• Tidak ada hasil yang ditemukan

(language acquisition device) yang tidak dimiliki oleh mahluk lain. Dengan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "(language acquisition device) yang tidak dimiliki oleh mahluk lain. Dengan"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

1 1.1 Latar Belakang

Menurut Chomsky, manusia memiliki piranti pemerolehan bahasa (language acquisition device) yang tidak dimiliki oleh mahluk lain. Dengan piranti bahasa tersebut, manusia belajar sekaligus memproduksi bahasa. Bahasa bersifat khas manusia, artinya hanya manusia yang mampu membentuk lambang guna menandai setiap kenyataan. Makhluk hidup lain tidak mampu melakukan hal yang sama. Bahasa digunakan oleh manusia sebagai penyampai pesan, maksud, dan gagasan. Bahasa juga dapat berfungsi sebagai alat identifikasi. Salah satu wujud bahasa adalah nama. Dalam KBBI, nama didefinisikan sebagai kata untuk menyebut atau memanggil orang (tempat, barang, binatang, dan sebagainya) (Alwi, 2003: 773).

Manusia, baik secara langsung maupun tidak, akan selalu bergantung pada lingkungan alam untuk tetap dapat melangsungkan kehidupannya. Hubungan antara manusia dengan lingkungan fisik dan alamnya tidak semata-mata berwujud hubungan ketergantungan manusia terhadap lingkungannya, tetapi juga berwujud sebagai hubungan manusia yang mempengaruhi dan mengubah lingkungannya. Kerangka landasan yang membuat manusia bergantung pada lingkungannya adalah kebudayaan. Manusia, kebudayaan, dan lingkungan merupakan tiga faktor yang saling menjalin secara integral. Pernyataan ini berakar dari pandangan Slotkin (dalam Adimihardja, 1993) bahwa “the organism and its environment

(2)

must be suited to each other”. Pandangan ini mengisyaratkan perlunya hubungan timbal balik yang serasi dan harmonis antara manusia dengan lingkungannya.

Potensi kebudayaan dapat dipahami salah satunya melalui proses penamaan (naming process), yaitu sebuah proses penggunaan bahasa yang paling awal dalam kehidupan manusia. Ada dua macam proses penamaan, yakni common naming atau proses penamaan untuk benda-benda umum sehingga membentuk kata-kata benda umum (common nouns) dan proper naming atau proses penamaan untuk nama-nama diri sehingga membentuk kata benda nama diri (proper nouns). Proper naming lebih berhubungan dengan kajian budaya yang akan diteliti (Sibarani, 2004).

Menurut Forde (1963), hubungan antara kegiatan manusia dengan lingkungan alamnya dijembatani oleh pola-pola kebudayaan yang dipunyai oleh manusia. Pola kebudayaan yang dimaksud Forde, di antaranya akan terekam melalui identifikasi nama tempat (toponimi) yang akurat dari budaya suatu bangsa sebagai penggunaan bahasa dengan pijakan yang kuat. Penjabaran di atas mengindikasikan bahwa konsep penamaan suatu tempat merupakan bentuk keterkaitan antara bahasa, budaya, dan pikiran.

Bahasa menunjukkan bangsa. Bahasa juga menjadi salah satu unsur dan sekaligus wahana kebudayaan. Berbagai unsur budaya seperti sistem mata pencaharian, sistem dan struktur sosial, sistem peralatan dan teknologi, ilmu pengetahuan, bahasa, seni, dan sistem religi, dapat tergambarkan atau termanifestasikan melalui bahasa. Salah satu pemakaian bahasa tampak pada sistem penamaan tempat.

(3)

Melalui pengamatan awal, diketahui bahwa toponimi yang berasal dari bahasa daerah etnis-etnis besar yang menghuni Provinsi Lampung memiliki pola penamaan yang khas. Perhatikan contoh data berikut.

Purworejo Kedaton Bali Nuraga

Purwodadi Suoh Lingga Pura

Karang Anyar Mulang Maya Swastika Buana

Banyumas Way Seputih Rama Klandungan

Mojokerto Pekondoh Gedung Tri Dharma Yoga

Kutoarjo Negara Saka Tri Darma Wirajaya

Meskipun tidak dijelaskan keterangan variabel pada masing-masing deretnya, dapat dipahami dari bahasa daerah mana nama-nama tersebut berasal. Pada desa-desa yang penduduknya sebagian besar berasal dari etnis Jawa, nenek moyang mereka menamai tanah baru yang ditinggali sama persis seperti nama tanah yang ditinggalkan di pulau Jawa. Pada desa-desa yang dihuni penduduk Lampung asli, bahasa yang digunakan adalah bahasa daerah Lampung. Pada desa-desa dengan penduduk yang berasal dari etnis Bali, toponimi yang digunakan khas menggunakan kosakata dari bahasa Sanskerta.

