• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengembangan daerah sebelumnya antara lain : Rachmawati dan Amir (2003)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengembangan daerah sebelumnya antara lain : Rachmawati dan Amir (2003)"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

Penelitian-penelitian yang telah dilakukan mengenai potensi industri dan pengembangan daerah sebelumnya antara lain : Rachmawati dan Amir (2003) meneliti mengenai “Studi Potensi Industri Kecil di Desa Tertinggal Dalam Rangka Pemberdayaan Pengusaha Kecil di Kabupaten Banyumas”. Penelitian ini bertuuan untuk mengkaji 1) Keanekaragaman industri kecil didesa tertinggal; 2) Profil pengusaha industri kecil didesa tertinggal berdasar karakteristik tingkat pendidikan, jenis kelamin, usia; 3) Faktor-faktor kendala dan faktor-faktor pendukung industri kecil di desa tertinggal dari faktor-faktor permodalan, tenaga kerja, bahan baku, peralatan produksi, serta pemasaran 4) Menemukan Pola pemberdayaan industri kecil didesa tertinggal berdasarkan faktor-faktor kendala dan pendukung. Pendekatan yang digunakan: kualitatif melalui survey lapangan dan studi observasi. Sampel penelitiannya industri kecil dan pengusaha industri kecil dengan metoda purposive sampling. Lokasi di kecamatan Kembaran karena banyak memiliki desa tertinggal yaitu 13 desa. Analisis menggunakan deskriptif kualitatif.Hasil penelitian menemukan gambaran 1) Jenis Industri kecil: tempe, tahu, kerajinan bambu, tas, meubel, mie soun, gula jawa dan jenis-jenis makanan seperti roti, gula kacang; 2) Kendala yang dihadapi: motivasi usaha rendah; pengetahuan dan ketrampilan tenaga kerja kurang memadai; permodalan & aksesnya; peralatan/teknologi produksi mamual & sederhana, tidak ada standarisasi produksi, produk, kemasan dan jangkauan pemasaran terbatas; sedangkan limbah yang belum dimanfaatkan: sisa kulit/plastik untuk produk tas,

(2)

dompet, souvenir. Limbah industri tahu bisa dimanfaatkan untuk nata de soya; pada meubel, potongan kayu kecil untuk souvenir; dan pembentukan kelompok/asosiasi usaha. 3) Faktor pendukung: bahan baku dari lingkungan sekitar, harganya relatif murah, jumlah tenaga kerja usia produktif & bisa mengurangi pengangguran 4) perlunya Pola pemberdayaan: Pelatihan AMT; Pelatihan manajemen dan pengembangan budaya inovasi, Temu pengusaha dengan pihak penyandang dana, Pembuatan atau Pengembangan teknologi dengan bantuan perguruan tinggi dan LSM, atau bantuan teknologi dari pemerintah; Pelatihan komunikasi bisnis, desain dan model untuk pemasaran; Bantuan teknis AMDAL dan pengembangan produk sampingan dari limbah, dan Pembentukan kelompok usaha. Solusi penyelesaiannya harus sesuai dengan jenis industri, besar kecilnya skala usaha dan skala prioritas masing-masing pengusaha.

Kurniawan (2009) meneliti mengenai ”Analisis Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Industri kecil di Kota Surabaya”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh Pendapatan Perkapita (X1), Nilai Produksi (X2), Investasi Industri Kecil (X3), dan Jumlah Tenaga Kerja Industri Kecil (X4). Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari instansi–instansi terkait seperti BPS Surabaya. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi linier berganda yang menunjukkan pengaruh antara variabel bebas dan variabel terikat. baik secara simultan maupun secara parsial terhadap Jumlah Industri Kecil (Y). Berdasarkan hasil analisis dan hasil hipotesis diperoleh hasil F hitung = 562,907 > F tabel = 3,48. Sehingga secara simultan variabel bebas berpengaruh secara nyata terhadap variabel terikat, sedangkan secara parsial variabel bebas Pendapatan Perkapita (X1) berpengaruh secara nyata terhadap

(3)

Jumlah Industri Kecil (Y) yaitu t-hitung sebesar 6,700 > t-tabel sebesar 2,228. Nilai Produksi (X2) berpengaruh secara nyata terhadap Jumlah Industri Kecil (Y) yaitu t-hitung sebesar 2,899 > t tabel sebesar 2,228. Investasi Industri Kecil (X3) berpengaruh secara nyata terhadap Jumlah Industri Kecil (Y) yaitu t-hitung sebesar -11,830 > t tabel sebesar 2,228. Jumlah Tenaga Kerja Industri Kecil (X4) berpengaruh secara nyata terhadap Jumlah Industri Kecil (Y) yaitu t-hitung sebesar 11,122 > t table sebesar 2,228.

