DISERTASI
Untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Ilmu Hukum pada Universitas Sumatera Utara dengan Wibawa Rektor Universitas Sumatera Utara
Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H,SpA (K) dipertahankan di hadapan Sidang Terbuka Senat Universitas Sumatera Utara
pada tanggal 29 September 2007
Oleh :
SUWARTO
NIM : 038101007
SE
K O L A
H
P A
S C
A S A R JA NA
SEKOLAH PASCASARJANA
PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(Studi Pembinaan Narapidana Wanita di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan)
Suwarto1)
Prof. Dr. Loebby Loqman, SH., MH. 2) Prof. Dr. Soedjono Dirdjosisworo, SH., MM3)
Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., MS.4)
INTISARI
Dalam rangka pembaharuan sistem dan pelaksanaan pidana penjara, maka pada tahun 1964 istilah sistem kepenjaraan telah diubah menjadi sistem pemasyarakatan, dan istilah penjara diganti menjadi lembaga pemasyarakatan. Demikian pula dalam hal perlakuan terhadap narapidana mengalami perubahan dari pembalasan menjadi pembinaan. Oleh karena pembinaan narapidana berdasarkan sistem pemasyarakatan bertujuan agar narapidana menjadi warga masyarakat yang baik dan bertanggung jawab, menyadari kesalahan dan tidak lagi melakukan perbuatan yang melanggar hukum.
Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan, Ide Individualisasi Pidana tercermin dari ketentuan Pasal 12 yang menghendaki agar pembinaan narapidana didasarkan atas umur, jenis kelamin, jenis kejahatan, dan lamanya pidana yang dijatuhkan. Namun dalam kenyataannya pembinaan narapidana berdasarkan ide indvidualisasi pidana belum terlaksana, mengingat bangunan pemasyarakatan belum mampu menampung jumlah narapidana, sehingga tidak dapat dilaksanakannya pembinaan berdasarkan karakteristik narapidana, baik dari segi umur, jenis kejahatan, dan lamanya pidana yang dijatuhkan. Tetapi dari segi jenis kelamin narapidana telah ada pemisahan antara lembaga pemasyarakatan wanita dan lembaga pemasyarakatan laki-laki.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan ide individualisasi pidana dalam peraturan perundang-undangan, dan menganalisis tentang pelaksanaannya dalam pembinaan narapidana wanita di lembaga pemasyarakatan, serta pengembangan ide individualisasi pidana di masa yang akan datang.
Untuk mengkaji hal-hal tersebut di atas, dilakukan penelitian dalam bentuk deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif dan yuridis sosiologis. Lokasi penelitian adalah Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan.
1)
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2)
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jakarta.
3)
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Parahyangan Bandung.
4)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan pembinaan narapidana wanita berdasarkan ide individualisasi pidana belum terlaksana sepenuhnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12 UU No. 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan. Hal ini disebabkan daya tampung lembaga pemasyarakatan yang sangat minim, kurangnya sarana dan prasarana, serta kurangnya sumber daya manusia. Untuk itu pada masa mendatang perlu dikembangkan ide individualisasi pidana dalam pembinaan narapidana wanita berupa bangunan lembaga pemasyarakatan ditingkatkan dan disesuaikan dengan kapasitas narapidana, metode dan bentuk atau program pembinaan yang sesuai dengan kebutuhan belajar narapidana, meningkatkan kuantitas dan kualitas petugas lembaga pemasyarakatan, peranserta masyarakat dan pihak swasta dalam pembinaan narapidana serta adanya lembaga pemasyarakatan terbuka.
Diharapkan adanya kebijakan Departemen Hukum dan HAM untuk menambah petugas lembaga pemasyarakatan yang berkualitas dan sesuai dengan bidang yang diperlukan. Di samping itu perlu dibangun lembaga pemasyarakatan wanita di setiap propinsi, dan perlu adanya kerja sama antara pemerintah dan pihak swasta dalam pembinaan narapidana. Juga diperlukan sukarelawan untuk membimbing dan melatih mantan narapidana agar dapat hidup mandiri. Untuk narapidana yang hukumannya dibawah 1 (satu) tahun dapat ditempatkan di lembaga pemasyarakatan terbuka atau dikaryakan pada lembaga pemerintah maupun swasta, serta perlu dibangun lembaga pemasyarakatan khusus narkotika dan pusat rehabilitasinya.
Kata kunci : - Individualisasi pidana
(A STUDY OF WOMEN PRISONER IMPROVEMENT IN WOMEN PENITENTIARY CLASS II-A TANJUNG GUSTA MEDAN)
Suwarto 1) Loebby Loqman 2) Soedjono Dirdjosisworo 3)
Alvi Syahrin 4)
ABSTRACT
In the framework of system renovation and penitentiary criminal implementation, in 1964, the term of penitentiary system gas been changed into socialization system and that of prison into socialization institution. The treatment to wards the prisoners is based on the socialization system, it aims to make the prisoners become good and responsible citizens realizing their past mistakes and will never do the illegal activities anymore.
In law No. 12/1995 on Socialization, the Criminal Individualization Idea is portrayed in the Article 12 showing that the improvement of prisoners should be based on age, sex, kinds of crime conducted and the length of the sentence decided. But, in reality, the improvement of prisoners based on the criminal individualization idea has not yet been fully implemented since the penitentiary building cannot house the existing number of prisoners. In terms of sex, separated penitentiaries for women and men have been built and activated.
The purpose of this analytical descriptive study with normative juridical and sociological juridical approaches, conducted in the Women Penitentiary Class II-A Tanjung Gusta Medan, was to examine how the criminal individualization idea found in the legislation is regulated, to analyze the implementation of the improvement of prisoners in the women penitentiary and the future development of the criminal individualization idea. The data for this study were obtained through field and documentary researches and the data obtained were qualitatively analyzed.
The result of this study reveals that the improvement of women prisoners based on the criminal individual idea has not been fully implemented yet as regulated in Chapter 12 the law No. 12 of 1995 on Socialization to be improved and adjusted. This is largely due to small capacities of the penitentiaries, minimal facilities and infrastructures and inadequate human resources. This condition makes the criminal individualization idea need to be developed in improving women prisoners by
1)
Lecturer, Faculty of Law, University of Sumatera Utara, Medan.
2)
Professor, Faculty of Law, University of Indonesia, Jakarta.
3)
Professor, Faculty of Law, Parahyangan University, Bandung.
4)
The quantity and quality of penitentiary officials should be improved. Community and private participation in improving the prisoners should also be improved and the open penitentiary should be provided.
It is expected that the Department of Law and Human Rights makes a policy to increase the number of qualified penitentiary officials according to the field needed. A women penitentiary need to be constructed in every province of Indonesia and the cooperation between the government and private companies in improving the prisoners to be self-reliant also need to be established. Prisoners with the sentence of less than a year can be placed in the open penitentiary and work for a government or private institution and a special rehabilitation center for narcotics also need to be established.
Pertama-tama penulis panjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT, atas
limpahan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
disertasi ini dengan judul: “Pengembangan Ide Individualisasi Pidana Dalam
Pembinaan Narapidana Wanita (Studi Pembinaan Narapidana Wanita di Lembaga
Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan).
Penulis menyadari bahwa selesainya penulisan disertasi ini tidak terlepas dari
bantuan berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan
terima kasih yang tidak terhingga kepada:
1. Yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. dr. Chairuddin P. Lubis,
DTM&H, Sp. A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, beserta seluruh
pembantu Rektor dan jajarannya.
2. Yang terhormat dan amat terpelajar Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc.,
selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara , beserta
Asisten Direktur dan seluruh jajarannya.
3. Yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H.,
selaku Ketua Program Doktor (S3) Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara, dan juga sebagai Penguji di luar Komisi.
4. Yang terhormat dan amat terpelajar Ibu Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., MLI.
selaku Sekretaris Program Doktor (S3) Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara, dan juga sebagai Penguji di luar Komisi.
5. Yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Loebby Loqman, S.H., M.H.,
sebagai Promotor, dimana di tengah-tengah kesibukannya beliau dengan penuh
disertasi ini.
6. Yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Soedjono Dirdjosisworo,
S.H., M.M., sebagai Co-Promotor, di mana di tengah-tengah kesibukannya beliau
juga dengan penuh kesabaran masih menyempatkan diri untuk selalu
berkomunikasi, membantu, membimbing, dan mengarahkan penulis dalam
penyelesaian disertasi ini.
7. Yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S.,
sebagai Co-Promotor yang telah membimbing, mengarahkan dan memberi
masukan dalam penulisan disertasi ini.
8. Yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. Dr. M. Solly Lubis, S.H.,
sebagai penguji di luar komisi yang telah memberikan pengarahan dan petunjuk
dalam penyelesaian penulisan disertasi ini.
9. Yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Dr. Sunarto, S.H., M.H., sebagai
penguji di luar komisi.
10. Yang terhormat dan amat terpelajar Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M. Hum.,
selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah
memberikan dukungan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan program
Doktor Ilmu Hukum di Universitas Sumatera Utara.
Selanjutnya ucapan terima kasih yang tidak terhingga disampaikan kepada
Yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. Boy Mardjono Reksodiputro, S.H.,
MA., yang telah memberi masukan dan bimbingan kepada penulis dalam penulisan
S2 di Universitas Indonesia Jakarta, Dr. Adi Sulistiono, S.H., M.H., dan Usman, S.H.,
M.H., yang banyak membantu memberikan bahan-bahan serta berdiskusi untuk
penyempurnaan penulisan disertasi ini.
Ucapan terima kasih yang tidak terhingga juga disampaikan khusus kepada
Abanganda H. Hasnil Basri Siregar, S.H., dan Kakanda Hj. Sukmadiah, yang telah
memberikan bantuan moril dan material, serta selalu memberi semangat agar
penulisan disertasi ini segera selesai, ucapan yang sama juga penulis sampaikan
kepada yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. Sanwani Nasution, S.H.,
beserta Ibu dengan gaya yang lembut selalu mengatakan berusaha dan bersabar
menghadapi gelombang-gelombang dalam penyelesaian penulisan disertasi ini, juga
ucapan terima kasih kepada Abanganda Drs. Nazaruddin, S.H., M.A., yang telah
memberi masukan, serta berdiskusi untuk penyempurnaan penulisan disertasi ini.
Ucapan terima kasih yang mendalam juga penulis sampaikan kepada yang
terhormat dan amat terpelajar Almarhum Bapak Prof. Dr. Bachtiar Agus Salim, S.H.,
dimana atas kesediaan beliau mengangkat penulis sebagai asisten sehingga saya dapat
menyelesaikan pendidikan Doktor (S3) ini. Semoga Allah SWT menempatkan beliau
dalam syurga jannatun na’im.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada :
1. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan di Jakarta, yang telah memberikan bahan
masukan kepada penulis dalam penyelesaian disertasi ini.
2. Kepala Kanwil Departemen Hukum dan HAM Propinsi Sumatera Utara, yang
beserta staf yang memberikan bahan, dan data-data yang diperlukan dalam
penyelesaian penulisan disertasi ini.
4. Ibu Zuraida Lubis, selaku Kepala Bimbingan dan Pembinaan di Lembaga
Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, yang banyak
memberikan bahan dan data-data kepada penulis dalam penyelesaian disertasi ini.
5. Kepala Lembaga Pemasyarakatan Tebing Tinggi beserta staf, yang memberikan
bahan masukan kepada penulis dalam penyelesaian disertasi ini.
6. Bapak Armein Daulay yang sedang mengikuti pendidikan S3 di Malaysia, yang
telah memberikan bahan-bahan yang berkaitan dengan penelitian ini.
7. Saudara Jefri. S., SE., selaku Kasi Register Kanwil Depkumham, yang telah
bersusah payah mencari, memberikan bahan dan data-data yang berkaitan dengan
disertasi ini.
8. Saudara Noviandy, S.H., selaku petugas Kantor Statistik Kotamadya Medan,
yang telah bersusah payah memberikan bahan dan data-data yang berkaitan
dengan disertasi ini.
9. Direktur Narkoba Poldasu beserta staf yang telah memberikan bahan-bahan yang
berkaitan dengan penulisan disertasi ini.
Ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan kepada Bapak Budi
Loemaksono dan Bapak Wayan Sugiarto, SH., dari PT. Charoen Pokphand Indonesia
Jakarta, yang telah memberi kesempatan dan dukungan kepada penulis untuk
menyelesaikan pendidikan S3 ini.
Ucapan terima kasih yang mendalam juga penulis sampaikan kepada Bapak/
Ibu guru yang telah mendidik dan mengajar penulis dari tingkat sekolah dasar hingga
Angkatan 2003/2004 Program Doktor (S3) Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara, yang telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian disertasi ini
juga kepada Saudara Adem Panggabean dan Saudara Parlindungan Panjaitan yang
membantu penulis dalam hal pengetikan disertasi ini mulai dari proposal penelitian
hingga selesainya disertasi ini.
Ucapan terima kasih yang tidak terhingga disampaikan kepada kedua orangtua
penulis Bapak Achmad Anwar beserta Ibunda Suparti yang telah mendidik dan
membesarkan penulis hingga sampai ke jenjang pendidikan S3 ini.
Dalam kesempatan ini secara khusus dari hati yang paling dalam disampaikan
ucapan terima kasih kepada isteri tercinta Dra. Deliani, S.H., M.Hum., yang telah
membantu mengedit disertasi ini sampai jauh malam, serta anak-anak tersayang,
Zulfan Adi Putra, ST., MSc. Dian Permana, S.H., Muhammad Ardian, Riyadhi Pasca
Syahputra, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan atas pengorbanannya,
karena selama pendidikan dan penyelesaian penulisan disertasi ini sangatlah kurang
perhatian dan waktu yang dapat penulis curahkan kepada mereka.
Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak memberikan perhatian dan
bantuan dalam penyelesaian disertasi ini. Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat
dan karuniaNya kepada kita semua. Amin ya Rabbal Alamin.
Medan, September 2007
Hormat penulis,
Halaman
INTISARI ... i
ABSTRACT ... iii
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xvi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 36
C. Tujuan Penelitian ... 37
D. Manfaat Penelitian ... 37
E. Asumsi ... 38
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 39
G. Metode Penelitian ... 81
H. Sistematika Penulisan ... 85
BAB II INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ... 87
A. Sejarah Pidana Penjara... 87
1. Tujuan Pembinaan Narapidana ... 128
2. Dasar-dasar Pembinaan Narapidana ... 133
D. Ide Individualisasi Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 ... 160
BAB III IMPLEMENTASI IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PELAKSANAAN PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA.. 178
A. Keadaan Lembaga Pemasyarakatan Wanita di Indonesia ... 178
B. Gambaran Umum Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan... 182
C. Implementasi Ide Individualisasi Pidana Dalam Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Wanita ... 195
BAB IV PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA DI MASA DEPAN ... 241
A. Pembinaan Perorangan (Individual Treatment) ... 241
1. Dari dalam diri sendiri ... 248
2. Dari luar diri sendiri ... 251
B. Pembinaan Narapidana Dengan Peran Kelompok (Classical treatment) ... 260
1. Nilai positif di dalam keluarga ... 261
2. Nilai positif di dalam masyarakat ... 263
C. Upaya-upaya yang Dilakukan Dalam Pembinaan Narapidana di Dalam Lembaga Pemasyarakatan ... 265
1. Program pelatihan bagi petugas dan narapidana... 265
1. Sikap / perilaku petugas ... 287
2. Sarana/prasarana di Lembaga Pemasyarakatan ... 295
3. Sumber Daya Manusia... 299
E. Pengembangan Ide Individualisasi Pidana Dimasa Depan ... 301
1. Bentuk bangunan ... 308
2. Metode dan Bentuk Pembinaan ... 309
3. Peningkatan kualitas petugas lembaga pemasyarakatan ... 319
4. Peran serta kelompok masyarakat/pihak swasta ... 321
5. Lembaga pemasyarakatan terbuka ... 326
F. Analisis Mengenai Pengembangan Ide Individualisasi Pidana Dalam Pembinaan Narapidana Wanita ... 331
1. Analisis yuridis normatif ... 332
2. Pendekatan sosio-kriminologis ... 335
BAB V PENUTUP ... 342
A. Kesimpulan... 342
B. Saran-saran ... 345
Halaman
Tabel 1. Jumlah Kejahatan di Sumatera Utara Pada Tahun
2001-2005 ... 3
Tabel 2. Jumlah Narapidana di Sumatera Utara Menurut Jenis Kelamin Tahun 2001 – 2005 ... 31
Tabel 3. Jumlah Lembaga Pemasyarakatan Wanita di Indonesia Menurut Kapasitas Daya Tampung... 32
Tabel 4. Perbandingan Aliran Dalam Hukum Pidana... 50
Tabel 5. Pendapat Narapidana Tentang Pernah/Tidaknya Mendapat Kunjungan Keluarga ... 142
Tabel 6. Jumlah Pegawai Berdasarkan Jenis Kelamin ... 178
