• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI RINGKASAN. Istilah malnutrisi digunakan untuk menggambarkan kekurangan,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB VI RINGKASAN. Istilah malnutrisi digunakan untuk menggambarkan kekurangan,"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

RINGKASAN

Istilah malnutrisi digunakan untuk menggambarkan kekurangan, kelebihan atau ketidakseimbangan zat gizi yang menghasilkan efek tidak baik pada komposisi tubuh, fungsi, dan outcome klinis (Saunders dkk, 2010). Kajian dengan studi delphi yang terdiri dari 3 fase, yaitu studi literatur, formulasi pertanyaan semi terstruktur, dan menanyakan kepada ahli menyimpulkan bahwa malnutrisi terdiri dari 3 elemen yaitu defisiensi energi, defisiensi protein, dan penurunan masa bebas lemak (Meijers dkk, 2010).

Malnutrisi merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi rumah sakit (RS) di seluruh dunia. Prevalensi malnutrisi pasien saat masuk rumah sakit cukup tinggi, dilaporkan berkisar 20%-60%. (Waitzberg dkk, 2001; Correia dkk, 2003a; Meyer, 2006; Norman dkk, 2008; Kahokehr dkk, 2009; Imoberdorf dkk, 2010, Agarwal dkk, 2011). Penelitian yang dilakukan di RS Dr. Sardjito Yogyakarta, RS Jamil Padang, dan RS Sanglah Denpasar terhadap 293 pasien, didapatkan 74 pasien (28,2%) mengalami penurunan status gizi pada saat keluar RS berdasarkan Subjective Global Assessment (SGA) (Budiningsari dan Hadi, 2004). Penelitian pendahuluan oleh peneliti pada pasien penyakit dalam dan saraf di RSUP Dr. Sardjito didapatkan 68,4% pasien hipoalbuminemia, 34,3% status gizi kurang berdasarkan indeks masa tubuh (IMT), dan 43,3% status gizi kurang berdasarkan SGA pada saat masuk RS (susetyowati, 2010).

Konsensus mengenai malnutrisi di rumah sakit dicapai melalui serangkaian pertemuan yang diadakan di kongres A.S.P.E.N. dan ESPEN (Jensen dkk, 2010) yaitu disepakati bahwa malnutrisi telah terbukti memberikan efek yang tidak baik

(2)

penurunan asupan atau asimilasi dari energi dan protein. Inflamasi berkaitan dengan mekanisme pada penyakit yang menyebabkan anoreksia dan perubahan komposisi tubuh serta adanya stress metabolik. Pembagian nomenklatur untuk diagnosis malnutrisi pada orang dewasa di rumah sakit ( praktek klinis) adalah : (1) Starvation-related malnutrition, yaitu adanya kelaparan kronik tanpa disertai inflamasi misalnya pada kondisi medis seperti anoreksia. (2) Chronic disease-related malnutrition, yaitu adanya penyakit kronik yang mengakibatkan inflamasi dengan derajat ringan sampai sedang, misalnya pada kegagalan organ, kanker pancreas dan arthritis rematik. (3) Acute disease or injury-related malnutrition, yaitu ditandai dengan respon inflamasi dengan derajat tingkat berat, misalnya penyakit infeksi mayor, luka bakar, trauma.

Meta analisis terhadap 27 penelitian Randomized Control Trial (RCT) dengan 1710 pasien dan 30 penelitian RCT dengan 3250 pasien menunjukkan hubungan yang bermakna antara malnutrisi dengan komplikasi, infeksi, dan mortalitas (Stratton, 2003). Penurunan status gizi pada pasien rawat inap tanpa melihat status gizi pada saat masuk rumah sakit berhubungan dengan biaya yang lebih tinggi dan lama rawat inap lebih panjang (Chima, 1997; Wyszynski, 1997; Braunschweig, 2000; Correia, 2003b; Marco, 2011).

Malnutrisi di rumah sakit dapat terjadi sebagai akibat dari intake makan tidak memenuhi kebutuhan gizi yang disebabkan penurunan asupan zat gizi, kebutuhan gizi yang meningkat karena penyakit yang diderita atau gangguan utilisasi zat gizi (Schenker, 2003; Alerda dkk., 2006). ASPEN menyatakan bahwa malnutrisi diakibatkan oleh penyakit atau trauma (ASPEN, 2005). Penyakit dapat menyebabkan malnutrisi melalui berbagai cara, yaitu : (1) Intake zat gizi yang

(3)

terkait makanan, gangguan menelan, depresi dan tidak sadarkan diri. (2) Malabsorbsi karena kondisi patologis dari lambung, usus, pankreas dan hati. (3) Proses zat gizi yang berubah karena adanya kebutuhan metabolik yang berubah/meningkat dan disfungsi hati. (4) Kehilangan zat gizi yang berlebihan : disebabkan oleh muntah, masalah tube feeding, diare, dehidrasi akibat operasi, fistula dan stoma (Saunders et al, 2010).Kejadian malnutrisi di RS sebagian besar tidak terdeteksi karena banyak klinisi belum mempertimbangkan pentingnya gizi dalam penyembuhan pasien dan tidak dilakukan monitoring status gizi secara rutin (Schenker, 2000).

Skrining gizi merupakan proses yang cepat dan sederhana yang dapat dilaksanakan oleh tenaga kesehatan (Barendregt dkk., 2008). Rekomendasi dari European Society Parenteral Enteral Nutrition (ESPEN), American Society Parenteral Enteral Nutrition (ASPEN), menetapkan bahwa skrining gizi perlu dilakukan pada awal pasien masuk rumah sakit untuk mengidentifikasi pasien yang mempunyai risiko masalah gizi dan diulang secara periodik. Pasien yang segera dilakukan skrining gizi akan menghasilkan ketepatan dalam intervensi gizi sehingga dapat mencegah malnutrisi di rumah sakit dan mempercepat proses penyembuhan (Kondrup, 2003; Mueller, 2011; Lorenzo, 2005).

Hasil evaluasi dari tahun 1982 sampai 2002 terhadap alat skrining dan asesmen gizi yang digunakan oleh perawat di beberapa rumah sakit Eropa didapatkan 35 macam alat skrining gizi dan perlu dilakukan standarisasi untuk menggunakan alat skrining tersebut (Green dan Watson, 2005). Hasil evaluasi terhadap 44 alat skrining gizi, hanya dua alat yang dikembangkan dengan teknik multivariat (Jones, 2002). Metode skrining yang direkomendasikan dari

(4)

sudah dianalisis dengan beberapa penelitian RCT (Meyer, 2006; Sorensen 2008), sedangkan British Association of Parenteral and Enteral Nutrition (BAPEN) merekomendasikan Malnutrition Universal Screening Tool (MUST). Hasil penelitian Kruizenga (2005) dengan menggunakan Short Nutritional Assessment Questionaire (SNAQ) merupakan metode yang valid untuk deteksi dini malnutrisi. Australia mengembangkan Malnutrition Screening Tool yang valid dan reliabel (Ferguson, 1999). Penelitian di Indonesia tentang malnutrisi di rumah sakit banyak menggunakan SGA yang merupakan metode asesmen gizi dari Detsky (1987).

Metode skrining seperti NRS-2002, MUST, MST, dan SNAQ yang ada saat ini telah dibuktikan memiliki keunggulan pada kelompok populasi tertentu, namun belum ada alat skrining yang paling tepat dan dapat diterima oleh semua kalangan khususnya di Indonesia. Beberapa kelemahan alat skrining yang ada yaitu adanya perhitungan matematik dan membutuhkan data yang detail yang hanya dapat dilakukan oleh tenaga terampil (ahli gizi), sedangkan tidak semua rumah sakit mempunyai ahli gizi yang cukup, dan adanya keterbatasan peralatan antropometri di rumah sakit. Disamping itu, kebiasaan untuk melakukan penimbangan berat badan secara rutin jarang dilakukan, sehingga tidak dapat mengetahui perubahan berat badan. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengembangan alat skrining gizi yang lebih murah, sederhana, dan sesuai dengan kondisi masyarakat di Indonesia.

Kriteria untuk mengembangkan alat skrining gizi yaitu: dapat digunakan pada populasi pasien dewasa yang heterogen; menggunakan data rutin; tepat digunakan karena sederhana, cepat, dan mudah dalam mengisinya oleh tenaga

(5)

berguna. Oleh karena itu, data antropometri dan biokimia tidak dipertimbangkan. Parameter yang memerlukan perhitungan, seperti IMT dan persen kehilangan berat badan (BB) juga tidak dipertimbangkan. Pertanyaan pada skrining gizi dipilih atau dikembangkan dari literatur dan pengalaman klinik (Ferguson, 1999).

