• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Tentang Implementasi

Implementasi berasal dari bahasa Inggris yaitu implement yang berarti mengimplementasikan. Implementasi merupakan penyediaan sarana untuk melaksanakan sesuatu yang menimbulkan dampak atau akibat terhadap sesuatu. Sesuatu tersebut dilakukan untuk menimbulkan dampak atau akibat itu dapat berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Putusan Pengadilan dan kebijakan yang dibuat oleh lembaga-lembaga pemerintah dalam kehidupan kenegaraan. (http://rimaru.web.id/pengertian-implementasi-menurut-beberapa-ahli/ diakses tanggal 16/062016 pukul 13:24). Implementasi di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai pelaksanaan dan penerapan, dimana kedua hal ini bermaksud untuk mencari bentuk tentang hal yang disepakati terlebih dahulu. Implementasi adalah proses untuk memastikan terlaksananya suatu kebijakan dan tercapainya kebijakan tersebut. Implementasi juga dimaksudkan menyediakan sarana untuk membuat sesuatu dan memberikan hasil yang bersifat praktis terhadap sesama.

Menurut Nurdin Usman, implementasi adalah bermuara pada aktivitas, aksi, tindakan, atau adanya mekanisme suatu sistem. Implementasi bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan untuk mencapai tujuan kegiatan (Nurdin Usman, 2002 : 70). Sementara itu pengertian implementasi menurut Mazmanian dan Sabatier adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau

(2)

keputusan badan peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatas, menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk mengatur proses implementasinya. Proses ini berlangsung setelah melalui sejumlah tahapan tertentu, biasanya diawali dengan tahapan pengesahan Undang-Undang, kemudian output kebijakan dalam bentuk pelaksanaan keputusan oleh badan (instansi) pelaksanaan, kesediaan dilaksanakannya keputusan-keputusan tersebut oleh kelompok-kelompok sasaran, dampak nyata; baik yang dikehendaki atau yang tidak dari output tersebut, dampak keputusan sebagai dipersepsikan oleh badan-badan yang mengambil keputusan, dan akhirnya perbaikan-perbaikan penting (atau upaya untuk melakukan perbaikan-perbaikan) terhadap Undang-Undang atau Peraturan yang bersangkutan (Wahab, 2005 : 68).

Berdasarkan pengertian-pengertian implementasi diatas dapat dikatakan bahwa implementasi adalah tindakan-tindakan yang dilakukan pihak-pihak yang berwenang atau kepentingan baik pemerintah maupun swasta yang bertujuan untuk mewujudkan cita-cita atau tujuan yang telah ditetapkan. Implementasi dengan berbagai tindakan yang dilakukan untuk melaksanakan atau merealisasikan program yang telah disusun demi tercapainya tujuan dari program yang telah direncanakan karena pada dasarnya setiap rencana yang ditetapkan memiliki tujuan atau target yang hendak dicapai.

Mengenai implementasi hukum berarti berbicara mengenai pelaksanaan hukum itu sendiri dimana hukum diciptakan untuk dilaksanakan. Hukum tidak bisa lagi disebut sebagai hukum, apabila tidak pernah dilaksanakan. Pelaksanaan hukum selalu melibatkan manusia dan tingkah lakunya. Lembaga kepolisian diberi tugas untuk menangani pelanggaran hukum, kejaksaan disusun dengan tujuan

(3)

untuk mempersiapkan pemeriksaan perkara di depan sidang pengadilan. Menurut Chambliss dan Seidman yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo (Satjipto Rahardjo, 1980 : 129), ada 2 faktor yang menentukan tugas pengadilan, yaitu:

1) Tujuan yang hendak dicapai oleh penyelesaian sengketa itu; 2) Tingkat pelapisan yang terdapat di dalam masyarakat.

Penyelesaian sengketa dalam masyarakat modern saat ini mengutamakan penerapan sanksi dari Undang-Undang yang ada. Berbeda dengan masyarakat sederhana yang masih mengedepankan musyawarah dan mufakat. Dikemukakan oleh Marwan Mas (Marwan Mas, 2004 : 65) penyelesaian konflik ada 2, yaitu:

1) Penyelesaian secara litigasi yaitu penyelesaian konflik yang dilakukan melalui pengadilan.

2) Penyelesaian secara nonlitigasi yaitu penyelesaian konflik yang dilakukan di luar pengadilan yang terbagi atas 4 jenis, yaitu:

a) Perdamaian (settlement): dilakukan sendiri oleh pihak-pihak bersengketa.

b) Mediasi (mediation): dilakukan oleh para pihak dengan menggunakan jasa pihak ketiga (tidak formal) sebagai mediator.

c) Konsiliasi (conciliation): dilakukan oleh para pihak dengan menggunakan pihak ketiga yang ditunjuk secara formal (ditunjuk oleh Mahkamah Agung).

d) Arbitrase (arbitration): dilakukan oleh para pihak dengan menggunakan pihak ketiga yang ditunjuk secara formal oleh Undang-undang dan kedudukannya mandiri.

