• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Akad 1.1. Pengertian Akad

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "1. Akad 1.1. Pengertian Akad"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

14

Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup, setiap manusia perlu membuat kesepakatan atau dengan pihak lain dalam interaksi sosialnya sebagai anggota masyarakat. Kesepakatan atau perjanjian itu tidak dapat terlaksana tanpa ada kerjasama, tolong menolong dan pertukaran kebutuhan berupa barang dan jasa (manfaat). Kesepakatan atau perjanjian untuk melakukan tukar –menukar kebutuhan berupa barang atau jasa itu dalam Hukum Islam disebut akad.

Kata “akad” berasal dari bahasa Arab ‘aqada-ya’qidu- aqdan yang secara bahasa berarti membuat ikatan, perjanjian dan kesepakatan, baik ikatan itu secara konkrit (nyata) seperti mengikat tali, maupun secara abstrak (maknawi) seperti membuat ikatan atau kesepakatan jual beli (‘aqdu al-bai’), ikatan perkawinan (‘aqdu al-zawaj), ikatan atau kesepakatan sewa –menyewa (‘aqdu al-ijarah). Dalam bahasa Indonesia kata ‘aqdan ditulis menjadi “Akad”

Makna akad secara bahasa (etimologi) ini berkembang menjadi makna istilah (terminologi) dalam hukum Islam. Makna akad menurut istilah ulama secara umum berarti : “segala sesuatu yang diniatkan atau ditekadkan didalam hati setiap orang yang melakukannya, baik niat atau tekad itu muncul dari keinginan satu pihak tanpa membutuhkan persetujuan atau keinginan pihak lain, seperti niat atau tekad untuk mewakafkan sesuatu, keinginan atau tekad untuk membebaskan hutang dari seseorang, niat atau tekad untuk menjatuhkan talak, maupun niat

(2)

atau tekad itu muncul dari satu pihak dan membutuhkan persetujuan atau kesepakatan pihak lain, seperti akad jual beli, keinginan pembeli untuk membeli suatu barang atau jasa membutuhkan persetujuan atau kesepakatan penjual untuk menjual barang/jasanya pada harga yang disepakati bersama.

1.2. Rukun dan Syarat akad 1.2.1. Rukun Akad

Menurut mayoritas ulama syafi’iyah, malikiyah dan hanabilah, rukun akad ada tiga :

a) Al- Muta’aqidaini, dua pihak yang melakukan akad (subjek), kalau dalam akad al-ijarah terdiri dari pihak yang menyewakan dan pihak yang menyewa.

b) Al-Ma’qud ‘alaih, yaotu yang menjadi objek dalam akad, terdiri dari bang yang disewakan dan sewa.

c) Al-shighat, yaitu format akad yang terdiri dari ijab (kesediaan mengadaksan ikatan atau kesepakatan) dan qabul (kesediaan menerima ikatan atau kesepakatan).

Menurut ulama Hananfiyah, rukun akad hanya satu, yaitu shighat ijab dan qabul, yaitu ungkapan yang digunakan sebagai pernyataan dari kerelaan dan kemauan kedua pihak, baik berupa ucapan, maupun berupa perbuatan, tulisan atau isyarat (Bahar 2014, 4).

1.2.2. Syarat Akad

1.2.2.1. Aqid (orang yang berakat), pihak-pihak yang melakukan

(3)

objek akad itu merupakan milik orang yang belum cakap bertindak hukum, maka harus dilakukan oleh walinya(Haroen 2000, 101).

1.2.2.2. Ma’qud ‘alaih (objek akad), disyaratkan :

a) Sesuatu yang disyariatkan ada dalam akad, maka tidak sah melakukan akad terhadap sesuatu yang tidak ada, seperti jual beli buah-buahan masih dalam putik. Akan tetapi para fuqahah mengecualikan ketentuan ini untuk ada salam, ijarah, hibah, dan istisna’, meskipun barangnya belum ada ketika akad, akadnya sah karena dibutuhkan manusia.

b) Objek akad adalah sesuatu yang dibolehkan syariat, suci, tidak najis atau mutanajis (benda yang becampur najis). Tidak dibenarkan melakukan akad terhadap sesuatu yang dilarang agama (mal ghairu mutaqawwim) seperti jual beli darah, narkoba dan lain sebagainya

c) Objek akad dapat diserahterimakan dalam akad. Apabila barang tidak dapat diserah terimakan ketika akad, maka akadnya batal, seperti jual beli burung di udara

d) Objek yang diakadkan diketahui oleh kedua belah pihak yang berakat. Caranya dapat dilakukan dengan menunjukan barang atau mengetahui objek yang diakadkan.

e) Bermanfaat, baik manfaat yang akan diperoleh berupa materi ataupun immateri. Artinya, jelas kegunaan yang terkandung dari apa yang diakadkan tersebut.

(4)

1.2.3. Shighat akad, merupakan sesuatu yang bersumber dari dua orang yang akan melakukan akad yang menunjukan tujuan kehendak batin mereka yang mekukan akad. Sighat terdiri dari ijab dan qabul. Ijab dan qabul disyaratkan :

1.2.3.1. Jelas menunjukan ijab dan qabul, artinya masing-masing dari ijab dan qabul jelas menunjukan maksud dari kehendak dua orang yang berakad.

1.2.3.2. Bersesuaian antara ijab dan qabul. Kesesuaian itu dikembalikan kepada setiap yang diakadkan. Bila seeorang mengatakan jual maka jawabannya adalah beli atau sejenisnya. Bila tejadi perbedaan antara ijab dan qabul, akad tidak sah.

1.2.3.3. Bersambumng antara ijab dan qabul. Ijab dan qabul terjadi

pada satu tempat yang sama jika kedua belah pihak hadir bersamaan. Atau pada suatu tempat yang diketahui oleh pihak yang tidak hadir dengan adanya ijab(Rozalinda 2016, 51).

