• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perjanjian Sewa Menyewa yang Dibuat di Hadapan Notaris Kaitannya dengan Putusan Hakim Mahkamah Agung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perjanjian Sewa Menyewa yang Dibuat di Hadapan Notaris Kaitannya dengan Putusan Hakim Mahkamah Agung"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Perjanjian Sewa Menyewa yang Dibuat di Hadapan

Notaris Kaitannya dengan Putusan

Hakim Mahkamah Agung

Heru Guntoro

Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945

Jl. Adisucipto No.26 Banyuwangi

heru.guntoro@ymail.com

Abstract

An agreement shall be binding upon the parties, and each party is obliged to be responsible for what is stated in the agreement. This research focuses on the legal perspective of a lease agreement made before a notary public and its relation to the decision of Supreme Court Justice. The study uses normative, philosophical, juridical analysis; in addition, it is a qualitative, comparative research. During the study, a library research is conducted and legal materials are analyzed qualitatively using a case approach. The research leads to a conclusion that, first, a lease agreement made before a notary public is legal and authentic, and second, the decision of Supreme Court strengthens the lease agreement made before a notary public, and the Notary Deed is validated and inviolable.

Key words : Lease agreement, notary deed, decision of supreme court

Abstrak

Perjanjian itu bersifat mengikat para pihak dan masing–masing pihak harus bertanggung jawab terhadap apa yang telah disepakati dalam perjanjian tersebut. Penelitian ini mengangkat permasalahan bagaimana perspektif hukum perjanjian sewa menyewa yang dibuat di hadapan notaris dan kaitannya dengan putusan Hakim Mahkamah Agung. Untuk mengkaji permasalahan digunakan penelitian yuridis normatif – filosofis yang bersifat kualitatif dan komparatif. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian kepustakaan, bahan-bahan hukum yang dianalisis secara kualitatif dengan pendekatan kasus. Dari penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa: Pertama, perjanjian sewa menyewa yang dilakukan di hadapan Notaris merupakan suatu perjanjian yang sah dan otentik; Kedua, Putusan Mahkamah Agung menguatkan perjanjian sewa menyewa yang dilakukan di hadapan Notaris dan Akta Notaris diakui keabsahannya serta tidak bisa diganggu gugat.

(2)

Pendahuluan

Hukum secara tegas mengatur perbuatan-perbuatan manusia yang bersifat

lahiriah, dan hukum mempunyai sifat untuk menciptakan keseimbangan antara

kepentingan-kepentingan para warga masyarakat. Tugas pokok dari hukum adalah

menciptakan ketertiban, oleh karena ketertiban merupakan syarat terpokok daripada

adanya suatu masyarakat yang teratur, hal mana berlaku bagi masyarakat manusia

di dalam segala bentuknya.

Pada dasarnya hukum di Indonesia dibedakan menjadi dua macam, yaitu

hukum publik dan hukum privat (hukum perdata). Hukum publik merupakan

ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur kepentingan yang bersifat umum,

sedangkan hukum perdata mengatur kepentingan yang bersifat keperdataan.

Hukum perikatan termasuk dalam hukum perdata. Perikatan artinya hal yang

mengikat antara orang yang satu dengan orang yang lain. Hal yang mengikat itu

adalah peristiwa hukum yang dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli, hutang

-piutang dapat berupa kejadian misalnya kelahiran, kematian, dapat berupa keadaan,

misalnya pekarangan berdampingan, rumah bersusun.

Mengenai sumber-sumber perikatan, oleh undang-undang diterangkan bahwa

suatu perikatan dapat lahir dari suatu persetujuan (perjanjian) atau dari

undang-undang. Perikatan yang lahir dari undang-undang dapat dibagi lagi atas

perikatan-perikatan yang lahir dari undang-undang saja dan yang lahir karena suatu perbuatan

orang. Perikatan dapat dibagi lagi atas perikatan-perikatan yang lahir dari suatu

perbuatan yang diperbolehkan dan yang lahir dari perbuatan yang berlawanan

dengan hukum.

Sewa-menyewa merupakan suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu

mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari

sesuatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga

yang oleh pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya. Demikianlah

definisi yang diberikan oleh Pasal 1548 BW mengenai perjanjian sewa-menyewa.

Menurut R. Subekti sewa-menyewa, seperti halnya jual-beli dan

perjanjian-perjanjian pada umumnya, adalah suatu perjanjian-perjanjian kontrak konsensual. Artinya,

perjanjian tersebut sudah sah dan mengikat pada detik tercapainya sepakat mengenai

unsur-unsur pokoknya, yaitu barang dan harga.1

(3)

Kewajiban pihak yang satu adalah menyerahkan barangnya untuk dinikmati oleh

pihak yang lain, sedangkan kewajiban pihak yang terakhir ini adalah membayar “harga sewa”. Jadi barang diserahkan tidak untuk dimiliki seperti halnya dalam jual-beli, tetapi

hanya dipakai untuk dinikmati kegunaannya. Dengan demikian maka penyerahan hanya

bersifat menyerahkan kekuasaan belaka atas barang yang disewa itu.

