• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PEMBUKTIAN DALAM PERKARA PIDANA KORUPSI. Tindak Pidana ialah suatu peristiwa pidana yang sering juga ia sebut delik,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III PEMBUKTIAN DALAM PERKARA PIDANA KORUPSI. Tindak Pidana ialah suatu peristiwa pidana yang sering juga ia sebut delik,"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

PEMBUKTIAN DALAM PERKARA PIDANA KORUPSI

A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Menurut Moeljatno, Tindak Pidana ialah perbuatan yang dilarang oleh suatu perbuatan hukum, larangan yang mana disertai sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Menurut E. Utrecht Tindak Pidana ialah suatu peristiwa pidana yang sering juga ia sebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau doen-positif atau suatu melalaikan nalaten-negatif, maupun akibatnya (perbuatan yang ditimbulkan

karena perbuatan atau melalaikan itu).34 Dengan demikian menurut Penulis

Tindak Pidana ialah suatu perbuatan yang dilakukan dimana perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan sehingga perbuatan tersebut mendapatkan ancaman pidana.

Korupsi merupakan gejala dimana para pejabat, badan-badan Negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta

ketidakberesan lainnya.35 Korupsi merupakan perbuatan yang merusak, jahat

dan harus diberantas sejak dini. Mengingat perbuatan tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa, sehingga diperlukanlah suatu penanganan khusus untguk memberantas tindak pidana ini.

Menurut Subekti, korupsi ialah perbuatan curang, tindak pidana yang merugikan keuangan Negara. Menurut Baharuddin Lopa, menguraikan arti istilah korupsi dari bebagai bidang yakni yang menyangkut masalah 34 Evi Hartanti, Op. Cit, hlm. 6-7

35 Ibid, hlm. 8

(2)

penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi dan

yang menyangkut bidang kepentingan ekonomi.36 Menurut Penulis, korupsi

ialah perbuatan curang yang dilakukan oleh pejabat-pejabaa yang berwenang dimana ia memiliki suatu jabatan untuk menguntungkan dirinya, orang lain atau lembaga lainnya.

Korupsi telah menjadi penyakit yang terus berkembang dalam tiga tahap yaitu elitis, endemic, dan sistematik. Pada tahap elitis, korupsi masih menjadi patologi social yang khas di lingkungan para elit/pejabat. Pada tahap endemis, korupsi mewabah menjangkau lapisan masyarakat luas. Lalu ditahap yang kritis, ketika korupsi menajadi sistematik, setiap individu didalam

system terjangkit penyakit yang serupa.37 Hal ini terlihat di Indonesia bahwa

korupsi telah masuk ketahap sistematik yang mana setiap individu yang memiliki kekuasaan atau kewenangan yang tinggi dapat menyalahgunakan kekuasaannya demi menguntungkan diri sendiri dan meurugikan banyak orang.

Tindak Pidana Korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak social dan hak-hak ekonomi warga Negara. Sehingga Tindak Pidana Korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes), yang memang sudah seharusnya pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dilakukan dengan cara “luar biasa” untuk membasmi para koruptor yang semakin tahun terus meningkat.

36 Ibid, hlm.9

37 Ermansjah Djaja, Op.Cit, hlm.28

(3)

B. Pengertian Pembuktian

Dalam pemeriksaan perkara pidana di pengadilan adanya pembuktian merupakan hal yang penting, hal ini dikarenakan peran dari pembuktian dapat membantu hakim dalam memberikan putusannya, apakah seseorang yang telah melakukan tindak pidana tersebut memang benar-benar telah melakukan perbuatan tindak pidana dan ia dapat dipersalahkan atas perbuatan yang telah ia lakukan. Oleh karena itu di depan persidangan hakim berupaya untuk dapat menilai apakah pembuktian yang telah di berikan tersebut, dapat meyakinkan bagi hakim dalam memberikan putusannya.

Kamus Besar Hukum Indonesia menyatakan pembuktian adalah proses atau perbuatan sebagai cara untuk membuktikan kebenaran sesuatu dalam

sidang pengadilan38 Cara bagi pelaku atau terdakwa untuk dapat membuktikan

kepada hakim didepan persidangan mengenai kebenaran tentang perbuatan yang telah dilakukannya, yaitu dengan cara memberikan keterangan atau memberikan alat-alat bukti yang tepat, sehingga hakim dapat yakin untuk memberikan putusan terhadap perkara yang telah dilakukannya. Pembuktian merupakan suatu proses yang mana alat-alat bukti dapat dipergunakan atau diajukan dalam persidangan untuk membuktikan suatu perkara.

Menurut Yahya Harahap, pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang dan membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang

38Kamus Hukum, 2013, Bandung, Citra Umbara, hlm. 373

(4)

dibenarkan undang-undang dan mengatur mengenai alat bukti yang boleh digunakan hakims guna membuktikan kesalahan terdakwa.Pengadilan tidak

boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa.39

Menurut Bambang Poernomo pembuktian adalah keseluruhan aturan-aturan hukum atau aturan-aturan mengenai kegunaan untuk merekonstruksi suatu kenyataan yang benar dari setiap kejadian masa lalu yang relevan dengan persangkaan terhadap orang lain yang diduga melakukan perbuatan pidana dan pengesahan setiap sarana bukti menurut ketentuan hukum yang berlaku untuk

kepentingan peradilan dalam perkara pidana.40

Dapat disimpulakan bahwa pembuktian merupakan suatu ketentuan yang dilakukan oleh hakim untuk membuktikan kesalahan yang dilakukan oleh terdakwa dengan menggunakan alat-alat bukti yang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Terdakwa juga wajib untuk memberikan alat-alat bukti yang dapat menggugurkan dakwaan yang telah didakwakan terhadap dirinya, sehingga terdakwa mampu untuk membuktikan kebenaran akan perbuatan yang dilakukannya. Pembuktian merupakan perdoman bagi hakim, karena dengan adanya pembuktian hakim dapat memberikan suatu putusan terhadap suatu perkara.

