• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena pergantian sistem pemerintahan yang terbilang singkat. Tokoh-tokoh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena pergantian sistem pemerintahan yang terbilang singkat. Tokoh-tokoh"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang

Pada awal abad 20, situasi politik Indonesia mengalami jatuh bangun karena pergantian sistem pemerintahan yang terbilang singkat. Tokoh-tokoh intelektual dan kenegaraan berupaya mendirikan serta mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan setelah Jepang menyerah pada Sekutu tanggal 14 Agustus 1945.

Kemajuan bangsa Indonesia yang baru lahir tak luput dari berbagai pertimbangan kenegaraan yang masih menjadi perdebatan di antara para elite politik. Muncul sebagai tonggak baru dalam sejarah Indonesia, para intelektual bekerja untuk menyempurnakan bangsa yang baru berdaulat. Mereka yang mendirikan dan membangun bangsa dikategorikan menjadi dua yaitu

administrator (ahli pemerintahan) dan solidarity maker (pemimpin massa). Administrator adalah mereka yang memiliki kemampuan hukum, teknis

pemerintahan, dan kecakapan bahasa asing. Solidarity maker adalah mereka yang memiliki kemampuan untuk menghimpun dan membakar gelora massa.1

Indonesia memiliki banyak administrator dan solidarity maker ulung dari beragam kalangan. Berbagai pemikiran serta sumbangsih dari berbagai suku,

1

Tempo Majalah, Edisi 13-19 Agustus tahun 2007, “Menimbang Demokrasi Liberal”, hlm. 27.

(2)

kaum nasionalis, etnis peranakan berjiwa keindonesiaan terhadap perjuangan kebangsaan menjadi satu. Hal tersebut terwujud dalam berbagai bidang, baik sosial, ekonomi, budaya maupun politik. Peran yang juga mengisi garis perjuangan bangsa Indonesia salah satunya digelorakan oleh etnis Tionghoa.

Perjalanan sosial politik etnis Tionghoa di Indonesia mengalami berbagai perubahan pola dan gerak serta tidak bisa dipisahkan dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Nasionalisme etnis Tionghoa di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh nasionalisme dan modernisasi yang tumbuh di Tiongkok sejak akhir abad ke-19. Terdapat tiga macam orientasi nasionalisme etnis Tionghoa di Indonesia, pertama nasionalisme yang berorientasi pada Tiongkok, dalam hal ini diwakili oleh Tiong Hoa Hwee Koan (THHK). Kedua, kelompok intelektual berpendidikan Belanda yang berorientasi kepada pemerintah Hindia Belanda. Kelompok ini diwakili oleh Chung Hua Hui (CHH). Ketiga, golongan nasionalis etnis Tionghoa yang berorientasi pada Indonesia. Kelompok ini diwakili oleh Partai Tionghoa Indonesia (PTI).2

Pada tahun 1932 didirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang secara langsung berseberangan dengan nasionalisme Tiongkok dan Belanda sekaligus menunjukkan sikap tegas dukungan terhadap Indonesia. PTI meminta masyarakat Tionghoa Hindia Belanda untuk mengidentifikasikan diri mereka sebagai masyarakat Indonesia dan menyetujui upaya kalangan nasionalis Indonesia dalam

2

Leo Suryadinata, Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900 -

(3)

membentuk sebuah pemerintahan sendiri dan akhirnya Indonesia yang merdeka melalui cara-cara konstitusional.

Aktivitas PTI menunjukkan bahwa etnis Tionghoa peranakan memiliki keberpihakan politik dan ekonomi terhadap Indonesia. PTI telah mengidentifikasikan diri sebagai warga negara Indonesia dan memiliki kepedulian yang tinggi untuk berjuang dalam upaya mencapai kemerdekaan Indonesia. Melalui PTI, etnis Tionghoa mulai terlibat dalam dunia pergerakan nasional Indonesia. Salah satu nama Tionghoa yang menyita perhatian adalah Yap Tjwan Bing, yang ikut meramaikan dunia politik Indonesia.

