• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR-FAKTOR RISIKO YANG MEMENGARUHI KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SAMBIREJO KEC. BINJAI KABUPATEN LANGKAT TAHUN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FAKTOR-FAKTOR RISIKO YANG MEMENGARUHI KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SAMBIREJO KEC. BINJAI KABUPATEN LANGKAT TAHUN"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR-FAKTOR RISIKO YANG MEMENGARUHI KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SAMBIREJO KEC.

BINJAI KABUPATEN LANGKAT TAHUN 2018-2019

Wilda Yunita

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Flora Surel : [email protected]

Abstrac : The incidence of ARI is influenced by many factors. So the formulation of the problem in this study is how risk factors affect the incidence of ARI in infants in the Sambirejo Community Health Center, Binjai District, 2018-2019. In August 2017-January 2018 there were 66 children with 33 case samples and 33 control samples. The sampling technique uses total sampling. Data collection method with a questionnaire. Analysis of the data used is the chi square test with a significance level of 5%.). The results of this study were the majority of children under five (36.3%) and girls (54.5%). family behavior. It is recommended that the Labura District Government program the improvement of the physical condition of homes that do not meet the requirements for early ARI control for health workers to provide counseling on Housing Environmental Sanitation (PLP).

Abstrak: Kejadian ISPA dipengaruhi oleh banyak faktor. Maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana faktor risiko mempengaruhi kejadian ISPA pada bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Sambirejo, Kecamatan Binjai, Kabupaten 2018-2019. .Agustus 2017-Januari 2018 sebanyak 66 anak dengan 33 sampel kasus dan 33 sampel kontrol. Teknik pengambilan sampel menggunakan total sampling. Metode pengumpulan data dengan kuesioner. Analisis data yang digunakan adalah uji chi square dengan derajat signifikansi 5%.). Hasil penelitian ini adalah mayoritas anak balita (36,3%) dan perempuan (54,5%). perilaku keluarga. Disarankan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Labura untuk memprogram perbaikan kondisi fisik rumah yang belum memenuhi persyaratan untuk kontrol ISPA lebih awal kepada petugas kesehatan untuk memberikan konseling tentang Sanitasi LingkunganPerumahan (PLP).

(2)

PENDAHULUAN

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung hingga alveoli, seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Sampai saat ini ISPA masih menjadi masalah kesehatan dunia. Pada tahun 2015, World Health Organization (WHO) melaporkan hampir 6 juta anak balita meninggal dunia, 16% dari jumlah tersebut disebabkan oleh pneumonia. Berdasarkan data badan PBB untuk anak-anak (UNICEF), pada 2015 terdapat kurang lebih 14 persen dari 147.000 anak di bawah usia 5 tahun di Indonesia meninggal karena pneumonia. Dari statistik tersebut, dapat diartikan bahwa 2-3 anak di bawah usia 5 tahun meninggal karena pneumonia setiap jamnya. Hal tersebut menyebabkan pneumonia sebagai penyebab kematian utama bagi anak di bawah usia 5 tahun di Indonesia (IDAI, 2015).

Berdasarkan data Kemenkes tahun 2015, cakupan penemuan ISPA yaitu pneumonia pada balita tahun 2014 berkisar antara 20%-30%, sedangkan Pada tahun 2015 terjadi peningkatan menjadi 63,45%. Karakteristik penduduk dengan ISPA yang tertinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun. Sedangkan data dari buletin surveilans ISPA berat di Indonesia (SIBI) April 2014 yang dilaksanakan di enam rumah sakit provinsi di Indonesia, didapatkan 625 kasus ISPA Berat, 56% adalah laki-laki dan 44% adalah perempuan. Dari 94 kasus yang ditemukan positif influenza, proporsi laki-laki sebesar 54% dan perempuan 46%. Sebagian besar proporsi kasus ISPA Berat (39%) dan kasus positif influenza (44%) ditemukan pada kelompok umur 1 – 4 tahun.