(4)

2. Tinjauan Tentang Perjanjian a. Pengertian Perjanjian

Pengertian perjanjian diatur di dalam Buku III KUH Perdata Pasal 1313, adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Definisi tersebut dianggap memiliki kelemahan karena di satu pihak kurang lengkap dan dipihak lainnya terlalu luas. Dikatakan kurang lengkap karena hanya merumuskan perjanjian sepihak saja, padahal dalam kehidupan sehari-hari di samping perjanjian sepihak juga dapat dijumpai suatu perjanjian yang para pihaknya mempunyai hak dan kewajiban. Perjanjian inilah yang disebut dengan perjanjian timbal-balik. Perjanjian timbal-balik ini juga merupakan perjanjian yang seharusnya tercakup dalam batasan perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut (Purwahid Patrik, 1994 : 45).

Dikatakan terlalu luas, karena perjanjian menurut pasal tersebut diartikan sebagai suatu perbuatan. Apabila setiap perjanjian dikatakan sebagai suatu perbuatan, maka segala perbuatan baik yang bersifat hukum atau tidak, dapat dimasukkan dalam suatu perjanjian, misalnya perbuatan melawan hukum, perwakilan sukarela dan hal-hal mengenai janji kawin (Purwahid Patrik, 1994 : 46). Sehingga selanjutnya para ahli hukum mulai memberikan definisi terhadap perjanjian untuk menyempurnakan arti yang didapat dari KUH Perdata.

Subekti memberikan definisi perjanjian sebagai suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal (Subekti, 1998 : 1). Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih, berdasarkan kata sepakat untuk

(5)

menimbulkan akibat hukum (Sudikno Mertokusumo, 1991 : 97). Selanjutnya menurut Handri Raharjo perjanjian adalah

“Suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang didasari kata sepakat antara subyek hukum yang satu dengan yang lain, dan diantara mereka (para pihak/subyek hukum) saling mengikatkan diri sehingga subyek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subyek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum” (Handri Raharjo, 2009 : 42 ).

Ditentukan di dalam Pasal 1233 KUH Perdata, perjanjian melahirkan perikatan, yang menciptakan kewajiban pada salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian. Debitur dibebankan kewajiban untuk memberikan hak kreditur dalam perjanjian untuk menuntut pelaksanaan prestasi dalam perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut. Pelaksanaan prestasi dalam perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian adalah pelaksanaan dari perikatan yang terbit dari perjanjian tersebut. Dalam hal debitur tidak melaksanakan perjanjian yang telah disepakati, maka kreditur berhak menuntut pelaksanaan kembali perjanjian yang belum, tidak sepenuhnya atau tidak sama sekali dilaksanakan atau telah dilaksanakan secara bertentangan atau tidak sesuai dengan yang diperjanjikan, dengan atau tidak disertai dengan perjanjian berupa bunga kerugian, dan biaya yang telah dikeluarkan oleh kreditur.

Perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu, yang pada umumnya dapat dibuat secara lisan dan bila dibuat secara tertulis, perjanjian bersifat sebagai alat pembuktian apabila terjadi perselisihan. Hukum perjanjian dibicarakan sebagai bagian dari pada hukum perikatan, sedangkan hukum perikatan adalah bagian dari pada hukum kekayaan, maka hubungan yang timbul antara para pihak di dalam perjanjian adalah hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan,

(6)

maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian menimbulkan perikatan (J. Satrio, 2012 : 28).

Dari berbagai pemaparan di atas, dapat dikatakan bahwa perjanjian adalah salah satu sumber utama dari perikatan. Karena itu, dapat dikatakan juga bahwa perjanjian sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 1313 KUH Perdata adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan atau perjanjian obligatoir. Seperti yang dimaksud di atas, perikatan merupakan hubungan hukum antara dua pihak atau lebih dalam lapangan hukum kekayaan, dimana pada satu pihak memiliki hak dan pihak yang lain memiliki kewajiban. Dalam hal ini berarti perjanjian yang dimaksud oleh Pasal 1313 KUH Perdata menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban.

Terhadap perjanjian tersebut dapat diterapkan ketentuan-ketentuan buku III KUH Perdata maka perjanjian tersebut harus merupakan perjanjian yang bersifat hukum perdata. Perjanjian-perjanjian yang bersifat publik mempunyai pengaturannya sendiri di luar KUH Perdata.

b. Syarat Sahnya Perjanjian

Syarat sahnya perjanjian dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata yang menyatakan:

“Untuk sahnya perjanjian-perjanjian diperlukan empat syarat: 1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; 2. kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; 3. suatu pokok persoalan tertentu;

4. suatu sebab yang tidak terlarang.”

