• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PEMIKIRAN POSITIVISME HUKUM DALAM PEMBANGUNAN HUKUM INDONESIA DARI PERSPEKTIF ONTOLOGIS, EPISTEMOLOGIS DAN AKSIOLOGIS.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS PEMIKIRAN POSITIVISME HUKUM DALAM PEMBANGUNAN HUKUM INDONESIA DARI PERSPEKTIF ONTOLOGIS, EPISTEMOLOGIS DAN AKSIOLOGIS."

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAHAN AJAR

ANALISIS PEMIKIRAN POSITIVISME HUKUM DALAM

PEMBANGUNAN HUKUM INDONESIA DARI PERSPEKTIF

ONTOLOGIS, EPISTEMOLOGIS DAN AKSIOLOGIS

Oleh :

I Gede Pasek Eka Wisanjaya SH MH

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

PEMIKIRAN POSITIVISME HUKUM DALAM PEMBANGUNAN HUKUM INDONESIA DARI PERSPEKTIF ONTOLOGIS, EPISTEMOLOGIS DAN

AKSIOLOGIS

Peran dan fungsi filsafat hukum dan teori hukum dalam pembangunan hukum suatu negara sangatlah penting. Kemajuan negara bangsa moderen (nation modern state) pada abad ke-21 saat ini sangat ditentukan oleh pembangunan hukum yang berlangsung pada negara tersebut. Semakin maju dan berkembang pembangunan hukum suatu negara, maka semakin maju dan berkembang pula peradaban negara tersebut. Hukum mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembangunan nasional suatu negara. Peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur.1 Teori The Rule of Law2 (negara hukum) juga menghendaki atau mengharuskan adanya pembangunan hukum dalam suatu negara untuk mewujudkan sistem hukum yang ideal. Sitem hukum yang ideal akan dapat mewujudkan negara hukum yang bermartabat yang merupakan harapan sebagian besar negara bangsa moderen (nation modern state) saat ini. Dalam konteks perkembangan negara bangsa moderen (nation modern state), maka salah satu fungsi hukum adalah menciptakan ketertiban. Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum. Kebutuhan akan ketertiban ini, merupakan syarat pokok (fundamental) bagi adanya masyarakat manusia yang teratur.3 Selain ketertiban, tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya, menurut masyarakat dan jamannya.4

1

Mochtar Kusumaatmadja, 1986, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Binacipta, Bandung, hlm. 3.

2

Konsep negara hukum moderen di Eropa Kontinental dikembangkan dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu rechtsstaat antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte. Adapun dalam tradisi Anglo Amerika konsep negara hukum dikembangkan dengan sebutan The Rule of Law yang dipelopori oleh A.V. Dicey. Selain itu konsep negara hukum juga terkait dengan istilah nomokrasi

(nomocratie) yang berarti penentu dalam penyelenggaraan negara adalah hukum. (Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitutionalisme Indonesia, Cetakan Pertama, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik

Indonesia dann Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hlm.122 dalam Jimly Asshiddiqie, 2011, Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi, Sinar Grafika, Jakarta, h. 130).

3

Mochtar Kusumaatmadja, 1985, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Binacipta, hlm. 2.

4

(3)

Pembangunan hukum di Indonesia bertujuan untuk mewujudkan tatanan hukum nasional yang ideal. Tatanan Hukum Nasional Indonesia harus mengandung ciri sebagai berikut:5 a) Ber-Wawasan kebangsaan dan ber-Wawasan nusantara;

b) Mampu mengakomodasi kesadaran hukum kelompok etnis-kedaerahan dan keyakinan keagamaan;

c) Sejauh mungkin berbentuk tertulis dan terunifikasi;

d) Bersifat rasional yang mencakup rasionalitas-efisiensi, rasionalitas-kewajaran (redelijkheid), rasionalitas-berkaidah, dan rasionalitas-nilai;

e) Aturan prosedural yang menjamin transparansi, yang memungkinkan kajian rasional terhadap proses pengambilan putusan oleh pemerintah;

f) Responsif terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat.

Seperti telah disebutkan oleh para ahli hukum, bahwa terdapat tiga lapisan ilmu hukum, yaitu Filsafat Hukum, Teori Hukum dan Dogmatik Hukum. Teori Hukum membahas tentang hal-hal yang fundamental dalam ilmu hukum, yaitu mengapa hukum berlaku ? Apa dasar kekuatan mengikatnya ? Apa yang menjadi tujuan hukum ? Bagaimana seharusnya hukum itu dipahami ? Apa yang seharusnya dilakukan oleh hukum ? Apakah keadilan itu, bagaimana hukum yang adil ?6 Teori Hukum merupakan studi tentang sifat dari hal-hal yang penting dalam hukum yang lazim terdapat dalam sistem-sistem hukum, dimana salah satu objek kajiannya adalah pembahasan mengenai unsur-unsur dasar dari hukum yang membuat hukum berbeda dengan aturan standar lain yang bukan hukum.7 Teori tentang hukum adalah juga sebagai tatanan perlindungan hak-hak dasar manusia. Hukum harus merupakan produk rasional dan obyektif serta hukum harus mencerminkan aspirasi rakyat yang diperintah, bukan hanya kemauan pemerintah yang berkuasa.8 Teori ilmu hukum juga bertujuan untuk menjelaskan kejadian-kejadian dalam bidang hukum dan mencoba untuk memberikan penilaian. Menurut Radburch

5

Bernard Arief Sidharta, 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Cet. II, Mandar Maju, Bandung, hlm. 212.

6

Satjipto Rahardjo, 1996, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 254, dalam H.R. Otje Salman S. - Anthon F. Susanto, 2004, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali), Refika Aditama, Bandung, hlm. 46.

7

Munir Fuady, 2013, Teori-Teori Besar Dalam Hukum (Grand Theory), Cet. ke-1, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 2.