Survei mortalitas yang dilakukan oleh Subdit ISPA tahun 2013 menempatkan ISPA/Pneumonia sebagai penyebab kematian

bayi terbesar di Indonesia dengan persentase 32,1% dari seluruh kematian balita, sedangkan di Jawa Tengah 28% tahun 2012 dan 27,2% tahun 2013.Dalam pelaksanaan program pemberantasan penyakit ISPA pada balita, ditandai dengan adanya batuk dan atau kesukaran bernapas disertai adanya peningkatan frekuensi napas (napas cepat) sesuai golongan umur. status imunisasi yang tidak lengkap, membedong bayi (menyelimuti yang berlebihan), tidak mendapat ASI yang memadai, defisiensi vitamin A, kepadatan tempat tinggal, polusi udara akibat asap dapur, orang tua perokok dan keadaan rumah yang tidak sehat (Depkes, 2013).

Faktor risiko terjadinya ISPA pada individu balita adalah BBLR. Balita yang lahir BBLR lebih besar risikonya terdiagnosa ISPA. Berdasarkan hasil survei pendahuluan yang dilakukan di Puskesmas Sambirejo diperoleh data bahwa dari 10 Puskesmas yang terdapat di Kabupaten Langkat, Puskesmas Sumbirejo merupakan Puskesmas yang paling banyak menerima pasien dengan penyakit ISPA yaitu sebanyak 66 penderita balita.

Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Faktor-Faktor RisikoYang Memengaruhi Kejadian ISPA Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sambirejo Kecamatan Binjai Kabupaten langkat Tahun 2019”.

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka peneliti merumuskan masalah penelitian yaitu “Faktor-Faktor RisikoYang Memengaruhi Kejadian ISPA Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sambirejo Kecamatan Binjai Kabupaten langkat Tahun 2019”.MengidentifikasiFaktor-Faktor RisikoYang Memengaruhi Kejadian ISPA Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sambirejo Kecamatan Binjai Kabupaten langkat Tahun 2019.

(3)

Hipotesis

1. Ada pengaruh status gizi terhadap kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sambirejo Kecamatan Binjai Kabupaten langkat Tahun 2019.

2. Ada pengaruh imunisasi terhadap kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sambirejo Kecamatan Binjai Kabupaten langkat Tahun 2019.

3. Ada pengaruh ASI eksklusif terhadap kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sambirejo Kecamatan Binjai Kabupaten langkat Tahun 2019.

4. Ada pengaruh ventilasi terhadap kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sambirejo Kecamatan Binjai Kabupaten langkat Tahun 2019.

5. Ada pengaruh lantai terhadap kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sambirejo Kecamatan Binjai Kabupaten langkat Tahun 2019.Ada pengaruh pencahayaan terhadap kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sukarame Kecamatan Kualuh Hulu Kabupaten Labuhan Batu Utara Tahun 2018.

6. Ada pengaruh langit-langit terhadap kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sambirejo Kecamatan Binjai Kabupaten langkat Tahun 2019.

7. Ada pengaruh dinding terhadap kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sambirejo Kecamatan Binjai Kabupaten langkat Tahun 2019.

8. Ada pengaruh kepadatan hunian terhadap kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sambirejo Kecamatan Binjai Kabupaten langkat Tahun 2019.

9. Ada pengaruh perilaku keluarga terhadap kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sambirejo Kecamatan Binjai Kabupaten langkat Tahun 2019.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:

Meningkatkan kerjasama lintas program (pemegang program ISPA, petugas promosi kesehatan, petugas kesehatan lingkungan. Pemegang program gizi) agar mengoptimalkan pemberian informasi kepada masyarakat tentang pentingnya rumah sehat (syarat-syarat rumah sehat), PHBS (perilaku hidup bersih dan sehat), pentingnya peranan keluarga di dalam menunjang kesehatan balita, kerentanan pada usia balita (terkait faktor dalam diri balita maupun yang berasal dari lingkungannya), cara merawat balita yang baik dan benar (terkait pentingya ASI eksklusif, kapan balita diberi makana tambahan dan imunisasi) serta dampak atau akibat yang ditimbulkan apabila mengabaikannya.

Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan pedoman bagi Bidan sebagai pemberi layanan kesehatan. Bidan juga berperan sebagai edukator dalam memberikan edukasi mengenai faktor-faktor penyebab ISPA pada balita. Diharapkan kepada peneliti selanjutnya dapat meneliti tentang faktor-faktor lainnya yang dapat menyebabkan ISPA seperti : polusi udara didalam rumah, kepadatan hunian rumah, luas ventilasi dan variabel lainnya yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita serta melakukan penelitian lebih mendalam agar dapat menyempurnakan penelitian ini.