1.3. Bentuk Shighat (ijab dan qabul) :

Ungkapan tentang kehendak akad bisa diwujudkan dengan dengan menggunaa shighat yang menunjukan keinginan untuk membentuk suatu akad. Shighat tersebut bisa berbentuk ucapan , perbuatan, isyarah, atau tulisan.

1.3.1. Lafal atau ucapan

Lafal, ucapan atau perkataan merupakan cara alamiah untuk mengungkapkan kehendak yang terkandung dalam hati, yang banyak digunakan oleh manusia karena mudah dan jelas. Bahasa dan redaksi yang digunakan adalah bahasa dan redaksi yang dapat

(5)

dipahami oleh kedua belah pihak yang melakukan akad yang menunjukan kerelaan sesua dengan adat kebiasaan yang telah dikenal dan berlaku dikalangan masyarakat.

1.3.2. Akad dengan perbuatan

Dalam istilah fiqh , akad semacam ini disebut akad bil mu’athah atau at-ta’ati atau al-murawadhah. Pengertian akad bil mu’athah didefenisikan oleh Wahbah Zuhaili sebagai berikut :

Artinya : Akad bil mu’athah adalah suatu akad dengan cara tukar menukar langsung dengan perbuatan yang menunjukan kerelaan tanpa melafalkan dengan ijab dan qabul.

Dari defenisi terdapat dapat dipahami bahwa akad bil mu’athah adalah suatu akad yang dilakukan oleh dua orang dengan perbuatan langsung tanpa menggunakan ijab dan qabul.

Para ulama berbeda pendapat tentang keabsahan akad bil

mu’athah :

a. Menurut mazhab Hanafi dan Hanbali, akad bil mu’athah dalam hal-hal yang telah dikenal oleh manusia hukumnya sah bauk barangna itu tidak begitu berharga (murah), seperti telur dan roti, maupun berharga (mahal), seperti rumah, tanah, mobil dan sebagainya. Dalam hal ini disyaratkan harga barang yang dijadikan objek akad telah diketahui dengan

(6)

jelas. Apabila harganya tidak diketahui maka akadnya menjadi fasid (rusak). Disamping itu, syarat lainnya bahwa tindakan ta’athi bukan menggambarkan ketidakrelaannya atas akad yang dilakukan.

b. Menurut mazhab Maliki dan asal Ahmad, akad dengan perbuatan atau bil mu’athah hukumnya sah, apabila perbuatan tersebut secara jelas menunjukan kerelaan kedua belah pihak baik adanya sudah dikenal orang banyak atau belum. Pendapat yang kedua ini lebih luas dan longgar dari pada pendapat pertama yang membatasi dalam akad yang sudah dikenal oleh manusia. Dengan demikian menurut akad ini semua jenis akad, baik jual beli, ijarah, syirkah, wakalah dan akad-akad yang lain, kecuali akad nikah hukumnya sah dengan jalan mu’athah. Hal ini karena landasannya adalah adanya sesuatu yang menunjukan kehendak ke dua belah pihak untuk membuat akad dan menunjukkan kerelaan keduanya, serta kesungguhannya.

c. Menurut mazhan Syafi’i, syi’ah dan zahiriyah akad dengan perbuatan atau bil mu’athah hukumnya tidak sah, karena tidak menunjukan keseriusan dalam bertransaksi. Hal ini oleh karena kerelaan adalah sesuatu yang samar, yang tidak bisa ditunjukkan kecuali dengan perkataan (lafal). Sedangkan perbutan memungkinkan adanya maksud lain dari akad, sehingga tidak bisa dipegangi sebagai akad. Oleh karena itu, disyaratkan untuk terwujudnya akad harus melalui lafal yang jelas atau kinayah atau semacamnya seperti isyarah.

(7)

1.3.3. Akad dengan isyarah

Bagi orang yang mampu berbicara tidak dibenarkan akad dengan isyarat, melainkan menggunakan lisan atau tulisan. Adapun bagi mereka yang tidak dapat berbicara , boleh menggunakan isyarat, tetapi jika tulisannya bagus dianjurkan menggunakan tulisan. Hal itu dibolehkan apabila ia sudah cacat sejak lahir. Jika tidak sejak lahir, ia harus berusaha untuk tidak menggunakan isyarat.

1.3.4. Akad dengan tulisan

Dibolehkan akad dengan tulisan, baik bagi orang yang mampu berbicara ataupun tidak, dengan syarat tulisan tersebut harus jelas, tampak dan dapat dipahami oleh keduanya. Sebab tulisan sebagaimana dalam kaedah fiqhiyah (tulisan Bagaikan Perintah) Ulama syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa akad dengan tulisan adalah sahjika dua orang yang akad tidak hadir, akan tetapi jika yang akad itu hadir, tidak dibolehkan memakai tulisan sebab tulisan tidak dibutuhkan (Syafei 2001, 51).

1.4. Macam-macam Akad

Menurut ulama fiqh akad dibagi menjadi:

1.4.1. Keabsahannya menurut syara’ terbagi pada (Haroen 2000, 107): 1) Akad sahih yaitu akad yang memenuhi rukun dan syaratnya.

Hukum dari akad sahih ini adalah berlakunya seluruh akibat hukum yang ditimbulkan akad itu dan mengikat bagi pihak-pihak yang berakad.

2) Akad yang tidak sahih yaitu akad yang terdapat kekurangan pada rukun dan syaratnya, sehingga akibat hukum yang ditimbulkan tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakat.

(8)

Ulama Hanafiyah membagi akad yang tidak sahih ini kepada dua macam yaitu : akad yang batil dan akad yang fasad. Suatu akad dikatakan batil apabila akad itu tidak memenuhi salah satu rukunnya atau ada larangan langsung dari syara’. Sedangkan akad

fasid menurut mereka adalah suatu akad yang pada dasarnya

disyariatkan , tetapi sifat yang diakadkan itu tidak jelas. Menurut ulama Hanafiyah akad Fasid ini bisa dianggap sah apabila unsur yang menyebabkn kefasidannya itu dihilangkan.