Pembuktian pada dasarnya telah dimulai dari tahap penyelidikan, dimana tim penyidik bertindak untuk mencari barang bukti yang diduga digunakan dalam terjadinya suatu tindak pidana, penyidikan yang dilakukan

39

M. Yahya Harahap, 1998, Tinjauan berbagai Permasalahan Teknis Bidang Pidana Diktat, Jakarta, Sinar Grafika, hlm.4

40Bambang Purnomo, 1993, Pokok-Pokok Tata Acara Peradilan Pidana Indonesia, Yogyakarta, Liberty, hlm.36.

(5)

oleh penyidik tersebut merupakan tahapan awal terjadinya pembuktian. Dengan kata lain proses pembuktian dilakukan sejak dimulainya proses penyelidikan barang bukti yang menghasilkan kejahatan terdakwa hingga penjatuhan vonis terhadap terdakwa yang telah melakukan perbuatan pidana tersebut.

Peranan pembuktian tidak hanya berguna bagi pengadilan, melainkan penting bagi kehidupan sehari-hari maupun kepentingan lembaga penelitian.Sebab pembuktian merupakan kunci dalam bagi hakim dalam memberikan putusan yang seadil-adilnya. Ada beberapa ciri-ciri peranan pembuktian bagi pengadilan, diantaranya sebagai berikut:

1. Berkaitan dengan kenyataan yang mempunyai arti di bidang hukum pidana, antara lain apakah kelakuan dan ikhwal yang terjadi itu memenuhi kualifikasi perbuatan pidana atau tidak;

2. Berkaitan dengan kenyataan yang dapat menjadi perkara pidana, antara lain apakah korban yang dibahayakan dan apakah kejadian itu diperbuat oleh manusia atau bukan alam;

3. Diselenggarakan melalui peraturan hukum acara pidana, antara lain ditentukan yang berwenang memeriksa fakta harus dilakukan oleh polisi, jaksa, hakim dan petugas lain menurut tata cara yang diatur dalam

undang-undang.41

Dalam penjelasan di atas dapat simpulakan bahwa kegiatan pembuktian dapat dilakukan oleh majelis hakim dalam menangani atau

41ibid, hlm.39

(6)

memutuskan suatu perkara, dapat dilakukan oleh penuntut umum dalam melakukan penuntutan terhadap terdakwa dan pembuktian dapat dilakukan oleh terdakwa untuk dapat mengungkapkan pembuktiannya agar majelis hakim dapat yakin dengan pembukitian yang diberikan oleh terdakwa serta pembuktian dapat dilakukan oleh penasihat hukum dalam membela client-nya. Hal ini sebenarnya saling berkaitan dalam proses pembuktian, hanya saja derajat dalam memberikan pembuktian sedikit ada perbedaan.

Proses pembuktian dapat dilakukan bersama-sama oleh Majelis Hakim, Jaksa Penuntut Umum, Terdakwa serta Penasihat Hukum, namun pengertian proses berakhirnya pembuktian bagi Majelis Hakim, Jaksa Penuntut Umum, Terdakwa dan Penasihat hukum memiliki pengertian yang berbeda. Dimana bagi Majelis Hakim berakhirnya proses pembuktian dengan dinyatakan atau diakhirinya dengan adanya pembacaan putusan, sedangkan bagi Jaksa Penuntut Umum proses berakhirnya pembuktian dengan diajukan tuntutan pidana yang dapat dilanjutkan dengan jawaban Jaksa Penuntut Umum (replik) terhadap terdakwa atau penasihat hukumnya, sedangkan bagi terdakwa atau penasihat hukum proses berakhirnya pembuktian dengan dibacakannya pembelaan, yang dapat dilakukan dengan cara menanggapi dakwaan yang didakwakan oleh JPU (duplik).

Menurut Adam Chazawi, pembuktian disidang pengadilan dapat dibedakan menajdi 2 bagian, yaitu:

(7)

2. Bagian pekerjaan penganalisian fakta yang sekaligus penganalisisan

hukum.42

Bagian pembuktian pengungkapkan fakta merupakan kegiatan dalam memeriksa barang bukti yang diajukan di muka pengadilan oleh Jaksa Penuntut Umum atau Penasehat Hukum atau kebijakan dari Majelis Hakim. Proses pembuktian pertama ini akan berakhir pada saat ketua majelis menyatakan (diucapkan secara lisan) dalam sidang bahwa pemeriksaan perkara, sedangkan maksud dari pembuktian kedua ialah bagian pembuktian yang berupa penganalisisan fakta-fakta yang didapat dalam persidangan dan penganalisisan hukum masing-masing dilakukan oleh yaitu Majelis Hakim,

Jaksa Penuntut Umum, dan Penasihat Hukum atau Terdakwa.43

Mengenai Pengertian Pembuktian, alat bukti yang digunakan dalam proses pembuktian telah diatur didalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yang mana dalam Pasal tersebut telah dijelaskan bahwa Alat Bukti yang Sah ialah Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat, Petunjuk, dan Keterangan Terdakwa. Alat Bukti yang diperlukan untuk membuktikan suatu Perkara dalam proses Persidangan atau Pemeriksaan, dibutuhkanlah minimal 2 alat bukti yang sah untuk dapat meyakinkan bagi Hakim ataupun bagi Aparat penegak Hukum.

