• Tidak ada hasil yang ditemukan

Meiji Jidai Ni Kokka Shinto No Gainen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Meiji Jidai Ni Kokka Shinto No Gainen"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP SHINTO NEGARA PADA PERIODE MEIJI

MEIJI JIDAI NI KOKKA SHINTO NO GAINEN

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam

bidang ilmu Sastra Jepang

OLEH:

ROHANA ULI PAKPAHAN

090708034

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa berkat kasihNya yang begitu besar telah memberikan hikmat pengetahuan dan memampukan saya sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Konsep Shinto Negara pada Periode Meiji”.

Adapun penulisan skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Sarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Departemen Sastra Jepang.

Dalam penulisan skripsi ini penulis tidak terlepas dari bimbingan, dukungan serta bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar – besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum, selaku Ketua Departemen Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Drs. Hamzon Situmorang, Ms. Ph.D, selaku dosen Pembimbing I yang telah rela hati meluangkan banyak waktu, pikiran dan tenaga untuk membimbing dan mengarahkan penulis di sela – sela kesibukan beliau dalam penyelesaian skripsi ini.

(3)

5. Para Dosen Penguji Ujian Skripsi maupun para Dosen Penguji Seminar Proposal Skripsi yang telah bersedia meluangkan waktunya menguji penulis untuk mempertanggungjawabkan isi dari skripsi ini. Begitu juga kepada semua Dosen Pengajar Program Studi S-1 Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan banyak ilmu kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dengan baik. 6. Bapak dan Mama yang sangat saya cintai dan hormati, Bapak Reintua

Pakpahan dan Ibu Dina Ngama yang tidak pernah berhenti mendoakan penulis, serta telah bekerja begitu keras demi memberikan dukungan kepada penulis baik moril maupun materil melalui nasehat dan arahan mereka. Tuhan memberkati hidup kalian.

7. Kedua kakak saya yang sangat saya sayangi, Christina Pakpahan dan Hanna Meirna Pakpahan, yang telah mendukung penuh penulis serta telah berperan sebagai wali bagi penulis sehingga banyaknya kebutuhan dalam penyusunan skripsi ini dapat diatasi. Tuhan memberkati hidup kalian. 8. Sahabat – sahabat istimewa yang saya kasihi: Birdy, Ella, Erick, Febro,

Johan, Juwita, Lasmaria, Zivo, yang telah menjadi partner dan saudara bagi penulis, dan selalu setia untuk saling memberi saran, kritik, dan ejekan – ejekan yang membangun. Kehadiran kalian pribadi lepas pribadi telah menyegarkan hari – hari penulis terutama ketika jenuh dalam penyusunan skripsi ini. Terima kasih untuk semuanya. Tuhan memberkati masa depan kita.

(4)

seluruh teman – teman di Sastra Jepang stambuk 2009 yang telah bersama – sama dengan penulis menuntut ilmu di Departemen Sastra Jepang USU. Dan semua pihak yang tidak dapat penulis uraikan satu persatu. Terima kasih atas segala dukungan dan doanya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan baik dalam isi maupun penulisannya, untuk itu penulis memohon maaf atas ketidaksempurnaan ini. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya.

Medan, Januari 2014

Penulis

(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I

PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Ruang Lingkup Permasalahan ... 7

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ... 8

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 12

1.6 Metode Penelitian ... 12

BAB II

TINJAUAN UMUM MASA RESTORASI MEIJI

DAN SEJARAH SHINTO ... 15

2.1 Awal Restorasi Meiji ... 15

2.1.1 Berakhirnya Pemerintahan Tokugawa ... 15

2.1.2 Pemulihan Jepang ... 22

2.2 Pemerintahan Masa Meiji 1867 – 1912 ... 25

2.2.1 Susunan Administrasi ... 28

2.2.2 Ideologi Negara ... 31

2.3 Sejarah Shinto dan Karakteristik Shinto ... 33

2.3.1 Sejarah Shinto ... 34

2.3.2 Ryobu Shinto ... 40

2.3.3 Shinto dalam Masyarakat Jepang ... 44

(6)

BAB III KONSEP SHINTO NEGARA PADA PERIODE

MEIJI ... 52

3.1 Osei Fukko (王政復古) ... 52

3.2 Kazoku Kokka (家族国家) ... 54

3.3 Kokka Shinto (国家伸道)... 57

3.4 Kebijakan – kebijakan dalam Pemanfaatan Kokka Shintō ... 62

3.4.1 Shinbutsu Bunrirei (神仏分離冷) ... 62

3.4.2 Penyebaran Kuil Kokka Shintō ... 66

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN ... 74

4.1 Kesimpulan ... 74

4.2 Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA

(7)

ABSTRAK

Masyarakat Jepang saat ini memiliki kebebasan untuk menganut kepercayaan sesuai keyakinannya. Mereka boleh memilih untuk menganut Shinto, Buddha atau kepercayaan apapun yang tidak mengganggu kewajiban mereka sebagai warga negara Jepang. Salah satu dari kepercayaan tersebut yaitu Shintō. Shinto merupakan kepercayaan yang dianggap sebagai agama pribumi bagi orang Jepang. Dikatakan pribumi karena lahir oleh bangsa Jepang sendiri dan berlangsung sudah lama sejak zaman pra sejarah. Bahkan Shinto pernah dijadikan agama negara dan masuk ke dalam sistem pemerintahan pada periode Meiji. Disebutlah itu dengan Kokka Shintō.

Munculnya istilah Kokka Shinto pertama kali adalah dalam Shinto Shirei tahun 1945. Tetapi konsep Kokka Shinto telah ada bahkan sebelum pemerintahan Tokugawa. Istilah Kokka Shintō merujuk kepada pemanfaatan Shinto dalam negara yang dianggap sebagai satu keluarga atau Kazoku Kokka, dengan Kaisar sebagai kepala keluarga. Negara yang dianggap sebagai satu keluarga disebut dengan Kazokukokka. Tindakan pertama pada periode Meiji yang mendukung adanya konsep Kokka Shinto adalah ketika golongan bangsawan yang berhasil mengakhiri pemerintahan Tokugawa memutuskan untuk melakukan Ōsei Fukko. Ōsei Fukko adalah pengembalian kedudukan Kaisar sebagai kepala negara dan

(8)

Pada masa Meiji sebelum dikeluarkannya Shinto Shirei, segala kepentingan Shinto dianggap sebagai kepentingan negara juga. Sehingga urusan – urusan keagamaan bercampuraduk dengan urusan – urusan pemerintahan dan politik. Sejak dikeluarkannya Shinto Shirei atas desakan Amerika pada tahun 1945, maka beberapa kebijakan dibuat untuk memisahkan urusan – urusan agama dengan pemerintahan. Kebijakan – kebijakan itu pulalah yang memberikan kebebasan bagi masyarakat Jepang dalam menganut suatu kepercayaan. Dengan demikian maka berakhirlah Kokka Shinto.

(9)

要旨

明治時代に国家伸道の概念

今の 日本 社会は 彼らの 確信の とおりに, 信用を 信じるために 自

由が ある。彼らは 日本国籍として 義務を 妨げなければ, なんの 宗教

を 信じてもいいである。ある一つの 日本人の 信用は 伸道 である。伸

道は 日本人に本国宗教と思われている。本国宗教というのは 日本の 民

族に 先史時代から 続いたからである。 伸道は 明治時代に 国宗教にな

って, 政府制度に入ったことがある。それは 国家伸道と 言われていた。

国家伸道の言葉は 一九四五 年に 伸道指令で 始めて 書いてあっ

た。しかし国家伸道の 概念は 徳川政府時代の前に もうあった。国家伸

道の言葉は 家族と 考えられている国で 伸道の 運用するという 意味で

ある。家族と考えられている国では 家長が 天皇である。そのような国は

日本語で 家族国家と言う。明治時代に 国家伸道の概念を支持する政策は

最初に貴族階級が 徳川の政府を 終って成功したとき 王政復古にしぇ決

めた。王政復古は国家元首として天皇の地位と 力を 復帰するという意味

である。

次の 政策は神仏分離冷である。神仏分離冷というのは 伸道が 純

粋になるように 伸道と仏教を 分離することである。それで伸道は また

仏教の影響を受けない。神仏分離冷は ある一つの国教として 伸道を 支

(10)

の 重要性と 考えられた。そのため宗教的の事は 政府の事と 混同された。

一九四五 年に アメリカの 要請で伸道指令を 発行されたから政府の事と

宗教的の事を分離するためにいくつ政策が作られた。その政策のはまた日

本人に信教の自由を与えた。それでこそ 国家伸道が終った。

それだけに, 国家伸道は終ったが 今から日本社会の生活にまだ伸

道のことがある。 例えば日本社会の 生活には人々は伸道を信じられなく

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Di Jepang terdapat beberapa agama, seperti Shinto sebagai kepercayaan asli Jepang, Buddha dan Konfusianisme yang masuk dari Cina dan Korea, Katolik, Protestan dan Islam yang masuk kemudian pada masa prasejarah akhir dan pada masa sejarah. Shinto adalah yang tertua dan dianggap sebagai agama pribumi orang Jepang. Shinto dibangun oleh orang Jepang sendiri dan sudah menjadi dasar kehidupan orang Jepang sejak jaman dahulu. Dalam Genchi Kato (1971:88) disebutkan bahwa Shinto merupakan kepercayaan asli dari negri Jepang dan merupakan asal mula mental orang – orang Jepang, sehingga agama ini tidak memiliki pendiri individu, seperti yang dimiliki oleh Budha, Kristen atau pun Islam. Shinto lahir di Jepang oleh orang Jepang sendiri dan menjadi agama tertua Jepang, namun tidak diketahui kapan mulai muncul.

