• Tidak ada hasil yang ditemukan

Psikologi Konseling Agustini, M.Psi., Psikolog MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Psikologi Konseling Agustini, M.Psi., Psikolog MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

MODUL PERKULIAHAN

Psikologi Konseling

Psikologi Konseling

Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

Psikologi Psikologi

12

61033 Agustini, M.Psi., Psikolog

Abstract Kompetensi

Dalam perkuliahan ini akan

didiskusikan mengenai Terapi Realitas.

Konsep Dasar, Pandangan tentang Manusia, dan Proses Konseling.

Mampu memahami Terapi Realitas (Reality Therapy).

(2)

Latar Belakang

Pendahuluan

Pendekatan Realitas dikembangkan oleh William Glasser, seorang psikolog dari California. Dalam pendekatan ini, konselor bertindak aktif, direktif, dan didaktik. Dalam konteks ini, konselor berperan sebagai guru dan sebagai model bagi klien. Disamping itu, konselor juga membuat kontrak dengan klien untuk mengubah perilakunya. Ciri yang sangat khas dari pendekatan ini adalah tidak terpaku pada kejadian-kejadian dimasa lalu, tetapi lebih mendorong klien untuk menghadapi realitas. Pendekatan ini juga tidak memberi perhatian pada motif-motif bawah sadar sebagaimana pandangan kaum psikoanalisis. Akan tetapi, lebih menekankan pada pengubahan tingkah laku yang lebih bertanggung jawab dengan merencanakan dan melakukan tindakan-tindakan tersebut.

Pandangan Tentang Manusia

Glasser percaya bahwa setiap manusia memiliki kebutuhan psikologis yang secara konstan (terus-menerus) hadir sepanjang rentang kehidupannya dan harus dipenuhi. Ketika seseorang mengalami masalah, hal tersebut disebabkan oleh satu faktor, yaitu terhambatnya seseorang dalam memenuhi kebutuhan psikologisnya. Keterhambatan tersebut pada dasarnya karena penyangkalan terhadap realita, yaitu kecenderungan seseorang untuk menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan (Thompson, et al, 2004).

Mengacu pada teori kebutuhan yang dikemukakan oleh Maslow, Glasser mendasari pandangannya tentang kebutuhan manusia untuk dicintai dan mencintai, dan kebutuhan untuk merasa berharga bagi orang lain. Secara lebih rinci, Glasser menjelaskan kebutuhan- kebutuhan dasar psikologis manusia, meliputi:

1. Cinta (Belonging / Love)

Salah satu kebutuhan psikologis manusia adalah kebutuhannya untuk merasa memiliki dan terlibat atau melibatkan diri dengan orang lain. Kebutuhan ini disebut Glesser sebagai identity society yang menekankan pentingnya hubungan personal. Beberapa aktivitas yang menunjukkan kebutuhan ini antara lain: persahabatan, acara perkumpulan tertentu, dan keterlibatan dalam organisasi kemahasiswaan. Kebutuhan ini oleh Glasser dibagi dalam tiga bentuk: social belonging, work belonging, dan family belonging.

(3)

2. Kekuasaan (Power)

Kebutuhan akan kekuasaan (power) meliputi kebutuhan untuk berprestasi, merasa berharga, dan mendapatkan pengakuan. Kebutuhan ini biasanya diekspresikan melalui kompetensi dengan oran-orang disekitar kita, memimpin, mengorganisir, menyelesaikan pekerjaan sebaik mungkin, menjadi tempat bertanya atau meminta pendapat bagi orang lain, melontarkan ide atau gagasan dan sebagainya.

3. Kesenangan (Fun)

Merupakan kebutuhan untuk merasa senang dan bahagia. Pada anak-anak, terlihat dalam aktivitas bermain. Kebutuhan ini muncul sejak dini, kemudian terus berkembang hingga dewasa. Misalnya, berlibur untuk menghilangkan kepenatan, bersantai, melucu, humor, dan sebagainya.