8

(4)

tugas dari teori hukum adalah membikin jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada dasar-dasar filsafat yang paling dalam. Teori hukum merupakan kelanjutan dari usaha untuk mempelajari hukum positif. Teori hukum menggunakan hukum positif sebagai bahan kajian dengan telaah filosofis sebagai salah satu sarana bantuan untuk menjelaskan tentang hukum. Teori hukum dipelajari sudah sejak zaman dahulu, para ahli hukum Yunani maupun Romawi telah membuat pelbagai pemikiran tentang hukum sampai pada akar-akar filsafatnya.9

Keberadaan Teori Hukum penting dikaji dari perspektif Filsafat Ilmu.10 Kajian Filsafat Ilmu terhadap Teori Hukum akan dapat memberi pengertian dan pemahaman yang lebih mendalam tentang keberadaan Teori Hukum dalam perkembangan ilmu hukum, serta peran dan fungsi ilmu hukum dalam meningkatkan kesejahtraan dan peradaban umat manusia di muka bumi ini. Untuk memahami arti dan makna Filsafat Ilmu, di bawah ini dikemukakan pengertian filsafat ilmu dari beberapa ahli yang terangkum dalam sejumlah literatur kajian Filsafat Ilmu.11

 Robert Ackerman “philosophy of science in one aspect as a critique of current scientific opinions by comparison to proven past views, but such aphilosophy of

science is clearly not a discipline autonomous of actual scientific paractice”. (Filsafat

ilmu dalam suatu segi adalah suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap kriteria-kriteria yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu jelas bukan suatu kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara actual).

 Lewis White Beck “Philosophy of science questions and evaluates the methods of scientific thinking and tries to determine the value and significance of scientific

enterprise as a whole. (Filsafat ilmu membahas dan mengevaluasi metode-metode

9

http://vocblogg.blogspot.com/2013/04/makalah-teori-positivisme-dan-teori.html, diakses Senin 7 Januari 2014.

10

Teori hukum juga memiliki implikasi-implikasi kefilsafatan (hukum). Hal ini tampak jelas misalnya pada apa yang dinamakan teori hukum empirik yang sangat berorientasi pada aliran-aliran tertentu dari filsafat ilmu modern (misalnya Rasionalisme Kritikal), bahwa menurut pandangan ini ilmu hukum harus diemban dengan bantuan metode-metode empirik. Lihat: Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum,

Ilmu Hukum, Teori Hukum, Dan Filsafat Hukum, 2008, Penerjemah: B. Arief Sidharta, Cet. II, Refika

Aditama, Bandung, hlm. 32.

11

(5)

pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan).

 Cornelius Benjamin “That philosopic disipline which is the systematic study of the nature of science, especially of its methods, its concepts and presuppositions, and its

place in the general scheme of intellectual discipines. (Cabang pengetahuan filsafati

yang merupakan telaah sistematis mengenai ilmu, khususnya metode-metodenya, konsep-konsepnya dan praanggapan-praanggapan, serta letaknya dalam kerangka umum cabang-cabang pengetahuan intelektual).

 Michael V. Berry “The study of the inner logic if scientific theories, and the relations between experiment and theory, i.e. of scientific methods”. (Penelaahan tentang

logika interen dari teori-teori ilmiah dan hubungan-hubungan antara percobaan dan teori, yakni tentang metode ilmiah).

 May Brodbeck “Philosophy of science is the ethically and philosophically neutral analysis, description, and clarifications of science.” (Analisis yang netral secara etis

dan filsafati, pelukisan dan penjelasan mengenai landasan-landasan ilmu).

 Peter Caws “Philosophy of science is a part of philosophy, which attempts to do for science what philosophy in general does for the whole of human experience.

Philosophy does two sorts of thing: on the other hand, it constructs theories about

man and the universe, and offers them as grounds for belief and action; on the other,

it examines critically everything that may be offered as a ground for belief or action,

including its own theories, with a view to the elimination of inconsistency and error.

(Filsafat ilmu merupakan suatu bagian filsafat, yang mencoba berbuat bagi ilmu apa yang filsafat seumumnya melakukan pada seluruh pengalaman manusia. Filsafat melakukan dua macam hal : di satu pihak, ini membangun teori-teori tentang manusia dan alam semesta, dan menyajikannya sebagai landasan-landasan bagi keyakinan dan tindakan; di lain pihak, filsafat memeriksa secara kritis segala hal yang dapat disajikan sebagai suatu landasan bagi keyakinan atau tindakan, termasuk teori-teorinya sendiri, dengan harapan pada penghapusan ketakajegan dan kesalahan).  Stephen R. Toulmin “As a discipline, the philosophy of science attempts, first, to

elucidate the elements involved in the process of scientific inquiry observational

(6)

metaphysical presuppositions, and so on and then to veluate the grounds of their

validity from the points of view of formal logic, practical methodology and

metaphysics”. (Sebagai suatu cabang ilmu, filsafat ilmu mencoba pertama-tama

menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam proses penyelidikan ilmiah prosedur-prosedur pengamatan, pola-pola perbincangan, metode-metode penggantian dan perhitungan, pra-anggapan-pra-anggapan metafisis, dan seterusnya dan selanjutnya menilai landasan-landasan bagi kesalahannya dari sudut-sudut tinjauan logika formal, metodologi praktis, dan metafisika).

I.1 Pemikiran Positivisme Hukum Dari Perspektif Ontologis

Perkembangan positivisme hukum sangat penting ditelaah dari perspektif ontologis12, yaitu menelaah dan menganalisa apakah hakekat dari positivisme hukum tersebut. Pemikiran positivisme hukum juga tidak terlepas dari pengaruh perkembangan positivisme (ilmu) dan sekaligus menunjukkan perbedaannya dari pemikiran hukum kodrat, dimana hukum kodrat membahas permasalahan validasi hukum buatan manusia, sedangkan pada positivisme hukum aktivitas justru diturunkan kepada permasalahan konkrit.13 Esensi dari positivisme hukum adalah bahwa hukum adalah perintah. Analisis atau studi tentang makna konsep-konsep hukum adalah suatu studi penting, analisis atau studi itu harus dibedakan dari studi sejarah, studi sosiologis dan penilaian kritis dalam makna moral, tujuan-tujuan sosial dan fungsi-fungsi sosial. Positivisme hukum melihat sistem hukum adalah sistem tertutup yang logis, yang merupakan putusan-putusan yang tepat yang dapat dideduksikan secara logis dari aturan-aturan yang sudah ada sebelumnya. Dan positivisme hukum memandang, bahwa penghukuman secara moral

12

Kajian ontologis sangat terkait dengan obyek material dari Filsafat Ilmu, obyek material diartikan sebagai adalah apa yang dipelajari dan dikupas sebagai bahan (materi) pembicaraan. Objek material adalah objek yang di jadikan sasaran menyelidiki oleh suatu ilmu, atau objek yang dipelajari oleh ilmu itu. Lihat Mohammad Adib, Filsafat Ilmu; Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan logika Ilmu

Pengetahuan (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2010) 53, dalam Muhlisin, Filsafat Dan Filsafat Ilmu

(Konseptualisasi dan Identifikasi),muhlis.files.wordpress.com/.../filsfat-ilmuilmu-filsafat-... , diakses

Senin 11 November 2013.