Saptana, Sumaryono dan Priyatno (2002) meneliti mengenai “Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Komoditas Kentang dan Kubis di Wibisono Jawa Tengah”. Tujuan penelitian untuk menganalisis daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap usahatani kentang dan kubis digunakan alat analisisis matrik kebijakan (Policy Analysis Matrix (PAM). PAM sebagai alat analisis kegiatan ekonomi dapat dipandang dari dua sudut, yaitu: (a) sudut privat (private perspective) dan (b) sudut sosial (social perspective). Perbedaan sudut pandang tersebut membawa konsekuensi pada perbedaan perlakuan terhadap input dan output dari suatu kegiatan usaha dalam penggunaan harga-harganya. Beberapa asumsi dasar yang digunakan dalam analisis PAM adalah: (1) perhitungan berdasarkan harga privat untuk analisis finansial; (2) perhitungan berdasarkan harga sosial atau harga bayangan yang mewakili biaya imbangan sosial yang sesungguhnya untuk analisis ekonomi; (3) output bersifat tradable dan input dapat dipisahkan kedalam tradable input dan domestic factor; (4) eksternalitas positif dan negatif dianggap saling meniadakan, dengan demikian dianggap nol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan analisis biaya dan keuntungan private, komoditas kentang dan kubis secara private dan secara

(4)

ekonomi menguntungkan. Namun keuntungan privat yang diterima petani lebih kecil dari keuntungan ekonomiknya. Hasil analisisis ini mengandung arti bahwa petani mengalami disinsentif dalam memproduksi komoditas kentang dan kubis, karena harus membayar harga input yang lebih tinggi dari yang seharusnya dan atau menerima harga output yang lebih rendah dari yang seharusnya. Hasil analisis menunjukkan bahwa usahatani komoditas kentang dan kubis memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif yang ditunjukkan oleh sebagian besar nilai koefisien DRC <1 dan PCR<1. Artinya untuk menghasilkan satu-satuan nilai tambah pada harga sosial dan privat diperlukan penggunaan sumberdaya domestik lebih kecil dari satu. Sehingga untuk lokasi penelitian Wonosobo, Jawa Tengah akan lebih menguntungkan untuk meningkatkan produksi dalam negeri dibandingkan impor.

Kusumastuti (2006) meneliti mengenai Analisis Strategi Pemasaran Industri Kecil Roti dan Kue. Penelitian ini bertujuan : (1) Mengidentifikasi bauran pemasaran (marketing mix) yang telah diterapkan Toko Roti dan Kue yang terdiri dari produk, harga, tempat dan promosi, (2) Mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman perusahaan, (3) Menganalisis dan menyusun rekomendasi alternatif strategi pemasaran yang tepat dan efektif melalui pendekatan analisa bauran pemasaran (marketing mix). Data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dari hasil wawancara dan kuesioner kepada pihak perusahaan sebanyak 3 responden dan penyebaran kuesioner kepada 30 konsumen Toko Roti dan Kue dengan metode Judgement Sampling dan data sekunder yang diperoleh melalui pihak lain berupa data dan informasi perusahaan, studi pustaka dari perusahaan, majalah, surat kabar, internet, dan

(5)

lembaga-lembaga pemerintah. Metode pengolahan dan analisis data yang digunakan adalah analisis lingkungan internal dan eksternal perusahaan melalui IFE, EFE, dan IE untuk mengetahui posisi perusahaan dalam menghadapi persaingan, serta QSPM untuk pengambilan keputusan alternatif strategi yang akan direkomendasikan kepada perusahaan. Secara umum matriks IFE menghasilkan total skor terbobot sebesar 2,34 yang menunjukkan bahwa posisi internal perusahaan cenderung lemah, yang artinya perusahaan harus lebih memanfaatkan kekuatannya dan mengatasi kelemahan yang dimilikinya dengan baik. Analisis matriks EFE secara umum menghasilkan skor terbobot sebesar 2,41 yang menunjukkan bahwa situasi eksternal perusahaan cenderung di bawah rata-rata, artinya perusahaan kurang memanfaatkan peluang-peluang yang ada dan atau tidak menghindari ancaman-ancaman eksternal. Berdasarkan hasil analisis Matriks IE, perusahaan berada di sel V yaitu Hold and Maintain (pertahankan dan pelihara). Berdasarkan analisis QSPM diperoleh strategi yang menjadi prioritas utama untuk diterapkan oleh perusahaan, yaitu kegiatan menambah jumlah agen dan meningkatkan kuantitas produk yang ditawarkan (Jumlah Total Attractiveness Score = 6,55).

Nusawanti (2009) meneliti mengenai Analisis Strategi Pengembangan Usaha Roti pada Bagas Bakery, Kabupaten Kendal. Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis faktor internal yang merupakan kekuatan dan kelemahan bagi Bagas Bakery, (2) menganalisis faktor eksternal yang merupakan peluang dan ancaman bagi Bagas Bakery, serta (3) mengkaji kesesuaian antara alternatif strategi yang diberikan dengan strategi yang telah dijalan oleh Bagas Bakery. Penelitian ini dilaksanakan pada Bagas Bakery yang terletak di Desa Kutoharjo RT 01/RW 01, Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kendal. Penarikan sampel