(12)

sebabnya maka Shinto tidak memiliki pendiri individu seperti agama – agama lain. Memasuki periode Yamato, agama Budha kemudian mulai disebarkan.

“The historical situation in the sixth and seventh centuries brought about a series of social, cultural, political, and religious changes in Japan under the influence of Chinese thought and institutions, and of Buddhism”.(Kitagawa, 1966:22)

Terjemahan:

Situasi sejarah pada abad keenam dan ketujuh membawa serangkaian perubahan sosial, budaya, politik, dan agama di Jepang di bawah pengaruh lembaga dan pemikiran Cina serta Budha.

Restorasi Meiji pada tahun 1868 membawa perubahan mendadak dalam iklim religius Jepang. Tujuannya adalah untuk memberikan landasan sakral dan alasan agama untuk Jepang baru dan etos nasional, dan untuk mendukung sistem administrasi pusat. Reorganisasi dilakukan pada Shinto agar benar – benar terpisah dari agama Budha, dan dibawa dalam susunan administrasi negara. Amaterasu, yang sampai saat itu belum menjadi keilahian besar, digunakan untuk mensyahkan peran kaisar, tidak hanya sebagai penguasa, tetapi sebagai imam besar dari Shinto.

(13)

Kristen dan agama – agama lain dan kelompok – kelompok budaya dipinggirkan dan bahkan dihambat dalam upaya untuk membersihkan Jepang dari pengaruh mereka.

Pada masa Meiji muncul istilah Kokka Shinto, yaitu suatu konsep agama negara yang bertujuan untuk mewujudkan penggabungan dari Shinto Kekaisaran dan Shinto Kuil (Shinto Jinja). Kokka Shinto juga didefenisikan sebagai agama yang memberikan dasar bagi ideologi negara Jepang sejak restorasi Meiji 1868 hingga kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II pada tahun 1945. Dalam arti sempit, kokka Shinto mengacu ke kuil Shinto yang diawasi oleh negara sampai 1945. Dalam arti yang lebih luas, telah dikonseptualisasikan sebagai agama negara dalam mewujudkan penggabungan dari Shinto istana kekaisaran dan kuil Shinto. Sehingga Shinto dikatakan juga "agama yang memberikan dasar bagi ideologi negara Jepang dari restorasi Meiji 1868 sampai kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II pada tahun 1945". Secara historis, istilah Kokka Shinto didapat dari Instruksi Shinto (Shinto Shirei) pada 15 Desember 1945. Kokka Shinto dirumuskan sebagai cabang Shinto yang dibedakan dari sekte Shinto dalam hukum negara. Konseptualisasi ini atau definisi Kokka Shinto sesuai dengan pemahaman pada masa pra-perang Jepang. Para fatwa dan pengaturan administrasi yang mendorong penciptaan Kokka Shinto adalah :

1) Pemisahan pada tahun 1882 dari peran penginjil negara dan imam kuil 2) Penciptaan Biro Kuil (Jinja Kyoku) pada tahun 1900 yang terpisah dari

administrasi kuil maupun lembaga keagamaan lainnya.

(14)

pengawasan dan administrasi kuil dan upacara suci menjadi dimensi penting dari urusan nasional. Tindakan administratif melibatkan antara lain pendanaan kuil nasional dan kuil istana (Kankoku Heisha) dari kas negara, penyajian persembahan (Shinsen) ke kota, prefektur dan kuil lainnya, serta sistematisasi ritus dan imam di kuil Shinto.

Shinto sebagai sebuah kepercayaan yang setua negara Jepang itu sendiri dan yang keberadaannya sepanjang keberlangsungan negara, tentu mempengaruhi kebudayaan dalam kehidupan orang Jepang. Kebudayaan menurut ahli antropologi dalam Koentjaraningrat (2002:180) adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Kata kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian ke-budaya-an dapat diartikan : “hal – hal yang bersangkutan dengan akal”. Sedangkan Keesing (1999:68) membatasai istilah budaya sebagai suatu sistem pemikiran. Budaya dalam pemikiran ini mencakup sistem gagasan yang dimiliki bersama, sistem konsep, aturan serta makna yang mendasari dan diungkapkan dalam tata cara kehidupan manusia.

Menurut Koentjaraningrat, Kebudayaan memiliki 3 wujud, yaitu:

- Wujud pertama adalah wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide – ide, gagasan, nilai – nilai, norma – norma, peraturan dan sebagainya, disebut kebudayaan ideal.

(15)

- Wujud yang ketiga wujud kebudayaan sebagai benda – benda hasil karya manusia, disebut kebudayaan fisik.

Dalam Koentjaraningrat (2002:108), kebudayaan ideal baik pikiran – pikiran dan ide – ide, maupun tindakan dan karya manusia, menghasilkan benda – benda kebudayaan fisik, sebaliknya kebudayaan fisik membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin menjauhkan manusia dari lingkungan alamiahnya sehingga mempengaruhi pula pola – pola perbuatannya, bahkan juga cara berpikirnya. Cara berpikir tentunya tidak dapat dilepaskan dari ajaran – ajaran yang kemudian dijadikan falsafah hidup oleh suatu bangsa. Demikian pula halnya dengan alam pikiran bangsa Jepang yang dipengaruhi oleh ajaran Shintoisme sebagai ajaran asli.

Dalam kepercayaan Shinto, meyakini adanya penyembahan terhadap berbagai objek di alam. Penyembahan tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik dengan cara mengikut sertakan objek – objek alam dalam sebuah acara ritual keagamaan maupun sebuah pemahaman yang diterapkan dalam kehidupan bangsa Jepang. Bukti bahwa Shinto melakukan penyembahan terhadap alam dapat dilihat dari adanya sebutan dewa bagi bermacam – macam hewan dan objek alam sekitar yang diyakini memiliki tugas – tugas tertentu. Sehingga dari sini dapat kita lihat bagaimana Jepang sangat menghargai alamnya. Hal ini juga mempengaruhi cara berpikir masyarakat Jepang dalam kehidupannya.

(16)

karakteristik dari sikap mental yang menentukan bagaimana mengartikan ataupun merespon situasi, serta menjadi dasar kebudayaan Jepang. Dalam Burke (2001), sejarah mentalitas pada dasarnya adalah pendekatan aliran Durkheim (Durkheimian) terhadap ide – ide atau yang kadang – kadang menyebutnya dengan modus pemikiran (modes of thought), sistem keyakinan (believe systems), atau peta kognitif. Pandangan hidup merupakan bagian hidup manusia. Tidak ada seorang pun yang hidup tanpa pandangan hidup meskipun tingkatannya berbeda – beda.

Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut tentang Konsep Shinto Negara pada Periode Meiji (Kokka Shinto).

1.2 Rumusan Masalah

Shinto adalah kepercayaan tradisional yang lahir di Jepang. Menurut Hori Ichiro (1968) dalam Situmorang (2009) mengatakan bahwa agama rakyat Jepang sebagai Folk Believe yaitu kepercayaan yang sudah ada sebelum agama melembaga masuk ke Jepang. Agama rakyat yang belum melembaga tersebut adalah Proto Shinto (Shinto Lama). Pada awalnya Shinto tidak melembaga. Shinto melembaga pada zaman Meiji.

(17)

Menurut Fridell (1976), tahun 1868 -1945 adalah periode Kokka Shinto. Dan periode ini juga berlangsung pada masa pemerintahan Kaisar Meiji. Selama periode Kokka Shinto ini, kendali atas pemerintah Jepang secara sistematik memanfaatkan pemujaan kuil sebagai kekuatan utama untuk mengerahkan kesetiaan terhadap kaisar kerajaan dalam pembangunan negara modern.

Dari uraian inilah, maka penulis merumuskan masalah melalui pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana keadaan pemerintahan Jepang pada periode Meiji? 2. Bagaimana konsep Kokka Shinto pada periode Meiji?

1.3 Ruang Lingkup Permasalahan

Dalam penelitian ini, agar penelitian lebih terarah dan teratur maka penulis membatasi ruang lingkup pembahasan. Hal ini dimaksudkan agar permasalahan tidak berkembang menjadi terlalu luas.

Pembahasan pada penelitian ini difokuskan pada bagaimana konsep Kokka Shinto pada periode Meiji yang dapat dilihat melalui kemunculan Kokka Shinto, upaya pemisahan agama Shinto dan Budha (Shinbutsu Bunrirei), pemulihan kekuasaan kekaisaran (ōsei fukko) serta pemikiran bahwa negara adalah keluarga (kazokukokkakan). Adapun alasan penulis memfokuskan pembahasan pada ke empat hal tersebut adalah karena menurut penulis melalui ke empat pokok bahasan tersebut dapat terlihat jelas bagaimana keterkaitan Shinto dengan negara.

(18)

masa pemerintahan Meiji yang berlangsung dari tahun 1867 hingga tahun 1912. Dalam bab II juga dijelaskan secara umum tentang tinjauan terhadap sejarah Shinto dan Karakteristik Shinto.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

a. Tinjauan Pustaka

Jepang berasal dari kata Jepun atau Jipun atau Yapan atau Japon, bacaan dari huruf kanji 日本 dibaca Nihon atau Nippon. Naskah yang paling tua yang ditulis oleh orang Jepang sendiri adalah Kojiki (古事記) dan Nihonshoki (日本書 紀) yang ditulis pada tahun 712 dan 720. Dalam kedua naskah tersebut sudah

terdapat pemakaian nama Nihon atau Nipon (Situmorang, 2009:5).

Orang Wa dikatakan sebagai penduduk asli Jepang dan kaisar pertama adalah dinasti Yamato. Namun masih ada keraguan apakah pendiri dinasti Yamato berasal dari salah satu penguasa setempat dari penduduk asli kepulauan Jepang, atau penakluk dari luar Jepang. Terlepas dari hal itu, Jepang sudah terbentuk pada periode Yayoi, dan pembentukan penduduk Jepang sudah selesai pada abad ke-5 (Danandjaja, 1997).