Yap Tjwan Bing lahir di Solo tanggal 31 Oktober 1910. Ia seorang Tionghoa yang akrab dengan permasalahan yang terjadi antara etnis Tionghoa dan masyarakat setempat yang kerap dipicu oleh permasalahan sosial ekonomi. Meski demikian, sebagai pihak minoritas, kondisi tersebut tidak mengurangi simpatinya pada perjuangan bangsa Indonesia. 3

Semasa hendak melanjutkan pendidikan ke HBS, Yap Tjwan Bing merasakan diskriminasi penjajah terhadap masyarakat terjajah, baik itu golongan pribumi maupun Tionghoa. Saat menginjak usia mudanya, Yap Tjwan Bing dan keluarganya senantiasa bergaul tanpa membeda-bedakan diri di tengah masyarakat. Dari sini kedekatan emosional dan keterikatan rasa nasionalisme terhadap tanah air semakin dalam.

3

Junus, H Yahya, Peranakan Idealis: Dari Lie Hok Sampai Teguh Karya, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2002), hlm. 85-92.

(4)

Semenjak muda, Yap Tjwan Bing memiliki pandangan yang tegas terhadap penjajahan, dan di usia 18 tahun, Yap telah menaruh simpati terhadap perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia yang dipimpin oleh Soekarno-Hatta.

Aktivitas di bidang sosial kemasyarakatan mendekatkan Yap kepada berbagai tokoh nasional Indonesia seperti Ir. Soekarno, Moh. Hatta dan Mr. Sartono. Saat sedang menempuh masa pendidikan di Belanda, Yap bergabung dengan Mr. Sartono, dan mengawali gerakan politiknya di Indonesia.4 Yap Tjwan Bing juga menjadi satu dari perwakilan Tionghoa dalam perumusan Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila di PPKI, kemudian duduk sebagai anggota KNIP serta DPR-RIS. 5

Terbukanya kesempatan berbagai kalangan untuk berpolitik dimaksimalkan oleh Yap untuk berkarya dengan Partai Nasional Indonesia (PNI). Ketertarikannya pada PNI berdasarkan asas yang dibawa oleh Ir Soekarno, yakni partai yang berorientasi pada kepentingan rakyat (marhaen) dan rasa kebangsaan (nasionalisme). Sepak terjangnya inilah yang kemudian menjadikan Yap Tjwan Bing sebagai pengurus inti dari PNI.6

Di luar kegiatan politik, Yap Tjwan Bing memiliki aktivitas dibidang kesehatan masyarakat khususnya farmasi. Meskipun berlatar belakang keluarga pedagang, Yap Tjwan Bing sempat meneruskan pendidikannya ke negeri Belanda guna memperdalam jurusan apoteker (farmasi).

4

Ibid.

5

Sinar Baroe tanggal 22 Agustus 1945, Koleksi Monumen Pers Solo.

6 Corant Deli tanggal 25 Mei 1951, Koleksi Perpustakaan Nasional

(5)

Setelah lulus sebagai sarjana farmasi dari Universitas Amsterdam pada 1939, Yap mendirikan apotek di Bandung dan aktif dalam gerakan kemerdekaan Indonesia. Kemampuan Yap dipergunakan untuk menunjang pertumbuhan dunia farmasi di Indonesia dan turut membangun tempat pendidikan berbasis kesehatan masyarakat. Yap Tjwan Bing seringkali dipercaya menjadi rujukan farmasi pada masa kemerdekaan.7

Di akhir tahun 1949, masalah kewarganegaraan etnis Tionghoa belum juga tuntas. Pada masa itu, secara garis besar ada dua konsep berbeda yang muncul dari kalangan masyarakat terkait penyelesaian masalah etnis Tionghoa di Indonesia. Kedua konsep itu dipandang sebagai solusi jitu bagi penyelesaian masalah tersebut oleh masing-masing kubu pendukungnya. Kedua konsep itu adalah asimilasi dan integrasi.