Standar akreditasi rumah sakit dan Joint commission international (JCI) merekomendasikan pasien yang berisiko malnutrisi mendapat terapi gizi. Intervensi gizi yang tepat dapat memperbaiki outcome klinis dan menghemat biaya rawat (Gallagher dkk, 1996). Rekomendasi dari ASPEN (Mueller, dkk, 2011) bahwa intervensi dukungan nutrisi diperlukan pada pasien yang hasil skrining gizi dan penilaian status gizi menunjukkan berisiko malnutrisi atau malnutrisi dengan rekomendasi Grade C. Pedoman ini menujukkan bahwa skrining dan penilaian status gizi sangat berkaitan dengan intervensi gizi dan merupakan bagian dari asuhan gizi. Intervensi gizi pada pasien malnutrisi berhubungan dengan perbaikan status gizi, peningkatan asupan makanan, fungsi fisik dan kualitas hidup (Odelli dkk, 2005; Persson dkk, 2007; Babineau dkk, 2008; Norman dkk, 2008)

American Dietetic Association (ADA) merekomendasikan suatu konsep model Standarized Nutrition Care Process (SNCP) atau Proses Asuhan Gizi Terstandar (PAGT) yang menjamin pelayanan dan outcome manajemen asuhan gizi menjadi berkualitas bagi semua pasien secara individual dan berdasarkan pada fakta keilmuan (Lacey dan Pritchett, 2003). Outcome pada pasien rawat inap dapat berupa outcome pelayanan asuhan gizi, yaitu perubahan pengetahuan, perilaku, akses dan kemampuan, perubahan intake gizi, perubahan indikator-indikator antropometri, biokimia, pemeriksaan fisik dan klinis

(6)

kesehatan dapat berupa penurunan risiko penyakit atau kondisi pasien, penurunan biaya pengobatan dan lama rawat (PERSAGI & ASDI,. 2011).

PAGT dengan keempat langkahnya (asesmen, diagnosis, intervensi, dan monitoring serta evaluasi gizi) dilaksanakan secara sistematis, berkesinambungan, dan saling berkaitan untuk pasien yang berisiko dan atau malnutrisi dengan cara mengenali, menentukan, dan mengatasi penyebab masalah gizi pasien sampai dengan masalah gizi tersebut hilang (Lacey dan Pritchett, 2003; NCPM I, 2008). Skrining gizi merupakan bagian yang penting dalam PAGT, tetapi dapat dilakukan tidak hanya oleh dietisien, sehingga bukan merupakan bagian dari PAGT. Dietisien bertanggung jawab terhadap pengembangan proses skrining, dan secara akurat dapat mengidentifikasi pasien yang mempunyai masalah gizi (NCPM I, 2008).

Asosiasi Dietisien Indonesia (AsDI), sejak tahun 2006 sudah melakukan workshop, pelatihan dan sosialisasi untuk penerapan PAGT di rumah sakit, termasuk RSUP Dr. Sardjito yang juga telah menerapkan PAGT. Integrasi antara penerapan skrining gizi dan PAGT masih belum jelas, yaitu belum adanya pedoman intervensi gizi untuk pasien yang berisiko malnutrisi.

Penelitian dilaksanakan dalam 2 tahap, dimana tujuan penelitian tahap pertama adalah mengembangkan metode skrining gizi baru yang sederhana, mudah, dan cepat dilakukan untuk semua pasien dewasa di rumah sakit serta menguji validitas dan reliabilitasnya. Peneliti juga akan membandingkan metode skrining gizi baru dengan NRS-2002, MST, MUST, SNAQ terhadap status gizi berdasarkan SGA, parameter antropometri (IMT dan LLA), dan biokimia (albumin, hemoglobin dan Limfosit) serta membandingkan kemampuan metode

(7)

Tujuan penelitian tahap kedua adalah 1) mengetahui pengaruh skrining gizi metode NRS dan skrining gizi baru terhadap perbaikan asupan gizi, status gizi (LLA, kadar albumin), lama rawat pasien, dan status pulang pasien 2) Mengetahui pengaruh proses asuhan terstandar kebijakan rumah sakit (PAGT RS) dan proses asuhan gizi terstandar baru (PAGT baru) pada pasien yang berisiko malnutrisi terhadap perbaikan asupan gizi, status gizi (LLA, kadar albumin), lama rawat pasien, dan status pulang pasien. (3) Mengetahui pengaruh interaksi skrining gizi dan proses asuhan gizi terhadap perbaikan asupan gizi, status gizi, lama rawat pasien, dan status pulang pasien.

Penelitian observasional dengan rancangan cross sectional dilakukan untuk mengembangkan metode skrining gizi. Rancangan kohor prospektif, dengan kelompok terpapar yaitu pasien yang berisiko malnutrisi dan kelompok tidak terpapar pasien yang tidak berisiko malnutrisi pada saat masuk RS serta outcome lama perawatan dan status pulang pasien. Penelitian tahap kedua melakukan skrining gizi dengan menggunakan metode baru dan NRS dan memberikan intervensi gizi pada pasien yang berisiko malnutrisi berupa PAGT berbasis skrining dan PAGT RS kemudian melihat pengaruhnya terhadap asupan gizi, status gizi, lama rawat pasien, dan status pulang pasien. Penelitian tahap kedua menggunakan metode factorial design 2x2, dengan 4 kelompok yaitu kelompok yang diskrining dengan metode NRS dan mendapatkan PAGT RS (A1B1); kelompok yang diskrining dengan NRS dan mendapatkan PAGT baru (A1B2); kelompok yang diskrining dengan SGB dan mendapatkan PAGT RS (A2B1); kelompok yang diskrining dengan SGB dan mendapatkan PAGT baru (A2B2)

(8)

Penelitian observasional dengan rancangan cross sectional dilakukan untuk mengembangkan metode skrining gizi. Rancangan kohor prospektif, dengan kelompok terpapar yaitu pasien yang berisiko malnutrisi dan kelompok tidak terpapar pasien yang tidak berisiko malnutrisi pada saat masuk RS serta outcome lama perawatan dan status pulang pasien. Penelitian tahap kedua melakukan skrining gizi dengan menggunakan metode baru dan NRS dan memberikan intervensi gizi pada pasien yang berisiko malnutrisi berupa PAGT berbasis skrining dan PAGT RS kemudian melihat pengaruhnya terhadap asupan gizi, status gizi, lama rawat pasien, dan status pulang pasien. Penelitian tahap kedua menggunakan metode factorial design 2x2, dengan 4 kelompok yaitu kelompok yang diskrining dengan metode NRS dan mendapatkan PAGT RS (A1B1); kelompok yang diskrining dengan NRS dan mendapatkan PAGT baru (A1B2); kelompok yang diskrining dengan SGB dan mendapatkan PAGT RS (A2B1); kelompok yang diskrining dengan SGB dan mendapatkan PAGT baru (A2B2)

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien dewasa yang baru masuk dan dirawat di RSUP Dr. Sardjito. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi yang ditetapkan, yaitu pasien dewasa bersedia menjadi subyek penelitian dengan menandatangani informed consent dengan Kesadaran komposmentis. Kriteria ekslusi dari sampel adalah Pasien dengan kondisi hamil dan post partum, dan gangguan jiwa

Perhitungan sampel menggunakan rumus dari Jones (2004), dengan melihat variabel berisiko dan estimasi prevalensi malnutrisi. Prevalensi malnutrisi berdasar SGA pada studi pendahuluan yaitu berdasar NRS yaitu 38,4% (Susetyowati, 2009), sehingga didapatkan sampel mínimum untuk analisis

(9)

multivariat, yaitu : 1000 x variabel berisiko/prevalensi malnutrisi. Jumlah sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah jumlah sampel terbesar berdasar indikator status gizi yaitu 495 pasien. Perhitungan besar sampel untuk uji reliabilitas dengan melakukan Studi propokol dilakukan oleh peneliti antar 2 pengukur yaitu ahli gizi dengan jumlah sampel 40 orang. Hasil studi didapatkan nilai alpha ( ) sebesar 0,9 dan prevalensi 50%, sehingga jumlah sampel yang dibutuhkan adalah 73 orang (Jones 2004a).