13

(7)

tidak lagi dapat ditegakkan, melainkan harus dengan jalan argumen yang rasional atau pun dengan pembuktian alat bukti.14

Adapun tokoh-tokoh yang terkenal dari mazab positivisme hukum adalah John Austin, Hans Kelsen dan Herbert Lionel Adolphus Hart. John Austin (1790-1859) ditempatkan sebagai “the founding father of legal positivisme”. John Austin dikenal sebagai pakar hukum paling terkemuka di awal abad ke-19. Karya utama dari John Austin adalah The Province of Jurisprudence Determined (1832). John Austin mendifinisikan hukum positif sebagai “the concepts of sovereignty, subjection, and independent political community”15 Karya dan pemikirannya berfokus pada hukum

dalam hubungannya dengan prilaku manusia. Hakekat positivisme hukum menurut John Austin: ”Law is a command set, either directly or circuitously, by a sovereign individual or body, to a member or members of some independent political society in which his

auhority is supreme.” Jadi hukum adalah seperangkat perintah, baik langsung ataupun

tidak langsung, dari pihak yang berkuasa kepada warga masyarakatnya yang merupakan masyarakat politik yang independen, dimana otoritasnya (pihak yang berkuasa) merupakan otoritas yang tertinggi.16 Suatu perintah yang merupakan ungkapan dari keinginan yang diarahkan oleh otoritas yang berdaulat, yang mengharuskan orang atau orang-orang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu hal.17 Karakteristik hukum yang terpenting menurut Austin terletak pada karakter imperatifnya. Hukum dipahami sebagai suatu perintah dari penguasa. Akan tetapi tidak semua perintah oleh Austin dianggap sebagai sebagai hukum, menurut pandangannya hanya oleh perintah-perintah umum yang mengharuskan seseorang atau orang-orang untuk bertindak untuk menaati hukum tersebut. Kata kunci dalam hukum menurut Austin adalah perintah yang diartikan perintah umum dari entitas politik yang memiliki kedaulatan, yakni otoritas politik yang paling tinggi (the supreme political authority), yang berfungsi mengatur perilaku

14

Boy Yendra Tamin, Positivisme Hukum di Indonesia dan Perkembangannya, http:// boyyendratamin. blogspot.com / 2011/ 08/ positivisme- hukum- di-indonesia-dan.html, diakses Senin 7 Januari 2014.

15

Achmad Ali, 2012, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) Dan Teori Peradilan (Judicialprudence):

Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Cet. ke-4, Kencana Prenada Media Group,

Jakarta, hlm. 56.

16

Ibid.

17

(8)

anggota masyarakat.18 Perdebatan mengenai hububngan hukum dan politik memiliki akar sejarah panjang dalam ilmu hukum. Bagi kalangan penganut aliran positivisme hukum seperti John Austin, hukum adalah tidak lain dari produk politik atau kekuasaan.19 Pemikiran John Austin tentu masih terwujud dalam pembangunan hukum di Indonesia saat ini. Bahwa peraturan perundang-undangan khususnya undang-undang di Indonesia adalah merupakan produk politik yaitu produk dari Pemerintah (eksekutif) dengan Parlemen (legislativ). Terlihat bahwa dalam proses pembentukan hukum di Indonesia adanya suatu ruang bagi masuknya suatu proses politik melalui wadah institusi politik untuk terbentuknya suatu produk hukum. Sehubungan dengan itu, ada dua kata kunci yang akan diteliti lebih jauh tentang pengaruh kekuasaan dalam hukum yakni mencakup kata “process” dan kata “institutions,” dalam mewujudkan suatu peraturan perundang-undangan sebagai produk politik. Pengaruh itu akan semakin nampak pada produk peraturan perundang-undang oleh suatu institusi politik yang sangat dipengarhi oleh kekuata-kekuatan politik yang besar dalam institusi politik. Sehubungan dengan masalah ini, Miriam Budiarjo berpendapat bahwa kekuasaan politik diartikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya, sesuai dengan pemegang kekuasaan (M.Kusnadi, SH., 2000 : 118).20

Pelanjut dari ajaran John Austin adalah Hans Kelsen. Biografi lengkap tentang Hans Kelsen disusun oleh Rudolf Aladar Metall, Hans Kelsen: Leben und Werk diterbitkan tahun 1969.21 Tahun 1906 Kelsen memperoleh gelar Doktor dibidang hukum. Pada tahun 1905 Kelsen menerbitkan buku pertamanya berjudul Die Staatslehre des Dante Alighieri. Pada tahun 1908 dia mengikuti seminar di Heidelberg yang

diselenggarakan oleh George Jellinek. Tahun 1911 Kelsen mengajar di University of Vienna untuk bidang hukum publik dan filsafat hukum dan menyelesaikan karya Hauptprobleme der Staatsrechtslehre. Pada tahun 1914 menerbitkan dan menjadi editor

18

http://vocblogg.blogspot.com/2013/04/makalah-teori-positivisme-dan-teori.html, diakses Senin 7 Januari 2014.

19

Hamdan Zoelva, Hukum dan Politik dalam Sistem Hukum Indonesia, http://hamdanzoelva. wordpress. com/ 2008/ 02/ 20/ hukum-dan-politik-dalam-sistem- hukum-indonesia/, diakses Jumat 17 Januari 2014.

20

Hamdan Zoelva, Hukum dan Politik dalam Sistem Hukum Indonesia, http://hamdanzoelva. wordpress. com/ 2008/ 02/ 20/ hukum-dan-politik-dalam-sistem- hukum-indonesia/, diakses Jumat 17 Januari 2014.