Perbedaan yang begitu kentara pada toponimi di Provinsi Lampung seharusnya menjadi hal unik yang mencirikhaskan Provinsi Lampung dengan daerah lain di Indonesia. Namun, sayangnya, justru kerap memunculkan masalah. Konflik kesukuan yang berulang terjadi selama sejarah panjang kolonisasi dan transmigrasi di Provinsi Lampung membuat banyak pihak merasa miris. Dengan dibawasertanya ciri-ciri kesukuan dalam interaksi sosial, termasuk di dalamnya adalah toponim, kehadiran konflik yang berskala nasional sekalipun

(4)

sesungguhnya sudah menjadi situasi yang wajar dan sering terjadi dalam masyarakat Indonesia.

Keberanekaragaman etnis dan bahasa bangsa Indonesia merupakan faktor keanekaan bangsa Indonesia. Hal ini sering dibanggakan. Di sisi lain, hal ini juga membuat pembangunan dan kemajuan suatu daerah menjadi lebih sukar. Mengatur dan mengurus sejumlah orang yang memiliki kesamaan ciri, kehendak, dan adat istiadat sudah pasti lebih mudah daripada mengurus sejumlah orang yang berbeda-beda mengenai hal-hal tersebut. Apalagi kalau orang-orang yang berbeda-beda itu tak dapat saling bergaul baik satu dengan lain (Koentjaraningrat 1982: 375).

Konflik tidak akan terjadi tanpa adanya pemicu atau penyebabnya.Hal yang mendasar yang menjadi penyebab konflik antaretnis di Indonesia adalah prasangka atau stereotip negatif antaretnis. Dillstone (1986) menyatakan bahwa komunikasi menggunakan simbol juga dapat memicu konflik yang berada di sekitar masyarakat. Simbol yang dimaksud tidak harus berupa karya manusia. Manusia sendiri juga merupakan simbol yang hidup. Dari semua simbol, simbol yang paling kuat adalah bahasa. Bahasa yang tidak dimengerti oleh etnis lain dapat menjadi sumber masalah. Toponim adalah simbol harapan manusia terhadap tempat yang didiaminya melalui bingkai bahasa.

Dalam penelitian ini, langkah pertama yang dilakukan adalah membedah toponim desa-desa di Provinsi Lampung untuk mengetahui pola dasar penamaan, dan untuk mengetahui dominasi jenis kata yang digunakan. Langkah berikutnya, mengkategorisasikan makna kata yang digunakan sebagai toponim. Terakhir,

(5)

dengan menggunakan pendekatan antropologi, pola penamaan dan dominasi jenis kata yang ditemukan, akan ditafsirkan melalui cermin budaya tiap-tiap kebudayaan variabel penelitian. Langkah terakhir adalah menarik kesimpulan atas hasil penafsiran tiap-tiap variabel penelitian.

Diharapkan, penelitian tentang toponimi Provinsi Lampung ini dapat menyumbangkan pemikiran terhadap penanaman pemahaman antarbudaya bagi generasi muda di Provinsi Lampung. Menjadi manusia antarbudaya yang dapat menempatkan diri bergaul dengan etnis apapun tanpa mengubah identitas pribadi, adalah wujud kontribusi nyata generasi muda dalam pencegahan konflik di negeri ini.

1.2 Rumusan Masalah

Sebagaimana dikemukakan di atas, untuk mengetahui karakteristik toponimi pada tataran desa di Provinsi Lampung, maka penelitian ini membahas masalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah bentuk satuan kebahasaan toponim desa-desa di Provinsi Lampung?

2. Bagaimanakah kategorisasi toponim desa-desa di Provinsi Lampung berdasarkan makna toponim?

3. Mengapa terdapat perbedaan karakteristik toponim pada setiap variabel penelitian?

(6)

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada rumusan masalah yang telah diuraikan, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Mengidentifikasi bentuk satuan kebahasaan toponim desa-desa di Provinsi Lampung.

