ANALISIS PEMIKIRAN LIAN HEARN TENTANG SAMURAI
DALAM NOVEL “ACROSS THE NIGHTINGALE FLOOR”
“ACROSS THE NIGHTINGALE FLOOR” NO SHOSETSU NI
OKERU SAMURAI NI TSUITE NO LIAN HEARN NO
KANGAEKATA NO BUNSEKI
SKRIPSI
Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana Bidang Ilmu
Sastra Jepang Oleh:
FRISKA SIHITE
NIM: 040708053
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS SASTRA
PROGRAM STUDI S-1 SASTRA JEPANG
MEDAN
ANALISIS PEMIKIRAN LIAN HEARN TENTANG SAMURAI
DALAM NOVEL “ACROSS THE NIGHTINGALE FLOOR”
“ACROSS THE NIGHTINGALE FLOOR” NO SHOSETSU NI
OKERU SAMURAI NI TSUITE NO LIAN HEARN NO
KANGAEKATA NO BUNSEKI
Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana Bidang Ilmu
Sastra Jepang Oleh:
FRISKA SIHITE
NIM: 040708053
Pembimbing I Pembimbing II
Adriana Hasibuan S.S, M.Hum
NIP. 131662152 NIP. 131763366
Drs. Nandi S.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS SASTRA
PROGRAM STUDI S-1 SASTRA JEPANG
MEDAN
Disetujui oleh:
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Program Studi Sastra Jepang Ketua Program Studi
NIP.131422712
Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S, Ph.D
PENGESAHAN Diterima oleh,
Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu Ujian Sarjana dalam bidang Ilmu Sastra Jepang pada Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.
Pada : Pukul 14:00 WIB Tanggal : 20 September 2008
Hari : Sabtu
Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara Dekan
NIP.132098531
Drs. Syaifuddin, M.A, Ph.D
Panitia Ujian
No. Nama Tanda Tangan
1. Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S, Ph.D ( )
2. Adriana Hasibuan, S.S, M.Hum ( )
3. Drs. Amin Sihombing ( )
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena
kasih karunia dan kuasa-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Skripsi yang berjudul Analisis Pemikiran Lian Hearn Tentang Samurai
Dalam Novel “Across The Nightingale Floor” (“Across The Nightingale Floor” No Shosetsu Ni Okeru Samurai Ni Tsuite No Lian Hearn No Kangaekata No Bunseki) ini diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam mencapai gelar
kesarjanaan pada Fakultas Sastra Program Studi Sastra Jepang Universitas Sumatera
Utara.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih, penghargaan,
serta penghormatan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang elah membantu
penulis menyelesaikan studi dan skripsi ini, antara lain kepada:
1. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas
Sumatera Utara.
2 Bapak Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S, Ph.D, selaku Ketua Program
Studi S-1 Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.
3 Ibu Adriana Hasibuan SS, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I, yang telah
menyediakan waktu di sela-sela kesibukannya untuk membimbing dan
mengarahkan penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
4. Bapak Drs. Nandi S., selaku Dosem Pembimbing II, yang telah memberikan
5. Dosen Penguji Ujian Skripsi, yang telah menyediakan waktu untuk membaca
dan menguji skipsi ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada semua
Dosen Pengajar Program Studi S-1 Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara,
yang telah memberikan banyak ilmu kepada penulis, sehingga penulis dapat
meyelesaikan perkuliahan dengan baik.
6. Ayahanda Anggiat Sihite, SE, yang senantiasa memberikan semangat dan
nasehat kepada penulis, juga kepada Ibunda M.R. Hutabarat Spd, yang dengan
setia merawat serta mengajarkan nilai-nilai yang baik terutama kepercayaan
yang dilimpahkan secara luar biasa kepada penulis.
7. Teman-teman penulis sesama mahasiswa Sastra Jepang Universitas Sumatera
Utara Stambuk 2004, yang dengan semangat tetap saling menguatkan dalam
meyelesaikan studi serta telah membagi begitu banyak hal selama menjalani
proses belajar di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.
8. Teman-teman dekat penulis yang tergabung dalam Agatha Club: Grace, Lola,
Santy, Eva, Sery, Henny dan Lenny, semoga kita tetap dekat dimanapun
Tuhan akan menempatkan kita nantinya.
9. Teman dekat penulis lainnya yang tergabung dalam Gerobak Pasir
Bersaudara: Turi, Burung, Kolbus, Oneng, Eep Saefullah dan Gelem, semoga
tetap solid dalam menghadapi apapun masalah yang terjadi di esok hari.
10. Terutama buat Fitri Yani Panggabean, teman sekaligus mitra penulis, yang
dengan semangat mau membantu penyelesaiaan skripsi penulis ini.
11. Semua pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini, yang tidak
Penulis menyadari bahwa tidak ada yang sempurna dalam hidup ini, termasuk
juga dalam penulisan skripsi ini. Namun penulis tetap mencari kesempurnaan tersebut
dalam suatu nilai pekerjaan yang dilakukan secar maksimal. Maka dengan berangkat
dari prinsip itu jugalah, penulis berusaha merampungkan skripsi penulis tersebut.
Medan, September 2008
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...i
DAFTAR ISI...iv
BAB I PENDAHULUAN...1
1.1.Latar Belakang Masalah...1
1.2. Perumusan Masalah...5
1.3 Ruang Lingkup Pembahasan...7
1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori...8
1.4.1 Tinjauan Pustaka...8
1.4.2 Kerangka Teori...11
1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian...13
1.5.1 Tujuan...13
1.5.2 Manfaat Penelitian...13
1.6. Metodologi Penelitian...14
BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KESETIAAN JEPANG, DEFINISI NOVEL DAN SETTING DALAM NOVEL “ACROSS THE NIGHTINGALE FLOOR” 2.1. Sejarah Samurai di Jepang...16
2.1.1 Sengoku Jidai...16
2.1.2 Jalan Samurai...18
2.1.3 Kehidupan Sehari-hari...21
2.2. Tinjauan Umum Terhadap Kesetiaan di Jepang...23
2.2.1 Kesetiaan...24
2.2.2 Kesetiaan Jepang...25
2.2.3 Samurai, Bushi dan Bushido...27
2.2.4 Kesetiaan Pengabdian Bushi Periode Awal...41
2.2.5 Kesetiaan Pengabdian Bushi Periode Akhir...47
2.3. Definisi Novel dan Seting...57
2.3.1 Definisi Novel...57
2.3.2 Setting Dalam Novel “Across The Nightingale Floor”...58
2.4. Biografi Pengarang...59
BAB III ANALISIS PEMIKIRAN LIAN HEARN TENTANG SAMURAI DALAM NOVEL “ACROSS THE NIGHTINGALE FLOOR”. 3.1. Sinopsis Cerita...61
3.2. Pemikiran Lian Hearn Tentang Samurai...63
3.2.1 Dari Unsur Kesetiaan samurai...63
3.2.2 Dari Latar Belakang Religi ………...73
3.2.3. Dari Latar Belakang Historis...77
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan...80
Abstrak
Secara etimologi sastra berasal dari bahasa latin, yakni littera yang berarti tulisan, dimana istilah sastra ini dapat dipakai untuk menunjukkan gejala budaya yang dapat dijumpai pada semua masyarakat meskipun secara sosial, ekonomi, dan keagamaan keberadaannya tidak merupakan keharusan (Soeratno dalam Pradopo, 2001:9).
Namun jika dilihat dari sisi hubungan antara seni dan tulisannya, maka sastra dapat dikategorikan sebagai kegiatan antara ekspresi dan penciptaan. Oleh karena alasan inilah maka sastra mengandung banyak unsur kemanusiaan, khususnya perasaan, semangat, kepercayaan dan keyakinan yang diungkapkan, sehingga mampu membangkitkan kekaguman. Ciri khas pengungkapan bentuk dalam sastra adalah bahasa. Bahasa bisa disampaikan dalam berbagai wujud, misalnya wujud warna, suara, bunyi dan gambar. Sastra menurut Jacob Sumardjo dan Saini K.M (1997:3) adalah sebagai berikut:
“ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, dan keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa”.
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Secara etimologi sastra berasal dari bahasa latin, yakni littera yang berarti
tulisan, dimana istilah sastra ini dapat dipakai untuk menunjukkan gejala budaya yang
dapat dijumpai pada semua masyarakat meskipun secara sosial, ekonomi, dan
keagamaan keberadaannya tidak merupakan keharusan (Soeratno dalam Pradopo,
2001:9).
Namun jika dilihat dari sisi hubungan antara seni dan tulisannya, maka sastra
dapat dikategorikan sebagai kegiatan antara ekspresi dan penciptaan. Oleh karena
alasan inilah maka sastra mengandung banyak unsur kemanusiaan, khususnya
perasaan, semangat, kepercayaan dan keyakinan yang diungkapkan, sehingga mampu
membangkitkan kekaguman. Ciri khas pengungkapan bentuk dalam sastra adalah
bahasa. Bahasa bisa disampaikan dalam berbagai wujud, misalnya wujud warna,
suara, bunyi dan gambar. Sastra menurut Jacob Sumardjo dan Saini K.M (1997:3)
adalah sebagai berikut:
“ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, dan keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa”.
sarana untuk menyampaikan ide, pemikiran, dan hukum yang mutlak dari si pemilik karya sastra tersebut.