Perhitungan besar sampel untuk penelitian tahap ke dua dengan menentukan perbedaan minimal yang akan dideteksi, yaitu untuk asupan

energi : 150 kkal; asupan protein : 6 gram; LLA : 1,7 cm; kadar albumin : 0,3 g/dl; lama rawat inap : 2 hari. Perhitungan besar sampel berdasarkan penelitian Fayakun (2011) dan Ferguson (1999). Jumlah sampel minimal untuk setiap kelompok adalah 91 orang, dengan total sampel menjadi 364 orang dengan menggunakan randomisasi blok.

Penelitian dilakukan di instalasi rawat inap dewasa RSUP dr. Sardito Yogyakarta. Penelitian tahap pertama dilakukan pada bulan Maret sampai September 2011 dan penelitian tahap kedua pada bulan November 2011 sampai Agustus 2012.

Pengembangan Metode skrining gizi baru

Untuk mendapatkan alat skrining yang baik, alat tersebut harus valid yaitu dapat membedakan pasien yang berisiko malnutrisi dan tidak berisiko malnutrisi. Penelitian ini merujuk langkah-langkah pengembangan alat skrining gizi dari Jones, yaitu melakukan kajian literatur, mengidentifikasi variabel berisiko, menganalisis validitas isi, menyusun alat skrining gizi, melakukan pilot studi, menyusun ulang pertanyaan, melakukan analisis reliabilitas dan validitas (Jones,

(10)

2004). Pengujian validitas dari pengembangan alat skrining gizi dilakukan dengan 3 macam uji validitas yaitu validitas isi, validitas konstruk dan validitas kriteria (Jones, 2004b).

Analisis validitas isi dilakukan dengan studi literatur dan pengalaman klinis serta melibatkan ahli gizi yang ada di rumah sakit, seperti yang dikemukakan oleh Jones untuk memberikan masukan dan melengkapi variabel berisiko yang diidentifikasi (Jones 2004a; Jones 2004b; Kondrup dkk, 2003). Komponen variabel berisiko menurut ESPEN terdiri dari empat komponen utama (Rasmussen dkk, 2010), yaitu : (1) Kondisi sekarang, digambarkan dengan tinggi badan (TB), berat badan (BB), dan IMT. Pada kasus yang tidak dapat dilakukan pengukuran BB dan TB, dapat dilakukan pengukuran LLA. (2) Kondisi yang stabil, digambarkan dengan kehilangan berat badan yang didapat dari riwayat pasien. (3) Kondisi yang memburuk, digambarkan dengan pertanyaan yang berkaitan dengan asupan makan yang menurun. (4) Pengaruh penyakit terhadap perburukan status gizi, digambarkan dengan pengaruh penyakit yang menyebabkan peningkatan kebutuhan dan penurunan nafsu makan.

Dari hasil kajian risiko malnutrisi didapatkan 39 pertanyaan, yang kemudian menjadi 30 pertanyaan setelah didiskusikan dengan ahli gizi yang sudah berpengalaman di RSUP Dr. Sardjito. Analisis lanjutan didapatkan 17 pertanyaan setelah dilakukan studi pendahuluan terhadap 41 orang pasien, dengan uji korelasi pearson dan uji reliabilitas yaitu uji alpha Cronbach . Hasil analisis reliabilitas interkonsistensi (nilai alpha Cronbach) sebesar 0.888 yang artinya sangat reliabel.

Analisis validitas dilakukan terhadap 495 pasien dewasa dengan menggunakan Tabel kontingensi (Tabel 2x2) untuk menentukan pertanyaan

(11)

mana yang memiliki nilai sensitivitas, spesifisitas tertinggi dengan baku emas SGA. Pemilihan SGA sebagai baku emas karena SGA dikembangakan sebagai instrumen prognostik untuk memprediksi outcome klinis dari pada instrumen diagnostik. Hasil penelitian Detsky (1984) mendapatkan SGA merupakan instrumen terbaik dalam memprediksi komplikasi infeksi dibandingkan albumin, trasferin, antropometri, tebal lemak, hipersensitivitas, Creatinin High index (CHI) dan prognoistic Nutritional Index (PNI) dengan nilai sensitivitas 82% dan spesifisitas 72%. PNI dan CHI merupakan terbaik yang kedua dengan nilai sensitivitas 85% dan spesifisitas 45%. Alasan lain menggunakan SGA sebagai baku emas karena beberapa metode skrining gizi menggunakan SGA sebagai baku emas, diantaranya MST dengan nilai sensitivitas dan spesifisitas 93 %, dan 3-MinNS dengan nilai sensitivitas 86% dan spesifisitas 83%. SGA merupakan metode penilaian gizi yang komprehensif dan dapat mengidentifikasi pasien yang sudah mengalami malnutrisi atau berisiko malnutrisi yang terdiri dari riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik. (Detsky dkk, 1987). SGA juga merupakan indikator yang tepat untuk identifikasi pasien gizi kurang dalam memprediksi komplikasi maupun kematian selama rawat inap (Sacks dkk, 2000).

Nilai maximum sum of sensitivity and specificity (MSS) merupakan hasil penjumlahan nilai sensitivitas dan spesifisitas, dan semakin tinggi nilai MSS berarti semakin baik indikator tersebut (Fletcher, dkk, 1996). Dari 17 pertanyaan diperoleh 6 pertanyaan yang kemudian digunakan dalam pengembangan SGB, dengan alasan memiliki nilai MSS tinggi dan sensitivitas serta spesifisitas diatas 60%, dimana termasuk dalam kriteria baik (Budiarto, 2004). Pertanyaan dalam SGB sudah mewakili empat komponen gizi yang dirumuskan oleh Rasmussen, dkk (2010), yaitu kondisi pasien sekarang menggambarkan pasien terlihat

(12)

kurus, kondisi yang stabil tergambarkan dari kehilangan berat badan dan pakaian yang terasa longgar, kondisi yang memburuk dari penurunan asupan makan, dan adanya pengaruh riwayat penyakit tergambarkan dari kondisi pasien yang lemah, loyo dan tidak bertenaga serta penurunan nafsu makan karena penyakitnya.

Penentuan cut off dilakukan dengan menggunakan Kurva Receiver Operator Characteristik (ROC), sehingga didapatkan berapa titik cut-off yang tepat untuk mengkategorikan berisiko malnutrisi dan tidak berisiko malnutrisi. Kurva ROC dipergunakan untuk menerangkan ketepatan tes dalam berbagai tingkatan titik potong, yang dapat berfungsi sebagai monogram untuk membaca spesifisitas yang sesuai dengan sensitifitas yang ada. Ketepatan keseluruhan dari tes bisa diterangkan dalam daerah di bawah kurva ROC, bertambah besar luasnya akan bertambah baik hasil tesnya (Flecher, dkk 1996). Diketahui bahwa cut-off risiko malnutrisi dari SGB adalah 0-2 masuk kategori tidak berisiko malnutrisi dan > 2 masuk kategori berisiko, dengan nilai AUC sebesar 0,855. Hal ini menandakan bahwa SGB dapat menggambarkan SGA sebesar 85,5%. Nilai ROC diatas 0,8 merupakan diskriminasi yang baik. (Jones, 2004a; Streiner & Norman, 1995).

Validitas konstruk memerlukan spesifikasi hubungan yang diharapkan antara hasil skrining dengan variabel yang tidak digunakan untuk mengembangkan skrining gizi, termasuk pengukuran antropometri, dan pemeriksaan laboratorium. Hasil analisis menunjukkan bahwa pasien yang berisiko malnutrisi mempunyai nilai rerata lebih rendah, untuk parameter objektif status gizi yaitu IMT, LLA, albumin, hemoglobin dan TLC dibandingkan pasien yang tidak berisiko malnutrisi. Perbandingan nilai rerata IMT, LLA, albumin dan

(13)

hemaglobin antara pasien yang berisiko malnutrisi dan tidak secara berturutan adalah sebagai berikut : 19,5 kg/m2 dibandingkan 22,6 kg/m2; 23,8 cm dibandingkan 26 cm ; 2,92 g/dl dibandingkan 3,5 g/dl; 11,07 g/dl dibandingkan 12,41 g/dl. Analisis statistik menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara skrining gizi baru dengan parameter status gizi (p <0,001), kecuali untuk TLC.

