BAB II
TINJAUAN UMUM MASA RESTORASI MEIJI DAN SEJARAH SHINTO
2.1 Awal Restorasi Meiji
Restorasi Meiji yang dikenal juga dengan sebutan Meiji Ishin (明治維
新)atau Revolusi Meiji atau Pembaruan Meiji, adalah serangkaian kejadian yang
berpuncak pada pengembalian kekuasaan di Jepang kepada Kaisar pada tahun
1868. Serangkaian kejadian itu sendiri terjadi pada tahun 1866 sampai 1869, tiga
tahun yang mencakup akhir zaman Edo. Restorasi ini menyebabkan perubahan
besar – besaran pada struktur politik dan sosial Jepang, yang berlangsung sejak
zaman Edo pada akhir Keshogunan Tokugawa dan awal zaman Meiji. Restorasi
ini adalah akibat dari Perjanjian Shimoda dan Perjanjian Towsen Harris yang
dilakukan oleh Komodor Matthew Perry dari Amerika Serikat.
2.1.1 Berakhirnya Pemerintahan Tokugawa
Zaman Tokugawa atau yang biasa disebut dengan zaman Edo (1603-1868)
merupakan zaman dimana Jepang diperintah oleh keluarga Tokugawa secara turun
– temurun yang diawali oleh Tokugawa Ieyasu yang mampu mengalahkan
Toyotomi Hideyoshi dalam perang Sekigahara tahun 1600. Kemudian menjadi
seiitaishogun pada tahun 1603. Dalam Suryohadiprojo (1982: 15) dituliskan bahwa Shogun atau panjangnya seiitaishogun berarti jabatan militer tertinggi
dalam negara. Disebut zaman Edo karena pemerintahan saat itu berpusat di kota
Edo (sekarang Tokyo). Selama zaman pemerintahan Tokugawa di Edo
Menurut C.F Strong dalam Syafiie (2009:22) menyebutkan tentang
defenisi pemerintahan sebagai berikut:
“Government in the broader sense, is changed with the maintenance of the peace and security of state with in and with out. It must therefore, have first military power or the control of armed forces, secondly legislative power or the means of making laws, thirdly financial power or the ability to extract sufficient money from the community to defray the cost of defending of state and of enforcing the law it makes on the state behalf.”
Maksudnya, pemerintahan dalam arti luas mempunyai kewenangan untuk
memelihara kedamaian dan keamanan negara, ke dalam dan ke luar. Oleh karena
itu, pertama, harus mempunyai kekuatan militer atau kemampuan untuk
mengendalikan angkatan perang, yang kedua, harus mempunyai kekuatan
legislatif atau dalam arti pembuatan undang – undang, yang ketiga harus
mempunyai kekuatan finansial atau kemampuan untuk mencukupi keuangan
masyarakat dalam rangka membiayai ongkos keberadaan negara dalam
menyelenggarakan peraturan, hal tersebut dalam rangka penyelenggaraan
kepentingan negara.
Pemerintahan zaman Tokugawa (zaman Edo) adalah pemerintahan
keshogunan, yaitu pemerintah pusat dipegang oleh shogun. Sedangkan sistem pemerintahannya disebut sistem bakuhantaisei, yaitu sistem pemerintahan bakufu
dan han. Bakufu adalah pemerintahan pusat dan mempunyai wilayah sendiri, sedangkan han diperintah oleh daimyo dan urusan di dalamnya bebas tanpa
campur tangan shogun. Namun demikian banyak sekali peraturan keshogunan yang memperlemah kedaimyoan atau wilayah han. Pemerintahan keshogunan telah berlangsung di Jepang sejak zaman Kamakura (1192) hingga zaman Edo
feodalisme). Martin dalam Situmorang (2009:79) menyebutkan bahwa
“feodalisme adalah penguasaan tanah yang terpecah belah sebagai faktor produksi
melalui kekuatan militer, dimana kaum feodal menyediakan keamanan bagi petani
sehingga para petani dapat mengerjakan lahannya, sedangkan pembagian hasil
ditentukan oleh Tuan Feodal sehingga petani tidak bisa hidup menjadi kuat, tetapi
harus selalu tergantung pada tuannya”.
Untuk memahami kemunduran pemerintahan Tokugawa, hal pertama yang
harus dipahami adalah kekuatannya. Untuk mempertahankan kekuasaannya,
Tokugawa membuat berbagai kebijaksanaan. Diantaranya, Sankinkoutai yaitu peraturan bahwa setiap daimyo harus membuat tempat tinggal keluarganya di Edo,
sehingga para daimyo wajib tinggal di Edo sekitar 6 bulan, dan 6 bulan lagi tinggal di wilayah kekuasaannya; kemudian ada kebijaksanaan Sakoku yaitu
kebijaksanaan menutup negara dari negara luar; juga ada peraturan Kugeshohatto
yaitu larangan berkomunikasi dengan keluarga Kaisar, dan Bukeshohatto adalah larangan sesama daimyo membentuk ikatan maupun perkawinan. Oleh karena
berbagai kebijaksanaan ini dilaksanakan secara ketat, maka pada zaman
Tokugawa ini dalam negri Jepang sangat tenang dan kebudayaan terbentuk secara
menyeluruh (universal).
Selama periode Tokugawa, lima belas anggota keluarga Tokugawa secara
berturut – turut memegang posisi sebagai Shogun, menggunakan sedikit banyak
kekuasaan yang meyakinkan pendatang Eropa untuk berpikir bahwa Shogun
sebagai Kaisar dan Kaisar seperti Paus (Beasley, 1972:13).
hingga awal abad ke – 19. Daimyo dalam Suryohadiprojo (1982:16) adalah pemimpin militer daerah yang independen. Sedangkan daimyo dalam Situmorang
(2009:18) disebut juga hanshu (藩 主 ) adalah tuan penguasa wilayah di daerah.
Para daimyo memiliki hak kepemilikan tanah secara turun – temurun dan bahkan
tentara untuk melindungi tanah dan pekerjanya. Pada awal zaman Tokugawa
(zaman Edo) perekonomian berpusat pada beras, sehingga banyak tanah
merupakan lahan pertanian beras yang dikerjakan oleh para petani pekerja dan
dijaga oleh pengawas daerah pertanian yang disebut Sakimori atau Tsuwamono
atau Samurai yang kemudian dikenal dengan sebutan Bushi pada zaman Edo.
Bakufu dan Han mengutamakan produksi beras karena beras merupakan pajak.
Bushi juga menerima beras sebagai gaji dari Han.
Shinzaburo dalam Situmorang (1995:41), membagi periode pemerintahan
Tokugawa berdasarkan kemantapannya atas tiga periode:
1. Periode pertama tahun 1603 – 1632
Periode pertama adalah masa pemerintahan shogun Ieyashu (1603 – 1605) sampai pada masa pemerintahan shogun Hidetada (1605 – 1632). Pada periode ini berkembang aliran Konfusionis yang bertujuan demi
kepentingan politik.
2. Periode kedua tahun 1633 – 1854
Periode kedua adalah masa kemantapan keshogunan Tokugawa,
yang diperintah oleh sepuluh generasi Tokugawa, dari Iemitsu (1633 –
3. Periode ketiga tahun 1855 – 1867
Periode ketiga adalah masa kehancuran keshogunan Tokugawa
hingga menyerahkan kekuasaan kepada Kekaisaran. Periode ketiga ini
diperintah oleh tiga generasi Tokugawa yaitu shogun Iesada, Iemochi dan Yoshinobu.
Pemerintahan Tokugawa mengalami masa jaya yang panjang, tetapi pada
abad ke – 19, kekuasaan Tokugawa mulai mengalami kemunduran. Berakhirnya
pemerintahan Tokugawa berakar dari pembukaan negara dan pelabuhan. Selama
kurang lebih 250 tahun kekuasaan Tokugawa, Jepang menjalankan politik isolasi
atau Sakoku, yaitu kebijakan menutup negara dari pengaruh luar. Adapun maksud
Tokugawa melakukan politik isolasi untuk Jepang khususnya disebabkan oleh
rasa khawatirnya akan kaum Kristen dan pengaruhnya. Sejak Tokugawa berkuasa
agama Kristen dilarang dan semua orang asing dilarang masuk Jepang, kecuali
orang Belanda yang masih boleh berdagang melalui pulau kecil Deshima di depan
Nagasaki. Orang Jepang juga dilarang keluar negeri. Selama melakukan sakoku,
Jepang tidak menyadari adanya kemajuan – kemajuan yang terjadi di bangsa barat,
terutama dalam bidang industri. Dengan adanya revolusi industri di Inggris dan di
Eropa Barat sehingga terjadi kemajuan perdagangan. Negara – negara Eropa
berpikir bahwa negara Jepang adalah pasar komoditi yang baru. Sehingga
menjelang akhir abad ke - 18, bangsa Eropa menuntut pembukaan negara
(kaikoku) kepada Jepang yang melakukan Sakoku.