Sejalan dengan pernyataan tersebut, Boulton dalam Aminuddin (2000:37)
mengungkapkan, bahwa cipta sastra, selain menyajikan nilai-nilai keindahan dan
paparan peristiwa yang mampu memberikan kepuasan batin pembacanya, juga
mengandung pandangan yang berhubungan dengan renungan atau kontemplasi batin,
baik berhubungan dengan masalah keuangan kompleksitas kehidupan ini.
Karya sastra dalam kesusastraan dibedakan dalam berbagai jenis, dan
masing-masing jenis memiliki watak dan bentuk yang berbeda-beda. Setiap unsur memiliki
pola yang berbeda sehingga pada akhirnya membentuk tujuan yang berbeda-beda
pula. Karya sastra dapat dibedakan atas prosa, puisi, dan drama. Jenis prosa dalam
pengertian kesusastraan juga disebut sebagai fiksi. Istilah fiksi dalam pengertian ini
berarti cerita rekaan atau cerita khayalan. Hal ini disebabkan fiksi merupakan karya
naratif yang isinya tidak menyaran kepada kebenaran sejarah (Abrams dalam
Nurgiyantoro, 1993:2). Prosa kemudian terbagi lagi ke dalam jenis novel, cerita
pendek dan roman.
Secara khusus, novel menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (1998:9) berasal
dari bahasa Italia yaitu Novella, yang jika dilihat secara harafiah berarti “ sebuah
barang baru yang kecil” dan kemudian diartikan sebagai “cerita pendek dalam bentuk
prosa”. Menurut Nurgiyantoro (1998:4) novel sebagai sebuah karya fiksi
menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan,
plot, tokoh, (dan penokohan), latar, sudut pandang, dan lain-lain, yang kesemuanya
tentu saja bersifat imajinatif.
Berdasarkan pengertian di atas, novel merupakan cerita rekaan atau khayalan,
disebabkan novel itu tidak berdasarkan pada kebenaran sejarah. Dalam novel
menceritakan tentang berbagai masalah kehidupan manusia, yaitu bagaimana
interaksi dengan lingkungan dan sesama, interaksinya dengan diri sendiri, serta
interaksinya dengan Tuhan. Bila berbicara tentang kehidupan dan pengalaman
manusia, sebuah novel tidak terlalu asing dengan kehidupan sebagaimana yang kita
kenal atau kita alami. Namun dalam ceritanya, sebuah karya fiksi seperti novel tidak
sama betul dengan kehidupan, apa yang diceritakan dalam fiksi mungkin tidak pernah
terjadi dan tidak akan pernah terjadi (Semi, 1993:31)
Sedangkan menurut Jacob Sumardjo (1991:11-12), novel adalah genre sastra
yang berupa cerita, mudah dibaca dan dicerna, novel juga mengandung unsur pemikat
dalam alur ceritanya yang mudah menimbulkan sikap penasaran bagi pembacanya.
Jadi, dalam novel terdapat bahasa sastra yang berusaha mempengaruhi, membujuk
dan pada akhirnya mengubah sikap pembaca.
Di Jepang sendiri, sebagai salah satu negara yang memiliki karya-karya sastra
yang terkenal di dunia, juga mengenal novel sebagai salah satu genre sastranya.
Dalam bahasa Jepang novel disebut dengan shosetsu. Pengertian shosetsu menurut
Kawabara Takeo dalam Muhamad Pujiono (2002:3) adalah novel yang
menggambarkan kehidupan sehari-hari di dalam masyarakat yang lebih
menitikberatkan kepada tokoh manusia (peran) di dalam karangannya daripada
Salah satu hasil karya sastra yang berupa novel adalah novel yang berjudul
“Across The Nightingale Floor” yang ditulis oleh Lian Hearn. Novel ini
menceritakan tentang perebutan kekuasaan antar klan (suku atau kelompok samurai),
yaitu klan otori, kaum samurai yang berasal dari kaum atau klan otori yang
memperjuangkan tanah kekuasaannya di tengah-tengah perebutan kekuasaan yang
sedang terjadi antar klan pada awal abad 17 sampai akhir abad 18.
Novel ini secara rinci menceritakan tentang kehidupan seorang samurai,
mulai dari kehidupannya yang biasa-biasa saja, kemudian secara kebetulan
menemukan jati dirinya yang sebenarnya sampai dia menjadi penguasa Jepang pada
awal abad 17 sampai akhir abad 18.
Awal penceritaan kisah klan otori ini dimulai saat seorang pemuda yang
tinggal diantara kaum Heiden yang bernama Tomasu menemukan kehidupannya yang
tiba-tiba berubah pada suatu hari. Ketika Ia pergi ke hutan yang berada di sekeliling
desanya, saat itu sedang terjadi pembantaian yang dilakukan oleh Iida Sadamu.
Maklum saja, pada awal abad 17 sampai akhir abad 18 ini sedang terjadi pelebaran
daerah kekuasaan oleh kaum-kaum yang berkuasa walaupun dengan menempuh cara
memusnahkan kaum-kaum yang ada. Hal ini dilakukan agar nantinya tidak ada
sisa-sisa kaum yang dibantai yang mempunyai kesempatan untuk membalas dendam
terhadap kaum yang membantai. Pemuda yang beruntung lepas dari pembantaian
kaumnya itu bernama Tomasu. Saat bersembunyi dari kejauhan untuk melihat
koindisi desanya, Ia ditolong oleh Lord Otori Shigeru, yang di kemudian hari ia
Tomasu merupakan anak yang memiliki darah dari 3 klan yang berbeda.
Ayahnya berasal dari kaum Kikuta, ibunya dari kaum Heiden, sedangkan neneknya
berasal dari klan otori. Di kemudian hari melalui pencerahan yang diberikan guru dan
pamannya (Lord Otori Shigeru) dia akan menemukan banyak kelebihan yang
diwariskan oleh masing-masing darah yang mengalir dalam dirinya, dan bakat-bakat
atau kelebihan ini akan sangat membantunya dalam usaha menguasai Jepang. Wujud
fisik Tomasu amat mirip dengan adik Lord Otori Shigeru yang bernama Lord Otori
Takeshi yang sudah meninggal, oleh karena itu maka Lord Otori Shigeru mengangkat
Tomasu menjadi anak angkatnya dan diberi nama Lord Otori Takeo.
Meskipun tokoh-tokoh dalam kisah yang ada dalam novel ini adalah fiktif dan
merupakan cerita rekaan pengarang, namun fakta-fakta historis tentang kehidupan
dan perebutan kekuasaan antar penguasa yang terdapat di dalamnya adalah benar
adanya.
Uniknya walaupun bercerita tentang kehidupan dan kebudayaan masyarakat
Jepang, dalam hal ini samurai, namun sesungguhnya novel ini ditulis oleh seorang
penulis wanita berkebangsaan Inggris yang tinggal di Australia yang berbanama Lian
Hearn atau Gillian Rubinstein.
Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis merasa tertarik untuk meneliti novel
yang mengangkat pemikiran Lian Hearn terhadap dunia dan kehidupan samurai
melalui skripsi yang berjidul “Analisis Pemikiran Lian Hearn Tentang Samurai
1.2. Perumusan Masalah
Samurai adalah istilah untuk perwira militer kelas elit sebelum zaman
industrialisasi di Jepang. Kata “samurai” berasal dari kata kerja “samorau” asal
bahasa Jepang kuno, berubah menjadi “saburau” yang berarti “melayani”, dan
akhirnya menjadi “samurai” yang bekerja sebagai pelayan bagi sang majikan.
Istilah yang lebih tepat adalah bushi yang digunakan semasa zaman Edo.
Bagaimanapun, istilah samurai digunakan untuk prajurit elit dari kalangan
bangsawan, dan bukan ashigaru atau tentara berjalan kaki. Samurai yang tidak terikat
dengan klan atau bekerja untuk majikan (daimyo) disebut ronin. Samurai yang
bertugas di wilayah han disebut hanshi.
Samurai adalah orang yang sopan dan terpelajar, dan semasa Keshogunan
Tokugawa berangsur-angsur kehilangan fungsi ketentaraan mereka. Pada akhir era
Tokugawa, samurai secara umumnya adalah kaki tangan daimyo,dan pedang mereka
hanyalah digunakan untuk tujuan istiadat. Dengan maksud, bahwa pedang itu sendiri
menandakan jati diri seorang samurai. Kebiasaan membawa pedang bagi seorang
samurai merupakan suatu hal yang hakiki, sehingga kebiasaan ini sudah
dipersamakan seperti adat-istiadat bagi mereka. Kemudian terjadi Reformasi Meiji
pada akhir abad ke-19. Dengan Reformasi Meiji, samurai dihapuskan dan diganti
dengan tentara nasional menyerupai negara Barat. Bagaimanapun juga, sifat samurai
yang ketat yang dikenal sebagai bushido masih tetap ada dalam masyarakat Jepang
masa kini, sebagaimana aspek cara hidup mereka yang lain.
pemain pedang telah menjadi lebih penting. Pemanah Jepang (kyujutsu), masih
berkaitan erat dengan dewa perang Hachiman.