2. Mengidentifikasi kategorisasi toponim desa-desa di Provinsi Lampung berdasarkan makna toponim.

3. Menganalisis perbedaan karakteristik toponim pada setiap variabel penelitian.

1.4 Manfaat Penelitian

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan terhadap perkembangan ilmu Etimologi, Linguistik Antropologi, Antropologi, Sejarah, dan Geografi. Nama merupakan refleksi sejarah peradaban manusia. Di belakang sebuah nama geografis, terdapat sejarah panjang kebudayaan manusia. Tujuan pemberian nama pada unsur geografis adalah sebagai identifikasi dan acuan komunikasi antar sesama manusia.

Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu menguak kondisi sosiokultural masyarakat Lampung, terkait dengan penamaan geografis desa-desa di Provinsi Lampung. Perbedaan bentuk toponim pada tiap-tiap variabel penelitian kuat dilatarbelakangi oleh karakter masyarakat sebagai pemilik budaya. Pola toponimi sebagai refleksi sosiokultural membuka peluang bagi kajian refleksi budaya masyarakat melalui bingkai bahasa.

(7)

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan kajian Linguistik Antropologi yang berfokus pada kajian kebahasaan. Penelitian ini dilakukan sebagai upaya mengungkapkan cara pandang masyarakat Lampung terhadap pluralisme etnis di Provinsi Lampung, yang dilakukan dengan mengkaji aspek bahasa yang terdapat dalam toponim Provinsi Lampung. Aspek bahasa yang menjadi kajian penelitian ini berupa satuan lingual yang berupa leksikon nama-nama desa di wilayah Provinsi Lampung.

Pembatasan variabel penelitian dilakukan pada toponim desa-desa di Provinsi Lampung. Penentuan variabel penelitian menggunakan persentase hasil sensus penduduk Provinsi Lampung tahun 2000. Tiga besar hasil sensus penduduk Provinsi Lampung tahun 2000 adalah etnis Jawa, etnis Lampung, dan etnis Sunda. Toponim yang bercirikan nama atau kosakata daerah dari ketiga etnis bangsa tersebut akan dipisah-pisah, untuk kemudian masing-masing dikaji dengan lebih dalam.

Meskipun menurut hasil sensus Provinsi Lampung pada tahun 2000, etnis Bali masuk ke dalamkategori etnis bangsa lainnya (Bali, Bengkulu, Batak, Bugis, Minang, dan lain-lain) dengan persentase 11,35% (754.989 jiwa), namun toponim desa-desa etnis Bali layak dijadikan variabel tersendiri. Hal ini disebabkan penamaan dan permukiman etnis Bali di Provinsi Lampung yang khas. Kondisi landscape desa-desa tersebut bercirikan bangunan, ornamen, dan budaya Bali. Toponimi yang digunakan pada desa-desa tempat bermukim etnis Bali khas menggunakan kosakata dari bahasa Sanskerta. Oleh karena itu, variabel penelitian

(8)

ditentukan menjadi toponim Indigeneous atau Lampung (TL), toponim Jawa (TJ), toponim Sunda (TS), dan toponim Bali-Sanskerta (TB-S).

1.6 Tinjauan Pustaka

Klasifikasi toponimi melalui bingkai bahasa termuat dalam jurnal milik Australian National Placenames Survey (ANPS) yang berjudul Motivations for Naming: A Toponymic Typology (2009). Jurnal ANPS memuat pendahuluan yang berisi uraian tentang bentuk-bentuk toponim di Australia dan proses penamaannya, kategorisasi toponimi oleh 15 pakar toponim, dan usulan kategorisasi toponimi di masa yang akan datang berdasarkan pada fitur-fitur semantik.

Jurnal berikutnya berjudul [On A Topic] A Cultural History of Korean Toponyms oleh Ryu Je-Hun (2012). Menurut Ryu, toponimi adalah bidang yang menghubungkan geografi dan bahasa, material dan metaforis, serta substantif dan simbolis pada saat yang sama. Melalui bahasa yang merupakan milik bersama, toponim mendokumentasikan dan mengikat sejarah, cerita rakyat, simbol-simbol sosial, dan keyakinan dalam suatu penamaan. Studi tentang toponim menjadi jendela menuju kearifan lokal yang terperinci dan berbagai macam versi yang terdapat di dalamnya. Yang perlu diperhatikan, meskipun fenomena linguistik dapat dimasukkan menjadi fenomena budaya, tetapi bila diperlukan tetap akan diberlakukan pemisahan fenomena linguistik dari fenomena budaya. Hal ini terutama diperlukan ketika seorang linguis ingin mengkaji sejarah bahasa melalui leksikon toponim. Sekelompok linguis di Korea telah memanfaatkan

(9)

leksikon-leksikon toponim sebagai bahan yang dapat digunakan untuk merekonstruksi kosakata Korea kuno.