(6)

dalam penelitian ini menggunakan metode purposive sampling, dimana pemilihan responden dipilih secara sengaja. Respoden yang digunakan penelitian ini berjumlah lima orang, yaitu tiga respoden dari pihak internal dan dua responden dari pihak eksternal. Pihak internal meliputi pemilik Bagas Bakery sekaligus merangkap bagian pemasaran, pengelola keuangan, dan pengawas produksi. Sedangkan pihak eksternal meliputi Kepala Seksi Pengawasan Industri Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Kendal serta Kepala bidang UMKM Dinas KUKM Kabupaten Kendal. Adanya keterlibatan pihak eksternal dalam penelitian ini diharapkan mampu menghasilkan alternatif strategi yang lebih objektif. Metode pengolahan dan analisis data terdiri dari analisis deskriptif, dan analisis tiga tahap formulasi strategi. Alat bantu analisis yang digunakan untuk merumuskan strategi adalah matriks IFE, matriks EFE, matriks IE, matriks SWOT, dan matriks QSP (QSPM). Matriks IFE dan EFE menunjukkan total bobot skor rata-rata sebesar 2,752 dan 2,959. Hasil analisis matriks IE menggambarkan posisi Bagas Bakery berada pada posisi V, yaitu tahap hold and maintain. Kemudian dari matriks SWOT diperoleh delapan alternatif strategi dan dari hasil matriks QSP (QSPM) diperoleh prioritas strategi bagi Bagas Bakery secara berturut-turut, yaitu (1) meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (STAS=6,317); (2) meningkatkan mutu produk dan pelayanan (STAS=6,175); (3) melakukan pengaturan dalam pengalokasian keuangan perusahaan (STAS=6,136); (4) memanfaatkan skim kredit yang ditawarkan pemerintah untuk meningkatkan kapasitas produksi sehingga mampu mengatasi kelebihan permintaan terhadap produk Bagas Bakery saat ini (STAS=6,084); (5) mengembangkan produk baru pada pasar konsumen yang sudah ada (STAS=6,026); (6) memperbaiki label

(7)

kemasan produk (STAS=5,819); (7) mengoptimalkan saluran distribusi yang ada dalam penyampaian produk dari produsen ke konsumen (STAS=5,618); serta (8) membuka outlet khusus untuk direct selling (STAS=5,548). Berdasarkan hasil identifikasi di lapangan, terdapat kesesuaian antara alternatif strategi yang diberikan dengan strategi yang telah dijalankan oleh Bagas Bakery. Adapun strategi yang telah dijalankan oleh perusahaan, antara lain melakukan diversifikasi produk, menggunakan perantara dalam pendistribusian produk, serta melayani/menerima pesanan untuk acara-acara tertentu. Kesesuaian ini dapat dilihat dari alternatif strategi yang diberikan kepada Bagas Bakery masih berkaitan dengan strategi yang sudah dijalankan oleh perusahaan, misalnya mengembangkan produk baru pada pasar konsumen yang sudah ada yang masih berkaitan dengan strategi diversifikasi produk, mengoptimalkan saluran distribusi yang ada dalam penyampaian produk dari produsen ke konsumen yang masih berkaitan dengan strategi penggunaan perantara dalam pendistribusian produk, serta meningkatkan mutu produk dan pelayanan yang masih berkaitan dengan strategi menjaga mutu produk. Selain ketiga alternatif strategi tersebut, masih terdapat lima alternatif strategi baru dimana pihak Bagas Bakery belum menerapkannya saat ini. Meskipun tidak berkaitan dengan strategi yang sudah ada sebelumnya, namun secara umum alternatif srtategi tersebut diharapkan mampu melengkapi dan mengatasi permasalahan Bagas Bakery saat ini. Hal ini karena penyusunan strategi didasarkan atas kondisi kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang dihadapi Bagas Bakery.

(8)

2.2. Industri

Industri mempunyai dua pengertian yaitu pengertian secara luas dan pengertian secara sempit. Dalam pengertian secara luas , industri mencakup semua usaha dan kegiatan dibidang ekonomi yang bersifat produktif. Sedangkan pengertian secara sempit, industri atau industri pengolahan adalah suatu kegiatan yang mengubah suatu barang dasar secara mekanis, kimia, atau dengan tangan sehingga menjadi barang setengah jadi atau barang jadi. Dalam hal ini termasuk kegiatan jasa industri dan pekerja perakitan (assembling). Dalam istilah ekonomi, industri mempunyai dua pengertian. Pertama, industri merupakan himpunan perusahaan-perusahaan sejenis, contoh industri kertas berarti himpunan perusahaan-perusahaan penghasil kertas. Kedua, industri adalah sektor ekonomi yang didalamnya terdapat kegiatan produktif yang mengolah barang mentah menjadi barang setengah jadi atau barang jadi (Dumairy,1996).

Pengertian kedua kata industri sering disebut sektor industri pengolahan/manufaktur yaitu salah satu faktor produksi atau lapangan usaha dalam perhitungan pendapatan nasional menurut pendekatan produksi. Menurut Hadikusumo (1990) pengertian industri adalah suatu unit atau kesatuan produk yang terletak pada suatu tempat tertentu yang meletakan kegiatan untuk mengubah barang-barang secara mekanis atau kimia, sehingga menjadi barang (produk yang sifatnya lebih dekat pada konsumen terakhir), termasuk disini memasang bahagian dari suatu barang (assembling).

Ketika satu negara telah mencapai tahapan dimana sektor industri sebagai leading sector maka dapat dikatakan negara tersebut sudah mengalami industrialisasi (Yustika, 2000). Dapat dikatakan bahwa industrialisasi sebagai

(9)

transformasi struktural dalam suatu negara. Oleh sebab itu, proses industrialisasi dapat didefenisikan sebagai proses perubahan struktur ekonomi dimana terdapat kenaikan kontribusi sektor industri dalam permintaan konsumen, PDB, ekspor dan kesempatan kerja.