Konsep asimilasi, adalah penyatuan antara dua etnis dengan menghilangkan seluruh identitas kultural dari salah satu etnis. Dalam konteks masalah Tionghoa, etnis Tionghoa diharuskan menghilangkan seluruh identitas ke-Tionghoaan-nya untuk kemudian bergabung dengan kebudayaan mayoritas rakyat Indonesia yang dianggap kebudayaan “asli” Indonesia. Untuk konsep integrasi mengandung arti persatuan antara etnis Tionghoa dan etnis lainnya di Indonesia tanpa menegaskan kebudayaan masing-masing etnis. Hal ini sesuai dengan moto Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi tetap bersatu dalam naungan negara Republik Indonesia.

7

De Preangerbode tanggal 21 Mei 1957, Koleksi Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY.

(6)

Permasalahan yang dihadapi etnis Tionghoa terkait status sosial dan ekonomi selalu mengalami pasang surut. Meskipun banyak kalangan dari etnis Tionghoa yang berperan dalam kehidupan bermasyarakat, gesekan horizontal masih sering terjadi. Penyebabnya tidak lain adalah masih panasnya kedudukan masyarakat pribumi dan Tionghoa. Salah satu hal yang mewarnai konflik tersebut adalah adanya kebijakan di mana golongan Tionghoa harus mengganti nama mereka menjadi nama bumiputera. Hal ini bagi Yap Tjwan Bing tidak perlu dilaksanakan karena baginya kewarganegaraan dan nasionalisme tak dapat diukur dari sebuah nama.

Nasionalisme dan kecintaan Yap Tjwan Bing terhadap tanah air harus dibayar mahal setelah menjadi korban dalam kerusuhan rasial 10 Mei 1963 di Bandung. Meski demikian, pemikiran Yap Tjwap Bing tentang kemerdekaan Indonesia tetap mendasar, bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia harus dilakukan oleh semua golongan masyarakat yang mendiami wilayah kepulauan Indonesia. Melihat berbagai aktivitas sosial politiknya di atas, maka wacana tentang rekam jejak Yap Tjwan Bing dan etnis Tionghoa dalam perjalanan sejarah Indonesia menarik untuk diteliti lebih mendalam.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

(7)

2. Bagaimana aktivitas sosial politik Yap Tjwan Bing dari tahun 1945-1955?

3. Bagaimana akhir perjalanan sosial politik Yap Tjwan Bing dari tahun 1955-1963?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian yang berjudul Aktivitas Sosial Politik Yap Tjwan Bing 1932-1963 adalah:

1. Untuk mengetahui kondisi sosial politik di Indonesia tahun 1932-1945.

2. Untuk mengetahui aktivitas sosial politik Yap Tjwan Bing 1945-1955. 3. Untuk mengetahui akhir perjalanan sosial politik Yap Tjwan Bing

1955-1963.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian yang dapat diambil dari penelitian ini antara lain:

1. Menjadi bahan informasi mengenai kehidupan Yap Tjwan Bing dan aktivitasnya dalam bidang sosial dan politik.

2. Menjadi bahan kajian bagi peneliti lain terhadap segala bentuk aktivitas pergerakan, politik, dan sosial.

(8)

3. Diharapkan penelitian ini dapat menambah referensi historiografi sosial politik dan pergerakan.

E. Tinjauan Pustaka

Dalam penelitian ini digunakan beberapa literatur yang relevan dengan tema penelitian. Buku berjudul Drs. Yap Tjwan Bing: Pelopor Pembauran (1986) menjadi rujukan penulis. Buku tulisan Darto Harnoko menggambarkan Yap Tjwan Bing di mata kawan-kawan seperjuangannya. Perjalanan hidup Yap yang ditulis dari sudut pandang orang-orang terdekatnya menjadi pantas dijadikan referensi guna mempelajari karakter Yap di mata kawan-kawannya.