Tahun 1853, Amerika mengirimkan utusan yang dipimpin oleh Komodor
Matthew.C.Perry untuk melakukan ekspedisi ke Jepang. Perry tiba di Uraga pada
pembukaan negara (Kaikoku) kepada Bakufu melalui sebuah surat dari presiden Amerika kepada Kaisar yang bertahta pada saat itu, yaitu Kaisar Komei. Dan lagi,
dalam surat yang ditulis secara pribadi oleh Perry, yang menyertai surat dari
Presidan, mengatakan bahwa jika pendekatan yang santun dan damai tidak
diterima maka ia akan kembali datang pada musim semi tahun berikutnya dengan
kekuatan yang lebih besar. Tindakan Perry menyebabkan ketakutan besar bagi
Jepang. Pemerintahan Bakufu memanfaatkan satu tahun tersebut untuk
mempertimbangkan tuntutan Perry. Setahun kemudian, tahun 1854 dengan
kedatangan Komodor Perry kedua kali dengan armada perang menggunakan
kurofune (kapal hitam), Bakufu harus menjalin perjanjian dengan Amerika.
Bakufu tidaklah ingin berperang karena menyadari kekalahan China dari Inggris yang dalam anggapan Jepang pada saat itu bahwa negara barat lebih kuat daripada
negara Asia. Dengan ketakutan Jepang akan kekuatan kurofune, maka Jepang selanjutnya melakukan Kaikoku. Pada tanggal 31 Maret 1854 pemerintah Tokugawa akhirnya menandatangani perjanjian dengan Amerika di Kanagawa.
Lalu Amerika menempatkan Konsul Jendral pertama yang bernama Townsend
Harris di Yokohama. Empat tahun setelah itu, tepatnya pada tahun 1858,
Townsend Harris sebagai konsul jenderal Amerika, berhasil memaksa Jepang
untuk menandatangani persetujuan yang isinya mirip persetujuan bangsa – bangsa
barat dengan Cina pada waktu itu. Persetujuan itu menggambarkan keangkuhan
bangsa – bangsa Barat terhadap Cina dan Jepang. Keadaan ini amat tidak disukai
oleh rakyat Jepang pada umumnya dan para samurai khususnya. Juga lingkungan
kekaisaran yang berada di Kyoto tidak setuju dengan perkembangan demikian.
menunjukkan kekuasaannya di bumi Jepang. Mereka khawatir bahwa langkah
demi langkah Jepang akan mengalami nasib yang sama seperti Cina atau bangsa –
bangsa lain di Asia yang menurut pendengaran mereka dikuasai oleh bangsa –
bangsa Eropa. Dengan perjanjian ini maka dibukalah pelabuhan Nagasaki,
Hakodate, Yokohama dan lain – lain, dan sejak tahun1859 dimulailah dilakukan
perdagangan bebas. Sehingga pada tahun 1867 pada masa Tokugawa Yoshinobu
(Keiki) masih menjabat sebagai shogun, Hyogo (Kobe modern) terbuka bagi
perdagangan luar negeri.
Dengan pergerakan yang baru yaitu pembukaan negara dan pelabuhan,
harga – harga kebutuhan masyarakat menjadi naik, maka bersamaan dengan itu
kehidupan petani dan bushi level bawah menjadi lemah, demikian pula dengan kekuatan politik bakufu. Sejak terjadinya pembukaan negara, terjadi
pemberontakan dalam negri karena rakyat Jepang tidak menginginkan perjanjian
tersebut ditandatangani oleh pemerintahan Tokugawa, terutama pihak kekaisaran
karena perjanjian itu belum memperoleh izin dari Kaisar. Akibat dari
penandatanganan perjanjian tersebut, pemerintah Tokugawa tidak lagi
memperoleh kepercayaan dari rakyat karena mereka menganggap bahwa ini
semua dapat terjadi karena Tokugawa tidak memenuhi fungsinya sebagai shogun,
yaitu tidak dapat memberikan perlindungan terhadap bangsa Jepang
(Suryohadiprojo, 1982:23).
Alasan tersebut dimanfaatkan oleh beberapa pihak yang ingin
menggulingkan kekuasaan Tokugawa. Sehingga oleh bakufu muncul gerakan
yang beraliran Sonnojyoui itu adalah daimyo dari Satsumahan dan dari Choshuhan dari barat daya Jepang. Mereka yang beraliran Sonnojyoui menyadari kekuatannya
karena telah kalah perang dengan negara – negara maju, Eropa dan Amerika.
Karena hal tersebut, para aliran Sonnojyoui merubah cara berpikirnya dan bermaksud menggulingkan Tokugawa Bakufu yang dianggap telah gagal
mempertahankan Jepang atas negara – negara asing.
Tahun 1867, Kekaisaran di Kyoto mengeluarkan surat keputusan rahasia
yang memberikan kuasa kepada Sachou (Satsuma dan Choshu) untuk
menggulingkan Bakufu. Bertepatan pada hari yang sama pada saat Sachou ingin menyerang Bakufu, Shogun yang terakhir dari keluarga Tokugawa yaitu
Tokugawa Yoshinobu muncul di Kekaisaran di Kyoto untuk mengembalikan
kekuasaan pada istana. Keshogunan Tokugawa secara resmi berakhir pada 9
November 1867 ketika Shogun Tokugawa ke – 15 yaitu Tokugawa Yoshinobu
menyerahkan kekuasaan prerogatifnya kepada Kaisar. Sepuluh hari kemudian
Yoshinobu mengundurkan diri dari jabatannya sebagai kepala negara. Kemudian
istana menyatakan menerima kembali kekuasaan tertinggi yang pernah
dimilikinya pada periode kuno. Maka dengan demikian berakhirlah Edo Bakufu
yang berlangsung 265 tahun.
2.1.2 Pemulihan Jepang
Setelah berakhirnya masyarakat feodal yang panjang maka masuklah
zaman yang baru yang disebut masyarakat modern atau kindai shakai. Memasuki zaman yang baru atau Kindai Shakai, berbagai tindakan dilakukan Jepang untuk
Pemerintah Oligarki Meiji yang bertindak atas nama kekuasaan Kaisar
memperkenalkan upaya – upaya mengonsolidasi kekuasaan untuk menghadapi
sisa – sisa pemerintahan zaman Edo, keshogunan, daimyo dan kelas samurai.
Setelah Restorasi Meiji, Jepang memperoleh kesempatan yang baik untuk mulai
berkembang dengan melakukan pembaharuan – pembaharuan. Pembaharuan yang
paling utama adalah penghapusan sistem feodal yang diterapkan oleh Tokugawa.
Pada tahun1868, semua tanah feodal milik keshogunan Tokugawa disita dan
dialihkan di bawah kendali kekaisaran. Tindakan ini sekaligus menempatkan
mereka di bawah kekuasaan pemerintahan baru Meiji. Pada tahun 1869, daimyo
Tosa, daimyo Hizen, Daimyo Satsuma dan daimyo Chosu yang telah berjasa
melawan keshogunan, dibujuk untuk mau mengembalikan domain mereka kepada
Kaisar. Daimyo lainnya juga selanjutnya diperintahkan untuk melakukan hal yang
sama. Dengan adanya penghapusan wilayah domain, maka untuk pertama kalinya
tercipta pemerintahan Jepang yang terpusat dan berkuasa di semua wilayah negeri.
Pada tahun 1871, semua daimyo dan mantan daimyo dipanggil untuk
menghadap Kaisar untuk menerima perintah pengembalian semua domain kepada
Kaisar. Sekitar 300 han bentuknya menjadi prefektur yang dipimpin oleh
gubernur yang ditunjuk oleh negara. Kemudian beberapa prefektur telah berhasil
dilebur menjadi satu sehingga jumlah prefektur menyusut menjadi 75 prefektur
dan sistem pertuanan wilayah diganti menjadi provinsi. Wilayah – wilayah
kekuasaan dari tempat – tempat suci dan kuil – kuil juga disita. Kepada mantan
daimyo, pemerintah berjanji untuk menggaji mereka sebesar 1/10 dari pendapatan
bekas wilayah mereka sebagai penghasilan pribadi. Selanjutnya, utang – utang
negara. Para kelompok bushi juga tidak selamanya menjadi bushi lagi karena kebijakan pemerintah membuat peraturan Heimin Byoudo, yaitu persamaan
kedudukan di dalam masyarakat.