Industrialisasi dalam pengertian lain adalah proses modernisasi ekonomi yang mencakup seluruk sektor ekonomi yang mempunyai kaitan satu sama lain dengan industri pengolahan. Artinya industrialisasi bertujuan meningkatkan nilai tambah seluruh sektor ekonomi dengan sektor industri pengolahan sebagai leading sector.

Berdasarkan pengalaman dihampir semua negara, dapat disimpulkan bahwa industrialisasi adalah suatu keharusan karena menjamin kelangsungan proses pembangunan ekonomi jangka panjang dengan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan yang menghasilkan pendapatan perkapita setiap tahun.

2.2.1. Industri Besar Sedang

Pengelompokan sektor industri di Indonesia dibedakan menjadi dua. Pertama, pembagian sektor industri pengolahan berdasarkan jenis produk yang dihasilkan. Berdasarkan pengelompokan ini sektor industri pengolahan dibedakan menjadi Sembilan sub sektor. Pengelompokan yang kedua adalah pembagian berdasarkan banyaknya tenaga kerja. Dengan pengelompokan ini sektor industri pengolahan dibedakan menjadi empat sub golongan, yaitu: industri rumah tangga, industri kecil, industri sedang, dan industri besar. Berdasarkan pengolompokan ini, industri besar sedang menghasilkan nilai tambah terbesar.

(10)

2.2.2. Industri Kecil

Belum ada batasan mutlak tentang industri kecil yang dapat dijadikan sebagai pedoman umum. Menurut Winardi (1994) industri kecil adalah usaha produktif, terutama dalam bidang produksi atau perusahaan tertentu yang menyelenggarakan jasa-jasa misalnya transportasi, atau jasa perhubungan yang menggunakan modal dan tenaga kerja dalam jumlah yang relatif kecil.

Batasan normatif menurut SK. Menperindag Nomor 254 Tahun 1997, Industri kecil diartikan sebagai suatu kegiatan usaha industri yang memiliki nilai investasi sampai dengan 200 juta rupiah, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Industri kecil tergolong usaha kecil. Oleh karena itu perlu batasan yang tegas tentang pengertian usaha kecil. Hal ini dimaksudkan agar terdapat konsistensi pemahaman atas kedua konsep tersebut. Menurut UU. Nomor 9 Tahun 1995 yang dimaksud usaha kecil adalah suatu usaha yang mempunyai kekayaan bersih maksimum 200 juta rupiah di luar tanah dan bangunan atau mempunyai omzet penjualan maksimum 1 miliar rupiah per tahun.

Industri Kecil Menengah (IKM) adalah suatu kegiatan usaha industri yang memiliki asset sampai dengan 5 miliar rupiah di luar tanah dan bangunan serta beromzet sampai dengan 25 miliar rupiah per tahun (Mayer, 1996). Industri kecil adalah kegiatan untuk mengubah bentuk secara mekanis dan kimiawi produk baru yang lebih tinggi manfaatnya, baik dengan menggunakan mesin, tenaga kerja atau alat bantu lainnya guna dijual atau dipergunakan sendiri. Dengan kata lain, industri adalah kegiatan untuk mengubah bahan baku menjadi barang jadi yang lebih tinggi nilainya (Rhodant,1993).

(11)

Menurut Deperindag bersama dengan Badan Pusat Statistik (2002) industri kecil adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perseorangan atau rumah tangga maupun suatu badan yang bertujuan untuk memproduksi barang ataupun jasa untuk diperniagakan secara komersial, yang mempunyai kekayaan bersih paling banyak 200 juta rupiah dan mempunyai nilai penjualan pertahun sebesar 1 miliar rupiah atau kurang. Merujuk kepada beberapa pengertian industri yang telah diuraikan tersebut, maka pada prinsipnya industri itu terkait dengan unsur-unsur tertentu, antara lain:

a. Kelompok-kelompok perusahaan atau kelompok produksi yang mengolah barang homogen atau sejenis.

b. Perubahan wujud fisik suatu benda, baik melalui proses mekanik maupun kimia dengan melibatkan faktor-faktor produksi.

c. Orientasi kegiatan industri dititikberatkan kepada dua target yang mendasar, yakni 1) untuk mendapatkan manfaat/nilai yang lebih tinggi dari semula, dan 2) sebagai jawaban alternatif atas kelangkaan suatu produk dengan cara substitusi.

Pertimbangan lain yang mendasari pentingnya industri kecil, meliputi : a. Proses desentralisasi kegiatan ekonomi guna menunjang terciptanya integrasi

kegiatan sektor-sektor ekonomi yang lain.

b. Potensi penciptaan dan perluasan kesempatan kerja bagi pengangguran.

c. Dalam jangka panjang, peranannya sebagai suatu basis pembangunan ekonomi yang mandiri.

Penjabaran mengenai potensi pengembangan industri kecil di Indonesia dalam kaitannya dengan penyerapan tenaga kerja setidaknya memberikan

(12)

gambaran tentang perihal yang sama bagi sektor-sektor ekonomi secara keseluruhan. Data kuantitatif dari Badan Pusat Stasistik (2002) memberikan gambaran bahwa kemampuan penyerapan tenaga kerja pada industri kecil jumlah lebih besar jika dibandingkan dengan industri besar jika dibandingkan dengan industri besar dan sedang.