KAJIAN TEORITIS

Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah infeksi saluran pernafasan akut yang menyerang tenggorokan, hidung dan paru-paru yang berlangsung kurang lebih 14 hari, ISPA mengenai struktur saluran di atas laring, tetapi kebanyakan penyakit ini mengenai bagian saluran atas dan bawah secara stimulan atau berurutan (R.Hartono, 2008).

ISPA adalah radang saluran pernapasan bagian atas yang disebabkan oleh infeksi jasad renik, virus maupun riketsia, tanpa/disertai radang parenkim paru. pernapasan bawah, khususnya pada bayi, anak- anak, dan orang tua, memberikan gambaran klinik yang berat dan

(4)

jelek, berupa Bronchitis, dan banyak yang berakhir dengan kematian (Amin, 2011). Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri penyebab ISPA antara lain dari genus Streptokokus, Stafilokokus, Pneumokokus, Hemofillus, Bordetelia dan Korinebakterium.

Klasifikasi penyakit ISPA dibedakan untuk golongan umur dibawah 2 bulan dan untuk golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun (Depkes RI, 2012):

a. Golongan Umur Kurang 2 Bulan 1) ISPA Berat

2) ISPA Sedang 3) ISPA Ringan

ISPA disebabkan oleh bakteri atau virus yang masuk kesaluran nafas. Salah satu penyebab ISPA yang lain adalah asap pembakaran bahan bakar kayu yang biasanya digunakan untuk memasak.

Faktor resiko timbulnya ISPA (Marni, 2014) :

a. Faktor demografi terdiri dari 3 aspek yaitu :

1) Jenis Kelamin 2) Usia

3) Pendidikan b. Faktor Biologis

Faktor biologis terdiri dari 4 aspek yaitu (Marni, 2014) :

1) Status Gizi 2) Berat Badan Lahir 3) Pemberian Air Susu Ibu 4) Status Imunisasi c. Faktor Polusi

Adapun penyebab dari faktor polusi terdiri dari 2 aspek yaitu (Marni, 2014)

1) Keberadaan Asap Dapur 2) Keberadaan Perokok

ISPA merupakan proses inflamasi yang terjadi pada setiap bagian saluran pernafasan atas maupun bawah, yang meliputi infiltrat peradangan dan edema mukosa, kongestif vaskuler, bertambahnya sekresi mukus serta perubahan struktur fungsi siliare (Muttaqin,

2008). Sedangkan tanda gejala ISPA menurut Depkes RI (2012) adalah :

1. Gejala dari ISPA Ringan

Seseorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut:

1) Batuk 2) Serak 3) Pilek 4) Panas

2. Gejala dari ISPA sedang

Seorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala dari ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut:

1) Pernafasan lebih dari 50 kali per menit pada anak yang berumur kurang dari satu tahun atau lebih dari 40 kali per menit pada anak yang berumur satu tahun atau lebih.

2) Suhu lebih dari 39

3) Tenggorokan berwarna merah

4) Timbul bercak-bercak merah di kulit menyerupai bercak campak

5) Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga

6) Pernafasan berbunyi seperti mendengkur

7) Pernafasan berbunyi menciut-ciut 3. Gejala dari ISPA Berat

Seorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai gejala-gejala ISPA ringan atau ISPA sedang disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut:

1) Bibir atau kulit kebiruan

2) Lubang hidung kembang kempis pada waktu bernafas

3) Anak tidak sadar atau kesadaran menurun

4) Pernafasan berbunyi dana anak tampak gelisah

5) Sela iga tertarik ke dalam pada waktu bernafas

6) Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit

(5)

Penatalaksanaan ISPA meliputi langkah atau tindakan sebagai berikut :

Penanganan pertama di rumah. Penanganan ISPA tidak harus di tempat pelayanan kesehatan saja, tetapi penangan ISPA sebelum berobat ke pelayanan kesehatan harus ditangani.