Kewajiban pihak yang menyewakan adalah barang untuk dinikmati dan

bukannya menyerahkan barang hak milik atas barang tersebut. Dengan demikian

maka seorang yang mempunyai hak nikmat-hasil dapat secara sah menyewakan barang yang dikuasainya dengan hak tersebut.

Menurut R.M. Sudikno Mertokusumo, ada beberapa macam bentuk perjanjian

yaitu perjanjian bawah tangan yang ditandatangani oleh pihak yang bersangkutan saja, perjanjian dengan saksi notaris untuk melegalisir tanda tangan para pihak,

dan perjanjian yang dibuat dihadapan dan oleh notaris dalam bentuk akta notaris.2

Akta notaris merupakan bukti prima facie mengenai fakta, yaitu pernyataan atau perjanjian yang termuat dalam akta notaris, mengingat notaris di Indonesia

merupakan pejabat umum yang mempunyai kewenangan untuk memberikan

kesaksian atau melegalisir suatu fakta. Jika isi dari fakta semacam itu disangkal disuatu pengadilan, maka pengadilan harus menghormati dan mengakui isi akta

notariel, kecuali pihak yang menyangkal dapat membuktikan bahwa bagian tertentu

dari akta telah diganti atau bahwa hal itu bukanlah yang disetujui oleh para pihak, pembuktian mana yang sangat berat.

Seperti yang terjadi di Pasar Kapuas Indah Pontianak dimana salah salah satu

pihak yang melakukan perjanjian, membatalkan secara sepihak perjanjian yang telah disepakati bersama. Dalam Putusan Hakim Mahkamah Agung No. 210 PK/Pdt/

2008 yang isi pokoknya adalah menolak permohonan kasasi dari para pemohon

kasasi, menghukum para Pemohon kasasi untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebanyak Rp. 500.000,- ( lima ratus ribu rupiah ).

Berdasarkan ulasan singkat di atas jelaslah bahwa perjanjian itu bersifat

mengikat para pihak dan masing – masing pihak harus bertanggung jawab terhadap apa yang telah disepakati dalam perjanjian tersebut, oleh karena itu dalam

pelaksanaannya masing-masing pihak harus memperhatikan koridor hukum baik

hak maupun kewajiban yang telah disepakati dalam perjanjian tersebut.

(4)

Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas maka dapat diberikan rumusan

masalah sebagai berikut: Pertama, bagaimana perspektif hukum perjanjian

sewa-menyewa pengelolaan lingkungan komplek pasar menurut KUH Perdata? Kedua,

bagaimana Putusan Hakim Mahkamah Agung No. 210 PK/Pdt/2008 dalam

kaitannya dengan perjanjian sewa–menyewa di Pasar Kapuas Indah Pontianak ?

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah: pertama, untuk mengetahui dan menganalisis

perspektif hukum perjanjian sewa-menyewa pengelolaan lingkungan kompleks

pasar menurut KUH Perdata. Kedua, untuk mengetahui bagaimana Putusan Hakim

Mahkamah Agung No. 210 PK/Pdt/2008 dalam kaitannya dengan perjanjian sewa–

menyewa di Pasar Kapuas Indah Pontianak.

Metode Penelitian

Dalam penelitian ini pendekatan yang dipakai adalah pendekatan yuridis

normatif. Dasar dipilihnya pendekatan kasus (case apporach) ini karena dilakukan

dengan cara melakukan kajian terhadap kasus yang berkaitan dengan permasalahan

yang dihadapi dan yang telah manjadi putusan pengadilan yang memiliki kekuatan

hukum tetap. Putusan yang dipakai dalam penelitian ini adalah putusan Hakim

Mahkamah Agung No. 210 PK/Pdt/2008, tentang pembatalan perjanjian

sewa-menyewa secara sepihak antara PD. Kapuas Indah pontianak dan Wali Kota

Pontianak dengan Hariyanto, Direktur PT. Dinamika Pratama, yang dituangkan

dalam Akta Perjanjian sewa-menyewa Nomor 43 yang dibuat tanggal 29 Desember

1998 di hadapan Notaris Suwanto.

Pendekatan perundang-undangan (statute approach), yaitu pendekatan yang

dilakukan dengan menelaah undang-undang dan regulasi yang berkaitan dengan

upaya penyelesaian sengketa perjanjian sewa-menyewa menurut KUH Perdata.