Penelitian mengenai toponimi di Indonesia pernah dilakukan oleh Mitha Hartati (2013), seorang mahasiswi Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra, Universitas Pendidikan Indonesia. Dalam karyanya yang berupa skripsi yang berjudul Kajian Toponimi di Wilayah Kacamatan Kersamanah Kabupaten Garut Dumasar Kana Carita Rayat, Mitha mendeskripsikan latar belakang pemberian nama kampung yang ada di Kecamatan Kersamanah, Kabupaten Garut. Selain itu, dijabarkan pula pola-pola pemukiman yang digunakan dalam tata kampung di Kecamatan Kersamanah, Kabupaten Garut. Hasil penelitian Mitha menunjukkan bahwa penamaan kampung di Kecamatan Kersamanah lebih banyak dipengaruhi aspek non-fisikal dan menggunakan pola barung.

Disertasi milik Prihadi yang berjudul Sistem Toponim Pedukuhan/Kampung di Daerah Istimewa Yogyakarta (2015) mendeskripsikan bentuk-bentuk nama pedukuhan/kampung (1) dilihat dari segi linguistik: morfem pembentuknya, jumlah morfem, distribusi morfem, pilihan kata, jumlah kata, proses pembentukannya, dan asal-usul dan maknanya, (2) dilihat dari segi sejarah dan budaya: motivasi dan tujuan, alasannya, dan aspek kehidupan. Hasil penelitian yang dicapai dilihat dari segi linguistik adalah nama pedukuhan yang diteliti dominan berbentuk kata polimorfemis. Distribusi morfem dasar pembentuk nama pedukuhan lebih sering (dominan) di depan morfem lain atau di belakang morfem lain. Hasil penelitian dilihat dari segi sejarah-budaya, yaitu di wilayah

(10)

istanasentris, nama pedukuhan dominan bersumber pada sejarah-budaya kehidupan kerajaan (kraton), sedangkan di wilayah nonistanasentris dominan bersumber pada sejarah-budaya kehidupan sehari-hari yang berupa dunia tumbuhan dan cerita rakyat.

Berdasarkan uraian tentang tinjauan pustaka di atas, dapat disimpulkan bahwa belum ditemukan adanya kajian Linguistik Antropologi tentang toponimi desa-desa di Provinsi Lampung. Penelitian ini berfokus pada leksem-leksem pembentuk toponim desa-desa di Provinsi Lampung. Analisis leksem yang dipilah dalam bahasa daerah sesuai dengan variabel penelitian akan memberikan gambaran karakteristik masyarakat tertentu sebagai pemilik bahasa dan budaya.

1.7 Landasan Teori 1.7.1 Penamaan

Pengetahuan mengenai nama, disebut onomastika. Ilmu ini dibagi atas dua cabang, yakni pertama, antroponim, yaitu pengetahuan yang mengkaji riwayat atau asal-usul nama orang atau yang diorangkan; kedua, toponimi, yaitu pengetahuan yang mengkaji riwayat atau asal-usul nama tempat (Ayatrohaedi, dalam Rais, 2008:53). Di samping sebagai bagian dari onomastika, penamaan tempat atau toponimi juga termasuk ke dalam teori penamaan (naming theory).

Nida (1975: 64) menyebutkan bahwa proses penamaan berkaitan dengan acuannya. Penamaan bersifat konvensional dan arbitrer, dikatakan konvensional karena disusun berdasarkan kebiasaan masyarakat pemakainya, sedangkan dikatakan arbriter karena tercipta berdasarkan kemauan masyarakatnya.

(11)

Sistem penamaan tempat adalah tata cara atau aturan memberikan nama tempat pada waktu tertentu, yang disebut juga dengan istilah toponimi. Secara etimologis, kata toponimi berasal dari bahasa Yunani topoi yang berarti tempat dan onama yang berarti nama, sehingga secara harfiah toponimi bermakna “nama tempat‟. Dalam hal ini, toponimi diartikan sebagai pemberian nama-nama tempat.