1.4.2. Segi penamaan terbagi pada(Mas’adi 2002, 106) a) Al-‘uqud al-musammah

Yaitu akad yang telah ditentukan namanya oleh syara’ serta dijelaskan hukum-hukumnya, seperti jual beli, sewa menyewa, wasiat dan perkawinan dll.

b) Al-uqud ghair al-musammah

Yaitu akad-akad yang penamaannya dilakukan oleh masyarakat sesuai dengan keperluan mereka disepanjang zaman dan tempat, seperti istisna’dll.

2. IJARAH

2.1. Pengertian Ijarah dan Dasar Hukum Ijarah 2.1.1. Pengertian Ijarah

Ijarah berasl dari kata al-ajru, berarti al-iwadhu (ganti) dan

diartikan sebagai upah yaitu pengupah seseorang atau beberapa orang yang mengerjakan suatu pekerjaan (Mujieb, Tholhah 1994, 114).

Adapun secara terminologi, para ulama berbeda pendapat mendefenisikan ijarah, antara lain adalah sebagai berikut :

(9)

2.1.1.1. Menurut Ulama Hanafiyah (Suhendi 2010, 114).

Artinya : “Ijarah adalah akad kepemilikan manfaat yang

Diketahui dan dengan dimaksud dari benda yang disewa dengan imbalan”

2.1.1.2

Menurut Syafi’iyah (Syafe’i 2001, 122)

Artinya: “Ijarah akad atas manfaat yang diketahui untuk maksud tertentu serta menerima ganti yang dibolehkan sebagai imbalan”.

2.1.1.3

Menurut Malikiyah(Rozalinda 2016, 130).

Artinya: “Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti ( imbalan)”.

2.1.1.4

Menurut Sayyiq Sabiq

Artinya: “Ijarah secara Syara’ ialah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian”. (Syafe’I 2001, 121)

(10)

Artinya:

“Akad yang objeknya ialah penukaran manfaat untuk masa tertentu yaitu pemilikan manfaat dengan imbalan, sama dengan menjual manfaat”. Berdasarkan pendapat para ulama di atas tidak ditemukan perbedaan yang mendasar tentang defenisi ijarah. Dengan demikian dapat dipahami bahwa ijarah adalah menukar sesuatu manfaat berupa barang maupun jasa dalam waktu tertentu melalui imbalan berupa sewa atau upah.

Berdasarkan pengertian dan pendapat ulama diatas ijarah dapat dibagi atas dua macam yaitu:

a) Ijarah atas manfaat, disebut juga sewa menyewa. Dalam

ijarah bagian pertama ini, objek akadnya adalah manfaat

dari suatu benda.

b) Ijarah atas pekerjaan, disebut juga upah-mengupah. Dalam

ijarah bagian kedua ini, objek akadnya adalah amal atau

pekerjaan seseorang. Pihak pekerja disebut ajir dan upah yang dibayarkan disebut ujrah.

Ajir atau tenaga kerja terbagi menjadi dua macam

a. Ajir (tenaga kerja) khusus, yaitu orang yang bekerja pada satu orang untuk masa tertentu. dalam hal ini ia tidak boleh bekerja untuk orang lain selain orang yang mempekerjakannya. Contohnya seseorang yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga pada orang tertentu.

(11)

b. Ajir (tenaga kerja) musytarak, yaitu orang yang bekerja untuk untuk lebih dari satu orang, sehingga mereka bersekutu didalam memanfaatkan tenaganya. Hukumnya adalah ia

(ajir musytarak) boleh bekerja untuk semua orang,

dan orang yang menyewa tenaganya bekerja kepada orang lain. Ia (ajir musytarak) tidak berhak atas upah kecuali dengan bekerja (Muslich 2013, 329-333).

2.1.2 Dasar Hukum Ijarah

2.1.2.1 Landasan Al-Quran

Para ulama fiqih mengatakan yang menjadi dasar kebolehan akad ijarah adalah berdasarkan Al-Quran, Sunnah dan Ijma’.

a) Surat Al-Thalaq ayat 6:

….

...

:

Artinya : “Apabila wanita-wanita itu menyusukan anakmu, maka berikanlah upahnya”. (Departemen Agama RI 2001, 310)

(12)

...

:

Artinya : “….Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (Departemen Agama RI 2001, 29)

c) Surat Az-Zukhruf ayat 32 :

)

Artinya : “Apakah mereka yang membagi-bagikan rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan” (Departemen Agama RI 2001, 392).

(13)

Artinya : “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: wahai bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya". Berkatalah dia (Syuaib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah satu putriku ini, atas dasar kamu bekerja denganku delapan tahun, dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak ingin memberati kamu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik". (Deprtemen Agama RI 2001, 310)

2.1.2.2 Landasan Sunnah

Para ulama mengemukakan alasan kebolehan ijarah salah satunya terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim. Sebagai berikut :

(14)

Artinya : “ Hadits dari Musdad akhbarana Yazid Ibn Jurai’ Khalid dari Ikrimah dari Ibnu Abbas berkata bahwa Nabi SAW pernah mengupah seorang tukang bekam kemudian membayar upahnya”. (H.R Bukhari)

Hadis di atas menjelaskan tentang kebolehan mengupah. Sebagaimana yang telah dilakukan Rasulullah.

Artinya: Dari Ibn Umar semoga Allah merihdoinya sesungguhnya Rasul SAW bersabda, “berikanlah upah sebelum keringat buruh atau pekerja itu kering” (HR. Ibnu Majah) (Masyur 1992, 516).

Hadis di atas menjelaskan bahwa orang yang mempekerjakan harus menyegerakan pembayaran upah kepada pekerja secepatnya. Adapun hadis lain :

Artinya: “Barang siapa yang mempekerjakan seseorang menjadi buruh, maka beritahulah upah mereka” (HR. Abd Razaq dan Abu Hurairah) (Az-Zuhaili 1989, 730)

Hadits di atas dapat dipahami bahwa Nabi SAW memerintahkan untuk menentukan jumlah upah terhadap

(15)

orang yang dipekerjakan, sehingga tidak terjadi perselisihan pada kedua belah pihak, serta tidak ada pihak yang merasa dirugikan.