Penelitian hukum normatif ini bersumber dari bahan hukum primer yaitu

merupakan bahan hukum yang terdapat dalam berbagai peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan perjanjian sewa-menyewa yang dibuat dihadapan

(5)

adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Putusan Hakim Mahkamah

Agung No.210 PK/Pdt/2008. Bahan hukum sekunder didapat dari literatur-literatur, brosur-brosur serta media massa sejenisnya yang secara langsung maupun tidak

langsung dapat menunjang dalam penelitian ini sehingga dapat disajikan dan

sekaligus dapat digunakan sebagai landasan teori. Kemudian dianalisis menggunakan metode deskriptif dan eksplanatif, yakni suatu metode yang bersifat

memberikan keterangan, penjelasan dan untuk memperoleh gambaran secara singkat

mengenai azas dan informasi untuk menyampaikan segala informasi dan bahan hukum yang telah diperoleh, kemudian menerapkannya menurut landasan hukum

yang berlaku dari teori-teori yang ada.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Perjanjian Sewa Menyewa Pengelolaan Lingkungan Kompleks Pasar menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Perjanjian merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dimana dalam melaksanakan perbuatan hukum tersebut tidak semua orang

cakap untuk melaksanakannya, akan tetapi dalam berbuat dan melaksanakan

perjanjian tersebut seseorang atau badan hukum harus cakap menurut hukum. Perjanjian sewa menyewa pengelolaan Lingkungan Kompleks Pasar Indah Kapuas

Pontianak yang dilakukan Kepala Pasar Indah Kapuas Pontianak dengan Direktur

PT. Dinamika Pratama selaku pengelola lantai dasar.

R. Subekti merumuskan bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana

seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk

melaksanakan suatu hal.3 Dari peristiwa ini, timbulnya suatu hubungan antara dua orang tersebut dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan

antara dua orang yang membuatnya.4

Sewa menyewa adalah suatu perjanjian dangan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain kenikmatan dari

sesuatu barang, selama waktu tertentu dan dengan pembayarannya suatu harga

yang oleh pihak yang terakhir tersebut disanggupi pembayarannya. Demikianlah

3 R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 1996, hlm. 89

(6)

definisi yang diberikan oleh Pasal 1548 BW mengenai perjanjian sewa menyewa.

Sewa menyewa sama halnya dengan jual beli dan perjanjian yang lain pada umumnya adalah suatu perjanjian konsensual. Artinya, sah dan mengikat pada detik

tercapainya sepakat mengenai unsur-unsur pokoknya, yaitu barang dan harga.

Kalau seseorang diserahi suatu barang untuk dipakai tanpa kewajiban membayar sesuatu apapun, maka yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam pakai.

Jika si pemakai barang itu diwajibkan membayar, maka bukan lagi pinjam-pakai

yang terjadi tetapi sewa-menyewa.5Perkataan “waktu tertentu” dalam uraian Pasal 1584 BW ada yang menafsirkan bahwa pembuat undang-undang memang

memikirkan pada perjanjian sewa menyewa dimana waktu sewa ditentukan,

misalnya untuk enam bulan atau dua tahun dan lain sebagainya.

Pihak yang menyewakan barang, mempunyai kewajiban: 1) menyerahkan

barang yang disewakan kepada penyewa; 2) memelihara barang yang disewakan

sedemikian hingga dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan; 3) memberikan kepada penyewa kenikmatan dari barang yang disewakan selama

berlangsungnya persewaan.

Adapun risiko dalam sewa menyewa selalu berhubungan dengan adanya overmacht sebagaimana dalam perjanjian pada umumnya adalah kewajiban untuk

memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu peristiwa yang terjadi di salah satu

pihak maka akibat dari keadaan memaksa (overmacht) adalah: 1) kreditur tidak dapat minta pemenuhan prestasi (pada overmacht sementara sampai berakhirnya keadaan

overmacht); 2) umurnya kewajiban untuk mengganti kerugian (Pasal 1244 BW dan

1245 BW); 3) pihak lawan tidak perlu minta pemutusan perjanjian (Pasal 1266 BW tidak berlaku, putusan hakim tidak perlu); 4) umurnya kewajiban untuk berprestasi

dari pihak lawan.

Di dalam risiko sewa menyewa diatur dalam Pasal 1553 KUH Perdata dimana disebutkan bahwa jika barang yang terjadi di luar kesalahan salah satu pihak, maka

perjanjian sewa menyewa gugur demi hukum. Dalam Pasal 1559 KUH Perdata

tentang mengulang sewakan “dan” melepaskan sewanya” kepada pihak lain. Pengertian mengulang sewakan adalah penyewa bertindak sendiri sebagai pihak

yang menyewa dalam suatu perjanjian sewa menyewa kepada kedua yang dilakukan

oleh pihak ketiga. Sedangkan dalam melepaskan sewanya ia mengundurkan diri sebagai penyewa dan menyuruhnya sebagai penyewa yang baru jadi didalam pihak

(7)

ketiga tersebut berhadapan dengan pihak yang menyewakan dan pihak yang

menyewakan dapat dimintakan pembatalan perjanjian sewa menyewa dengan disertai pembayaran kerugian pada yang menyewa dan tidak dapat diwajibkan

pada perjanjian ulang sewa dengan pihak tersebut.

Syarat Sahnya Perjanjian

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum perdata Pasal 1320 telah disebutkan

bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan adanya syarat-syarat tertentu.