Di zaman yang baru ini, Edo dinamakan Tokyo kembali. Tepat pada tahun
1868, nama era diubah menjadi “Meiji” dengan maksud membuat semua nama era
pada masa depan sesuai dengan masa pemerintahan kerajaan. Pada 1870 rakyat
biasa mulai diizinkan mempunyai nama diri (bukan nama keluarga besar/marga).
Dan setahun kemudian, pada tahun 1871, pemerintah mengeluarkan undang –
undang pendaftaran anggota keluarga.
Perubahan juga terjadi dikalangan masyarakat bekas samurai. Para bekas
samurai dipecah menjadi 2, yaitu samurai tingkat atas yang dinamakan shizoku, dan samurai tingkat rendah yang dinamakan sotsu. Namun pada tahun 1872, kelas
sotsu dihapuskan dan eselonnya yang lebih tinggi berpadu menjadi satu dengan kelas shizoku, sisanya turun kelas menjadi rakyat biasa. Para bekas samurai tersebut diberi kebebasan oleh pemerintah untuk memilih menyandang pedang
atau tidak. Sebaliknya bagi rakyat biasa dilarang menyandang pedang. Pada
zaman Tokugawa, pasukan militer hanya terdiri dari bushi tapi pada zaman Meiji
ini laki – laki yang berusia 20 tahun ke atas semua harus menjadi pasukan tentara.
Dengan begitu mulailah sistem wajib militer di Jepang.
Dibidang pertanahan juga mengalami perubahan. Misalnya saja, para
pemilik tanah telah diperbolehkan untuk menanam apa saja yang mereka
kehendaki. Keputusan mengenai tanah (sertifikat tanah) pada awalnya dikeluarkan
pemerintah hanya bagi tanah yang letaknya di wilayah ibukota Tokyo, tetapi pada
kepada semua orang yang memiliki (shoji) tanah. Pada tahun yang sama, sistem pendidikan umum dimulai, dan terbukalah peluang untuk rakyat Jepang terhadap
pendidikan yang meniru sistem pendidikan Barat dan penanggalan Gregorian pun
mulai diterima.
2.2 Pemerintahan Masa Meiji 1867 – 1912
Runtuhnya pemerintahan Tokugawa merupakan berakhirnya zaman Edo
yang ditandai dengan penyerahan kekuasaan Shogun Keiki (Tokugawa
Yoshinobu) kepada Kaisar Meiji. Zaman baru ini disebut zaman Meiji yang
berarti ‘kekuasaan pencerahan’, yang berlangsung antara 1868 – 1912. Kaisar
yang bertahta pada zaman ini disebut sebagai Kaisar Meiji atau Meiji Tenno (明治
天皇), Meiji Agung atau Meiji Taitei (明治 大帝). Dan nama pribadinya adalah
Mutsuhito (睦仁). (Wikipedia).
Pada umumnya, rezim baru ini menekankan pentingnya Kaisar
memerintah bangsa. Maka setelah wafatnya Kaisar Komei pada tahun 1866, anak
laki – lakinya yang baru berumur empat belas tahun, yaitu Mutsuhito
menggantikannya. Semua pengumuman resmi pemerintahan yang baru, dibuat
atas namanya.
Pada tahun 1868, Meiji Tenno sebagai pemerintah baru mengutarakan janji
(Situmorang, 2009:21). Tepatnya tanggal 6 April 1868 Kaisar mengeluarkan
Sumpah Jabatan 五箇条の御誓文Gokajō no Goseimon ( yang terdiri dari lima pasal, yang menggambarkan garis besar azas – azas yang harus dianut oleh
1. Dewan – dewan musyawarah akan dibentuk secara luas dan tiap – tiap
kebijaksanaan akan ditetapkan berdasarkan musyawarah;
2. Golongan tinggi dan rendah harus bersatu dalam melaksanakan rencana –
rencana bangsa dengan penuh gairah;
3. Semua warga sipil dan pejabat militer dan rakyat diijinkan untuk
memenuhi cita – cita mereka, dengan demikian tidak ada ketidakpuasan
antara mereka;
4. Adat istiadat masa lalu yang tidak baik harus dihapus, dan azas – azas
yang adil dan wajar haruslah menjadi dasar kebijaksanaan kita;
5. Pengetahuan harus dicari keseluruh dunia dan dengan demikian
kesejahteraan kerajaan dapat ditingkatkan.
Sumpah tersebut menguatkan asas politik yang baru berupa mendengarkan
pendapat umum, pemerintahan terpusat, wajib militer yang universal dan
penciptaan suatu sistem pendidikan di seluruh negara.
Struktur pemerintahan pusat atau daijoukan (太政官) yang dibentuk pada
tahun 1868, merupakan kombinasi antara struktur pemerintahan pada periode
Nara dan Heian dan sistem pemerintahan di barat. Daijoukan terdiri dari lembaga
legislatif, lembaga eksekutif, urusan Shinto, keuangan, militer, hubungan luar negeri, dan urusan dalam negeri. Kementerian Kehakiman dibuat terpisah, sama
seperti yang diterapkan di barat.
Adapun pemerintah pusat mengadakan reorganisasi pada tahun 1869 untuk
memperkuat kekuasaan pusat, dengan membentuk Majelis Nasional sebagai
lembaga tertinggi, membentuk Dewan Penasihat atau sangi (参議) dan delapan
Angkatan Darat, Angkatan Laut, Urusan Rumah Tangga Kekaisaran, Kehakiman,
Pekerjaan Umum, dan Pendidikan.
Kepemimpinan Meiji sangat terpengaruh oleh gagasan untuk
mengembalikan sistem pemerintahan Kekaisaran yang kuno di Jepang, dan karena
itu cenderung untuk menegakkan kembali praktek – praktek hukum yang lebih
lama lagi. Praktek hukum yang dimaksud bukanlah hukum feodal melainkan pola
– pola Ritsuryo dan sistem hukum Cina yang dihasilkan dalam jumlah besar.
Dalam Situmorang (2009:81) menyebutkan bahwa sistem Ritsuryou lahir pada abad ke 7 pada masa pemerintahan Shotokutaishi. Dalam struktur Ritsuryou
melahirkan masyarakat “Shisei” (sistem keluarga). Sistem pemerintahan
Ritsuryou diperkenalkan kepada Jepang selama periode purba (tahun 603 – 967 M). Dalam sistem Ritsuryou, Kaisar (Tenno) adalah penguasa administrasi
pemerintahan tertinggi. Saudara – saudara Kaisar adalah menjadi bangsawan. Para
bangsawan kerabat Tenno ini bertugas melaksanakan pekerjaan birokrasi di istana maupun di daerah.
Pemerintahan masa Meiji berusaha menghilangkan ajaran Konfusius
melalui penghapusan sistem status dalam masyarakat. Pemerintah secara perlahan
– lahan menuju penghapusan berbagai pembatasan feodal dan ajaran Konfusius
yang menggolongkan masyarakat ke dalam samurai, petani, tukang, dan pedagang. Meskipun alam pikiran feodalisme masih merupakan suatu segi yang tidak
dapat disangkal pada masa Meiji khususnya dalam hukum. Misalnya, untuk
kejahatan yang sama dikenai hukuman yang berbeda – beda tergantung dari
dibenarkan secara hukum oleh intisari Kitab Undang – undang Hukum Pidana
Baru tahun 1870 dan Kitab Undang – undang Pidana dan Undang – undang Dasar
yang disempurnakan tahun 1873. Sehingga tahun – tahun awal Meiji dicirikan
oleh suatu rezim Ritsuryo bergaya Cina yang terpusat dan otoriter, yang dibangun di atas dasar feodal. Tentara wajib militer dianggap sebagai tentara Kaisar, dan
pejabat – pejabat pemerintah sebagai pejabat – pejabat Kaisar. Inilah pemerintah
yang menyebabkan Jepang bertanggungjawab untuk membangun suatu “negeri
yang kaya raya dan militer yang kuat” (fukoku kyohei) dan suatu masyarakat yang modern.
2.2.1 Susunan Administrasi
Jepang pada masa Meiji merupakan negara dengan bentuk pemerintahan
kekaisaran (negara kerajaan). Dalam Syafiie (2009:85), negara kerajaan adalah
suatu negara dimana kepala negaranya adalah seorang raja, sultan atau kaisar (bila
kepala negaranya laki – laki) dan matahari atau ratu (bila kepala negaranya
perempuan). Kepala negara dinobatkan secara turun – temurun dengan memilih
putra/putri tertua dari istri yang sah (permaisuri).