Indeks massa tubuh (IMT) merupakan pengukuran antropometri sebagai indikator status gizi untuk memantau berat normal orang dewasa dan sangat sensitif untuk menentukan status gizi kurang, normal, dan lebih. Lingkar lengan atas (LLA) merupakan pengukuran yang sering digunakan untuk mendeteksi gizi kurang energi dan protein, di mana jumlah jaringan lemak bawah kulit sedikit. Pada pengukuran LLA cenderung melihat secara paralel perubahan masa otot saja (Gibson, 2005). Hasil penelitian di London, UK yang meneliti hubungan LLA, IMT, dan kehilangan BB sebagai indikator malnutrisi pada pasien masuk di unit gawat darurat (UGD) RS, memperoleh hasil bahwa dari 1561 pasien yang diteliti, terdapat 18,3% pasien malnutrisi berdasarkan indikator IMT kurang dari 20 kg/m2, LLA kurang dari 25 cm dan kehilangan BB lebih besar atau sama dengan 10% (Tuck dan Hennessy, 2003).

Indikator biokimia merupakan salah satu metode pengukuran status gizi. Pengukuran aktivitas peradangan dilakukan dengan pengukuran biokimia yaitu kadar albumin, hemoglobin, C-reaktif protein, dan sitokin. Pada beberapa dekade, albumin merupakan indikator aktivitas peradangan dan faktor risiko perkembangan komplikasi infeksi setelah trauma (Soeters, dkk, 2008). Albumin baik digunakan untuk indeks malnutrisi energi dan protein, di mana kadar albumin serum normal adalah 3,5 g/dl sampai dengan 5,2 g/dl (Gibson, 2005). Hemoglobin yang kurang merupakan ekspresi kompleks dari gejala klinis suatu

(14)

penyakit yang mempengaruhi mekanisme patogenesis gangguan produksi eritrosit, perdarahan, dan penghancuran eritrosit. . Pada pasien penyakit kronik dengan hemoglobin kurang, berat ringannya anemia berbanding lurus dengan penyakit (Hill, 2000).

Hasil penelitian menunjukkan pasien yang berisiko malnutrisi menurut SGB sebesar 51,5%, sedangkan menurut SGA pasien dengan status gizi kurang (SGA B dan C) sebesar 44%. Skrining gizi baru merupakan metode skrining untuk mendeteksi pasien yang berisiko malnutrisi sedangkan SGA adalah metode assesmen gizi untuk menentukan pasien yang malnutrisi, sehingga SGB memdapatkan nilai prevalensi yang lebih tinggi.

Analisis validitas kriteria dengan melakukan tabulasi silang antara skrining gizi baru dengan baku emas yaitu SGA, dimana hasilnya akan menunjukkan tingkat kesepakatan antara SGB dengan SGA. Untuk mengetahui performa dari alat krining tersebut dilakukan penilaian sensitivitas dan spesifisitas. Dari hasil analisis didapatkan nilai sensitivitas 97% dan nilai spesifisitas 80% dengan nilai prediktif positive menunjukkan 78% pasien yang berisiko malnutrisi akan menjadi malnutrisi, dan nilai prediktif negatif adalah 92% pasien yang tidak berisiko malnutrisi akan menjadi status gizi baik. Untuk mengetahui keakuratan dari alat skrining gizi baru yaitu dapat memisahkan kelompok yang berisiko malnutrisi dan yang tidak berisiko malnutrisi. dilakukan analisis kurva receiver operating characteristic (ROC). Hasil luas area dibawah kurva ROC adalah 0,93, dimana nilai ROC diatas 0,8 merupakan diskriminasi yang baik (Jones, 2004a).

Skrining gizi baru dapat digunakan untuk semua pasien dewasa yang masuk ke rumah sakit, dan SGB merupakan alat skrining gizi yang sederhana dengan 6 pertanyaan tanpa pengukuran antropometri sehingga dapat dilakukan

(15)

oleh selain petugas kesehatan. Skrining gizi baru hanya membutuhkan waktu yang singkat yaitu berkisar antara 3-5 menit untuk setiap pasien dibandingkan dengan SGA yang membutuhkan waktu 15 menit (Abbot, 2006). Hasil SGB juga valid dan dapat digunakan untuk mengidentifikasi pasien yang berisiko malnutrisi. Hal ini sesuai untuk kriteria pengembangkan alat skrining gizi menurut Ferguson, yaitu dapat digunakan pada populasi pasien dewasa yang heterogen dengan menggunakan data rutin, sederhana, cepat dan mudah dalam mengisinya oleh tenaga staff bukan professional, tidak invasif dan murah serta Valid dan berguna (Ferguson dkk., 1999).

Reliabilitas Inter-Rater Skrining Gizi Baru

Reliabilitas interrater dilakukan untuk mengetahu kesepakatan antara ahli gizi dan ahli gizi, ahli gizi dan pertawat serta ahli gizi dan pramusaji makanan dalam menentukan risiko malnutrisi pada pasien saat masuk RS dengan menggunakan skrining gizi baru. Kesepakatan antara ahli gizi dengan ahli gizi di bangsal penyakit dalam untuk menentukan risiko malnutrisi dengan hasil kesepakatan 90%, yaitu skrining gizi baru antara ahli gizi 1 dan 2 menunjukkan 39 kesamaan dalam menentukan pasien berisiko malnutrisi, dan 27 kesamaan dalam menentukan pasien tidak berisiko malnutrisi dari 73 pasien. Hasil Kappa (к) yang diperoleh antar-ahli gizi di bangsal penyakit dalam yaitu 0,803 (p <0.001).

Hasil Kappa (к) yang diperoleh antara ahli gizi dan pramusaji di bangsal syaraf yaitu 0,718 (p <0.001).dan antara ahli gizi dan perawat di bangsal bedah yaitu 0,653 (p< 0.001). Hal ini menunjukkan kesepakatan yang cukup baik menurut Fleiss dkk. (2003). Penelitian reliabilitas NRS-2002 yang dilakukan di

(16)

RSUP Dr. sardjito, menunjukkan hasil yang baik yaitu kesepakatan antar ahli gizi yaitu к = 0,692 dan kesepakatan antara ahli gizi dan perawat sebesar к = 0,548 (Sari, dkk, 2011). Apabila dibandingkan dengan skrining gizi baru mempunyai kesepakatan yang lebih baik dibandingkan NRS-2002 yaitu 0,803 untuk antar ahli gizi dan 0,718 antara ahli gizi dan perawat.

Skrining gzi baru merupakan alat srining yang mudah dilakukan, dan dapat dilakukan tidak hanya oleh ahli gizi saja namun juga oleh petugas kesehatan lain yang berada di RS, terutama adalah perawat, karena perawat adalah petugas yang pertama berhubungan dengan pasien ketika pasien masuk RS, dan tidak harus oleh tenaga kesehatan. Salah satu kriteria alat skrining gizi adalah tepat digunakan, karena sederhana, cepat dan mudah dalam mengisinya oleh tenaga staff bukan professional, pasien atau keluarga (Ferguson, 1999)

Nilai kappa antara ahli gizi dan perawat lebih rendah dibandingkan antar ahli gizi atau ahli gizi dan pramusaji. Hal ini kemungkinan disebabkan, masih banyaknya tugas rutin dari perawat diluar pelayanan gizi. Hasil penelitian di dua bangsal rumah sakit Melbourne didapatkan kepatuhan perawat dalam melakukan skrining gizi dengan menggunakan MUST dan MST pada saat pasien masuk hanya 25% dan 61%. Hambatan dalam penerapan skrining karena adanya tugas-tugas lain dari perawat, pengetahuan dan ketrampilan perawat dalam menggunakan instrument skrining serta interpretasinya. (Raja, dkk 2008; Fletcher, dkk 2011)

Perbandingan SGB dengan skrining gizi lain terhadap Outcome pasien Hasil analisis dari 11 alat skrining gizi oleh American Dietetic Association (ADA), didapatkan NRS-2002 merupakan alat skrining gizi yang terbaik yaitu grade 1. Alat skrining MST, MUST termasuk grade II, sedangkan SNAQ

(17)

termasuk dalam grade V (Ferguson dkk, 2012). Skrining Gizi baru akan dibandingkan dengan skrining gizi lain yang sudah terbukti valid dan reliabel terhadap parameter status gizi, lama perawatan dan status pulang. Penelitian pada 300 pasien bedah dengan membandingkan IMT, kehilangan BB, NRS-2002, MUST, Nutritional Risk Index (NRI) dengan SGA pada saat masuk RS, didapatkan MUST dan NRS-2002 merupakan alat skrining gizi yang valid untuk pasien bedah (Almeida, dkk. 2012)