Di bawah ini adalah uraian dari syarat sahnya suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata:

1) Sepakat mereka yang mengikatkan diri

Adapun yang dimaksud dengan kata sepakat disini adalah penyesuaian kehendak antara para pihak mengenai

(7)

hal-hal yang menjadi pokok perjanjian, apa yang dikehendaki pihak yang satu disetujui oleh pihak yang lain (Purwahid Patrik, 1994 : 55).

Mengenai kata sepakat ini di dalam KUH Perdata tidak ada pengaturannya lebih lanjut, KUH Perdata dalam Pasal 1321 hanya mengenai tidak adanya kata sepakat yang diberikan karena kekhilafan atau adanya paksaan atau penipuan.

Berdasarkan yang tercantum dalam Pasal 1321 KUH Perdata, jika dalam suatu perjanjian terdapat unsur-unsur paksaan, kekhilafan atau penipuan, berarti perjanjian tersebut tidak mempunyai unsur kata sepakat. Karena kata sepakat merupakan salah satu syarat untuk sahnya perjanjian, maka perjanjian yang dibuat dengan tidak ada kata sepakat mengakibatkan tidak sahnya perjanjian itu. 2) Adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

Menurut Pasal 1329 KUH Perdata disebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika oleh Undang-Undang tidak dinyatakan tidak cakap. Kecakapan ini diperlukan mengingat bahwa orang yang membuat suatu perjanjian itu nantinya akan terikat, oleh karena itu ia harus mampu untuk menyadari benar-benar akan tanggung jawab atau perbuatannya itu dan ia harus sungguh-sungguh bebas atas harta kekayaannya (Subekti, 1998 : 18).

Dari sudut keadilan, orang yang membuat suatu perjanjian nantinya akan terikat oleh perjanjian itu, sepantasnya mempunyai cukup kemampuan untuk menyadari benar-benar akan tanggung jawab yang

(8)

dipikulnya dengan perbuatannya. Sedangkan dari sudut ketertiban umum, karena yang membuat suatu perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya. Maka orang tersebut haruslah seorang yang sungguh-sungguh berhak bebas berbuat dengan harta kekayaannya.

Orang yang tidak sehat pikirannya tidak mampu menyadari tanggung jawab yang dipikul oleh seorang yang mengadakan suatu perjanjian. Orang yang ditaruh dibawah pengampuan, kedudukannya sama dengan seorang anak yang belum dewasa yang harus diwakili pengampu atau kuratornya (Subekti, 1998 : 19).

KUH Perdata tidak mengatur lebih lanjut mengenai siapa yang cakap bertindak. Dalam KUH Perdata Pasal 1330 hanya menyebutkan siapa yang tidak cakap untuk membuat perikatan adalah:

1. orang-orang yang belum dewasa;

2. mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;

3. orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang dan pada umumnya semua membuat persetujuan-persetujuan tersebut. Di Indonesia tidak berlaku lagi berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 yang menyatakan pasal-pasal 108 dan 110 B.W. tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di muka Pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suami. Dengan demikian tentang hal ini tidak ada lagi perbedaan diantara semua warga negara Indonesia.

(9)

3) Adanya obyek tertentu

Pasal 1222 KUH Perdata menjelaskan maksud hal tertentu yaitu:

“Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung”.

Nampaknya dalam KUH Perdata hanya menekankan pada perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu. Namun demikian jika diperhatikan lebih lanjut, rumusan tersebut hendak menegaskan kepada kita semua bahwa apapun jenis perikatannya, baik itu perikatan untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu. KUH Perdata hendak menjelaskan, bahwa semua jenis perikatan tersebut pasti melibatkan keberadaan atau eksistensi dari suatu kebendaan yang tertentu (Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2004: 155).

4) Adanya sebab yang halal

Sebab atau kausa disini menurut Achmad Ichsan (Achmad Ichsan 1982 : 19), ialah apa yang menjadi isi nurani dari pihak-pihak dalam persetujuan tersebut, maksudnya motif dari persetujuan atas dasar mana pihak yang bersangkutan menghendaki persetujuan itu.