42 Adami Chazawi, 2006, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung, PT.Alumni, hlm.21

43Ibid, hlm.22

(8)

C. Sistem Pembuktian dalam Tindak Pidana

Dalam menetapkan suatu putusan, hakim harus memiliki keyakinan atas suatu pembuktian yang telah diberikan baik dari Jaksa Penuntut Umum maupun dari pihak Terdakwa atau Penasihat Hukum.Dengan demikian, agara keputusan yang ditetapkan oleh hakim menjadi suatu keputusan yang seadil-adilnya, maka hakim harus mengetahui teori atau sistem pembuktian terlebih dahulu guna untuk mengetahui bagaimaa meletakkan suatu hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang diadilinya. Untuk itu, ada beberapa teori-teori mengenai sistem pembuktian, yaitu diantaranya:

1. Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif (Positief

Wettelijke Bewijs Theorie)

Menurut teori ini, sistem pembuktian positif bergantung kepada alat-alat bukti yang telah dibatasi dalam Undang-Undang. Singkatnya, Undang-Undang telah menentukan tentang adanya alat-alat bukti mana yang dapat dipakai oleh hakim, cara bagaimana hakim harus mempergunakan kekuatan alat-alat bukti tersebut dan bagaimana caranya

hakim harus memutus terbukti atau tidaknya perkara yang sedang diadili.44

Sistem ini mendasarkan kepada bahwa hakim hanya boleh menentukan kesalahan tertuduh, bila ada bukti minimum yang diperlukan oleh undang-undang, sehingga jika bukti yang diberikan telah cukup dan meskipun bukti yang ditunjukan tersebut tidak sesuai dengan keyakinan hakim, maka hakim tetap harus menetapkan putusannya berdasarkan alat bukti yang telah diberikan.

44 Lilik Mulyadi, 2015, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, bandung, P.T Alumni, hlm.243

(9)

Sistem pembuktian ini berpedoman kepada undang-undang, dimana dalam undang-undang telah dijelaskan pada Pasal 184 ayat (1) alat bukti yang sah ialah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Jika dalam pembuktian barang bukti yang sudah ditetapkan telah cukup, maka hakim dapat memberikan putusannya dan menyatakan terdakwa bersalah.Begitu pula sebaliknya, jika terdakwa atau penasehat hukum dapat memberikan alat bukti bahwa terdakwa tidak bersalah, maka hakim harus menyatakan bahwa terdakwa tidak bersalah.Dengan demikian putusan bagi hakim dalam teori ini tidak berdasarkan dari keyakinan hakim, melainkan dari alat bukti yang sudah ditetapkan dalam undang-undang.

Dalam sistem ini hakim seperti pelaksana undang-undang dan tidak memiliki hati nurani dalam memberikan putusannya, karena putusan yang ditetapkan hakim tidak berdasar dari keyakinan hakim. Meskipun demikian teori ini memiliki kelebihan dan kekurangannya, dimana kelebihan dari sistem teori ini benar-benar menuntut hakim untuk mencari dan menentukan kebenaran salah atau tidaknya terdakwa sesuai dengan tata cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan

undang-undang.45Menurut penulis sistem ini memiliki kekurangan yaitu hakim

sebagai wakil tuhan dalam menetapkan putusannya tidak berdasarkan keyakinannnya namun berdasarkan alat bukti, sedangkan tidak semua alat bukti yang diberikan bersifat mutlak.

45 Andi Hamzah, 1984, Penghantar Hukum Acara Pidana, Jakarta, Ghalia Indonesia, hlm. 229

(10)

2. Sistem Pembuktian Menurut Keyakinan Hakim (Conviction Intime /

Conviction Raisone)

Pada sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim, hakim dapat menjatuhkan putusan berdasarkan keyakinan belaka dengan tidak terikat oleh suatu peraturan (bloot gemoedelijke overtuiging, conviction intime).46Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim mempunyai 2 (dua) bentuk polarisasi, yaitu Conviction Intime dan Conviction Raisone.Conviction Intime adalah sistempembuktian yang berdasarkan keyakinan hakim belaka.Pembuktian ini memberikan kebebasan kepada hakim dalam menentukan suatu keputusan berdasarkan keyakinan hakim, artinya hakim dapat menjatuhkan putusan kepada terdakwa apabila hakim beranggapan bahwa terdakwa telah bersalah atau sebaliknya berdasarkan hati nuraninya.Conviction Raisone adalah sistem pembuktian yang beropedoman pada keyakinan hakim, tetapi keyakinana hakim berdasarkan dengan alasan-alasan yang rasional, yakni alasan yang dapat diterima oleh akal pikiran yang menjadi dasar keyakinan hakim tersebut.

Keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan kepada terdakwa dalam sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim (Conviction Intime / Conviction Raisone), dilihat dari keterangan-keterangan atau alat-alat bukti dari terdakwa atau penasihat hukum atau jaksa penuntut umum yang mana bukti tersebut tampak lebih jelas dan dapat dianalisis secara logis.

46 Lilik mulyadi, Op.Cit, hlm.245

(11)

Menurut Hemat Penulis, Conviction intim dalam teori sistem pembuktian ini, hakim memberikan putusannya berdasarkan keyakinan hakim, dimana penilaian hakim atas barang bukti yang diberikan terdakwa telah sesuai dengan keyakinan hakim, sehingga hakim dapat menentukan terdakwa bersalah atau sebaliknya. Keyakinan bagi hakim bisa dilihat dari barang bukti yang telah diperiksa dalam sidang pengadilan, namun jika barang bukti yang telah diperiksa tersebut tidak sesuai dengan keyakinan hakim, maka barang bukti tersebut bisa langsung diabaikan dan langsung mengambil keputusan dari keterangan atau pengakuan terdakwa.Pada teori ini keyakinan hakimlah yang paling dominan atau yang paling menentukan salah atau tidaknya terdakwa.Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup bagi hakim dalam membuktikan kesalahan terdakwa.Dalam teori ini nasib bagi terdakwa sepenuhnya ada pada keyakinan hakim, sehingga keyakinan hakimlah yang merupakan bentuk sebenarnya dalam menentukan sistem pembuktian tersebut.

Teori sistem pembuktian Conviction raisone, menurut Hemat Penulis sistem pembuktian ini berdasarkan atas keyakinan hakim yang mana alat bukti atau keterangan dari terdakwa dapat dicerna secara logis dan masuk akal, sehingga alat bukti atau keterangan yang telah di periksa didepan sidang pengadilan jika menurut keyakinan hakim tidak sesuai atau tidak masuk akal, maka hakim dapat memutuskan bahwa terdakwa memang bersalah, namun jika barang bukti atau keterangan yang telah diberikan dapat dinilai oleh hakim memiliki alasan-alasan yang jelas dan

(12)

rasional maka hakim dapat memberikan putusan yang seadil-adilnya bagi terdakwa.

3. Sistem Pembuktian menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijke Bewijs Theorie)

Sistem Pembuktian menurut Undang-Undang Negative (Negatief Wettelijke Beweijs Theorie) ialah suatu sistem pembuktian yang menentukan bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan pidana terhadap terdakwa apabila alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang dan didukung pula oleh adanya keyakinan hakim terhadap eksitensinya

alat-alat bukti tersebut.47 jadi sistem pembuktian menurut undang-undang

secara negative ini merupakan gabungan dari sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif yaitu berdasarkan alat-alat bukti dan berdasarkan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim (Conviction Intime) sehingga dalam suatu peristiwa pidana hakim dalam memutuskan suatu perkara harus berdasarkan keyakinan dan berdasarkan alat bukti yang telah diperiksa.

Menurut Hemat Penulis, sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara Negative ini, ialah sistem pembuktian yang digunakan didalam peradilan pidana di Indonesia, dimana hakim dalam memutuskan suatu peristiwa pidana berdasarkan dari keyakinan hakim dan berdasarkan alat-alat bukti yang telah diperiksa didalam persidangan. Sesuai dengan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa tidak seorangpun dapat

47 Lilik mulyadi, Op,Cit, hlm.247

(13)

dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang,mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.

Terlihat jelas dalam Pasal 6 ayat (2) diatas, bahwa peradilan pidana di Indonesia memang telah menganut sistem pembuktian menurut undang-undang secara negative, dimana setiap tersangka atau terdakwa yang telah melakukan perbuatan tindak pidana dan telah diproses kedalam persidangan, maka hakim dalam menentukan tersangka atau terdakwa bersalah dengan berdasarkan keyakinan pada hakim dan keyakinan hakim tersebut harus didasarkan atas alat-alat bukti yang sah, sehingga dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara negative, hakim dapat memberikan putusan yang seadil-adilnya terhadap tersangka atau terdakwa.

Sistem Pembuktian menurut Undang-Undang secara Negative ini dapat diperjelas dengan melihat Pasal 183 KUHAP, dimana dalam Pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Menurut Hemat Penulis, terlihat bahwa pembuktian sudah seharusnya didasarkan dengan minimal dua alat bukti yang sah, guna untuk meyakinkan hakim dalam memberikan suatu keputusan, yang mana keyakinan hakim tersebut

(14)

dapat dilihat dari alat-alat bukti yang diberikan. Adanya dua alat bukti yang diberikan sebenarnya belum cukup untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa atas perbuatannya, sebaliknya meskipun hakim telah yakin atas kesalahan yang dilakukan oleh terdakwa, namun hakim tetap membutuhkan minimal dua alat bukti untuk dapat menjatuhkan pidana atau memberikan putusan kepada terdakwa, sehingga diketahui bahwa alat bukti yang sah merupakan bagian penting dalam suatu persidangan atau pemeriksaan dalam membuktikan peristiwa yang sebenarnya terjadi. D. Sistem Pembuktian dalam Tindak Pidana Korupsi