Irzan (1996) berpendapat bahwa dimensi problematik yang menyangkut persoalan kesempatan kerja, betapapun terbatasnya akan melahirkan suatu urgensi kerja guna memberikan prioritas tersendiri pada pengembangan industry kecil. Untuk itulah sikap pemerintah yang meletakkan sub sektor industri kecil dan kerajinan rumah tangga sebagai kantong dari berbagai upaya perluasan dan penciptaan lapangan kerja, merupakan keharusan dalam menentukan tindakan yang rasional.

Dalam rangka menunjang pembangunan disektor industri, pemerintah tidak hanya memperhatikan pertumbuhan industri besar dan sedang saja, melainkan juga membantu berkembangnya industri kecil dan rumah tangga. Industri kecil dan rumah tangga memegang peranan penting dalam pembangunan, khusunya negara-negara yang sedang membangun, karena industri ini dapat membuka lapangan kerja yang luas, membuka kesempatan usaha dan memperluas basis pembangunan. Dalam berbagai bidang, industri kecil dan rumah tangga juga meningkatkan ekspor. Dalam pembentukan PDRB, peranan industri kecil dan rumah tangga sebenarnya tidaklah terlalu besar, bahkan dapat dikatakan sangat kecil. Akan tetapi peranan sektor ini dalam penyerapan tenaga kerja cukup besar.

Sementara itu UKM (Usaha Kecil Menengah) meliputi usaha kecil informal/ tradisional dan juga usaha menengah, yang mengelola usahanya sudah

(13)

lebih maju jika dibandingkan dengan industri kecil informal dan tradisional. Disamping itu juga dari segi permodalan juga sudah lebih besar dan manejemen juga lebih maju.

Upaya pemerintah melalui berbagai kebijaksanaan, yaitu denga menciptakan iklim usaha yang kondusif, sehingga sektor industri terutama sektor industri UKM dapat terus tumbuh dan berkembang, seiring dengan majunya industri besar. Hal ini sesuai dengan tujuan pembangunan industri berdasarkan tujuan perekonomian serta kebijaksanaan ekonomi, yaitu peningkatan pendapatan nasional, perluasan kesempatan kerja, pembagian pendapatan secara merata, perkembangan industri regional, serta pengurangan jumlah pengangguran.

2.3. Peranan Sektor Industri dalam Pembangunan Ekonomi

Industrialisasi sebenarnya merupakan satu jalur kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam arti tingkat yang lebih maju maupun taraf hidup yang lebih bermutu. Dengan kata lain, pembangunan industri itu merupakan suatu fungsi dari tujuan pokok kesejahteraan rakyat, bukan merupakan kegiatan yang mandiri untuk hanya sekedar mencapai fisik saja.

Industrialisasi juga tidak terlepas dari usaha untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia dan kemampuannya memanfaatkan secara optimal sumber daya alam dan sumber daya lainya. Hal ini berarti pula sebagai suatu usaha untuk meningkatkan produktivitas tenaga manusia disertai usaha untuk meluaskan ruang lingkup kegiatan manusia. Dengan demikian dapat diusahakan secara “vertikal” semakin besarnya nilai tambah pada kegiatan ekonomi dan sekaligus secara “horizontal” semakin luasnya lapangan kerja produktif bagi penduduk yang semakin bertambah.

(14)

Banyak pendapat muncul bahwa industri itu mempunyai peranan penting sebagai sektor pemimpin (leading sector). Sektor pemimpin ini maksudnya adalah dengan adanya pembangunan industri maka akan memacu dan mengangkat pembangunan sektor-sektor lainya seperti sektor pertanian dan sektor jasa. Pertumbuhan industri yang pesat akan merangsang pertumbuhan sektor pertanian untuk menyediakan bahan-bahan baku bagi industri. Sektor jasapun berkembang dengan adanya industrialisasi tersebut, misalnya berdirinya lembaga-lembaga keuangan, lembaga-lembaga pemasaran/periklanan, dan sebagainya, yang kesemuanya itu nanti akan mendukung lajunya pertumbuhan industri. Seperti diungkapkan sebelumnya, berarti keadaan menyebabkan meluasnya peluang kerja yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan dan permintaan masyarakat (daya beli). Kenaikan pendapatan dan peningkatan permintaan (daya beli) tersebut menunjukkan bahwa perekonomian itu tumbuh sehat.

UNIDO (United Nations for Industrial Development Organization) mengelompokkan negara-negara sebagai berikut (Muhammad, 1992) :

1. Kelompok negara non-industri apabila sumbangan sektor industri terhadap PDB kurang dari 10 persen.

2. Kelompok negara dalam proses industrialisasi apabila sumbangan tersebut antara 10-20 persen.

3. Kelompok negara semi industrialisasi jika sumbang tersebut antara 20-30 persen.

4. Kelompok negara industri jika sumbangan tersebut lebih dari 30 persen. Perroux mengatakan, pertumbuhan tidak muncul di berbagai daerah pada waktu yang sama. Pertumbuhan hanya terjadi di beberapa tempat yang disebut

(15)

pusat pertumbuhan dengan intensitas yang berbeda. Inti pendapat Perroux dalam (Muhammad, 1992) adalah sebagai berikut :

1. Dalam proses pembangunan akan timbul industri pemimpin yang merupakan industri penggerak utama dalam pembangunan suatu daerah. Karena keterkaitan antar industri sangat erat, maka perkembangan industri pemimpin akan mempengaruhi perkembangan industri lain yang berhubungan erat dengan industri pemimpin tersebut.

