moral merupakan standar
tingkah laku yang berfungsi sebagai kerangka patokan (frame of reference) dalam
berinteraksi. Adapun keakuan (kedirian) berperan dalam membentuk kepribadian
melalui proses pengalaman sosial.
Nilainilai juga memiliki jenisjenis menurut intensitasnya, yaitu nilai
nilai yang tercernakan dan nilainilai yang dominan. Nilainilai yang tercernakan
(internalized values) merupakan suatu landasan bagi reaksi yang diberikan secara
otomatis terhadap situasisituasi tingkah laku eksistensi, sedangkan nilainilai
tercernakan tidak dapat dipisahkan dari si individu, serta membentuk landasan
bagi hati nuraninya. Nilai yang tercernakan bagi individuindividu artinya
individu itu menghayati atau menjiwai suatu nilai sehingga ia akan memandang
keliru pola perilaku yang tidak sesuai dengan nilai tersebut. Sedangkan nilainilai
yang dominan artinya nilainilai yang lebih diutamakan daripada nilainilai lain.
Fungsi nilai dominan ialah sebagai suatu latar belakang atau kerangka patokan
Kriteria suatu nilai dominan ditentukan oleh halhal sebagai berikut
(Sulaeman, 1998:21):
1. Luas tidaknya ruang lingkup pengaruh nilainilai tersebut dalam aktivitas
total dari sistem sosial
2. Lamatidaknya pengaruh nilai itu dirasakan oleh kelompok masyarakat
3. Gigihtidaknya (intensitas) nilai tersebut diperjuangkan atau dipertahankan
4. Prestise orangorang yang menganut nilai, yaitu orang atau organisasi
organisasi yang dipancang sebagai pembawa nilai.
Berbicara tentang nilainilai budaya, dalam konteks gender, maka dapat
dipastikan bahwa patriarki merupakan nilainilai dominan yang ada di dalam
masyarakat kita. Hal tersebut terlihat dari bagaimana berbagai bentuk aturan dan
norma serta adatistiadat yang berlaku di masyarakat, terutama yang berkaitan
dengan kaum perempuan dan lakilaki.
Patriarki atau dalam bahasa Inggris adalah Patriarchy, menurut kamus
online Oxford berarti “ a system of society in which men hold most or all of the
power” (http://www.askoxford.com/concise_oed/patriarchy?view=uk,15 November 2009, 12:30). Jadi, patriarki adalah sebutan pada sistem yang melalui tatanan
sosialnya memberikan prioritas dan kekuasaan lebih besar terhadap kaum lakilaki
dan dengan demikian mereka memiliki dominasi atas kaum lawan jenisnya yaitu
perempuan.
Sumber pemahaman atas fakta tersebut bisa dikatakan pengaruh dari buah
pikir para pemikir terdahulu berkaitan dengan asal kejadian manusia, seperti yang
kejadian perempuan dalam Islam. Dalam uraiannya, Mufidah menuliskan bahwa
ulama yang memahami (kata) nafs dengan Adam, dan Zausaha dengan Hawa
(dalam QS An Nisa : 1), (berkesimpulan) maka Hawa diciptakan dari Adam.
Banyak sekali pakar tafsir yang memahami kata nafs dengan Adam. Bahkan, Al
Tabarsi, salah seorang ulama tafsir bermazhab Syiah (abad ke6 H)
mengemukakan kata tersebut dengan Adam (Quarish Shihab, 1996 dalam
Mufidah, 2003:21). Dari pengertian tersebut timbul pandangan negatif terhadap
perempuan, seolah perempuan merupakan bagian lakilaki, tanpa lakilaki
perempuan tidak pernah ada (Mufidah, 2003:21).
Meskipun telah mendapat berbagai sanggahan terhadap penafsiran
penafsiran itu, anggapan bahwa perempuan adalah makhluk yang dilemahkan
tidak kunjung memudar. Faktor penyebabnya adalah kecenderungan pemikiran
para filosof besar Islam yang merujuk pada para pendahulunya, seperti
Aristoteles.