Dalam sistem Hukum Pidana Formil di Indonesia, beban pembuktian mengenai ada atau tidaknya suatu perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa terletak pada Jaksa Penuntut Umum. Pada Pasal 137 KUHAP, telah dijelaskan bahwa Penuntut Umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili. Pasal tersebut di atas telah dijelaskan bahwa jaksa penuntut umum memiliki wewenang untuk dapat memeriksa terdakwa pelaku tindak pidana, yang mana jaksa penuntut umum harus mempersiapkan alat-alat bukti dan barang-barang bukti yang akurat, hal ini guna untuk dapat meyakinkan hakim bahwa terdakwa telah melakukan kesalahan.Beban pembuktian yang berada pada penuntut umum berkolerasi dengan asas praduga tak bersalah

(15)

(presumption of innocent) dan aktualisasi asas tidak mempersalahkan diri

sendiri (non self-incrimination).48

Dalam perkembangnya, beban pembuktian tidak hanya dapat dilakukan oleh penuntut umum saja, melainkan terdakwa yang telah disangka melakukan perbuatan tindak pidana dapat berperan aktif untuk bisa membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah melakukan perbuatan tindak pidana tersebut. Apabila terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah dan dapat meyakinkan hakim tentang pembuktiannya, maka terdakwa dapat dinyatakan tidak bersalah begitu pula sebaliknya. Hal inilah yang disebut dengan konsep pembalikan beban pembuktian (the reversal burden of proof).

Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana luar biasa, yang mana pelaku dari tindak pidana korupsi melakukan perbuatannya dengan cara yang sangat rapi sehingga sulit untuk dibuktikan. Hal ini merupakan tantangan bagi Aparat Penegak Hukum, karena beban pembuktian tindak pidana korupsi ini dibebankan kepada Penunutut umum, sehingga untuk memberantas masalah korupsi tersebut membutuhkan penerapan Pembuktian Terbalik dalam perkara-perkara Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 37, 37 A dan 38 C Undnag Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tetntang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menganut beban pembuktian terbalik secara terbatas dan berimbang.

48 Lilik Mulyadi, 2007, asas pembalikan beban pembuktian terhadap tindak pidana korupsi dalam

sistem hukum pidana Indonesia pasca konvensi perserikatan bangsa-bangsa anti korupsi,

Bandung, P.T Alumni, hlm.102

(16)

Alasan tindak pidana korupsi menggunakan beban pembuktian terbalik dalam kasus-kasus tindak pidana korupsi dikarenakan banyaknya pasal-pasal mengenai suap selama ini hanya sebagai pasal-pasal yang tidak memiliki makna, sehingga diperlukan metode untuk membangunkan ketentuan pasal suap tersebut dalam pembaharuan terhadap perundang-undangan tindak

pidana korupsi. 49 Mengaktifkan mengenai pasal suap ini diperlukan

mekanisme pelaporan atas pemberian suatu barang atau janji kepada pegawai

negeri atau penyelenggara Negara.50 Menurut penulis, dari segala bentuk

kasus tindak pidana korupsi, kasus suap merupakan kasus yang sulit untuk diberantas, karena dapat dilihat dari rapinya proses penyuapan yang dilakukan oleh pelaku dan mudahnya bagi pelaku untuk menghilangkan barang bukti, sehingga hal ini yang membuat aparat penegak hukum sulit untuk memberantas kasus tindak pidana korupsi. Dengan demikian adanya suatu proses pelaporan dalam tindak pidana korupsi, dimana pelaporan dapat membantu ketentuan mengenai sistem pembalikan beban pembuktian.

Sistem pembalikan beban pembuktian tidak bersifat total absolut, artinya hanya dapat diterapkan secara terbatas, yaitu terhadap delik yang

berkenaan dengan pemberian yang berkaitan dengan suap.51 Jadi jika dalam

suatu perbuatan tindak pidana penyalahgunaan wewenang sama sekali tidak diterapkan sistem pembuktian terbalik, sehingga beban pembuktian tetap keapada Jaksa Penuntut Umum, terkecuali dalam Pasal 12B

49

Indriyanto Seno Aji, 2006, korupsi kebijakan aparatur Negara dan hukum pidana, Jakarta, CV.Diadit Media, hlm.350

50 Mahrus Ali, Op.Cit, hlm.78

51 Indriyanto Seno Aji, Op.Cit, hlm.285

(17)

menjelaskansistem pembalikan beban pembuktian yang digunakan tidak lagi murni melainkan bersifat terbatas dan berimbang. Karena terdakwa memiliki hak untuk mebuktikan bahwa ia tidak melakukan perbuatan tindak pidana dan dapat dinyatakan tiak bersalah.

E. Kedudukan Justice Collabolator dalam Pembuktian Tindak Pidana Korupsi.

Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang memerlukan suatu penanggulangan khusus untuk memberantasnya.Langkah yang tepat untuk menanggulangi tindak pidana korupsi dapat dilakukan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia adalah melalui sistem pembuktian.Dalam kasus Tindak Pidana Korupsi diperlukanlah adanya sistem pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang.