21

(9)

the Austrian Journal of Public Law.22 Tahun 1918 dia menjadi associate professor

dibidang hukum pada University of Vienna dan tahun 1919 menjadi profesor penuh dibidang hukum publik dan hukum administrasi. Pecahnya perang dunia kedua dan kemungkinan terlibatnya Switzerland dalam konflik tersebut memotivasi Kelsen Pindah ke Amerika Serikat pada tahun 1940. Di Amerika Serikat Kelsen mengajar di Harvard University dari tahun 1940 sampai dengan tahun 1942, menjadi visiting professor di California University, Barkeley. Pada tahun 1945 Kelsen menjadi warga negara Amerika Serikat dan menjadi penasehat pada United Nation War Crimes Commission di Washington dengan tugas utama menyiapkan aspek hukum dan teknis pengadilan Nuremberg. Kelsen juag menjadi visiting professor di Geneva, Newport, The Hague, Vienna, Copenhagen, Chicago, Stockholm, Helsinkfors dan Edinburg. Kelsen memperoleh 11 gelar doktor honoris causa dari Utrecht, Harvard, Chicago, Mexico, Berkeley, Salamanca, Berlin, Vienna, New York, Paris dan Salzburg. Kelsen tetap aktif dan produktif setelah pensiun pada tahun 1952. Kelsen tinggal di Amerika Serikat hingga akhir hayatnya pada tahun 1973. Kelsen meninggal di Barkeley 19 April 1973 pada usia 92 tahun dengan meninggalkan sekitar 400 karya.23

Ada tiga hakekat atau inti dari ajaran utama Hans Kelsen dalam positivisme hukum, yaitu:24

a. Ajaran hukum murni (reine rechtslehre). b. Ajaran tentang grundnorm.

c. Ajaran tentang stufenbautheori.

a. Ajaran hukum murni

Secara ringkas, dapat dikemukakan bahwa Hans Kelsen ingin membersihkan ilmu hukum dari anasir-anasir yang sifatnya non-hukum, seperti sejarah, moral, sosiologis,

22

Nicoletta Bersier Ladavac, Hans Kelsen (1881-1973): Biographical Note and Bibliography, Themis Centre d’Etudes de Philosophie, de Sociologie et de Theorie du Droit, 8, Quai Gustave-Ador, Geneve. Dalam Jimly Asshiddiqie Dan Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Cet-1, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hlm. 2.

23

Ian Stewart menyebut karya Kelsen lebih dari 300 buku dalam tiga bahasa. Lihat, Ian Stewart, “The Critical Legal Science of Hans Kelsen”, Journal of Law and Society, 17(3), 1990, hal. 273-308. Dalam Jimly Asshiddiqie Dan Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Cet-1, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hlm. 4.

24

(10)

politis dan sebagainya.25 Tujuannya adalah untuk menjaga agar dihasilkannya suatu telaahan terhadap ilmu hukum yang lebih fokus dan lebih mendalam, yang tidak bercampur baur dengan telaahan ilmu lain, sehingga ilmu hukum itu sendiri tidak terdistorsi oleh ilmu-ilmu lain yang kebetulan memiliki objek kajian yang saling berhubungan dengan objek kajian ilmu hukum tersebut.26 Kelsen menolak masalah keadilan dijadikan bagian pembahasan dalam ilmu hukum. Bagi Kelsen, keadilan adalah masalah ideologi yang ideal-rasional. Kelsen hanya ingin menerima hukum apa adanya, yaitu berupa peraturan-peraturan yang dibuat dan diakui oleh negara. Dalam

kaitan dengan ajaran hukum murninya, Hans Kelsen membedakan norma ke dalam dua jenis, yaitu the moral norm dan the legal norm.27

b. Ajaran tentang Grundnorm

Grundnorm menggerakkan seluruh sistem hukum. Grundnorm memiliki fungsi sebagai

dasar mengapa hukum itu ditaati dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan hukum.28 Grundnorm (norma dasar) adalah kaidah-kaidah yang paling fundamental tentang

kehidupan manusia di mana di bawah norma dasar tersebut dibuatlah kaidah-kaidah hukum lain yang lebih konkret dan lebih khusus. Biasanya, norma dasar yang berlaku dalam suatu negara ditulis dalam konsitusi dari negara tersebut.29

c. Ajaran tentang Stufenbautheori

Peraturan hukum keseluruhannya diturunkan dari norma dasar yang berada di puncak piramid, dan semakin ke bawah semakin beragam dan menyebar. Norma dasar teratas adalah bersifat abstrak dan semakin ke bawah semakin konkret. Dalam proses itu, apa yang semula berupa sesuatu yang “seharusnya”, berubah menjadi sesuatu yang “dapat” dilakukan.30

Demikian pula tokoh positivisme hukum yang lain, yaitu Herbert Lionel Adolphus (H.L.A. Hart), menekankan bahwa hakekat atau inti ajaran dari H.L.A. Hart adalah

25

Ibid.

26

Munir Fuady, Op.cit., hlm. 127.

27

Achmad Ali, Op.cit., hlm. 61.

28

Ibid., hlm. 62.

29

Munir Fuady, Op.cit., hlm., 138.

30

(11)

memandang hukum sebagai terdiri dari aturan-aturan. Aturan-aturan itu dibedakan kedalam dua jenis, yaitu:31

1. Aturan primer (primary rules) yang menekankan kewajiban-kewajiban. Melalui aturan primer, manusia diwajibkan untuk melakukan sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu. Ide dasarnya adalah bahwa beberapa norma, berkaitan langsung agar orang berperilaku sesuai suatu cara primer, dalam pengertian bahwa mereka ditentukan bagaimana seharusnya berperilaku tertentu dan bagaimana seharusnya mereka tidak berperilaku tertentu.

2. Aturan sekunder (secondary rules) menjelaskan tentang apa kewajiban masyarakat yang diwajibkan oleh aturan, melalui prosedur apa sehingga suatu aturan baru memungkinkan untuk diketahui, atau perubahan atau pencabutan suatu aturan lama. Bagaimana suatu persengketaan dapat dipecahkan, mengenai apakah suatu aturan primer telah dilanggar atau siapa yang mempunyai otoritas untuk menjatuhkan hukuman bagi pelanggar aturan.