Perkataan samurai muncul sebelum zaman Heian di mana bila seseorang
disebut saburai, berarti dia adalah seorang suruhan atau pengikut. Hanya pada awal
zaman modern, khususnya pada era Azuchi-Momoyama dan awal periode/era Edo
pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 perkataan saburai diganti dengan
samurai. Berikut adalah beberapa istilah lain samurai.
• Buke – Ahli bela diri
• Kabukimono - Perkataan dari kabuku atau condong, ia merujuk
kepada gaya samurai berwarna-warni.
• Mononofu - Istilah silam yang berarti panglima.
• Musha - Bentuk ringkasan Bugeisha, harafiah pakar bela diri.
• Si - Huruf
• Tsuwamono - Istilah silam bagi tentara yang ditonjolkan oleh
Matsuo Basho dalam haiku terkemukanya. Arti harafiahnya
adalah orang kuat.
Novel “ Across The Nightingale Floor” yang merupakan karya cipta seorang
penulis wanita yang bernama Lian Hearn adalah novel yang berisikan kehidupan para
samurai yang berasal dari beberapa klan yang secara aktif pada awal abad 17 sampai
akhir abad 18 berjuang memperebutkan wilayah di Jepang. Pada awal abad 17 sampai
akhir abad 18 ini, wilayah Jepang dibagi ke dalam tiga kawasan besar atau disebut
novel ini. Konflik-konflik yang ada sangat menggambarkan Jepang terutama
kehidupan persaingan serta kesetiaan para samurai terhadap tuan dan klannya.
Penulis novel ini yang bernama Lian Hearn adalah seorang yang berkebangsaan
Inggris namun berdomisisli di Australia serta mempunyai latar belakang kehidupan
dan budaya barat yang sangat berbeda dengan kebudayaan Jepang atau budaya timur.
Berdasarkan uraian yang sudah disebutkan di atas, beberapa permasalahan
yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
”Bagaimana pandangan atau pemikiran Lian Hearn dalam hal kehidupan para
samurai yang digambarkan dalam novel “ Across The Nightingale Floor “ .
1.3. Ruang LingkupPembahasan
Dalam penulisan ini, penulis akan membahas sekaligus menganalisis
kehidupan para samurai serta faktok-faktor yang mempengaruhi kehidupan para
samurai yang digambarkan melalui novel “Across The Nightingale Floor” ini
sehingga akan menuju satu konsep kesetiaan yang melatarbelakangi berbagai konflik
yang terjadi di dalam novel ini. Baik kesetiaan terhadap klannya ataupun kepada
tuannya. Sekaligus ingin memperlihatkan kehidupan spiritual yang sudah tampak di
dalam novel ini, yang pada akhirnya akan menjadi salah satu hal yan membawa
warna tersendiri di dalam kehidupan para samurai itu sendiri.
Untuk memperjelas pemikiran Lian Hearn mengenai kehidupan samurai
dalam novel “Across The Nightingale Floor” ini, maka penulis akan membahas
awal abad 17 sampai akhir abad 18.Kemudian penulis akan turut membahas biografi
Lian Hearn, dimana latar belakang Lian Hearn itu sendiri akan memberi gambaran
pemikirannya yang tertuang dalam novel “Across The Nightingale Floor” ini.
1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.4.1 Tinjauan Pustaka
Sastra yang bermutu adalah jenis sastra yang dapat menggambarkan atau
menafsirkan kehidupan yang terjadi di antara manusia yang notabene adalah
subyek/pelaku kehidupan ke dalam bentuk karya cipta sastra. Sebuah karya cipta
sastra dihargai karena karya sastra itu dapat atau mampu menunjukkan segi-segi baru
dari kehidupan yang kita jalani sehari-hari. Kehidupan sehari-hari ditinjau oleh
pengarang dan dimaknai sehingga di kemudian hari pembacanya dapat menambah
wawasan atau wacananya akan kehidupan yang dapat ia lihat dari hasil pembacaan
karya sastra tersebut sehingga kelak nilai positif dari karya sastra tersebut dapat
diaplikasikan oleh pembaca di dalam kehidupannya. Karya sastra sejatinya
merupakan perpanjangan nilai-nilai ajaran baik yang ingin disebarkan pengarang
kepada pembaca karya sastra yang ia hasilkan. Karya sastra juga dapat dijadikan
sebagai sebuah cara yang tepat dalam pengembangan semua unsur kepribadian secara
terpadu. Efek inilah yang ingin ditularkan dari sebuah penciptaan karya sastra.
Menurut De Bonald dalam Welleck dan Austin (1995:110-113) mengatakan
bahwa sastra merupakan ungkapan perasaan masyarakat. Seorang sastrawan hidup
terhadap kondisi masyarakatnya. Sastra adalah sebuah pemikiran yang dituangkan ke
dalam bentuk karya cipta imajinasi.
Melalui karya sastra, seorang pengarang dapat menyampaikan penilaiannya
terhadap kenyataan sosial yang terjadi dan berlangsung di dalam masyarakat.
Nilai-nilai ideal yang dipegangnya dipertentangkan dengan Nilai-nilai-Nilai-nilai yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat yang berinteraksi di sekelilingnya. Sehingga melalui
proses perbandingan ini seorang sastrawan dapat menggambarkan kenyataan sosial
dan gambaran ideal yang dipercayai pengarangnya sendiri.
Berdasarkan keterangan di atas maka dapat disimpulkan bahwa ada maksud
atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca sebagai
penikmat karya sastra tersebut. Tidak mungkin seorang pengarang merangkai sebuah
cerita yang dibuat tanpa arah maupun pesan yang hendak disampaikan melalui karya
sastra yang ia ciptakan tersebut. Pembaca pun sudah selayaknya mendapatkan nilai
atau pengetahuan yang selama ini belum ia ketahui atau ia sadari sebelum membaca
karya sastra tersebut.
Di pihak lain William Hudson dalam Hardjana (1994:10) menyimpulkan
bahwa sastra dapat diibaratkan sebagai ungkapan baku dari apa yang telah disaksikan
oleh seseorang di dalam kehidupannya, tentang apa yang telah dipermenungkan dan
dirasakan orang mengenai segi-segi kehidupan yang paling menarik minat secara
langsung juga kuat pada hakekatnya adalah suatu pengungkapan kehidupan lewat
bentuk bahasa. Sehingga yang mendorong lahirnya sastra adalah keinginan dasar
angan yang dikhayalkan sebagai dunia nyata dan keinginan dasar untuk mencintai
bentuk sebagai bentuk.
Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa karya sastra adalah segala tulisan
yang walaupun fiktif dan imajinatif, namun tetap merupakan bagian dari masyarakat
karena karya sastra tersebut lahir dari masyarakat itu sendiri dan diciptakan untuk
mengungkapkan keadaan masyarakat serta kehidupan sosial maupun budayanya.
Menurut Simanjuntak (1997:11), kata budaya atau kebudayaaan berasal dari
bahasa latin yakni colera, yang mengandung arti mengolah, mengerjakan,
menyuburkan dan mengembangkan tanah (bertani). Kemudian pengertian ini
berkembang dalam arti culture, yaitu sebagai segala daya dan aktivitas manusia untuk
mengolah dan mengubah alam.
Selain itu kebudayaan juga mempunyai sifat-sifat sebagai berikut: budaya
dimiliki bersama oleh suatu kelompok masyarakat (budaya sebagai isi dan
masyarakat sebagai wadahnya): budaya cenderung bertahan atau berubah sesuai
dengan situasi yang dialami masyarakat yang bersangkutan; budaya juga berfungsi
untuk membantu manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup (kebutuhan biologi,
sosial dan psikologis) sebagai hasil adaptasi dan upaya manusia memanfaatkan
lingkungan. Budaya juga diperoleh melalui proses belajar dalam masyarakat dan
lingkungan hidup manusia.
Ditilik dari hal yang telah diuraikan di atas, maka sama halnya dengan yang
digambarkan di dalam novel ini. Novel ini ditulis oleh seorang penulis yang
berkebangsaan asing atau di luar Jepang itu sendiri. Pengarang tidak lahir dan tumbuh
identifikasi data atau bahan yang ia kumpulkan dalam proses pembuatan novel ini,
maka ia mampu menggambarkan kondisi dan kehidupan masyarakat pada saat itu,
khususnya kehidupan para samurai yang sejatinya adalah bagian dari kebudayaan
Jepang itu sendiri.
1.4.2 Kerangka Teori
Untuk dapat menganalisis suatu karya sastra diperlukan satu atau lebih teori
pendekatan yang sesuai dengan objek dan tujuan penulisan. Dalam hal ini, penulis
menggunakan beberapa pendekatan, yakni pendekatan historis, pendekatan semiotika
dan pendekatan biografi. Sehingga melalui ketiga teori pendekatan ini maka hal-hal
yang menjadi tujuan penulisan dapat dengan mudah dipahami.
Pendekatan historis menurut Aminuddin (2000:46), adalah suatu
pendekatan yang menekankan pada pemahaman tentang biografi pengarang, latar
belakang peristiwa kesejarahan yang melatarbelakangi masa-masa terwujudnya karya
sastra yang dibaca, serta tentang bagaimana perkembangan kehidupan penciptaan
maupun kehidupan sastra itu sendiri pada umunya dari zaman ke zaman.