Dilihat dari syarat-syarat sahnya perjanjian ini, dibedakan bagian perjanjian, yaitu bagian inti (wanzenlijke oordeel), sub bagian inti disebut esensialia dan bagian yang bukan inti disebut naturalia dan aksidentalia (Mariam Darus Badrulzaman, 2005 : 25):

(10)

1. Esensialia

Bagian ini merupakan sifat yang harus ada di dalam perjanjian, sifat yang menentukan atau menyebabkan perjanjian itu tercipta (constructieve oordeel)

2. Naturalia

Bagian ini merupakan sifat bawaan (natuur) perjanjian sehingga secara diam-diam melekat pada perjanjian, seperti menjamin tidak ada cacat dari benda yang dijual (vrijwaring)

3. Aksidentalia

Bagian ini merupakan sifat yang melekat pada perjanjian yang secara tegas diperjanjikan oleh para pihak.

Mengenai orang-orang yang belum dewasa telah ditentukan dalam Pasal 1848 KUH Perdata yang menentukan bahwa belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa (Purwahid Patrik, 1994: 62).

c. Asas-Asas Dalam Perjanjian

Perjanjian dibuat dengan pengetahuan dan kehendak bersama dari para pihak, dengan tujuan untuk menciptakan atau melahirkan kewajiban pada salah satu atau kedua belah pihak yang membuat perjanjian tersebut. Dengan demikian, perjanjian sebagai sumber perikatan berbeda dari sumber perikatan lain, yaitu undang-undang, berdasarkan pada sifat kesukarelaan dari pihak yang berkewajiban untuk melakukan prestasi terhadap lawan pihaknya dalam perikatan tersebut. Dalam perjanjian, pihak yang wajib untuk

(11)

melakukan suatu prestasi, dalam hal ini debitur, dapat menentukan terlebih dahulu dengan menyesuaikan pada kemampuannya untuk memenuhi prestasi dan untuk menyelaraskan dengan hak dan kewajiban yang pada lawan pihaknya, apa, kapan, di mana dan bagaimana ia akan memenuhi prestasinya tersebut (Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2004: 14).

Menurut Salim HS (Salim HS., 2003: 9) asas-asas dalam hukum perjanjian yaitu:

1) Asas Kebebasan Berkontrak

Asas ini bermakna bahwa setiap orang bebas membuat perjanjian dengan siapa pun, apa pun isinya, apa pun bentuknya sejauh tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan (R. Subekti, 1987: 13-14). Asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada para pihak untuk

a) Membuat atau tidak membuat perjanjian; b) Mengadakan perjanjian dengan siapa pun; c) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan

persyaratannya;

d) Menentukan bentuknya perjanjian yaitu secara tertulis atau lisan.

2) Asas Konsensualisme

Perjanjian lahir atau terjadi dengan adanya kata sepakat (Pasal 1320, Pasal 1338 KUH Perdata). Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan kemauan para pihak. 3) Asas Mengikatnya Suatu Perjanjian (Pacta Sunt

(12)

Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya (Pasal 1338 angka (1) KUH Perdata).

4) Asas Itikad Baik (Togoe Dentrow)

Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik (Pasal 1338 angka (3) KUH Perdata).

5) Asas Kepribadian (Personalitas)

Pada umumnya tidak seorang pun dapat mengadakan perjanjian kecuali untuk dirinya sendiri. Pengecualiannya terdapat di dalam Pasal 1317 KUH Perdata tentang janji untuk pihak ketiga (Handri Raharjo, 2009 : 43-45).

3. Tinjauan Tentang Perjanjian Kredit a. Pengertian Perjanjian Kredit

Perjanjian kredit dapat dilihat dalam Pasal 1754-1769 KUH Perdata termasuk ke dalam kategori perjanjian pinjam meminjam. Pasal 1754 KUH Perdata menegaskan dengan bunyi: pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula (Sutarno, 2004 : 97).

Perjanjian kredit perbankan di Indonesia mempunyai arti yang khusus dalam rangka pembangunan, tidak merupakan perjanjian pinjam-meminjam uang yang biasa. Perjanjian kredit menyangkut kepentingan nasional (Mariam Darus Badrulzaman, 2005 : 105). Secara etimologi istilah kredit berasal dari bahasa Latin “credere”, yang berarti kepercayaan. Hal ini menunjukkan, bahwa yang menjadi dasar pemberian kredit oleh bank kepada nasabah debitur adalah

(13)

kepercayaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, salah satu pengertian kredit adalah pinjaman uang dengan pembayaran pengembalian secara mengangsur atau pinjaman sampai batas jumlah tertentu yang diijinkan oleh bank atau badan lain. Pengertian kredit tersebut menunjukkan, bahwa prestasi yang wajib dilakukan oleh debitur atas kredit yang diberikan kepadanya adalah tidak semata-mata melunasi hutangnya, tetapi juga disertai dengan bunga sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati sebelumnya (Hermansyah, 2005 : 55).