2. Pemusatan industri pada suatu daerah akan mempercepat pertumbuhan perekonomian, karena pemusatan industri akan menciptakan pola konsumsi yang berbeda antar daerah sehingga perkembangan industri di daerah tersebut akan mempengaruhi perkembangan daerah-daerah lainya.

3. Perekonomian merupakan gabungan dari sistem industri yang relatif aktif dengan industri-industri yang relatif pasif yaitu industri yang tergantung dari industri pemimpin atau pusat pertumbuhan. Daerah yang relatif maju atau aktif akan mempengaruhi daerah-daerah yang relatif pasif.

2.4. Konseptual Daya Saing

Daya saing suatu komoditas dapat diukur dengan menggunakan pendekatan keunggulan komparatif dan kompetitif. Keunggulan komparatif merupakan suatu konsep yang dikembangkan oleh David Ricardo untuk menjelaskan efisiensi alokasi sumberdaya di suatu negara dalam sistem ekonomi yang terbuka (Lembaga Penelitian IPB dalam Saptana et.al, 2006). Hukum keunggulan komparatif dari Ricardo menyatakan bahwa sekalipun suatu negara tidak memiliki keunggulan absolut dalam memproduksi dua jenis komoditas jika dibandingkan negara lain, namun perdagangan yang saling menguntungkan

(16)

masih bisa berlangsung, selama rasio harga antar Negara masih berbeda jika dibandingkan tidak ada perdagangan (Lindert dan Kindleberger, 1993 dalam Saptana et.al, 2006). Ricardo menganggap keabsahan teori nilai berdasar tenaga kerja (labor theory of value) yang menyatakan hanya satu faktor produksi yang penting menentukan nilai suatu komoditas, yaitu faktor tenaga kerja. Nilai suatu komoditas adalah proporsional (secara langsung) dengan jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk menghasilkannya.

Teori keunggulan komparatif Ricardo disempurnakan oleh teori biaya imbangan (theory opportunity cost). Argumentasi dasarnya adalah bahwa harga relatif dari komoditas yang berbeda ditentukan oleh perbedaan biaya. Biaya di sini menunjukkan produksi komoditas alternatif yang harus dikorbankan untuk menghasilkan komoditas yang bersangkutan. Selanjutnya teori Heckscer Ohlin tentang pola perdagangan menyatakan bahwa Komoditi-komoditi yang dalam produksinya memerlukan faktor produksi (yang melimpah) dan faktor produksi (yang langka) diekspor untuk ditukar dengan barang-barang yang membutuhkan faktor produksi dalam produksi yang sebaliknya. Jadi secara tidak langsung faktor produksi yang melimpah diekspor dan faktor produksi yang langka diimpor (Lindert dan Kindleberger, 1993 dalam Saptana et.al, 2006).

Keunggulan komparatif suatu produk sering dianalisis dengan Domestic Resource Cost (DRC) atau Biaya Sumberdaya Domestik BSD). Biaya Sumberdaya Domestik adalah ukuran biaya imbangan sosial dari penerimaan satu unit marginal bersih devisa, diukur dalam bentuk faktor-faktor produksi domestik yang digunakan baik langsung maupun tidak langsung dalam suatu aktivitas ekonomi. Pendekatan ini sangat umum digunakan pada komoditas pertanian

(17)

seperti yang dilakukan oleh Kasryno (1990); Saptana et.al (2001); Rachman et.al (2004); Rusastra et.al (2004); Saliem et.al (2003) dan Saptana et.al (2004). Guna memperoleh indikator pengukur daya saing yang lebih lengkap digunakan Policy Analysis Matrix yang dikembangkan oleh Monke dan Pearson (1995).

Menurut Simatupang (1991) dan Sudaryanto dan Simatupang (1993), konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran daya saing (keunggulan) potensial dalam arti daya saing yang akan dicapai pada perekonomian tidak mengalami distorsi sama sekali. Aspek yang terkait dengan konsep keunggulan komparatif adalah kelayakan ekonomi, dan yang terkait dengan keunggulan kompetitif adalah kelayakan finansial dari suatu aktivitas. Sudaryanto dan Simatupang (1993) mengemukakan bahwa konsep yang lebih cocok untuk mengukur kelayakan finansial adalah keunggulan kompetitif atau revealed competitive advantage (RCA) yang merupakan pengukur daya saing suatu kegiatan pada kondisi perekonomian aktual.

Penggunaan metode DRC untuk mengetahui keunggulan komparatif pertama kali oleh Bruno dalam Saptana et.al (2006) yang diterapkan pada studi kasus di Israel. Bruno mengusulkan bahwa negara tersebut dapat mampunyai keunggulan komparatif pada suatu aktivitas ekonomi apabila biaya sumberdaya domestik per unit devisa yang diperoleh lebih kecil dibanding shadow price of foreign exchange (SER) atau DRC < SER. Secara mendasar dikatakan bahwa DRC adalah ukuran total biaya oportunitas riil dalam menghasilkan tambahan bersih devisa untuk komoditi ekspor atau suatu ukuran penggunaan sumberdaya domestik dalam menghemat tambahan bersih devisa dalam substitusi impor.

(18)

Dengan demikian, konsep ini sangat berhubungan erat dengan teori keunggulan komparatif dalam teori perdagangan internasional.