Terdapat hubungan yang signifikan antara metode SGB dan skrining gizi lain (NRS-2002, MST, MUST, dan SNAQ) dengan SGA. Pasien yang diidentifikasi berisiko malnutrisi menurut skrining gizi, sebagian besar status gizi kurang menurut SGA. Kesepakatan skrining gizi baru dengan SGA yang paling baik, yaitu dengan nilai kappa 0,7 dibandinkan dengan skrining gizi lain. Malnutrition Universal Screening Tool mendapatkan perbedaan antara yang berisiko dan tidak berisiko malnutrisi paling baik yaitu 18,9 kg/m dan 24,1 kg/m untuk IMT serta 23,3 cm dan 27,9 cm untuk LLA. Langkah pertama skrining gizi dengan MUST adalah melakukan pengukuran berat bedan, tinggi badan dan interpretasi IMT, apabila tidak memungkinkan melakukan pengukuran tinggi badan maka dilakukan pengukuran alternatif yaitu panjang lengan (ulna), tinggi lutut atau rentang lengan dan dapat dilakukan pengukuran LLA (Todorovic, 2003). Hal ini yang menyebabkan skrining gizi menggunakan MUST lebih baik dalam membedakan IMT dan LLA antara yang berisiko dan tidak berisiko malnutrisi apabila dibandingkan skrining gizi lain..

Hasil uji statistik kai kuadrat dengan tingkat kepercayaan 95% menunjukkan ada perbedaan yang signifikan tentang skrining gizi subjek penelitian berdasarkan indikator SGB, NRS-2002, MST, dan SNAQ dengan

(18)

status pulang, kecuali untuk MUST tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0,05). Hasil analisis kurva ROC indikator SGB, NRS-2002, MST, MUST, dan SNAQ terhadap lama perawatan dan status pulang. Skrining gizi baru mempunyai nilai AUC paling besar terhadap lama perawatan yaitu 0,595 dan berturut-turut diikuti oleh indikator MST, NRS-2002, MUST dan SNAQ. Demikian pula untuk outcome status pulang Indikator SGB mempunyai nilai AUC paling besar yaitu 0,620 dan berturut-turut diikuti oleh indikator NRS-2002, MST, SNAQ , dan MUST.

Penelitian Tahap kedua

Pada penelitian tahap kedua dilakukan di Instalasi Rawat Inap I,yaitu di bangsal penyakit dalam dan bedah. Total Subyek penelitian adalah 480 orang yang dibagi menjadi 4 kelompok perlakuan yaitu A1B1, A1B2, A2B1 dan A2B, masing-masing 120 orang. Jumlah subyek penelitian yang drop out, karena lama perawatan kurang dari 3 hari, karena pasien meninggal, pulang atau pindah ruang perawatan sebanyak 76 orang. Jumlah subyek penelitian untuk kelompok A1B1 adalah 104 orang, kelompok A1B2 sebesar 101 orang, kelompok A2B1 sebesar 100 orang dan kelompok A2B2 sebesar 99 orang. Hasil analisis menunjukkan ke empat kelompok homogen, apabila dilihat dari karakteristik jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan, tempat perawatan,riwayat masuk ke rumah sakit.

Pengelompokkan penyakit berdasarkan keparahan penyakit dengan menggunakan indeks kormobiditas charlson, yang berfungsi untuk memperkirakan kematian dalam jangka waktu 10 tahun, outcome, serta lamanya rawat inap (Charlson, 1987). Hasil analisis indek kormobiditas terdapat perbedaan yang signifikan diantara ke-empat kelompok (p= 0,006). Hasil

(19)

analisis menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna pada keempat kelompok untuk penyakit dengan ada tidaknya gangguan metabolisme protein. Penyakit yang berkaitan dengan metabolisme protein seringkali berhubungan dengan kondisi penyakit yang kronis dan albumin adalah indikator perubahan biokimiawi yang paling sensitif terhadap penyakit penyakit kronis (Mears, 2005). Pada penelitian ini, penyakit yang diderita pasien yang termasuk penyakit metabolisme protein diantaranya kanker, ginjal, sepsis, HIV-Aids,thalasemia, anemia, gangguan jantung, COPD (Cronic Obstructive Pulmonary Disease), pneumonia,tuberkulosis dan efusi pleura, diare. Sedangkan penyakit non metabolisme protein yang diderita antara lain diabetes mellitus, asma, ISK (infeksi saluran kemih), hipertensi dan gastritis. (Tandra, 1988)

Tidak ada perbedaan pada keempat kelompok untuk penyakit yang mengalami peningkatan stres metabolik. Malnutrisi yang disertai infeksi akan memperburuk derajat infeksi yang terjadi serta mengakibatkan terjadinya infeksi berulang. Malnutrisi berat akan menghambat imunitas tubuh terhadap infeksi, merusak barrier perlindungan kulit dan membran mukosa serta menurunkan jumlah dan kapasitas fagositosis leukosit sebagai bagian dari sistem imunitas tubuh, sehingga memudahkan terjadinya infeksi (Asiah, 2003). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa penyakit dengan stres metabolik seperti kanker dan infeksi berkaitan erat dengan kondisi malnutrisi (Correia & Campos, 2003; Edington dkk, 2000; Waitzberg dkk, 2001).

Penilaian status gizi berdasarkan antropometri, yaitu LLA dan kadar albumin. Menurut Collins (1996) pengukuran LLA lebih mudah digunakan untuk mengetahui malnutrisi berat pada orang dewasa daripada IMT. Hubungan antara LLA dengan IMT ditunjukkan dengan r=0,88 (CI= 0,82-0,93). Pada penelitian ini

(20)

tidak menggunakan IMT untuk status gizi, karena banyak pasien tidak bisa dilakukan pengukuran dengan berdiri dan adanya ascites atau odema. Rerata LLA pada ke empat kelompok masih rendah yaitu dibawah 23,5 cm, yang menunjukkan IMT < 20 kg/m2 (BAPEN, 2003). Penelitian ini mengelompokkan pasien dengan LLA < 23,5 cm termasuk malnutrisi dan LLA > 23,5 cm termasuk status gizi normal, hasil menunjukkan kelompok A2B2 lebih banyak dengan malnutrisi yaitu 60,4% dibandingkan kelompok A1B1, A1B2 dan A2B1 yaitu sebesar 52%, 58,5% dan 42,1% secara berturutan.

Rerata kadar albumin pada keempat kelompok, menunjukkan hipoalbuminemia yaitu dibawah 3 g/dl, yang menunjukkan prognosis yang buruk (Gibson, 2005). Pada penelitian ini hipoalbuminemia dikelompokkan menjadi ringan (2,8-3,5 g/dl), sedang ( 2,1 -2,79 g/dl) dan berat (< 2,1 g.dl). Prevalensi pasien dengan kadar albumin normal hanya 18,7 %; 21,3%; 16% dan 17,6% untuk kelompok A1B1, A1B2, A2B1 dan A2B2. Kadar albumin plasma <2 g/dl sering dijumpai pada sindroma nefrotik, gastroenteropati dan sepsis; kadar 2-2,3 g/dl didapatkan pada penderita sirosis hati dan glomerulonefritis; kadar 2,3-3 g/dl dijumpai pada reaksi fase akut, hepatitis virus, malnutrisi, carcinoma, arthritis rematik, dan infeksi berat (Peters, 1996).

Pada saat pasien masuk RS, terdapat hubungan kadar albumin dengan penyakit (p<0,05), dimana hipoalbuminemia sedang dan berat lebih banyak terdapat pada penyakit dengan kormobiditas berat, penyakit dengan peningkatan stress metabolik dan penyakit dengan gangguan metabolisme protein. Albumin menggambarkan cadangan protein visceral dan memiliki hubungan dengan kreatinin serum yang menggambarkan cadangan protein tubuh. Meski demikian, albumin bukanlah penanda status gizi yang paling ideal karena dipengaruhi oleh

(21)

status hidrasi, infeksi dan inflamasi yang menstimulasi cytokine mediated acute phase response sehingga meningkatkan kebocoran albumin dari kapiler ( Herselman, 2010). Hal ini terlihat dari hasil penelitian, dimana hipoalbuminemia sedang dan berat banyak terdapat di penyakit dalam dibandingkan di bangsal bedah.