(19)

mengenal ajaran dosa (sin), tetapi lebih menekankan soal kehormatan dan harga diri (honour). Pada masa pemerintahan Jimmu Tenno belum muncul istilah Shinto. Istilah Shinto baru muncul dan dikenal luas dalam kehidupan masyarakat Jepang setelah masuk dan diterimanya agama Budha dalam pemerintahan dan kehidupan masyarakat Jepang (Kitagawa, 1966).

Kokka Shinto (adalah istilah bahasa Jepang yang digunakan untuk mengartikan Shinto Negara Shinto Negara juga disebut sebagai Agama Negara dari Kekaisaran Jepang meskipun Shinto tidak hidup sebagai sebuah lembaga.

(20)

nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, yang dipilih secara selektif oleh para individu dan golongan di dalam masyarakat.

Zaman – zaman Jepang dapat di urutkan sebagai berikut: - Zaman Paleolitik

Kokka Shinto merupakan hasil ciptaan politik periode Meiji 1868-1912 (http://www. shinto.nl indexhtm_files/TNJR_v2_1_2011_shinto.pdf

“On January 3, 1868, a formal declaration of restoration was issued and a new administrative structure was established in conformity with the ancient style of direct imperial control over political affairs”.

). Restorasi Meiji

atau Meiji Isshin (明治維新) adalah serangkaian kejadian yang berpuncak pada pengembalian kekuasaan di Jepang kepada kaisar pada tahun 1868).

(Ishii, 1980:97)

Kutipan di atas berarti bahwa pada 3 Januari 1868, dikeluarkan sebuah deklarasi restorasi resmi dan dibentuk sebuah susunan administrasi baru sesuai dengan gaya kuno dari penguasaan langsung kekaisaran atas urusan pollitik.

b. Kerangka Teori

(21)

konkret. Suatu teori dipakai oleh peneliti sebagai kerangka yang memberi batasan terhadap fakta – fakta konkret yang tak terbilang banyaknya dalam kenyataan kehidupan masyarakat yang harus diperhatikan.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan dengan konsep religi. Menurut Koentjaraningrat (1976:137) konsep religi adalah sistem kepercayaan yang mengundang keyakinan dan bertujuan mencari hubungan antara manusia dengan Tuhan, dewa – dewa, atau makhluk halus yang mendiami alam gaib. Dengan konsep religi ini, penulis melakukan pendekatan terhadap masalah Kokka Shinto yaitu melalui sistem kepercayaan rakyat Jepang yang menjadi ideologi negara pada periode Meiji. Dan melalui konsep religi ini pula penulis mencari hubungan antara manusia Jepang dengan dewa – dewa yang dalam Kokka Shinto juga diyakini bahwa kaisar sebagai pemimpin negara adalah keturunan dewa.

Selain menggunakan konsep religi, penulis juga menggunakan pendekatan dengan teori historis. Teori historis atau sejarah merupakan pembahasan peristiwa di masa lampau, yang mengungkapkan fakta mengenai apa, siapa, kapan dan dimana serta juga menerangkan bagaimana sesuatu itu terjadi beserta sebab akibatnya (Kaelan, 2005:61). Penggunaan teori historis ini adalah untuk melihat sejarah Shinto dalam perkembangan negara Jepang serta melakukan tinjauan umum terhadap masa Restorasi Meiji yang merupakan awal keberlangsungan Kokka Shinto. Dengan teori historis ini, penulis mengungkapkan fakta mengenai Kokka Shinto pada periode Meiji.

(22)

hubungan Shinto dan negara serta kaitannya dengan Shinbutsu Bunrirei, Ōsei Fukko, dan Kazokukokkakan yang akan dijelaskan pada bab III.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian

a. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk memberikan pemahaman melalui deskripsi ataupun gambaran secara sistematis bahwa Shinto yang awalnya adalah hanya sebagai kepercayaan rakyat telah masuk kedalam sistem pemerintahan negara Jepang.

b. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini nantinya diharapkan bermanfaat sebagai:

1. Menambah wawasan pengetahuan khususnya mengenai keberadaan Shinto dalam pemerintahan negara Jepang.

2. Memberikan informasi kepada masyarakat luas pada umumnya dan mahasiswa Sastra Jepang pada khususnya tentang Kokka Shinto atau Shinto Negara

3. Dapat dijadikan sebagai bahan acuan dan tambahan informasi atau data bagi peneliti selanjutnya.

1.6 Metode Penelitian

(23)

mengumpulkan, menyusun, mengklasifikasikan, mengkaji dan menginterpretasikan data. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta – fakta, sifat – sifat serta hubungan antar fenomena – fenomena yang diselidiki (Nazir, 1988:63). Dengan menggunakan metode deskriptif ini, penulis akan memberikan gambaran tentang keadaan pemerintahan pada masa Restorasi Meiji untuk mengetahui bagaimana kemunculan Kokka Shinto, serta mengumpulkan data untuk mengetahui konsep Shinto Negara pada periode Meiji. Dengan demikian, melalui penelitian ini penulis dapat membuat deskripsi yang digambarkan secara sistematis tentang Konsep Shinto Negara pada periode Meiji.

Dalam penelitian ini, penulis juga menggunakan metode terjemahan atau translation method. Metode terjemahan adalah metode yang berkenaan dengan rencana pelaksanaan (analisis, pengalihan dan penyerasian) penerjemahan (Machali 2000:48). Penulis menggunakan metode terjemahan ini dikarenakan masih kurangnya buku – buku mengenai Kokka Shinto pada masa Meiji yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Untuk itu, dalam pelaksanaan penelitian ini, penulis melakukan terjemahan terhadap data – data yang diperoleh dalam bahasa asing, yaitu bahasa Inggris dan Jepang ke dalam bahasa Indonesia.

(24)
(25)

BAB II

TINJAUAN UMUM MASA RESTORASI MEIJI DAN SEJARAH SHINTO

2.1 Awal Restorasi Meiji

Restorasi Meiji yang dikenal juga dengan sebutan Meiji Ishin (明治維 新)atau Revolusi Meiji atau Pembaruan Meiji, adalah serangkaian kejadian yang

berpuncak pada pengembalian kekuasaan di Jepang kepada Kaisar pada tahun 1868. Serangkaian kejadian itu sendiri terjadi pada tahun 1866 sampai 1869, tiga tahun yang mencakup akhir zaman Edo. Restorasi ini menyebabkan perubahan besar – besaran pada struktur politik dan sosial Jepang, yang berlangsung sejak zaman Edo pada akhir Keshogunan Tokugawa dan awal zaman Meiji. Restorasi ini adalah akibat dari Perjanjian Shimoda dan Perjanjian Towsen Harris yang dilakukan oleh Komodor Matthew Perry dari Amerika Serikat.

2.1.1 Berakhirnya Pemerintahan Tokugawa

(26)

Menurut C.F Strong dalam Syafiie (2009:22) menyebutkan tentang defenisi pemerintahan sebagai berikut:

“Government in the broader sense, is changed with the maintenance of the peace and security of state with in and with out. It must therefore, have first military power or the control of armed forces, secondly legislative power or the means of making laws, thirdly financial power or the ability to extract sufficient money from the community to defray the cost of defending of state and of enforcing the law it makes on the state behalf.”

Maksudnya, pemerintahan dalam arti luas mempunyai kewenangan untuk memelihara kedamaian dan keamanan negara, ke dalam dan ke luar. Oleh karena itu, pertama, harus mempunyai kekuatan militer atau kemampuan untuk mengendalikan angkatan perang, yang kedua, harus mempunyai kekuatan legislatif atau dalam arti pembuatan undang – undang, yang ketiga harus mempunyai kekuatan finansial atau kemampuan untuk mencukupi keuangan masyarakat dalam rangka membiayai ongkos keberadaan negara dalam menyelenggarakan peraturan, hal tersebut dalam rangka penyelenggaraan kepentingan negara.

(27)

feodalisme). Martin dalam Situmorang (2009:79) menyebutkan bahwa “feodalisme adalah penguasaan tanah yang terpecah belah sebagai faktor produksi melalui kekuatan militer, dimana kaum feodal menyediakan keamanan bagi petani sehingga para petani dapat mengerjakan lahannya, sedangkan pembagian hasil ditentukan oleh Tuan Feodal sehingga petani tidak bisa hidup menjadi kuat, tetapi harus selalu tergantung pada tuannya”.

Untuk memahami kemunduran pemerintahan Tokugawa, hal pertama yang harus dipahami adalah kekuatannya. Untuk mempertahankan kekuasaannya, Tokugawa membuat berbagai kebijaksanaan. Diantaranya, Sankinkoutai yaitu peraturan bahwa setiap daimyo harus membuat tempat tinggal keluarganya di Edo, sehingga para daimyo wajib tinggal di Edo sekitar 6 bulan, dan 6 bulan lagi tinggal di wilayah kekuasaannya; kemudian ada kebijaksanaan Sakoku yaitu kebijaksanaan menutup negara dari negara luar; juga ada peraturan Kugeshohatto yaitu larangan berkomunikasi dengan keluarga Kaisar, dan Bukeshohatto adalah larangan sesama daimyo membentuk ikatan maupun perkawinan. Oleh karena berbagai kebijaksanaan ini dilaksanakan secara ketat, maka pada zaman Tokugawa ini dalam negri Jepang sangat tenang dan kebudayaan terbentuk secara menyeluruh (universal).

Selama periode Tokugawa, lima belas anggota keluarga Tokugawa secara berturut – turut memegang posisi sebagai Shogun, menggunakan sedikit banyak kekuasaan yang meyakinkan pendatang Eropa untuk berpikir bahwa Shogun sebagai Kaisar dan Kaisar seperti Paus (Beasley, 1972:13).