2.1.2.3 Landasan Ijma’

Mengenai kebolehan ijarah para ulama sepakat. Tidak ada seorangpun ulama yang membantah kesepakatan (Ijma’) ini sekalipun ada beberapa orang di antara mereka yang berbeda pendapat akan tetapi itu tidak dianggap (Sabiq 1987, 11).

2.2 Rukun Dan Syarat Ijarah

2.2.2 Rukun Ijarah

Layaknya sebuah transaksi ijarah dapat dikatakan sah apabila memenuhi sebuah rukun dan syarat. Agar transaksi upah mengupah menjadi sah, harus memenuhi rukun dan syaratnya. Menurut ulama Hanafiyah rukun dari ijarah hanya satu ijab dan

qabul. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa orang yang berakad,

imbalan, manfaat termasuk kedalam syarat-syarat ijarah, bukan rukunnya (Haroen 2000, 231).

Sedangkan menurut jumhur ulama rukun ijarah ada empat yaitu : orang yang berakad, adanya upah, manfaat kerja sama, serta adanya shighat (ijab dan qabul). Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan secara terperinci sebagai berikut :

2.2.2.1 Orang yang berakad.

Mu'jir dan Musta'jir. Mu'jir adalah orang yang

(16)

mengerjakan suatu pekerjaan tertentu. Musta'jir adalah orang yang menyumbangkan tenaganya atau orang yang menjadi tenaga kerja dalam suatu pekerjaan dan mereka menerima upah dari hasil kerjanya itu.

2.2.2.2 Objek Transaksi.

Pekerjaan yang akan dijadikan objek kerja harus memiliki manfaat yang jelas seperti : menyelesaikan pekerjaan proyek, membajak sawah dan sebagainya.

Sebelum melakukan sebuah akad ijarah hendaknya manfaat yang akan menjadi objek ijarah harus diketahui secara jelas agar terhindar dari perselisihan di kemudian hari baik jenis, sifat barang yang akan disewakan ataupun pekerjaan yang akan dilakukan. Apabila manfaat yang akan menjadi objek ijarah tersebut tidak jelas maka akadnya tidak sah. Misalnya. Menyewakan motor hanya untuk duduk di atasnya, atau karena dilarang oleh agama Islam. Seperti menyewa seseorang untuk membinasakan orang lain. Perjanjian sewa menyewa barang atau suatu pekerjaan yang manfaatnya tidak dibolehkan oleh ketentuan agama adalah tidak sah atau wajib untuk ditinggalkan. (Rusyd TTh, 218)

2.2.2.3 Imbalan atau upah yang akan diterima oleh buruh dari hasil kerjanya.

Dapat kita ketahui bahwa ijarah adalah sebuah akad yang mengambil manfaat dari barang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Syara' yang berlaku. Oleh

(17)

sebab itu pelaksanaan sewa atau imbalan mesti jelas dengan ketentuan awal yang telah disepakati.

2.2.2.4 Shighat yaitu ijab dan qabul.

Shighat pada akad merupakan suatu hal yang

penting sekali karena dari shighatlah terjadinya ijarah. Karena shighat merupakan suatu bentuk persetujuan dari kedua belah pihak untuk melaksanakan ijarah. Dalam

shighat ada ijab dan qabul. Ijab merupakan pernyataan dari

pihak pertama (mu'jir) untuk menyewakan barang atau jasa sedangkan qabul merupakan jawaban persetujuan dari pihak kedua untuk menyewakan barang atau jasa yang dipinjamkan oleh mu'jir. Misalnya anda bersedia bekerja pada proyek ini dalam waktu dua bulan dan dengan upah perharinya Rp.20.000,- dan jenis pekerjaannya yaitu pekerjaan jalan? kemudian buruh menjawab "ya", saya bersedia." (Syarifuddin 2003, 218-219)

2.2.3 Syarat Ijarah

Syarat merupakan sesuatu yang bukan bagian dari akad, tapi sahnya sesuatu tergantung kepadanya. Adapaun syarat-syarat transaksi ijarah yaitu :

2.2.3.1 Dua orang yang berakad (Mu'jir dan Musta'jir) disyaratkan :

a) Berakal dan mumayiz, namun tidak disyaratkan baligh, Maka tidak dibenarkan mempekerjakan anak yang belum

mumayiz dan belum berakal. Ini berarti para pihak yang

(18)

hukum, sehingga semua perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan (Rozalinda 2005, 105)

b) Kerelaan ( An-Tharadhin)

Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaanya untuk melakukan akad ijarah. Dan para pihak berbuat atas kemauan sendiri. Apabila salah seorang diantaranya terpaksa melakukan akad itu, maka akadnya tidak sah. Karena Allah melarang penindasan atau intimidasi sesama manusia tapi dianjurkan saling meridhai sesamanya (Ghazaly, Ihsan, Shidiq 2012, 279). Sebagaimana Firman Allah dalam Surat An-Nissa ayat 29:

)

:

(

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (Departemen Agama RI 2001, 65).

2.2.3.2 Sesuatu yang diakadkan ( pekerjaan) disyaratkan :

a) Manfaat dari pekerjaan harus yang dibolehkan syara’, maka tidak boleh ijarah terhadap maksiat seperti mempekerjakan seseorang untuk mengajarkan ilmu sihir

(19)

atau mengupah orang untuk membunuh orang lain (Haroen 2007, 233).

b) Manfaat dari pekerjaan harus diketahui oleh kedua pihak sehingga tidak muncul pertikaian dan perselisihan di kemudian hari. Baik jenis, sifat dan ketentuan dari barang yang akan disewakan ataupun pekerjaan yang akan dilakukan. Apabila manfaat yang akan menjadi objek

ijarah tersebut tidak jelas, maka akadnya tidak sah.