Tabel 7. Jumlah Pegawai Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 179
Tabel 8. Jumlah Narapidana dan Tahanan Wanita ... 180
Tabel 9. Jumlah Tindak Pidana yang Dilakukan Wanita Yang Paling Menonjol... 181
Tabel 10. Keadaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Menurut Lamanya Hukuman ... 184
Tabel 11. Jenis Pelanggaran yang Dilakukan ... 185
Tabel 12. Responden Narapidana Wanita Yang Menjalani Hukuman 3 Tahun ke atas ... 191
Tabel 13. Jadwal Kegiatan Sehari-hari Yang Dilakukan oleh Narapidana ... 195
Tabel 16. Pendapat Narapidana Tentang Sarana/Peralatan Yang
Digunakan Dalam Melakukan Pembinaan Keterampilan ... 211
Tabel 17. Pemahaman Petugas Mengenai Tujuan Sistem
Pemasyarakatan ... 215
Tabel 18. Tanggung Jawab Petugas Dalam Sistem Pemasyarakatan ... 217
Tabel 19. Pemahaman Petugas Terhadap Ide Individualisasi Pidana ... 219
Tabel 20. Tindakan Petugas Terhadap Narapidana Yang Berkelahi,
Melanggar Aturan Lembaga Pemasyarakatan ... 220
Tabel 21. Pemberitahuan Petugas Mengenai Hak-hak Narapidana
Sesuai Pasal 14 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 ... 221
Tabel 22. Pendapat Petugas Tentang Penolakan Masyarakat
Terhadap Mantan Narapidana Merupakan Hambatan... 225
Tabel 23. Pendapat Narapidana Tentang Bekerja di Lembaga
Pemasyarakatan ... 232
Tabel 24. Dihukum Tidaknya Narapidana Apabila Melanggar Aturan
Tata Tertib ... 235
Tabel 25. Pendapat Petugas Tentang Cara Pembinaan Yang
Dilakukan Terhadap Narapidana ... 243
Tabel 26. Pendapat Narapidana Tentang Sikap Petugas/Pembina ... 246
Tabel 27. Pendapat Petugas Tentang Pendidikan Tambahan Yang
Diterimanya ... 253
Tabel 28. Masa Kerja Petugas di Lembaga Pemasyarakatan Wanita
Kelas II A Tanjung Gusta Medan ... 254
Tabel 31. Jadwal Pelatihan Yang Diinginkan Narapidana ... 270
Tabel 32. Pendapat Petugas Tentang Manfaat Asimilasi Kedalam
Lembaga Pemasyarakatan ... 274
Tabel 33. Pendapat Petugas Tentang Cukup Tidaknya Waktu
Kunjungan Keluarga 2 kali Seminggu ... 275
Tabel 34. Pendapat Petugas Tentang Pengaruh Narapidana Yang
Tidak Pernah Dikunjungi Keluarga ... 276
Tabel 35. Pendapat Petugas Tentang Perlu Tidaknya Asimilasi
Keluar Lembaga Pemasyarakatan ... 278
Tabel 36. Faktor Penyebab Keretakan Hubungan Narapidana Dengan
Keluarga ... 281
Tabel 37. Pandangan Narapidana Terhadap Kunjungan Lembaga Pendidikan/Keagamaan, Bakti Sosial dan Penyuluhan
Hukum Dari Luar ... 283
Tabel 38. Pendapat Narapidana Tentang Adanya
Kelompok-kelompok Di Dalam Lembaga Pemasyarakatan ... 292
Tabel 39. Pendapat Petugas Tentang Keributan Di Dalam Lembaga
Pemasyarakatan ... 293
Tabel 40. Pendapat Narapidana Tentang Sikap Petugas yang Kasar dan Pilih Kasih Dapat Menghambat Pembinaan
Narapidana ... 294
Tabel 41. Pendapat Narapidana Tentang Sarana Kesenian dan
Lapangan Olah Raga ... 298
Tabel 42. Pandangan Petugas Terhadap Perlunya Dikembangkan
Lembaga Pemasyarakatan Terbuka... 327
Tabel 43. Syarat-syarat Bagi Narapidana Untuk Menjadi Penghuni
Halaman
Gambar 1. Lapisan-lapisan Dalam Sistem Peradilan Pidana... 14
Gambar 2. Bagan Aliran Sistem Peradilan Pidana... 15
Gambar 3. Proses Pemasyarakatan Narapidana Single Purpose... 111
Gambar 4. Proses Pemasyarakatan Narapidana Multi Purpose ... 112
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kejahatan (crime) merupakan tingkah laku yang melanggar hukum dan
melanggar norma-norma sosial, sehingga masyarakat menentangnya.1 Dalam
konteks sosial, kejahatan merupakan fenomena sosial yang terjadi pada setiap
tempat dan waktu.2 Hal ini menunjukkan bahwa kejahatan bukan saja merupakan
masalah bagi suatu masyarakat tertentu yang berskala lokal maupun nasional, tapi
juga menjadi masalah yang dihadapi oleh seluruh masyarakat di dunia, pada masa
lalu, kini dan di masa mendatang, sehingga dapat dikatakan bahwa kejahatan
sebagai a universal phenomenon.3
Menurut Bonger, arti kejahatan dipandang dari sudut formil (menurut
hukum) adalah suatu perbuatan yang oleh masyarakat (dalam hal ini negara)
diberi pidana. Selanjutnya ia juga mengatakan bila ditinjau lebih dalam, suatu
kejahatan merupakan sebagian dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan
dengan kesusilaan.4 Dari pengertian yang dikemukakan Bonger tersebut, ia
menyimpulkan bahwa kejahatan adalah perbuatan yang sangat anti sosial yang
memperoleh tantangan dengan sadar dari negara berupa pemberian penderitaan
(hukuman atau tindakan).5
1
Kartini Kartono, Patologi Sosial, Jilid I Edisi Baru. (Jakarta : Rajawali Press, 1992), hal. 134.
2
Andi Matalata “Santunan Bagi Korban”, dalam J.E. Sahetapy. Viktimologi Sebuah Bunga Rampai. (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1987), hal. 35.
3
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Hukum
Pidana. (Semarang : Ananta, 1994), hal. 2. 4
W.A. Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi. (Jakarta : PT Pembangunan Ghalia Indonesia,
1981), hal. 21.
5
Ibid, hal. 25.
Selanjutnya Sutherland, sebagaimana yang dikemukakan oleh Topo
Santoso menekankan bahwa ciri pokok dari kejahatan adalah perilaku yang
dilarang oleh negara karena merupakan perbuatan yang merugikan negara dan
terhadap perbuatan itu negara bereaksi dengan hukuman sebagai upaya
pamungkas.6 Dari beberapa pendapat sarjana tentang kejahatan, Paul W. Tappan,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Topo Santoso menyatakan bahwa kejahatan
adalah : “The criminal law (statutory or case law) committeed without defense or
excuse, and penalized by the state as a felony and misdemeanor”.7
Kejahatan bukan merupakan bawaan sejak lahir dan juga bukan
merupakan warisan biologis, namun dapat disebabkan oleh faktor sosiologis.8
Secara sosiologi kejahatan merupakan suatu perilaku manusia yang diciptakan
oleh masyarakat. Walaupun masyarakat memiliki berbagai macam perilaku yang
berbeda-beda, akan tetapi di dalamnya ada bagian-bagian tertentu yang memiliki
pola yang sama. Hal ini dimungkinkan karena adanya sistem kaedah dalam
masyarakat.
Kejahatan merupakan kenyataan sosial, sebagaimana yang dikemukakan
oleh Arif Gosita bahwa masalah kriminilitas merupakan suatu kenyataan sosial
yang tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan masalah sosial, ekonomi,
politik, dan budaya, sebagai fenomena yang ada dalam masyarakat dan saling
mempengaruhi satu sama lain.9
6
Topo Santoso, Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 12.
7
Ibid, hal. 11.
8
Ibid, hal. 55.
9
Kejahatan dalam arti kriminologis adalah tiap kelakuan yang bersifat tidak
susila dan merugikan, menimbulkan banyak ketidak tenangan dalam suatu
masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak untuk mencelanya dan
menyatakan penolakannya atas kelakuan itu dalam bentuk nestapa dengan
sengaja diberikan karena kelakuan tersebut.10
Kejahatan dalam hukum pidana adalah perbuatan pidana yang pada
pokoknya diatur dalam buku ke II Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan
dalam aturan-aturan lain di luar KUHP yang dinyatakan di dalamnya sebagai
kejahatan.11
Bila dilihat dari sisi jenis kelamin pelakunya, kejahatan tidak hanya
dilakukan oleh kaum pria, tetapi juga dilakukan oleh kaum wanita. Hal ini
disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya faktor ekonomi. Untuk melihat
jumlah kejahatan yang terjadi di Sumatera Utara lima tahun terakhir, yakni sejak
tahun 2001 sampai dengan tahun 2005, dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1
Jumlah Kejahatan di Sumatera Utara pada tahun 2001-2005
Jumlah Kejahatan Pertahun
2001 2002 2003 2004 2005
15.972 18.225 21.043 21.742 22.492 Sumber: Badan Statistik Sumatera Utara/ Sumatera Utara Dalam Angka 2006
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa setiap tahun jumlah
kejahatan terus meningkat, dan di antara pelaku kejahatan tersebut terdapat juga
10
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta : Aksara Baru, 1983), hal. 17.