Referensi penting lain adalah buku yang berjudul Meretas Jalan

Kemerdekaan: Otobiografi Seorang Pejuang Kemerdekaan (1988). Buku yang

ditulis sendiri oleh Yap Tjwan Bing ini menjadi penting karena dari sini penulis dapat melihat sepak terjang kegiatan Yap. Meski ditulis secara subyektif oleh Yap sendiri, tapi buku ini tetap menjadi referensi yang relevan bagi penulis. Buku ini banyak mengulas masa studi Yap di Indonesia dan Belanda, kegiatannya malang-melintang di ranah politik, beberapa aktivitas olahraga, sosial, pendidikan dan keagamaan menghiasai halaman buku dalam menjelaskan orang seperti apa Yap Tjwan Bing. Penjelasan singkat mengenai peristiwa 10 Mei 1963 serta kepindahannya ke Amerika Serikat dihadirkan buku ini, termasuk didalamnya beberapa kegiatan yang ia lakukan setelah menetap di Amerika Serikat.

(9)

Buku lainnya ada Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900 –

2002 (2002) oleh Leo Suryadinata. Leo adalah sejarawan dan penulis yang konsen

pada isu-isu mengenai etnis Tionghoa, bukan hanya di Indonesia tapi juga Singapura dan Malaysia. Dalam bukunya kali ini, ia mengulas etnis Tionghoa Indonesia mulai dari surat kabar Tionghoa, krisis identitas hingga peran dan sumbangsih etnis Tionghoa dalam pergerakan nasional. Tak lupa kondisi dan situasi yang dialami etnis Tionghoa pada masa orde baru dengan segala kebijakan tentang Tionghoa.

Buku Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia (2010) karya Leo Suryadinata, menjadi satu referensi yang juga mendukung informasi mengenai kehidupan masyarakat Tionghoa di Indonesia. Tulisan ini mengacu pada pergulatan politik masyarakat Tionghoa terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia serta pembuktian nasionalisme yang mereka bawa. Buku ini menempatkan beberapa tokoh Tionghoa dalam pembahasannya, di mana Yap Tjwan Bing masuk di dalam daftar. Tulisan Leo menjabarkan perjuangan dan peran orang-orang Tionghoa dalam mencapai kemerdekaan.

Benny G. Setiono dalam bukunya Tionghoa Dalam Pusaran Politik

Indonesia (2008) menjadi referensi dalam penelitian. Buku ini menjelaskan

panjang lebar mulai dari kedatangan bangsa Tionghoa ke Nusantara, kehidupan mereka di abad 16 hingga 20 di mana banyak kerusuhan rasial yang menargetkan keturunan Tionghoa, hingga masa orde baru di mana keberadaan masyarakat Tionghoa kembali di kekang. Penjelasan ini menjadi penting, karena dalam buku

(10)

juga diulas mengenai bengkitnya rasa nasionalisme dalam diri masyarakat keturunan Tionghoa hingga upaya untuk membantu pemerintahan. Hal ini menjadi penting untuk melihat perkembangan politik dan pergerakan nasional yang dilakukan oleh masyarakat keturunan Tionghoa.

Peranakan Idealis: Dari Lie Hok Sampai Teguh Karya (2002) tulisan

Junus H Yahya yang menampilkan 25 tokoh keturunan Tionghoa yang berperan dalam pembangunan bangsa, baik dari segi profesi maupun kehidupan sehari-hari. Yap Tjwan Bing termasuk dalam deretan tokoh tersebut sehingga buku ini layak untuk dijadikan referensi bagi penelitian. Buku yang berisi biografi singkat ini menampilkan sosok-sosok keturunan Tionghoa yang berjiwa idealis dan berjuang bagi Indonesia melalui berbagai jalan.

Buku dari Abdul Baqir Zein yang berjudul Etnis Cina dalam Pembauran

di Indonesia (2000) banyak membantu penulis dalam memahami kedudukan dan

pengaruh etnis Cina di Indonesia. Buku ini menjabarkan mengenai etnis Cina mulai dari awal, pilihan pembauran yang mereka ambil, konflik dan pandangan negatif yang dibawa etnis Cina di Indonesia hingga pilihan identitas yang disodorkan kepada mereka. Tak lupa, buku ini memberikan gambaran mengenai kebijakan yang etnis Cina dapat dari tiap pemerintahan. Untuk itu buku ini layak untuk dijakdikan referensi guna mendukung penelitian yang sedang dilakukan oleh penulis.