(28)

hingga awal abad ke – 19. Daimyo dalam Suryohadiprojo (1982:16) adalah pemimpin militer daerah yang independen. Sedangkan daimyo dalam Situmorang (2009:18) disebut juga hanshu (藩 主 ) adalah tuan penguasa wilayah di daerah. Para daimyo memiliki hak kepemilikan tanah secara turun – temurun dan bahkan tentara untuk melindungi tanah dan pekerjanya. Pada awal zaman Tokugawa (zaman Edo) perekonomian berpusat pada beras, sehingga banyak tanah merupakan lahan pertanian beras yang dikerjakan oleh para petani pekerja dan dijaga oleh pengawas daerah pertanian yang disebut Sakimori atau Tsuwamono atau Samurai yang kemudian dikenal dengan sebutan Bushi pada zaman Edo. Bakufu dan Han mengutamakan produksi beras karena beras merupakan pajak. Bushi juga menerima beras sebagai gaji dari Han.

Shinzaburo dalam Situmorang (1995:41), membagi periode pemerintahan Tokugawa berdasarkan kemantapannya atas tiga periode:

1. Periode pertama tahun 1603 – 1632

Periode pertama adalah masa pemerintahan shogun Ieyashu (1603 – 1605) sampai pada masa pemerintahan shogun Hidetada (1605 – 1632). Pada periode ini berkembang aliran Konfusionis yang bertujuan demi kepentingan politik.

2. Periode kedua tahun 1633 – 1854

(29)

3. Periode ketiga tahun 1855 – 1867

Periode ketiga adalah masa kehancuran keshogunan Tokugawa hingga menyerahkan kekuasaan kepada Kekaisaran. Periode ketiga ini diperintah oleh tiga generasi Tokugawa yaitu shogun Iesada, Iemochi dan Yoshinobu.

Pemerintahan Tokugawa mengalami masa jaya yang panjang, tetapi pada abad ke – 19, kekuasaan Tokugawa mulai mengalami kemunduran. Berakhirnya pemerintahan Tokugawa berakar dari pembukaan negara dan pelabuhan. Selama kurang lebih 250 tahun kekuasaan Tokugawa, Jepang menjalankan politik isolasi atau Sakoku, yaitu kebijakan menutup negara dari pengaruh luar. Adapun maksud Tokugawa melakukan politik isolasi untuk Jepang khususnya disebabkan oleh rasa khawatirnya akan kaum Kristen dan pengaruhnya. Sejak Tokugawa berkuasa agama Kristen dilarang dan semua orang asing dilarang masuk Jepang, kecuali orang Belanda yang masih boleh berdagang melalui pulau kecil Deshima di depan Nagasaki. Orang Jepang juga dilarang keluar negeri. Selama melakukan sakoku, Jepang tidak menyadari adanya kemajuan – kemajuan yang terjadi di bangsa barat, terutama dalam bidang industri. Dengan adanya revolusi industri di Inggris dan di Eropa Barat sehingga terjadi kemajuan perdagangan. Negara – negara Eropa berpikir bahwa negara Jepang adalah pasar komoditi yang baru. Sehingga menjelang akhir abad ke - 18, bangsa Eropa menuntut pembukaan negara (kaikoku) kepada Jepang yang melakukan Sakoku.

(30)
(31)

menunjukkan kekuasaannya di bumi Jepang. Mereka khawatir bahwa langkah demi langkah Jepang akan mengalami nasib yang sama seperti Cina atau bangsa – bangsa lain di Asia yang menurut pendengaran mereka dikuasai oleh bangsa – bangsa Eropa. Dengan perjanjian ini maka dibukalah pelabuhan Nagasaki, Hakodate, Yokohama dan lain – lain, dan sejak tahun1859 dimulailah dilakukan perdagangan bebas. Sehingga pada tahun 1867 pada masa Tokugawa Yoshinobu (Keiki) masih menjabat sebagai shogun, Hyogo (Kobe modern) terbuka bagi perdagangan luar negeri.

Dengan pergerakan yang baru yaitu pembukaan negara dan pelabuhan, harga – harga kebutuhan masyarakat menjadi naik, maka bersamaan dengan itu kehidupan petani dan bushi level bawah menjadi lemah, demikian pula dengan kekuatan politik bakufu. Sejak terjadinya pembukaan negara, terjadi pemberontakan dalam negri karena rakyat Jepang tidak menginginkan perjanjian tersebut ditandatangani oleh pemerintahan Tokugawa, terutama pihak kekaisaran karena perjanjian itu belum memperoleh izin dari Kaisar. Akibat dari penandatanganan perjanjian tersebut, pemerintah Tokugawa tidak lagi memperoleh kepercayaan dari rakyat karena mereka menganggap bahwa ini semua dapat terjadi karena Tokugawa tidak memenuhi fungsinya sebagai shogun, yaitu tidak dapat memberikan perlindungan terhadap bangsa Jepang (Suryohadiprojo, 1982:23).

(32)

yang beraliran Sonnojyoui itu adalah daimyo dari Satsumahan dan dari Choshuhan dari barat daya Jepang. Mereka yang beraliran Sonnojyoui menyadari kekuatannya karena telah kalah perang dengan negara – negara maju, Eropa dan Amerika. Karena hal tersebut, para aliran Sonnojyoui merubah cara berpikirnya dan bermaksud menggulingkan Tokugawa Bakufu yang dianggap telah gagal mempertahankan Jepang atas negara – negara asing.

Tahun 1867, Kekaisaran di Kyoto mengeluarkan surat keputusan rahasia yang memberikan kuasa kepada Sachou (Satsuma dan Choshu) untuk menggulingkan Bakufu. Bertepatan pada hari yang sama pada saat Sachou ingin menyerang Bakufu, Shogun yang terakhir dari keluarga Tokugawa yaitu Tokugawa Yoshinobu muncul di Kekaisaran di Kyoto untuk mengembalikan kekuasaan pada istana. Keshogunan Tokugawa secara resmi berakhir pada 9 November 1867 ketika Shogun Tokugawa ke – 15 yaitu Tokugawa Yoshinobu menyerahkan kekuasaan prerogatifnya kepada Kaisar. Sepuluh hari kemudian Yoshinobu mengundurkan diri dari jabatannya sebagai kepala negara. Kemudian istana menyatakan menerima kembali kekuasaan tertinggi yang pernah dimilikinya pada periode kuno. Maka dengan demikian berakhirlah Edo Bakufu yang berlangsung 265 tahun.

2.1.2 Pemulihan Jepang

(33)

Pemerintah Oligarki Meiji yang bertindak atas nama kekuasaan Kaisar memperkenalkan upaya – upaya mengonsolidasi kekuasaan untuk menghadapi sisa – sisa pemerintahan zaman Edo, keshogunan, daimyo dan kelas samurai. Setelah Restorasi Meiji, Jepang memperoleh kesempatan yang baik untuk mulai berkembang dengan melakukan pembaharuan – pembaharuan. Pembaharuan yang paling utama adalah penghapusan sistem feodal yang diterapkan oleh Tokugawa. Pada tahun1868, semua tanah feodal milik keshogunan Tokugawa disita dan dialihkan di bawah kendali kekaisaran. Tindakan ini sekaligus menempatkan mereka di bawah kekuasaan pemerintahan baru Meiji. Pada tahun 1869, daimyo Tosa, daimyo Hizen, Daimyo Satsuma dan daimyo Chosu yang telah berjasa melawan keshogunan, dibujuk untuk mau mengembalikan domain mereka kepada Kaisar. Daimyo lainnya juga selanjutnya diperintahkan untuk melakukan hal yang sama. Dengan adanya penghapusan wilayah domain, maka untuk pertama kalinya tercipta pemerintahan Jepang yang terpusat dan berkuasa di semua wilayah negeri.

(34)

negara. Para kelompok bushi juga tidak selamanya menjadi bushi lagi karena kebijakan pemerintah membuat peraturan Heimin Byoudo, yaitu persamaan kedudukan di dalam masyarakat.

Di zaman yang baru ini, Edo dinamakan Tokyo kembali. Tepat pada tahun 1868, nama era diubah menjadi “Meiji” dengan maksud membuat semua nama era pada masa depan sesuai dengan masa pemerintahan kerajaan. Pada 1870 rakyat biasa mulai diizinkan mempunyai nama diri (bukan nama keluarga besar/marga). Dan setahun kemudian, pada tahun 1871, pemerintah mengeluarkan undang – undang pendaftaran anggota keluarga.

Perubahan juga terjadi dikalangan masyarakat bekas samurai. Para bekas samurai dipecah menjadi 2, yaitu samurai tingkat atas yang dinamakan shizoku, dan samurai tingkat rendah yang dinamakan sotsu. Namun pada tahun 1872, kelas sotsu dihapuskan dan eselonnya yang lebih tinggi berpadu menjadi satu dengan kelas shizoku, sisanya turun kelas menjadi rakyat biasa. Para bekas samurai tersebut diberi kebebasan oleh pemerintah untuk memilih menyandang pedang atau tidak. Sebaliknya bagi rakyat biasa dilarang menyandang pedang. Pada zaman Tokugawa, pasukan militer hanya terdiri dari bushi tapi pada zaman Meiji ini laki – laki yang berusia 20 tahun ke atas semua harus menjadi pasukan tentara. Dengan begitu mulailah sistem wajib militer di Jepang.

(35)

kepada semua orang yang memiliki (shoji) tanah. Pada tahun yang sama, sistem pendidikan umum dimulai, dan terbukalah peluang untuk rakyat Jepang terhadap pendidikan yang meniru sistem pendidikan Barat dan penanggalan Gregorian pun mulai diterima.