Menurut Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan) sebagai berikut :

“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Kemudian yang dimaksud dengan Perjanjian Kredit adalah perjanjian pemberian kredit antara pemberi kredit dan penerima kredit. Setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati antara pemberi kredit dan penerima kredit wajib dituangkan dalam bentuk perjanjian kredit.”

b. Pengertian Kredit Macet

Perkembangan pemberian kredit yang paling tidak menggembirakan bagi pihak bank adalah apabila kredit yang diberikannya ternyata menjadi kredit bermasalah. Hal ini terutama disebabkan oleh kegagalan pihak debitur memenuhi kewajibannya untuk membayar angsuran (cicilan) pokok kredit beserta bunga yang telah disepakati kedua belah pihak dalam perjanjian kredit (Lukman, 2001 : 85).

Kredit macet adalah suatu keadaan dimana nasabah sudah tidak sanggup membayar sebagian atau seluruh kewajibannya kepada

(14)

bank seperti yang telah diperjanjikan (Mudrajad Kuncoro dan Suhardjono, 2002 : 462).

Ada beberapa pengertian kredit macet yaitu:

1) Kredit yang di dalam pelaksanaannya belum mencapai atau memenuhi target yang diinginkan oleh pihak kreditur;

2) Kredit yang memiliki kemungkinan timbulnya resiko di kemudian hari bagi kreditur dalam arti luas;

3) Mengalami kesulitan di dalam penyelesaian kewajiban- kewajibannya, baik dalam bentuk pembayaran kembali pokoknya dan atau pembayaran bunga, denda keterlambatan serta ongkos-ongkos kreditur yang menjadi beban nasabah yang bersangkutan;

4) Kredit dimana pembayaran kembalinya dalam bahaya, terutama apabila sumber-sumber pembayaran kembali yang diharapkan codmipmerikt itroakuasner tidak cukup untuk membayar kembali kredit sehingga belum mencapai/memenuhi target yang diinginkan oleh kreditur;

5) Kredit dimana terjadi cidera janji dalam pembayaran kembali sesuai perjanjian, sehingga terdapat tunggakan, atau ada potensi kerugian di perusahaan nasabah sehingga memiliki kemungkinan timbulnya resiko di kemudian hari bagi kreditur dalam arti luas;

6) Mengalami kesulitan di dalam penyelesaian kewajiban- kewajibannya terhadap kreditur, baik dalam bentuk pembayaran kembali pokoknya, pembayaran bunga, pembayaran ongkos-ongkos kreditur yang menjadi beban nasabah yang bersangkutan; dan

(15)

7) Kredit golongan perhatian khusus, kurang lancar, diragukan, dan macet serta golongan lancar yang berpotensi menunggak

(http://id.shvoong.com/businessmanagement/investing/2 195291-pengertian-kredit-bermasalah/#ixzz1gbv4SOTP diakses pada Kamis, 31 Januari 2016, 07:25).

c. Fungsi Perjanjian Kredit

Fungsi-fungsi perjanjian kredit yaitu (Gatot Wardoyo, 1992 : 64-69):

a) Perjanjian kredit sebagai alat bukti bagi kreditur dan debitur yang membuktikan adanya hak dan kewajiban timbal balik antara bank sebagai kreditur dan debitur. Hak debitur adalah menerima pinjaman dan menggunakan sesuai tujuannya. Dan kewajiban debitur adalah mengembalikan hutang tersebut baik pokok dan bunga sesuai waktu yang ditentukan. Hak kreditur adalah untuk mendapat pembayaran kembali pokok dan bunga. Kewajiban kreditur adalah meminjamkan sejumlah uang kepada debitur.

b) Perjanjian kredit dapat digunakan sebagai alat atau sarana pemantauan atau pengawasan kredit yang sudah diberikan, karena perjanjian kredit berisi syarat dan ketentuan dalam pemberian kredit dan pengembalian kredit. Untuk mencairkan kredit dan penggunaan kredit dapat dibantu dari ketentuan perjanjian kredit.

c) Perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok yang menjadi dasar dari perjanjian ikutannya yaitu perjanjian pengikatan jaminan. Pemberian kredit pada umumnya dijamin dengan benda-benda bergerak atau benda tidak

(16)

bergerak milik debitur atau milik pihak ketiga yang harus dilakukan pengikatan jaminan.

d) Perjanjian kredit hanya sebagai alat bukti biasa yang membuktikan adanya hutang debitur artinya perjanjian kredit tidak mempunyai kekuatan eksekutorial atau tidak memberikan kekuasaan langsung kepada bank atau kreditur untuk mengeksekusi barang jaminan apabila debitur tidak mampu melunasi hutangnya (wanprestasi).