Pada masa Meiji pemerintah mengakhiri seluruh Jepang yang dibagi dalam
han dan mengubahnya dengan ken (prefektur) dalam administrasi pusat karena dianggap perlunya menghilangkan kekuatan ekonomi han dan kekuatan militer
han. Dengan demikian pemerintah Meiji telah membuat sistem negara yang
sentralisasi. Dalam Syafiie (2009:45), sentralisasi adalah pemusatan kekuasaan
pada pemerintah pusat, dalam hubungan pusat dan daerah, pada suatu sistem
Tahun 1869, pemerintah Meiji menciptakan silsilah kekeluargaan dalam
kekaisaran dan kebangsawanan di Jepang, dengan menyatukan para bangsawan
istana (kuge=公家) dan para keluarga daimyo menjadi sebuah kelas bangsawan
yang dikenal sebagai kazoku (家 族). Kemudian pada tahun 1884, sambil
menunggu pembukaan dewan tinggi, maka diundangkanlah Kazoku Rei (Undang
– Undang Kebangsawanan) yang membagi kazoku (家族) menjadi lima golongan
yang mirip dengan pembagian strata kerajaan di Inggris. Undang – undang
tersebut menetapkan lima gelar kebangsawanan dari urutan yang tertinggi sampai
terendah yaitu: prince, marquis, count, viscount, dan baron.
Pada tahun 1885 daijokan dihapuskan dan wewenangnya dialihkan kepada
sebuah kabinet (naikaku) menurut model Eropa. Di bawah sistem dajokan maka
daijodaijin bersama dengan sadaijin dan udaijin dianggap sebagai membantu Kaisar dalam menangani masalah – masalah negara, sedangkan yang membantu
kepala – kepala berbagai kementrian hanya merupakan pegawai – pegawai
bawahan saja. Kabinet baru itu merupakan sebuah badan pembuat keputusan dan
terdiri dari seorang perdana menteri dan menteri – menteri luar negri, dalam
negeri, keuangan, angkatan darat, angkatan laut, kehakiman, pendidikan,
pertanian, perdagangan, dan perhubungan. Di dalam kabinet, semua menteri ini
mengambil bagian dalam menentukan politik negara di luar kabinet, tiap menteri
menjalankan kewajibannya menurut bidangnya. Sistem baru itu juga menetapkan
perbedaan yang jelas antara pemerintah dan takhta Kekaisaran. Suatu kementerian
tambahan yang mengurusi rumah tangga istana (kunai) dibentuk di luar kabinet. Dan pada masa itu, dalam tahun 1885, Sanjo Sanetomi, yang sudah menjadi
sebagai penghubung antara istana dan pemerintah. Sejumlah besar kekayaan
negara juga dialihkan kepada kepala rumah tangga istana (Ishii, 1989:148).
Berikutnya dalam administrasi negara didirikan berbagai dewan dan
dikeluarkan undang – undang. Sebelumnya pada 1869 telah dibuka kogisho
(Dewan Pertimbangan), dan pada tahun 1888 didirikan Dewan Pertimbangan
Agung (Sumitsuin).
Kemudian pada tanggal 11 Februari 1889 Konstitusi diundangkan dan mulai
berlaku tanggal 29 November 1890 yaitu hari pembukaan Sidang Perdana dari
Teikoku Gikai (帝国議会) atau Parlemen Kekaisaran sebagai badan legislatif.
Menurut Konstitusi ini, kekaisaran Jepang harus diperintah oleh Kaisar dari garis
keturunan yang tak terputus sejak berabad – abad. Ketiga cabang pemerintahan,
yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif dipimpin oleh Kaisar sendiri. Dan
perubahan – perubahan terhadap konstitusi hanya dapat diusulkan oleh Kaisar.
Kaisar juga diberi kekuasaan yang besar untuk mengeluarkan peraturan –
peraturan pelengkap yang berdiri sendiri (dokuritsu meirei) dan peraturan – peraturan pelengkap yang mendelegasikan wewenangnya kepada para
bawahannya (inin meirei). (Ishii, 1989: 151)
Konstitusi yang diundangkan pada 11 Februari 1889 tersebut adalah
Konstitusi Kekaisaran Jepang 大日本帝國憲法 Dainihon Teikoku Kenpō yang umumnya dikenal sebagai Konstitusi Meiji. Konstitusi Meiji adalah undang –
undang Kekaisaran Jepang dari tahun 1889 hingga tahun 1947. Undang – Undang
Dasar ini mengizinkan adanya sebuah monarki konstitusional yang berdasarkan
model Prusia yang menempatkan Kaisar Jepang sebagai penguasa aktif dan
parleman yang dilantik. Dampak langsung dari Konstitusi ini adalah dibukanya
pemerintah parlementer pertama di Asia.Konstitusi Meiji menetapkan batasan
yang jelas antara kekuasaan badan eksekutif dan kekuasaan mutlak Kaisar. Pada
tahun 1947, seiring kekalahan Jepang pada akhir Perang Dunia II, Konstitusi
Meiji digantikan dengan dokumen baru yang disebut 日本国憲法 Nihon Koku Kenpō atau Konstitusi Jepang.
Parlemen kekaisaran terdiri dari dua bagian yaitu Dewan Perwakilan
Rakyat yang dipilih seluruh rakyat, dan Dewan Bangsawan (Kizokuin=貴族院)
yang terdiri dari kazoku atau golongan bangsawan, yang merupakan kubu
keluarga besar Kaisar. Adapun anggota dari Kizokuin (貴族院)adalah:
1. Putra Mahkota dari usia 18 tahun;
2. Semua pangeran (shinnou) dan pangeran yang memiliki darah kekaisaran yang berusia di atas 20 tahun;
3. 150 orang wakil yang dipilih berdasarkan urutan counts, viscounts dan
baron, yang berusia di atas 25 tahun;
4. 150 orang anggota tambahan yang dipilih oleh Kaisar;
5. 66 orang yang dipilih untuk mewakili 6000 orang pembayar pajak tertinggi.
Bersamaan dengan konstitusi, dikeluarkan pula Undang – Undang Rumah
Tangga Kaisar (Koshitsu Tenpan), Undang – Undang Parlemen, Undang – Undang Pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat, dan Peraturan Kerajaan tentang
Majelis Bangsawan.
2.2.2 Ideologi Negara
antara keduanya maka kita dapatkan pengertian ideologi sebagai kumpulan
gagasan, ide, keyakinan, kepercayaan, yang bersifat menyeluruh dan sistematis.
Ideologi ini menyangkut seluruh bidang dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara seperti politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan keagamaan.
Ideologi dalam Syafiie (2009:78) adalah sistem pedoman hidup dan cita –
cita yang ingin dicapai oleh banyak individu dalam sebagian besar masyarakat
yang bersifat khusus disusun secara sadar oleh para pemikir di daerah tersebut.
Menurut Jean Bodin dalam Syafiie (2009:78) negara adalah persekutuan daripada
keluarga – keluarga dengan segala kepentingannya yang dipimpin oleh akal dari
suatu kuasa yang berdaulat.
Ideologi suatu bangsa mencerminkan cara berpikir masyarakatnya dan
mengarahkan suatu bangsa untuk mencapai tujuan nasional negaranya. Ideologi
juga merupakan sebuah landasan semangat dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Ciri – ciri ideologi suatu negara antara lain adalah ideologi berada di
posisi tertinggi sebagai nilai hidup berbangsa dan bernegara; serta ideologi
mewujudkan asas kerohanian, pandangan dunia, pandangan hidup, pedoman
hidup, pegangan hidup yang dipelihara, dikembangkan, diamalkan, dan
dilestarikan kepada generasi berikutnya, diperjuangkan dan dipertahankan dengan
kesediaan berkorban (Simanjuntak, 2007).