(11)

F. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode sejarah yang mencakup empat tahap yaitu menghimpun sumber-sumber sejarah yang sesuai dengan permasalahan (heuristik), kritik sumber, interpretasi yang merupakan analisa dan sintesa serta penyusunan atas penulisan sejarah (historiografi) dengan penjelasan sebagai berikut8:

1. Heuristik

Heuristik adalah tahap mengumpulkan data atau sumber-sumber sejarah. Menghimpun sumber-sumber sejarah yang sezaman dan dalam bentuk tercetak, tertulis maupun lisan. Dalam penulisan ini teknik yang digunakan untuk mendapatkan sumber adalah dengan studi dokumen dan studi pustaka.

a. Studi Dokumen

Dalam melaksanakan pengumpulan data untuk penulisan penelitian ini menggunakan studi dokumen. Studi dokumen dalam hal ini adalah suatu cara untuk mendapatkan data primer atau data sejaman atau sumber utama dari tangan pertama yang bisa digunakan untuk menceritakan peristiwa yang terjadi.

Dokumen sendiri dibedakan menjadi dua yaitu dokumen dalam arti sempit dan dokumen dalam arti luas.9 Dokumen dalam arti sempit adalah kumpulan data verbal dalam bentuk tulisan seperti surat kabar, catatan harian, laporan dan

8

Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1994), hlm. 79.

9

Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi

(12)

lain. Untuk arsip pada masa yang berkaitan dengan aktivitas sosial dan politik Yap Tjwan Bing menggunakan koran sezaman antara lain; Sinar Baroe, De

Preangerbode, Courant Deli, Borneo Shimboen (Bandjarmasin), De Indische Courant, Tjahaja, Soeara Asia, Sinar Matahari (Djokjakarta), Pandji Poestaka, Djawa Baroe, De Locomotief, Suluh Indonesia, Java Bode, Het Nieuwsblad Sumatra, Priangan, dan Keng Po,yang diperoleh dari Perpustakaan Nasional

Republik Indonesia, Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY, dan Monumen Pers Solo.

b. Studi Pustaka

Untuk menunjang penelitian, digunakan studi pustaka dalam mengumpulkan data. Studi pustaka serta sangat berguna dalam dalam mendukung, melengkapi data-data penelitian dan juga sebagai referensi. Studi pustaka berupa majalah surat kabar, artikel, laporan penelitian dan karya ilmiah yang relevan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam permasalahan. Studi pustaka diperoleh dari perpustakaan Universitas Sebelas Maret, Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret, Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Monumen Pers Solo, Perpustakaan Roesli Soetan Makmur Solo dan buku-buku.

2. Kritik Sumber

Tahap kedua adalah kritik sumber yang merupakan langkah untuk menguji atau menilai sumber data, setelah dari berbagai sumber terkumpul, maka pengujian terhadap sumber tersebut perlu dilakukan. Apabila kritik atau pengujian

(13)

telah dilakukan maka sumber-sumber yang dianggap benar atau valid dijadikan dasar untuk membangun fakta. Secara teoritis pengujian atau kritik dibedakan menjadi 2;

1) Kritik ekstern yaitu untuk mencari otentitasnya. Dalam kritik ekstern dilakukan beberapa hal seperti, membuktikan relevansi sumber, melacak apakah sumber tersebut otentik, asli, turunan, atau bahkan sumber yang dipalsukan, melacak latar belakang sumber yang digunakan apabila sumber itu turunan dan kemudian mengkaji kesalahan-kesalahan atau cacat-cacatnya kemudian membetulkannya.

2) Kritik intern yaitu untuk mencari kredibilitasnya. Dalam kritik intern dilakukan penyalinan teks arsip ke dalam tulisan latin sesuai ejaan yang berlaku, karena beberapa arsip atau surat kabar sezaman masih menggunakan ejaan lama dan untuk arsip yang berbahasa Belanda diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