Toponim adalah kata benda yang berarti nama unsur geografi, atau disingkat nama geografik. Sementara, toponimi adalah kata sifat yang merujuk pada ilmu yang mempelajari tentang toponim. Nama geografis adalah nama yang diterapkan pada unsur geografi. Pada umumnya, nama geografis adalah nama diri (proper name) atau nama spesifik atau ekspresi di mana suatu entitas dikenal. Entitas (entity) atau wujud geografis adalah semua unsur yang relatif permanen dari bentang alam yang alami maupun bentang alam buatan, termasuk bentang alam lautan, yang mempunyai entitas yang dikenal dalam konteks kebudayaan tertentu. Dengan demikian, nama geografis dapat mengacu pada setiap tempat atau unsur atau area di atas muka bumi atau pada kelompok terkait tempat, unsur atau area yang serupa. Bahasa Indonesia menyebut hal tersebut dengan nama rupabumi.

Menurut Sudaryat (2009: 10) penamaan tempat atau toponimi memiliki tiga aspek, yaitu (1) aspek perwujudan; (2) aspek kemasyarakatan; dan (3) aspek kebudayaan. Ketiga aspek tersebut sangat berpengaruh terhadap cara penamaan tempat dalam kehidupan masyarakat.

1. Aspek Perwujudan

Aspek perwujudan (fisikal) berkaitan dengan kehidupan manusia yang cenderung menyatu dengan bumi sebagai tempat berpijak dan lingkungan alam

(12)

sebagai tempat hidupnya. Sudaryat membagi lingkungan alam tersebut ke dalam tiga kelompok, yaitu (1) latar perarian (wujud air); (2) latar rupabumi (geomorfologis); (3) latar lingkungan alam (biologis-ekologis) (Sudaryat, 2009: 12-15).

2. Aspek Kemasyarakatan

Aspek kemasyarakatan (sosial) dalam penamaan tempat berkaitan dengan interaksi sosial atau tempat berinteraksi sosial, termasuk kedudukan seseorang di dalam masyarakatnya, pekerjaan, dan profesinya (Sudaryat, 2009: 17). Keadaan masyarakat menentukan penamaan tempat, misalnya sebuah tempat yang masyarakatnya mayoritas bertani, maka tempat tinggalnya diberi nama yang tidak jauh dari pertanian. Pemberian nama tempat sesuai dengan seorang tokoh yang terpandang di masyarakatnya juga dapat menjadi aspek dari segi kemasyarakatan dalam menentukan nama tempat.

3. Aspek Kebudayaan

Di dalam penamaan tempat banyak sekali yang dikaitkan dengan unsur kebudayaan seperti masalah mitologis, folklor, dan sistem kepercayaan (religi), pemberian nama tempat jenis ini sering pula dikaitkan dengan cerita rakyat yang disebut legenda (Sudaryat, 2009: 18). Banyak sekali nama-nama tempat di Indonesia yang berasal dari legenda yang ada di masyarakatnya.

Penamaan atau penyebutan (naming) termasuk salah satu dari empat cara dalam analisis komponen makna (componential analysis), tiga cara lainnya ialah parafrase, pendefinisian, dan pengklasifikasian (Nida, 1975: 64). Sekurang-kurangnya ada sepuluh cara penamaan atau penyebutan, yakni (1) peniruan bunyi

(13)

(onomatope), (2) penyebutan bagian (sinecdoche), (3) penyebutan sifat khas, (4) penyebutan apelativa, (5) penyebutan tempat, (6) penyebutan bahan, (7) penyebutan keserupaan, (8) pemendekan (abreviasi), (9) penamaan baru, (10) pengistilahan.

1.7.2 Satuan Kebahasaan

Pada pengamatan awal, toponim desa-desa di Provinsi Lampung terdiri atas satu leksem, dua leksem, tiga leksem, dan empat leksem. Diasumsikan bahwa toponim yang terdiri lebih dari satu kata merupakan kata majemuk atau gabungan leksem. Menurut Ramlan (2001: 24-25), jika diurutkan dari atas ke bawah, keenam satuan gramatik adalah wacana, kalimat, klausa, frase, kata/leksem, dan morfem. Satuan wacana hingga satuan frase dibicarakan dalam bidang sintaksis, sedangkan satuan kata dan satuan morfem dibicarakan dalam bidang morfologi.