Sebelum periode Meiji, ketika masih pada masa pemerintahan Tokugawa,
ideologi negara Jepang berdasarkan kesetiaan atas bawah. Hal ini disebabkan
adanya pengaruh ajaran Neo-Konfusius dan Budha yang pada saat itu lebih
diterima daripada Shinto. Dimasa pemerintahan Tokugawa Ieyasu tercipta struktur
pengabdian seluruh masyarakat Jepang. Hal ini karena Tokugawa Ieyasu memilih
konfusionisme sebagai dasar filosofisnya untuk usaha menanamkan penghormatan
bawahan terhadap atasan. Namun pada periode Meiji, dengan kembalinya
keberadaan Shinto, maka ideologi negara berlandaskan kepercayaan Shinto. Kepercayaan Shinto mengajarkan kesetiaan kepada yang berkuasa, sehingga
menetralisasi (kemungkinan) sifat sombong seorang pejuang militer. Kepercayaan
Shinto menekankan kesetiaan dan kecintaan kepada Negara dan Tenno. Shinto
tidak mengenal ajaran dosa, tetapi lebih menekankan soal kehormatan dan harga
diri (Suryohadiprojo, 1982:49).
Selama periode Meiji, melalui doktrin Shinto disebarkanlah ideologi
militeristik yang mencakup ajaran – ajaran, keyakinan, dan teori, yang
menganjurkan atau membenarkan misi Jepang untuk memperluas kekuasaannya
atas bangsa – bangsa dan orang lain. Hal ini dilakukan dengan alasan bahwa
Kaisar Jepang lebih unggul dari kepala negara lain karena asal keturunannya yang
istimewa, juga menganggap bahwa pulau – pulau Jepang lebih unggul daripada
negeri lain karena sejarah asal mulanya yang istimewa. Tetapi pemikiran seperti
ini dihentikan melalui dikeluarkannya Instruksi Shinto (Shinto Shirei) atas
perintah SCAP (Supreme Commander Allians Powers) Amerika kepada
Pemerintah Jepang pada 15 Desember 1945 yang melarang propagasi dan
penyebaran ideologi militeristik dalam doktrin Shinto beserta filsafatnya.
2.3 Sejarah Shinto dan Karakteristik Shinto
Diantara beberapa agama yang dianut orang Jepang saat ini, Shinto adalah
agama Budha, Konfusianisme, Katolik, Protestan dan Islam yang masuk
kemudian (Danandjaja, 1997).
Sebagai agama tertua di Jepang, tentulah keberadaan Shinto memiliki sejarah yang panjang. Dan melalui sejarah panjang Shinto sehingga dapat melihat karakteristik Shinto tersebut. Bagaimana sejarah Shinto akan dibahas pada
sub-bab berikut.
2.3.1 Sejarah Shinto
Dalam Shinto, tidak ada yang disebut dengan kitab suci sebagaimana Alkitab pada Kristen dan Qur’an pada Islam. Tetapi ada catatan - catatan tentang
pengetahuan dan adat serta sejarah yang menuliskan riwayat dan latar belakang
kepercayaan Shinto. Buku – buku tersebut antara lain adalah:
- Kojiki, yaitu catatan rekaman tentang keadaan masa kuno. Inilah sebagai dasar penulisan sejarah Shinto.
- Shoku Nihongi dan Nihon Shoki ( sambungan dari rentetan sejarah Jepang). Cenderung berisi sistem struktur pemerintahan, kebijakan luar negeri, hirarki
agama, dan tatanan sosial luar negeri.
- Rikkokushi, yaitu sejarah enam negri, termasuk didalamnya Shoku Nihongi dan
Nihon Shoki
- Jinno Shotoki, yaitu pembelajaran tentang Shinto dan politik Jepang dan sejarahnya. Ditulis pada abad 14.
Shinto sudah berakar sejak jaman kuno bagi Jepang. Sejarah mencatat dalam Kojiki pada tahun 712 dan dalam Nihon Shoki pada tahun 720, tetapi para
keturunan Amaterasu Omikami yang diyakini sebagai dewa matahari. Dalam
Kojiki juga terdapat dongeng dan silsilah para dewa. Dalam catatan sejarah
tersebut dituliskan bahwa dewi matahari Amaterasu Omikami mengutus cucunya
yang bernama Ninigi no mikoto ke bumi Jepang untuk memerintah Jepang, dan
Jimmu Tenno adalah anak dari Ninigi no mikoto, menjadi kaisar pertama Jepang
dari klan Yamato. Ketika klan Yamato mulai berkuasa di Jepang pada abad 3 M,
klan ini tidak hanya berperan dalam pemerintahan tetapi juga berperan sebagai
pendeta yang menjalankan ritual – ritual keagamaan sehubungan dengan
pengakuannya sebagai titisan dewa matahari.
Pada masa Jimmu Tenno belum muncul istilah Shinto. Istilah Shinto baru
muncul dan dikenal luas dalam kehidupan masyarakat Jepang setelah masuk dan
diterimanya agama Budha dalam pemerintahan dan kehidupan masyarakat Jepang.
Untuk membedakan agama Budha dengan agama yang sudah dipercayai dan
dijalankan oleh rakyat Jepang maka dibuatlah istilah Shinto.
a. Periode Jomon
Pada akhir periode Jomon, pendatang baru dari benua lain menginvasi
Jepang wilayah barat, dengan membawa teknologi baru seperti pertanian beras.
Para pendatang baru hidup berdampingan dengan orang – orang Jomon untuk
beberapa waktu sehingga memberikan pengaruh. Maka budidaya baru dari Jomon
berkembang canggih seperti sawah pertanian dan kontrol pemerintah. Banyak
elemen lain dari budaya Jepang dari periode ini dan mencerminkan migrasi
bercampur dari benua Asia utara dan wilayah Pasifik Selatan. Di antara elemen
tersebut seperti mitologi Shinto, adat pernikahan, gaya arsitektur, teknologi tekstil,
b. Periode Yayoi
Budaya Jepang mulai berkembang karena pengaruh dari perdagangan
daratan dan imigrasi dari Cina. Selama masa ini, dalam sejarah zaman pra-tulisan,
benda – benda dari daratan Cina mulai muncul dalam jumlah besar, khususnya
cermin, pedang, dan perhiasan. Ketiganya memiliki kaitan langsung bagi status
ilahi kekaisaran karena benda – benda tersebut adalah simbol ketuhanan
kekaisaran dan benda kehormatan Shinto. Juga budaya padi mulai mekar di
seluruh Jepang dan ini menyebabkan perkampungan masyarakat serta
ketergantungan terhadap tanaman musiman. Kedua perubahan ini sangat
berpengaruh pada hubungan masyarakat Jepang dengan alam, dan memungkinkan
adanya pengembangan sistem agama yang lebih kompleks. Periode ini juga
dirujuk sebagai awal dari keilahian keluarga kekaisaran. Budaya Yayoi
merupakan budaya berbasis klan yang hidup secara tergabung dengan
pemimpinnya yang juga ditetapkan sebagai imam kepala. Para pemimpin klan
bertanggung jawab atas hubungan klannya dengan Kami. Perkembangan festival
panen Shinto adalah juga disebabkan periode ini sebagai persembahan untuk panen yang baik.
c. Periode Kofun
Periode ini merupakan periode perkembangan negara feodal, dan budaya
Yamato dan Izumo. Kedua budaya yang dominan ini memiliki sebuah kuil besar
dan merupakan pusat yang masih ada hingga sekarang ini, seperti Kuil Ise di
Barat daya dan Izumo Taisha di timur laut. Terdapat peningkatan pengaruh
budaya Cina yang mengubah jalannya struktur pemerintahan, struktur sosial,
aliansi politik dengan Yamato, dan pada abad ke 5 diterima sistem tulisan Cina
untuk mencatat nama – nama Jepang serta kegiatan perdagangan dan catatan
politik. Pada tahun 513 Paekche mengirimkan seorang sarjana Konfusius ke istana
untuk membantu pengajaran dalam pemikiran Konfusius. Kemudian patung
Budha diberikan kepada pemimpin Yamato sehingga hal ini sangat mengubah
jalannya sejarah agama Jepang, terutama dalam kaitannya dengan pencampuran
agama berkembang pribumi yaitu Shinto. Namun pada akhir abad ke 6, terjadi
gangguan hubungan antara Jepang dengan Paekche, pengaruhnya menyebabkan
penetapan Shinto sebagai agama asli sebagai upaya dalam menentang pengaruh luar yang ekstrim.
d. Periode Asuka
Secara khusus para penguasa Asuka dari tahun 552 – 645 melihat
perselisihan antara keluarga yang lebih besar dalam klan keluarga Shinto. Ada perselisihan tentang siapa yang akan naik ke kekuasaan dan mendukung keluarga
kekaisaran antara Soga dan Mononobe/ keluarga Nakatomi Shinto. Keluarga Soga
akhirnya menang dan didukung Ratu Suiko dan Pangeran Shotoku, yang
membantu pengaruh agama Budha ke Jepang. Namun, tidak sampai pada periode
kekuasaan Hakuho tahun 645 – 710, Shinto ditempatkan dalam keyakinan kekaisaran bersamaan dengan Klan Fujiwara dan reformasi yang mengikutinya.
e. Periode Hakuho
Dimulai dengan kaisar Temmu (672-686), terus berlanjut sampai Kaisar
tidak ada. Keluarga Nakatomi dibuat sebagai kepala pendeta Shinto istana dan imam – imam kepala di Ise Daijingu yang berlangsung hingga 1892. Juga praktik
pengiriman putri kekaisaran ke Kuil Ise dimulai. Hal ini menandai kebangkitan
Ise Daijingu sebagai kuil kekaisaran utama dalam sejarah. Karena meningkatnya
pengaruh dari Budha dan pemikiran daratan Asia, penyusunan sistem jalan religi
Jepang (The Japanese way of religion) dan hukum dimulai dengan sungguh – sungguh. Hal ini menghasilkan tiga hal, yakni: Kitab Undang – Undang Taiho
(701), Kojiki (712) dan Nihon Shoki (720).