4. Tinjauan Tentang Jaminan Fidusia a. Pengertian Jaminan Fidusia

Berdasarkan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Jaminan Fidusia, definisi fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Sementara itu pengertian jaminan fidusia sendiri adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa fidusia merupakan pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda (Nur Amin Solikhah, Pranoto, dan Al. Sentot Sudarwanto, 2015 : 9).

Gatot Wardoyo (Gatot Wardoyo, 1992 : 206) menyatakan unsur atau elemen pokok jaminan fidusia adalah:

(17)

2. Utang yang dijamin jumlahnya tertentu;

3. Obyek jaminan fidusia adalah benda bergerak berwujud maupun tidak berwujud, benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan yang penguasaan benda jaminan tersebut masih dalam kekuasaan pemberi fidusia;

4. Jaminan fidusia memberikan hak preferen atau hak diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur lain;

5. Hak milik atas benda jaminan berpindah kepada kreditur atas dasar kepercayaan tetapi benda tersebut masih dalam penguasaan pemilik benda.

b. Obyek Jaminan Fidusia

Hal-hal yang sangat khusus, atas satu obyek (benda) jaminan fidusia dapat diberikan lebih dari satu fidusia, yakni dalam hal pemberian kredit secara konsorsium (atau sindikasi). Namun demikian, perlu kejelasan benda yang bagaimanakah yang dapat menjadi obyek jaminan fidusia tersebut. Ketentuannya terdapat antara lain dalam Pasal 1 angka (4), Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 20 UUJF. Benda-benda yang menjadi obyek jaminan fidusia tersebut adalah sebagai berikut:

(1) Benda tersebut harus dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum;

(2) Dapat atas benda berwujud;

(3) Dapat juga atas benda tidak berwujud, termasuk piutang;

(4) Benda bergerak;

(5) Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hak tanggungan;

(18)

(6) Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikatkan dengan hipotik;

(7) Baik atas benda yang sudah ada maupun terhadap benda yang akan diperoleh kemudian. Dalam hal benda yang akan diperoleh kemudian, tidak diperlukan suatu akta pembebanan fidusia tersendiri;

(8) Dapat atas satu satuan atau jenis benda;

(9) Dapat juga atas lebih dari satu jenis atau satuan benda; (10) Termasuk hasil dari benda yang telah menjadi obyek

fidusia;

(11) Termasuk juga hasil klaim asuransi dari benda yang menjadi obyek jaminan fidusia;

(12) Benda persediaan (inventory, stock perdagangan) dapat juga menjadi obyek jaminan fidusia (Munir Fuady, 2000 : 22).

Pembebanan fidusia yang berobyekkan barang persediaan ini, dalam hukum Anglo Saxon dikenal dengan nama Floating Loan atau Floating Charge. Disebut dengan “floating” (mengambang) karena jumlahnya benda yang menjadi obyek jaminan sering berubah-ubah sesuai dengan persediaan stok mengikuti irama pembelian dan penjualan dari benda tersebut (Munir Fuady, 2000 : 23).

c. Prosedur Pembebanan Fidusia

Tahap-tahap pembebanan fidusia adalah rangkaian perbuatan hukum dari dibuatnya perjanjian pokok yang berupa perjanjian kredit atau perjanjian utang, pembuatan akta Jaminan Fidusia sampai dilakukan pendaftaran di Kantor Pendaftaran Fidusia dengan mendapat sertifikat jaminan fidusia. Rangkaian perbuatan hukum tersebut memerlukan beberapa tahap sebagai berikut (Fatma Paparang, 2014 : 59):

(19)

1. Tahap Pertama yaitu Pembebanan

Sesuai dengan Pasal 5, 6, 7, menekankan mekanisme pembebanan yaitu kedua belah pihak bersepakat datang kepada notaris untuk membuat perjanjian fidusia. Tahapan pembebanan yaitu persetujuan dari kedua belah pihak untuk mengikatkan diri dalam perjanjian fidusia. Dalam pasal perjanjian kredit harus dirumuskan utang yang pelunasannya dijamin fidusia dengan contoh perumusan. Untuk lebih menjamin pembayaran kembali pinjaman, baik hutang pokok, bunga, dan denda serta biaya-biaya lainnya oleh debitur kepada kreditur berdasarkan perjanjian kredit ini, termasuk segala perubahannya apabila ada, debitur memberikan jaminan berupa benda-benda bergerak yang akan dilakukan pembebanan dengan Jaminan Fidusia. Selanjutnya di tahap ini ada tahap pendaftaran yaitu pendaftaran yang dilakukan oleh kantor Departemen Hukum dan HAM terkait dengan jaminan fidusia. Tahap pembebanan diatur dalam Pasal 4, 5, dan 6 UUJF. Sebagai perjanjian ikutan (acesoir) Jaminan Fidusia timbul oleh karena adanya perjanjian pokok.