Matthews, menyebutkan leksem sebagai “… the fundamental unit of the lexicon” (1974: 22). Matthews mempergunakan leksem sebagai satuan dasar dalam leksikon dan dibedakan dari kata sebagai satuan gramatikal. Dengan perkataan lain, leksem-lah yang merupakan “bahan dasar” yang mengalami “pengolahan gramatikal” menjadi kata dalam subsistem gramatika. Pengertian leksem tersebut terbatas pada satuan yang diwujudkan dalam gramatika dalam bentuk morfem dasar atau kata. Satuan lain yang cukup dikenal, yaitu afiks, tidak disebut leksem, melainkan lexical-formative (Matthews 1974:41).

Menurut Bauer (1983), leksem merupakan kunci utama dalam batas–batas paradigma yang tidak mengacu kepada bentuk tertentu yang dimiliki oleh suatu

(14)

kata dalam keadaan tertentu, tapi lebih mengacu kepada semua bentuk yang kemungkinan dapat dimiliki oleh kata tersebut (1983). Kridalaksana (1988) dengan ringkas menyatakan bahwa leksem adalah (1) satuan terkecil dalam leksikon, (2) satuan yang berperan sebagai input dalam proses morfologis, (3) bahan baku dalam proses morfologis, (4) unsur yang diketahui adanya dari bentuk yang setelah disegmentasikan dari bentuk kompleks, sehingga merupakan bentuk dasar yang lepas dari morfem afiks, (5) bentuk yang tidak tergolong proleksem atau partikel.

1.7.3 Makna

Cakupan dasar penamaan kemudian termasuk dalam ranah semantik. Hal itu sesuai dengan definisi semantik menurut Chaer (2009: 2) bahwa semantik merupakan istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Analisis kajian semantik dalam penelitian ini adalah mencari makna toponim desa-desa di Provinsi Lampung, sehingga dapat diketahui pandangan budaya masyarakat Lampung secara umum.

Makna ialah hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah disepakati bersama oleh para pemakai bahasa sehingga dapat saling dimengerti (Aminuddin, 2011: 53). Melalui batasan pengertian tersebut, dapat diketahui adanya tiga unsur pokok yang tercakup di dalamnya, yaitu: (1) makna adalah hasil hubungan antara bahasa dengan dunia luar, (2) penentuan hubungan terjadi karena

(15)

kesepakatan para pemakai, serta (3) perwujudan makna itu dapat digunakan untuk menyampaikan informasi sehingga dapat saling dimengerti.

Berdasarkan jenis semantiknya, makna dibedakan menjadi makna leksikal dan makna gramatikal. Makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya. Chaer (2007: 289) menyatakan bahwa makna leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem, tanpa konteks apapun. Contoh makna leksikal adalah rumah yang bermakna tempat tinggal, tangan bermakna salah satu anggota tubuh. Sementara, makna gramatikal adalah makna gramatikal adalah makna yang berubah-ubah sesuai dengan konteks pemakaiannya. Makna gramatikal hadir sebagai akibat adanya proses gramatikal, seperti afiksasi, reduplikasi, maupun komposisi. Contoh makna gramatikal adalah berumah yang bermakna mempunyai rumah, dirumahkan bermakna diberhentikan dari pekerjaan, rumah-rumah bermakna banyak rumah, tangani bermakna dapat diselesaikan, tangan panjang bermakna suka mencuri, dan sebagainya.

1.7.4 Linguistik Antropologi

Kerangka pikir utama dari penelitian ini bersumber dari teori Linguistik Antropologi dari Duranti (2000) yang menjelaskan bahwa terdapat hubungan interdisipliner antara ilmu bahasa (linguistik) dengan ilmu antropologi. Duranti menegaskan bahwa etnolinguistik merupakan bentuk dari perkembangan area interdisipliner yang mempelajari bahasa sebagai sumber budaya dan ujaran sebagai bentuk kegiatan budaya. Kajian etnolinguistik juga menggambarkan inspirasi intelektual yang berasal dari hubungan interaksional serta berdasarkan

(16)

pada perspektif aktivitas dan pemikiran manusia di suatu daerah. Dengan kata lain, aktivitas ujaran manusia berdasarkan pada aktivitas budaya sehari-hari dan bahasa merupakan piranti yang paling kuat dalam kehidupan sosial masyarakat. Singkatnya, penamaan dalam suatu masyarakat tak bisa dilepaskan dari latar belakang kebudayaan masyarakat tersebut.