Pemikiran Hans Kelsen tentang Grundnorm (norma dasar) sangat fundamental dalam pembangunan tata hukum dan sistem hukum. Khususnya dalam pembangunan hukum nasional Indonesia, pemikiran Hans Kelsen tentang Grundnorm (norma dasar) yang terwujud berupa konstitusi sangat fundamental dalam sistem hukum Indonesia, mulai semenjak Orde Lama, Orde Baru sampai pada Orde Reformasi, setiap Orde pemerintah tersebut mendasarkan pada konstitusi (undang-undang dasar) sebagai hukum dasar dan landasan filosofis, yuridis dan sosiologis berlakunya norma-norma hukum di Indonesia. Dalam sejarah ketatanegaraan negara Republik Indonesia telah diberlakukan konstitusi sebagai berikut: UUD 1945; Konstitusi RIS 1949; UUDS NKRI 1950; UUD 1945 Dekrit 5 Juli 1959.32 Sampai saat ini (Orde Reformasi) Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara Republik Indonesia sudah diamandemen sebanyak empat (4) kali. Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika negara itu menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah

31

Ibid., hlm. 66.

32

(12)

rakyat. Jika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi. Hal inilah yang disebut oleh para ahli sebagai constituent power33 yang merupakan kewenangan yang berada di luar dan sekaligus di

atas sistem yang diaturnya. Karena itu, di lingkungan negara-negara demokrasi, rakyatlah yang dianggap menentukan berlakunya suatu konstitusi.34 Konstitusi selalu terkait dengan paham konstitusionalisme. Walton H. Hamilton menyatakan “Constitutionalism is the name given to the trust which men repose in the power of words engrossed on parchment

to keep a government in order”35. Untuk tujuan to keep a government in order itu

diperlukan pengaturan yang sedemikian rupa, sehingga dinamika kekuasaan dalam proses pemerintahan dapat dibatasi dan dikendalikan sebagaimana mestinya. Gagasan mengatur dan membatasi kekuasaan ini secara alamiah muncul karena adanya kebutuhan untuk merespons perkembangan peran relatif kekuasaan umum dalam kehidupan umat manusia.36

Pemikiran Hans Kelsen tentang Stufenbautheori atau Teori Penjenjangan Norma juga diadopsi dalam pembangunan hukum di Indonesia. Hal ini terlihat dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undang-Undangan. Adapun dasar dibentuknya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan disebutkan pada bagian Menimbang yaitu:37

a. bahwa untuk mewujudkan Indonesia sebagai Negara hukum, negara berkewajiban melaksanakan pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional yang menjamin pelindungan hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. bahwa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas peraturan perundang-undangan yang baik, perlu dibuat peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar

33

Brian Thompson, Textbook on Constitutional and Administrative Law, edisi ke-3, (London: Blackstone Press ltd., 1997), hal. 5, dalam Ideologi, Pancasila Dan Konstitusi, www.jimly.com/makalah/.../3/ ideologi__pancasila__dan_konstitusi.doc , diakses Kamis 31 Oktober 2013.

34

Ibid.

35

Walton H. Hamilton, Constitutionalism, Encyclopedia of Social Sciences, Edwin R.A., Seligman & Alvin Johnson, eds., 1931, hal. 255, dalam Ideologi, Pancasila Dan Konstitusi, www.jimly.com/makalah/.../3/ ideologi__pancasila__dan_konstitusi.doc , diakses Kamis 31 Oktober 2013.

36

Ibid.

37

(13)

yang mengikat semua lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan;

c. bahwa dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan masih terdapat kekurangan dan belum dapat menampung perkembangan kebutuhan masyarakat mengenai aturan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sehingga perlu diganti;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;

Pemikiran Hans Kelsen tentang Stufenbautheori yaitu tentang hierarki atau penjenjangan norma terwujud dalam Pasal 7 Bab III dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang jenis, hierarki, dan materi muatan peraturan perundang-undangan, yang menyatakan:38

(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Dalam ketentuan Pasal 7 ayat 1 dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.39

I.2 Pemikiran Positivisme Hukum Dari Perspektif Epistemologis

Epistemologi, secara etimologis berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme dan logos. Episteme artinya pengetahuan; logos biasanya dipakai untuk menunjuk

pengetahuan sistematik. Sehingga dapat disimpulkan epistemologi adalah pengetahuan

38

Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82.

39

(14)

sitematik tentang pengetahuan.40 Epistemologi atau teori pengetahuan ialah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.41 Ilmu hukum ditinjau dari perspektif epistemologi jelas telah dapat dipertanggungjawabkan sebagai suatu ilmu dilihat dari metode keilmuan atau metode ilmiah. Ilmu hukum telah memiliki metodelogi atau metode keilmuan tersendiri yang menunjukkan bahwa ilmu hukum adalah ilmu yang telah jelas keberadaannya. Dari perspektif epistemologi, ilmu hukum dapat dilihat dari dasar konsepsional penelitian hukum.42 Dalam penelitian hukum adanya kerangka konsepsional dan landasan atau kerangka teoritis menjadi syarat yang sangat penting. Dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum, dan didalam landasan atau kerangka teoritis diuraikan segala sesuatu yang terdapat dalam teori sebagai suatu sitem aneka ”theore’ma” atau ajaran.43 Dalam suatu penelitian hukum, maka paradigma kerangka konsepsional meliputi: masyarakat hukum; subyek hukum; hak dan kewajiban; peristiwa hukum; hubungan hukum; dan obyek hukum.44 Demikian pula landasan atau kerangka teoritis pada penelitian hukum mempergunakan beberapa paradigma, antara lain: paradigma arti hukum; paradigma pembedaan hukum; dan paradigma pembidangan tata hukum.45

Kajian epistemologi terhadap positivisme hukum terlihat pada pandangan para ahli hukum yang melihat ilmu hukum normatif sebagai ilmu yang khusus atau tersendiri. Ilmu hukum merupakan ilmu yang bersifat sui generis, sui generis merupakan bahasa latin yang artinya hanya satu untuk jenisnya sendiri.46 Ilmu hukum memiliki karakter yang khas. Ciri khas ilmu hukum adalah adalah sifatnya yang normatif.47 Ciri yang demikian menyebabkan sementara kalangan yang tidak memahami kepribadian ilmu hukum itu

40

Imam Wahyudi, 2007, Pengantar Epistemologi, Badan Penerbitan Filsafat UGM, Yogyakarta, hlm. 1.