2.2 Pemerintahan Masa Meiji 1867 – 1912

Runtuhnya pemerintahan Tokugawa merupakan berakhirnya zaman Edo yang ditandai dengan penyerahan kekuasaan Shogun Keiki (Tokugawa Yoshinobu) kepada Kaisar Meiji. Zaman baru ini disebut zaman Meiji yang berarti ‘kekuasaan pencerahan’, yang berlangsung antara 1868 – 1912. Kaisar yang bertahta pada zaman ini disebut sebagai Kaisar Meiji atau Meiji Tenno (明治 天皇), Meiji Agung atau Meiji Taitei (明治 大帝). Dan nama pribadinya adalah

Mutsuhito (睦仁). (Wikipedia).

Pada umumnya, rezim baru ini menekankan pentingnya Kaisar memerintah bangsa. Maka setelah wafatnya Kaisar Komei pada tahun 1866, anak laki – lakinya yang baru berumur empat belas tahun, yaitu Mutsuhito menggantikannya. Semua pengumuman resmi pemerintahan yang baru, dibuat atas namanya.

(36)

1. Dewan – dewan musyawarah akan dibentuk secara luas dan tiap – tiap kebijaksanaan akan ditetapkan berdasarkan musyawarah;

2. Golongan tinggi dan rendah harus bersatu dalam melaksanakan rencana – rencana bangsa dengan penuh gairah;

3. Semua warga sipil dan pejabat militer dan rakyat diijinkan untuk memenuhi cita – cita mereka, dengan demikian tidak ada ketidakpuasan antara mereka;

4. Adat istiadat masa lalu yang tidak baik harus dihapus, dan azas – azas yang adil dan wajar haruslah menjadi dasar kebijaksanaan kita;

5. Pengetahuan harus dicari keseluruh dunia dan dengan demikian kesejahteraan kerajaan dapat ditingkatkan.

Sumpah tersebut menguatkan asas politik yang baru berupa mendengarkan pendapat umum, pemerintahan terpusat, wajib militer yang universal dan penciptaan suatu sistem pendidikan di seluruh negara.

Struktur pemerintahan pusat atau daijoukan (太政官) yang dibentuk pada tahun 1868, merupakan kombinasi antara struktur pemerintahan pada periode Nara dan Heian dan sistem pemerintahan di barat. Daijoukan terdiri dari lembaga legislatif, lembaga eksekutif, urusan Shinto, keuangan, militer, hubungan luar negeri, dan urusan dalam negeri. Kementerian Kehakiman dibuat terpisah, sama seperti yang diterapkan di barat.

(37)

Angkatan Darat, Angkatan Laut, Urusan Rumah Tangga Kekaisaran, Kehakiman, Pekerjaan Umum, dan Pendidikan.

Kepemimpinan Meiji sangat terpengaruh oleh gagasan untuk mengembalikan sistem pemerintahan Kekaisaran yang kuno di Jepang, dan karena itu cenderung untuk menegakkan kembali praktek – praktek hukum yang lebih lama lagi. Praktek hukum yang dimaksud bukanlah hukum feodal melainkan pola – pola Ritsuryo dan sistem hukum Cina yang dihasilkan dalam jumlah besar. Dalam Situmorang (2009:81) menyebutkan bahwa sistem Ritsuryou lahir pada abad ke 7 pada masa pemerintahan Shotokutaishi. Dalam struktur Ritsuryou melahirkan masyarakat “Shisei” (sistem keluarga). Sistem pemerintahan Ritsuryou diperkenalkan kepada Jepang selama periode purba (tahun 603 – 967 M). Dalam sistem Ritsuryou, Kaisar (Tenno) adalah penguasa administrasi pemerintahan tertinggi. Saudara – saudara Kaisar adalah menjadi bangsawan. Para bangsawan kerabat Tenno ini bertugas melaksanakan pekerjaan birokrasi di istana maupun di daerah.

Pemerintahan masa Meiji berusaha menghilangkan ajaran Konfusius melalui penghapusan sistem status dalam masyarakat. Pemerintah secara perlahan – lahan menuju penghapusan berbagai pembatasan feodal dan ajaran Konfusius yang menggolongkan masyarakat ke dalam samurai, petani, tukang, dan pedagang.

(38)

dibenarkan secara hukum oleh intisari Kitab Undang – undang Hukum Pidana Baru tahun 1870 dan Kitab Undang – undang Pidana dan Undang – undang Dasar yang disempurnakan tahun 1873. Sehingga tahun – tahun awal Meiji dicirikan oleh suatu rezim Ritsuryo bergaya Cina yang terpusat dan otoriter, yang dibangun di atas dasar feodal. Tentara wajib militer dianggap sebagai tentara Kaisar, dan pejabat – pejabat pemerintah sebagai pejabat – pejabat Kaisar. Inilah pemerintah yang menyebabkan Jepang bertanggungjawab untuk membangun suatu “negeri yang kaya raya dan militer yang kuat” (fukoku kyohei) dan suatu masyarakat yang modern.

2.2.1 Susunan Administrasi

Jepang pada masa Meiji merupakan negara dengan bentuk pemerintahan kekaisaran (negara kerajaan). Dalam Syafiie (2009:85), negara kerajaan adalah suatu negara dimana kepala negaranya adalah seorang raja, sultan atau kaisar (bila kepala negaranya laki – laki) dan matahari atau ratu (bila kepala negaranya perempuan). Kepala negara dinobatkan secara turun – temurun dengan memilih putra/putri tertua dari istri yang sah (permaisuri).

(39)

Tahun 1869, pemerintah Meiji menciptakan silsilah kekeluargaan dalam kekaisaran dan kebangsawanan di Jepang, dengan menyatukan para bangsawan istana (kuge=公家) dan para keluarga daimyo menjadi sebuah kelas bangsawan yang dikenal sebagai kazoku (家 族). Kemudian pada tahun 1884, sambil menunggu pembukaan dewan tinggi, maka diundangkanlah Kazoku Rei (Undang – Undang Kebangsawanan) yang membagi kazoku (家族) menjadi lima golongan yang mirip dengan pembagian strata kerajaan di Inggris. Undang – undang tersebut menetapkan lima gelar kebangsawanan dari urutan yang tertinggi sampai terendah yaitu: prince, marquis, count, viscount, dan baron.

(40)

sebagai penghubung antara istana dan pemerintah. Sejumlah besar kekayaan negara juga dialihkan kepada kepala rumah tangga istana (Ishii, 1989:148).

Berikutnya dalam administrasi negara didirikan berbagai dewan dan dikeluarkan undang – undang. Sebelumnya pada 1869 telah dibuka kogisho (Dewan Pertimbangan), dan pada tahun 1888 didirikan Dewan Pertimbangan Agung (Sumitsuin).

Kemudian pada tanggal 11 Februari 1889 Konstitusi diundangkan dan mulai berlaku tanggal 29 November 1890 yaitu hari pembukaan Sidang Perdana dari Teikoku Gikai (帝国議会) atau Parlemen Kekaisaran sebagai badan legislatif. Menurut Konstitusi ini, kekaisaran Jepang harus diperintah oleh Kaisar dari garis keturunan yang tak terputus sejak berabad – abad. Ketiga cabang pemerintahan, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif dipimpin oleh Kaisar sendiri. Dan perubahan – perubahan terhadap konstitusi hanya dapat diusulkan oleh Kaisar. Kaisar juga diberi kekuasaan yang besar untuk mengeluarkan peraturan – peraturan pelengkap yang berdiri sendiri (dokuritsu meirei) dan peraturan – peraturan pelengkap yang mendelegasikan wewenangnya kepada para bawahannya (inin meirei). (Ishii, 1989: 151)

(41)

parleman yang dilantik. Dampak langsung dari Konstitusi ini adalah dibukanya pemerintah parlementer pertama di Asia.Konstitusi Meiji menetapkan batasan yang jelas antara kekuasaan badan eksekutif dan kekuasaan mutlak Kaisar. Pada tahun 1947, seiring kekalahan Jepang pada akhir Perang Dunia II, Konstitusi Meiji digantikan dengan dokumen baru yang disebut 日本国憲法 Nihon Koku Kenpō atau Konstitusi Jepang.

Parlemen kekaisaran terdiri dari dua bagian yaitu Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih seluruh rakyat, dan Dewan Bangsawan (Kizokuin=貴族院) yang terdiri dari kazoku atau golongan bangsawan, yang merupakan kubu keluarga besar Kaisar. Adapun anggota dari Kizokuin (貴族院) adalah:

1. Putra Mahkota dari usia 18 tahun;

2. Semua pangeran (shinnou) dan pangeran yang memiliki darah kekaisaran yang berusia di atas 20 tahun;

3. 150 orang wakil yang dipilih berdasarkan urutan counts, viscounts dan baron, yang berusia di atas 25 tahun;

4. 150 orang anggota tambahan yang dipilih oleh Kaisar;

5. 66 orang yang dipilih untuk mewakili 6000 orang pembayar pajak tertinggi. Bersamaan dengan konstitusi, dikeluarkan pula Undang – Undang Rumah Tangga Kaisar (Koshitsu Tenpan), Undang – Undang Parlemen, Undang – Undang Pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat, dan Peraturan Kerajaan tentang Majelis Bangsawan.

2.2.2 Ideologi Negara

(42)

antara keduanya maka kita dapatkan pengertian ideologi sebagai kumpulan gagasan, ide, keyakinan, kepercayaan, yang bersifat menyeluruh dan sistematis. Ideologi ini menyangkut seluruh bidang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara seperti politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan keagamaan.

Ideologi dalam Syafiie (2009:78) adalah sistem pedoman hidup dan cita – cita yang ingin dicapai oleh banyak individu dalam sebagian besar masyarakat yang bersifat khusus disusun secara sadar oleh para pemikir di daerah tersebut. Menurut Jean Bodin dalam Syafiie (2009:78) negara adalah persekutuan daripada keluarga – keluarga dengan segala kepentingannya yang dipimpin oleh akal dari suatu kuasa yang berdaulat.