Mereka (filososffilosof besar Islam) memandang Aristoteles sebagai guru besar utama di bidang filsafat. Dalam perkembangan selanjutnya, pemikiran filosof filosof besar Islam turut mempengaruhi pula proses pembentukan keilmuan dalam Islam seperti : ilmu Tafsir, Hadis, Fikih, ilmu Kalam, Sejarah Kebudayaan Islam, dan cabangcabangnya (Mufidah, 2003:35)
Sebaliknya dalam memandang perempuan, Aristoteles mengkonsepsikan bahwa
secara alamiah, nalar perempuan tidak dipersiapkan untuk berpikir luas karena
tugastugasnya hanya untuk peran domestik. Menurutnya, relasi lakilaki dan
perempuan diibaratkan seperti hubungan raja dan hamba atau bangsa Barbar
mengawini istriistri hanya untuk melahirkan anakanak kita” (Mufidah, 2003:34),
dan pada halaman lain, “Perempuan adalah perempuan dengan sifat khusus yang
kurang berkualitas, kita harus memandang sifat perempuan yang dimilikinya
sebagai suatu ketidaksempurnaan alam” (Mufidah, 2003:9)
Jika merujuk pada konsep Aristoteles tersebut, maka perempuan dianggap
sebagai sosok yang lemah, harus tunduk kepada lakilaki, kurang berakal, dan
peranannya dalam kehidupan hanya sebagai sarana reproduksi. Inilah yang
menjadi salah satu latar belakang kemunculan kulturkultur yang lebih memiliki
keterpihakan kepada kaum lakilaki seperti patriarki.
Patriarki ini menjelma menjadi ideologi ketika dipahami sebagai
serangkaian gagasan yang menjustifikasi dominasi lakilaki dan perbedaan
inheren yang alamiah antara lakilaki dan perempuan, karena kehadirannya di
dalam masyarakat telah dianggap sebagai sebuah normanorma dan nilai budaya
yang kerap dijadikan pandangan hidup dalam kehidupan seharihari.
Ideologi merupakan komponen dasar dari sistemsistem sosiobudaya.
Pengertian ini menyangkut sistemsistem dasar kepercayaan dan petunjuk hidup
seharihari. Suatu Ideologi bagi masyarakat tersusun dari tiga unsur, yaitu: (1)
pandangan hidup, (2) nilainilai, dan (3) normanorma (Lenski, 1974); (Sulaeman,
2001:74).
Dalam konsepsi Marx, ideologi adalah sebentuk kesadaran palsu.
Kesadaran seseorang, siapa mereka, dan bagaimana mereka menghubungkan
dirinya dengan masyarakat dibentuk dan diproduksi oleh masyarakat, tidak oleh
tidak oleh psikologi individu (Fiske dalam Eriyanto, 2001:93). Sebagai contoh,
dalam beberapa iklan kosmetik atau produk perempuan lainnya, ideologi tersebut
terlihat dengan jelas. Di sini, anggota kelompok subordinat, kaum perempuan,
dibuat kesadarannya oleh ide kelompok dominan sebagai kesadaran palsu tidak
hanya dalam dirinya tetapi juga relasi sosialnya. Kelompok dominan
menampilkan gambaran bahwa perempuan yang cantik adalah mereka yang
memiliki kulit putih, bersih dari noda atau jerawat serta langsing, dan kategori
kategori seperti inilah yang juga dianggap cantik oleh kaum lakilaki. Jadi, hanya
bagi perempuan yang memenuhi kriteria seperti itulah yang mampu menarik
perhatian lakilaki. Dengan menyertakan ungkapanungkapan persuasif, hal
tersebut seolaholah menjadikan sebagai sesuatu hak istimewa yang patut dimiliki
kaum perempuan. Kesadaran atas diri perempuan semacam ini adalah palsu, dan
teks iklan ini menempatkan khalayaknya pada posisi ideologi patriarki yang
menerima penilaian lakilaki atas diri perempuan, dan hal tersebut dianggap
sebagai sesuatu yang wajar.