11
wanita. From higher fertility rates and law rates of women’s participation in the
formal labour sector, the state tightens social and legal politicies toward
women12 (Jumlah wanita lebih banyak dibandingkan laki-laki tetapi dalam segi
peran serta mereka di sektor tenaga kerja yang formal lebih rendah dibandingkan
laki-laki, untuk itu perlu dibuat suatu undang-undang atau kebijakan yang
memperluas status sosial bagi wanita). Sehubungan dengan hal tersebut maka
dalam upaya penanggulangan kejahatan, faktor jenis kelamin (gender) juga perlu
dijadikan bahan pertimbangan.
Gender influences every aspect of social, political and personal life, power structures and relations mean and women are not equal partners and they are affected differently by social conventions, human rights policies and violations. Yet, women’s experiences of and particular vulnerabilities to human rights violations have tended to be invisible and excluded from the codification and interpretation of human rights standard.13
(Jenis kelamin mempengaruhi tiap-tiap aspek sosial, politik, dan hidup pribadi, menggerakkan struktur dan hubungan antar manusia terutama wanita, manusia yang satu dengan lainnya adalah mitra, walaupun antara manusia yang lain dengan yang satunya mempunyai cara yang berbeda dalam mempengaruhi dan membentuk konvensi sosial, kebijakan hak asasi manusia dan pelanggaran. Berdasarkan pengalaman wanita mudah terluka jika hak asasinya dilanggar walaupun sering tidak terlihat sehingga yang terjadi adalah kodifikasi penafsian standar atas hak asasi manusia).
“Gender”14 dapat didefinisikan sebagai karakteristik sosial yang diberikan
kepada perempuan dan lelaki. Karakteristik sosial ini merupakan hasil
perkembangan sosial dan budaya sehingga tidak bersifat permanen maupun
universal. Berdasarkan karakteristik sosial ini ditetapkan peran-peran yang
dianggap pantas bagi perempuan dan lelaki. “Karakteristik sosial atau
12
Agnes Callamard, A Methodology for Gender Sensitive Research, (Canada : Amnesty Internasonal, tanpa tahun), hal. 9.
13
Ibid, hal. 19.
14
peran yang dianggap pantas bagi lelaki disebut maskulin, sedangkan karakteristik
sosial bagi perempuan disebut feminin. Misalnya agresivitas, ciri dominan,
rasional, yang dianggap sebagai maskulin, sedangkan sifat pasif dan emosional
dianggap sebagai feminin”.15
Menurut T.O. Ihromi, “Identitas gender adalah definisi seseorang tentang
dirinya baik sebagai perempuan atau lelaki, yang merupakan interaksi kompleks
antara kondisi biologisnya sebagai perempuan dan berbagai karakteristik
perilakunya yang ia kembangkan sebagai hasil proses sosialisasi”.16 Hal yang
sama juga dikemukakan oleh Endang Sumiarni bahwa prilaku gender adalah yang
tercipta melalui proses pembelajaran, bukannya sesuatu yang berasal dari dalam
diri sendiri secara alamiah atau takdir yang tidak bida dipengaruhi oleh
manusia.17 Maka kesetaraan gender adalah kesetaraan sosial antara lelaki dan
perempuan dilandaskan kepada pengakuan bahwa ketidaksetaraan gender itu
disebabkan oleh diskriminasi struktural dan kelembagaan.18 Identitas gender
seseorang mencakup sikap seseorang tentang dirinya yang dapat berlangsung
secara sadar dan tidak sadar. Dalam hal apa yang tidak disadari sepenuhnya tidak
selalu konsisten dengan apa yang disadari.
Terbentuknya identitas gender perempuan berdasarkan 3 teori psikologi:19
1. Teori psikoanalisis, menjelaskan perilaku seseorang dengan mengaitkannya pada faktor biologis.
15
Smita Notosusanto, E. Kristi Poerwandari, Perempuan dan Pemberdayaan, Kumpulan karangan untuk Menghormati Ulang Tahun ke-70 Ibu Saparinah Sadli , Program Studi Kajian Wanita PPS UI Bekerja sama dengan Harian Kompas dan Penerbit Obor Jakarta, 1997, hal. 250. Lihat juga Endang Sumiarni, Gender dan Feminisme, (Yogyakarta : Wonderfull Publishing Company, 2004), hal. 3. mengatakan akibatnya timbul asosiasi dunia publik bersifat maskulin pantas untuk kaum lelaki dan dunia privat, domestik dan rumah tangga bersifat feminin adalah milik perempuan.
16
T.O. Ihromi, Kajian Wanita Dalam Pembangunan, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1995), hal. 76.
2. Teori sosialisasi (social learning), menjelaskan berdasarkan konsep nature-nature dan melihat bahwa perbedaan peran gender merupakan hasil dari tuntutan dan harapan lingkungan.
3. Teori perkembangan kognitif yang merupakan teori interaksi menekankan pada interaksi antara keadaan organisme dan informasi yang ada dalam lingkungan budaya.
Dari teori tersebut dapat diperoleh pengertian bahwa anak cenderung
mengadakan identifikasi dengan orang tua yang berjenis kelamin sama. Melalui
proses identifikasi tersebut maka ada dorongan kuat untuk mengisi dan memilih
peran gender tertentu. Teori sosialisasi (teori belajar sosial) penekanannya pada
komponen sosial dan budaya dari perkembangan perilaku yang sesuai gender.
Dalam hal ini dijelaskan bagaimana anak perempuan dan anak laki-laki sejak
lahir diasuh dan diperlakukan berbeda. Teori kognitif menjelaskan bahwa peran
gender merupakan bahagian dari proses belajar rasional selama masa
kanak-kanak. Ketiga konsep teoritis dapat dibeda-bedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan
dalam mengartikan bagaimana ia memilih dan mengisi peran gendernya. Yang
jelas bahwa dalam setiap lingkungan budaya ada pembagian peran gender yang
dapat diamati, ditiru anak laki-laki dan anak perempuan, sehingga dalam setiap
budaya dikenalkan apa yang pantas bagi anak perempuan dan apa yang pantas
bagi anak laki-laki.
Teori feminis banyak menganut konsep-konsep dari teori belajar dalam
arti bahwa faktor eksternal, sosial dan lingkungan, dianggap banyak berpengaruh
dalam membentuk identitas dan pengisian peran gender.20 Peran gender ini dapat
berubah dalam kurun waktu tertentu. Bagi laki-laki alternatif pilihan peran lebih
20
luas dibandingkan dengan perempuan yang relatif terbatas, seperti halnya
laki-laki dapat menjadi pejabat, TNI, ulama, pengusaha, dan sebagainya, sedangkan
perempuan biasanya sebagai seorang guru, perawat, bidan, dokter dan
sebagainya. Peran perempuan dominan sebagai pengurus keluarga, pendamping
suami dan pendidik anak, serta untuk melayani seluruh kebutuhan anggota
keluarganya.
Perbedaan gender ini membentuk cara pandang yang berbeda dalam
melihat aspek kehidupan. Kaum feminis melihat gender tidak hanya sebagai
perbedaan karakteristik sosial, tetapi juga suatu hubungan kekuasaan yang
menentukan posisi hierarkhis dari keduanya. Karakteristik maskulin menempati
posisi yang lebih tinggi daripada feminin, sehingga penentuan posisi hierarkhi ini
telah melembagakan dominasi laki-laki terhadap perempuan. Kaum feminis
berusaha merubah cara pandang kita yang telah mengakibatkan ketidakadilan
terhadap kaum perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.
Para feminis menilai bahwa gender merupakan kunci dari ketimpangan
yang dialami kaum perempuan. Oleh karena itu perlakuan terhadap perempuan
harus dirubah dengan memberikan kesempatan bagi kaum perempuan untuk
berperan aktif dalam pembangunan. Pemberian kesempatan bagi perempuan
untuk berperan aktif dalam pembangunan sebagai mitra sejajar pria harus
terwujud dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam keluarga maupun masyarakat
yang ditandai dengan adanya sikap saling menghargai, saling menghormati dan
Kesetaraan wanita dan pria dalam pengambilan keputusan dalam keluarga
mempunyai arti strategis dan dampak ganda. Strategis karena kehidupan dalam
keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi pasangan suami istri
maupun bagi generasi penerus, anak laki-laki dan perempuan, untuk mewujudkan
asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan peri kehidupan pembangunan
nasional Indonesia.