2. Tahap Kedua, yaitu Penentuan tentang Hutang yang Dapat Dijamin

Proses selanjutnya yaitu ketika kedua belah pihak datang kepada notaris, maka pihak notaris akan melihat dan menentukan hutang yang dapat dijamin sebagaimana sudah diatur dalam perundang-undangan fidusia Nomor 42 tahun 1999. Pentingnya penentuan hutang yang dapat dijamin, karena tidak semua benda terutama benda tidak bergerak boleh dijaminkan dengan fidusia. Dalam proses ini, notaris akan melihat aturan-aturan yang terkait dengan kriteria dan sistem penjaminan.

(20)

3. Tahap Ketiga, yaitu Pemberian Sertifikat Jaminan Fidusia

Tahap penting dalam pembebanan jaminan fidusia yaitu pemberian Akta Jaminan Fidusia. Dengan pemberian Akta Jaminan Fidusia, kedua belah pihak telah terikat pada perjanjian jaminan penjaminan fidusia. Aspek-aspek yang termuat dalam perjanjian sesuai dengan Pasal 6 yaitu :

a) identifikasi pemberi dan penerima jaminan fidusia; b) data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;

c) uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia;

d) nilai penjamin; dan

e) nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia. 4. Tahap Keempat, yaitu Pendaftaran Fidusia

Untuk semakin mempertegas proses pendaftaran jaminan fidusia, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 86 tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia yang termuat dalam Pasal 2 sebagai berikut:

a. Permohonan pendaftaran jaminan fidusia diajukan kepada Menteri.

b. Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam angka (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia melalui kantor oleh penerima fidusia, kuasa atau wakilnya dengan melampirkan pernyataan pendaftaran jaminan fidusia.

c. Permohonan pendaftaran jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam angka (2) dikenakan biaya yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah tersendiri mengenai penerimaan negara bukan pajak.

(21)

d. Permohonan pendaftaran jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam angka (2) dilengkapi dengan:

1) salinan akta notaris tentang pembebanan jaminan fidusia

2) surat kuasa atau surat pendelegasian wewenang untuk melakukan pendaftaran jaminan fidusia

3) bukti pembayaran biaya pendaftaran jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam angka (3)

e. Pernyataan pendaftaran jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam angka (2) dilakukan dengan mengisi formulir yang bentuk dan isinya ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Pendaftaran jaminan fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia tersebut untuk memenuhi asas publisitas yang artinya dengan pendaftaran itu masyarakat dapat mengetahui setiap saat dengan melihat di Kantor Pendaftaran Fidusia apakah benda-benda telah dibebani dengan jaminan fidusia atau belum. Dengan asas publisitas dapat memberikan kepastian terhadap kreditur lainnya mengenai benda yang telah dibebani jaminan fidusia. Pasal 18 UUJF sebagai perwujudan dari asas publisitas menegaskan bahwa segala keterangan mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia yang ada pada kantor pendaftaran fidusia untuk umum.

d. Hapusnya Jaminan Fidusia

Mengenai hapusnya jaminan fidusia undang-undang fidusia telah menetapkan peristiwa-peristiwa yang menyebabkan hapusnya jaminan fidusia yaitu:

a. Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia

Sesuai sifat jaminan fidusia yang merupakan ikutan atau accessoir dari perjanjian pokok yaitu perjanjian kredit

(22)

atau perjanjian utang artinya ada atau tidaknya jaminan fidusia tergantung perjanjian utangnya. Jadi apabila utang telah dilunasi maka perjanjian kredit menjadi berakhir sehingga otomatis jaminan fidusia yang keberadaannya atau eksistensinya tergantung dari perjanjian kredit atau perjanjian utang menjadi hapus juga.

Hapusnya utang dapat disebabkan berbagai hal misalnya karena ada pelunasan utang atau penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penyimpanan atau novasi/pembaruan utang atau pembebasan utang dan lain-lain. Hapusnya jaminan fidusia yang disebabkan hapusnya utang karena pembayaran/pelunasan utang merupakan cara yang paling banyak terjadi. Adanya pelunasan hutang dapat dibuktikan dari keterangan tertulis dari kreditur. Hapusnya utang mengakibatkan hapusnya jaminan fidusia sebagai hak accessoir.

b. Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia (kreditur)

Kreditur sebagai penerima fidusia dapat saja melepaskan jaminan fidusia artinya kreditur tidak menginginkan lagi benda yang menjadi obyek jaminan fidusia menjadi jaminan lagi, misalnya karena terjadi penggantian jaminan sehingga jaminan lama dihapuskan. Hapusnya jaminan fidusia karena dilepaskan oleh kreditur sebagai penerima fidusia dapat dilakukan dengan keterangan atau pernyataan tertulis dari kreditur yang diberikan kepada debitur atau pemberi fidusia. Keterangan tertulis dari kreditur ini diperlukan sebagai bukti untuk melakukan roya