Adapun syarat-syarat tersebut antara lain: 1) sepakat mereka mengikatkan dirinya;

2) kecakapan mereka untuk membuat perjanjian; 3) sesuatu hal tertentu; 4) suatu

sebab yang halal.

Dua syarat yang pertama dinamakan syarat-syarat subjektif. Karena mengenai

orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat

yang terahir dinamakan syarat objektifkarena berkaitan objek yang diperjanjikan.

Orang yang melakukan suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada

asasnya, setiap orang yang sudah dewasa, sehat jasmani dan rohani tanpa ada

paksaan atau tekanan dari pihak manapun yaitu cakap menurut hukum. Sedangkan Pasal 1330 KUH Perdata telah disebutkan orang-orang yang tidak cakap membuat

suatu perjanjian adalah : 1) orang-orang yang belum dewasa; 2) mereka yang ditaruh

dibawah pengampuan; 3) orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang, dan pada umumnya senua orang kepada siapa

undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Sebagai syarat ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan mengenai hak-hak dan kewajiban kedua

belah pihak. Barang dan/atau objek yang disebutkan dalam perjanjian paling sedikit

harus ditentukan jenisnya.Sebagai syarat yang terakhir ditetapkan sebagai syarat keempat untuk suatu perjanjian yang sah adanya suatu sebab yang halal. Dengan

sebab ini dimaksudkan tidak ada lain dari isi perjanjian.

Syarat-syarat tersebut di atas apabila tidak dipenuhi semuanya atau salah satu syarat tidak terpenuhi akan membawa akibat hukum bagi para pihak, mengenai

hal ini harus diadakan perbedaan antara syarat subjektif dan syarat objektif. Dalam

hal syarat objektif tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum, artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu

(8)

demi hukum, melainkan perjanjiannya dapat dibatalkan, artinya salah satu pihak

mempunyai hak untuk meminta pembatalan perjanjian tersebut. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah yang memberikan kesepakatannya secara tidak

bebas.

Subyek dan Objek Perjanjian Sewa Menyewa Lingkungan Pasar Indah Kapuas Pontianak

Dalam perjanjian sewa menyewa yang dibahas kali ini terdapat subjek dan

objek perjanjian. Hal yang menjadi subjek dari perjanjian adalah orang atau badan

hukum yang mempunyai hak dan kewajiban untuk menguasai atau menikmati dari

benda yang disewa serta mempunyai hak untuk menerima pembayaran harga sewa

dan berkewajiban untuk menyerahkan bendanya.

Dengan demikian dalam perjanjian sewa menyewa komplek Pasar Indah

Kapuas yang menjadi subjek hukum yaitu: a) Direktur PT. Dinamika Pratama

sebagai subyek penyewa; b) PD. Kapuas Pontianak dan Wali Kota sebagai subjek

yang menyewakan kompleks Pasar Indah Kapuas.

Objek perjanjian di sini dapat diartikan sebagai kebalikan dari subjek yang dalam suatu perjanjian merupakan hal yang dapat diperlakukan oleh subjek tertentu

berupa suatu hal yang penting bagi tujuan yang hendak dicapai dalam pembentukan

perjanjian tersebut. Pada umumnya yang menjadi objek perjanjian adalah harta benda karena hukum perjanjian itu termasuk dalam ruang lingkup harta kekayaan.

Dalam perjanjian sewa menyewa yang dilakukan kali ini yang menjadi objeknya

adalah kompleks Pasar Indah Kapuas Pontianak lantai dasar.

Sengketa Dalam Perjanjian Sewa Menyewa Akibat Wanprestasi

Seperti kita ketahui bersama bahwa setiap saat dalam suatu perjanjian terletak

kewajiban untuk memenuhi prestasi. Jika seseorang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana yang telah di perjanjikan maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut

melakukan wanprestasi atau ingkar janji. Wanprestasi ada beberapa macam bentuk,

yakni: 1) tidak memenuhi prestasi sama sekali; 2) terlambat memenuhi prestasi; 3) memenuhi prestasi tetapi tidak secara baik.

Wanprestasi ini mempunyai akibat-akibat yang begitu penting. Oleh karena

(9)

seseorang lalai atau lupa. Karena seringkali tidak dijanjikan dengan tepat kapan

suatu pihak diwajibkan memenuhi prestasi yang diperjanjikan.

Kemudian mengenai pembatalan perjanjian, hal ini bertujuan membawa kedua

belah pihak kembali kepada sebelum perjanjian diadakan. Kalau satu pihak telah

menerima sesuatu dari pihak lain, pihak uang maupun barang maka dikembalikan. Pembatalan perjanjian karena kelalaian atau wanprestasi ini diatur dalam Pasal 1266

KUH Perdata yang berbunyi: “Syarat batal dianggap selamanya dicantumkan dalam

perjanjian yang timbal balik manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban. Dalam hal demikian perjanjian tidak batal demi hukum tetapi pembatalan harus

dimintakan kepada hakim. Permintaan itu juga harus dilakukan meskipun syarat

batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban itu dinyatakan dalam perjanjian. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian, hakim leluasa menurut keadaan

atas permintaan tergugat untuk memberikan suatu jangka waktu guna kesempatan

memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana tidak boleh dari satu bulan”.