Goodenough dalam Duranti (1997: 27) menyatakan bahwa kebudayaan merupakan sistem pengetahuan atau sistem ide. Dalam definisi ini, makna yang diberikan oleh pendukung kebudayaan turut diperhitungkan, bahkan menduduki posisi yang penting. Hal ini sejalan dengan tugas Linguistik Antropologi yang menganggap penting tiap fakta kebahasaan beserta makna yang terkandung di dalamnya, yang dituturkan oleh informan atau pemilik suatu kebudayaan.

Bahasa juga menjadi salah satu unsur dan sekaligus wahana kebudayaan. Berbagai unsur budaya seperti sistem mata pencaharian, sistem dan struktur sosial, sistem peralatan dan teknologi, ilmu pengetahuan, bahasa, seni, dan sistem religi, dapat tergambarkan atau termanifestasikan melalui bahasa. Salah satu pemakaian bahasa tersebut tampak pada sistem penamaan tempat atau toponimi.

1.7.5 Perspektif Budaya

Duranti (1997: 24) mengemukakan pendapatnya mengenai budaya sebagai sesuatu yang dipelajari, ditransmisikan, dan diteruskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya, baik melalui tindakan-tindakan maupun melalui interaksi secara langsung. Duranti menambahkan bahwa manusia akan menerima dan mempelajari budaya masyarakat di mana ia tinggal melalui bahasa. Hal ini yang

(17)

memunculkan ketertarikan para pakar antropologi terhadap penelitian struktur dunia konseptual bahasa-bahasa di dunia.

Bahasa, melalui perspektif antropologi, merupakan bagian dari kebudayaan (Koentjaraningrat, 1990: 182). Kebudayaan, pada umumnya, diwariskan secara lebih seksama melalui bahasa; artinya bahasa merupakan wahana utama bagi pewarisan, sekaligus pengembangan kebudayaan. Duranti (1997: 27) secara tegas menyatakan bahwa mendeskripsikan suatu budaya sama halnya dengan mendeskripsikan bahasa.

1.8 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahapan kerja, yaitu (1) Pengumpulan data, (2) Analisis data, dan (3) Penyajian data. Tahapan-tahapan tersebut akan dipaparkan sebagai berikut.

1.8.1 Metode Pengumpulan Data

Penelitian diawali dengan pengumpulan data nama desa di seluruh wilayah Provinsi Lampung. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang berasal dari tangan kedua atau sumber-sumber lain yang telah tersedia sebelum penelitian dilakukan. Data sekunder bisa berupa artikel-artikel dalam surat kabar ataupun majalah, buku, artikel-artikel dari jurnal ilmiah, buletin statistik, laporan-laporan, arsip organisasi, publikasi pemerintah, informasi dari organisasi, analisis yang dibuat oleh para ahli, hasil survei terdahulu, catatan-catatan publik mengenai peristiwa-peristiwa resmi, serta

(18)

catatan-catatan perpustakaan (Silalahi, 2006: 266-268). Data diambil dari laman Kemendagri yang memuat lengkap data wilayah provinsi Lampung.

Langkah berikutnya, menentukan variabel penelitian. Variabel penelitian ditentukan dengan menggunakan hasil sensus penduduk pada tahun 2000. Nama-nama desa yang terkumpul kemudian dipilah menurut variabel yang sudah ditentukan. Dalam upaya mencari makna toponim, disusun daftar informan untuk diwawancara. Wawancara dilakukan pada setiap informan pemilik bahasa, desesuaikan dengan variabel penelitian.

Metode yang digunakan dalam menentukan informan adalah dengan menggunakan teknik snowballing, yaitu memilih informan secara berjenjang. Informan pertama menentukan informan kedua, dan informan kedua menentukan informan ketiga, dan seterusnya. Peneliti berhenti ketika data yang didapat dari para informan sudah cukup, dan jawaban yang diberikan oleh para informan sama dan sudah berulang-ulang.

Setelah wawancara selesai dilakukan, penulis menyalin transkrip data hasil wawancara. Transkrip data yang valid dimasukkan ke dalam kartu data. Berikutnya, data dimasukkan ke lembar analisis sehingga siap dilakukan analisis data.

1.8.2 Metode Analisis Data

Tahap kedua adalah analisis data. Pada tahap ini, sebagai langkah pertama adalah menganalisis nama-nama desa di Provinsi Lampung secara lingual. Data berupa nama-nama desa di Provinsi Lampung diklasifikasi berdasarkan asal

(19)

bahasa daerah. Analisis kedua adalah analisis satuan kebahasaan. Data dianalisis berdasarkan satuan lingualnya.