Ideologi suatu bangsa mencerminkan cara berpikir masyarakatnya dan mengarahkan suatu bangsa untuk mencapai tujuan nasional negaranya. Ideologi juga merupakan sebuah landasan semangat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ciri – ciri ideologi suatu negara antara lain adalah ideologi berada di posisi tertinggi sebagai nilai hidup berbangsa dan bernegara; serta ideologi mewujudkan asas kerohanian, pandangan dunia, pandangan hidup, pedoman hidup, pegangan hidup yang dipelihara, dikembangkan, diamalkan, dan dilestarikan kepada generasi berikutnya, diperjuangkan dan dipertahankan dengan kesediaan berkorban (Simanjuntak, 2007).

(43)

pengabdian seluruh masyarakat Jepang. Hal ini karena Tokugawa Ieyasu memilih konfusionisme sebagai dasar filosofisnya untuk usaha menanamkan penghormatan bawahan terhadap atasan. Namun pada periode Meiji, dengan kembalinya keberadaan Shinto, maka ideologi negara berlandaskan kepercayaan Shinto.

Kepercayaan Shinto mengajarkan kesetiaan kepada yang berkuasa, sehingga menetralisasi (kemungkinan) sifat sombong seorang pejuang militer. Kepercayaan Shinto menekankan kesetiaan dan kecintaan kepada Negara dan Tenno. Shinto tidak mengenal ajaran dosa, tetapi lebih menekankan soal kehormatan dan harga diri (Suryohadiprojo, 1982:49).

Selama periode Meiji, melalui doktrin Shinto disebarkanlah ideologi militeristik yang mencakup ajaran – ajaran, keyakinan, dan teori, yang menganjurkan atau membenarkan misi Jepang untuk memperluas kekuasaannya atas bangsa – bangsa dan orang lain. Hal ini dilakukan dengan alasan bahwa Kaisar Jepang lebih unggul dari kepala negara lain karena asal keturunannya yang istimewa, juga menganggap bahwa pulau – pulau Jepang lebih unggul daripada negeri lain karena sejarah asal mulanya yang istimewa. Tetapi pemikiran seperti ini dihentikan melalui dikeluarkannya Instruksi Shinto (Shinto Shirei) atas perintah SCAP (Supreme Commander Allians Powers) Amerika kepada Pemerintah Jepang pada 15 Desember 1945 yang melarang propagasi dan penyebaran ideologi militeristik dalam doktrin Shinto beserta filsafatnya.

2.3 Sejarah Shinto dan Karakteristik Shinto

(44)

agama Budha, Konfusianisme, Katolik, Protestan dan Islam yang masuk kemudian (Danandjaja, 1997).

Sebagai agama tertua di Jepang, tentulah keberadaan Shinto memiliki sejarah yang panjang. Dan melalui sejarah panjang Shinto sehingga dapat melihat karakteristik Shinto tersebut. Bagaimana sejarah Shinto akan dibahas pada sub-bab berikut.

2.3.1 Sejarah Shinto

Dalam Shinto, tidak ada yang disebut dengan kitab suci sebagaimana Alkitab pada Kristen dan Qur’an pada Islam. Tetapi ada catatan - catatan tentang pengetahuan dan adat serta sejarah yang menuliskan riwayat dan latar belakang kepercayaan Shinto. Buku – buku tersebut antara lain adalah:

- Kojiki, yaitu catatan rekaman tentang keadaan masa kuno. Inilah sebagai dasar penulisan sejarah Shinto.

- Shoku Nihongi dan Nihon Shoki ( sambungan dari rentetan sejarah Jepang). Cenderung berisi sistem struktur pemerintahan, kebijakan luar negeri, hirarki agama, dan tatanan sosial luar negeri.

- Rikkokushi, yaitu sejarah enam negri, termasuk didalamnya Shoku Nihongi dan Nihon Shoki

- Jinno Shotoki, yaitu pembelajaran tentang Shinto dan politik Jepang dan sejarahnya. Ditulis pada abad 14.

(45)

keturunan Amaterasu Omikami yang diyakini sebagai dewa matahari. Dalam Kojiki juga terdapat dongeng dan silsilah para dewa. Dalam catatan sejarah tersebut dituliskan bahwa dewi matahari Amaterasu Omikami mengutus cucunya yang bernama Ninigi no mikoto ke bumi Jepang untuk memerintah Jepang, dan Jimmu Tenno adalah anak dari Ninigi no mikoto, menjadi kaisar pertama Jepang dari klan Yamato. Ketika klan Yamato mulai berkuasa di Jepang pada abad 3 M, klan ini tidak hanya berperan dalam pemerintahan tetapi juga berperan sebagai pendeta yang menjalankan ritual – ritual keagamaan sehubungan dengan pengakuannya sebagai titisan dewa matahari.

Pada masa Jimmu Tenno belum muncul istilah Shinto. Istilah Shinto baru muncul dan dikenal luas dalam kehidupan masyarakat Jepang setelah masuk dan diterimanya agama Budha dalam pemerintahan dan kehidupan masyarakat Jepang. Untuk membedakan agama Budha dengan agama yang sudah dipercayai dan dijalankan oleh rakyat Jepang maka dibuatlah istilah Shinto.

a. Periode Jomon

(46)

b. Periode Yayoi

Budaya Jepang mulai berkembang karena pengaruh dari perdagangan daratan dan imigrasi dari Cina. Selama masa ini, dalam sejarah zaman pra-tulisan, benda – benda dari daratan Cina mulai muncul dalam jumlah besar, khususnya cermin, pedang, dan perhiasan. Ketiganya memiliki kaitan langsung bagi status ilahi kekaisaran karena benda – benda tersebut adalah simbol ketuhanan kekaisaran dan benda kehormatan Shinto. Juga budaya padi mulai mekar di seluruh Jepang dan ini menyebabkan perkampungan masyarakat serta ketergantungan terhadap tanaman musiman. Kedua perubahan ini sangat berpengaruh pada hubungan masyarakat Jepang dengan alam, dan memungkinkan adanya pengembangan sistem agama yang lebih kompleks. Periode ini juga dirujuk sebagai awal dari keilahian keluarga kekaisaran. Budaya Yayoi merupakan budaya berbasis klan yang hidup secara tergabung dengan pemimpinnya yang juga ditetapkan sebagai imam kepala. Para pemimpin klan bertanggung jawab atas hubungan klannya dengan Kami. Perkembangan festival panen Shinto adalah juga disebabkan periode ini sebagai persembahan untuk panen yang baik.

c. Periode Kofun

(47)

aliansi politik dengan Yamato, dan pada abad ke 5 diterima sistem tulisan Cina untuk mencatat nama – nama Jepang serta kegiatan perdagangan dan catatan politik. Pada tahun 513 Paekche mengirimkan seorang sarjana Konfusius ke istana untuk membantu pengajaran dalam pemikiran Konfusius. Kemudian patung Budha diberikan kepada pemimpin Yamato sehingga hal ini sangat mengubah jalannya sejarah agama Jepang, terutama dalam kaitannya dengan pencampuran agama berkembang pribumi yaitu Shinto. Namun pada akhir abad ke 6, terjadi gangguan hubungan antara Jepang dengan Paekche, pengaruhnya menyebabkan penetapan Shinto sebagai agama asli sebagai upaya dalam menentang pengaruh luar yang ekstrim.

d. Periode Asuka

Secara khusus para penguasa Asuka dari tahun 552 – 645 melihat perselisihan antara keluarga yang lebih besar dalam klan keluarga Shinto. Ada perselisihan tentang siapa yang akan naik ke kekuasaan dan mendukung keluarga kekaisaran antara Soga dan Mononobe/ keluarga Nakatomi Shinto. Keluarga Soga akhirnya menang dan didukung Ratu Suiko dan Pangeran Shotoku, yang membantu pengaruh agama Budha ke Jepang. Namun, tidak sampai pada periode kekuasaan Hakuho tahun 645 – 710, Shinto ditempatkan dalam keyakinan kekaisaran bersamaan dengan Klan Fujiwara dan reformasi yang mengikutinya.

e. Periode Hakuho

(48)

tidak ada. Keluarga Nakatomi dibuat sebagai kepala pendeta Shinto istana dan imam – imam kepala di Ise Daijingu yang berlangsung hingga 1892. Juga praktik pengiriman putri kekaisaran ke Kuil Ise dimulai. Hal ini menandai kebangkitan Ise Daijingu sebagai kuil kekaisaran utama dalam sejarah. Karena meningkatnya pengaruh dari Budha dan pemikiran daratan Asia, penyusunan sistem jalan religi Jepang (The Japanese way of religion) dan hukum dimulai dengan sungguh – sungguh. Hal ini menghasilkan tiga hal, yakni: Kitab Undang – Undang Taiho (701), Kojiki (712) dan Nihon Shoki (720).