Beberapa masalah yang menjadi objek sasaran pendekatan historis,
diantaranya, sebagai berikut : 1) perubahan karya sastra dengan bahasanya sebagai
akibat proses penerbitan ulang; 2) fungsi dan tujuan karya sastra pada saat
diterbitkan; 3) kedudukan pengarang pada saat menulis; dan 4) karya sastra sebagai
wakil tradisi zamannya.
The Nightingale Floor” yang dilatarbelakangi keadaan kondisi zaman di Jepang
pada awal abad 17-18. Sehingga kita dapat melihat lebih jauh kehidupan para samurai
yang terjadi pada masa-masa ini.
Selain pendekatan historis, penulis juga menggunakan pendekatan
semiotika. Menurut Paul Lobley dan Litza Tanz dalam Kutha Ratna (2004:7),
mengatakan bahwa secara definitif semiotika berasal dari kata seme yang dalam
bahasa Yunani berarti penafsir tanda. Ada juga yang menjelaskan bahwa semiotika
berasal dari kata semeion yang berarti tanda. Menurut Hoed dalam Nurgiyantoro
(1995:40), dalam pengertian yang lebih luas, sebagai teori, semiotika berarti studi
sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya dan apa
manfaatnya terhadap kehidupan manusia.
Sebagai pendekatan terakhir yang juga penulis gunakan dalam penelitian
ini adalah pendekatan biografis. Menurut Kutha ratna (2004:56), dalam pendekatan
biografis dapat dipelajari kehidupan pengarang termasuk keadaan moral, mental dan
intelektualnya, juga menerangkan dan menjelaskan proses penciptaan karya sastra
yang sebenarnya.
Dalam kaitannya dengan aktivitas kreatif dibedakan pengarang ke dalam
tiga bagian, yaitu : 1) pengarang yang mengarang berdasarkan pengalaman langsung,
2) pengarang yang mengarang berdasarkan keterampilan dalam penyusunan kembali
unsur-unsur penceritaan, dan 3) pengarang yang mengarang berdasarkan kekuatan
imajinasi. Dalam hal ini, penulis memasukkan jenis pengarang ini ke dalam jenis
yang kedua dan ketiga. Penulis dapat menyimpulkan hal ini dikarenakan dalam
zaman atau saat berlangsungnya kejadian seperti yang tergambar di dalam novel
tersebut, melainkan hasil dari pengumpulan bahan-bahan dan data-data yang konkrit
yang kemudian dituangkan ke dalam karya ciptaannya.
Dengan menggunakan pendekatan biografis ini maka penulis dapat
merasakan juga alur kehidupan dari pengarang novel ini yaitu Lian Hearn yang
mempunyai nama asli Gillian Rubinstein serta keadaan moral, mental dan
intelektualnya pada saat menulis novel “ Across The Nightingale Floor ”. Penulis
juga secara tidak langsung dapat mengetahui alasan, tujuan serta proses yang telah
ditempuh Lian hearn dalam penulisan novel ini.
1.5. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1.5.1 Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan penelitian ini adalah:
”Untuk mendeskripsikan dan menggambarkan pemikiran serta tanggapan Lian Hearn
tentang kehidupan samurai dalam novel hasil karyanya tersebut.”
1.5.2 Manfaat Penulisan
Adapun yang menjadi harapan penulis mengenai manfaat penulisan penelitian
ini adalah:
1.Menambah pengetahuan penulis dan pembaca penelitian ini tentang awal
kemunculan serta kondisi kehidupan samurai di zamannya.
3.Menambah pengetahuan penulis dan pembaca penelitian ini mengenai
tanggapan terhadap kehidupan para samurai yang digambarkan orang asing
( di luar Jepang) melalui karya ciptanya.
1.6. Metode Penulisan
Dalam penulisan skripsi maka diperlukan metode penelitian yang
memudahkan proses penelitian itu sendiri. Ada penulis yang menggunakan satu
metode saja, namun di lain pihak seorang penulis penelitian dapat menyertakan
beberapa metode penulisan dalam satu langkah pengerjaan penelitian. Dalam hal
penulisan penelitian ini saya meyertakan dua metode penelitian yang saya anggap
akan memudahkan saya dalam penulisan penelitian ini.
Dalam penulis penelitian ini, penulis meggunakan metode deskriptif. Metode
deskriptif ini digunakan untuk mengukur dengan cermat fenomena sosial tertentu
yang terjadi atau berlangsung di tengah-tengah masyarakat. Penelitian menggunakan
metode penghimpunan data dan fakta, tetapi tidak melakukan hipotesa
(Singarimbun,dkk;1989:4-5). Sedangkan di lain pihak Koentjaraningrat (1976;30),
mengatakan bahwa penelitian yang berdasarkan atau bersikap deskriptif dapat
memberikan gambaran secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, gejala
atau kelompok tertentu. Metode deskriptif ini juga merupakan suatu metode yang
menggambarkan keadaan atau objek penelitian yang dilakukan pada saat sekarang
berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya dan dipakai untuk
memecahkan masalah dengan cara mengumpulkan, menyusun, mengklasifikasikan,
sebelumnya dalam proses penelitian tersebut. Dengan menempuh metode ini maka
penulis diharapkan mampu menjelaskan masalah-masalah yang menjadi latar
belakang penelitian tersebut.
Selain metode yang sudah disebutkan diatas, penulis juga menggunakan
metode penulisan studi dokumenter atau yang lazim kita dengar sebagai studi
kepustakaan. Studi kepustakaan merupakan suatu metode penulisan penelitian yang
mengumpulkan data dengan atau melalui peninggalan tertulis, terutama berupa
arsip-arsip, termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori, dalil (hukum) dan lain-lain
yang berhubungan dengan masalah pencarian dan pengumpulan data yang diperlukan
dalam proses penulisan penelitian tersebut (Nawawi 1991:133).
Penulis mengharapkan melalui metode-metode ini maka proses penelitian
yang saya lakukan akan semakin mudah dan lancar sehingga tujuan akhir dari
BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP KESETIAAN JEPANG, DEFINISI NOVEL DAN SETTING DALAM NOVEL “ACROSS THE NIGHTINGALE FLOOR”
2.1. Sejarah Samurai di Jepang 2.1.1 Sengoku Jidai
Samurai (dikenal juga sebagai bushi) adalah golongan bangsawan militer
Jepang, dan mereka mengalami masa kejayaan pada Zaman Pertempuran, atau
Periode Perang Antarnegeri (dalam bahasa Jepang disebut Sengoku Jidai). Periode
ini, yang sering dikatakan berlangsung pada kurun waktu 1550-1600, berkisar antara
runtuhnya Keshogunan Ashikaga dan terbentuknya Keshogunan Tokugawa.
Sampai paruh kedua Zaman Pertempuran, seseorang yang tak terlahir dalam
golongan samurai masih berpeluang menjadi samurai. Itu dapat terjadi bila ia
bergabung dalam bala tentara sebagai prajurit infanteri, lalu memperoleh perhatian
kepala marga atau para pembantunya, sehingga diberi tugas tetap.
Namun seperti kebanyakan orang, golongan samurai hanya dapat dimasuki
melalui kelahiran atau pengangkatan sebagai anak berdasarkan hukum. Meskipun
samurai berstatus sosial tinggi, secara internal golongan samurai terbagi lagi dalam
berbagai jenjang. Jenjang teratas ditempati oleh para Daimyo beserta keluarga
mereka, yang menikmati semua hak istimewa yang menyertai kedudukan itu. Pijakan
yang paling bawah pada tangga yang panjang itu menjadi tempat orang-orang
Kaum ashigaru (secara harafiah berarti ‘ kaki ringan’) adalah para serdadu
pejalan kaki, laskar garda depan, barisan orang-orang tanpa nama yang menjadi
bagian terbesar suatu pasukan. Walaupun tidak terlahir sebagai samurai, mereka
berkesempatan naik tingkat dan dianggap setara oleh orang-orang yang lebih tinggi
kedudukannya. Banyak jenderal dan tokoh tersohor lain pada Zaman Pertempuran
berasal dari golongan ashigaru. Garis pembatasnya amat kabur sehingga para pakar
masih mempertanyakan apakah golongan ashigaru dapat dianggap samurai.
Ketika Shogun Ashikaga terakhir dipaksa mundur pada 1573, seluruh negeri
sudah puluhan tahun dilanda pergolakan yang ditandai oleh ambruknya persekutuan
lama, pertikaian dalam keluarga dan perebutan kekuasan antar anggota marga.
Bagi beberapa marga yang kurang menonjol, seperti marga Oda dari Owari,
perang yang berlangsung nyaris tanpa jeda membuka peluang mendapatkan tanah dan
kekuasan. Bagi marga-marga yang lebih tua dan berdarah biru, seperti marga Takeda,
perang merupakan peluang untuk memperluas pengaruh, dan juga menjadi
kesempatan menyelesaikan pertikaian lama, suatu keadaan di mana mereka harus siap
siaga terhadap keluarga-keluarga yang kuat dan sedang mengincar tanah subur yang
secara turun-menurun dikuasai oleh marga lain.