Misalnya menyewakan durian untuk dicium baunnya atau karena adanya larangan agama seperti menyewakan seseorang untuk membinasakan orang lain. Perjanjian sewa menyewa barang atau suatu pekerjaan yang manfaatnya tidak dibolehkan oleh ketentuan agama adalah tidak sah atau wajib untuk ditinggalkan (Haroen 2007, 231).

c) Manfaat dari objek yang akan diijarahkan seseuatu yang dapat dipenuhi secara hakiki.

d) Jelas ukuran dan batas waktu ijarah agar terhindar dari persengketaan atau perbantahan.

e) Jenis pekerjaan yang harus dilakukan oleh tukang dan pekerja. Penjelasan ini diperlukan agar antara kedua belah pihak tidak terjadi perselisihan. Misalnya pekerjaan membangun rumah sejak fondasi sampai terima kunci, dengan model yang tertuang dalam gambar. Atau pekerjaan menjahit baju jas lengkap dengan celana, dan ukurannya jelas (Muslich 2013, 323-325).

(20)

f) Perbuatan yang diijarahkan bukan perbuatan yang diwajibkan bagai musta'jir seperti Sholat, puasa dan lain-lain

g) Pekerjaan yang diijarahkan menurut kebiasaan dapat diijarahkan (Rozalinda 2005, 106).

2.2.3.3 Upah atau imbalan disyaratkan

a) Upah berupa benda yang diketahui yang dibolehkan manfaatnya. Sehubungan dengan ini Nabi SAW menjelaskan bahwa :

:

:

.

Artinya : "Dari abu Sa'id al-Khudri R A menceritakan bahwa Nabi SAW bersabda : Barang siapa yang mempekerjakan seseorang maka hendaklah menyebutkan upahnya." (HR. Abd Razaq dan Abu Hurairah) (Az-Zuhaili 1989, 730)

b) Sesuatu yang berharga atau dapat dihargai dengan uang sesuai dengan adat kebiasaan setempat.

c) Upah atau imbalan tidak disyaratkan dari jenis yang diakadkan misal sewa rumah dengan rumah, upah menegerjakan sawah dengan sebidang sawah. Syarat seperti ini sama dengan riba. (Mas’adi 2002, 187)

d) Upah harus seimbang dengan jasa yang diberikan atau sepadan dengan kondisi pekerjaannya (Rahman 1996, 42).

(21)

e) Imbalan atau upah itu benar-benar memberikan manfaat baik berupa barang atau jasa, sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati bersama sehingga kedua belah pihak saling merasa puas dan tidak ada yang merasa dirugikan satu sama lainnya. Artinya terhadap janji yang dibuat oleh kedua belah pihak tersebut memang mesti ditunaikan sebagaimana firman Allah SWT. Yang mengatakan tentang perjanjian dalam surat Al-Maidah ayat 1:















































Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya” ( QS. Al-Maidah ayat : 1).

f) Keberadaan upah dan hubungannya dengan akad

Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, keberadaan upah bergantung pada adanya akad. Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, upah dimiliki berdasarkan akad itu sendiri, tetapi diberikan sedikit demi sedikit, bergantung pada kebutuhan ‘aqid (Syafe’i 2001, 132)

(22)

2.2.3.4 Shighat (ijab dan qabul) disyaratkan berkesesuaian dan

menyatunya majelis akad seperti yang disyaratkan dalam akad jual beli. Maka akad ijarah tidak sah jika antara ijab dan qabul tidak sesuai seperti antara objek akad atau batas waktu (Rozalinda 2016, 133).

2.3 Bentuk-bentuk Ijarah dan Berakhirnya Ijarah. 2.3.1 Bentuk-bentuk Ijarah

Dari segi objeknya ijarah terbagi kepada dua macam yaitu :

a) Ijarah yang bersifat manfaat. Pada ijarah ini khusus akad sewa menyewa manfaat benda, misalnya sewa menyewa rumah, toko, kendaraan dan lain-lain.

b) Ijarah yang bersifat pekerjaan (jasa). Yaitu dengan mempekerjakan seseorang melakukan suatu pekerjaan. Menurut ulama fiqih ijarah seperti ini adalah boleh apabila jenis pekerjaan itu jelas. (Rozalinda 2016, 131)

Ijarah ini berlaku dalam beberapa hal seperti menjahit

pakaian, membangun rumah, dan lain-lain. Ijarah ‘ala al-a’mal (upah mengupah) terbagi kepada dua yaitu :

a) Ijarah Khusus

Yaitu ijarah yang dilakukan oleh seorang pekerja. Hukumnya orang yang bekerja tidak boleh bekerja selain dengan orang yang memberinya upah.

b) Ijarah Musytarak

Yaitu ijarah yang dilakukan secara bersama-sama atau melalui kerjasama. Hukumnya dibolehkan bekerja sama dengan orang lain. (Syafe’i 2001, 133) Contohnya

(23)

orang yang bekerja di perusahaan atau bekerja di bawah komando seorang pemborong.

2.3.2 Berakhirnya Ijarah

Akad ijarah akan berakhir apabila :

2.3.2.1 Objek dari akad tersebut hilang atau musnah, seperti rumah

yang disewakan terbakar atau seseorang menjahitkan bajunya kepada tukang jahit kemudian hilang.

2.3.2.2 Tenggang waktu yang disepakati dalam akad ijarah telah

berakhir, apabila yang disewakan rumah maka rumah itu dikembalikan kepada pemiliknya, dan apabila yang disewa itu adalah jasa seseorang maka ia berhak menerima upahnya. Kedua hal ini disepakati oleh seluruh ulama fiqih.

2.3.2.3 Menurut ulama Hanafiyah, wafatnya salah seorang yang

berakad dalam akad ijarah, maka tidak boleh diwariskan. Sedangkan menurut jumhur ulama, akad ijarah tidak batal dengan wafatnya salah seorang yang berakad karena manfaat, menurut mereka boleh diwariskan dan ijarah sama dengan jual beli, yaitu mengikat kedua belah pihak yang berakad.