41

DW. Hamlyn, History of Epistemology, dalam Paul Edwards, The Encyclopedia of Philosophy, 1967, Vol. 3, hlm. 9, dalam Amsal Bakhtiar, 2004, Filsafat Ilmu, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 148.

(15)

mulai meragukan hakekat keilmuan hukum. Keraguan itu disebabkan karena dengan sifat yang normatif ilmu hukum bukanlah ilmu empiris.48 Kekhasan atau kekhususan dari ilmu hukum terlihat pada ilmu hukum sebagai ilmu hukum normatif. Ilmu hukum normatif memiliki metode kajian yang khas.49 Ilmu hukum normatif mendeskripsikan objek-objeknya yang khusus. Tetapi objek-objeknya adalah norma, bukan pola-pola perilaku nyata.50 Ilmu hukum menjelaskan norma-norma hukum yang diciptakan oleh tindak perilaku manusia dan harus diterapkan dan dipatuhi oleh tindakan tersebut; dan dengan demikian ia menjelaskan hubungan normatif antara fakta-fakta yang ditetapkan oleh norma-norma itu.51 Menurut Paul Scholten ilmu hukum berbeda dengan ilmu deskriptif. Ia mengemukakan bahwa ilmu hukum bukan untuk mencari fakta historis dan hubungan-hubungan sosial seperti yang terdapat pada penelitian sosial. Ilmu hukum berurusan dengan preskripsi-preskripsi hukum, putusan-putusan yang bersifat hukum dan materi-materi yang diolah dari kebiasaan-kebiasaan.52

Terkait dengan pemikiran John Austin dan Hans Kelsen, bahwa norma hukum berbeda dengan norma lainnya, norma hukum mempunyai ciri atau karakteristik tersendiri. Leopold Pospisil mengemukakan empat ciri hukum (attribute of law), yaitu :53 1. Attribute of authority

Hukum merupakan keputusan-keputusan dari petugas hukum yang mempunyai kekuasaan dan wewenang dalam masyarakat yang memberikan pemecahan dari ketegangan-ketegangan dalam masyarakat.

2. Attribute of intention of universal application

48

Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005, Argumentasi Hukum (Legal Argumentation/Legal

Reasoning), Langkah-langkah Legal Problem Solving dan Penyusunan Legal Opinion, Gadjah Mada

University Press, Yogyakarta, hlm.1.

49

Ibid, hlm. 3.

50

Hans Kelsen, 2007, Teori Umum Hukum Dan Negara (Judul asli: General Theory Of law And State), diterjemahkan oleh H. Somardi, Bee Media Indonesia, Jakarta, hlm. 203.

51

Hans Kelsen, 2007, Teori Hukum Murni (Judul asli: Pure Theory of Law), diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, Nuansa dan Nusamedia, Bandung, hlm. 81.

52

Paul Scholten, Mr.C.Asser’s Handleiding tot de Beoefening van het Nederlands Burgerlijk

Recht.Algemeen Deel, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle, 1974, hlm. 94, dalam Peter Mahmud Marzuki,

2008, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Ke-1, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 32.

53

(16)

a. bahwa keputusan-keputusan dari pihak-pihak yang berkuasa itu harus dimaksudkan sebagai keputusan-keputusan yang berlaku terhadap siapa saja dan mempunyai jangka waktu panjang;

b. keputusan-keputusan tersebut harus dianggap berlaku juga terhadap peristiwa yang sama dalam masa yang akan dating.

3. Attribute of obligation

Keputusan-keputusan tersebut harus mengandung perumusan-perumusan dari kewajiban pihak satu terhadap pihak kedua dan juga haknya pihak kedua yang harus dipenuhi oleh pihak kesatu.

4. Attribute of sanction

Bahwa keputusan-keputusan dari pihak yang berkuasa itu harus dikuatkan dengan sanksi dalam arti yang seluas-luasnya.

Kekhasan lain dari ilmu hukum sebagai ilmu hukum normatif adalah : 1. Ilmu hukum normatif memiliki metode penelitian tersendiri.

a. Sifat ilmu hukum adalah preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan, ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan dan rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum,54 oleh karena itu tidak perlu hipotesa.55

b. Penelitian hukum normatif tidak menggunakan sumber data, teknik pengumpulan data dan analisis data (data bermakna empiris), sehingga penelitian hukum normatif tidak menggunakan analisis kuantitatif.56 Penelitian hukum normatif menggunakan bahan hukum57 yang bersifat valid (tidak tergantung pada situasi, jumlah dan saat pengambilan).

54

Peter Mahmud Marzuki, 2007, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 22.

55

Cetak miring dari Penulis.

56

Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Op. cit., hlm. 2.

57

(17)

c. Penelitian hukum normatif tidak menggunakan populasi dan sampling, peneliti hukum normatif tidak boleh membatasi kajiannya, misalnya hanya pada satu undang-undang saja.58

2. Pada ilmu hukum normatif para ilmuwan hukum (yuris) secara aktif

menganalisis norma, sehingga peranan subyek sangat menonjol (subyek- subyek). Sedangkan pada ilmu hukum empiris sikap ilmuwan adalah

sebagai penonton yang mengamati gejala-gejala atau obyek-obyek yang dapat ditangkap oleh panca indra (subyek - obyek).59

3. Dari sisi kebenaran ilmiah, dalam ilmu hukum normatif dasar kebenaran ilmiahnya adalah pragmatik yang pada dasarnya adalah konsensus sejawat sekeahlian. Sedangkan pada hukum empiris dasar kebenaran ilmiahnya adalah korespondensi, artinya bahwa sesuatu itu benar karena didukung oleh fakta (correspond to reality).60

4. Dari segi proposisi, ilmu hukum normatif bersifat normatif dan evaluatif, sedangkan ilmu hukum empiris bersifat hanya informative dan empiris.61

5. Dari segi argumentasi, argumentasi yuridis (hukum) merupakan satu model argumentasi khusus. Kekhususan argumentasi tersebut adalah : tidak ada hakim ataupun pengacara yang mulai berargumentasi dari suatu keadaan hampa. Argumentasi hukum selalu dimulai dari hukum positif. Hukum positif bukan merupakan suatu keadaan yang tertutup ataupun statis, akan tetapi merupakan suatu perkembangan yang berlanjut. Argumentasi hukum atau penalaran hukum didasrkan atas argumentasi rasional dan diskusi rasional.62

Kajian epistemologis terhadap positivisme hukum melihat bahwa ilmu hukum (ilmu hukum normativ) merupakan studi tentang hukum, ilmu hukum hukum (ilmu hukum normativ) tidak dapat diklasifikasikan kedalam ilmu sosial yang bidang kajiannya kebenaran empiris. Ilmu sosial tidak memberi ruang untuk menciptakan konsep hukum. Studi-studi sosial hanya berkaitan dengan implementasi konsep hukum dan acap kali

58

Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Loc.cit.