4. Kebebasan (Freedom)

Kebebasan (freedom) merupakan kebutuhan untuk merasakan kebebasan atau kemerdekaan dan tidak bergantung pada orang lain, misalnya membuat pilihan (aktif pada organisasi kemahasiswaan), memutuskan dan melanjutkan studi pada jurusan apa, bergerak, dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Kebutuhan-kebutuhan tersebut bersifat universal tetapi dipenuhi dengan cara yang unik oleh masing-masing manusia.

Glasser memiliki pandangan yang optimis tentang kemampuan dasar manusia, yaitu kemampuan untuk belajar memenuhi kebutuhannya dan menjadi orang yang bertanggung jawab. Tingkah laku yang bertanggung jawab merupakan upaya manusia mengontrol lingkungan untuk memenuhi kebutuhan dan menghadapi realita yang dialami dalam kehidupannya.

Apabila sejak kecil anak tidak merasakan bagaimana menerima dan memberi kasih sayang, pada tahapan kehidupan berikutnya, ia mengalami kesuitan dalam mencintai.

memberi kasih sayang atau belajar bagaimana ia berarti bagi dirinya dan juga orang lain.

Jika kebutuhan psikologisnya sejak awal tidak terpenuhi, maka seseorang tidak mendapatkan pengalaman belajar bagaimana memenuhi kebutuhan psikologis dirinya atau orang lain. Belajar bagaimana bertingkah laku yang bertanggung jawab merupakan hal yang sangat penting bagi perkembangan anak untuk mencapai ''identitas sukses''. Anak memperoleh ''identitas sukses'' nya dengan terlibat pada berbagai aktivitas yang memenuhi kebutuhannya melalui interaksi dengan orangtua yang bertanggung jawab, yaitu yang menunjukkan keterlibatan dalam pengasuhan anaknya dengan menjadi model, melatih kedisipilinan, dan mencintai.

(4)

Dapat dirmuskan padangan Glasser tentang manusia adalah sebagai berikut:

a. Setiap individu bertanggung jawab terhadap kehidupannya.

b. Tingkah laku seseorang merupakan upaya mengontrol lingkungan untuk memenuhi kebutuhannya.

c. Individu ditantang untuk menghadapi realita tanpa mempedulikan kejadian-kejadian di masa lalu, serta tidak memberi perhatian pada sikap dan motivasi dibawah sadar.

d. Setiap orang memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu pada masa kini.

Konsep Dasar

Pada dasarnya setiap individu terdorong untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya, dimana kebutuhan bersifat universal pada semua individu, sementara keiginan bersifat unik pada masing-masing individu. Ketika seseorang dapat memenuhi apa yang diinginkan, kebutuhan tersebut terpuaskan. Tetapi, jika apa yang diperoleh tidak sesuai dengan keinginan, maka orang akan frustasi dan pada akhirnya akan terus memunculkan perilaku baru sampai keinginannya terpuaskan. Artinya, ketika timbul perbedaan antara apa yang diinginkan dengan apa yang diperoleh, membuat individu terus memunculkan perilaku- perilaku yang spesifik. Jadi, perilaku yang dimunculkan adalah bertujuan yaitu dibentuk untuk mengatasi hambatan antara apa yang diinginkan dengan apa yang diperoleh atau muncul karena dipilih oleh individu. Perilaku manusia merupakan perilaku total (total behavior), terdiri dari doing, thinking, feeling, psysiology. Oleh karena perilaku yang dimunculkan adalah bertujuan dan dipilih sendiri, maka Glasser menyebutnya dengan teori kontrol.

Teori Kontrol

Penerimaan terhadap realita menurut Glasser harus tercemin dalam perilaku total (total behavior) yang mengandung empat komponen, yaitu: berbuat (doing) berpikir (thinking), merasakan (feeling), dan menunjukkan respon-respon fisiologis (physiology). Konsep perilaku total membandingkan bagaimana individu berfungsi sebagaimana mobil berfungsi.

Seperti halnya keempat roda mobil membawa arah mobil berjalan demikian halnya keempat komponen dari total behavior tersebut menetapkan arah hidup individu (Colledge, 2002).