Dengan latar belakang pengkhianatan dan pembelotan (sesekali juga tindakan
kesetiakawanan yang mencegangkan) seperti itulah pertempuran demi pertempuran
berdarah berlangsung sepanjang Sengoku Jidai. Ada pertempuran yang menjadi
masyhur lebih daripada sepatutnya (misalnya saja pertempuran Uesugi lawan Takeda
pertempuran lain, yang berpengaruh besar terhadap sejarah Jepang (seperti
Okehazana atau Mikataga Hara), nyaris tidak diketahui oleh dunia barat.
Inilah masa jaya golongan samurai, sebab ketika peperangan berakhir,
ibukota kekaisaran Kyoto hanya berperan sebagai boneka Shogun Tokugawa dan
pemerintahan militernya yang bermarkas di Edo.
2.1.2 Jalan Samurai
Status samurai lebih banyak ditentukan oleh kasta daripada oleh jenis
pekerjaan. Semua bushi – baik laki-laki maupun perempuan dengan sendirinya
termasuk golongan militer, tanpa memandang apakah mereka pernah mengangkat
pedang atau tidak.
Namun peran samurai tidak terbatas pada bidang militer semata-mata.
Beberapa samurai menjadi cendikiawan termasyur. Ada yang berkiprah sebagai
administrator sipil dan militer, seniman dan pakar estetika. Ada pula yang hanya
menjadi anggota keluarga. Namun semuanya dituntut akrab dengan peran mereka
dalam keadaan perang.
Kaum perempuan dilatih menggunakan belati kecil yang diselipkan pada kain
ikat pinggang. Senjata yang biasa terbungkus sarung brokat ini menjadi suatu
penanda posisi, sama halnya dengan pedang. Bagi kaum laki-laki. kaum perempuan
kelas atas bahkan dilatih menggunakan senjata khas tertentu yaitu naginata (sejenis
tombak) menjadi senjata perempuan, dan digunakan sebagai pertahanan terakhir. Para
penguasa feodal punya pasukan perempuan bersenjatakan naginata yang berlalu
Banyak biksu Buddha – setidaknya mereka yang berkedudukan – terlahir
sebagai samurai. Walupun biksu Buddha merupakan pekerjaan yang seharusnya tidak
memandang kedudukan seseorang (bagaimanapun, segala aspek duniawi seharusnya
ditanggalkan pada waktu seseorang menjadi biksu), dalam kenyataanya jarang
demikian yang terjadi. Beberapa pembesar yang kaya-raya dan berkuasa terus
memerintah wilayah kekuasaan mereka dan memimpin pasukan yang besar,
meskipun telah mengucapkan ikrar sebagi biksu. Takeda Shingen (terlahir Harunobu)
dan Uesugi Kenshin (terlahir Terutora) merupakan dua contoh terkenal.
Bagi sebagian besar ashigaru, kenyataan hidup sebagi prajurit rendahan
memastikan bahwa impian kejayaan tetap tinggal impian. Ironisnya, justru Toyotomi
Hideyoshi – anak petani yang menanjak dari pembawa sandal sampai menjadi
penguasa Jepang – yang membuat impian itu semakin sulit terwujudkan, yaitu ketika
ia mengeluarkan titah yang membatasi status samurai kepada mereka yang telahir
sebagai samurai.
Ironi lain adalah bahwa pasukan yang terdiri dari atas anggota marga dan
pengikut yang turun – temurun mengabdi pada junjungan mereka , semuanya, lebih
menjunjung tinggi kesetiaan dibandingkan para pembesar itu sendiri. Mengkhianati
calon sekutu dan daimyo adalah hal yang lumrah bagi seorang pembesar, dan itu
membuktikan bahwa sementara kaum anak buah dituntut untuk setia, para komandan
memberlakukan aturan yang berbeda untuk diri sendiri. Contoh klasik adalah Akechi
Mitsuhide, seorang jendral dalam pasukan Oda Nobunaga, yang membunuh sang
Struktur sosial kaku sebagaimana diperkenalkan oleh ajaran Konghucu tidak
memperoleh pengakuan resmi sampai pemerintahan Tokugawa, yang berkeinginan
kuat mendapatkan kendali atas masyarakat, mendukungnya secara resmi. Meskipun
demikian, terdapat arus bawah Konghucu yang kuat, suatu sikap hidup yang ditandai
oleh kepasrahan kepada nasib. Kebetulan, sikap itu sejalan dengan cara pandang
pasrah terhadap dunia yang diusung oleh umat Buddha.
Orang-orang sangat takut kehilangan junjungan, sementara struktur
masyarakat mendukung sifat saling tergantung antara hamba dan tuan. Ketika
menjadi tak bertuan – menjadi ronin (secara harfiah ‘manusia ombak’ atau ‘manusia
kelana’) seorang petarung kehilangan dukungan atau pelindung marga. Jika seorang
pembesar meninggal tanpa ahli waris, semua pengikutnya menjadi ronin. Seorang
pengikut juga dapat dibuang dari marganya karena melakukan kejahatan, misalnya
berkelahi atau melanggar peraturan.
Para ronin adalah jago pedang bayaran yang berkelana, dan seringkali
berpaling kedunia hitam. Ada pula yang tetap menjunjung tinggi kehormatan dan
tetap menjadi biksu, atau mendapatkan pekerjaan baru pada junjungan lain dan
bersumpah setia kepada marga yang baru. Pada zaman pertempuran, para mantan
samurai tak bertuan punya peluang meraih kembali kehormatan mereka.
Semua samurai punya tugas dan menerima upah, dan dari pendapatan ini
mereka harus membiayai rumah tangga (bagi yang memilikinya) dan membeli segala
perlengkapan yang tidak disediakan. Dasar perekonomian adalah beras, dan ukuran
kekayaan yang lazim adalah koku, yaitu satuan jumlah beras yang cukup bagi
berdasarkan berapa koku beras yang dapat dihasilkan. Satu koku antara 120 liter.
Samurai paling rendah menerima sedikit kurang daripada satu koku (dengan asumsi
jatah makannya ditanggung junjungannya).
Pembesar menengah dan komandan benteng dapat menerima upah sebesar
beberapa ratus koku, yang harus cukup untuk membayar semua samurai bawahannya,
menyediakan perbekalan bagi garnisunnya, membeli pakan kuda, mengupah para
pelayan, dsb. Demi kemudahan, pembayaran dilakukan dengan uang, tapi pada
dasarnya perekonomian ketika itu berlandaskan beras. Bahkan, marga Takeda dari
Kai, yang menguasai tambang emas paling berharga diseluruh negeri, tetap
memerlukan beras untuk memberi makan tentara mereka.
Beras demikian penting sehingga banyak petani tidak dapat menikmati hasil
panen padi yang mereka tanam untuk para samurai. Mereka terpaksa beralih
kebiji-bijian lain yang lebih murah, sementara padi dikirim ke benteng tuan mereka untuk
dihitung, lalu disimpan atau dibagikan.
Urusan keuangan diserahkan kepada kaum isteri karena dipandang rendah
oleh para laki-laki samurai. Kaum laki-laki yang mengurus uang hanyalah mereka
yang memang dituntut oleh tugas (pengawas dapur benteng, misalnya). Pada masa itu
pun, cuma kertas nota saja yang berpindah tangan untuk dibayarkan kemudian.
Berbagai tugas di dalam marga ditetapkan sebagai posisi resmi. Dalam
beberapa hal, pengaturan itu menyerupai angkatan bersenjata modern; setiap orang
adalah serdadu, tapi ada yang merangkap juru masak, juru tulis, pengurus angkutan,
Para samurai dalam satu garnisun akan berpindah-pindah dari satu posisi ke
posisi lain jika pekerjaan mereka dinilai cukup baik. Promosi tidak selalu terjadi
dalan satu bidang saja. Dengan cara ini, ketika seorang petarung mencapai pangkat
yang cukup tinggi, ia pun cukup menguasai semua rincian yang diperlukan untuk
menjalankan dan memelihara suatu pasukan, garnisun atau bahkan provinsi.
2.1.3 Kehidupan Sehari-hari
Ada samurai yang tinggal di bangunan serupa barak, namun ada pula yang
memiliki rumah sendiri. Penetapan tempat tinggal mereka di tentukan oleh beragam
faktor, antar lain pangkat, tugas, dan status perkawinan. Sebagian besar samurai
muda berpangkat rendah di suatu garnisun, misalnya, tinggal bersama di bangunan
besar seperti barak di dalan pekarangan benteng. Para samurai yang sudah menikah
mungkin memiliki rumah petak sendiri di kawasan khusus pasangan suami-isteri,
sedangkan mereka yang lebih senior dapat menempati rumah yang berdiri sendiri.
Ketika bersantai di rumah, seorang samurai mungkin duduk-duduk sambil
menyalakan pipa tembakaunya. Tembakau dibawa Jepang oleh orang-orang Eropa
dan hampir seketika menjadi popular dikalangan orang berpangkat, dan tidak lama
kemudian juga sudah merambah ke barak-barak. Kiseru, pipa tembakau Jepang,
hanya dapat menampung tembakau untuk beberapa isapan saja, namun tetap menjadi
bentuk relaksasi yang popular.