2.5. Pengembangan Wilayah

Pengembangan dapat diartikan sebagai suatu kegiatan menambah, meningkatkan, memperbaiki atau memperluas. Konsep pengembangan wilayah di Indonesia lahir dari suatu proses iteratif yang menggabungkan dasar-dasar pemahaman teoritis dengan pengalaman-pengalaman praktis sebagai bentuk penerapannya yang bersifat dinamis (Sirojuzilam dan Mahalli, 2010).

Wilayah adalah, daerah atau region, pada umumnya diartikan sebagai suatu ruang yang dianggap merupakan suatu kesatuan perkembangan kehidupan fisik, sosial maupun ekonomi. Dalam Undang-Undang No 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, wilayah diartikan sebagai ruang yang merupakan satuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional.

Pengembangan wilayah yaitu setiap tindakan pemerintah yang akan dilakukan bersama-sama dengan para pelakunya dengan maksud untuk mencapai suatu tujuan yang menguntungkan bagi wilayah itu sendiri maupun bagi kesatuan administratif di mana wilayah itu menjadi bagiannya, dalam hal ini Negara Kesatuan Republik Indonesia (Mulyanto, 2008). Di dalam sebuah wilayah terdapat berbagai unsur pembangunan yang dapat digerakkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Unsur dimaksud seperti sumber daya alam (natural resources), sumber daya manusia (human resources), infrastruktur (infrastructure), teknologi (technology) dan budaya (culture) (Miraza, 2005).

(19)

Pengembangan wilayah merupakan upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan antar wilayah, dan menjaga kelestarian lingkungan hidup pada suatu wilayah. Penerapan kebijakan pengembangan wilayah itu sendiri harus disesuaikan dengan kondisi, potensi, dan isu permasalahan di wilayah yang bersangkutan (Susantono, 2009).

Menurut Sirojuzilam (2005) pengembangan wilayah pada dasarnya mempunyai arti peningkatan nilai manfaat wilayah bagi masyarakat suatu wilayah tertentu mampu menampung lebih banyak penghuni, dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang rata-rata banyak sarana/prasarana, barang atau jasa yang tersedia dan kegiatan usaha-usaha masyarakat yang meningkat, baik dalam arti jenis, intensitas, pelayanan maupun kualitasnya.

Perencanaan pembangunan wilayah semakin relevan dalam mengimplementasikan kebijakan ekonomi dalam aspek kewilayahan. Hoover dan Giarratani dalam Nugroho dan Dahuri (2004) menyimpulkan tiga pilar penting dalam proses pembangunan wilayah, yaitu :

1. Keunggulan komparatif (imperfect mobility of factor). Pilar ini berhubungan dengan keadaan dtemukannya sumber-sumber daya tertentu yang secara fisik relatif sulit atau memiliki hambatan untuk digerakkan antar wilayah. Hal ini disebabkan adanya faktor-faktor lokal (bersifat khas atau endemik, misalnya iklim dan budaya) yang mengikat mekanisme produksi sumber daya tersebut sehingga wilayah memiliki komparatif. Sejauh ini karakteristik tersebut senantiasa berhubungan dengan produksi komoditas dari sumber daya alam, antara lain pertanian, perikanan, pertambangan, kehutanan, dan kelompok usaha sektor primer lainnya.

(20)

2. Aglomerasi (imperfect divisibility). Pilar aglomerasi merupakan fenomena eksternal yang berpengaruh terhadap pelaku ekonomi berupa meningkatnya keuntungan ekonomi secara spasial. Hal ini terjadi karena berkurangnya biaya-biaya produksi akibat penurunan jarak dalam pengangkutan bahan baku dan distribusi produk.

3. Biaya transpor (imperfect mobility of good and service). Pilar ini adalah yang paling kasat mata mempengaruhi aktivitas perekonomian. Implikasinya adalah biaya yang terkait dengan jarak dan lokasi tidak dapat lagi diabaikan dalam proses produksi dan pembangunan wilayah.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan wilayah antara lain dipengaruhi oleh aspek-aspek keputusan lokasional, terbentuknya sistem perkotaan, dan mekanisme aglomerasi. Istilah pertumbuhan wilayah dan perkembangan wilayah sesungguhnya tidak bermakna sama. Pertumbuhan dan perkembangan wilayah merupakan suatu proses kontinu hasil dari berbagai pengambilan keputusan di dalam ataupun yang mempengaruhi suatu wilayah.

Dalam pengembangan wilayah, pengembangan tidak dapat dilakukan serentak pada semua sektor ekonomi akan tetapi diprioritaskan pada pengembangan sektor–sektor ekonomi yang memiliki potensi berkembangnya cukup besar. Karena sektor yang memiliki potensi berkembang cukup besar diharapkan dapat tumbuh dan berkembang pesat yang akan merangsang sektor– sektor lain yang terkait untuk berkembang mengimbangi perkembangan sektor potensial tersebut. Pertumbuhan yang cepat dari sektor potensial tersebut akan

(21)

mendorong polarisasi dari unit–unit ekonomi lainnya yang pada akhirnya secara tidak langsung sektor ekonomi lainnya akan mengalami perkembangan.

Jadi pengembangan suatu sektor potensial dapat menciptakan peluang bagi berkembangnya sektor lain yang terkait, baik sebagai input bagi sektor potensial maupun sebagai imbas dari meningkatnya kebutuhan tenaga kerja sektor potensial yang mengalami peningkatan pendapatan. Hal ini yang memungkinkan pengembangan sektor potensial dilakukan sebagai langkah awal dalam pengembangan perekonomian wilayah dan pengembangan wilayah sekitarnya.