Menurut Simanjutak (2007) penanganan demam sebelum ke tempat pelayanan kesehatan yaitu meliputi mengatasi panas (demam), pemberian makanan yang cukup gizi, pemberian cairan, memberikan kenyamanan dan memperhatikan tanda-tanda bahaya ISPA ringan atau berat yang memerlukan bantuan khusus petugas kesehatan. Penatalaksanaan oleh tenaga kesehatan menurut R. Hartono (2012) adalah : 1) Pemeriksaan

2) Pengobatan

3) Istirahat yang Cukup

4) Mengembangkan kenyamanan 5) Menurunkan Suhu

6) Pencegahan penyebaran infeksi 7) Mengembangkan Hidrasi 8) Pemenuhan Nutrisi

9) Dukungan Keluarga dan Rumah Asuh Pencegahan ISPA Menurut Depkes RI tahun 2012 antara lain :

a. Menjaga kesehatan gizi b. Imunisasi

c. Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan

d. Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA

Rudan membagi 3 (tiga) kelompok faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya pneumonia pada anak di negara berkembang, yaitu :

1) Faktor risiko yang selalu ada (definite risk faktors)

2) Faktor risiko yang masih mungkin (possible risk factors)

Penyakit pneumonia pada dasarnya disebabkan oleh virus, bakteri, jamur dan golongan mikroorganisme lainnya (Junaidi, 2010)

1. Host (penjamu): 1) Umur

2) Riwayat BBLR

3) Pemberian ASI eksklusif 4) Pemberian vitamin A METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah penelitian survei analitik dengan rancangan kasus-kontrol (case control study).

Tahapan penelitian kasus kontrol adalah sebagai berikut:

a. Identifikasi variabel-variabel penelitian b. Menetapkan subjek penelitian

c. Identifikasi kasus

d. Pemilihan subjek sebagai kontrol

e. Melakukan pengukuran retrosfektifuntuk melihat faktor risiko

f. Melakukan analisis dengan membandingkan proporsi antara variabel objek penelitian dengan variabel-variabel kontrol (Notoadmojo, 2012). Lokasi penelitian dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Sambirejo Kecamatan Binjai Kabupaten langkat Tahun 2019.Penelitian dilakukan mulai dari bulan Febuari sampai April 2019.

Populasi penelitian ini adalah semua anak usia 12-59 bulan yang rawat jalan di Wilayah Kerja Puskesmas Sambirejo Kecamatan Binjai Kabupaten langkatyaitu sebanyak 66 anak. pengambilan jumlah sampel minimal dengan menggunakan total sampling . yaitu 66 balita. Data primer diperoleh melalui wawancara secara langsung kepada responden. Data sekunder diperoleh dari Puskesmas

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data yang telah terkumpul dianalisis dengan menggunakan bantuan komputer. Analisis data meliputi :

1. Analisis univariat 2. Analisis bivariat

Distribusi frekuensi status gizi balita dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

(6)

Status Gizi Jumlah n % Baik Buruk 29 37 43,9 56,1 TOTAL 66 100

Berdasarkan tabel 4.3 menunjukkan sebanyak 29 balita (43,9%) memiliki status gizi yang baik, sedangkan 37 balita lainnya (56,1%) berstatus gizi buruk.

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Imunisasi

Imunisasi Jumlah n % Lengkap Tidak Lengkap 34 32 51,5 48,5 TOTAL 66 100

Berdasarkan tabel 4.4 menunjukkan bahwa sebanyak 34 balita (51,5%) imunisasinya lengkap, sedangkan 32 balita lainnya (48,5%) imunisasinya tidak lengkap.

.

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Pemberian ASI Eksklusif

ASI Eksklusif Jumlah

N % Eksklusif Tidak Eksklusif 41 25 62,1 37,9 TOTAL 66 100

Berdasarkan tabel 4.5 menunjukkan sebanyak 41 balita atau 62,1% memiliki riwayat pemberian ASI eksklusif, sedangkan 25 balita lainnya atau 37,9% memiliki riwayat pemberian ASI yang tidak eksklusif.

Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Lingkungan Fisik Rumah Berdasarkan Ventilasi Ventilasi Jumlah N % Memenuhi Syarat Tidak Memenuhi Syarat 34 32 51,5 48,5 TOTAL 66 100

Berdasarkan tabel 4.6 menunjukkan sebanyak 34 balita atau 51,5% memiliki ventilasi rumah yang telah memenuhi syarat yaitu ≥10% dari luas lantai, sedangkan 32 balita lainnya atau 48,5% tidak memiliki ventilasi rumah memenuhi syarat yang baik untuk sebuah tempat tinggal balita.

Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Lingkungan Fisik Rumah Berdasarkan Lantai Lantai Jumlah n % Memenuhi Syarat Tidak Memenuhi Syarat 36 30 54,5 45,5 TOTAL 66 100

Berdasarkan tabel 4.7 menunjukkan sebanyak 36 balita atau 54,5% memiliki lantai rumah yang telah memenuhi syarat yaitu kedap air dan tidak lembab (diplester/semen, keramik dan ubin), sedangkan 30 balita lainnya atau 45,5% tidak memiliki lantai rumah memenuhi syarat yang baik untuk sebuah tempat tinggal balita.

Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Lingkungan Fisik Rumah Berdasarkan Pencahayaan

Pencahayaan Jumla

h

n %

Memenuhi Syarat Tidak Memenuhi Syarat

35 31

53,0 47,0

TOTAL 66 100

Berdasarkan tabel 4.8 menunjukkan sebanyak 35 balita atau 53,0% memiliki rumah dengan pencahayaan yang telah memenuhi syarat

(7)

yaitu 60-120 lux dengan menggunakan luxmeter dan 31 balita lainnya atau 47,0% tidak memiliki rumah dengan pencahayaan memenuhi syarat yang baik untuk sebuah tempat tinggal balita.

Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi Lingkungan Fisik Rumah Berdasarkan Langit-langit Langit-langit Jumlah n % MemenuhiSyarat Tidak Memenuhi Syarat 33 33 50,0 50,0 TOTAL 66 100

Berdasarkan tabel 4.9 menunjukkan sebanyak 33 balita atau 50% memiliki rumah dengan langit-langit yang telah memenuhi syarat yaitu memiliki langit-langit dan rapat, sedangkan 33 balita lainnya atau 50% tidak memiliki rumah dengan langit-langit yang memenuhi syarat yang baik untuk sebuah tempat tinggal balita. Tabel 4.10 DistribusiFrekuensi Lingkungan

Fisik Rumah Berdasarkan Dinding

Dinding Jumlah

n %

Memenuhi Syarat Tidak Memenuhi Syarat

33 33

50,0 50,0

TOTAL 66 100

Berdasarkan tabel 4.10 menunjukkan sebanyak 33 balita atau 50% memiliki rumah dengan dinding yang telah memenuhi syarat yaitu kedap air (tembok/diplester, batu), sedangkan 33 balita lainnya atau 50% memiliki rumah dengan dinding tidak memenuhi syarat yaitu tidak kedap air terbuat dari bambu, tepas, papan atau kayu, sehingga bukan merupakan tempat tinggal yang baik bagi balita.

4.2.10 Distribusi Frekuensi Lingkungan Fisik Rumah Berdasarkan Kepadatan Hunian

Distribusi frekuensi lingkungan fisik rumah berdasarkan kepadatan hunian dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 4.11 Distribusi Frekuensi Lingkungan Fisik Rumah Berdasarkan Kepadatan Hunian Kepadatan Hunian Jumlah n % Memenuhi Syarat Tidak Memenuhi Syarat 25 41 37,9 62,1 TOTAL 66 100

Berdasarkan tabel 4.11 menunjukkan sebanyak 41 balita atau 62,1% memiliki rumah dengan tingkat kepadatan hunian tidak memenuhi syarat yang baik untuk tempat tinggal balita, sedangkan 25 balita lainnya atau 37,9% memiliki rumah dengan tingkat kepadatan hunian yang telah memenuhi syarat.

4.2.11 Distribusi Frekuensi Perilaku Keluarga

Distribusi frekuensi perilaku keluarga dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 4.12 Distribusi Frekuensi Lingkungan Fisik Rumah Berdasarkan Kepadatan Hunian Perilaku Keluarga Jumlah

n % Baik Kurang baik 33 33 50,0 50,0 TOTAL 66 100

Berdasarkan tabel 4.12 menunjukkan sebanyak 33 balita atau 50,0% memiliki perilaku keluarga yang baik, sedangkan 33 balita lainnya atau 50,0% memiliki perilaku keluarga yang kurang baik.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 66orang balita usia 12-59 bulan tentang keadaaan lingkungan fisik rumah yang dapat memengaruhi risiko kejadian ISPA ditinjau dari umur sebagian besar balita berada pada 12-23 bulan sebanyak 24 orang atau 36,3%, disusul 24-35 bulan sebanyak 20 orang

(8)

atau 30,3%, sedangkan 36-47 bulan dan 48-59 bulan masing-masing sebanyak 11 orang atau 16,7%.