Perwujudan ideologi patriarki dalam bentuk dominasi lakilaki atas diri
perempuan sangat sulit dihapuskan, karena secara tidak sadar telah menjadi nilai
nilai budaya dalam masyarakat. Komunikasi merupakan salah satu bentuk
kegiatan sosial yang sangat berkompeten memelihara kondisi tersebut, karena
komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan normanorma
budaya masyarakat, baik secara horisontal, dari suatu masyarakat kepada
masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal, dari suatu generasi kepada generasi
menetapkan normanorma (komunikasi) yang dianggap sesuai untuk kelompok
tertentu, misalnya “Lakilaki tidak gampang menangis, tidak bermain boneka”,
“Anak perempuan tidak bermain pistolpistolan, pedangpedangan, atau mobil
mobilan. Penetapan normanorma yang demikian, selanjutnya akan dipahami
sebagai sebuah konstruksi sosial bahwa seorang lakilaki selayaknya harus
menjadi sosok yang kuat dan pemberani bukannya lemah seperti kaum
perempuan.
Masyarakat patriarkal menggunakan fakta tertentu mengenai fisiologi
perempuan dan lakilaki sebagai dasar untuk membangun serangkaian identitas
dan perilaku maskulin dan feminin yang diberlakukan untuk memberdayakan laki
laki di satu sisi dan melemahkan perempuan di sisi lain. Masyarakat patriarkal
menyakinkan dirinya sendiri bahwa konstruksi budaya adalah “alamiah” dan
karena itu “normalitas” seseorang tergantung pada kemampuannya untuk
menunjukkan identitas dan perilaku gender. Perilaku ini secara kultural
dihubungkan dengan jenis kelamin biologis seseorang. Masyarakat patriarkal
menggunakan peran gender yang kaku untuk memastikan perempuan tetap pasif
(penuh kasih sayang, penurut, tanggap terhadap simpati dan persetujuan, ceria,
baik, ramah) dan lakilaki tetap aktif (kuat, agresif, penuh rasa ingin tahu,
ambisius, penuh rencana, bertanggung jawab, orisinil, kompetitif) (Tong, 1998
2.1.5. Representasi
Seorang ahli sosiologi dan antropologi Perancis, bernama E. Durkheim,
beranggapan bahwa aktivitasaktivitas dan prosesproses rohaniah seperti:
penangkapan pengalaman, rasa, sensasi, kemauan, keinginan dan lainlain itu,
terjadi dalam organisma fisik dari manusia dan khususnya berpangkal di otak dan
sistem syarafnya. Akal manusia mempunyai kemampuan untuk menghubung
hubungkan prosesproses rohaniah yang primer tadi melalui prosesproses
sekunder, menjadi suatu hal yang khas, menjadi gagasan. Suatu gagasan serupa itu
oleh Durkheim disebut representation (Koentjaraningrat, 1990:211).
Pada tingkat dasar, representasi sekedar sesuatu yang direpresentasikan
dengan bantuan sesuatu yang lain –umpamanya, warna hitam merepresentasikan
kematian, sedangkan warna hijau merepresentasikan kehidupan. Sehingga
representasi dapat pula diartikan sebagai suatu wahana yang denganya dua hal
yang tak berkaitan dipersatukan untuk mengacu pada sebuah konsep (Trifonas,
2003:63).
Persoalan utama dalam representasi adalah bagaimana suatu realitas atau
objek ditampilkan? Apakah dengan penggambaran apa adanya atau diburukkan?
Hal tersebut tergantung pada ideologi apa yang melingkupi obyek yang
direpresentasikan.
Representasi perempuan secara kultural dalam media massa dapat
dipandang sebagai sosok yang mendukung kelanggengan konsep feminitas dan
maskulinitas, sehingga perempuan kerap ditampilkan dalam lingkup pembagian
selayaknya ahli dalam mengurus urusan rumah tangga, seperti: pandai memasak,
pandai berdandan, mengurus anak dan suami, dan sebagainya.
Dalam karya sastra Indonesia, sosok wanita kerap muncul sebagai
kehalusan, sesuatu yang bergerak lamban, bahkan kadang berhenti. Wanita,
sebagaimana digambarkan Herliany (dalam Ibrahim dan Suranto, ed., 1998:56),
begitu dekat dengan idiomidiom seperti keterkungkungan, ketertindasan, dan
bahkan pada ‘konsep’ yang terlanjur diterima dalam kultur masyarakat kita bahwa
mereka adalah ‘objek’ dan bukan ‘subjek’(Sobur, 2004:36).