Peranan industri dalam pertumbuhan wilayah secara jelas dikemukakan oleh Yeates dan Gardner (Arifin, 1997), bahwa kegiatan industri merupakan salah satu faktor penting dalam mekanisme perkembangan dan pertumbuhan wilayah. Hal ini disebabkan adanya efek multiplier dan inovasi yang ditiimbulkan oleh kegiatan industri yang berinteraksi dengan potensi dan kendala yang dimiliki wilayah. Seorang pakar ekonomi Rusia (Rostow), juga mengatakan bahwa tahap tinggal landas dalam pembangunan ekonomi ditandai oleh pertumbuhan yang pesat pada satu atau beberapa sektor industri (Rostow dalam Jhingan, 1990).

Hubungan antara industri dan wilayah adalah bervariasi antar berbagai wilayah. Pertama yaitu adanya keterkaitan dengan lingkungan, meningkatkan kesempatan kerja, kebutuhan akan bahan baku, sumberdaya alam dan manusia, serta perbandingan keuntungan nasional dan internasional dalam penggunaannya pda berbagai industri. Kedua, dalam kaitannya dengan industri sendiri yang meliputi :

1. Kepentingan industri dan fungsi yang berkaitan dengan berbagai elemen

(22)

tangga, penggandaan antar sektor, pendapatan sektor ekspor dan penggunaan lahan dari berbagai kegiatan ekonomi.

2. Organisasi sistem dalam arti kepemilikan, pengendalian, skala ekonomi,

teknologi, kapitalisasi dan keterkaitan antara organisasi.

3. Dinamika sistem , terlihat dari adanya pertumbuhan, perkembangan, stagnasi,

kemunduran dan stagnasi, kemunduran dan restrukturisasi yang dihasilkan dari kombinasi kelahiran, migrasi masuk, migrasi keluar atau perubahan laian terhadap kondisi perusahaan yang ada.

4. Tipe industri seperti terlihat pada sektor ekonomi fungsi industri dalam mata

ranatai produksi, serta tempatnya dalam, divisi tenaga kerja baik secara nasional maupun internasional

Ketiga, adanya dampak dari sistem industri dan dinamikanya terhadap kulitas ekonomi, sosial, fisik dan komponen terbangun dari lingkungan masyarakat, khususnya kondisi pasar tenaga kerja, pendapatan riil, kesejahteraan, dan sejenisnya. Untuk dapat mengatasi persoalan yang akan ditimbulkan oleh pembangunan industri, pemerintah daerah perlu mengetahui gambaran menyeluruh mengenai industri itu sendiri seta dampak-dampak yang mungkin ditimbulkan.

2.6. Kerangka Pemikiran

Pengembangan produk unggulan industri kecil di Kota Tebing Tinggi memerlukan upaya peningkatan nilai tambah dan daya saing. Guna melihat apakah sistem industri roti kacang sudah efisien dan mampu hidup tanpa bantuan

(23)

menggunakan rasio biaya sumberdaya domestik (DRC) usaha roti kacang di Kota Tebing Tinggi

Industri roti kacang perlu ditingkatkan usahanya agar dapat dapat berkembang secara maksimal dan mampu bersaing dengan industri sejenis lainnya. Komponen-komponen kunci pengembangan perlu diidentifikasi untuk dapat mengetahui komponen atau bagian yang harus di kembangkan untuk memberdayakan industri kecil tersebut. Dengan potensi yang dimiliki serta bantuan pengembangan yang tepat dan berkesinambungan, maka diharapkan industri roti kacang dapat menjadi produk unggulan lokal di Kota Tebing Tinggi.

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian Potensi Industri Roti Kacang

Pengembangan Wilayah Kota Tebing Tinggi Kota Tebing Tinggi

Rasio Sumberdaya domestik Strategi Pengembangan Industri Roti Kacang

Analisis DRC

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian Potensi Industri Roti Kacang

Referensi

Dokumen terkait

saat buka dan tutupnya gudang-gudang pembelian tembakau di masing-masing tempat yang tidak diinformasikan terlebih dulu (Solfiah, 2009). Rusaknya harga tembakau di

Dari gambar 3 diperoleh bahwa kecepatan pengambilan data secara simulasi relatif konstan dengan sedikit penurunan yang diakibatkan karena proses pada server, perangkat

Berdasarkan uraian latar belakang serta perbedaan hasil penelitian yang dikemukakan oleh beberapa peneliti, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang

• Pengampunan Pajak berupa sanksi terkait UU PPh, UU Pajak atas kekayaan, UU Nilai Tukar, dan UU Perseroan diberikan kepada WP OP dan WP Badan di dalam negeri dan Luar Negeri yang

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kebersyukuran pada buruh gendong yang ditinjau melalui aspek kebersyukuran. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif

Bidang adalah Bidang-Bidang pada Dinas Daerah Kabupaten Buleleng yang dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Dinas melalui

Dengan memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa penyusun dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah yang berjudul “Lari Jarak Jauh” dengan

Berdasarkan analisis potensi dan permasalahan yang telah dilakukan pada bab sebelumnya, maka, untuk mengetahui strategi pengembangan industri daerah di Kabupaten