Adanya ketentuan pembatalan perjanjian, maka harus dimintakan kepada

hakim. Menurut penulis tidaklah mungkin perjanjian itu batal secara otomatis pada

waktu debitur itu nyata-nyata melalaikan kewajibannya karena hakim memiliki kekuasaan untuk menilai besar kecilnya kelalaian dibandingkan dengan besarnya

akibat pembatalan perjanjian yang mungkin menimpa pihak yang dirugikan kalau

hakim menimbang bahwa kelalaian salah satu pihak terlalu kecil dan tidak berarti sedangkan pembatalan perjanjian akan ditolak oleh atau membawa kerugian yang

terlalu besar bagi pihak lain maka permohonan untuk pembatalan perjanjian akan

ditolak hakim.

Pihak dirugikan dapat memilih antara berbagai kemungkinan antara lain: 1)

Dapat meminta pelaksanaan perjanjian, meskipun pelaksanan ini sudah terlambat;

2) Dapat meminta penggantian kerugian saja, yaitu kerugian yang dideritanya, karena perjanjian tidak atau terlambat dilaksanakan, atau dilaksanakan, tetapi tidak

sebagaimana mestinya; 3) Dapat menuntut pelaksanaan perjanjian disertai dengan

penggantian kerugian yang dideritanya sebagai akibat terlambatnya pelaksanaan perjanjian; 4) Dalam suatu hal perjanjian yang meletakkan kewajiban timbal balik,

kelalaian suatu pihak kepada pihak yang lain untuk meminta pada hakim supaya

perjanjian dibatalkan, disertai dengan permintaan penggantian kerugian.

Hak ini diberikan oleh Pasal 1266 BW yang menentukan bahwa tiap perjanjian

(10)

pihak akan mengakibatkan pembatalan perjanjian. Pembatalan perjanjian tersebut

harus dimintakan pada hakim.6

Perbuatan Melawan Hukum Dalam Perjanjian Sewa Menyewa

Perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) adalah suatu perbuatan yang

bertentangan dengan hak subjektif orang lain dan bertentangan dengan kewajiban

hukum pelaku. Perbuatan melawan hukum diatur dalam Buku III Bab 3 Pasal 1365

KUH Perdata yang masuk kedalam perikatan-perikatan yang timbul demi

undang-undang. Pasal 1365 KUH Perdata berbunyi : “Tiap perbuatan melawan hukum, yang

membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya

menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.

Menurut R. Setiawan, unsur-unsur dalam Pasal 1365 KUH Perdata adalah

sebagai berikut: 1) perbuatan, yaitu terjadi karena tindakan dilaksanakan atau tidak

seharusnya dilaksanakan; 2) melanggar hukum, yaitu terjadi karena adanya

perkembangan masyarakat dalam menyesuaikan dengan keadaan pengertian

melanggar, yaitu: a. hukum yang berlaku yang terdapat dalam

perundang-undangan; b. hubungan orang lain; 3) kesalahan, yaitu bahwa dari perbuatan melawan hukum merupakan perbuatan yang salah dan tidak dapat dibenarkan,

unsur kesalahan dapat terjadi karena disengaja atau tidak disengaja; 4) kerugian,

yaitu kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan melawan hukum.7

Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori dari perbuatan melawan hukum,

yaitu sebagai berikut: 1) perbuatan melawan hukum dengan kesengajaan; 2)

perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan atau kelalaian); 3) perbuatan melawan hukum karena kelalaian.

Setelah meninjau perumusan luas dari onrechtmetige daad, maka yang termasuk

perbuatan melawan hukum adalah setiap tindakan : 1) bertentangan dengan hak orang lain; 2) bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri; 3) bertentangan

dengan kesusilaan; 4) bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam

pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau benda.

6 R. Subekti,Op.Cit., hlm. 148

(11)

Putusan Hakim Mahkamah Agung Kaitannya dengan Perjanjian Sewa Menyewa

Dalam lapangan perdata adanya campur tangan dari hakim timbul, apabila

persoalannya diajukan oleh para pihak yang bersangkutan ke pengadilan. Pihak

yang mengajukan gugatan ke pengadilan adalah mereka yang merasa diperlakukan

tidak adil atau merasa haknya dilanggar oleh pihak lain dan disebut penggugat

dan menarik orang lain yang pada pendapatnya melanggar haknya itu sebagai

tergugat.

Dalam hal tanya jawab di muka pengadilan bagi para pihak yang berperkara

bebas untuk mengemukakan peristiwa-peristiwa yang berlainan dengan perkaranya.