Kitab Undang – Undang Taiho atau yang disebut juga Ritsuryō (律令)
merupakan upaya untuk menciptakan bentuk terhadap pengaruh luar dan
menstabilkan masyarakat melalui kekuasaan Kekaisaran. Hal ini merupakan
liturgi kekuasaan dan penyusunan sistem undang – undang, terutama difokuskan
pada peraturan agama, susunan pemerintahan, undang – undang pertanahan,
pidana dan hukum perdata. Semua imam, biarawan, dan biarawati harus terdaftar.
Ritual Shinto dari garis kekaisaran disusun secara sistematis, terutama siklus musiman, ritual kalender lunar, festival panen, dan upacara penyucian. Pembuatan
Jingi-kan kekaisaran atau kantor Kuil Shinto selesai pada masa ini.
f. Periode Nara
Periode ini mengalami banyak perubahan bagi negara, pemerintah, dan
agama. Pada masa ini ibukotanya pindah lagi ke Heijyokyo atau Nara tahun 710
oleh Ratu Gemmei karena kematian Kaisar. Praktek ini diperlukan karena bagi
kepercayaan Shinto, kematian termasuk hal kotor atau kecemaran sehingga perlu
untuk menghindari pencemaran ini. Namun, kegiatan pemindahan ibukota karena
naiknya pengaruh Budha. Pembentukan kota Kekaisaran dalam hubungannya
dengan Undang – Undang Taiho dianggap penting untuk Shinto sebagaimana
kantor ritual Shinto menjadi lebih kuat dalam asimilasi kuil klan lokal ke dalam pengawasan kekaisaran. Kuil baru dibangun dan berasimilasi setiap kali kota
tersebut akan dipindahkan. Semua kuil besar diatur dalam Taiho dan diharuskan
untuk memperhitungkan pendapatan, imam, dan praktek karena konstribusi
nasional. Selama masa ini, Buddhisme menjadi dibentuk secara tersusun di Jepang
oleh Kaisar Shomu (pemerintahan 723-749), dan melakukan beberapa proyek
bangunan besar. Kaisar menyusun rencana untuk Dainichi Budha (Great Sun Budha), di Todaiji dibantu oleh Pendeta Gyogi (atau Gyoki) Bosatsu. Pendeta
Gyogi pergi ke kuil Ise Daijingu atas restu untuk membangun Dainichi Budha.
Mereka mengidentifikasikan patung Viarocana dalam Budha dengan Amaterasu
(dewi matahari dalam Shinto) sebagai perwujudan lambang tertinggi semesta. Pada reformasi Taika (646 M), Shinto dijadikan agama negara dengan memasukkannya dalam satu departemen dalam pemerintahan yang disebut dengan
jingikan dan kuil Ise (Ise Jingu) dijadikan kuil utama untuk menjalankan ritual dan perayaan Shinto secara nasional. Pada abad 7-8 M, sementara ajaran Budha
dan Konfusianisme mendominasi Jepang, Shinto menjadi agama masyarakat. (PDF:shintobagibangsajepang:478)
Memasuki zaman Meiji (1868-1912) ketika pemerintahan yang dari tangan
shogun kembali kepada Kaisar, Shinto kembali mendapat perhatian oleh pemerintah. Pada zaman ini didirikan Kokugakuin university yakni tempat para
Setelah Jepang kalah dalam perang dunia dua dan diubahnya undang –
undang dasar negara Jepang tahun 1947, Shinto tidak lagi dijadikan sebagai
agama negara. Sejak saat itu setiap warga negara Jepang memiliki kebebasan
dalam memillih agama dan menjalankan ritual keagamaan.
- bangunan permanen kuil shinto diperkirakan adalah hasil pengaruh agama
Budha yang selalu memiliki bangunan untuk menyimpan patung Buddha.
2.3.2 Ryoubu Shinto
Dalam Canter (2011:33) menuliskan :
“It should be noted that the syncretism resulted in a form of Buddhism that is totally unique to Japan. The uniqueness of the Japanese Buddhism came from the adapting Shintō rites. Even though a Japanese Buddhist can relate to another countries’ Buddhism, the Japanese Buddhism has become “something different from every other form of the faith in Asia.”91 The resulting syncretism is called 神 仏 習 合, Shinbutsu Shūgō (神仏混淆, Shinbutsu Konkō) “mixture of Buddhism
and Shintō” or 両部神道, Ryōbu Shintō (両部習合神道, Ryōbu Shūgō
Shintō) “two-sided Shintō.”
Menurut kutipan di atas, dikatakan bahwa Ryōbu Shintō merupakan hasil dari perpaduan paham (sinkretisme) Buddhisme dengan Shintō. Buddhisme masuk dan diterima di Jepang tanpa menggantikan keberadaan kepercayaan asli
Jepang yaitu Shintō, melainkan beradaptasi dengan kepercayaan rakyat Jepang. Adanya adaptasi upacara Shintō ke dalam Buddhisme menjadikan Buddhisme Jepang memiliki keunikan dan sedikit perbedaan dengan Buddhisme di daerah
lain di Asia. Hasil perpaduan agama melembaga seperti Buddhisme dengan Shinto
itulah disebut Ryōbu Shintō atau dapat dipahami seperti Shintō yang memiliki 2 sisi.
Menurut Danandjaja (1997:165), karakteristik orientasi agama orang
Jepang tidak menganggap agama sebagai sesuatu yang eksklusif. Sikap ini
mempunyai beberapa arti, yaitu:
- Seorang Jepang yang sama akan menyembah dewa – dewa dari agama yang berbeda tanpa perasaan yang bertentangan. Misalnya orang Jepang akan
bersembahyang di altar agama Budha yang ada di rumahnya pada pagi hari,
dan pada sorenya akan pergi bersembahyang ke tempat pemujaan Shinto;
- Ada tempat pemujaan yang menyemayamkan patung – patung dewa dari berbagai agama yang berbeda. Contohnya di Jepang ada klenteng Budha di
dalam kompleks pemujaan Shinto dan demikian sebaliknya;
- Konsep religi orang Jepang mengenai seorang dewa dapat mencakup unsur – unsur yang berasal dari agama – agama berbeda;
- Seorang pendeta dari suatu agama boleh memimpin upacara keagamaan dari agama lain.
Terdapat perbedaan yang tidak jelas diantara agama Budha dan Shinto. Tetapi bagi penduduk Jepang, kebanyakan perbedaan – perbedan itu tidak penting,
sehingga mereka tidak terlalu peduli. Jika mereka mengetahuinya, hal itu adalah
berkat upaya pemerintahan Meiji untuk membedakannya dan berusaha
memisahkan dua agama itu dalam usahanya untuk membuat Shintoisme menjadi
agama negara, dengan menjadikan Kaisar sebagai pendeta tertingginya. Namun
pemisahan tersebut tidak pernah tuntas di dalam pemikiran rakyat, sehingga unsur
– unsur dari penyatuan Shinto-Buddhis masih tampak hingga kini. Kendati demikian, pemisahan secara organisasi jelas ada diantara kedua agama tersebut
jika dipandang dari sudut struktur serta peraturan kelompok kependetaan
Pada reformasi Taika 646 M, agama Budha dan Konfusianisme yang
diterima melalui China dijalankan secara berdampingan dengan Shinto . Dalam
kehidupan masyarakat Jepang pada zaman Heian (794-1185), Shinto dan Budha tumbuh berdampingan dan ritual keagamaannya dijalankan sekaligus keduanya
oleh rakyat Jepang. Tidak ada pertentangan antara Shinto dan Budha karena
dianggap dewa – dewa yang dipuja dalam Shinto terutama dewa matahari juga penjelmaan dari Budha. Ryobu Shinto tidak berarti penyatuan dari agama
melainkan melaksanakan peran masing – masing dalam kehidupan, contohnya
dalam hal pemujaan kepada kami adalah tanggung jawab pendeta Shinto
sementara penyelenggaraan ritual kematian adalah tanggung jawab pendeta Budha.