Kitab Undang – Undang Taiho atau yang disebut juga Ritsuryō (律令) merupakan upaya untuk menciptakan bentuk terhadap pengaruh luar dan menstabilkan masyarakat melalui kekuasaan Kekaisaran. Hal ini merupakan liturgi kekuasaan dan penyusunan sistem undang – undang, terutama difokuskan pada peraturan agama, susunan pemerintahan, undang – undang pertanahan, pidana dan hukum perdata. Semua imam, biarawan, dan biarawati harus terdaftar. Ritual Shinto dari garis kekaisaran disusun secara sistematis, terutama siklus musiman, ritual kalender lunar, festival panen, dan upacara penyucian. Pembuatan Jingi-kan kekaisaran atau kantor Kuil Shinto selesai pada masa ini.

f. Periode Nara

(49)

naiknya pengaruh Budha. Pembentukan kota Kekaisaran dalam hubungannya dengan Undang – Undang Taiho dianggap penting untuk Shinto sebagaimana kantor ritual Shinto menjadi lebih kuat dalam asimilasi kuil klan lokal ke dalam pengawasan kekaisaran. Kuil baru dibangun dan berasimilasi setiap kali kota tersebut akan dipindahkan. Semua kuil besar diatur dalam Taiho dan diharuskan untuk memperhitungkan pendapatan, imam, dan praktek karena konstribusi nasional. Selama masa ini, Buddhisme menjadi dibentuk secara tersusun di Jepang oleh Kaisar Shomu (pemerintahan 723-749), dan melakukan beberapa proyek bangunan besar. Kaisar menyusun rencana untuk Dainichi Budha (Great Sun Budha), di Todaiji dibantu oleh Pendeta Gyogi (atau Gyoki) Bosatsu. Pendeta Gyogi pergi ke kuil Ise Daijingu atas restu untuk membangun Dainichi Budha. Mereka mengidentifikasikan patung Viarocana dalam Budha dengan Amaterasu (dewi matahari dalam Shinto) sebagai perwujudan lambang tertinggi semesta.

Pada reformasi Taika (646 M), Shinto dijadikan agama negara dengan memasukkannya dalam satu departemen dalam pemerintahan yang disebut dengan jingikan dan kuil Ise (Ise Jingu) dijadikan kuil utama untuk menjalankan ritual dan perayaan Shinto secara nasional. Pada abad 7-8 M, sementara ajaran Budha dan Konfusianisme mendominasi Jepang, Shinto menjadi agama masyarakat. (PDF:shintobagibangsajepang:478)

(50)

Setelah Jepang kalah dalam perang dunia dua dan diubahnya undang – undang dasar negara Jepang tahun 1947, Shinto tidak lagi dijadikan sebagai agama negara. Sejak saat itu setiap warga negara Jepang memiliki kebebasan dalam memillih agama dan menjalankan ritual keagamaan.

- bangunan permanen kuil shinto diperkirakan adalah hasil pengaruh agama Budha yang selalu memiliki bangunan untuk menyimpan patung Buddha.

2.3.2 Ryoubu Shinto

Dalam Canter (2011:33) menuliskan :

“It should be noted that the syncretism resulted in a form of Buddhism that is totally unique to Japan. The uniqueness of the Japanese Buddhism came from the adapting Shintō rites. Even though a Japanese Buddhist can relate to another countries’ Buddhism, the Japanese Buddhism has become “something different from every other form of the faith in Asia.”91 The resulting syncretism is called 神 仏 習 合, Shinbutsu Shūgō (神仏混淆, Shinbutsu Konkō) “mixture of Buddhism and Shintō” or 両部神道, Ryōbu Shintō (両部習合神道, Ryōbu Shūgō

Shintō) “two-sided Shintō.”

Menurut kutipan di atas, dikatakan bahwa Ryōbu Shintō merupakan hasil dari perpaduan paham (sinkretisme) Buddhisme dengan Shintō. Buddhisme masuk dan diterima di Jepang tanpa menggantikan keberadaan kepercayaan asli Jepang yaitu Shintō, melainkan beradaptasi dengan kepercayaan rakyat Jepang. Adanya adaptasi upacara Shintō ke dalam Buddhisme menjadikan Buddhisme Jepang memiliki keunikan dan sedikit perbedaan dengan Buddhisme di daerah lain di Asia. Hasil perpaduan agama melembaga seperti Buddhisme dengan Shinto itulah disebut Ryōbu Shintō atau dapat dipahami seperti Shintō yang memiliki 2 sisi.

(51)

Jepang tidak menganggap agama sebagai sesuatu yang eksklusif. Sikap ini mempunyai beberapa arti, yaitu:

- Seorang Jepang yang sama akan menyembah dewa – dewa dari agama yang berbeda tanpa perasaan yang bertentangan. Misalnya orang Jepang akan bersembahyang di altar agama Budha yang ada di rumahnya pada pagi hari, dan pada sorenya akan pergi bersembahyang ke tempat pemujaan Shinto;

- Ada tempat pemujaan yang menyemayamkan patung – patung dewa dari berbagai agama yang berbeda. Contohnya di Jepang ada klenteng Budha di dalam kompleks pemujaan Shinto dan demikian sebaliknya;

- Konsep religi orang Jepang mengenai seorang dewa dapat mencakup unsur – unsur yang berasal dari agama – agama berbeda;

- Seorang pendeta dari suatu agama boleh memimpin upacara keagamaan dari agama lain.

(52)

Pada reformasi Taika 646 M, agama Budha dan Konfusianisme yang diterima melalui China dijalankan secara berdampingan dengan Shinto . Dalam kehidupan masyarakat Jepang pada zaman Heian (794-1185), Shinto dan Budha tumbuh berdampingan dan ritual keagamaannya dijalankan sekaligus keduanya oleh rakyat Jepang. Tidak ada pertentangan antara Shinto dan Budha karena dianggap dewa – dewa yang dipuja dalam Shinto terutama dewa matahari juga penjelmaan dari Budha. Ryobu Shinto tidak berarti penyatuan dari agama melainkan melaksanakan peran masing – masing dalam kehidupan, contohnya dalam hal pemujaan kepada kami adalah tanggung jawab pendeta Shinto sementara penyelenggaraan ritual kematian adalah tanggung jawab pendeta Budha. Dapat dikatakan hal ini semacam pembagian tugas.

Semasa pemerintahan Ashikaga (1333-1568) agama Shinto terlupakan, demikian juga ketika zaman Tokugawa (1615-1868). Pada dua zaman tersebut agama Budha lebih mendapat tempat dalam pemerintahan .

(53)

Perpaduan paham antara Buddhisme dan Shintoisme berkaitan erat dengan Kōbō Daishi. Ajaran Shingon Kōbō Daishi meyakini bahwa dewa-dewa Shintō adalah perwujudan duniawi dari dewa – dewa Buddha. Kepada merekalah Amaterasu merupakan penjelmaan duniawi dari Vairochana atau dalam bahasa Jepang disebut Biroshana (nama dari cahaya Buddha Mahayana). Daishi mengokohkan pemikiran yang telah ada dengan memadukan identitas dari banyak dewa – dewa Shintō dengan Buddhisme,

Perpaduan teologi ini memiliki hubungan dengan politik, juga telah berperan dalam pertumbuhan Buddhisme dan perlindungan kerajaan untuk waktu yang lama. Ayat – ayat Buddha dibacakan di istana kekaisaran dan kepada orang – orang di bawah pimpinan pemerintah. Surat keputusan Kekaisaran mengatur urusan - urusan Buddha dan festival – festival Budda menjadi upacara negara. Ritual – ritual Buddha dilakukan di Kuil – kuil Shintō. Sampai 1868, Ryōbu Shintō mendominasi semua bentuk – bentuk ritual Shintō.

Setelah masuknya kebudayaan dari Cina, kepercayaan dan praktek – praktek Konfusius, Tao dan Budha berlangsung sepanjang waktu dan bercampur dengan Shinto. Hubungan ini sangat jelas terutama antara Budha dan Shinto. Dalam hal yang lebih khusus bahwa peranan Shinto kami dalam sistem kosmologi Budha. Pada satu sisi dalam sejarah, kami dianggap sebagai sang Budha, di sisi lain kami dianggap semangat yang dibutuhkan dalam pencerahan. Sebuah contoh kekeliruan yang terlihat dalam praktek di dalam kuil Budha dan kuil Shinto yang dikutip dari sebuah hasil penelitian.

(54)

procedure. Subsequently, when they arrived at the Buddhist temple, the two clapped before praying – Shinto style.” (Shaw, 2005:5)

Dari kutipan tersebut diatas, dapat dilihat bahwa ketika berada di kuil Shinto, pendatang tidak menepuk tangan dua kali dan membunyikan bel sebagaimana kebiasaan formal Shinto dalam tata tertib “memanggil kami”, tetapi menundukkan kepala mereka dengan sungguh – sungguh dalam berdoa yang mana merupakan prosedur standard Budha. Kemudian ketika berada di kuil Budha, pendatang menepuk tangan sebelum berdoa, yang merupakan gaya Shinto. Contoh seperti ini adalah satu dari banyak contoh yang dapat menunjukkan bahwa bahkan dalam praktek sehari – hari, batas defenisi antara Shinto dan Budha sangat tidak jelas.

2.3.3 Shinto Dalam Masyarakat Jepang

Masyarakat Jepang percaya bahwa meyakini keberadaan kami dan melakukan upacara persembahan kepada kami akan mendapatkan perlindungan dari kami tersebut dan akan terbebas dari bencana dan ketidakberuntungan. Sehingga banyak sekali kami yang disembah berkaitan dengan alam seperti dewa matahari, dewa pohon, dewa air dan lain sebagainya. Kuil tempat beribadah para penganut Shinto adalah jinja yang tersebar di seluruh negera Jepang. Selain di jinja, ritual penyembahan dewa dan arwah leluhur dapat dilakukan di rumah. Tiap – tiap keluarga di dalam rumahnya terdapat kamidana yaitu semacam miniatur jinja

(55)

sebagian besar masyarakat Jepang. Diantara ritual atau upacara Shinto tersebut antara lain:

1. Ritual yang berkaitan dengan kehidupan individu (tsukagirei)

(56)

hidup. Setelah meninggal dunia diadakan upacara bagi keselamatan arwah yang disebut nenkihoyo.