Sebagaimana umumnya kaum prajurit sepanjang sejarah, para samurai pun
gemar bermain judi. Meskipun ditantang oleh para pemimpin marga, permainan
uang maupun kesenangan, permaianan kartu, go, dan shogi merupakan pengisi waktu
luang yang disukai. Bahkan ada prajurit yang membawa buah shogi ke medan perang,
lalu menggambar papan di tanah waktu hendak bermain.
2.1.4 Ninja
Kemunculan ninja pada tahun 522 berhubungan erat dengan masuknya seni
nonuse ke Jepang. Seni nunose inilah yang membuka jalan lahirnya ninja. Seni
nonuse atau yang biasa disebut seni bertindak diam-diam adalah suatu praktek
keagamaan yang dilakukan oleh para pendeta yang pada saat itu bertugas
memberikan info kepada orang-orang di pemerintahan. Sekitar tahun 645,
pendeta-pendeta tersebut menyempurnakan kemampuan bela diri dan mulai, menggunakan
pengetahuan mereka tentang nonuse untuk melindungi diri dari intimidasi pemerintah
pusat.
Pada tahun 794-1192, kehidupan masyarakat Jepang mulai berkembang dan
melahirkan kelas-kelas baru berdasarkan kekayaan. Keluarga kelas ini saling
bertarung satu sama lain dalam usahanya menggulingkan kekaisaran. Kebutuhan
keluarga akan pembunuh dan mata-mata semakin meningkat untuk memperebutkan
kekuasaan. Karena itu permintaan akan para praktisi nonuse semakin meningkat.
Inilah awal kelahiran ninja. Pada abad ke-16 ninja sudah dikenal dan eksis sebagai
suatu keluarga atau klan di kota Iga atau Koga. Ninja pada saat itu merupakan profesi
yang berhubungan erat dengan intelijen tingkat tinggi dalam pemerintah feodal para
dikenal dengan nama ninjutsu. Dalam ilmu yang diwariskan dari leluhur mereka dan
atas hasil penyempurnaan seni berperang selama lebih dari 4 abad. Ilmu itu meliputi
falsafah bushido, spionase, taktik perang komando, tenaga dalam, tenaga
supranatural, dan berbagai jenis bela diri lain yang tumbuh dan berkembang menurut
jaman.
Namun ada sebuah catatan sejarah yang mengatakan bahwa sekitar adab ke-9
terjadi eksodus dari cina ke jepang. Hal ini terjadi karena runtuhnya Dinasti Tang dan
adanya pergolakan politik. Sehingga banyak pengungsi yang mencari perlindungan
ke jepang. Sebagian dari mereka adalah jenderal besar, prajurit dan biksu. Mereka
menetap di provinsi Iga, di tengah pulau honsu. Jendral tersebut antara lain Cho
Gyokko, Ikai Cho Busho membawa pengetahuan mereka dan membaur dengan
kebudayaan setempat. Strategi militer, filsafat kepercayaan, konsep kebudayaan ,
ilmu pengobatan tradisional, dan falsafah tradisional. Semuanya menyatu dengan
kebiasaan setempat yang akhirnya membentuk ilmu yang bernama ninjutsu.
2.2 Tinjauan Umum Terhadap Kesetiaan di Jepang
Perubahan zaman sangat berpengaruh pada berkembang atau tidak
kebudayaan suatu daerah. Masyarakat yang menjalankan sebuah kebudayaan
tentunya akan berusaha mempertahankan kebudayaan aslinya dari pengaruh luar yang
mampu menghilangkan unsur-unsur di dalamnya. Namun tak luput pula, masyarakat
akan berusaha mengembangkan kebudayaan dan tradisi yang ada dengan yang baru,
sehingga muncul sebuah kebudayaan yang dapat diterima sesuai dengan zamannya
Seperti halnya di Indonesia, tradisi-tradisi pada suatu daerah akan terus
dipertahankan oleh masyarakat setempat tetapi tidak menutup kemungkinan tradisi itu
akan diintegrasi dengan budaya-budaya dari negara lain. Begitu juga pada bentuk
kesetiaan pengabdian seorang samurai di Jepang. Perkembangan bentuk kesetiaan
pengabdian diri seorang samurai mulai berubah dan berkembang sesuai dengan
perkembangan zaman di Jepang pada saat itu. Dengan berkembangnya zaman,
muncul pemikiran-pemikiran baru tentang bentuk kesetiaan samurai pada tuannya.
Ini nampak jelas pada munculnya bushido baru setelah sebelumnya bushido lama
dianut oleh samurai pada zaman feodal. Sampai saat ini pun, bushido masih tetap ada
dan dilaksanakan oleh masyarakat Jepang, namun tentunya tidak dilakukan seperti
halnya seorang samurai pada zaman Heian dan Edo.
2.2.1 Kesetiaan
Kesetiaan atau disebut juga dengan pengabdian diri dalam Situmorang
(2000:1) adalah kesediaan melaksanakan perintah atau keinginan orang lain dengan
mengorbankan kepentingan sendiri.
Dalam Situmorang (2000:1), kesetiaan secara umum dibagi menjadi tiga ,
unsur yaitu, setia karena situasi yang terdesak atau terpaksa, setia karena ajaran
(moral), dan karena untuk mendapat keuntungan (ekonomi). Setia karena situasi yang
terdesak atau terpaksa dapat dilihat pada sejarah peperangan diseluruh dunia.
Penduduk setempat mau tidak mau akan berkembang menjadi tentara musuh untuk
menjadi tentara musuh untuk melindungi dan mengabdi kepada tuannya. Namun pada
saat tertentu dia dapat menyerang dan menguasai tuannya.
Kesetiaan seorang anak kepada orangtuanya yang selama ini membesarkan
dan mengajarkan hal-hal yang baik demi kehidupannya, dapat dimasukkan kepada
setia berdasarkan ajaran (moral). Sang anak akan merasa ada tanggung jawab
baginya, untuk menjaga dan membalas budi kedua orangtuanya. Sama halnya seperti
seorang samurai yang hidup di dalam ie kizoku nya, akan selalu menjaga dan
mengabdi kepada tuannya yang telah mensejahterakan kehidupannya. Kesetiaan yang
ketiga yaitu setia karena untuk mendapatkan keuntungan misalnya seorang gadis
kecil yang selalu ikut dengan kakaknya, semata-mata mengharapkan jajanan dari
kakaknya. Setelah mendapatkan apa yang dia inginkan, dia akan pergi dari kakaknya
dan pergi bermain dengan teman-teman yang sebaya dengannya.
Rand (2003:75) mengatakan, kesetiaan lahir dari manusia yang memahami
tujuan dari hakekat hidup. Kesetiaan dilakukan tidak hanya karena ada rasa percaya,
tetap juga karena kebutuhan untuk kelangsungan hidup, juga karena terpaksa
melakukannya.
Dalam Loyalty of Life
adanya rasa santun antara sesama, tetapi dapat juga terjadi akibat kebutuhan ekonomi
dan politik seseorang.
2.2.2 Kesetiaan Jepang
Kesetiaan adalah kehormatan tertinggi samurai. Kehormatan seorang samurai
kizoku- nya lalu kepada keluarganya. Seorang samurai wajib untuk mengabdi kepada
tuannya, sekalipun tuannya adalah seorang jenderal militer, tuan tanah feodal, atau
kepala keluarga. Perintah seorang atasan tidak boleh ditanyakan. Mereka harus
mengikutinya dengan kemampuan terbaik seorang samurai sekalipun jika hal ini
membuat ketidakbahagiaan atau menyebabkan kematian. Hidup seorang pelayan
bergantung pada tuannya. Mereka harus mengorbankan apa pun yang diminta
tuannya.
Keadilan dalam diri seorang samurai tentunya juga dituntut dalam
melaksanakan pengabdiannya kepada tuan. Ketidakadilan bisa menjadikan samurai
rendah dan tidak manusiawi. Samurai menanamkan etika khusus dalam
kesehariannya menjakankan kesetiaan kepada tuan. Ketulusan dan kejujuran sama
berharganya dengan nyawa mereka. “Bushi no Ichi-gon” atau “ janji samurai",
melebihi janji akan harga diri. Samurai juga membutuhkan pengendalian diri dan
kesabaran agar benar-benar dihormati. Samurai tidak menunjukkan tanda dari
penderitaan dan kesenangan. Samurai memikul segalanya tanpa merintih, tanpa
menangis. Samurai berpegang teguh pada ketenangan dalam bersikap dan juga pada
ketenangan dalam berfikir yang bisa saja terpengaruh oleh segala bentuk keinginan.
Sehingga dapat dikatakan bahwa samurai merupakan ksatria sejati.
Dalam cerita Akouroshi dalam Situmorang (1996:3), dikatakan bahwa
kesetiaan mengorbankan jiwa raga terhadap tuannya tentunya didasarkan pada
cita-cita bushi tersebut. Watsuji dalam Situmorang (1996:3) mengatakan, bahwa cita-cita-cita-cita
dianut para Bushi pada waktu itu. Karena itu dikatakan, bushi yang baik adalah bushi
yang setiap saat siap melakukan adauchi (mewujudkan balas dendam tuan) dan
melakukan junshi (bunuh diri mengikuti kematian tuan).