Terdapat hubungan yang signifikan antara LLA dengan faktor penyakit, riwayat datang ke RS, tempat perawatan dan status albumin (p<0.05) pada saat awal penelitian. Pada keadaan infeksi akan terjadi kenaikan basal metabolisme. apabila asupan zat gizi kurang, maka kebutuhan energi sel menjadi lebih besar dari substrat yang tersedia, hal ini memicu pemecahan jaringan tubuh untuk pemenuhan kebutuhan substrat. Proses katabolik otot memobilisasi asam amino dan protein somatik untuk memenuhi kebutuhan energi yang timbul akibat demam. Respon metabolisme dari kombinasi demam dan anoreksi akan menyebabkan hiperkatabolisme yang menyebabkan hancurnya protein sel somatic dan berkurangnya cadangan protein tubuh (Abbot, 2003).

Pengaruh intervensi Skrining gizi terhadap outcome pasien

Untuk mengetahu pengaruh skrining gizi dengan membandingkan metode NRS-2002 (kelompok A1B1 dan A1B2) dengan SGB (kelompok A2B1 dan A2B2), dengan tidak mempertimbangkan intervensi asuhan gizi yang diberikan. Terdapat perbaikan asupan energi dan protein mulai dari hari pertama masuk RS; hari ke-3; hari ke-7, hari ke-10 dan hari ke-14 perawatan baik pada kelompok SGB maupun NRS. Peningkatan asupan belum dapat memenuhi kebutuhan apabila dilihat dari rerata asupan selama perawatan, dimana kelompok SGB lebih baik dibanding kelompok NRS-2002 yaitu 1016 kkal dan 35,3 gram dibanding 924 kkal dan 31,9 gram. Konsumsi makan yang rendah

(22)

berkaitan dengan penurunan nafsu makan dan masalah kesulitan makan, yang erat kaitannya dengan terjadinya malnutrisi, sehingga diperlukan strategi untuk mengatasi masalah tersebut (Feldlum, 2011).

Salah satu fungsi dari skrining gizi adalah untuk mencegah atau mengatasi kondisi atau komplikasi yang terjadi, karena dengan informasi tersebut memungkinkan individu atau keluarga merencanakan tindak lanjutnya, demikian pula dengan tenaga kesehatan dapat memberikan intervensi yang sesuai (Elia dan Stratton, 2012). Pada pasien yang berisiko malnutrisi baik dengan menggunakan SGB maupun NRS-2002 dapat mendeteksi rendahnya asupan energi dan protein dalam 24 jam pertama pasien masuk RS. Pemberian intervensi gizi secara dini dapat menaikkan asupan energi dan protein pada ke dua kelompok skrining gizi.

Perubahan LLA dapat digunakan untuk memonitor perkembangan selama terapi nutrisi dan berhubungan positif dengan berat badan. Perubahan LLA mudah dideteksi dalam waktu singkat dan memerlukan peralatan yang sederhana (Gibson, 2005). Ada pengaruh intervensi skrining gizi dengan perubahan nilai lingkar lengan atas, dimana pada kelompok NRS-2002 terjadi penurunan 0,19 cm dan kelompok SGB terjadi peningkatan 0,09 cm dengan Sig (p) < 0,05. Intervensi skrining gizi tidak dapat menaikkan kadar albumin serum selama perawatan, pada kedua kelompok terjadi penurunan kadar albumin. Faktor yang mempengaruhi perubahan kadar albumin tidak terlepas dari mekanisme sintesis, kehilangan protein (loss protein), peningkatan katabolisme protein dan cairan elektrolit. (Tandra, 1988). Pada penelitian ini sebagian besar subyek penelitian dengan penyakit yang disertai gangguan metabolisme protein, dan tingkat keparahan penyakit berdasarkan indeks kormobid juga cukup besar,

(23)

sehingga intervensi skrining gizi tidak dapat menaikkan kadar albumin serum pada akhir pengamatan.

Hasil penelitian juga menunjukkan tidak ada pengaruh intervensi skrining gizi terhadap lama perawatan, dan status pulang pasien. Lama perawatan merupakan outcome dari pelayanan kesehatan, dan banyak faktor yang mempengaruhi. Peningkatan morbiditas pada pasien malnutrisi, secara signifikan memperpanjang masa pengobatan dan lama perawatan (Kyle dkk, 2004). Lama perawatan yang lebih lama pada kelompok SGB yaitu 13,2 hari dibandingkan pada kelompok NRS-2002 yaitu 12 hari, kemungkinan disebabkan indeks kormobiditas dengan skor > 5 lebih banyak pada kelompok SGB. Demikian pula pada kelompok SGB lebih banyak pasien yang pulang dalam keadaan tidak membaik termasuk meninggal (33,7%) dibandingkan kelompok NRS-2002.

Correia & Waitzberg (2003) menunjukkan bahwa malnutrisi sedang dan berat merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan kematian (OR 1,87). Hasil penelitian Sorensen et al. (2008) juga menunjukkan bahwa kematian lebih banyak terjadi pada pasien yang berisiko malnutrisi. Pada penelitian ini semua subyek penelitian adalah pasien yang berisiko malnutrisi, dan didapatkan 26,3% dan 33,6% pulang dalam keadaan tidak membaik.

Pengaruh intervensi Proses asuhan gizi terstandar terhadap outcome pasien

Pemberian pelayanan asuhan gizi yang baik dapat mempengaruhi dan merubah faktor-faktor yang mempunyai kontribusi terhadap ketidakseimbangan status gizi, juga meningkatkan status kesehatan gizi (Nelms, 2007). Terdapat 3 indikator keberhasilan PAGT yaitu; a) perubahan pengetahuan, perilaku dan akses makanan; b) perubahan asupan gizi; c) perubahan tanda dan gejala fisik

(24)

(ADA, 2008). Untuk mengetahu pengaruh PAGT terhadap outcome pasien dilakukan dengan membandingkan PAGT RS (kelompok A1B1 dan A2B1) dengan PAGT baru (kelompok A1B2 dan A2B2), dengan tidak memperhatikan metode skrining yang digunakan pada saat pasien masuk RS.

Perbaikan asupan energi dan protein mulai dari hari pertama masuk RS; hari ke-3; hari ke-7, hari ke-10 dan hari ke-14 perawatan terjadi pada ke dua kelompok perlakuan. Pada pasien yang berisiko malnutrisi, dilakukan Monitoring dan evaluasi gizi untuk melihat efektifitas dari intervensi gizi yang telah diberikan. Kondrup (2001) menyatakan bahwa monitoring gizi merupakan satu langkah yang penting sebagai upaya pemenuhan zat gizi. Melalui monitoring gizi diketahui toleransi responden terhadap asupan zat gizi sehingga dapat dilakukan penyesuaian intervensi gizi sesuai dengan perubahan yang terjadi. Pasien malnutrisi yang diberikan konseling gizi disertai dengan pemberian suplemen oral dibandingkan dengan pasien yang hanya diberikan suplemen oral , menunjukkan hasil peningkatan yang lebih baik untuk asupan energi dan protein pada kelompok yang diberikan konseling gizi (Ru¨fenacht,2010). Pada penelitian ini semua pasien mendapat konseling gizi, dan terjadi peningkatan asupan energi dan protein selama perawatan.

Terapi gizi harus diberikan dengan mempertimbangkan penyebab ketidak seimbangan antara asupan dan kebutuhan meliputi faktor gizi dan makanan, biologis manusia, serta lingkungan. Menurut Lacey (2007), Stump (2008) dan Stratton (2005), dukungan gizi pada pasien yang masih dapat makan, secara fundamental efektif dalam memperbaiki outcome pada pasien yang berisiko malnutrisi. Pada penelitian ini terlihat bahwa pada kelompok PAGT baru lebih banyak yang mendapatkan dukungan nutrisi. Intervensi gizi pada ke dua

(25)

kelompok prinsipnya sama yaitu edukasi gizi, pemberian diet dan kolaborasi dengan tim kesehatan. Pada kelompok PAGT baru lebih sistematis, hal ini terlihat bahwa pasien yang berisiko malnutrisi, disertai asupan energi < 75% kebutuhan energi dan disertai albumin < 3 g/dl diberikan modifikasi diet dan pertemuan dengan tim kesehatan sehingga jumlah pasien yang diberikan dukungan nutrisi dan pemberian diet enteral atau nutrisi paranteral lebih banyak diberikan pada kelompok PAGT baru. Secara keseluruhan PAGT dapat menaiikan asupan energi dan protein.