2. Ritual yang dilakukan pada saat mengharapkan sesuatu (ninigirei).

Bila seseorang menginginkan sesuatu seperti ingin lulus ujian, mendapatkan jodoh, mendapatkan pekerjaan yang baik dan lain sebagainya, maka individu tersebut akan mengunjungi jinja untuk memohon kepada kami agar keinginan – keinginan mereka terkabul.

3. Ritual yang dilaksanakan sepanjang tahun disebut (nenchuu gyouji)

Dalam kalender Shinto banyak sekali festival atau matsuri yang diselenggarakan setiap tahunnya. Menurut Danandjaja dalam Folklore Jepang (1997:300), matsuri merupakan folklore Jepang asli yang berhubungan dengan agama Shinto, yang dilakukan pada tanggal – tanggal tertentu. Sedangkan nenchu gyouji termasuk festival berskala lebih besar yang dilakukan setiap tahun dan berhubungan dengan musim. Masing – masing daerah mempunyai tradisi matsuri yang berbeda selain dari matsuri yang lazim diselenggarakan di seluruh Jepang. Matsuri yang umum diselenggarakan oleh seluruh masyarakat Jepang diantaranya adalah Obon matsuri, bonenkai, hatsumode dan lain sebagainya. Festival ini diselenggarakan dalam rangka menyembah dan melayanai kami.

4. Kegiatan yang berhubungan dengan keindahan atau estetika

(57)

5. Olahraga dan kesenian tradisional

Masyarakat Jepang juga melakukan pemujaan dan persembahan kepada dewa dalam bentuk olahraga dan kesenian seperti sumo, aikido, yabusame (melempar panah di atas kuda) dan bugaku (tarian dan nyanyian).

6. Penyembahan arwah leluhur (sosen suhai)

Dalam Shinto, selain menyembah kami juga menyembah arwah leluhur yang disebut dengan sosen suhai. Ritual penyembahan arwah leluhur dilaksanakan oleh masing – masing keluarga yang tergabung dalam kelompoknya yang disebut Ie. Tiap – tiap keluarga bertanggung jawab memelihara dan menjaga makam keluarganya dan secara rutin melakukan pemujaan sesuai dengan ajaran Shinto.

Dari berbagai ritual tersebut di atas, maka dapat dilihat bagaimana keberadaan Shinto begitu melekat dalam kehidupan masyarakat Jepang, baik dalam kehidupan individu Jepang maupun dalam festival atau pesta rakyat yang biasa dilakukan oleh seluruh rakyat Jepang hingga kini.

2.3.4 Shinto Melembaga

(58)

Menurut Befu dalam Danandjaja (1997:166), Shintoisme pada umumnya dapat dibagi menjadi tiga sistem kepercayaan yang berbeda, yakni (1) Shinto Rakyat (Folk Shinto) yang juga disebut sebagai Shinto petani pedesaan atau Minzoku Shinto (民俗 神道); (2) Shinto Negara atau Shinto Nasional; (3) Shinto Sekte atau (宗派神道).

(1) Shinto Rakyat atau Minzoku Shinto (民俗神道)

Minzoku Shinto (民俗 神道) meliputi banyak kepercayaan rakyat pada dewa – dewa dan roh – roh. Shinto Rakyat adalah kepercayaan shinto yang dilakukan tanpa adanya sistem dan tanpa adanya seorang pendeta yang melakukan ritual. Hal ini dipisahkan dari sistem kuil – kuil Shinto yang ada. Shinto Rakyat sudah ada sejak zaman Yayoi. Ritual dalam Shinto Rakyat biasanya dilakukan di kuil yang sederhana yang disebut mukakusho dan biasanya untuk menyembah dewa pelindung (ujigami). Perayaan – perayaan kuil biasanya hanya dilakukan oleh penduduk sekitar yang diorganisir dalam suatu wadah kuil yang disebut miyaza. Dalam Shinto Rakyat biasanya dilakukan festival – festival sepanjang tahun, misalnya festival tahun baru, festival musim dan lain – lain.

(2) Shinto Negara atau Kokka Shinto (国家神道)

(59)

dapat dipisahkan antara kepercayaan keagamaan dengan upacara kenegaraan dalam jinja itu.

(3) Shinto Sekte atau Shuha Shinto (宗派神道)

Shuha Shinto adalah sebutan hukum yang awalnya diciptakan pada tahun 1890 untuk memisahkan tempat suci milik pemerintah dari praktek agama setempat. Mereka tidak memiliki kuil, tetapi melakukan kegiatan keagamaan di aula atau balai pertemuan. Shinto Sekte diklasifikasikan lagi menjadi dua bagian, yaitu: Sekte Shinto dan Sekte Shinto Baru. Sekte Shinto dimulai dari tahun 1868 dam sete;aj 1882 ketika kuil Shinto terpisah dari ajaran agama lainnya. Setiap Sekte mempunyai para pendiri dan doktrin sendiri. Sedangkan Sekte Shinto Baru (Shin Kyoha Shinto) berawal sejak berakhirnya Shinto Negara. Setelah pemerintah melepas urusan agama dari pemerintah, banyak bermunculan sekte – sekte baru yang mengubah dan mengembangkan sendiri Shinto yang sudah ada. Ada sekitar 128 sekte yang muncul pada saat itu.

Dengan adanya hubungan yang dilakukan Jepang dengan daratan Cina pada permulaan abad Masehi, mendatangkan pula pengaruh kebudayaan Cina bagi Jepang, terutama dibidang keagamaan. Pada sekitar abad 3 Masehi, agama Budha mulai masuk ke Jepang. Sejak itu menyusul pula lah agama – agama melembaga yang lainnya seperti Konfusionis, Kristen dan sebagainya. Masuknya agama – agama melembaga di Jepang kemudian diserap oleh agama rakyat. Terutama Budha yang kemudian bersinkretisme dengan Shinto.

(60)

Walaupun masing – masing klan memiliki seperangkat ritual mereka sendiri, tetapi ada perbedaan yang besar antar ritual masing – masing klan. Sistem baru Buddhisme memiliki daya tarik yang tinggi bagi Shinto.

Sinkretisme dihasilkan dalam sebuah bentuk dari Buddhisme yang benar – benar unik bagi Jepang. Keunikan Buddhisme Jepang berasal dari mengadaptasi upacara – upacara Shinto. Hasil dari sinkretisme itu disebut神仏習合Shinbutsu Shūgō (神仏混淆Shinbutsu Konkō) “campuran Buddhisme dan Shinto“ atau両部

神道Ryōbu Shinto (両部習合神道Ryōbu Shūgō Shintō) “Shinto dua sisi”.

Lebih dari 300 tahun setelah perpaduan Buddhisme dan Shinto, tidak ada perubahan besar dalam religi Jepang. Meskipun demikian pada abad 12 dan 13 ada beberapa sekte yang diperkenalkan. Beberapa yang dikenal dari sekte Buddha Jepang adalah Jōdo, Zen dan Nichiren.

Jodo adalah sebutan Jepang dari Amida Buddhisme. Amida adalah “sang Buddha dari sinar abadi” atau Amitayus “kehidupan kekal”, dan disebut menjadi bagian dari Buddha Gautama. Amida ( Buddha Gautama) diyakini telah menyucikan tanah untuk surga yang disebut “Bumi yang Murni” atau Nirvana, inilah upah bagi manusia yang telah melakukan perbuatan baik. Shinto berpadu dengan kepercayaan Buddha Amida membentuk kata bahasa Jepang 浄土do, Bumi Murni atau tanah Murni Buddhisme. Sekte ini didirikan oleh biarawan Genku (1132-1212, dengan nama anumerta Hōnen Shōnin).

(61)

dengan bushido dari samurai dan sangat populer dikalangan prajurit. Tidak seperti Amida, Zen menekankan keselamatan dalam diri manusia itu sendiri dan kemurnian seseorang daripada dewa.

(62)

BAB III

KONSEP SHINTO NEGARA PADA PERIODE MEIJI

3.1 Ōsei Fukko (王政復古)

Secara etimologi, ōsei fukko berarti mengembalikan pemerintahan raja menjadi seperti dulu. Pengembalian yang dimaksud adalah kekuasaan mutlak Kaisar. Sebab selama 250 tahun keshogunan Tokugawa, kekuasaan Kaisar didominasi oleh Shogun. Namun dengan berakhirnya Keshogunan Tokugawa maka keinginan masyarakat untuk mengembalikan kekuasaan mutlak Kaisar dapat dilaksanakan. Dikatakan pengembalian sebab pada masa lalu di zaman Nara, kekuasaan dipegang oleh Tenno, yang dikenal dengan sistem Ritsuryo. Dalam sistem Ritsuryo, Tenno (kaisar) adalah penguasa administrasi pemerintahan tertinggi. Sedangkan saudara – saudara Kaisar menjadi bangsawan. Dan para bangsawan kerabat Tenno bertugas melaksanakan pekerjaan birokrasi di istana maupun di daerah.

Pengembalian kekuasaan kepada Kaisar dapat dilihat melalui tindakan para daimyo yang telah menggulingkan pemerintahan Tokugawa yakni daimyo Satsuma, Chosu, Tosa dan Hizen yang pada masa pemulihan Jepang tahun 1869, mengumumkan penyerahan pengendalian (kekuasaan) mereka atas tanah dan rakyat di wilayah kekuasaan mereka kepada Kaisar.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam istilah pertarungan, hal ini berarti mencegah pikiran berhenti atau “menetap”, bagaimana postur tubuh, teknik pedang lawan, atau apa pun yang akan membuat pikiran kita

Sinonim dalam bahasa Jepang disebut Ruigigo ( 類 義 語 ) dan kadang disebut juga dengan istilah Dougi Kankei ( 同義関係 ) adalah dua buah kata atau lebih

Jepang adalah negara maju yang terkenal dengan perkembangan teknologi yang sangat cepat, namun tidak begitu saja meninggalkan budaya lama yang sudah lama melekat di kalangan