2.2.3 Samurai, Bushi dan Bushido
Di Jepang kelas ksatria dikenal dengan Samurai. Samurai merupakan, kaum
petarung yang mempunyai kemampuan dalam seni bela diri. Selain pedang, samurai
juga memiliki banyak kemampuan dan keahlian dalam menggunakan busur dan
panah. Mereka mampu menunggang kuda dengan handal dan membunuh lawan
dengan tangan kosong.
Nurhayati (1987:10) mengatakan, samurai adalah pasukan pengikut tuan
tanah/penguasa setempat yang disebut dengan Daimyo. Sedangkan samurai dalam
Benedict (1982:335) adalah prajurit yang berpedang dua. Seorang samurai
diharapkan menjalani pelatihan spiritual guna menaklukkan orang lain. Kekuatan
timbul dari kemenangan dalam disiplin diri. Justru kekuatan yang diperoleh dengan
cara inilah yang dapat menaklukkan sekaligus mengundang rasa hormat pihak-pihak
lain, sebagai kemantapan spiritual. Perilaku yang halus dianggap merupakan aspek
penting dalam mengungkapkan kekuatan spiritual.
Kumpulan samurai disebut juga dengan bushi. Situmorang (1995:11)
menjelaskan bahwa pada awalnya bushi adalah kelompok bersenjata yang mengabdi
pada tuannya kizoku, tetapi kemudian setelah mereka berhasil menjalankan perannya
yang besar dalam menjaga eksistensi dozoku tersebut, lama kelamaan mereka tidak
bushi sehingga kelompok bushi tersebut menjadi kelompok yang disegani, sama
dengan kizoku. Situmorang(1996: 7) juga mengatakan bahwa bushi lahir dari
fungsinya sebagai pengawas daerah pertanian. Pada mulanya mereka adalah petani
tetapi mereka dipersenjatai untuk menangkal kekuatan para perampok atau para
penyerang dari wilayah lain. Tetapi pada awalnya, mereka belum dinamai sakimori
kemudian Tsuwamono dan kemudian samurai. Pada zaman Edo (1600-1867) mereka
dinamai bushi adalah dalam pengertian kelas masyarakat. Untuk membedakannya
dari golongan petani dan golongan pedagang dan golongan tukang.
Pengertian lain tentang bushi, dalam Nio Joe Lan (1961:52) mengatakan
bahwa bushi adalah golongan orang peperangan yang sudah biasa dengan
kesukaran-kesukaran kehidupan sehinga mereka setia kepada pemimpinya.
Kelahiran bushi sangat berkaitan erat dengan lahirnya feodalisme di jepang.
Hal ini dikarenakan, dengan lahirnya feodalisme tersebut, kekuatan kekuasaan bushi
semakin meningkat.
Sebelum zaman foedal, system pemerintahan dikenal dengan system ritsuryo
yang berlangsung sampai zaman Heian (abad 7 sampai abad 12). Dalam system
ritsuryo, Tenno (kaisar) adalah penguasa administrasi pemerintahan tertinggi, dan
para kizoku (bangsawan), yang merupakan kerabat Tenno bertugas sebagi pelaksana
administrasi pemerintahan di pusat dan dan daerah.
Sistem pemilikan pada waktu itu dikenal dengan system kochi komin, yaitu
pemilikan tanah bersifat umum yang keseluruhannya dikuasai oleh pemerintah pusat.
Kyodo Tai (kelompok kerja sama di daerah), yaitu kelompok-kelompok petani di
bawah pimpinan kizoku (keluarga bangsawan) yang bertugas di daerah. Pada waktu
itu kaum kizoku selain bertugas sebagai pekerja administrasi ritsuryo, juga ada yang
bertugas sebagai pemimpin kuil.
Administrasi kelompok sonraku kyodo tai tersebut terpisah dari pemerintahan
ritsuryo. Para petani kemudian banyak yang meninggalkan kewajiban kochi komin
dan masuk ke dalam kelompok pertanian kizoku karena di dalam pertanian kizoku
mereka mendapat keamanan dan perlindungan kizoku.
Selain itu mereka diberi kebebasan menguasai sendiri bagian lahan pertanian
yang disebut dengan kubunden sei (system pembagian lahan pertanian). Dan yang
paling menguntungkan lagi, para petani tersebut diakui sebagai anggota ie (keluarga)
kizoku tersebut.
Dalam hal ini ada juga petani yang melarikan diri dari system kochi komin dan
petani tak bertuan yang dengan ronin. Petani tersebut menjadikan dirinya sebagai
samurai tak bertuan yang mengembara ke seluruh Jepang tanpa tujuan. Seorang ronin
dapat melakukan apapun yang diinginkannya tanpa ada batas. Namun, menjadi ronin
tidaklah enak seperti apa yang dibayangkan. Ronin harus menemukan seorang tuan
dan masuk ke dalam ie. Kemampuan berperang mereka membuat setiap orang
berpikir dua kali untuk melawannya, terutama karena merekan tidak memiliki tuan.
Tetapi bagaimanapun, mereka kemudian dikumpulkan juga oleh kizoku, yang
tentunya dapat menambah kekuatan kizoku untuk memenuhi kebutuhan tenaga
Keluarga kizoku tersebut muncul sebagai jaringan kebersamaan antara
kewajiban dan materi. Setiap petani yang bergabung dalam suatu ie diharapkan dapat
saling membantu satu sama lainnya. Pertunangan, pernikahan, adopsi, kepemilikan
tanah, dan pertukaran anggota keluarga termuda untuk saling belajar, membuat ikatan
keluarga bertambah erat. Hubungan ini diharapkan terus semakin kuat, agar setiap
keluarga yang bergabung dalam kizoku memiliki kekuasaan yang semakin besar.
Anggota ie dapat mempergunakan hubungan ini untuk keuntungan sendiri. Sekalipun
demikian selalu ada timbal balik dari segala pelayanan dan kewajiban yang
dilakukan.
Keanggotaan ie bukan terbatas pada hubungan darah saja, tetapi mencakup
kepada seluruh petani yang mau ikut bergabung dan mengabdi kepada kizoku.
Mereka diberi hak yang sama, kewajiban dan tanggung jawab yang sama sesuai
dengan urutan jenjang kedudukan antara tuan dengan pengikut. Nakamura dalam
Situmorang (1995 : 11) mengatakan, kelompok ini diikat dengan pemujaan satu dewa
yang sama, memakan makana yang sama, minum sake yang sama. Kelompok ini
disebut dengan dozoku.
Dalam mempertahankan shoen (wilayah pertanian kizoku), akhirnya muncul
persaingan antara kelompok-kelompok dozoku yang mengakibatkan mereka saling
perang. Untuk itulah mereka membentuk serdadu militer, dan disinilah kemudian
bushi muncul. Bushi ditugaskan untuk menjaga eksistensi shoen tuannya dari
kelompok dozoku lain. Maka terbentuklah dimana-mana system pertahanan dengan
kekuasaan sendiri-sendiri yang berusaha memisahkan diri dari pemerintahan pusat.
Satu kizoku ingin memperluas shoennya dengan cara merebut shoen kizoku lainnya.
Begitulah sedikit seput ar sejarah lahirnya bushi yang pada awalnya hanyalah
seorang petani biasa, namun dengan mulai terbentuknya system feodal di Jepang,
nama bushi mulai menjadi sorotan masyarakat banyak. Menjadi seorang samurai
merupakan suatu kebanggaan yang tidak hanya dapat mengharumkan dirinya sendiri
tetapi juga keluarga dan kerabatnya.
Untuk seorang samurai, penghormatan adalah segalannya. Kehormatan yang
terbesar adalah kemampuannya melakukan bushido, yang apabila dilihat dari kanji
nya bermakna, “jalan hidup kesatria”. Ini merupakan kode etik dan jalan hidup bagi
seorang samurai di Jepang, yang sama halnya dengan kesatria Eropa pada abad yang
sarat dengan kode etik tersendiri dan penuh dengan kesopanan layaknya seorang
bangsawan. Bushido lebih ditekankan pada pelayanan diri sendiri, keadilan, rasa
malu, adab sopan santun, kemurnian, rendah hati, kesederhanaan, semangat
bertarung, kehormatan, kasih sayang, dan yang paling penting kesetiaan.
Benedict (1982 : 333) mengatakan bushido adalah tata cara samurai. Tata cara
samurai merupakan sebuah istilah yang dimasyarakatkan selama abad feodalisme
untuk menunjukkan prilaku tradisional Jepang yang ideal. Nitobe dalam Benedict
(1982 : 333), memperinci bushido sebagai perpaduan antara konfusianisme dengan
etika feodal Jepang, dan dapat diartikan pula sebagai perpaduan antara keadilan,
keberanian, kebaikan hati, kesopanan, kesungguhan hati, kehormatan, kesetian, dan
Kesetian yang mereka tunjukkan kepada kaisar, daimyo, atau tuannya, sangat
luar biasa. Mereka orang yang dapat dipercaya dan jujur. Mereka hidup dalam
kesederhanaan tanpa tertarik pada kekayaan dan benda-benda berharga. Mereka
adalah orang-orang dengan keberanian sejati. Seorang samurai tidak mempunyai rasa
takut terhadap kematian. Mereka akan turut serta dalam peperangan tanpa
menghiraukan akibatnya. Bagi mereka, gugur dalam peperangan membawa
kehormatan hanya terhadap keluarga dan tuannya.