Pembuktian Justice Collabolator dalam perkara Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri atau penyelenggara Negara menggunakan sistem beban pembuktian terbalik terbatas dan berimbang.Pembuktian terbalik terbatas dan berimbang ialah pembuktian berada ditangan jaksa penuntut umum untuk menekan terdakwa, sehingga terdakwa berkesempatan untuk dapat membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah.Seseorang yang telah melakukan perbuatan tindak pidana korupsi dan bersedia membantu aparat penegak hukum dalam membongkar kasus tindak pidana lainnya dapat menggunakan sistem pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang.

(18)

Seorang Justice Collabolator yang telah melakuakan perbuatan tindak pidana terlebih dahulu harus dibuktikan dalam sistem pembuktian terbalik, dimana jaksa penuntut umum berwenang untuk melakukan pembuktian atas kesalahan yang telah didakwakan kepada terdakwa, selanjutnya terdakwa memiliki hak untuk membuktikan dalam sidang pengadilan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, meskipun seorang Justice Collabolator telah mengakui kesalahan yang telah dilakukannya, namun ia tetap memiliki hak untuk membuktikan apabila tuntutan yang diberikan oleh jaksa penuntut umum tidak sesuai dengan apa yang sesungguhnya telah terjadi.

Seorang Justice Collabolator yang telah memberikan kesaksiannya dalam sidang peradilan wajib untuk memberikan pembuktian mengenai harta benda dan aset yang dimilikinya bersama istrinya atau suaminya atau anak-anaknya atau korporasi yang diduga berhubungan dengan tindak pidana korupsi yang telah dilakukan. Pembuktian yang diberikan oleh Justice Collabolator dalam persidangan, tidak membuat jaksa penuntut umum mudah untuk mempercayai keterangan yang telah diberikan, sehingga jaksa penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaan yang diberikan oleh pelaku Justice Collabolator hingga pembuktian yang diberikan oleh pelaku Justice Collabolator dapat diterima oleh Jaksa Penuntut Umum.

Dalam kasus Justice Collabolator pelaku telah mengakui perbuatan curangnya yaitu melakukan perbuatan tindak pdiana korupsi dan ia wajib dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku, namun karena ia telah membantu aparat penegak hukum, dimana ia memberikan kesaksian atau

(19)

membongkar suatu kejahatan korupsi yang dilakukan oleh orang lain ia mendapatkan suatu penghargaan yaitu pengurangan masa tahanan. Pengurangan masa tahanan ini tidak diberikan semata-mata ia telah memabntu aparat penegak hukum, pelaku juga harus dapat meyakinkan hakim dalam memberikan keterangan atas kesaksiannya sehingga hakim dapat memutuskan apakah pelaku pantas untuk mendapatkan penghargaan sebagai pelaku Justice Collabolator dan mendapatkan pengurangan masa tahanan.

F. Jenis Alat Bukti dalam Tindak Pidana Korupsi 1. Alat Bukti Berdasarkan KUHAP

Dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, menjelaskan alat bukti yang sah ialah (a) keterangan saksi, (b) keterangan ahli, (c) surat, (d) petunjuk, (e) keterangan terdakwa.

a. Keterangan saksi

Keterangan saksi menurut Pasal 1 angka 27 adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan pengetahuannya itu.sedangkan Menurut ketentuan pasal 185 ayat (1) KUHAP, memberi batasan pengertian keterangan saksi dalam kapasitasnya sebagai alat bukti, adalah keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang

pengadilan.52

52 Lilik Mulyadi, Loc.Cit, hal.216

(20)

Menurut Pasal 1 angka 26 ialah Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Jadi seorang saksi yang telah melihat, mendengar, dan mengalami wajib memberikan kesaksiannya didepan persidangan, namun apabila seorang saksi tidak mau hadir atau menolak memberikan kesaksiannya dipersidangan, maka sesuai pasal 159 ayat (2) maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan ke perisdangan. Ada beberapa hal seorang saksi tidak dapat didengar kesaksiannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saski sesuai dengan pasal 168 KUHAP yang berbunyi:

a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau kebawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagi terdakwa.

b. Saudara atau terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dari anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga.

c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

Dalam hal hubungan kekeluargaan, seseorang yang diwajibkan menyimpan rahasia karena pekerjaan, harkat, martabat atau jabatannya, maka mereka dibebaskan dari kewajiban memberi keterangan, hal ini sesuai dengan Pasal 170 KUHAP.

Keterangan saksi yang diperoleh dari orang lain yang bukan mengalami atau mendengar atau melihat suatu kejadian tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti, karena keterang saksi merupakan keterangan

(21)

yang memiliki nilai bagi hakim dalam memutuskan suatu perkara. Sehingga alat bukyi keterangan saksi harus diberikan secara akurat tanpa adanya rekayasa dari pihak manapun.

b. Keterangan Ahli

Keterangan Ahli menurut Pasal 1 angka 28 KUHAP, menyebutkan bahwa keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Sedangkan dalam Pasal 186 KUHAP, bahwa keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Menurut Hemat Penulis, Keterangan Ahli merupakan keterangan yang diberikan oleh seorang yang mempunyai suatu keahlian dalam menganalisis tentang hal-hal yang dibutuhkan dalam pemeriksaan maupun dalam persidangan guna untuk membantu hakim dalam memberikan suatu putusan.