Untuk itu hakim dalam pemeriksaan suatu perkara perdata di pengadilan harus

mengetahui dasar-dasar dan alasan-alasan dari seorang penggugat maupun tergugat

tentang pokok perkaranya, baik perkara yang diajukan oleh penggugat atau

keterangan yang diberikan oleh tergugat. Pada dasarnya hakim di dalam mengambil

keputusan tentang perkara yang diperiksanya harus terlebih dahulu dibuktikan

dan apakah peristiwa itu sudah cukup bukti atau tidak, maka dalam hal ini hak

menggunakan teori pembuktian guna dapat menerapkan hukum secara tepat, adil

dan benar. Karena dari pemeriksaan alat bukti tersebut hakim akan dapat mengambil

suatu kesimpulan, untuk itu hakim menentukan, apa yang harus dibuktikan dan

pihak mana yang harus memberikan bukti, artinya hakim akan menentukan pihak

mana (penggugat atau tergugat) akan memikul risiko tentang beban pembuktian

dalam hal ini beban pembuktian tidak boleh berat sebelah. Sebagaimana yang diatur

dalam Pasal 1866 BW yang menjelaskan tentang macam-macam alat bukti dalam

perkara perdata yang terdiri dari: 1) bukti tertulis/surat; 2) bukti dengan

saksi-saksi; 3) persangkaan-persangkaan; 4) Pengakuan; 5) sumpah segala sesuatunya

yang mengindahkan aturan-aturan yang ditetapkan.

Kekuatan Hukum Perjanjian Sewa Menyewa yang Dibuat Dihadapan Notaris

Seorang notaris diangkat oleh Menteri Kehakiman, mempunyai tugas dan

wewenang membuat akta. Akta otentik adalah akta yang dibuat dan diresmikan

dalam bentuk menurut hukum, oleh atau dihadapan penjabat-penjabat umum yang

berwenang berbuat demikian itu di tempat dimana akta tersebut dibuat.

Notaris berasal dari kata latin notarius yang artinya orang yang membuat

catatan. Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Penjabatan Notaris dimana Notaris dijadikan

(12)

mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu

peraturan atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan

memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta

itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada penjabat atau orang lain.

Dari pengertian tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa tugas pokok

notaris adalah membuat akta-akta otentik. Adapun akta otentik itu menurut Pasal 1870 KUH Perdata memberikan kepada pihak-pihak yang membuatnya suatu

pembuktian mutlak.

Selain yang disebut dalam undang-undang di tugas notaris, antara lain: 1) mendaftarkan akta-akta/surat-surat di bawah tangan (syukken), melakukan; 2)

pengesahan (waarmeking); 3) melegalisir tanda tangan; 4) membuat dan mengesahkan

(waarmeking) salinan/turunan berbagai dokumen; 5) mengusahakan disahkannya badan-badan, seperti perseroan terbatas dan perkumpulan agar memperoleh

persetujuan / pengesahan sebagai badan hukum dari Menteri Kehakiman; 6)

membuat keterangan hak waris (di bawah tangan); 7) pekerjaan-pekerjaan lain yang bertalian dengan lapangan yuridis dan perpajakan, seperti urusan bea materai dan

sebagainya.8 Dengan demikian dalam pembuatan akta, orang-orang atau para pihak

sebelumnya harus ada persetujuan kehendak yang didahului dengan mengadakan perundingan.

Menurut Abdul Kadir Muhammad, yang dimaksud dengan persetujuan

kehendak adalah: “Kesepakatan seia sekata antara pihak-pihak mengenai pokok-pokok perjanjian yang dibuat. Pokok perjanjian itu berupa objek perjanjian dan

syarat-syarat perjanjian. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu dengan pihak

yang lain sama-sama dikehendaki”.9

Syarat Akta Notaris Sebagai Akta Otentik

Pasal 15 ayat (1) UUJN menegaskan bahwa salah satu kewenangan notaris, yaitu membuat akta secara umum dengan batasan sepanjang: a. tidak dikecualikan kepada

pejabat lain yang ditetapkan oleh undang-undang; b. menyangkut akta yang harus

dibuat atau berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian

(13)

dan ketetapan yang diharuskan oleh aturan hukum atau dikehendaki oleh yang

bersangkutan; c. mengenai subjek hukum (orang atau badan hukum) untuk kepentingan siapa akta itu akta itu dibuat atau dikehendaki oleh yang

berkepentingan; d. berwenang mengenai tempat, dimana akta itu dibuat hal ini

sesuai dengan tempat kedudukan dan wilayah jabatan notaris; e. mengenai waktu pembuatan akta, dalam hal ini notaris harus menjamin kepastian waktu menghadap

para penghadap yang tercantum dalam akta.

Akta yang dibuat di hadapan atau oleh notaris berkedudukan sebagai akta otentik menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN, hal ini sejalan

dengan pendapat Philipus M. Hadjon,10 bahwa syarat akta otentik, yaitu: 1) di dalam

bentuk yang ditentukan oleh undang-undang; 2) dibuat oleh dan di hadapan Pejabat umum.