Dapat dikatakan hal ini semacam pembagian tugas.
Semasa pemerintahan Ashikaga (1333-1568) agama Shinto terlupakan,
demikian juga ketika zaman Tokugawa (1615-1868). Pada dua zaman tersebut
agama Budha lebih mendapat tempat dalam pemerintahan .
Untuk memahami perpaduan Buddhisme dan Shintoisme, perlu diketahui
sekte – sekte yang muncul dan berpadu ke dalam Shintoisme. Terdapat 6 sekte
Buddhisme yang dinamai Nantorokushu untuk mencegah Konfusion dengan sekte
– sekte yang muncul di Kyoto dan Kamakura. Dua dari sekte tersebut adalah
Tendai dan Shingon, muncul selama periode Heian. Buddha meluas dengan baik oleh sekte Tendai dan Shingon. Sekte Shingondatang ke Jepang oleh Kōbō Daishi
(774-835) atau dikenal dengan nama Kūkai, seorang Jepang yang belajar
Buddhisme di Cina dan tertarik pada doktrin sekte mistik Mikkyo yang disebut
Perpaduan paham antara Buddhisme dan Shintoisme berkaitan erat dengan
Kōbō Daishi. Ajaran Shingon Kōbō Daishi meyakini bahwa dewa-dewa Shintō
adalah perwujudan duniawi dari dewa – dewa Buddha. Kepada merekalah
Amaterasu merupakan penjelmaan duniawi dari Vairochana atau dalam bahasa Jepang disebut Biroshana (nama dari cahaya Buddha Mahayana). Daishi
mengokohkan pemikiran yang telah ada dengan memadukan identitas dari
banyak dewa – dewa Shintō dengan Buddhisme,
Perpaduan teologi ini memiliki hubungan dengan politik, juga telah
berperan dalam pertumbuhan Buddhisme dan perlindungan kerajaan untuk waktu
yang lama. Ayat – ayat Buddha dibacakan di istana kekaisaran dan kepada orang
– orang di bawah pimpinan pemerintah. Surat keputusan Kekaisaran mengatur
urusan - urusan Buddha dan festival – festival Budda menjadi upacara negara.
Ritual – ritual Buddha dilakukan di Kuil – kuil Shintō. Sampai 1868, Ryōbu
Shintō mendominasi semua bentuk – bentuk ritual Shintō.
Setelah masuknya kebudayaan dari Cina, kepercayaan dan praktek –
praktek Konfusius, Tao dan Budha berlangsung sepanjang waktu dan bercampur
dengan Shinto. Hubungan ini sangat jelas terutama antara Budha dan Shinto.
Dalam hal yang lebih khusus bahwa peranan Shinto kami dalam sistem kosmologi Budha. Pada satu sisi dalam sejarah, kami dianggap sebagai sang Budha, di sisi lain kami dianggap semangat yang dibutuhkan dalam pencerahan. Sebuah contoh
kekeliruan yang terlihat dalam praktek di dalam kuil Budha dan kuil Shinto yang
dikutip dari sebuah hasil penelitian.
procedure. Subsequently, when they arrived at the Buddhist temple, the two clapped before praying – Shinto style.” (Shaw, 2005:5)
Dari kutipan tersebut diatas, dapat dilihat bahwa ketika berada di kuil
Shinto, pendatang tidak menepuk tangan dua kali dan membunyikan bel sebagaimana kebiasaan formal Shinto dalam tata tertib “memanggil kami”, tetapi menundukkan kepala mereka dengan sungguh – sungguh dalam berdoa yang
mana merupakan prosedur standard Budha. Kemudian ketika berada di kuil Budha,
pendatang menepuk tangan sebelum berdoa, yang merupakan gaya Shinto.
Contoh seperti ini adalah satu dari banyak contoh yang dapat menunjukkan bahwa
bahkan dalam praktek sehari – hari, batas defenisi antara Shinto dan Budha sangat tidak jelas.
2.3.3 Shinto Dalam Masyarakat Jepang
Masyarakat Jepang percaya bahwa meyakini keberadaan kami dan
melakukan upacara persembahan kepada kami akan mendapatkan perlindungan dari kami tersebut dan akan terbebas dari bencana dan ketidakberuntungan. Sehingga banyak sekali kami yang disembah berkaitan dengan alam seperti dewa
matahari, dewa pohon, dewa air dan lain sebagainya. Kuil tempat beribadah para
penganut Shinto adalah jinja yang tersebar di seluruh negera Jepang. Selain di
jinja, ritual penyembahan dewa dan arwah leluhur dapat dilakukan di rumah. Tiap – tiap keluarga di dalam rumahnya terdapat kamidana yaitu semacam miniatur
jinja
sebagian besar masyarakat Jepang. Diantara ritual atau upacara Shinto tersebut antara lain:
1. Ritual yang berkaitan dengan kehidupan individu (tsukagirei)
Dalam perjalanan kehidupan orang Jepang akan menjalani ritual – ritual
keagamaan yang terkait dengan Shinto. Diawali pada saat berumur lima bulam
dalam kandungan ibunya, diadakan upacara yang disebut obi iwai. Ssetelah bayi lahir sebagai anggota baru dalam keluarga maka ketika bayi berumur tujuh hari
diadakan upacara yang disebut dengan oshichiya. Kemudian ketika bayi dibawa ke jinja untuk pertama kali pada umur 32 hari bagi bayi laki – laki dan umur 33 hari bagi bayi perempuan untuk mengikuti upacara yang disebut dengan
hatsumiyamairi. Setelah anak berumur 3, 5 atau 7 tahun maka dibawa ke jinja
pada setiap tanggal 15November untuk mengikuti perayaan sichigosan, untuk
didoakan agar mendapatkan perlindungan dari dewa. Ketika anak beranjak
dewasa dan berumur 20 tahun maka diadakan upacara seijinshiki yang dilaksanakan serentak di seluruh Jepang. Dan bila sudah mendapatkan jodoh maka
diadakan upacara pernikahan yang disebut kekkon shiki. Kemudian pada usia tua diadakan acara syukuran bagi usia lanjut yang disebut dengan toshi iwai. Toshi
iwai ini dilakukan pada usia – usia tertentu yakni pada usia 61 tahun disebut 還暦
(kanrek), kemudian usia 70 tahun disebut 古暦 (koreki), kemudian upacara untuk
usia 77 tahun disebut 喜寿 (kiju), untuk usia 80 tahun disebut傘寿 (sanju), dan
untuk usia 88 tahun disebut 米寿 (beiju), kemudian acara untuk usia 90 tahun
disebut 卒寿 (sotsuju), dan terakhir adalah acara untuk yang berusia 99 tahun
hidup. Setelah meninggal dunia diadakan upacara bagi keselamatan arwah yang
disebut nenkihoyo.
2. Ritual yang dilakukan pada saat mengharapkan sesuatu (ninigirei).
Bila seseorang menginginkan sesuatu seperti ingin lulus ujian, mendapatkan
jodoh, mendapatkan pekerjaan yang baik dan lain sebagainya, maka individu
tersebut akan mengunjungi jinja untuk memohon kepada kami agar keinginan – keinginan mereka terkabul.
3. Ritual yang dilaksanakan sepanjang tahun disebut (nenchuu gyouji)
Dalam kalender Shinto banyak sekali festival atau matsuri yang diselenggarakan setiap tahunnya. Menurut Danandjaja dalam Folklore Jepang
(1997:300), matsuri merupakan folklore Jepang asli yang berhubungan dengan agama Shinto, yang dilakukan pada tanggal – tanggal tertentu. Sedangkan nenchu
gyouji termasuk festival berskala lebih besar yang dilakukan setiap tahun dan berhubungan dengan musim. Masing – masing daerah mempunyai tradisi matsuri
yang berbeda selain dari matsuri yang lazim diselenggarakan di seluruh Jepang.
Matsuri yang umum diselenggarakan oleh seluruh masyarakat Jepang diantaranya
adalah Obon matsuri, bonenkai, hatsumode dan lain sebagainya. Festival ini diselenggarakan dalam rangka menyembah dan melayanai kami.