59

Ibid. hlm. 9.

60

Ibid.

61

Ibid, hlm. 8.

62

(18)

hanya memberi perhatian terhadap kepatuhan individu terhadap aturan63 atau menekankan pada factual patterns of behavior (pola fakta dari prilaku atau studi tentang prilaku).64

Analisis dari perspektif epistemologis terhadap positivisme hukum yang terwujud dalam ilmu hukum normatif, dapat disimpulkan bahwa ilmu hukum (ilmu hukum normativ) sebagai ilmu sui generis, artinya ilmu hukum merupakan ilmu yang tersendiri.65

I.3 Pemikiran Positivisme Hukum Dari Perspektif Aksiologis

Demikian pula ilmu hukum ditinjau dari perspektif aksiologi. Aksiologi adalah teori tentang nilai.66 Aksiologi diartikan juga sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.67

Menurut kalangan filsuf, dapat dikemukakan beberapa definisi nilai, antara lain: a. Definisi dari Richard Bender menyatakan suatu nilai adalah sebuah pengalaman yang

memberikan suatu pemuasan kebutuhan yang diakui bertalian tersatupadukan, atau yang menyumbang pada pemuasan demikian itu. Dengan demikian kehidupan yang bermanfaat ialah pencapaian sejumlah pengalaman nilai yang senantiasa bertambah.68 b. Definisi dari Findlay menyatakan nilai sebagai suatu padanan filsafati dari kebaikan

(goodness), keunggulan (excellence), hal yang disukai (the desirability), dan lain-lain

sebangsanya yang dipertalikan pada macam-macam benda, suasana, dan keadaan tertentu. Nilai itu bertimbalan menurut kenyataannya atau pada asasnya dengan sikap manusia yang disebut penilaian (valuations).69

c. Definisi dari McCracken menyatakan nilai adalah segi dari suatu fakta atau pengalaman yang berdasarkan fakta atau pengalaman itu terlihat dalam sifat dasarnya

63

Peter Mahmud Marzuki, 2007, Op.cit., hlm. 34.

64

Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Op.cit., hlm. 6.

65

Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Op.cit. hlm. 1.

66

Burhanuddin Salam, Logika Materil; Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Reneka Cipta, 1997), cet. ke-1, hlm. 168, dalam Amsal Bakhtiar, 2004, Filsafat Ilmu, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 163.

67

Jujun S. Suriasumantri, Filsafat, hlm. 234, dalam Amsal Bakhtiar, 2004, Filsafat Ilmu, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 163.

68

Richard N. Bender, A Philosophy of Life, New York, Philosophical Library, 1949, p. 152, dalam The Liang Gie, 1982, Teori-Teori Keadilan, Supersukses, Yogyakarta, hlm. 10.

69

J.N. Findlay, Axiological Ethics, Londin, Macmillan, 1970, p. 6, dalam The Liang Gie, 1982, Teori-Teori

(19)

atau intisarinya alasan memadai bagi keberadaannya sebagai suatu fakta atau pengalaman tetap demikian itu, atau alasan memadai bagi kedudukannya yang dianggap sebagai suatu tujuan untuk keperluan praktek atau perenungan.70

Dari perspektif aksiologis bahwasannya positivisme hukum yang terwujud dalam ilmu hukum normativ yang menekankan pada penalaran hukum dan argumentasi hukum telah menghasilkan atau mewujudkan nilai guna dari ilmu hukum normatif berupa karya atau temuan yang sangat bermanfaat untuk pembangunan hukum di Indonesia. Salah satu temuan besar dalam bidang ilmu hukum normatif adalah tentang badan hukum sebagai subjek hukum. Temuan normatif tersebut telah membawa pengaruh yang luar biasa dalam kehidupan ekonomi karena dengan temuan itu suatu usaha tidaklah semata tergantung pada usia pemilik modal yang terbatas, sedangkan suatu badan usaha tidak mengenal usia tua. Temuan ilmu hukum normatif lainnya pada bidang Hukum Pidana adalah tanggung jawab korporasi dan dalam Hukum Administrasi tentang asas-asas umum pemerintahan yang baik, dan lain-lain.71

70

D.J. McCracken, Thinking and Valuing: An Introduction, Partly Historical, to the Study of the

Philosophy of Value, London, Macmillan, 1950, p. 25, dalam The Liang Gie, 1982, Teori-Teori Keadilan, Supersukses, Yogyakarta, hlm. 11.

71

(20)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Achmad Ali, 2012, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) Dan Teori Peradilan (Judicialprudence): Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Cet. ke-4, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Bernard Arief Sidharta, 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Cet. II, Mandar Maju, Bandung.

Bernard L. Tanya, dkk., 2013, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Cet. IV, Genta Publishing, Yogyakarta.

Burhanuddin Salam, Logika Materil; Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Reneka Cipta, 1997), cet. ke-1, hlm. 168, dalam Amsal Bakhtiar, 2004, Filsafat Ilmu, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

D.J. McCracken, Thinking and Valuing: An Introduction, Partly Historical, to the Study of the Philosophy of Value, London, Macmillan, 1950, p. 25, dalam The Liang Gie, 1982, Teori-Teori Keadilan, Supersukses, Yogyakarta.

DW. Hamlyn, History of Epistemology, dalam Paul Edwards, The Encyclopedia of Philosophy, 1967, Vol. 3, hlm. 9, dalam Amsal Bakhtiar, 2004, Filsafat Ilmu, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Hans Kelsen, 2007, Teori Umum Hukum Dan Negara (Judul asli: General Theory Of law And State), diterjemahkan oleh H. Somardi, Bee Media Indonesia, Jakarta.