2.3.2.4 Menurut ulama Hanafiyah, apabila ada uzur dari salah satu

pihak, seperti rumah yang disewakan disita negara karena terkait hutang yang banyak, maka akad ijarah batal. Uzur-uzur yang dapat membatalkan akad ijarah , menurut ulama Hanafiyah adalah salah satu pihak jatuh muflis (bangkrut). Akan tetapi menurut jumhur ulama, uzur yang boleh membatalkan akad ijarah itu hanyalah apabila objeknya mengandung cacat atau manfaat yang dituju dalam akad itu

(24)

hilang, seperti terbakar dan di terjang banjir (Haroen 2007, 237).

2.4 Kewajiban dan Hak-hak dalam Ijarah

Dengan terpenuhinya rukun dan syarat yang dijelaskan di atas maka akan menimbulkan adanya hubungan hukum antara mu'jir dan

musta'jir sehingga akan melahirkan hak dan kewajiban. Secara

sederhana tujuan mu'jir mempekerjakan musta'jir adalah untuk mendapatkan keuntungan dari hasil kerja musta'jir, kewajiban

musta'jir adalah hak bagi mu'jir. Misalnya seorang pimpinan proyek

mempekerjakan buruh bertujuan untuk menyelesaikan pekerjaan yang telah dibebankan kepadanya tepat pada waktunya, dan itu adalah hak bagi pimpinan proyek.

Untuk mendapatkan haknya itu mu'jir harus menunaikan juga kewajibannya terhadap musta'jir. Jika mu'jir hanya menuntut haknya sedangkan kewajiban tidak ditunaikan maka ini adalah dzalim. Dzalim di sini maksudnya mu'jir menganiaya musta'jir dengan mengeksploitasi tenaganya untuk memperoleh keuntungan dari hasil kerja tanpa memberikan hak mereka. Dan untuk itu pekerja juga harus menunaikan kewajibannya.

Adapun kewajiban musta'jir dengan adanya hubungan hukum tersebut adalah sebagai berikut :

a) Mengerjakan atau menunaikan pekerjaan yang diperjanjikan. b) Benar-benar bekerja sesuai perjanjian

c) Mengerjakan pekerjaan dengan tekun dan teliti

d) Menjaga keselamatan barang yang dipercayakan kepadanya. Untuk dikerjakannya, sedangkan kalau pekerjaan itu berupa

(25)

urusan, mengurus urusan itu dengan semestinya (Pasaribu, 156).

e) Mengganti kerugian kalau ada barang yang rusak, apabila kerusakan ini dilakukan dengan kesengajaan atau kelengahannya.

Sedangkan yang menjadi hak musta'jir yang wajib dipenuhi oleh mu'jir adalah :

a) Hak atas upah sesuai dengan yang diperjanjikan

b) Hak untuk diperlakukan secara baik dalam lingkungan pekerjaan

c) Hak atas jaminan sosial, terutama sekali menyangkut bahaya yang dialami oleh pekerja dalam melakukan pekerjaan (Pasaribu, 156).

Secara umum dapat disimpulkan hak-hak musta'jir adalah sebagai berikut :

a) Pekerja berhak menerima upah memungkinkan baginya menikmati kehidupan yang layak. Jika majikan membayar upah buruh dengan upah yang kurang atau membebani mereka dengan pekerjaan yang berat atau mempekerjakan mereka di luar batas kemampuannya, atau mempekerjakan di luar batas waktu tanpa ada ganti rugi atau tambahan atas kelebihan pekerjaan yang dilakukannya(Rahman 1995, 390) . b) Tidak diberikan pekerjaan di luar batas kemampuan fisiknya

dan jika pekerja dipercayakan untuk menangani pekerjaan yang sangat berat, maka harus diberi bantuan moril atau materil.

(26)

c) Penentuan upah yang layak harus dibuat untuk pembayaran atas jasa dan jerih payah bagi mereka.

d) Para mu'jir harus menyediakan akomodasi yang layak agar efisiensi kerja mereka tak terganggu

e) Musta'jir harus diberlakukan dengan baik dan sopan.

Menurut Syafi’i dan Ahmad, imbalan berhak didapatkan dengan akad itu sendiri. Jika orang yang menyewakan menyerahkan barang atau jasa, maka dia berhak mendapatkan seluruh sewa. Orang yang menyewa sudah lah memiliki hak atas manfaat dengan akad penyewaan. Karenanya, sewa wajib dia serahkan agar penyerahan barang kepadanya bersifat mengikat. Dalam fikih sunnah Sayyid Sabiq menjelaskan ada beberapa ketentuan untuk memperoleh hak atau menerima upah dalam transaksi ijarah, hak tersebut adalah (Sabiq 2009,267).

a) Pekerjaan telah selesai dikerjakan. Ibnu Majah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda “berikanlah upah sebelum keringat buruh atau pekerja itu kering” b) Mendapatkan manfaat apabila akad dilakukan pada barang.

Apabila barang tersebut rusak sebelum diambil manfaatnya dan masa penyewaan belum berlalu, maka penyewaan batal

c) Adanya kemungkinan untuk mendapatkan manfaat. Jika masa sewa berlangsung, ada kemungkinan untuk mendapatkan manfaat dari barang sewaan meskipun tidak sepenuhnya.

(27)

d) Mendahulukan pembayaran sewa. Atau kesepakatan bersama untuk menangguhkan biaya sewa.

2.5 Penentuan Upah Kerja dan Pembayarannya

Masalah yang paling penting dalam ijarah adalah menyangkut pemenuhan hak-hak musta'jir, terutama sekali hak untuk diperlakukan secara baik dalam lingkungan pekerjaan, hak-hak atas jaminan sosial, dan hak atas upah yang layak. Untuk itu perlu dikaji tentang ketentuan hak-hak musta'jir terutama tentang upah.

Persoalan upah hanya secara umum yang ada dalam Al-Qur'an, diantaranya yang terdapat dalam surat An-Nahl ayat 90 sebagai berikut :

:

Artinya : "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang melakukan perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran".