Tubuh wanita dimuati dengan ‘modal simbolik’ ketimbang sekadar modal
biologis. Tubuh wanita yang ‘ditelanjangi’ melalui ribuan varian sikap, gaya,
penampilan (appearance) dan ‘kepribadian’ mengkonstruksikan dan
manaturalisasikan tubuhnya secara sosial dan kultural sebagai ‘objek fetish’
(fetish object), yaitu objek yang ‘dipuja’ (sekaligus dilecehkan?) karena dianggap
mempunyai kekuatan ‘pesona’ (rangsangan, hasrat, citra) tertentu. Singkat kata
“wajah” wanita di media massa masih memperlihatkan stereotip yang merugikan:
perempuan pasif, bergantung pada pria, didominasi, menerima keputusan yang
dibuat oleh pria, dan terutama melihat dirinya sebagai simbol seks (Sobur, 2004:
3839).
Sehingga dapat digambarkan bahwa dalam konteks gender, media menjadi
sebuah arena bagi perjuangan ‘tanda’, untuk menempatkan tandatanda tertentu
(maskulin) pada posisi dominan, dan tandatanda lain (feminin) pada posisi
dari perjuangan memperebutkan ‘hegemoni tanda’ di dalam media itu sendiri,
khususnya ‘hegemoni gender’(Sobur, 2004:39).
Representasi perempuan dan lakilaki secara kultural yang bias dalam
berbagai mampu menciptakan berbagai bentuk stereotype pada diri perempuan
maupun lakilaki dalam pandangan masyarakat. Stereotype adalah pelabelan
terhadap kelompok, suku, bangsa tertentu yang selalu berkonotasi negatif
sehingga sering merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Pelabelan atau
penandaan yang dikaitkan dengan perbedaan jenis kelamin tertentu (perempuan)
akan menimbulkan kesan negatif yang merupakan keharusan yang disandang oleh
perempuan. Stereotype merupakan salah satu bentuk ketidakadilan gender.
Dalam beberapa hal, masyarakat menghubungkannya dengan mitosmitos
dan penafsiran agama yang salah, misalnya perempuan tempatnya fitnah,
mayoritas penghuni neraka, tidak sederajat dengan lakilaki, dan sebagainya,
semakin memperpanjang daftar stereotype perempuan yang kemudian
disosialisasikan dari generasi ke generasi (Mufidah, 2003:78).
2.1.6. Pandangan Feminis
Kata feminisme berasal dari kata Latin, femina (perempuan) yang
mempunyai makna “memiliki kualitas perempuan” (Arivia, 2006:412). Istilah
“feminis” pertama kali digunakan di dalam literatur Barat pada tahun 1880, yang
secara tegas menuntut kesetaraan hukum dan politik dengan lakilaki (Arivia,
2006:10). Gelombang kedua teori feminisme memberikan penjelasan umum
terhadap kritikkritik Marxisme. Pada tahap teori ini, pembahasan difokuskan
kepada “perbedaan” yang diciptakan antara perempuan dan lakilaki yang terjadi
secara mengakar dengan dibahasakan “kodrati” (Arivia, 2006:19).
Sepanjang sejarah di belahan dunia patriarki seperti di Indonesia,
representasi isuisu perempuan di segala bidang (politik, ekonomi, budaya, agama,
dan sebagainya) telah dikesampingkan dan ditolak di dalam wacana publik.
Sebagai perempuan, kita berbeda, namun juga sama dengan lakilaki. Ada kondisi
umum yang membuat perempuan sama dengan lakilaki. Ada kondisi umum yang
membuat perempuan sama dengan lakilaki, namun ada pula kondisi khusus yang
dimiliki perempuan yang membuatnya berbeda, tetapi bukan berarti untuk
dibedakan. Perbedaan dengan cara menilai positif adalah perbedaan yang melihat
perempuan dengan nilai dan cara beradanya yang berbeda dengan lakilaki. Nilai
dan cara berada perempuan dikonstruksi dan dikondisikan oleh pengalaman
pengalaman perempuan yang melahirkan, menyusui, merawat, dan mempunyai
tingkat kesensitifat serta kepedulian yang besar. Nilainilai perempuan didasarkan
pada etika kepedulian yang kental melekat di dalam sistem cara pandang dunia
perempuan. Sedangkan perbedaan dengan cara menilai negatif adalah melihat
nilainilai perempuan sebagai “yang lain” (other). Sehingga dengan mudah terjadi
pengobyekan dan penindasan (Arivia, 2006:46).