Langkah ketiga adalah secara semantik mencari makna leksikal dari masing-masing nama desa yang telah diklasifikasi berdasarkan satuan lingualnya. Peran informan sebagai pemilik bahasa daerah asli, sangat berperan besar dalam tahapan ini.

Langkah keempat dari tahap analisis adalah menggunakan kajian semantik yang didapatkan pada langkah sebelumnya sebagai dasar untuk mencari kategorisasi makna pada toponim desa-desa di Provinsi Lampung. Pada pengkategorisasian ini, dikembangkan latar pembentukan toponim supaya dapat mencakup keseluruhan data.

Tahap interpretasi dan eksplanasi keterkaitan toponimi dengan karakter pemilik budaya berangkat dari asumsi bahwa hubungan antara nama tempat dengan kondisi sosiokultural tidak selamanya bersifat langsung. Oleh karena itu, hubungan tidak langsung ini harus dijembatani oleh penafsiran yang intens yang berkaitan dengan konteks sosial budaya terhadap karakter masyarakat pemilik bahasa.

Analisis data bersifat induktif, artinya analisis dalam penelitian ini tidak bertujuan untuk membuktikan teori ataupun hipotesis. Teori dan simpulan dibentuk dari beragam data yang benar-benar ditemukan di lapangan dan dibahas secara multiperspektif (Sutopo, 2006: 119-122).

(20)

1.8.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Hasil penelitian disajikan dalam bentuk formal dan informal. Secara formal, hasil penelitian disajikan dengan menggunakan tabel. Secara informal, hasil penelitian disajikan menggunakan kata-kata biasa walaupun dengan terminologi yang teknis sifatnya (Sudaryanto, 1993).

1.9 Sistematika Penulisan

Penyajian hasil penelitian akan disajikan dalam enam bab. Bab I merupakan pendahuluan, latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II memuat tentang gambaran umum daerah penelitian, yaitu Provinsi Lampung.

Bab III berisi uraian bentuk dan struktur tiap-tiap variabel toponim di Provinsi Lampung. Toponim yang mewakili variabel penelitian dianalisis pada tataran leksikon. Bab IV berisi analisis bentuk dan struktur masing-masing variabel untuk mendeskripsikan keterkaitan bentuk dan struktur tiap-tiap variabel toponim di Provinsi Lampung dengan karakter masyarakat pemilik budaya. Bab V memaparkan perbedaan karakteristik toponim pada setiap variabel penelitian.Bab VI merupakan penutup yang akan mengakhiri laporan penelitian ini. Bab penutup berisi kesimpulan penelitian dan saran. Terakhir, sebagai karya ilmiah, disertakan daftar pustaka yang memuat referensi-referensi yang digunakan sebagai rujukan dalam penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

Suatu foto udara diambil dari ketinggian 6000 ft di atas permukaan rata-rata dengan fokus kamera 6 in (152.4 mm) dan format ukuran 9 in (23 cm).. INTERPRETASI FOTO UDARA.  Definisi

Untuk dapat memulai timbulnya kavitasi pada tekanan sebesar sekitar tekanan uap diperlukan sejumlah gelembung kecil, disebut inti (nuclei), sering hanya dalam

Menurut survey pendahuluan yang peneliti lakukan di Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang pada tahun 2012-2013 di 5 (lima) desa wilayah kerja puskesmas Karang Anyer

b) Implementansi kebijakan pengurangan risiko bencana. Dimana potensi kerentanan akan lebih banyak berbicara tentang aspek teknis yang berhubungan dengan dimensi

Masukan sel rata kanan : Jika data lebih panjang dari panjang sel maka lebihnya akan mengisi sel disebelah kirinya yang kosong, jika sel sebelah kiri terisi maka data akan

Semua bayi baru lahir di fasilitas kesehatan harus segera mendapatkan tanda pengenal berupa gelang yang dikenakan pada bayi dan ibunya untuk menghindari tertukarnya bayi,

Semasa pemain daripada pasukan lawan yang dibenarkan berada dalam kawasan itu membuat hantaran percuma, bola tidak boleh dibaling melebihi kawasan gelanggang

Peningkatan kompetensi peserta PEDAMBA: Kelas Pemanfaatan Software Tracker dalam pelajaran Fisika Tahap ke-I” dapat dilihat dari hasil evaluasi pelaksanaan