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa Allah memerintahkan untuk berlaku adil dan berbuat dermawan kepada kaum kerabat.

Menurut Chairul Pasaribu dalam bukunya Perjanjian Kerja menyatakan bahwa kata "kerabat" dalam ayat di atas dapat diartikan dengan "tenaga kerja", sebab pekerja tersebut sudah merupakan bagian dari suatu perusahaan kalau bukan karena jerih payah pekerja tidak mungkin majikan dapat berhasil menyelesaikan pekerjaannya(Pasaribu, 157).

(28)

Jadi Allah melarang penindasan dengan mempekerjakannya tetapi tidak membayarkan upahnya. Disamping itu Rasulullah sendiri pernah melakukan pengupahan terhadap seorang bekam, namun Nabi karena telah menggunakan jasanya tetap menunaikan upahnya, sebagaimana yang terdapat dalam hadits sebagai berikut :

:

Artinya : "Hadits dari Yazid, Ibn jura'ijarah Khalid dari Ikrimah,serta Ibn

Abbas berkata bahwa Rasulullah SAW pernah mengupah seorang tukang bekam kemudian membayar upahnya"( H.R Abu Daud)(Sham , 210)

Dalam hadits berikutnya juga dijelaskan bahwa di akhirat ada tiga golongan yang diancan dan dimusuhi Allah kelak. Salah satu diantaranya adalah majikan yang mempekerjakan seorang buruh kemudian tidak memberikan haknya secara layak, tidak membayar upahnya padahal buruh telah memenuhi kewajibannya dengan semestinya. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari sebagai berikut :

Artinya : "Dari Yusuf bin Muhamad berkata menyampaikan kepada ku Yahya bin Salam dari Ismail bin Aminah dari Sa'id bin Abi Sa'id dari Abu Hurairah R.A dari Nabi SAW bersabda :" Allah SWT berfirman ada tiga orang yang aku musuhi di hari kiamat yaitu :

(29)

orang yang berjanji dengan nama-Ku, kemudian dia berkhianat, orang menjual manusia merdeka kemudian memakan harganya, dan orang yang mempekerjakan buruh lalu ia ambil tenaganya dengan cukup tetapi tidak membayar upahnya"( H.R Bukhari) (Al Bukhari, 24).

Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa Allah membenci orang yang mempekerjakan buruh sesuka hatinya, menyuruh buruh bekerja lalu tidak menunaikan upah sesuai dengan perjanjian padahal jika seseorang telah melakukan akad kerjasama maka harus ditunaikan sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 1 :

)

:

Artinya : " Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu"

(Departemen Agama RI, 84)

Ayat ini mengandung maksud bahwa jika majikan dengan pekerja melakukan akad kerja sama, misalnya majikan akan membayar upah pekerja setiap minggu, membayar upah Rp 25.000,- perhari, maka majikan wajib menunaikan akad yang telah disepakati itu maka tidak boleh mengingkarinya, melalaikannya atau tidak membayarkan sama sekali.

Salah satu norma ditentukan Islam adalah memenuhi hak-hak pekerja. Islam tidak membenarkan jika seseorang pekerja mencurahkan jerih payahnya dan keringatnya sementara upah tidak didapatkan, dikurangi, dan ditunda-tunda(Qardawi 1997, 403).

Pada dasarnya semua kegiatan manusia akan diberikan balasan yang sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan. Seorang hamba tidak akan dirugikan dan tidak merugikan. Sesuai dengan Al-Ahqaaf ayat 19 sebagai berikut :

(30)

Artinya : " Dan setiap orang memperoleh tingkatan sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan, dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka, sehingga mereka tiada dirugikan."

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa dari kata "Allah

mencukupkan balasan sehingga mereka tiada dirugikan" berarti ada

jaminan terhadap pekerjaan yang telah dilakukan dan jaminan tentang upah yang layak (cukup) kepada setiap pekerja. Jadi jika ada pengurangan dalam upah mereka tanpa adanya pengurangan kinerja pekerjaannya maka hal itu dianggap ketidakadilan dan penganiayaan. Ayat ini memperjelas bahwa upah kerja ditentukan berdasarkan kerjanya dan sumbangsihnya dalam proses produksi, untuk itu harus upah mereka harus dibayar dan tidak dikurangi dan juga tidak lebih dari apa yang dikerjakannya.

Selanjutnya, perlu diketahui juga kapan upah harus dibayarkan oleh para majikan. Untuk menjawab itu nabi SAW mengatakan dalam haditsnya sebagai berikut :

)

(

Artinya : "Dari Abdullah Bin Umar berkata : Rasulullah SAW Bersabda Bayarkanlah upah buruh sebelum keringatnya".(H.R Ibnu Majah)

(31)

Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa Nabi SAW memerintahkan, bayarkanlah upah buruh itu sebelum kering keringatnya, artinya upah pekerja dibayarkan secepatnya (selesai bekerja buruh langsung menerima upahnya). Jenis ini sering digunakan untuk buruh kasar seperti kuli bangunan, tukang angkat, buruh tani dan yang sejenis dengannya. Dan juga dapat diberikan pengertian bahwa pekerja menerima upahnya sebelum keringatnya artinya, pekerja menerima upah menurut kebiasaan daerah setempat. Ataupun menurut aturan yang berlaku bagi pegawai negeri yang menerima gaji perbulan. Sedangkan bagi pekerja yang tidak ada aturan yang mengaturnya perlu adanya perjanjian kerja dan dilaksanakan sesuai dengan perjanjian itu. Untuk itu dalam perjanjian kerja mu'jir harus menetapkan kapan dan berapa jumlah upah yang akan diterima musta'jir sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW sebagai berikut :

:

:

.