Glasser dalam Corey (1991) menjelaskan bahwa secara langsung mengubah cara kita merasakan terpisah dari apa yang kita lakukan dan pikirkan, merupakan hal yang sulit dilakukan. Meskipun demikian, kita memiliki kemampuan untuk mengubah apa yang kita

(5)

lakukan dan pikirkan, merupakan hal yang sangat sulit dilakukan. Oleh karena itu, kunci untuk mengubah suatu perilaku total terletak pada pemilihan untuk mengubah apa yang kita lakukan dan pikirkan. Sementara itu, reaksi emosi dan respon fisiologis termasuk dalam proses tersebut.

Ketika seseorang berhasil menenuhi kebutuhannya, menurut Glasser orang tersebut mencapai identitas sukses. Pencapaian identitas sukses ini terikat pada konsep 3R, yaitu keadaan dimana individu dapat menerima kondisi yang dihadapinya, dicapai dengan menunjukkan total behavior (perilaku total), yakni melakukan sesuatu (doing), berpikir (thinking), meraskan (feeling), dan menunjukkan respons fisiologis (physiology) secara bertanggung jawa (responsibility) sesuai realita (reality), dan benar (right).

Konsep 3R

Konsep ini digambarkan Glasser dalam Bassin (1976) sebagai berikut:

1. Responsibility (tanggung jawab)

Adalah kemampuan individu untuk memenuhi kebutuhannya tanpa harus merugikan orang lain.

2. Reality (kenyataan)

Adalah kenyataan yang akan menjadi tantangan bagi individu untuk memenuhi kebutuhannya. Setiap individu harus memahami bahwa ada dunia nyata, dimana mereka harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan dalam rangka mengatasi masalahnya. Realita yang dimaksud adalah sesuatu yang tersusun dari kenyataan yang ada dan apa adanya.

3. Right (kebenaran)

Merupakan ukuran atau norma-norma yang diterima secara umum sehingga tingkah laku dapat diperbandingkan. Individu yang melakukan hal ini mampu mengevaluasi diri sendiri bila melakukan sesuatu melalui perbandingan tersebut da ia merasa nyaman bila mampu bertingkah laku dalam tata cara yang diterima secara umum.

Proses Konseling

Pendekatan ini mlihat konseling sebagai proses rasional yang menekankan pada perilaku sekarang dan saat ini. Artinya, klien ditekankan untuk melihat perilakunya yang dapat diamati daripada motif-motif bawah sadarnya. Dengan demikian, klien dapat mengevaluasi apakah perilakunya tersebut cukup efektif dalam memenuhi kebutuhannya atau tidak. Jika

(6)

dirasa perilaku-perilakunya yang ditampilkan tidak membuat klien merasa puas, maka konselor mengarahkan klien untuk melihat peluang-peluang yang dapat dilakukan dengan merencanakan tindakan yang lebih bertanggung jawab. Perilaku yang bertanggung jawab merupakan perilaku yang sesuai dengan kenyataan yang dihadapi oleh Glasser disebut sebagai penerimaan terhadap realita. Dengan demikian, dapat membantu klien mengatasi tekanan-tekanan dan permasalahan yang dialaminya.

Menurut Glasser, hal-hal yang membawa perubahan sikap dari penolakan ke penerimaan realitas yang terjadi selama proese konseling adalah:

1. Klien dapat mengeksplorasi keinginan, kebutuhan, dan apa yang dipersepsikan tentang kondisi yang dihadapinya. Disini klien terdorong untuk mengenali dan mendefinisikan apa yang mereka inginkan untuk memenuhi kebutuhannya. Setelah mengetahui apa yang diinginkan, klien lalu mengevaluasi apakah yang ia lakukan selama ini memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.

2. Klien fokus pada perilaku sekarang tanpa terpaku pada permasalahan masa lalu.

Tahap ini merupakan kesadaran klien untuk memahami bahwa kondisi yang dialaminya bukanlah hal yang bisa dipungkiri. Kemudian mereka mulai menentukan alternatif apa saja yang harus dilakukan. Disini klien mengubah perilaku totalnya tidak hanya sikap dan perasaan, namun yang diutamakan adalah tindakan dan pikiran.