Hal ini juga diperjelas dalam Nie Joe Lan (1962 : 102 ), dalam bushido, sifat
utama dari seorang samurai adalah kesetiaan. Seorang samurai harus mengorbankan
jiwa, kebenaran dan juga keluarganya, apabila tuannya menginginkanya. Seorang
samurai juga harus memiliki sifat hemat, sederhana dan tidak menghiraukan harta
dunia. Seorang samurai harus dapat menahan rasa sakit tanpa merubah wajahnya.
Bushido menurut Tsunetomo dalan Situmorang (1995 : 24-25) adalah janji
untuk mengabdikan diri bagi tuannya. Menurutnya, para anak buah mempunyai satu
tujuan hidup yaitu mengabdi kepada tuan.
Hal ini mempunyai pengertian yaitu :
1. Secara absolut mengutamakan tuan, yaitu kesetiaan mengabdi satu
arah dengan mengabdikan jiwa raga terhadap tuan.
2. Menjadi anak buah yang betul dapat diandalkan, yaitu
betul-betul melaksanakan sumpah setia kepada tuan.
Menurut Tsunetomo, selain janji dengan tuan, anak buah tidak memperdulikan
Walaupun dapat hukuman dari dewa, tidak ada pilihan lain kecuali mengabdikan diri
pada tuan. Menurut Watsuji dalam Situmorang (1995 : 25), pikiran seperti ini tidak
memperdulikan benar atau salah, untung atau rugi, rasional atau tidak rasional. Inilah
inti dari pemikiran pengabdian diri dalam bushido.
Sagara dalam Situmorang (1995: 27) mengatakan bahwa bushido merupakan
jalan menuju kematian. Hal ini menandakan bahwa untuk mewujudkan bushido harus
dibayar dengan pengorbanan diri baik dalan pertempuran atau pun dalam ritual-ritual
khusus seperti seppuku. Prilaku seppuku yang dilakukan oleh bushi atau anak buah
merupakan salah satu perwujudan karakter atau watak bushido yang bermakna
sebagai penghormatan, tetapi dapat juga sebagai keharusan suatu hukuman
(Seward,1995 : 1).
Sayidiman (1982 : 49) juga mengatakan, dalam alam pikiran yang
berhubungan dengan bushido bagi seorang samurai, hidup dan mati bukanlah dua
keadaan yang berbeda secara fundamental. Hal ini diperkuat lagi oleh
keharusan-keharusan yang tercantum dalam bushido. Karena itu,kalau ia merasa tidak dapat
mencapai tujuannya dalam keadaan hidup, maka lebih baik ia memilih keadaan mati.
Apabila kehormatan seorang samurai merasa terpukul atau terganggu, ia tidak
ragu-ragu untuk bunuh diri atau melakukan seppuku. Bagi samurai. Seppuku bukanlah
peristiwa bunuh diri yang kosong, tetapi merupakan satu kelembagaan yang legal dan
seremonial.
Seppuku atau pengeluaran perut, dilakukan seorang samurai dengan cara
melakukan itu, samurai yang lain atau pun juga kerabatnya, akan memengal
kepalanya.
Seward (1995 : 5) mengatakan, seppuku merupakan kunci displin dalam kode
kesatriaan bangsa Jepang (bushido). Seppuku dapat dianggap sebagai puncak dari
perwujudan sikap bushido yang siap sedia untuk mati demi tuannya yang tubuh sejak
masa masyarakat feodal. Dalam Seward (1995 : 59 ) dikatakan bahwa kaum militer
atau bushi, kesetiaan tanpa kematian tidak ada artinya. Oleh karena itu didalamnya
terdapat seni walaupun seni dalam bentuk kesetiaan. “mati demi keberadaan kuda
sang tuan” adalah suatu kalimat yang paling dapat mengerakkan ambisi seorang
samurai sampai pada keturunannya. yang terus dihargai oleh tuanya dan merupakan
warisan dari tunannya, seandainya ia mati dalam peperangan.
Seppuku dapat terjadi karena perintah tuanya atau dipilih oleh individu karena
alasan tertentu. Samurai yang melakukan pelanggaran atau kriminalitas yang berat
wajib melakukan seppuku, demi menjaga nama baik tuannya. Ini merupakan hak
khusus tuannya untuk mengijinkan mereka melakukan seppuku daripada menghadapi
keadaan yang memalukan. Seppuku merupakan jalan keluar yang tepat untuk semua
masalah jika ada yang belum sempat dibalaskan dendamnya atau diberikan tugas
yang tidak mengenakkan. Seppuku diterima sebagai solusi untuk masalah
kehormatan, yaitu menghindari peneangkapan atau kematian yang memalukan
ditangan musuh di medan perang dan juga sabagai penebus dosa dan
kesalahana-kesalahan. Seorang samurai akan lebih memilih untuk melakukan seppuku daripada
Tsunetomo dalam Seward (1995:67) mengatakan, bahwa para anak buah harus
dapat memusatkan diri serta bermeditasi ke arah kematian. Sikap bushido akan
terpenuhi apabila seseorang telah berhasil membayangkan dirinya untuk mati, hal ini
dapat dilakukan dalam setiap pagi dan setiap malam. Maka dari itu, jika saatnya tiba,
ia akan mati dengan penuh kedamaian dan dapat melakukan pekerjaan tanpa
kesalahan seumur hidup.
Buku Hagakure dalam Bellah (11992:123) dijelaskan bahwa bushido berarti
keinginan kuat untuk mati. Di sana dikatakan,
” Setiap pagi bulatkanlah pikiranmu tentang bagaimana cara kamu mati. Setiap sore segarkanlah pikiranmu mengenai kematian. Dan biarkan itu terjadi tanpa akhir. Dengan demikian pikiranmu akan siap. Jika pikiranmu selalu terpaku pada kematian, jalanmu sepanjang kehidupan akan selalu lurus dan bersahaja. Kamu akan melaksanakan kewajibanmu; dan perisaimu akan tidak berkarat. Jika kamu bias melihat jalanmu dengan lurus, dengan mata terbuka dan terbebas dari pikiran-pikira yang menganggu, tidak akan ada kemungkinan kamu terpeleset membuat kesalahan. Keberhasilanmu melaksanakan kewajiban akan tanpa cela dan namamu akan tanpa noda. Saya telah sepenuhnya mantap: bushido, jalan para prajurit, berarti kematian.”
Berdasarkan pada konsep-konsep bushido tersebut maka Watsuji dalam
Situmorang (1995:21) mengatakan bahwa ada perbedan etos pengabdian diri bushi
sebelum zaman Edo adalah kesetiaan diri kepada tuan yang didasarkan pada ajaran
Budha Zen. Sedangkan pemerintahan Tokugawa pada zaman Edo berusaha
megubahnya dengan dasar tujuan Konfusinis.
Sayidiman (1982:48) menyebutkan, bushido adalah suatu kode etik kaum
samurai yang tumbuh sejak terbentuknya samurai. Sumbernya adalah pelajaran
agama Budha, khususnya ajaran Zen dan Shinto, karena ajaran ini menimbulkan
harmoni dengan apa yang dikatakan orang Jepang “ kekuasaan yang absolute”.
Melalui meditasi kaum samurai berusaha mencapai tingkat berfikir yang lebih tinggi
Ajaran Buddha Zen pada dasarnya berasal dari cina. Ajaran tersebut dibawa
oleh pendeta Esai ( 1141-1251) dan pendeta Dogen (1200-1253) pada abad ke 13.
Dalam ajaran tersebut ada 4 aliran yang sampai sekarang masih mempunyai
pendukung yang kuat, yaitu aliran Zen, Jodo, Shincu, dan Nichiren (Hokke). Dalam
ajaran Buddha, bushido bisa dikatakan berkaitan erat dengan bahaya dan kematian.
Namun para samurai tidak takut terhadap kematian karena mereka percaya dengan
semua yang telah diajarkan oleh Buddha, yaitu apabila seseirang mati maka setelah
kematiannya itu ia akan bereinkarnasi dan bisa hidup kembali di kehidupan yang lain.
Para samurai akan menjadi ksatria semenjak ia menjadikan dirinya seorang samurai
sampai ia mati. Mereka tidak mempunyai rasa takut terhadap bahaya. Cleary (1994 :
13 ) mengatakan pada dasarnya Zen mengajarkan untuk memperoleh keselamatan
melalui meditasi dan penghayatan kekosongan. Dalam meditasinya, seorang samurai
diharapkan berkonsentrasi dalam mengenali dirinya dan tidak membatasi diri sendiri.
Meditasi ini sangat berguna untuk para samurai dalam mengendalikan rasa takut, rasa
tidak tenang, dan kesalahan-kesalahan yang dapat mengakibatkan mereka terbunuh.
Aliran ini memiliki banyak pengikut dan mendapat dukungan samurai dalam
pemerintahan shogun di zaman kamakura, bahkan aliran ini disebut sebagai agama
para samurai atau bushi. Menurut aliran ini setiap orang harus mempunyai disiplin
pribadi yang tinggi, baik rohani maupun jasmani. Prinsip inilah yang kemudian yang
berkembang dan bersatu dengan prinsip bushido.
Dalam ajaran Shinto, bushido dibekali dengan ajaran kesetian dan patriotisme.