Faktor usia merupakan salah satu faktor risiko terjadinya ISPA maupun kematian yang disebabkan oleh penyakit ini. Usia mempunyai pengaruh besar terhadap terjadinya ISPA. ISPA yang terjadi pada anak dan bayi akan memberikan gambaran klinik yang tampak lebih berat dibandingkan dengan orang dewasa.

Berdasarkan jenis kelamin, mayoritas balita yang menjadi sampel penelitian ini adalah perempuan

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa dari 66 balita terdapat 32 balita dengan imunisasi yang lengkap dan 34 balita lainnya imunisasinya tidak lengkap. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa dari 66 balita terdapat 35 balita memiliki riwayat pemberian ASI yang eksklusif dan 31 balita lainnya riwayat pemberian ASI yang tidak eksklusif.

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa dari 66 balita terdapat 32 balita memiliki ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat dan 34 balita lainnya memiliki ventilasi rumah yang telah memenuhi syarat.

Berdasarkan Permenkes RI No. 1077/Menkes/Per/V/2011, tentang Pedoman Penyehatan Udara dalam Ruang Rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan apabila memiliki luas ≥ 20 % dari luas lantai rumah. Luas ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat disebabkan karena tipe rumah yang kecil karena kepemilikan tanah yang sempit.

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa dari 66 balita terdapat 30 balita memiliki lantai rumah yang tidak memenuhi syarat dan 36 balita lainnya memiliki lantai rumah yang telah memenuhi syarat.

Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan risiko balita terkena ISPA dapat meningkat jika tinggal di rumah yang lantainya tidak memenuhi syarat. Jenis lantai yang sesuai

dengan persyaratan rumah sehat adalah lantai yang kedap air dan mudah dibersihkan. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa dari 66 balita terdapat 31 balita memiliki pencahayaan rumah yang tidak memenuhi syarat dan 35 balita lainnya memiliki pencahayaan rumah yang telah memenuhi syarat.

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa dari 66 balita terdapat 33 balita memiliki langit-langit rumah yang tidak memenuhi syarat dan 33 balita lainnya memiliki langit-langit rumah yang telah memenuhi syarat.

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa dari 66 balita terdapat 33 balita memiliki dinding rumah yang tidak memenuhi syarat dan 33 balita lainnya memiliki dinding rumah yang telah memenuhi syarat. Dari 33 balita yang memiliki dinding rumah yang tidak memenuhi syarat tersebut terdapat 22 balita yang menderita ISPA dan 11 balita lainnya tidak menderita ISPA.

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa dari 66 balita terdapat 41 balita memiliki kepadatan hunian dalam rumah yang tidak memenuhi syarat dan 25 balita lainnya memiliki kepadatan hunian dalam rumah yang telah memenuhi syarat. Dari 41 balita yang memiliki kepadatan hunian dalam rumah yang tidak memenuhi syarat tersebut terdapat 25 balita yang menderita ISPA dan 16 balita lainnya tidak menderita ISPA.

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa dari 66 balita terdapat 33 balita memiliki perilaku keluarga yang baik dan 33 balita lainnya perilaku keluarganya kurang baik.

KESIMPULAN

1. Ada pengaruh status gizi terhadap kejadian ISPA pada balita.

2. Ada pengaruh imunisasi terhadap kejadian ISPA pada balita

3. Ada pengaruh pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian ISPA pada balita.

(9)

4. Ada pengaruh ventilasi terhadap kejadian ISPA pada balita.

5. Ada pengaruh lantai terhadap kejadian ISPA pada balita.

6. Ada pengaruh pencahayaan terhadap kejadian ISPA pada balita.

7. Ada pengaruh langit-langit terhadap kejadian ISPA pada balita.

8. Ada pengaruh dinding terhadap kejadian ISPA pada balita.

9. Ada pengaruh kepadatan hunian terhadap kejadian ISPA pada balita. 10. Ada pengaruh perilaku keluarga

terhadap kejadian ISPA pada balita. SARAN

1. Kondisi fisik rumah yang belum memenuhi syarat hendaknya diprogramkan perbaikan peran Pemerintah Daerah Kabupaten Langkat dalam rangka pengendalian ISPA misalnya dengan cara stimulasi atau arisan pondasi.

