• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. laba yang terkait dengan perataan laba. Menurut Anthony dan Govindarajan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. laba yang terkait dengan perataan laba. Menurut Anthony dan Govindarajan"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Landasan Teori dan Konsep 2.1.1 Teori Agensi (Agency Theory)

Teori Agensi adalah pendekatan yang dapat menjabarkan konsep manajemen laba yang terkait dengan perataan laba. Menurut Anthony dan Govindarajan (2005), teori agensi adalah hubungan atau kontrak antara principal dan agent di mana diasumsikan bahwa tiap-tiap individu semata-mata termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara principal dan agent. Dalam teori keagenan, yang disebut principal adalah pemegang saham sementara agent adalah manajemen yang mengelola perusahaan. Principal diasumsikan hanya tertarik pada pengembalian keuangan yang diperoleh dari investasi mereka pada perusahaan. Sedangkan agent diasumsikan menerima kepuasan tidak hanya dari kompensasi keuangan tetapi juga dari tambahan lain yang terlibat dalam hubungan keagenan.

Hubungan keagenan didefinisikan Jensen dan Meckling (1976) sebagai kontrak antara satu orang atau lebih pemilik (principal) yang menyewa orang lain (agent) untuk melakukan beberapa jasa atas nama pemilik yang meliputi pendelegasian wewenang pengambilan keputusan kepada agen. Walaupun terdapat kontrak, agen tidak akan melakukan hal yang terbaik untuk kepentingan pemilik. Hal ini karena agen juga mempunyai kepentingan untuk memaksimalkan kesejahteraannya. Dengan kata lain, manajer akan mengambil kebijakan yang menguntungkan dirinya sebelum memberikan manfaat kepada pemegang saham.

(2)

Asumsi dasar teori agensi menurut Schroeder (2001:48) adalah setiap individu berusaha untuk melakukan segala sesuatu secara maksimal untuk mengoptimalkan kepentingannya sendiri. Pihak prinsipal termotivasi untuk melakukan kontrak dalam rangka mensejahterakan dirinya melalui profitabilitas yang pada umumnya diharapkan selalu meningkat. Disisi yang lain, agen termotivasi untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi dan psikologisnya (Widyaningdyah, 2001:91).

Terdapat asumsi sifat dasar manusia untuk menjelaskan tentang teori agensi, seperti yang dijelaskan Eisenhardt dalam Wijayanti (2009) salah satunya yaitu self interest di mana dalam hal ini manusia hanya mementingkan diri sendiri dan tidak mau berkorban untuk orang lain. Teori agensi mengasumsikan bahwa semua individu bertindak untuk kepentingan mereka sendiri.

Penelitian yang dilakukan oleh Watts dan Zimmerman (1986), secara empiris menunjukkan keterkaitan hubungan antara agen dan prinsipal sering ditentukan oleh angka akuntansi (Widyaningdyah, 2001:92). Hal ini mendorong pihak manajemen selaku agen untuk berusaha mengolah angka akuntansi menjadi sedemikian rupa melalui cara yang sistematis dengan memilih metode/kebijakan tertentu sehingga angka akuntansi (laba) yang dilaporkan dari periode ke periode benar-benar dapat mencapai tujuan akhir yang diinginkan (Muchammad, 2001:19) dalam Dewi (2011).

Oleh karena teori keagenan berkaitan dengan usaha-usaha untuk memecahkan masalah yang timbul dalam hubungan keagenan. Masalah keagenan muncul jika: (1) Terdapat perbedaan tujuan (goals) antara agen dan prinsipal, (2) Terdapat

(3)

kesulitan atau membutuhkan biaya yang mahal bagi prinsipal untuk senantiasa memantau tindakan-tindakan yang diambil oleh agen. Masalah keagenan juga akan terjadi jika antara agen dan prinsipal mempunyai sikap atau pandangan yang berbeda terhadap risiko (Dewi, 2011).

Kunci dari teori agensi adalah perbedaan tujuan antara prinsipal dan agen, di mana semua individu berusaha bertindak sesuai dengan kepentingannya masing-masing serta aktivitas agen yang sehari-hari tidak dapat dimonitor, sehingga prinsipal tidak mengetahui apakah agen telah bekerja sesuai dengan keinginan prinsipal atau tidak, menyebabkan konflik kepentingan antara prinsipal dengan agen semakin meningkat (Komalasari, 1999:167).

2.1.2 Manajemen Laba

Utami (2005) mendefinisikan manajemen laba sebagai, “some ability to increase or decrease reported net income at will”. Ini berarti bahwa manajemen laba mencakup usaha manajemen untuk memaksimumkan atau meminimumkan laba, termasuk perataan laba sesuai dengan keinginan manajer. Scott (2000) dalam Rahmawati dkk. (2006) membagi cara pemahaman atas manajemen laba menjadi dua.