)

(

Artinya : "Dari Abu Sa'id al-Khudri R.A menceritakan bahwa Nabi SAW bersabda barang siapa yang mempekerjakan seorang maka hendaklah menyebutkanlah upahnya." (H.R. Bukhari) (Muhammad , 24)

2.6 Tujuan Upah-mengupah

Setiap hukum yang ditetapkan oleh Allah ada tujuannya, sebagai seorang mujtahid harus mengetahui tujuan hukum itu. Sebagaimana ungkapan Fathurahman dalam bukunya Filsafat Hukum Islam sebagai berikut:

“Tujuan hukum harus diketahui oleh mujtahid dalam rangka mengembangkan pemikiran dalam Islam secara umum dan menjawab

(32)

persoalan-persoalan hukum kontemporer, yang khususnya tidak didapatkan secara ekspilit dalam al-Qur’an dan Sunnah. Selain itu tujuan hukum harus diketahui dalam rangka mengetahui apakah suatu kasus masih dapat diterapkan berdasarkan satu kesatuan huum, karena adanya perubahan struktur sosial, hukum tersebut tidak dapat diterapkan” (Djamil 1999, 124).

Kutipan di atas dapat diketahui bahwa seorang mujtahid harus mengetahui tujuan disyari’atkannya hukum untuk dapat dikembangkan sesuai dengan zamannya, yaitu dalam masalah muamalah, termasuk tujuan disyariatkannya akad ijarah (upah-mengupah).

Tujuan dari hukum itu adalah untuk memelihara kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghindari dari mudharat, baik di dunia dan ahkirat. Begitu juga disyariatkan akad ijarah (upah-mengupah), yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan di dunia dan ahkirat. Untuk mewujudkan kemaslahatan itu ada lima unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan, kelima unsur pokok itu adalah agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.

Jadi tujuan disyari’atkannya ijarah adalah untuk memelihara harta agar manusia tidak mengambil harta orang lain dengan cara yang bathil. Karena mengambil harta orang lain secara bahtil itu dilarang oleh Allah, karena akan menimbulkan mafsadat yaitu terancamnya eksistensi harta menjadi harta yang haram.

2.7 Hikmah Ijarah

Hikmah disyari’atkanya ijarah dalam bentuk pekerjaan atau upah mengupah adalah karena dibutuhkan dalam kehidupan manusia. Seseorang tidak akan mampu menyelesaikan pekerjaannya sendiri.

(33)

Apabila seseorang ingin mendirikan rumah tentu ia tidak akan bisa sendiri, walaupun ada yang bisa dan ini pun akan membutuhkan waktu yang sangat lama. Perlu adanya buruh untuk membantu menyelesaikan pekerjaan itu, di samping itu buruh juga butuh upah untuk biaya hidup dan untuk menghidupi keluarganya.

Tujuan dibolehkan ijarah pada dasarnya adalah untuk mendapatkan keuntungan materil. Namun itu bukanlah tujuan akhir karena usaha yang dilakukan dan upah yang diterima merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Adapun hikmah diadakannya ijarah antara lain yaitu : a. Membina ketenteraman dan kebahagiaan

Dengan adanya ijarah akan mampu membina kerja sama antara mu'jir dan musta'jir. Sehingga akan menciptakan kedamaian di hati mereka. Dengan diterimanya upah dari orang yang memakai jasa, maka yang memberikan jasa dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Apabila kebutuhan hidup terpenuhi maka musta'jir tidak lagi resah ketika hendak beribadah kepada Allah.

b. Memenuhi nafkah Keluarga

Salah satu kewajiban seorang muslim adalah memberikan nafkah kepada keluarganya, yang meliputi istri, anak-anak dan tanggung jawab lainnya. Dengan adanya upah yang diterima musta'jir maka kewajiban tersebut dapat terpenuhi. Kewajiban itu sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 233 sebagai berikut :

..

)

:

(

(34)

Artinya : “Dan kewajiban Ayah memberi makan dan pakaian kepada (istri-istri) dengan cara yang ma’ruf ”. ( al-Baqarah 233)

c. Memenuhi hajat hidup masyarakat

Dengan adanya transaksi ijarah khususnya tentang pemakaian jasa, maka akan mampu memenuhi hajat hidup masyarakat baik yang ikut bekerja maupun yang menikmati hasil proyek tersebut. Maka

ijarah merupakan akad yang mempunyai unsur tolong menolong

antar sesama.

d. Menolak kemungkaran

Di antara tujuan ideal berusaha adalah dapat menolak kemungkaran yang kemungkinan besar akan dilakukan oleh yang menganggur. Pada intinya hikmah ijarah yaitu untuk memudahkan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari (Ya’qub 1994, 47).

Referensi

Dokumen terkait

Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan keilmuan tentang tinjauan hukum Islam terhadap akad perjanjian sewa menyewa rumah serta penyelesaian wanprestasi

Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan keilmuan tentang tinjauan hukum Islam terhadap akad perjanjian sewa menyewa rumah serta penyelesaian wanprestasi

Pemanfaatan Barang Milik Daerah diberikan dalam bentuk sewa menyewa untuk jangka waktu 5 (lima) tahun, terhitung sejak tanggal ditartdatangani Perjanjian Sewa Menyewa antara

Maksudnya bahwa pada barang yang menjadi objek perjanjian sewa menyewa terdapat kerusakan ketika sedang berada di tangan pihak penyewa, yang mana kerusakan itu

Guna tercapainya perjanjian sewa menyewa terdapat unsur-unsur yang harus ada agar perjanjian sewa menyewa tersebut tercapai, seperti : ada dua hal yang saling mengikat

Dalam hal terjadinya wanprestasi pada sewa menyewa tempat berjualan pada pasar Kumbasari Denpasar sesuai dengan ketentuan pada Perjanjian Sewa Menyewa Tempat Usaha

Dari penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa: Pertama, perjanjian sewa menyewa yang dilakukan di hadapan Notaris merupakan suatu perjanjian yang sah dan otentik;

Berdasarkan Tinjauan Hukum Ekonomi Syariah Pelaksanaan gadai menyewa tanah gadai tidak sah karena sawah yang sudah digadaikan kembali tersebut tidak boleh diambil manfaatnya dengan cara