(23)

jaminan fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia agar beban jaminan fidusia pada benda tersebut menjadi bebas kembali. c. Musnahnya benda yang menjadi obyek jaminan fidusia

Obyek jaminan fidusia berupa benda bergerak berwujud, benda bergerak tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan. Apabila benda yang obyek jaminan fidusia tersebut musnah disebabkan misalnya karena kebakaran, hilang dan penyebab lainnya maka jaminan fidusia menjadi hapus. Kalau benda yang menjadi obyek jaminan fidusia diasuransikan kemudian benda tersebut musnah maka dengan musnahnya benda tersebut tidak menghapuskan klaim asuransi. Dengan demikian hak-hak asuransi dapat dipakai sebagai pengganti obyek jaminan fidusia yang musnah sebagai sumber pelunasan hutang debitur. Perlu dipahami bahwa dengan musnahnya obyek jaminan fidusia tidak mengakibatkan hapusnya benda jaminan fidusia, tidak mengakibatkan utangnya yang dijamin, debitur tetap mempunyai kewajiban untuk melunasi hutangnya sesuai perjanjian kredit/perjanjian utang. Hapusnya jaminan fidusia tidak mengakibatkan perjanjian pokok tetapi hapusnya perjanjian kredit mengakibatkan hapusnya perjanjian jaminan fidusia (Fatma Paparang, 2014 : 56).

(24)

B. Kerangka Pemikiran

Keterangan:

Kerangka pemikiran diatas menjelaskan alur pemikiran penulis dalam mengangkat, menggambarkan, menelaah, dan menjabarkan serta menemukan jawaban atas permasalahan hukum yang diangkat oleh penulis.

Perjanjian kredit yang dilakukan oleh debitur dan kreditur yang sepakat untuk mengikatkan diri merupakan perjanjian yang mensyaratkan adanya jaminan di dalam pemberian kredit. Hal itu dilakukan oleh bank selaku kreditur untuk memenuhi asas-asas perkreditan. Dari perjanjian kredit yang mengharuskan adanya jaminan ini maka lahir perjanjian jaminan fidusia.

Perjanjian Kredit

te

Jaminan Fidusia

Pengalihan Benda Jaminan Fidusia Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia Penyelesaian

(25)

Perjanjian kredit ini dalam pelaksanaannya menimbulkan permasalahan seperti adanya kredit macet pada benda jaminan fidusia yang tentunya merugikan kreditur apabila tidak dilakukan upaya penanganannya. Permasalahan lain yang muncul adalah dengan benda jaminan fidusia yang masih dikuasai oleh debitur, maka terjadi sebuah pelanggaran dengan mengalihkan benda jaminan fidusia kepada pihak lain. Debitur tentu sangat dirugikan dalam hal ini. Sehingga bank sebagai kreditur tentu mempunyai kebijakan yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia dalam mengahadapi permasalahan-permasalahan di atas.

Referensi

Dokumen terkait

Yakinkan bahwa buku kas telah ditutup per tanggal pemeriksaan dan semua bukti pengeluaran dan penerimaan telah dibukukan Bandingkan saldo kas menurut perhitungan kas dengan saldo

Walaupun akad garal ini akad yang legal dilakukan menurut ketentuan hukum adat, namun ada jugak beberapa tokoh gampong yang tidak sepakat dengan pelaksaan akad garal ini,

Contoh kromatogram hasil KKT sub fraksi semipolar ekstrak etanol herba meniran sub fraksi 1-17 dengan fase gerak n-heksan:etil asetat (3:1)), fase diam Silika GF 254,

memberikan manfaat diantaranya ajang silaturrahmi, menambah pengetahuan mengenai tradisi sendiri, pesta rakyat dan walaupun masih ada yang menganggap tradisi ini

Pengembangan ruang publik setidaknya mengedepankan empat atribut utama untuk menjadi destinasi yang menarik bagi masyarakat, yaitu (1) Aksesibilitas dimana suatu

Buku cerita bergambar untuk peningkatan moral anak-anak dengan pendekatan cerita rakyat ini bertujuan untuk membantu anak yang kedua orang tuanya bekerja, sehingga

Dari definisi ini menunjukkan bahwa suatu manajemen sumber daya manusia perlu diterapkan di lembaga sekolah, untuk meningkatkan kualitas sekolah.Hal yang harus

Hasil uji daya lekat dapat dilihat pada Tabel II, menunjukkan bahwa formula IV dengan konsentrasi minyak atsiri jahe 6,25%v/b memiliki daya lekat yang paling lama