1) Pertama, melihatnya sebagai perilaku oportunistik manajer untuk memaksimumkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak utang, dan political costs (opportunistic earnings management). 2) Kedua, dengan memandang manajemen laba dari perspektif efficient

contracting (efficient earnings management), dimana manajemen laba memberi manajer suatu fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan

(4)

perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak. Dengan demikian, manajer dapat mempengaruhi nilai pasar perusahaannya melalui manajemen laba, misalnya dengan membuat perataan laba (income smoothing) dan pertumbuhan laba sepanjang waktu.

Schipper (1989) dalam Rahmawati dkk. (2006) yang menyatakan bahwa manajemen laba merupakan suatu intervensi dengan tujuan tertentu dalam proses pelaporan keuangan eksternal, untuk memperoleh beberapa keuntungan privat (sebagai lawan untuk memudahkan operasi yang netral dari proses tersebut). Assih dan Gudono (2000) manajemen laba adalah suatu proses yang dilakukan dengan sengaja dalam batasan General Addopted Accounting Principles (GAAP) untuk mengarah pada tingkatan laba yang dilaporkan. Fischer dan Rozenzwig (1995) manajemen laba adalah tindakan manajer yang menaikkan (menurunkan) laba yang dilaporkan dari unit yang menjadi tanggung jawabnya yang tidak mempunyai hubungan dengan kenaikan atau penurunan profitabilitas perusahaan dalam jangka panjang. Healy dan Wallen (1999) manajemen laba terjadi ketika manajer menggunakan judgement dalam laporan keuangan dan penyusunan transaksi untuk mengubah laporan keuangan, sehingga menyesatkan stakeholders tentang kinerja ekonomi perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil yang berhubungan dengan kontrak yang tergantung pada angka akuntansi.

Manajemen laba adalah campur tangan dalam proses pelaporan keuangan eksternal dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri. Manajemen laba adalah salah satu faktor yang dapat mengurangi kredibilitas laporan keuangan,

(5)

manajemen laba menambah bias dalam laporan keuangan dan dapat mengganggu pemakai laporan keuangan yang mempercayai angka laba hasil rekayasa tersebut sebagai angka laba tanpa rekayasa (Setiawati dan Na’im, 2000 dalam Rahmawati dkk, 2006).

Manajemen laba merupakan area yang kontroversial dan penting dalam akuntansi keuangan. Manajemen laba tidak selalu diartikan sebagai suatu upaya negatif yang merugikan karena tidak selamanya manajemen laba berorientasi pada manipulasi laba. Manajemen laba tidak selalu dikaitkan dengan upaya untuk memanipulasi data atau informasi akuntansi, tetapi lebih condong dikaitkan dengan pemilihan metode akuntansi yang secara sengaja dipilih oleh manajemen untuk tujuan tertentu dalam batasan General Addopted Accounting Principles (GAAP). Pihak-pihak yang kontra terhadap manajemen laba, menganggap bahwa manajemen laba merupakan pengurangan dalam keandalan informasi yang cukup akurat mengenai laba untuk mengevaluasi return dan risiko portofolionya (Ashari dkk, 1994 dalam Assih, 2004).

2.1.3 Teori Akuntansi Positif

Teori Akuntansi Positif yang dapat dijadikan dasar pemahaman tindakan perataan laba yang dirumuskan Watts dan Zimmerman (1986) dalam Kumaladewi (2008), yaitu:

1) The Bonus Plan Hypothesis

Pada perusahaan yang memiliki rencana pemberian bonus, manajer perusahaan akan lebih memilih metode akuntansi yang dapat menggeser laba dari periode mendatang ke periode saat ini sehingga dapat menaikkan laba

(6)

saat ini. Hal ini dilakukan karena manajer lebih menyukai pemberian bonus yang lebih tinggi untuk masa kini.

2) The Debt/ Equity Hypothesis (Debt Covenant Hypothesis)

Pada perusahan yang mempunyai debt to equity ratio tinggi, manajer perusahaan cenderung menggunakan metode akuntansi yang dapat meningkatkan pendapatan atau laba. Hal ini karena perusahaan dengan debt to equity ratio yang tinggi akan mengalami kesulitan dalam memperoleh dana tambahan dari pihak kreditur bahkan perusahaan terancam melanggar perjanjian utang.

3) The Political Cost Hypothesis (Size Hypothesis)

Pada perusahaan besar yang memiliki biaya politik tinggi, manajer akan lebih memilih metode akuntansi yang dapat membuat laba yang dilaporkan pada periode berjalan menjadi lebih rendah daripada laba yang sesungguhnya. Biaya politik muncul karena laba perusahaan yang tinggi dapat menarik perhatian investor.