Pada penelitian ini perubahan LILA kemungkinan lebih menggambarkan dibandingkan perubahan berat badan, seperti pada penelitian Pichard (2004) yang mendapatkan bahwa hubungan masa bebas lemak dengan lama perawatan lebih sensitif dibandingkan dengan penurunan berat badan sebesar 10% dan IMT < 20 kg/m. Kadar albumin serum pada ke dua kelompok PAGT terjadi penurunan, dan tidak ada pengaruh intervensi PAGT terhadap perbaikan kadar albumin serum. Hasil penelitian juga menunjukkan tidak ada pengaruh intervensi PAGT terhadap lama perawatan, dimana lama perawatan kelompok PAGT-RS adalah 12,74 hari dan kelompok PAGT baru adalah 12,44 hari. Pada ke dua kelompok terjadi penurunan status gizi berdasarkan LLA dan kadar albumin, yang dapat berdampak pada lama perawatan yang leih panjang. Penurunan status gizi pada pasien rawat inap tanpa melihat status gizi pada saat masuk rumah sakit berhubungan dengan biaya yang lebih tinggi dan lama rawat inap lebih panjang (Chima, 1997; Wyszynski, 1997; Braunschweig, 2000; Correia, 2003b; Marco, 2011).

(26)

Efek interaksi yaitu efek yang diakibatkan oleh adanya interaksi antara skrining gizi dan PAGT, dan untuk mengetahui efek tersebut dilakukan dengan analisis varian. Rerata asupan energi tertinggi pada kelompok A2B2 yaitu 1023 kkal, dan terendah pada kelompok A1B1 yaitu 888 kkal. Penelitian Fayakun (2011) menyatakan bahwa pelaksanaan PAGT dapat meningkatkan rerata asupan energi, protein pada pasien masing-masing sebesar 49,08% dan 62,64%. Bentuk makanan dan dukungan nutrisi akan mempengaruhi asupan zat gizi pasien, seperti penelitian di sembilan RS Swedia, pemberian intervensi gizi pada pasien yang berisiko malnutrisi berupa tambahan kalori dan protein (7-17%), suplementasi oral (43-54%), dan 8-22% mendapat nutrisi enteral dan paranteral (Westergen dkk., 2009)..

Untuk mengetahui Effect size (ukuran efek) dari intervensi yang diberikan, dilakukan analisis lanjut dengan regresi linier. Effect size merupakan ukuran mengenai signifikansi praktis hasil penelitian yang berupa ukuran besarnya korelasi atau perbedaan. Effect size juga dapat dianggap sebagai ukuran mengenai kebermaknaan hasil penelitian dalam tataran praktis (Santoso, 2010). Ukuran efek diperlukan karena signifikasi statistik tidak memberikan informasi yang cukup berarti terkait dengan besarnya perbedaan atau korelasi. Analisis multivariat dilakukan , setelah mempertimbangkan adanya variable lain yang dapat mempengaruhi asupan energi dan protein, yaitu pemberian dukungan nutrisi, cara pemberian makan, bentuk makanan, faktor usia dan faktor penyakit.

Terdapat peningkatan perbedaan rerata energi dan protein baik pada kelompok A1B2, A2B1 dan A2B2 apabila dibandingkan dengan A1B1. Ukuran efek perbedaan rerata energi dan protein yang tertinggi adalah pada A2B2 yaitu 129 kkal dan 4,6 g protein, pada energi terdapat perbedaan yang signifikan (p<

(27)

0,05) sedangkan untuk protein tidak terdapat perbedaan (p=0,07). Intervensi dengan SGB dan PAGT baru mendapatkan ukuran efek yang terbaik, hal ini kemungkinan disebabkan intervensi dalam PAGT sudah sesuai dengan permasalahan gizi pasien. Menurut O‟flynn dkk. (2005) bentuk intervensi gizi yang diberikan melalui pemberian makanan dan/atau zat gizi, edukasi / konseling gizi, dan koordinasi pelayanan gizi berdasarkan penyebab masalah gizi.

Pada penelitian ini tidak menggunakan indikator perubahan berat badan, karena peningkatan berat badan walaupun dapat menjadi indikator adanya perbaikan kondisi malnutrisi, tetapi di sisi lain dapat menunjukkan terjadinya retensi cairan akibat penyakit berat serta efek samping obat (Rolfes et al., 2009; ASPEN, 2005). Menurut Weinsler (1989), berat badan adalah parameter gizi untuk mengetahui perkembangan pasien di rumah sakit, tetapi masalah utama untuk menginterpretasikan masa tubuh pasien adalah saat membedakan antara komponen otot dan cairan. Kenaikan berat badan yang diasumsikan pengaruh dari dukungan nutrisi, seringkali dikacaukan karena adanya edema.

Penelitian ini menunjukkan bahwa ukuran efek asupan energi dan protein pada kelompok A2B2 lebih baik dibandingkan kelompok lainnya, hal ini ditunjukkan juga bahwa pada kelompok A2B2 terjadi peningkatan LLA yang lebih baik yaitu 0,31 cm dibandingkan kelompok lainnya. Analisis multivariat dilakukan , setelah mempertimbangkan adanya variable lain yang dapat mempengaruhi perubahan LLA, yaitu pemberian dukungan nutrisi, cara pemberian makan, bentuk makanan, faktor usia, faktor penyakit dan riwayat pra rawat. Hasil analisis terjadi peningkatan ukuran efek menjadi 0,35 cm. Perubahan LLA dapat digunakan untuk menggantikan perubahan berat badan yang sulit dilakukan pada penelitian ini, interpretasi perubahan berat badan 10% menggambarkan

(28)

perubahan LLA 10%. (BAPEN, 2003). Penurunan berat badan sebesar 10% dalam waktu 3 bulan, menggambarkan risiko malnutrisi. Waktu pengamatan perubahan dilakukan selama 1 minggu, sehingga memungkinkan terjadi perubahan LLA sebesar 1%. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian, yang menunjukkan perubahan sebesar 0,35 cm.

Ukuran efek perubahan kadar albumin pada kelompok A1B2, A2B1 dan A2B2 apabila dibandingkan dengan reference yaitu kelompol A1B1 sangat kecil yaitu 0,12 g/dl; 0,07 g/dl dan 0,09 g.dl. Nilai tersebut tidak mengalami perubahan setelah dilakukan analisis multivariat, dengan mempertimbangkan faktor penyakit, usia, pemberian dukungan nutrisi dan riwayat pra rawat. Pada penelitian ini, rerata kadar albumin pasien berkisar di 2,8 g/dl untuk 4 kelompok perlakuan. Kadar albumin kurang dari 3 g/dl menunjukkan prognosis yang buruk (Gibson, 2005).

Pada kebanyakan kasus, hipoalbuminemia yang bermakna dapat disebabkan oleh tiga penyebab utama yaitu hepatic insufficiency, renal loss (protein-losing nephropathy), dan gastrointestinal loss (protein-loss enteropathy). (Rose, 2002). Pada penelitian ini faktor penyakit dengan gangguan metabolisme protein tidak mempengaruhi perubahan kadar albumin, walaupun kadar albumin penyakit dengan gangguan metabolisme protein lebih rendah dibandingkan yang tidak. Hal ini kemungkinan karena adanya pemberian dukungan nutrisi pada pasien yang mengalami hipoalbuminemia, sehingga mempengaruhi perubahan kadar albumin pada akhir perawatan.

Lama rawat merupakan salah satu outcome pelayanan kesehatan yang dapat dipengaruhi secara tidak langsung oleh intervensi melalui pelayanan asuhan gizi terstandar. Outcome pelayanan kesehatan menggambarkan

(29)

outcome-outcome yang diberikan oleh pemberi layanan kesehatan dan sistem pelayanan kesehatan serta merupakan outcome kumulatif dari seluruh pelayanan kesehatan di rumah sakit (ADA, 2008). Tidak ada interaksi antara skrining gizi dan PAGT terhadap rerata lama rawat inap.

Faktor kormobiditas penyakit dengan menggunakan Indeks komorbid Charlson memiliki kelebihan, diantaranya nilai dapat digunakan untuk sebagian besar pasien, tidak mahal dan simpel. Adapun kekurangan indeks komorbid Charlson adalah hubungan yang tidak adekuat terhadap jumlah konsumsi obat, lama rawat inap, dan biaya total (Charlson, 1987). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa tidak ada hubungan faktor penyakit berdasarkan kormobiditas dengan lama perawatan. Penelitian dilakukan di bangsal penyakit dalam dan bedah, dimana lama perawatan pasien bedah lebih lama yaitu 14,1 hari dibandingkan dengan di penyakit dalam yaitu 11,99 hari. Hubungan tersebut dikendalikan oleh faktor jenis penyakit (ada tidaknya penyakit diabetes dan kanker), riwayat rawat inap dan operasi, jenis kelamin dan umur (Braunschweig et al,. 2001).