Hans Kelsen, 2007, Teori Hukum Murni (Judul asli: Pure Theory of Law), diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, Nuansa dan Nusamedia, Bandung.

Ian Stewart menyebut karya Kelsen lebih dari 300 buku dalam tiga bahasa. Lihat, Ian Stewart, “The Critical Legal Science of Hans Kelsen”, Journal of Law and Society, 17(3), 1990, hal. 273-308. Dalam Jimly Asshiddiqie Dan Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Cet-1, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.

Imam Wahyudi, 2007, Pengantar Epistemologi, Badan Penerbitan Filsafat UGM, Yogyakarta.

(21)

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitutionalisme Indonesia, Cetakan Pertama, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dann Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hlm.122 dalam Jimly Asshiddiqie, 2011, Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi, Sinar Grafika, Jakarta.

Jimly Asshiddiqie Dan Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Cet-1, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.

Jujun S. Suriasumantri, Filsafat, hlm. 234, dalam Amsal Bakhtiar, 2004, Filsafat Ilmu, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, Dan Filsafat Hukum, 2008, Penerjemah: B. Arief Sidharta, Cet. II, Refika Aditama, Bandung.

Mochtar Kusumaatmadja, 1985, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Binacipta, Bandung.

Mochtar Kusumaatmadja, 1986, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Binacipta, Bandung.

Moechamad Munir, 2008, Teori Hukum, Bahan Kuliah Program Doktor Ilmu Hukum Kerja Sama Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dengan fakultas Hukum Universitas Mataram, dalam H.Salim, 2010, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta.

Munir Fuady, 2013, Teori-Teori Besar Dalam Hukum (Grand Theory), Cet. ke-1, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Nicoletta Bersier Ladavac, Hans Kelsen (1881-1973): Biographical Note and Bibliography, Themis Centre d’Etudes de Philosophie, de Sociologie et de Theorie du Droit, 8, Quai Gustave-Ador, Geneve. Dalam Jimly Asshiddiqie Dan Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Cet-1, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.

Paul Scholten, Mr.C.Asser’s Handleiding tot de Beoefening van het Nederlands Burgerlijk Recht.Algemeen Deel, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle, 1974, hlm. 94, dalam Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Ke-1, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Peter Mahmud Marzuki, 2007, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

(22)

Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005, Argumentasi Hukum (Legal Argumentation/Legal Reasoning), Langkah-langkah Legal Problem Solving dan Penyusunan Legal Opinion, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Richard N. Bender, A Philosophy of Life, New York, Philosophical Library, 1949, p. 152, dalam The Liang Gie, 1982, Teori-Teori Keadilan, Supersukses, Yogyakarta.

Satjipto Rahardjo, 1996, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 254, dalam H.R. Otje Salman S. - Anthon F. Susanto, 2004, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali), Refika Aditama, Bandung.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1986, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali, Jakarta.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang -Undangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82.

C. Artikel

Boy Yendra Tamin, Positivisme Hukum di Indonesia dan Perkembangannya, http:// boyyendratamin. blogspot.com / 2011/ 08/ positivisme- hukum- di-indonesia-dan.html, diakses Senin 7 Januari 2014.

Brian Thompson, Textbook on Constitutional and Administrative Law, edisi ke-3, (London: Blackstone Press ltd., 1997), hal. 5, dalam Ideologi, Pancasila Dan Konstitusi, www.jimly.com/makalah/.../3/ ideologi__pancasila__dan_konstitusi.doc , diakses Kamis 31 Oktober 2013.

Hamdan Zoelva, Hukum dan Politik dalam Sistem Hukum Indonesia, http://hamdanzoelva. wordpress. com/ 2008/ 02/ 20/ hukum-dan-politik-dalam-sistem- hukum-indonesia/, diakses Jumat 17 Januari 2014.

http://vocblogg.blogspot.com/2013/04/makalah-teori-positivisme-dan-teori.html, diakses Senin 7 Januari 2014.

(23)

Lokisno CW, Pengantar Filsafat, Bahan Presentasi Kuliah Filsafat Ilmu Di Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya, dalam Muhlisin, Filsafat Dan Filsafat Ilmu (Konseptualisasi dan Identifikasi), muhlis.files.wordpress.com/.../ filsfat-ilmuilmu-filsafat-... ,diakses Senin 11 November 2013.

Mohammad Adib, Filsafat Ilmu; Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan logika Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2010) 53, dalam Muhlisin, Filsafat Dan Filsafat Ilmu (Konseptualisasi dan Identifikasi),muhlis.files.wordpress.com/.../filsfat-ilmuilmu-filsafat-... , diakses Senin 11 November 2013.

Referensi

Dokumen terkait

The highest population of lactic acid bacteria (1.65 x 10 9 cfu/g) was found in silage using rice straw and onggok (T4), but the highest lactic acid production (0.41%) was

Hasil yang didapatkan bahwa kepemimpinan transformasional leadership dapat menjadi solusi meningkatkan perilaku edukatif perawat dalam pelayanan melalui kepemimpinan

Dalam praktek yang terjadi di Dusun II Desa Dahari Selebar Kecamatan Talawi Kabupaten Batubara dimana pemilik sumur bor menjual air kepada masyarakat dengan

Pandangan subjek penelitian mengenai prestasi memiliki kesamaan yaitu melanjutkan sekolah. Melanjutkan sekolah dianggap sudah berprestasi karena bagi anak-anak yang

menyelesaikannya dengan baik. Pemecahan masalah itu suatu ketika menggunakan ketekunan, di lain waktu menggunakan pendekatan pemecahan yang baru. Mahasiswa menetapkan

Penilaian kualitas semen segar baik secara makroskopis maupun mikroskopis yang dilakukan segera setelah penampungan sangat penting artinya sebelum melakukan proses lebih

Dalam beberapa penelitian yang dilakukan oleh Stallings dan teman-temannya tersebut menunjukkan bahwa guru yang menggunakan model pembelajaran langsung berhasil

menggunakan media pembelajaran Interaktif dengan software 3D Pageflip Professional yang diharapkan dapat menjelaskan materi yang sulit seperti Pertumbuhan dan