3. Klien mau mengevaluasi perilakunya, merupakan kondisi dimana klien membuat penilaian tentang apa yang telah ia lakukan terhadap dirinya berdasarkan sistem nilai yang berlaku dimasyarakat. Apakah yang dilakukan dapat menolong dirinya atau sebaliknya, apakah hal itu bermanfaat, sudahkah sesuai dengan aturan, dan apakah realitas atau dapat dicapai. Mereka menilai kualitas perilakunya, sebab tanpa penilaian pada diri sendiri, perubahan akan sulit terjadi. Evaluasi ini mencakup seluruh komponen perilaku total.

4. Klien mulai menetapkan perubahan yang dikehendakinya dan komitmen terhadap apa yang telah direncanakan. Rencana-rencana yang ditetapkan harus sesuai dengan kemampuan klien, bersifat konkrit atau jelas pada bagian mana dari perilakunya yang akan diubah, realitis, dan melibatkan perbuatan positif. Rencana itu juga harus dilakukan dengan segera dan berulang-ulang.

Tahap-Tahap Konseling

Proses konseling dalam pendekatan realitas berpedoman pada dua unsur utama, yaitu penciptaan kondisi lingkungan yang kondusif dan beberapa prosedur yang menjadi

(7)

pedoman untuk mendorong terjadinya perubahan pada klien. Secara praktis, Thompson et al., (2004) mengemukakan delapan tahap dalam konseling realitas:

1. Tahap 1: Konselor Menunjukkan Keterlibatan dengan Klien (Be friend)

Pada tahap ini, konselor mengawali pertemuan dengan bersikap otentik, hangat, dan menaruh perhatian pada hubungan yang sedang dibangun. Konselor harus dapat melibatkan diri kepada klien dengan memperlihatkan sikap hangat dan ramah. Hubungan yang terbangun antara konselor dan klien sangat penting, sebab klien akan terbuka dan bersedia menjalani proses konseling jika ia merasa bahwa konselornya terlibat, bersahabat, dan dapat dipercaya. Oleh karena itu, penerimaan yang positif adalah sangat esensial agar proses konseling berjalan efektif.

Menunjukkan keterlibatan dengan klien dapat ditunjukkan dengan perilaku attending.

Perlaku ini tampak dalam kontak mata (menatap klien), ekspresi wajah (menujukkan minatnya tanpa dibuat-buat), duduk dengan sikap terbuka (agak maju ke depan dan tidak bersandar), poros tubuh agak condong dan diarahkan ke klien), melakukan respon refleksi, memperhatikan perilaku nonverbal klien, dan melakukan respons parafase.

Keterlibatan dengan klien juga dapat ditunjukkan dengan sikap antusias. Klien akan merasa bahwa ia benar-benar akan dibantu oleh konselor apabila konselor selalu menunjukkan sikap antusias. Sikap antusias juga menggambarkan pandangan konselor yang optimis terhadap klien. selain itu sikap antusias menunjukkan bahwa konselor benar- benar terlibat dan mau melibatkan diri dalam proses konseling.

2. Tahap 2: Fokus pada Perilaku Sekarang

Setelah klien dapat melibatkan diri kepada konselor, maka konselor menanyakan kepada klien apa yang akan dilakukannya sekarang. Tahap kedua ini merupakan eksplorasi diri bagi klien. Klien mengungkapkan ketidaknyamanan yang ia rasakan dalam menghadapi permasalahannya. Lalu konselor meminta klien mendeskripsikan hal-hal apa saja yang telah dilakukan dalam menghadapi kondisi tersebut. Secara rinci, tahap ini meliputi:

a. Eksplorasi: Keinginan, kebutuhan, dan persepsi.

b. Menanyakan keinginan-keinginan.

c. Menanyakan yang benar-benar diinginkan klien.

d. Menanyakan yang terpikir oleh klien tentang yang diinginkan orang lain dari dirinya dan menanyakan bagaimana klien melihat hal tersebut.