Jika perempuan menjadi mitra sejajar maka kaum laki-laki dibebaskan
dari peran penindas dan pengeksploitasi, dan dari stereotip gender yang pada
dasarnya membatasi potensi laki-laki.21 Dengan demikian terjadi perubahan
peran yang diisi oleh kaum perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti
banyaknya perempuan yang mengikuti pendidikan tinggi, makin banyak
perempuan yang menunjukkan prestasinya di bidang olah raga, makin banyak
perempuan yang duduk dalam pemerintahan, dan makin banyak perempuan yang
melakukan tindak kriminal.
Perubahan kedudukan dan peranan wanita dalam masyarakat yang
membuka berbagai macam kemungkinan atau peluang (opportunities) dalam
bidang sosial ekonomi (yang menimbulkan pula opportunities for crime). Namun
pelaku kejahatan wanita sering tidak terungkap atau tidak dilaporkan ke Polisi
karena beberapa hal, seperti adanya rasa malu terhadap dirinya dan keluarga,
sehingga hal tersebut tidak diproses lebih lanjut. Ada dua alasan yang muncul
dalam menjelaskan mengapa tindak pidana yang pelakunya wanita adalah
“underreported” yaitu:
21
a. Karena mereka sering tidak tersidik (less often detected), sebab ciri terselubung (masked character) dari kejahatannya (seperti abortus, pencurian uang dari kantong atau dompet langgangan oleh seorang pelacur, kejahatan kesusilaan terhadap anak).
b. Karena wanita yang tertangkap sering mendapat perlakuan yang lebih ringan dibanding pelaku pria (mungkin untuk menghindari stigma sosial).22
Sehubungan dengan itu Dadang Hawari mengemukakan teori yang
populer disebut dengan istilah “teori gunung es”, di mana fakta yang ada minimal
harus dikali sepuluh yang artinya jika ada lima pelaku kejahatan wanita yang
terlibat secara faktual, maka ada empat puluh lima lagi pelaku kejahatan yang
tidak terungkap.23
Dalam suatu peristiwa pidana, tidak semua orang bisa menjadi pelaku
dalam peristiwa tersebut, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 346 KUHP (Delik
Abortus). Demikian juga halnya dengan pembunuhan yang dilakukan seorang Ibu
terhadap anaknya yang baru lahir atau tidak berapa lama setelah dilahirkan
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 341, 342, dan 343 KUHP. Dalam hal ini
pelaku tindak pidana tersebut hanya dapat dilakukan oleh seorang wanita atau
seorang ibu.
Dalam upaya penanggulangan kejahatan (criminal policy), hingga saat ini
hukum pidana masih menjadi sarana yang amat penting. Upaya penanggulangan
kejahatan perlu dilakukan dengan “pendekatan kebijakan,” dalam arti:
1. ada keterpaduan (integritas) antara politik kriminal dan politik sosial;
22
Mardjono Reksodiputro, Pembaharuan Hukum Pidana, Kumpulan Karangan Buku Ke IV, Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 1995. hal. 130.
23
2. ada keterpaduan (integritas) antara upaya penanggulangan kejahatan dengan
“penal” dan “non penal”.24
Sehubungan dengan hal tersebut, lebih lanjut dikemukakan, bahwa secara
umum dapat dikatakan upaya penanggulangan kejahatan dengan kebijakan penal
lebih menitikberatkan pada sifat represif. Sedangkan kebijakan non penal lebih
menitikberatkan pada sifat preventif. Hal ini disebabkan, karena tindakan represif
pada hakikatnya juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas.
Mengingat kebijakan non penal lebih bersifat tindakan pencegahan, maka sasaran
utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya
kejahatan.25
Dalam kerangka kebijakan sosial (social policy), maka kebijakan kriminal
dapat digambarkan sebagai berikut:
SOCIAL POLICY
Social Defence Policy
Criminal Policy
Penal
Non Penal
GOAL Social Welfare Policy
Dari gambaran di atas, kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan
pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat
24
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 4.
25
dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu dapat dikatakan
bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal adalah perlindungan
masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.26
Ada tiga syarat untuk tegaknya hukum dan keadilan di masyarakat :
Pertama; adanya peraturan hukum yang sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Kedua; adanya aparat penegak hukum yang profesional dan bermental tangguh
atau memiliki integritas moral terpuji. Ketiga; adanya kesadaran hukum
masyarakat yang memungkinkan dilaksanakannya penegakan hukum.27
Untuk merealisasikan tujuan-tujuan hukum tidak bisa dilepaskan dari
komponen-komponen yang ada dalam sistem hukum dan faktor-faktor sosial di
luar sistem hukum. Adapun komponen-komponen sistem hukum yang
berpengaruh terhadap bekerjanya hukum adalah, komponen yang bersifat
struktural (kelembagaan), komponen kultural dan komponen substantif.
Komponen kultural adalah nilai-nilai dan sikap-sikap yang mengikat sistem itu.28
Namun dilihat dari sudut kebijakan hukum pidana, dalam arti kebijakan
menggunakan/memfungsikan hukum pidana, masalah sentral atau masalah pokok
sebenarnya terletak pada masalah seberapa jauh kewenangan/kekuasaan mengatur
dan membatasi tingkah laku manusia (warga masyarakat/pejabat) dengan hukum
pidana. Ini berarti masalah dasarnya terletak di luar bidang hukum pidana itu
sendiri,29 yaitu pada masalah hubungan kekuasaan/hak antara negara dan warga
26
Ibid, hal. 2.
27
Baharudin Lopa, Permasalahan Pembinaan dan Penegakan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hal. 3 - 4.
28
Satjipto Rahardjo, Hukum Dan Masyarakat, (Bandung : Angkasa, 1998), hal. 106.
29
masyarakat. Jadi berhubungan dengan konsep nilai (pandangan/idiologi)
sosiofilosofis, sosiopolitik dan sosiokultural dari suatu masyarakat,
bangsa/negara.
Kebijakan menggunakan hukum pidana sebagai salah satu sarana
penanggulangan kejahatan dilakukan melalui proses sistematik, yaitu melalui apa
yang disebut sebagai penegakan hukum pidana dalam arti luas, yaitu penegakan
hukum pidana dilihat sebagai suatu proses kebijakan, yang pada hakikatnya
merupakan penegakan kebijakan yang melewati beberapa tahapan sebagai
berikut:30
a. Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum inabstrakto oleh badan pembuat undang-undang, disebut juga sebagai tahap kebijakan legislatif. b. Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat penegak
hukum mulai dari Kepolisian sampai Pengadilan, disebut juga sebagai tahap kebijakan yudikatif.
c. Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukuman pidana secara konkrit oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Tahap ini dapat disebut tahap kebijakan eksekutif atau administratif.
Dalam arti yang sempit, maka tahap kebijakan kedua dan ketiga biasanya disebut sebagai kegiatan penegakan hukum (Law Enforcement). Menyangkut pilihan pidana yang digunakan dalam kebijakan formulasi, dari berbagai jenis sanksi pidana yang dikenal dalam hukum pidana, pidana penjara merupakan jenis sanksi pidana yang paling banyak digunakan dalam perumusan hukum pidana di Indonesia selama ini. Bahkan jenis pidana ini boleh dikatakan telah mendunia, karena jenis pidana penjara hampir dapat ditemui pada setiap negara di dunia. Akan tetapi dalam perkembangannya banyak kalangan yang mempersoalkan kembali jenis pidana ini. Hal tersebut terutama berkenaan dengan masalah efektifitas serta dampak negatif dari penggunaan pidana penjara itu.31
30
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang : UNDIP, 1995), hal. 13. Lihat juga Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1998), hal. 115.
31
Sebagai akibat banyaknya penggunaan pidana penjara pada tahap
kebijakan formulatif, maka dalam tahap kebijakan aplikatif pidana penjara
menjadi jenis pidana yang dominan dalam penerapannya, yang pada tahap
berikutnya bermuara pada persoalan pelaksanaan (eksekusi) terpidana penjara.
Penggunaan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan,
dalam implementasinya pada tahap kebijakan aplikatif dan eksekutif,
dilaksanakan melalui mekanisme sistem peradilan pidana, yaitu suatu sistem
yang melibatkan Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga
Pemasyarakatan. Tujuan dari sistem ini adalah berupa: 1) resosialisasi (jangka
pendek); 2) penanggulangan kejahatan (jangka menengah), dan 3) kesejahteraan
sosial (jangka panjang). Sistem ini mendapat input berupa kejahatan dari
masyarakat, dan nantinya setelah melalui proses peradilan pidana akan
dikembalikan lagi pada masyarakat (out put).32 Dengan demikian peran
masyarakat menjadi penting di sini. Karena kejahatan itu muncul (diproduksi)
oleh masyarakat, maka masyarakat juga harus ikut bertanggung jawab dalam
pengembaliannya pada lingkungan masyarakatnya.