Ukuran efek lama rawat inap yang terbaik adalah pada kelompok A2B1 kemudian kelompok A2B2 yaitu sebesar 1,16 hari dan 0,9 hari bila dibandingkan dengan A1B1, walaupun secara statistik tidak terdapat perbedaan yang significan (p>0,05). Menurut Allison (2000), intervensi gizi yang dilakukan sejak dini dapat mengurangi satu hari rawat inap untuk setiap intervensi gizi yang dilakukan dua hari lebih awal setelah pasien masuk rumah sakit. Analisis multivariat, dengan memasukkan faktor-faktor yang mempengaruhi lama perawatan yaitu faktor penyakit, usia, riwayat pra rawat, kadar albumin dan LLA, asupan energi dan protein. Ukuran efek mengalami perubahan untuk semua kelompok perlakuan,

(30)

dengan hasil terbaik pada kelompok SGB-PAGT RS yaitu 0,69 hari. Hasil analisis tidak terdapat hubungan yang signifikan secara statisti, demikian pula dengan kemaknaan praktis karena tidak sampai 1 hari perawatan.

Sebagian besar pasien di RS meninggal karena malnutrisi dan multi organ failure. Tubuh akan menggunakan cadangan jaringan pada kekurangan gizi tahap pertama, dan apabila cadangan jaringan habis akan mengakibatkan perubahan nilai biokimia dalam darah yang terkait gizi kurang. Tubuh akan mengeluarkan respon lemas, mudah mengantuk, pusing, dan merasa kurang tenaga. Apabila keadaan kurang gizi terus terjadi, maka akan terjadi kematian jaringan, hal ini akan menyebabkan perubahan metabolisme dalam tubuh (Rahayuningsih, 2001)

. Pada penelitian ini dibuktikan bahwa penyakit dengan peningkatan stress metabolik dan keparahan penyakit berdasarkan Charlson mempunyai hubungan dengan status pulang pasien. Penyakit stres metabolik adalah jenis penyakit yang mempunyai dampak pada peningkatan kebutuhan energi dan protein (Kondrup,2003). Status pulang dipengaruhi juga oleh asupan zat gizi dan status gizi pasien disamping faktor penyakit. Rerata asupan energi dan protein, LLA serta kadar albumin pada akhir penelitian lebih rendah pada pasien yang pulang dalam keadaan tidak membaik. Pada penelitian yang dilakukan pada 15511 pasien yang memiliki kadar albumin < 3,4 g/dl cenderung akan mengalami kematian dan memiliki lama rawat inap lebih panjang dari pada pasien dengan kadar albumin normal. Meskipun kadar albumin bukanlah penanda yang spesifik, albumin mampu memprediksi kematian dan lama rawat inap dengan tepat (Hermann, 1992).

(31)

Hasil analisis interaksi skrining gizi dan PAGT terhadap status pulang didapatkan bahwa kelompok SGB-PAGT baru lebih banyak dengan penyakit yang parah yang ditunjukkan dengan kormobiditas dengan skor >5 mempunyai risiko 1,86 kali untuk pulang tidak membaik. Analisis multivariat dengan memasukkan faktor keparahan penyakit didapatkan penurunan faktor risiko menjadi 1,49 dan tidak terdapat hubungan yang signifikan.

Evaluasi status gizi adalah pembahasan yang sangat luas, dan menjadi sangat penting karena dapat digunakan untuk melihat kondisi pasien dan berkaitan dengan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas. Terdapat hubungan antara penyakit dan dan status gizi, dimana penyakit dapat menyebabkan malnutrisi dan malnutrisi juga dapat meperburuk kondisi suatu penyakit. Outcome pada pasien sangat dipengaruhi oleh banyak faktor dan tidak bisa dijelaskan hanya dengan satu faktor saja (ADA,1994).

Kesimpulan dan saran

Skrining gizi baru terbukti valid, dengan bisa membedakan pasien yang berisiko malnutrisi mempunyai nilai pengukuran status gizi (LLA, IMT, kadar albumin serum, kadar hemoglobin, total limfosit hitung) lebih rendah dan mempunyai lama perawatan lebih panjang serta status pulang tidak baik dibandingkan pasien yang tidak berisiko malnutrisi. Skrining gizi baru juga reliabel dengan kesepakatan antara dua orang Ahli Gizi dalam mendeteksi risiko malnutrisi pada pasien dewasa mempunyai nilai kappa lebih baik dibandingkan kesepakatan antara ahli gizi dan pramusaji serta ahli gizi dan perawat. Apabila dibandingkan dengan skrining gizi lain, SGB mempunyai kemampuan yang sama dengan metode NRS-2002, MST, MUST dan SNAQ dalam hubungannya dengan IMT, LLA, kadar albumin, total limfosit hitung dan kadar albumin serta

(32)

mempunyai nilai Discriminating power lebih besar dalam memprediksi lama rawat dan status pulang.

Intervensi skrining gizi baru dan NRS dapat meningkatkan asupan energi, protein dan perubahan LLA serta Tidak ada hubungan skrining gizi dengan lama perawatan dan status pulang. Tidak ada hubungan PAGT dengan asupan zat gizi dan status gizi, walaupun rerata asupan energi, protein, perubahan LLA dan perubahan albumin pada kelompok PAGT baru lebih baik dibandingkan PAGT rumah sakit. Tidak ada hubungan PAGT dengan lama perawatan dan status pulang.Interaksi antara skrining gizi baru dan PAGT baru mempunyai rerata asupan energi, protein dan perubahan LLA lebih baik dibandingkan kelompok lain. Ukuran efek dari asupan energi sebesar 129 kkal, asupan protein 4,6 gram, dan LLA sebesar 0,35 cm.

Skrining gizi baru dapat diterapkan pada semua pasien dewasa yang baru masuk rumah sakit untuk mendeteksi pasien yang berisiko malnutrisi, dan diulang secara periodik. Untuk mencegah malnutrisi di rumah sakit dan pemberian intervensi gizi sedini mungkin, skrining gizi perlu dilakukan 1 x 24 jam pada saat pasien masuk RS, sehingga diperlukan pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan perawat dan pramusaji dalam mendeteksi pasien yang berisiko malnutrisi. Penerapan algoritme Pedoman asuhan gizi pasien untuk pasien yang berisiko malnutrisi di rumah sakit, dalam hal pedoman edukasi dan konseling gizi, pedoman pemberian makanan tambahan (dukungan nutrisi) dan pedoman koordinasi pemberian asuhan gizi untuk mengatasi malnutrisi di rumah sakit.

Referensi

Dokumen terkait

Berbeda tidak nyatanya pertam- bahan bobot badan masing-masing per- lakuan juga disebabkan karena produk fermentasi ini dapat meningkatkan nilai kecernaan karena

Dapat dikatakan Hotel Lingga merupakan pendatang baru dalam persaingan hotel kelas bintang tiga karena sebelum tahun 2009 Hotel Lingga merupakan hotel kelas melati

Pelaksanaan perlindungan hukum merek berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, khususnya Pasal 3, yaitu mengenai pemberian hak eksklusif oleh negara kepada

Puji Syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatnya penyusunan Laporan Praktik Kerja Lapangan yang berjudul “Survei Pemanfaatan Ikan Hiu di

Audit hand hygiene merupakan cara yang dilakukan untuk mengobservasi dan mengukur kepatuhan para petugas kesehatan dalam melakukan hand hygiene yang merupakan perilaku

Denso Indonesia Sunter Plant telah memiliki sistem proteksi bahaya yang berjalan dengan baik dan teratur.. Sistem proteksi dilakukan mulai dari proses kerja awal hingga

Berdasarkan hasil observasi dilapangan bahwa jumlah ruangan yang tersedia hanya 4 ruangan yaitu; dua (2) ruangan digunakan untuk proses belajar teori sekaligus sebagai

Ketentuan ayat ini memberikan kewenangan kepada Kepala Perangkat Daerah yang bertanggung jawab dibidang perpajakan Daerah untuk dapat menerbitkan Surat Ketetapan