Dikemukakan pula oleh Irawan Soerodjo, bahwa ada 3 (tiga) unsur esenselia

agar terpenuhinya syarat formal suatu akta otentik,11 yaitu: a. di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang; b. dibuat oleh dan dihadapan Pejabat umum; c.

akta yang dibuat oleh atau di hadapan Pejabat umum yang berwenang untuk itu

dan di tempat dimana akta itu dibuat.

Pasal 1868 BW merupakan sumber untuk otensitas akta notaris juga merupakan

dasar legalitas eksistensi akta notaris, dengan syarat-syarat sebagai berikut: pertama,

akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang pejabat umum. Pasal 38 UUJN yang mengatur mengenai sifat dan bentuk akta tidak menentukan

mengenai sifat akta. Dalam Pasal 1 angka 7 UUJN menentukan bahwa akta notaris

adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN dan secara tersirat dalam Pasal 58 ayat 2

UUJN disebutkan bahwa notaris wajib membuat daftar akta dan mencatat oleh atau

di hadapan notaris. Dalam tataran hukum (kenotariatan) yang benar mengenai akta notaris dan notaris, jika suatu akta notaris dipermasalahkan oleh para pihak: a) para

pihak datang kembali ke notaris untuk membuat akta pembatalan atas akta tersebut,

dan dengan demikian akta yang dibatalkan sudah tidak mengikat lagi para pihak dan para pihak menanggung segala akibat dari pembatalan tersebut; b) jika para

pihak tidak sepakat akta yang bersangkutan untuk dibatalkan, salah satu pihak

dapat menggugat pihak lainnya, dengan gugatan untuk mendegradasikan akta

(14)

notaris menjadi akta di bawah tangan. Setelah didegradasikan, maka hakim yang

memeriksa gugatan dapat memberikan penafsiran tersendiri atas akta notaris yang sudah terdegradasikan, apakah tetap mengikat para pihak atau dibatalkan. Hal ini

tergantung pembuktian dan penilaian hakim. Kedua, akta itu harus dibuat dalam dalam

bentuk yang ditentukan oleh undang-undang. Ketika kepada para notaris masih diberlakukan Peraturan Jabatan Notaris (PJN), masih diragukan apakah akta yang

dibuat sesuai dengan undan-undang? Pengaturan pertama kali notaris Indonesia

berdasarkan Instruktie voor de Notarissen Residerende in Nederlands Indie dengan Stbl. No. 11, tanggal 7 Maret 1822,12 kemudian dengan Reglement op Het Notaris Ambt in

Indonesia (Stb.1860:3), dan Reglement ini berasal dari Wet op Het Notarisambt (1842),

kemudian Reglement tersebut diterjemahkan menjadi PJN.13 Pejabat Umum oleh-oleh di hadapan siapa akta itu dibuat harus mempunyai wewenang untuk membuat

akta tersebut.

Wewenang notaris ada empat hal, yaitu : a) notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang harus dibuat itu; b) notaris harus berwenang sepanjang

mengenai orang-orang untuk kepentingan siapa akta itu dibuat; c) notaris harus

berwenang sepanjang mengenai tempat, dimana akta itu dibuat; d) notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu.

Akta notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan nilai pembuktian:14 1)

lahiriah (uitwendige bewijskraccht), nilai pembuktian akta notaris dari aspek lahiriah akta tersebut harus dilihat apa adanya bukan ada apa. Secara lahiriah tidak perlu

dipertentangkan dengan alat bukti yang lainnya. Jika ada yang menilai bahwa suatu

akta notaris tidak memenuhi syarat sebagai akta, maka yang bersangkutan wajib membuktikan bahwa akta tersebut secara lahiriah bukan akta otentik; 2) formal

(formele bewijskracht), akta notaris harus memberikan kepastian bahwa sesuatu

kejadian dan fakta tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap pada saat tercantum dalam akta

sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan dalam pembutan akta. Secara formal

untuk membuktikan kebenaran dan kepastian tentang hari, tanggal, bulan, tahun, pukul (waktu) menghadap, dan para pihak yang menghadap, paraf dan tanda tangan

para pihak/penghadap, saksi dan notaris (pada akta pejabat/berita acara), dan

12 R. Soegondo Notodisoerjo, Op.Cit., hlm. 24-25. 13 Tan Thong Kie, Op. Cit., hlm. 362.

(15)

mencatatkan keterangan atau pernyataan para pihak penghadap (pada akta pihak);

3) materiil (materiele bewijskracht), merupakan kepastian tentang materi suatu akta, bahwa apa yang tersebut dalam akta merupakan pembuktian yang sah terhadap

pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk

umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya (tegenbewijs). Keterangan atau pernyataan yang dituangkan/dimuat dalam Akta Pejabat atau keterangan atau para pihak yang

diberikan atau disampaikan di hadapan notaris (akta pihak) dan para pihak harus

dinilai benar berkata yang kemudian dituangkan atau dimuat dalam akta berlaku sebagai yang benar atau setiap orang yang datang menghadap notaris yang kemudian

keterangannya dituangkan dimuat dalam akta harus dinilai telah benar berkata.