(8)

Pada tahap kedua ini juga konselor perlu mengatakan kepada klien yang dapat dilakukan konselor, yang diinginkan konselor dari klien, dan bagaimaa konselor melihat situasi tersebut kemudian membuat komitmen untuk konseling.

3. Tahap 3: Mengeksplorasi Total Behavior Klien

Menanyakan apa yang dilakukan klien (doing), yaitu: konselor menanyakan secara spesifik apa saja yang dilakukan klien, cara pandang dalam konseling Realita, akar permasalahan klien bersumber pada perilakunya (doing), bukan pada perasaannya. Misal:

klien mengungkapkan setiap kali menghadapi ujin ia mengalami kecemasan yang luar biasa.

Dalam pandangan konseling Realita, yang harus diatasi bukan kecemasan klien, tetapi hal- hal apa saja yang telah dilakukannya untuk menghadapi ujian.

4. Tahap 4: Klien Menilai Diri Sendiri atau Melakukan Evaluasi

Memasuki tahap keempat, konselor menanyakan kepada klien apakah pilihan peilakunya itu didasari oleh keyakinan bahwa hal itu baik baginya. Fungsi konselor tidak untuk menilai benar atau salah perilaku klien, tetapi membimbing klien untuk menilai perilakunya saat ini.

Beri kesempatan kepada klien untuk mengevaluasi, apakah ia cukup terbantu dengan pilihanya tersebut.

Pada tahai ini, respon-respon konselor di antaranya menanyakan apakah yang dilakukan klien dapat membantunya keluar dari permasalahan atau sebaliknya. Konselor menanyakan kepada klien apakah pilihan perilakunya itu didasari oleh keyakinan bahwa hal tersebut baik baginya. Fungsi konselor tidak untuk menilai perilakunya saat ini. Beri kesempatan kepada klien untuk mengevaluasi, apakah ia cukup terbantu dengan pilihannya tersebut. Kemudian bertanya kepada klien apakah pilihan perilakunya dapat memenuhi apa yang menjadi kebutuhan klien saat ini, menanyakan apakah klien akan tetap pada pilihannya, apakah hal tersebut merupakan perilaku yang dapat diterima, apakah realistis, apakah benar-benar dapat mengatasai masalahnya, apakah keinginanan klien realitas atau dapat terjadi atau tercapai, bagaimana klien memandang pilihan perilakunya dan menanyakan komitmen klien untuk mengikuti proses konseling.

5. Tahap 5: Merencanakan Tindakan yang Bertanggungjawab

Tahap ketika klien mulai menyadari bahwa perilakunya tidak menyelesaikan masalah dan tidak cukup menolong keadaan dirinya, dilanjutkan dengan membuat perencanaan tindakan yang lebih bertanggung jawab. Rencana yang disusun bersifat spesifik dan konkret. Hal-hal apa yang akan dilakukan klien untuk keluar dari permasalahan yang sedang dihadapinya.

(9)

6. Tahap 6: Membuat Komitmen

Konselor mendorong klien untuk merealisasikan rencana yang telah disusunnya bersama konselor sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan.

7. Tahap 7: Tidak Menerima Permintaan Maaf atau Alasan Klien

Klien akan bertemu kembali dengan konselor pada batas waktu yang telah disepakati bersama. Pada tahap ini konselor menanyakan perkembangan perubahan perilaku klien.

Apabila klien tidak atau belum berhasil melakukan apa yang telah direncanakanya, permintaan maaf klien atas kegagalannya tidak untuk dipenuhi konselor. Sebaliknya, konselor mengajak klien untuk melihat kembali rencana tersebut dan mengevaluasinya mengapa klien tidak berhasil. Konselor selanjutnya membantu klien merencanakan kembali hal-hal yang belum berhasil ia lakukan. Pada tahap ini sebaiknya konselor menghindari pertanyaan ''Mengapa'' sebab kecenderungannya klien akan bersikap defensif dan mencari- cari alasan.