2. Meningkatkan pengetahuan masyarakat di bidang kesehatan lingkungan, khususnya tentang Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP)/ Sanitasi rumah, terutama untuk pencegahan penyakit ISPA dengan memberikan penyuluhan oleh tenaga kesehatan dari Puskesmas.

3. Bagi masyarakat yang sedang merenovasi atau membangun rumah untuk lebih memperhatikan aspek sanitasi rumah sehat seperti ventilasi, kamarisasi, kepadatan hunian dan lubang asap di dapur untuk menghindari penularan penyakit ISPA. 4. Bila kondisi fisik rumah sudah memenuhi syarat, hendaknya difungsikan, dipergunakan dan dipelihara sebagaimana mestinya, misalnya dengan membuka jendela setiap pagi, membersihkan lantai secara teratur agar tidak berdebu dan halaman rumah dijaga kebersihannya dan ditanami pohon.

5. Penelitian ini perlu dikembangkan lebih lanjut dengan menggunakan parameter lain dan metode yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Abdaie. 2004. Kaitan antara Kelengkapan Imunisasi dan Status Gizi dengan Kejadian ISPA & DiareAkut pada Anak Batita di Desa Muara Panco Kecamatan Sungai Manau Kabupaten Merangin. Media Litbang Kesehatan Vol 3. Januari 2004. Hal 23-28 Amin, M., Alsagaf, H. dan Saleh, T.W.B.M., 2011.Pengantar Ilmu Penyakit Paru, 1-2:35 50. Surabaya : Airlangga University Press.

Anggelina, C. D. 2012. Hubungan Kondisi Lingkungan Fisik Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Gayasari Kota Semarang.

Asriati A., Zamrud Z., dan Kalenggo, D.F. 2015. Analisis Faktor Risiko Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut pada Anak Balita. Medula Volume 1Nomor 2.

Deflyn, C.S., Jootje, M. L., Umboh, R. H. A. (2015). Hubungan Antara Faktor Lingkungan Fisik Rumah dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di Kelurahan Malayang 1 Kota Manado.

Depkes RI. 2010. Jumlah kasus pneumonia pada balita menurut Provinsi dan kelompok

umur. (Online) diunduh

http://www.depkes.go.idpada tanggal 25 Maret 2013.

__________. 2008. Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Modul 1-7, Jakarta : Depkes RI

(10)

Dewi, Dara Puspita. 2010. Pengaruh Pemberian ASI Ekslusif Terhadap Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Balita Berusia 6-24 bulan di Puskesmas Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2010. Skripsi. Depok : FKM UI.

Dewi. 2000. Faktor Risiko ISPA di Wilayah Hasil Kerja Puskesmas Merden, Kabupaten Banjarnegara. Tim Penelitian Dinkes Kabupaten Banjarnegara/Dinkes Provinsi Jawa Tengah. Buletin Epidemiologi Provinsi Jawa Tengah Edisi Januari – Maret 2001

Diana, R.M. 2012. Hubungan Antara Kondisi Lingkungan Rumah Dan Kebiasaan Merokok Anggota Keluarga Dengan Kejadian ISPA Pada Balita Di Kelurahan Bandarharjo. Skripsi: semarang IKM Universitas Negeri Semarang

Gambar

Tabel 4.4   Distribusi Frekuensi Imunisasi

Referensi

Dokumen terkait

(g) Pernyataan yang diberikan ekivalen dengan “Mengontrak pemain asing kenamaan adalah syarat perlu untuk Indonesia agar ikut Piala Dunia” atau “Jika Indonesia ikut Piala Dunia

Arahan peraturan zonasi untuk Zona L2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81. ayat (2) huruf a

[r]

Pada hari ini Rabu tanggal tiga puluh satu bulan Oktober tahun dua ribu dua belas, Panitia Pengadaan Barang/Jasa Sekretariat Presiden Bidang Protokol dan

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 sebagaimana telah diubah. beberapa kali terakhir dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70

[r]

Pokja ULP Pengadaan pada Satker Direktorat Advokasi dan KIE akan melaksanakan Pelelangan Sederhana/Umum dengan pascakualifikasi untuk paket pekerjaan pengadaan Jasa

Deskripsi fenomenologis di atas merupakan ide yang mendasari dilakukannya replikasi penelitian dengan mengembangkan komposisi hubungan variabel, yaitu pengaruh kewenangan formal,