Penjelasan Pasal 186 KUHAP menyebutkan bahwa keterangan saksi ini dapat juga diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Apabila hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, pada pemeriksaan disidang, diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam bentuk berita acara pemeriksaan. Keterangan

(22)

tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji dihadapan

hakim.53

Alat bukti keterangan ahli tidak memiliki kekuatan pembuktian dalam menentukan suatu putusan dalam persidangan. Alat bukti keterangan ahli memiliki nilai kekuatan yang sama dengan alat bukti keterangan saksi. Adapun nilai yang melekat pada keterangan ahli adalah: 1. Memiliki kekuatan pembuktian bebas

Keterangan Ahli tidak melekat nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan.Hakim bebas menilainya dan tidak terikat

kepadanya. 54Jadi jika seorang ahli dalam suatu pemeriksaan di

persidangan memberikan keterangan atas kesaksiannya sebagai seorang ahli yang memiliki keahlian khusus, hakim berwenang dalam menentukan apakah keterangan yang diberikan oleh seorang ahli tersebut dapat digunakan dalam membuat suatu keputusan dalam persidangan.

2. Sesuai dengan prinsip minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP.

Keterangan ahli yang berdiri sendiri tanpa dukungan oleh salah satu alat bukti yang lain, tidak cukup dan tidak memadai membuktikan

kesalahan terdakwa harus disertai dengan alat bukti lain.55 Sehingga

jika seorang ahli dalam membuktikan kesalahan terdakwa hanya

53

Ibid, hal.233

54 M. Yahya Harahap, 2009, Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP (pemeriksaan

sidang pengadilan bandung, kasasi, dan peninjauan kembali), Jakarta, Sinar Grafika, hal. 304

55Ibid

(23)

berdasarkan sepengetahuannya saja tanpa memiliki alat bukti lain, hal ini tidak cukup bagi hakim dalam memberikan suatu keputusan dalam persidangan.

c. Surat

Surat merupakan alat bukti yang sah dalam sistem pembuktian. Pada Pasal 187 menjelaskan bahwa surat sebagaimana dimaksud dalam pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:

a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;

b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenal hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggungjawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktiansesuatu hal atau sesuatu keadaan.

c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dan padanya;

d. Surat lain yang hanya berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

Pada Pasal 187 huruf a dan b di atas, surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang dapat berupa KTP, SIM, akte kelahiran dan lain sebagainya. Sedangkan yang dimaksud surat dalam Pasal 187 huruf c ialah keterangan ahli yang berbentuk laporan atau

laporan visum, kematian seseorang karena diracun, dan sebagainya.56

Kemudian dalam Pasal 187 huruf d, surat dalam ayat tersebut

56 Muhammad Taufik Makarao, 2004, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Jakarta, Ghilmia Indonesia, hlm.128

(24)

dimaksudkan dalam ketentuan hukum perdata seperti surat ancaman, kuitansi penerimaan uang, dan lain sebagainya. Surat-surat tersebut memiliki nilai pembuktian jika mempunyai hubungan erat dengan perkara

dan dikuatkan dengan alat bukti lainnya.57 Jadi alat bukti surat tidak bisa

berdiri sendiri tanpa adanya alat bukti yang lain, sehingga jika dalam pemeriksaan dipersidangan alat bukti surat tidak memiliki nilai kekuatan pembuktian apabila alat bukti surat tidak dikuatkan dengan alat bukti yang lain.

d. Petunjuk

Pasal 188 ayat (1) KUHAP, menyebutkan bahwa petunjuk adalah kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.Dalam Pasal ini, petunjuk adalah suatu kejadian yang diulang kembali sehingga mendapatkan bukti-bukti yang baru yang menajadi keyakinan hakim dalam memberikan suatu keputusan dipersidangan. Menurut Pasal 188 ayat (2) alat bukti petunjuk dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Dengan kata lain alat bukti petunjuk merupakan alat bukti yang bergantung dengan alat bukti yang lain, karena jika keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa tidak ada dalam persidangan maka petunjuk tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti dalam persidangan.

57 Lilik Mulyadi, Loc.Cit, hlm 238

(25)

Nilai kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk sama hal nya dengan alat bukti lainnya, yaitu hakim tidak terikat atas kebenaran yang diberikan oleh alat bukti petunjuk. Jika alat bukti petunjuk belum bisa memberikan keyakinan pada hakim, maka hakim berwenang untuk dapat memberikan keputusan yang seadil-adilnya.

e. Keterangan Terdakwa

Kedudukan alat bukti terdakwa terletak di urutan terakhir dalam Pasal 184 KUHAP, meskipun keterangan terdakwa terletak pada urutan terakhir, namun peranan dari keterangan terdakwa sangat dibutuhkan oleh hakim. Keterangan terdakwa telah dijelaskan dalam Pasal 189 KUHAP yaitu:

1. keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau yang ia alami sendiri.

2. Keterangan terdakwa yang diberikan diluar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti disidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.

3. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri 4. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia

bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

Dari keterangan Pasal 189 di atas, bahwa keterangan terdakwa dapat dinyatakan didalam sidang pengadilan dan dapat pula diberikan diluar sidang. Agar keterangan terdakwa yang dinyatakan di sidang pengadilan dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah, terdakwa dapat memberikan penjelasan atau jawaban yang dinyatakan sendiri oleh terdakwa dalam menjawab setiap pertanyaan yang diajukan kepadanya

(26)

terhadap perbuatan yang ia lakukan, ia ketahui atau ia alami sendiri. Sedangkan terhadap keterangan terdakwa yang diberikan diluar sidang hanya dapat dipergunakan dalam membantu menemukan bukti di sidang

pengadilan.58

Menurut Hemat Penulis, keterangan terdakwa merupakan keterangan yang diberikan oleh terdakwa dalam persidangan atas perbuatan yang telah ia lakukan dan ia alami sendiri, sehingga keteranganya hanya berlaku bagi dirinya sendiri. Terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada hakim atau penyidik (Pasal 52 KUHAP).Jika terdakwa dalam persidangan tidak mau menjawab pertanyaan yang telah diajukan, maka hakim berwenang untuk menganjurkan agar terdakwa dapat menjawab pertanyaanya sehingga pemeriksaan dapat dilakukan kembali (Pasal 175). Keterangan yang diberikan terdakwa dapat meringankan hukumannya, apabila terdakwa dapat memberikan suatu kesaksian dalam persidangan, yang mana kesaksian tersebut dapat menjerat para pelaku yang ikut melakukan perbuatan tindak pidana, namun kesaksian yang diberikan terdakwa harus bersifat akurat dan harus memiliki alat bukti lain yang dapat meyakinkan bagi hakim, sehingga terdakwa mendapatkan reward atau hadiah pengurangan masa tahanan atas kesaksian yang telah diberikan.

58Ibid, hlm.241

(27)

2. Alat Bukti Berdasarkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menambahkan penyedapan sebagai alat bukti yang dapat digunakan dalam meberantas Tindak Pidana Korupsi. Pada Pasal 26 dan 26 A menyebutkan mengenai alat bukti elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu dapat digunakan sebagai alat bukti untuk memberantas kasus Korupsi. Pada Pasal 26 telah menyebutkan bahwa penyidik, penuntut, dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, sedangkan Pasal 26 A menyebutkan bahwa alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP, khusus untuk Tindak Pidana Korupsi juga bisa diperoleh dari:

1. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima ataupun disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu; dan

2. Dokumen, yakni setiap rekaman, data atau informasi yang dapat dilihat dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

Menurut Hemat Penulis, pada Pasal 26 dan 26 A tersebut telah menjelaskan bahwa alat bukti yang dapat digunakan dalam pembuktian Tindak Pidana Korupsi tidak hanya berpedoman pada ketentuan alat bukti yang sah dalam KUHAP, melainkan alat buktiberupa media elektronik

(28)

seperti penyadapan yang telah dijelaskan dalam Pasal 26A dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dalam tindak pidana korupsi.

Adanya perluasan mengenai alat bukti petunjuk tersebut, dikarenakan kasus korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang mana dalam kasus korupsi sulit menemukan kebenaran serta sulit untuk untuk mencari bukti dalam mengungkap kasus tindak pidana tersebut, sehingga diperlukanlah perluasan alat bukti seperti penyadapan untuk dapat membantu aparat penegak hukum dalam memeriksa suatu perkara korupsi.

Alat bukti penyadapan tidak memiliki dasar hukum dalam KUHAP, namun pengaturan penyadapan di Indonesia telah di atur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Khusus dan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektonik. Salah satu alasan alat bukti penyadapan belum terdapat di dalam KUHAP, karena masih memiliki

masalah mengenai peraturan prosedur atau tata cara penyadapan.59proses

penyadapan yang dilakukan untuk memberantas tindak pidana korupsi harus sesuai dengan ketentuan kepentingan hukum yang berlaku, serta mendapatkan persetujuan lembaga hukum terkait guna menjadikan alat bukti penyadapan sebagai alat bukti yang sah dalam memberantas tindak pidana korupsi.

59https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/viewfile/7-1-/6515. Diakses pada tanggal 19 April 2017, pada pukul 07.05

Referensi

Dokumen terkait

2.1.2.3 Perhitungan pada Siklus Kompresi Uap Diagram tekanan entalpi siklus kompresi uap dapat digunakan untuk menganalisa unjuk kerja mesin pendingin kompresi uap yang meliputi

Untuk membantu proses pengeringan gabah yang lebih merata perlu dilakukan proses pembalikan atau pengadukan gabah, pada mesin pengering padi tersebut terdapat pengaduk yang

Jadi, sumber naskah dan dokumen ANI mencatat data yang sama sepeninggal Raden Adipati Surianata, pada tahun 1829 kedudukan Bupati Karawang ditempati oleh adiknya yang bemama

1 Tahun 1974 menjelaskan bagaimana dampak atau penyebab kelalaian ayah maupun ibu dan akibatnya, menyebutkan: Ketika seorang ayah atau ibu tidak bertanggung jawab

Adapun dari hasil wawancara yang didapatkan dari 20 Mahasiswa tingkat pertama yang tinggal di Pondok Pesantren, didapatkan bahwa selain berdo’a beberapa Mahasiswa saat

Berdasarkan hasil analisis evaluasi diri, dan mengacu pada isu-isu utama yang dihadapi oleh Institut Teknologi Telkom Purwokerto, terdapat 12 isu utama yang akan

Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa (1) seiring dengan perkembangan masyarakat dan pembangunan yang diarahkan pada masyarakat pedesaan di Kecamatan

 Information technology can be used to  unlock  new  game  content  automatically  once  the  players  have  achieved  something  that  can  be