Norma hukum sebagai salah satu sistem norma yang bekerja secara
berbarengan dengan sistem norma yang lainnya (norma agama, norma kesusilaan,
dan norma kesopanan) dalam masyarakat, menempatkan hukum pidana, sekaligus
peradilan pidana pada kedudukan yang strategis sebagai sarana ketertiban, dan
ketenteraman bagi berlangsungnya interaksi fungsional di antara sistem sosial
yang ada. Dalam kerangka sistem ini, bekerjanya sistem peradilan pidana sangat
dipengaruhi oleh sistem sosial lainnya, seperti sistem ekonomi, sistem teknologi,
32
sistem pendidikan, sistem politik, dan sebagainya. Mengenai kedudukan sistem
peradilan pidana dalam struktur pelapisan sistem-sistem sosial seperti yang
dikemukakan oleh La Patra sebagaimana dikutip Reksodiputro33.
Gambar 1
Lapisan-lapisan dalam Sistem Peradilan Pidana
Lapisan 1 : Masyarakat
Lapisan 2
Lapisan 3
Sub sistem SPP
Ekonomi Teknologi Pendidikan Politik
Kepolisian Kejaksaan Pengadilan Pemasyarakatan
Gambar di atas memperlihatkan proses kerja sistem peradilan pidana yang selalu
dipengaruhi dan tergantung dari lapisan sistem sosial yang lebih luas, yang secara
keseluruhan juga merupakan satu kesatuan sistem yang utuh.
Kemudian, jika diamati dari segi hubungan fungsional antara tiap
sub-sistem peradilan pidana dalam menjalankan tugasnya akan terlihat adanya suatu
tata aliran kerja sistem yang berawal dari masyarakat dan berakhir pula di dalam
masyarakat itu sendiri. Bagan aliran hubungan kerja dalam sistem peradilan
pidana ini diperlihatkan oleh Reksodiputro, dalam gambar berikut. 34
33
Mardjono, Kriminologi Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kedua. Jakarta, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi), Universitas Indonesia, 1994, hal. 99.
34
Gambar 2
Bagan Aliran Sistem Peradilan Pidana
Masyarakat
Kepolisian
Kejaksaan
Pengadilan
Pemasyarakatan
Suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana atau kejahatan yang
terjadi dalam masyarakat dan dilaporkan oleh masyarakat ditandai dengan
mengikuti arah anak panah pada garis tebal.
Selanjutnya Kepolisian mencari, menemukan, serta mengadakan
pemeriksaan terhadap tersangka yang hasilnya (berita acara pemeriksaan)
diserahkan kepada kejaksaan. Demikian juga dengan Kejaksaan setelah
mempelajari berkas perkara, akan membuat dakwaan, melimpahkan perkara ke
pengadilan yang diikuti dengan suatu tuntutan pidana. Dari hasil pemeriksaan
disidang, pengadilan akan memutuskan perkara, menjatuhkan pidana, serta
selesai menjalani pidana, sekaligus pendidikan dan pembinaan oleh petugas
pemasyarakatan, seseorang dikembalikan ke masyarakat dengan harapan dapat
mengabdikan dirinya secara baik bagi keluarga, masyarakat, bangsa dan negara,
serta taat pada hukum yang berlaku. Namun di samping proses tadi, pada tiap
sub-sistem dapat terjadi proses dengan tata aliran tersendiri sebagaimana ditandai
serta mengikuti arah anak panah pada garis tipis atau terputus-putus, seseorang
dapat segera dilepas kembali ke masyarakat. Atas pertimbangan tertentu sesuai
kewenangan masing-masing sub-sistem, tata aliran ini berlaku, misalnya:
a. Kepolisian melepas tersangka atas alasan antara lain, penyidikan dihentikan
karena tidak terdapat cukup bukti, penyelesaian (damai) melalui diskresi
kepolisian.
b. Kejaksaan tidak menuntut atas dasar asas oportunitas, atau juga penuntutan
dihentikan karena tidak cukup bukti.
c. Pengadilan dapat membebaskan terdakwa karena kurang cukup bukti atau
melepasnya karena tidak ada tindak pidana.
d. Pemasyarakatan dapat melepaskan terpidana dengan syarat, atau memberikan
remisi yang menutupi masa pidananya.
Sistem peradilan pidana disebut juga criminal justice system, dapat diartikan
sebagai suatu sistem dalam masyarakat untuk menanggulangi kejahatan.35 Hal ini
merupakan salah satu tujuan dari sistem peradilan pidana secara universal, sehingga
cakupan tugas sistem peradilan pidana memang demikian luas. Hal ini
dikemukakan oleh Reksodiputro bahwa peradilan pidana sebagai suatu sistem
mempunyai tugas yang meliputi.
35
a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
b. Menyelesaikan kejahatan yang terjadi, sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.
c. Berusaha agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi perbuatannya. 36
Dalam bekerjanya sistem peradilan pidana, ke-empat komponen
(Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Pemasyarakatan) tersebut, saling terkait
dan diharapkan adanya suatu kerja sama yang terintegrasi. Jika terdapat
kelemahan pada salah satu sistem kerja komponennya, maka akan mempengaruhi
komponennya lainnya dalam sistem yang terintegrasi itu. Bahkan ada suatu
kecenderungan yang kuat di Indonesia untuk memperluas komponen sistem
peradilan pidana ini dalam pengertian Law Enforcement Officer, yaitu para
pengacara/advokat.37
Keberhasilan sistem peradilan pidana dalam menjalankan tugas seperti
tersebut di atas, ditentukan pula oleh sikap saling menunjang dalam suatu
keterpaduan gerak langkah dari masing-masing sub-sistem yang ada. Sebab jika
36
Mardjono, Op. cit, hal. 140. Menurut Mardjono dalam Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan, Buku ke I, Jakarta, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminilogi), Universitas Indonesia, 1994, hal. 85. Sistem peradilan pidana ini dianggap berhasil apabila sebagian besar dari laporan maupun keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dapat diselesaikan, dengan diajukannya pelaku kejahatan ke sidang pengadilan dan diputus bersalah serta mendapat pidana. Komponen-komponen yang bekerja sama dalam sistem ini adalah terutama instansi atau badan yang kita kenal dengan nama Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan. Empat komponen ini diharapkan bekerjasama membentuk apa yang dikenal dengan nama Suatu Integrated Criminal Justice System.
37
tidak demikian maka secara keseluruhan akan mengalami kesulitan dalam upaya
mencapai tujuan bersama. Shikita seperti dijelaskan Reksodiputro, telah
mengajukan tiga kerugian yang bakal terjadi jika tidak ada kerja sama dalam
sistem yaitu:
a. Kesukaran dalam menilai keberhasilan atau kegagalan masing-masing instansi (sub-sistem) sehubungan dengan tugas mereka.
b. Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masing-masing instansi (sebagai sub-sistem), dan
c. Karena tanggung jawab instansi sering kurang jelas terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektifitas menyeluruh dari sistem peradilan pidana.38
Pembahasan mengenai proses masukan (narapidana) di lembaga
pemasyarakatan sangat kurang, apabila dibandingkan dengan pembicaraan
mengenai ketiga subsistem lainnya. Demikian pula dalam kebijakan penegakan
hukum pidana (politik kriminal) secara terpadu kurang melibatkan petugas
lembaga pemasyarakatan dan narapidana. Hal itu antara lain terlihat dari adanya
peraturan perundang-undangan tentang kepolisian, kejaksaan dan pengadilan
serta lembaga pemasyarakatan.
Peraturan Penjara (Gestichten Reglement 1917) sebagai aplikasi Pasal 10
KUHP yang dirumuskan tentang “stelsel pidana” Indonesia, mempunyai falsafah
yang sama dengan falsafah hakekat, fungsi, dan tujuan pemidanaan yang terdapat
dalam KUHP, yaitu lebih berorientasi kepada “pengimbalan”. Oleh karena
Peraturan Penjara tersebut sampai sekarang masih berlaku, meskipun pada saat
ini tidak diterapkan lagi sistem kepenjaraan, melainkan sistem pemasyarakatan,
falsafah pembalasan itu masih melekat pada sebagian besar petugas lembaga
38
pemasyarakatan di Indonesia. Seperti halnya di Lembaga Pemasyarakatan Wanita
Tanjung Gusta Medan pada umumnya petugas hanya tamatan dari SMTA
sehingga pengetahuan mereka tentang sistem pemasyarakatan sangat minim. Di
antara petugas yang ada, terdapat 3 (tiga) orang lulusan AKIP (Akademi Ilmu
Pemasyarakatan). Para lulusan AKIP ini diharapkan dapat berperan untuk
melaksanakan pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan tersebut sesuai
dengan tujuan pemasyarakatan yakni untuk memasyarakatkan narapidana, bukan
untuk melakukan pembalasan seperti yang dianut dalam sistem kepenjaraan.