Untuk menciptakan suatu dunia feminis, pertamatama yang harus
dilakukan adalah menyadari bahwa adanya kepalsuan dunia patriarkal yang
terhadap perempuan. Ide dan struktur patriarki ini perlu dilawan dengan suara
suara perempuan dan wacanawacana perempuan (Arivia, 2006:112).
Hal yang pertama dilakukan untuk menciptakan kembali dunia yang
mengusung feminitas adalah mengevaluasi kembali kualitaskualitas feminin. Hal
ini berarti terfokus pada duniadunia simbolis, mitos, imaji, dan bahasa. Usaha
usaha dilakukan lewat penggalian budayabudaya feminin. Penempatan bahwa
bahasa itu penting dalam studi feminis sangat masuk akal. Dale Spender dalam
tulisannya Language and Reality: Who Made the World?, sangat tegas
menunjukkan bahwa kelompok yang telah merekonstruksi realitas patriarkal
adalah lakilaki. Kelompok dominan lakilaki ini telah merekonstruksi sejarah,
struktur, maknamakna simbolis yang menguntungkan lakilaki (Arivia,
2006:113).
Pandangan feminis perlu menjadi sebuah pegangan dalam melihat segala
bentuk tanda yang ada di sekitar kita, dan menerpa kita dalam berbagai macam
bentuk, terutama yang disebarkan melalui media massa. Berbagai bentuk ideologi
patriarki yang menjelma dalam berbagai representasi akan menjadikan ideologi
tersebut semakin langeng. Namun melalui perspektif feminis, maka akan
membantu kita untuk lebih peka mengidentifikasinya.
Dalam penelitian ini, peneliti menjadikan feminisme sebagai tolak ukur
dalam mengidentifikasi nilainilai budaya patraiarki yang terrepresentasikan
dalam tandatanda yang terdapat di dalam obyek penelitian, yaitu sebuah lirik
lagu, sehingga dapat melihat bagaimana nilainilai budaya yang dianut suatu
tertentu serta melihat bagaimana nilainilai tersebut mempengaruhi hubungan
antara perempuan dan lakilaki dalam tingkatan psikologis dan budaya.
2.1.7. Pendekatan Semiotik dalam Ilmu Komunikasi
Tandatanda (signs) adalah basis dari seluruh komuniasi (Littlejohn,
1996:64;Sobur, 2001:15). Tanda terdapat di manamana. Kata adalah tanda,
demikian pula gerak isyarat, lampu lalu lintas, bendera, dan sebagainya. Struktur
karya sastra, struktur film, bangunan atau nyanyian burung dapat dianggap
sebagai tanda. Segala sesuatu dapat menjadi tanda. Ahli filsafat dari Amerika,
Charles Sanders Peirce, menegaskan bahwa kita hanya dapat berfikir dengan
sarana tanda. Sudah pasti bahwa tanpa tanda kita tidak dapat berkomunikasi
(Sudjiman & Zoest, 1992:vii).