Ketiga aspek tersebut di atas merupakan kesempurnaan akta notaris sebagai akta otentik dan siapapun terikat oleh akta tersebut. Jika dapat dibuktikan dalam

suatu persidangan pengadilan bahwa ada salah satu aspek tersebut tidak benar,

maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta tersebut didegradasikan kekuatan pembuktiannya

sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta bawah tangan.

Aspek lahiriah dari akta notaris dalam yurisprudensi Mahkamah Agung bahwa akta notaris sebagai alat bukti berkaitan dengan tugas pelaksanaan tugas notaris,

contohnya Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 210 PK/ Pdt/2008,

yang menegaskan bahwa judex factie dalam amar putusannya membatalkan akta notaris, hal ini tidak dapat dibenarkan, karena Pejabat Notaris fungsinya hanya mencatatkan

(menuliskan) apa-apa yang dikehendaki dan dikemukakan oleh para pihak yang

menghadap notaris tersebut. Tidak ada kewajiban bagi notaris untuk menyelidiki secara materil apa-apa (hal-hal) yang dikemukakan oleh penghadap notaris tersebut.

Berdasarkan pada putusan Mahkamah Agung tersebut dapat disimpulkan

bahwa: 1) akta notaris tidak dapat dibatalkan; 2) fungsi notaris hanya mencatatkan (menuliskan) apa saja yang dikehendaki dan dikemukakan oleh para pihak yang

menghadap notaris tersebut; 3) tidak ada kewajiban bagi notaris untuk menyelidiki

secara materil apa saja yang dikemukakan oleh penghadap tersebut.

Penutup

Setelah dijelaskan secara panjang lebar masalah pelaksanaan perjanjian sewa

(16)

sebagai berikut: Pertama, perjanjian sewa menyewa yang dilakukan di hadapan

Notaris merupakan suatu perjanjian yang sah dan otentik; Kedua, Putusan Mahkamah Agung menguatkan perjanjian sewa menyewa yang dilakukan di hadapan notaris

dan akta notaris diakui keabsahannya serta tidak bisa diganggu gugat.

Perjanjian yang telah disepakati kedua belah pihak hendaknya dihargai sebagai kesepakatan bersama yang memiliki kekuatan hukum yang mengikat antara para

pihak yang melakukan perjanjian. Setiap perjanjian yang akan disepakati sebaiknya

dibuat di hadapan notaris agar memiliki kekuatan hukum, apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan sampai di sidang di pengadilan ada bukti yang otentik

dan tidak bisa dibatalkan.

Daftar Pustaka

Lumbang Tobing, G.H.S., Peraturan Jabatan Notaris, Sinar Grafika, Jakarta, 1980.

M. Hadjon, Philipus, Formulir Pendaftaran Tanah Bukan Akta Otentik, Surabaya Post, 31 Januari 2001.

Mertokusumo, Sudikno, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Yogyakarta, 2001.

Setiawan, Rachmad, Tinjauan Elementer Perbuatan Melanggar Hukum, Bina Cipta, Jakarta, 1991.

Soerodjo Irawan, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia, Arkola, Surabaya, 2003.

Subekti, R., Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995.

_______, Pokok-pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 1996.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ditemukan nilai ideal keadilan dapat mengatur keseimbangan kepentingan umat manusia baik kepastian hukum, kesejahteraan, kebahagian, pendidikan dan

4.28 Hasil Observasi terhadap Siswa tentang Penggunaan Model Kooperatif Tipe Round Table dengan Media Gambar Siklus III Pertemuan 2

posttest menunjukkan terjadi penurunan yang cukup siginifikan menjadi 32.65% siswa yang mengalami miskonsepsi, presentasi penurunan kuantitas miskonsepsi untuk

However, the purpose of this study are: 1) To know the implementation of Adz-Dzikru Method in inproving the Qur‟an reading skill of the students at Darul

Perhitungan neraca kayu di suatu tempat pada tahun tertentu idealnya dihitung dengan memasukan seluruh input kayu yang masuk ke Pulau Jawa, baik melalui pelabuhan resmi

Model Adaptasi Wujud Visual Wayang Analisis yang telah dilakukan pada tokoh Cakil, Bima, Gatotkaca, Arjuna, Abimanyu, Sinta, Anoman, dan Petruk merupakan langkah awal

Setelah dilakukan perancangan dan simulasi dapat ditarik kesimpulan bahwa pada pengukuran pengaruh HTL dan ETL terhadap struktur blue OLED menggunakan BFE sebagai

Namun, hasil penelitian tersebut tidak berarti bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan akuntansi pemilik/staf akuntansi pada UMKM terhadap praktik akuntansi di UMKM,