Peraturan Penjara sebagai produk masyarakat individualis/liberalis
(Belanda) menitikberatkan perlakuan terhadap narapidana terletak pada posisi
individu itu sendiri. Hal demikian sesuai dengan pemidanaan yang berorientasi
pula pada individu, sehingga timbullah pidana perampasan kemerdekaan, yang
menggantikan pidana badan dan pidana mati. Sasaran pokok pidana itu agar
individu bertobat dan tidak melanggar hukum lagi. Selain itu merupakan contoh
bagi orang lain, agar tidak melakukan perbuatan melanggar hukum.
Oleh karena pandangan individualis/liberalis tidak sesuai dengan
pandangan masyarakat Indonesia yang bersifat sosialis-religius, maka berbagai
usaha dilakukan untuk memperbaharui sistem pemidanaan dan pelaksanaan
pidana tersebut.
Mengenai pelaksanaan pidana penjara, semula diatur dalam “Gestichten
Reglemen” atau Reglemen Penjara, Stb tahun 1971, no. 708, tanggal 10 Desember
Pemasyarakatan (selanjutnya disebut UU No. 12/1995), maka reglemen penjara
sudah tidak berlaku lagi. Dalam rangka pembaharuan sistem pelaksanaan pidana
penjara maka pada tahun 1964, istilah sistem kepenjaraan telah diubah menjadi
sistem pemasyarakatan,39 dan istilah penjara diganti menjadi lembaga
pemasyarakatan.40
Dalam hal ini menurut Bachtiar Agus Salim, bahwa sikap tidak akan
berbuat kejahatan lagi karena perasaan jera dirobah menjadi timbulnya rasa
insyaf untuk tidak berbuat kejahatan lagi pada diri si narapidana.41
Perubahan dan penggantian ini dimulai atas usul mantan Menteri
Kehakiman RI, almarhum Sahardjo yang mengemukakan, bahwa penghukuman
bukanlah hanya untuk melindungi masyarakat semata-mata, melainkan harus
pula berusaha membina si pelanggar hukum Pelanggar hukum tidak lagi disebut
“penjahat”, melainkan ia adalah orang yang “tersesat”. Seseorang yang tersesat
akan selalu dapat bertobat dan ada harapan dapat mengambil manfaat
sebesar-besarnya dari sistem pembinaan yang diterapkan kepadanya. Pandangan Sahardjo
tersebut memperoleh tanggapan positif dan diterima oleh Direktorat
Pemasyarakatan waktu itu. Dan telah diadakan suatu Konferensi Dinas
39
Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab (UU No. 12/1995 Tentang Pemasyarakatan Pasal 1 ke – 2).
40
Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan (UU No. 12/1995 Tentang Pemasyarakatan Pasal 1 ke – 3).
41
Direktur Penjara seluruh Indonesia yang diadakan di Lembang, “Treatment
System of Offenders” yang di dalamnya memuat sepuluh prinsip umum
pemasyarakatan.42
Dari kesepuluh prinsip tersebut dilihat dari kerangka teoritis tercermin
tiga pokok pikiran pemasyarakatan, yaitu sistem proses, tujuan, serta metode
pelaksanaan pidana penjara.
Sejak saat itulah perlakuan terhadap narapidana mengalami perubahan
fundamental, yaitu dari “pembalasan” berubah menjadi “pembinaan”. Demikian
pula terdapat pembahasan atau perhatian terhadap narapidana dalam rangka
keikutsertaannya dalam kebijakan integral penegakan hukum pidana yang
diselenggarakan oleh sistem peradilan pidana.
Di dalam Naskah Rancangan Undang-Undang KUHP (RUU) tahun 2005,
telah dirumuskan ketentuan tentang : Tujuan Pemidanaan, Pedoman Pemidanaan,
dan Pedoman Penerapan Pidana Penjara. Tentang Tujuan Pemidanaan antara lain
dirumuskan tentang perlunya “…, memasyarakatkan terpidana dengan
mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna”,
dan bahwa “…. pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak
diperkenankan merendahkan martabat manusia”. Sedangkan dalam pedoman
pemidanaan dirumuskan tentang hal yang wajib dipertimbangkan hakim adalah
“… pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat”.43
42
A. Soemadipradja dan Romli Atmasasmita, Sistem Pemasyarakatan di Indonesia. (Bandung: Bina Cipta, 1979), hal. 15.
43
Selanjutnya dalam undang-undang harus ada ketentuan yang jelas tentang
tugas-tugas dan kewenangan petugas pembina kemasyarakatan, serta kewajiban
dan tanggung jawab mereka. Juga merupakan tanggung jawab pemerintah untuk
mendidik tenaga-tenaga pembina ini, sehingga mereka benar-benar dapat
menguasai bidangnya masing-masing. Dengan demikian mereka dapat
memberikan saran atau masukan-masukan kepada Hakim tentang metode
pembinaan yang sesuai dengan latar belakang narapidana dan kondisi lembaga
pemasyarakatan (lembaga pemasyarakatan tempat mereka bertugas sebagai
pembina).
Berkenaan dengan pelaksanaan (eksekusi) terpidana penjara, pada
awalnya selain didasarkan pada KUHP (WvS) juga diatur secara khusus dalam
Reglemen penjara (gestichten Reglement) 1917. Berdasarkan aturan-aturan
tersebut pelaksanaan pidana penjara dilakukan dengan menggunakan “sistem
kepenjaraan”. Dalam sistem ini kebijakan pemidanaan masih berorientasi ke
belakang, yang bersifat penjeraan, kurang melihat ke depan, setelah narapidana
kembali ke masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari sejarah filosofi dalam
penyusunan KUHP (WvS) ketika itu yang masih dilandasi oleh aliran klasik.
Namun seiring dengan perkembangan yang terjadi, maka sistem kepenjaraan
sudah tidak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi politis, sosiologis, filosofis dan
yuridis masyarakat Indonesia. Di samping itu juga terdapat kecenderungan
perubahan sistem kepenjaraan yang terjadi di dunia, antara lain dengan
disetujuinya berbagai instrumen hukum internasional seperti Standard Minimum
for the Protection of All Persons Under any Form of Detention or Imprisonment,
tahun 1988, dan Basic Principles for the Treatment of Prisoners tahun 1990
maka upaya pembaharuan sistem pelaksanaan pidana penjara juga menjadi
perhatian di Indonesia.44
Standard Minimum Rules (SMR) ini yang merupakan Kongres
Perserikatan Bangsa-Bangsa Pertama mengenai Pencegahan Kejahatan dan
Perlakuan terhadap Pelanggar Hukum (“The Firs United Nations Congress on the
Prevention of Crime and the Treatment of Offender”) yang diselenggarakan di
Jenewa pada tanggal 30 Agustus 1955, dan disetujui oleh Dewan Ekonomi dan
Sosial (ECOSOC) dengan resolusi nomor 663C (XXIV) tanggal 31 Juli 1957 dan
resolusi nomor 2076 (LXII) tanggal 13 Mei 1997.
Adapun hak-hak narapidana sebagaimana diatur di dalam Pasal 7 – 76
Standard Minimum Rules (SMR) ini yang harus menjadi pegangan bagi petugas
lembaga pemasyarakatan di Indonesia, adalah sebagai berikut :45
1) Hak untuk dicatat dalam register yang teratur dari penjara (di Indonesia sekarang dinamakan LAPAS), yang berisikan informasi tentang identitasnya, alasan dia dimasukkan dalam LAPAS, hari dan jam admisinya serta pelepasannya;
2) Hak untuk ditempatkan secara terpisah baik lembaganya ataupun tempatnya (dalam satu lembaga) berdasarkan jenis kelamin, umur (dewasa dan anak), rekor kejahatan;
44
Di Negeri Belanda sendiri sebagai asal KUHP (WvS) dan Reglemen Penjara (Gestichten Reglement), sebagai konsekuensi dari perubahan WvS Belanda, peraturan kepenjaraan di negeri tersebut juga telah dirubah, yaitu dengan Wet 21 Desember 1951, Stb. 596. Titik sentral dalam perubahan tersebut terdapat dalam Pasal 26, yang menentukan bahwa dengan mempertahankan sifat dari pidana atau tindakan, maka pelaksanaannya juga diarahkan pada persiapan pengembalian narapidana ke dalam kehidupan masyarakat bebas. Soemadipraja dan Romli Atmasasmita, Op. cit., hal. 4.
45
3) Hak untuk ditempatkan dalam sebuah sel atau ruangan tidur yang memenuhi syarat-syarat kesehatan, serta mendapatkan jumlah air yang cukup;
4) Hak untuk mendapatkan penerangan (alami dan lampu) yang cukup untuk membaca;
5) Hak mendapatkan ventilasi udara yang cukup dan udara segar bagi kesehatan;
6) Hak untuk dapat membersihkan diri yang cukup memadai, baik jumlah, kebersihan, dan volume airnya.