3. Interpretasi

Interpretasi diartikan sebagai memahami makna yang sebenarnya dari sumber-sumber atau bukti-bukti sejarah. Fakta sebagai hasil “kebenaran” dari sumber sejarah setelah melalui pengujian yang kritis tidak akan bermakna tanpa dirangkaikan dengan fakta lain. Proses perangkaian itu disebut eksplanasi. Hasil eksplanasi tersebut kemudian disajikan dalam bentuk tertulis yang disebut rekonstruksi yaitu dengan menyusun fakta-fakta kemudian menjadi sebuah kisah

(14)

sejarah. Tujuan kegiatan ini adalah merangkaikan fakta-fakta menjadi kisah sejarah dari bahan sumber-sumber yang belum merupakan suatu kisah sejarah. 4. Historiografi

Tahap keempat adalah historiografi yang merupakan penyajian hasil penelitian dalam bentuk tulisan baru berdasarkan bukti-bukti yang telah diuji. Sumber-sumber bahan dokumen dan studi kepustakaan, selanjutnya dianalisis, diinterpretasikan dan ditafsirkan isinya. Data-data yang telah dikaji kebenarannya merupakan fakta-fakta yang dirangkai menjadi kisah sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

G. Sistematika Penulisan

Bab I berisi pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II berisi latar belakang kondisi sosial dan politik yang berkembang di Indonesia pada tahun 1900 – 1932 terutama diantara warga Tionghoa, kehidupan masa kecil Yap Tjwan Bing tahun 1910 – 1940, dan kehidupan sosial politik Yap Tjwan Bing pada masa pendudukan Jepang tahun 1940 – 1945.

Bab III menjelaskan mobilitas pergerakan Yap Tjwan Bing setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1946 - 1954. Pada bab ini menjabarkan berbagai aktivitas politik dan sosial Yap Tjwan Bing, dimulai menjadi anggota KNIP, perjuangan di Yogyakarta pada agresi militer Belanda I, perjuangan dalam

(15)

rangka pembauran peranakan asing di Indonesia, aktif dalam PNI, DPR RIS, dan anggota komite perpajakan. Selain itu menjelaskan aktivitas Yap Tjwan Bing dalam bidang sosial serta kasus yang melibatkan Yap Tjwan Bing.

Bab IV memuat aktivitas Yap Tjwan Bing di akhir kancah politik Indonesia tahun 1955 – 1963. Di sini dijabarkan mengenai aktivitas Yap dalam menyelenggarakan KAA, aktif dalam Pemilu 1955, memuat pula kasus pemerasan yang melibatkan Yap Tjwan Bing, hingga usaha Yap dalam memperjuangkan kebijakan dan peraturan bagi golongan Tionghoa. Bab IV diakhiri dengan peristiwa 10 Mei 1963 yang menyeret Yap sebagai salah satu korban.

Bab V berisikan simpulan yang menjawab perumusan masalah serta analisa sejarah yang membahas penelitian ini.

Referensi

Dokumen terkait

dan hapus data dimana fungsi ini akan digunakan juga pada master karyawan level, bagian, jabatan, periode penilaian, faktor, indikator, skala indikator, serta

Rekomendasi pemupukan yang dikeluarkan oleh Puslit maupun Balit untuk perkebunan kelapa sawit didasarkan pada keadaan hara tanah (status hara tanah) dan status

a. Kecepatan absorpsi yang tinggi menguntungkan untuk obat lepas terus menerus. Kecepatan pelepasan ini merupakan tahap penentu kecepatan untuk keberadaan obat dalam tubuh.

Hasil penelitian yang diperoleh adalah kasus spondilitis tuberkulosis yang ditemukan pada tahun 2014 sebanyak 44 pasien.. Penyakit ini dapat menyerang segala jenis kelamin dan

Pertimbangan yang bersifat non yuridis juga diperlukan oleh hakim, guna untuk menentukan nilai keadilan dalam pemidanaan anak dibawah umur, yaitu pertimbangan hakim yang

5) Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Dalam rangka menunjang perbaikan regulasi pengusahaan UCG diperlukan litbang UCG di Indonesia. Hal ini perlu dilakukan mengingat

(1) Poltekkes Kemenkes Surakarta pada dasarnya dapat menerima mahasiswa pindahan dari Perguruan Tinggi Kesehatan lain yang setingkat atau diatasnya, dari dalam maupun luar