Tandatanda memungkinkan kita berpikir, berhubungan dengan orang lain,
dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta (Sudjiman &
Zoest, 1992:1) dan untuk memahami tandatanda tersebut, kita membutuhkan
suatu model dari ilmu pengetahuan sosial yang disebut semiotika, berkaitan
dengan hal tersebut, Daniel Chandler dalam bukunya yang berjudul Semiotic for
Beginners, menuliskan, sebagai berikut :
Secara etimologis, istilah semiotik berasal dari kata Yunani semeion yang
berarti “tanda”. Tanda sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar
konvensi sosial yang terbangun sebelumnya dianggap mewakili sesuatu yang lain
(Eco, 1979:16). Berdasarkan pemikiran Saussure, yang paling penting dalam
konteks semiotik adalah pendangannya mengenai tanda. Saussure meletakkan
tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan melakukan pemilihan antara apa
yang disebut signifier (penanda) dan signified (petanda). Signfier adalah bunyi
yang bermakna atau coretan yang bermakna (aspek material), yakni apa yang
dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca. Signfied adalah gambaran mental,
yakni pikiran atau konsep aspek mental dari bahasa. Kedua unsur ini seperti
seperti dua sisi dari sekeping mata uang atau selembar kertas. Tanda bahasa
dengan demikian menyatukan, bukan hal dengan nama, melainkan konsep dan
gambaran akustis.
Saussure menggambarkan tanda yang terdiri atas signifier dan signified itu
[image:41.595.137.502.537.676.2]sebagai berikut:
Gambar 2.1
Elemenelemen Makna Saussure
Sumber : Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing, 2004, hlm. 125.
Sign
Signifier (physical existence of
the sign)
Signified (mental concept)
signification
Pada dasarnya apa yang disebut signifier dan signified tersebut adalah
produk kultural. Hubungan di antara keduanya bersifat arbitrer (manasuka) dan
hanya berdasarkan konvensi, kesepakatan, atau peraturan dari kultur pemakai
bahasa tersebut (Sobur, 2004:125).
Pada dasarnya pusat perhatian pendekatan semiotik adalah pada tanda
(sign). Dan menurut John Fiske ada tiga area penting dalam studi semiotik, yakni
(Fiske, 1990:40; Sobur, 2004:94):
1. The sign itself. This consists of the study of diffrent varieties of signs, of the
diffrent ways thay have of confeying meaning, and of the way they relate to the people who use them. For signs are human constructs and can only be
understood is terms of the uses people put them to. (Tanda itu sendiri. Hal ini berkaitan dengan beragam tanda yang berbeda, seperti cara mengantarkan
makna serta cara menghubungkannya dengan orang yang menggunakannya.
tanda adalah buatan manusia dan hanya dapat dimengerti oleh manusia orang
orang yang menggunakannya).
2. The codes or systems into which signs are organized. This study covers the
ways that a variety of codes have developed in order to meet the needs of a
society or cultur. (kode atau sistem dimana lambanglambang disusun. Study ini meliputi bagaimana beragam tanda dibangun untuk mempertemukan
dengan kebutuhan masyarakat dalam sebuah kebudayaan).
3. The culture within which these codes and signs operate. (Kebudayaan dimana
Pada perkembangannya dewasa ini, semiotik kerap digunakan sebagai
pendekatan untuk menganalisis teks media. Hal tersebut berdasarkan asumsi
bahwa media itu sendiri dikomunikasikan melalui seperangkat tanda. Teks media
yang tersusun atas seperangkat tanda tersebut tidak pernah membawa makna
tunggal. Kenyataannya, teks media selalu memiliki ideologi dominan yang
terbentuk melalui tanda tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa teks media
membawa kepentingankepentingan tertentu– juga kesalahankesalahan tertentu–
yang lebih luas dan kompleks (Sobur, 2004:95).
Semiotik membuat kita sadar dan berhatihati bahwa nilainilai budaya
yang kita pakai untuk memahami dunia, adalah sebuah konvensikonvensi atau
kesepakatan yang telah diturunkan dari generasi ke generasi oleh anggota dari
budaya, dimana kita menjadi bagiannya. Semiotik mengingatkan kita bahwa tidak
ada hal yang alami mengenai nilainilai budaya kita. Nilainilai budaya adalah
konstruksi sosial yang tidak hanya sangat beragam seiring perjalanan waktu tetapi
juga sangat berbeda dari satu budaya ke budaya lain.
2.1.8. Penampakan Ideologi dalam Studi Semiotik
Volosinov menyatakan, “whenever a sign present, ideology is present
too” (Hall, 1977;Susilo, 2000; Sobur, 2004:93). Ideologi adalah harta yang
terpendam dalam proses semiotik. Bukan ideologi dalam arti bentuk teoritis yang
besar, semacam susunan filsafat