4. Kegiatan yang berhubungan dengan keindahan atau estetika
Bagi masyarakat Jepang, keindahan yang berhubungan dengan alam
dianggap sebagai lambang hubungan manusia dengan kami yang tercermin dalam penataan taman, seni merangkai bunga atau ikebana, bentuk tatami (tikar Jepang),
5. Olahraga dan kesenian tradisional
Masyarakat Jepang juga melakukan pemujaan dan persembahan kepada
dewa dalam bentuk olahraga dan kesenian seperti sumo, aikido, yabusame
(melempar panah di atas kuda) dan bugaku (tarian dan nyanyian).
6. Penyembahan arwah leluhur (sosen suhai)
Dalam Shinto, selain menyembah kami juga menyembah arwah leluhur yang disebut dengan sosen suhai. Ritual penyembahan arwah leluhur
dilaksanakan oleh masing – masing keluarga yang tergabung dalam kelompoknya
yang disebut Ie. Tiap – tiap keluarga bertanggung jawab memelihara dan menjaga makam keluarganya dan secara rutin melakukan pemujaan sesuai dengan ajaran
Shinto.
Dari berbagai ritual tersebut di atas, maka dapat dilihat bagaimana
keberadaan Shinto begitu melekat dalam kehidupan masyarakat Jepang, baik dalam kehidupan individu Jepang maupun dalam festival atau pesta rakyat yang
biasa dilakukan oleh seluruh rakyat Jepang hingga kini.
2.3.4 Shinto Melembaga
Hori Ichiro (1968) dalam Situmorang (2009:41) mengatakan bahwa agama
– agama rakyat Jepang sebagai Folk Belief adalah kepercayaan yang sudah ada sebelum agama – agama melembaga masuk ke Jepang. Agama – agama rakyat
yang belum melembaga yang ada di Jepang primitif tersebut adalah agama Proto
Shinto. Kemudian berdasarkan agama rakyat tersebut agama – agama yang melembaga yang datang ke Jepang di serap. Agama – agama yang melembaga
Menurut Befu dalam Danandjaja (1997:166), Shintoisme pada umumnya
dapat dibagi menjadi tiga sistem kepercayaan yang berbeda, yakni (1) Shinto
Rakyat (Folk Shinto) yang juga disebut sebagai Shinto petani pedesaan atau
Minzoku Shinto (民俗 神道); (2) Shinto Negara atau Shinto Nasional; (3) Shinto
Sekte atau (宗派神道).
(1) Shinto Rakyat atau Minzoku Shinto (民俗 神道)
Minzoku Shinto (民俗 神道) meliputi banyak kepercayaan rakyat pada
dewa – dewa dan roh – roh. Shinto Rakyat adalah kepercayaan shinto yang dilakukan tanpa adanya sistem dan tanpa adanya seorang pendeta yang melakukan
ritual. Hal ini dipisahkan dari sistem kuil – kuil Shinto yang ada. Shinto Rakyat
sudah ada sejak zaman Yayoi. Ritual dalam Shinto Rakyat biasanya dilakukan di
kuil yang sederhana yang disebut mukakusho dan biasanya untuk menyembah
dewa pelindung (ujigami). Perayaan – perayaan kuil biasanya hanya dilakukan oleh penduduk sekitar yang diorganisir dalam suatu wadah kuil yang disebut
miyaza. Dalam Shinto Rakyat biasanya dilakukan festival – festival sepanjang tahun, misalnya festival tahun baru, festival musim dan lain – lain.
(2) Shinto Negara atau Kokka Shinto (国家神道)
Istilah Shinto Negara muncul setelah tahun 1945, yaitu pada saat acara ritual dimasukkan dalam lembaga pemerintahan, yang disebut dengan “politik
nasional”. Dalam komentar Dr. Genchi Kato, dikatakan antara lain bahwa dalam
hubungan Kokka Shinto, sebagai upacara nasional dan ajaran moralitas Jepang,
dapat dipisahkan antara kepercayaan keagamaan dengan upacara kenegaraan
dalam jinja itu.
(3) Shinto Sekte atau Shuha Shinto (宗派 神道)
Shuha Shinto adalah sebutan hukum yang awalnya diciptakan pada tahun
1890 untuk memisahkan tempat suci milik pemerintah dari praktek agama
setempat. Mereka tidak memiliki kuil, tetapi melakukan kegiatan keagamaan di
aula atau balai pertemuan. Shinto Sekte diklasifikasikan lagi menjadi dua bagian,
yaitu: Sekte Shinto dan Sekte Shinto Baru. Sekte Shinto dimulai dari tahun 1868 dam sete;aj 1882 ketika kuil Shinto terpisah dari ajaran agama lainnya. Setiap
Sekte mempunyai para pendiri dan doktrin sendiri. Sedangkan Sekte Shinto Baru (Shin Kyoha Shinto) berawal sejak berakhirnya Shinto Negara. Setelah pemerintah melepas urusan agama dari pemerintah, banyak bermunculan sekte – sekte baru
yang mengubah dan mengembangkan sendiri Shinto yang sudah ada. Ada sekitar 128 sekte yang muncul pada saat itu.
Dengan adanya hubungan yang dilakukan Jepang dengan daratan Cina
pada permulaan abad Masehi, mendatangkan pula pengaruh kebudayaan Cina
bagi Jepang, terutama dibidang keagamaan. Pada sekitar abad 3 Masehi, agama
Budha mulai masuk ke Jepang. Sejak itu menyusul pula lah agama – agama
melembaga yang lainnya seperti Konfusionis, Kristen dan sebagainya. Masuknya
agama – agama melembaga di Jepang kemudian diserap oleh agama rakyat.
Terutama Budha yang kemudian bersinkretisme dengan Shinto.
Sebelum masuknya Budha di Jepang, ritual – ritual yang menyangkut
Walaupun masing – masing klan memiliki seperangkat ritual mereka sendiri,
tetapi ada perbedaan yang besar antar ritual masing – masing klan. Sistem baru
Buddhisme memiliki daya tarik yang tinggi bagi Shinto.
Sinkretisme dihasilkan dalam sebuah bentuk dari Buddhisme yang benar –
benar unik bagi Jepang. Keunikan Buddhisme Jepang berasal dari mengadaptasi
upacara – upacara Shinto. Hasil dari sinkretisme itu disebut神仏習合Shinbutsu Shūgō (神仏混淆Shinbutsu Konkō) “campuran Buddhisme dan Shinto“ atau両部
神道Ryōbu Shinto (両部習合神道Ryōbu Shūgō Shintō) “Shinto dua sisi”.
Lebih dari 300 tahun setelah perpaduan Buddhisme dan Shinto, tidak ada perubahan besar dalam religi Jepang. Meskipun demikian pada abad 12 dan 13
ada beberapa sekte yang diperkenalkan. Beberapa yang dikenal dari sekte Buddha
Jepang adalah Jōdo, Zen dan Nichiren.
Jodo adalah sebutan Jepang dari Amida Buddhisme. Amida adalah “sang Buddha dari sinar abadi” atau Amitayus “kehidupan kekal”, dan disebut menjadi bagian dari Buddha Gautama. Amida ( Buddha Gautama) diyakini telah
menyucikan tanah untuk surga yang disebut “Bumi yang Murni” atau Nirvana, inilah upah bagi manusia yang telah melakukan perbuatan baik. Shinto berpadu
dengan kepercayaan Buddha Amida membentuk kata bahasa Jepang 浄土Jōdo, Bumi Murni atau tanah Murni Buddhisme. Sekte ini didirikan oleh biarawan
Genku (1132-1212, dengan nama anumerta Hōnen Shōnin).
Sekta yang lainnya adalah Zen. Sekte ini diperkenalkan ke Jepang oleh
biarawan Myoan Eisai yang telah mempelajari Buddhisme di Cina. Zen tidak
dengan bushido dari samurai dan sangat populer dikalangan prajurit. Tidak seperti
Amida, Zen menekankan keselamatan dalam diri manusia itu sendiri dan
kemurnian seseorang daripada dewa.
Sekte yang ketiga adalah Nichiren (日蓮), “Teratai Matahari”, didirikan
oleh Risshō Daishi (1222-1282, dengan nama anumerta Nichiren Shōnin) pada
abad 13. Risshō Daishi mendirikan sekte ini dilandaskan pada doktrin Lotus Sūtra.
Nichiren seperti halnya Zen, tidak memberikan perubahan pada mitologi Shinto.
Nichiren merupakan sekte Buddha modern yang terakhir dibentuk ke dalam Jepang. Masih ada sekte – sekte lain yang muncul setelah itu tetapi merupakan