7) Hak untuk memelihara penampilan yang baik sesuai dengan kehormatan diri mereka, agar disediakan berbagai fasilitas untuk pemeliharaan rambut dan jenggot yang layak, dan narapidana pada sebisa mungkin mencukur rambut dan jenggot dengan teratur;
8) Hak untuk mendapatkan perlengkapan pakaian yang cocok dengan iklim serta pantas untuk menjamin kesehatan bagi yang tidak diperbolehkan memakai pakaian sendiri, seprei, dan selimut yang bersih serta cocok dengan kondisi cuaca setempat;
9) Hak untuk memperoleh makanan yang bergizi cukup bagi kesehatan dan kekuatan, serta air minum yang tersedia setiap saat;
10) Hak untuk mendapatkan gerak badan dan rekreasi bila tidak bekerja di luar lembaga;
11) Hak untuk mendapatkan tempat perawatan kesehatan yang cukup dengan sekurang-kurangnya seorang dokter yang mempunyai pengetahuan yang luas dalam jiwa;
12) Hak untuk mendapatkan perawatan dari para medis yang cukup dan petugas perawatan gigi yang cukup;
13) Hak bagi narapidana wanita yang hamil disediakan peralatan atau perlengkapan sebelum dan sesudah melahirkan serta perawatan bayi;
14) Hak untuk tidak ditempatkan bersama dengan narapidana yang mempunyai penyakit menular;
15) Hak untuk mendapatkan perawatan setiap hari bagi narapidana yang sakit; 16) Hak untuk tidak disiksa, tidak mendapatkan hukuman yang bersifat
merendahkan harkat dan martabat manusia, baik fisik (hukuman badan) maupun psikis (penempatan dalam sel yang pengap);
17) Hak untuk tidak mendapatkan hukuman yang mungkin akan merugikan kesehatan dan mentalnya;
18) Hak untuk membela diri bila melanggar peraturan atau hukum;
19) Hak untuk tidak memakai borgol, rantai, belenggu, dan baju pengekang; 20) Hak untuk menyampaikan keluhan kepada direktur lembaga atau pejabat
yang diberi kuasa untuk mewakilinya (Kepala LAPAS di Indonesia saat ini);
22) Hak untuk bebas berkomunikasi melalui surat dan menerima kunjungan keluarga serta sahabatnya;
23) Hak untuk berhubungan dengan perwakilan diplomatik negaranya, bagi yang berkebangsaan asing;
24) Hak untuk mendapatkan perpustakaan yang cukup buku-bukunya; 25) Hak untuk dikunjungi rohaniawan;
26) Hak untuk tetap memiliki barang-barangnya, baik untuk dipergunakan sendiri, disimpan oleh petugas ataupun dikirimkan kepada keluarganya; 27) Hak untuk diperlakukan secara pantas uang dan harta benda narapidana
yang didapatkan dari pihak luar lembaga;
28) Hak untuk diberitahukan kepada keluarganya tentang pemindahannya, sakit atau meninggalnya narapidana yang bersangkutan;
29) Hak untuk diberitahukan kepadanya tentang keluarga dekatnya yang sakit berat dan yang meninggal;
30) Hak untuk dilindungi dari penghinaan dan publikasi pada waktu dia dipindahkan;
31) Hak untuk tidak mendapatkan penderitaan dalam transportasi pada saat narapidana dipindahkan;
32) Hak untuk narapidana wanita diurus dan diawasi oleh petugas wanita dan tidak seorangpun petugas laki-laki dapat masuk, kecuali dalam hal tertentu;
33) Hak untuk mendapatkan pembinaan;
34) Hak untuk mendapatkan upah yang adil mengenai pekerjaan para narapidana.
Ketentuan dalam Standard Minimum Rules (SMR) tersebut merupakan
ketentuan yang harus ditaati dalam memperlakukan narapidana/tahanan. Berbagai
ketentuan dalam Standard Minimum Rules (SMR) tersebut telah
diimplementasikan ke dalam UU No. 12 / 1995 yang mengatur tentang hak-hak
narapidana. Namun demikian, masih ada kekurangan dalam pelaksanaannya,
sehingga perlindungan hak-hak narapidana belum maksimal.
Pemidanaan pada hakikatnya adalah mengasingkan narapidana dari
lingkungan masyarakat serta sebagai salah satu upaya penjeraan. Oleh sebab itu,
sebagaimana dikatakan oleh Mardjono Reksodiputro, “menjalani pidana bukan
Karena itu perlindungan yang diberikan oleh Undang-Undang No. 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut
KUHAP), terhadap harkat dan martabat manusia, tetap mengikat terpidana juga
ke dalam penjara”.46
Sehubungan perlindungan hak-hak narapidana, di Indonesia hal itupun
dijamin di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia (selanjutnya disebut UU No. 39/1999) yang memberi jaminan akan
perlindungan ini seperti pada Pasal 29 ayat (a): “Setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan hak miliknya.”
Sedangkan ayat (a) menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan di depan
hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada.”. Memahami Pasal 29 UU
No. 39/1999, jelas bahwa narapidana sebagai ciptaan Tuhan walaupun menjadi
terpidana, hak-hak yang melekat pada dirinya harus dilindungi walaupun di
dalam penjara.
Upaya pembaharuan sistem pelaksanaan pidana penjara di Indonesia, telah
dirintis sejak tahun 1951. Setelah melalui berbagai pengkajian, pada tahun 1964
berhasil dirumuskan sistem baru dalam pelaksanaan pidana penjara di Indonesia,
yang disebut dengan “Sistem Pemasyarakatan”, untuk menggantikan “Sistem
Kepenjaraan” yang berlaku sebelumnya.
Meskipun sistem pemasyarakatan telah dicetuskan dan diaplikasikan sejak
tahun 1964, namun pengaturan mengenai sistem tersebut secara sistematis dalam
bentuk undang-undang dan perangkat aturan pendukungnya baru dapat
46
diwujudkan pada tahun 1995, melalui UU No. 12 / 1995. Mengenai tujuan sistem
pemasyarakatan, dalam Pasal 2 UU No. 12 / 1995 disebutkan bahwa:
“Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulang tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab”.
Adapun fungsi dari sistem pemasyarakatan seperti disebutkan dalam Pasal 3
UU No. 12 / 1995 adalah, “. . . menyiapkan warga binaan pemasyarakatan agar
dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan
kembali sebagai anggota masyarakat bebas dan bertanggung jawab”.
Menyangkut tentang asas dari sistem pemasyarakatan, dalam Pasal 5 UU
No. 12 / 1995 dirumuskan sebagai berikut :
Sistem pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas :
a. pengayoman;
b. persamaan perlakuan dan pelayanan; c. pendidikan;
d. pembimbingan;
e. penghormatan harkat dan martabat manusia;
f. kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan, dan;
g. terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.
Dalam penjelasan Pasal 5 UU No. 12 / 1995 ini disebutkan, bahwa asas
tersebut merupakan pencerminan dari 10 prinsip dasar pemasyarakatan.
Hal di atas secara lebih tegas lagi terlihat dari penjelasan umum
undang-undang ini. Di situ antara lain disebutkan, bahwa :
dari manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan atau kekhilafan yang dapat dikenakan pidana. . . . Pemidanaan adalah upaya untuk menjadi warga masyarakat yang baik, taat hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan damai.
Dari prinsip-prinsip yang terkandung dalam Undang-Undang Pemasyarakatan
tersebut di atas, terlihat bagaimana pengaruh aliran modern dalam sistem
pemasyarakatan.
Menurut aliran modern, perbuatan seseorang tidak dapat dilihat hanya
secara abstrak dari sudut yuridis belaka, terlepas dari orang yang melakukannya.
Akan tetapi harus dilihat secara konkrit, bahwa dalam kenyatannya perbuatan
seseorang itu dipengaruhi oleh watak pribadinya; faktor-faktor biologis,; atau
lingkungan masyarakat.
Aliran ini bertitik tolak dari pandangan “determinisme”, yang menganggap
manusia tidak mempunyai kebebasan kehendak, karena dipengaruhi oleh watak
dan lingkungannya. Oleh karena itu seseorang itu tidak dapat dipersalahkan atau
dipertanggungjawabkan dan dipidana. Konsekuensinya aliran ini menolak
pandangan berdasarkan kesalahan subyektif, yang berarti bahwa
pertanggungjawaban seseorang tidak didasarkan atas kesalahan, tapi pada sifat
bahayanya si pembuat. Dengan demikian aliran ini menghendaki individualisasi
pidana dengan tujuan mengadakan resosialisasi pelaku.47
Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu dilakukan klasifikasi atau
penjabaran lebih lanjut mengenai karakteristik dan kondisi narapidana.
Karakteristik narapidana dapat dilihat dari sisi umur, jenis kelamin, jenis
47