Pada tahap ini, konselor juga tidak memberika hukuman, mengkritik, dan berdebat tetapi hadapkan klien pada konsekuensinya. Menurut Glasser, memberikan hukuman akan mengurangi keterlibatan klien dan menyebabkan ia merasa lebih gagal. Saat klien belum berhasil melakukan perubahan, hal itu merupakan pilihannya dan ia akan merasakan konsekuensi dari tindakannya. Konselor memberi pemahaman pada klien bahwa kondisinya akan membaik jika ia bersedia melakukan perbaikan itu. Selain itu, konselor jangan mudah menyerah. Proses konsling yang efektif antara lain ditunjukkan dengan seberapa besar kegigihan konselor menyerah dengan bersikap pasif, tidak kooperatif, marah, atau apatis, namun pada tahap inilah konselor dapat menunjukkan bahwa ia benar-benar terlibat dan ingin membantu klien mengatasi permasalahannya. Kegigihan konselor dapat memotivasi klien untuk bersama-sama memecahkan masalah.

8. Tahap 8: Tindak Lanjut

Merupakan tahap terakhir dalam konseling. Konselor dan klien mengevaluasi perkembangan yang dicapai, konseling dapat berakhir atau dilanjutkan jika tujuan yang telah ditetapkan belum tercapai.

Tujuan Konseling

Layanan konseling ini bertujuan membantu klien mencapa identitas berhasil. Klien yang mengetahui identitasnya akan mengetahui langkah-langkah apa yang akan ia lakukan dimasa yang akan datang dengan segala konsekuensinya. Bersama-sama konselor, klien

(10)

dihadapkan kembali pada kenyataan hidup sehingga dapat memahami dan mampu menghadapi realitas.

Peran dan Fungsi Konselor

Fungsi konselor dalam pendekatan realitas adalah:

1. Melibatkan diri dengan klien.

2. Bersikap direktif dan didaktik, yaitu berperan seperti guru yang mengarahkan dan dapat saja mengkonfrontasi sehingga klien mampu menghadapi kenyataan.

3. Konselor sebagai fasilitator yang memantu klien agar bisa menilai tingkah lakunya sendiri secara realitas.

(11)

Daftar Pustaka

Palmer, Stephen (Ed)., (2010). Konseling dan Psikoterapi. Introduction to Counselling and Psichoterapy.

Komalasari, G., Wahyuni, E., Karsih (2011). Teori dan Teknik Konseling. PT. Indeks.

Gunarsa D, Singgih (2007). Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: Gunung Mulia.

Referensi

Dokumen terkait

Kajian terhadap kondisi atmosfer ini perlu dilakukan agar dapat diketahuilebih lanjut gangguan cuaca yang berperan dalam menyebabkan banjir serta intensitas curah hujan pada

Aplikasi yang dirancang ini dapat digunakan untuk memberikan kemudahan kepada dokter untuk mendeteksi dan mengetahi suatu gejala penyakit epilepsi yang dialami

Meskipun beberapa peneliti telah menyatakan bahwa menyikat dengan pasta gigi dapat menyebabkan kerusakan pada akrilik, metode ini telah digunakan oleh seluruh subjek

Pada penelitian ini, Peran Istri buruh tani disini dalam upaya peningkatan prestasi belajar anak adalah dilihat dari banyaknya ibu yang memberikan motivasi kepada anaknya

Berdasarkan permasalahan tersebut, penelitian ini dilakukan untuk memberikan gambaran tentang indeks fungsi seksual wanita pada pengguna implan satu batang

Representasi stereotip perempuan dalam roman Papua Isinga karya Dorothea Rosa Herliany termanifestasikan melalui nasihat-nasihat orang-orang tua baik di perkampungan Aitubu

Allianz tidak menanggung risiko yang terjadi atas diri Tertanggung akibat penyakit, perawatan dan pengobatan, serta biaya yang dikecualikan dalam program Asuransi

4..2 Jumlah Sekolah Dasar dan Ruang Kelas Menurut Status Sekolah Dirinci per Kelurahan di Kecamatan Kota Baru , 2013……… Number of Elementary School and Classroom by Status of