2.1.4 Perataan Laba

Salah satu pola atau tindakan manajemen atas laba yang dapat dilakukan yaitu perataan laba (income smoothing). Menurut Koch (1981) dalam Mursalim (2003) tindakan perataan laba dapat didefinisikan sebagai suatau sarana yang digunakan manajemen untuk mengurangi variabilitas urut-urutan, pelaporan laba relatif terhadap beberapa urut-urutan target yang terlihat karena adanya manipulasi variabel-variabel akuntansi semu (artificial smoothing) atau transaksi riil (real smoothing).

(7)

Definisi lain menganai income smoothing adalah definisi yang dikemukakan oleh Belkaoui (1993) dalam Ghozali dan Chariri (2007) perataan laba merupakan normalisasi laba yang dilakukan secara sengaja untuk mencapai tren atau tingkat yang diinginkan. Adapun Frudenberg dan Tirole (1995) dalam Nurkhabib (2004:11) mendefinisikan perataan laba sebagai proses manipulasi profil waktu earning atau pelaporan earning agar aliran laba yang dilaporkan perubahannya lebih sedikit.

Definisi income smoothing lainnya yang dikemukakan Beidelman (1973) dalam Ghozali dan Chariri (2007) adalah perataan laba yang dilaporkan dapat didefinisikan sebagai usaha yang disengaja untuk meratakan atau memfluktuasikan tingkat laba sehingga pada saat sekarang dipandang normal bagi suatu perusahaan. Dalam hal ini perataan laba menunjukkan suatu usaha manajemen perusahaan untuk mengurangi variasi abnormal laba dalam batas-batas yang diizinkan dalam praktek akuntansi dan prinsip manajemen yang wajar. Ada beberapa alasan yang dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa manajer melakukan perataan laba. Menurut Heyworth (1953) dalam Ghozali dan Chariri (2007) menyatakan bahwa motivasi yang mendorong dilakukannya perataan laba adalah memperbaiki hubungan dengan kreditor, investor dan karyawan, serta meratakan siklus bisnis melalui proses psikologis.

Beidleman dalam Belkaoui (2007) mempertimbangkan dua alasan menejemen meratakan laporan laba. Pendapat pertama berdasar pada asumsi bahwa suatu aliran laba yang stabil dapat mendukung deviden dengan tingkat yang lebih tinggi daripada suatu aliran laba yang variabel sehingga memberikan

(8)

pengaruh yang menguntungkan bagi nilai saham perusahaan seiring dengan turunnya tingkat risiko perusahaan secara keseluruhan. Argumen kedua berkenaan pada perataan kemampuan untuk melawan hakikat laporan laba yang bersifat siklus dan kemungkinan juga akan menurunkan korelasi antara ekspektasi pengembalian perusahaan dengan pengembalian fortofolio pasar. Hal tersebut merupakan hasil dari kebutuhan manajemen untuk menetralisir ketidakpastian lingkungan dan menurunkan fluktuasi yang luas dalam kinerja operasi perusahaan terhadap siklus waktu baik maupun waktu buruk yang berganti-ganti. Manajemen laba berbeda dengan kecurangan.

Konsep perataan laba mengasumsikan bahwa investor adalah orang yang menolak risiko (Fudenberg dan Tirole 1995 dalam Salno 2000) dan manajer yang menolak risiko terdorong untuk melakukan perataan laba. Demikian juga dalam hubungannya dengan kreditur, manajer lebih menyukai alternatif yang menghasilkan perataan laba (Trueman dan Titman 1988 dalam Salno 2000). Hasil penelitian Suh (1990) dalam Khafid (2004) juga menunjukkan adanya motivasi kuat yang mendorong manajer melakukan perataan laba.

Adapun Bidleman dalam Assih (2000) percaya bahwa manajemen melakukan perataan laba untuk menciptakan suatu aliran laba yang stabil dan mengurangi covariance atas return dengan pasar. Sedangkan Barnea ,dkk (1976) dalam Assih (2000) menyatakan bahwa manajer melakukan perataan laba untuk mengurangi fluktuasi dalam laba yang dilaporkan dan meningkatkan kemampuan investor untuk memprediksi aliran kas dimasa yang akan datang. Di lain pihak menurut

(9)

Dye (1988) dalam Suwito dan Herawaty (2005) menyatakan pemilik mendukung perataan laba karena adanya motivasi internal dan motivasi eksternal.

Motivasi internal menunjukkan maksud pemilik untuk meminimalisasi biaya kontrak manajer dengan membujuk manajer agar melakukan praktek manajemen laba. Motivasi eksternal ditujukan oleh usaha pemilik saat ini untuk mengubah persepsi investor prospektif atau potensial terhadap nilai perusahaan. Menurut Belkaoui (2007) tiga batasan yang mungkin mempengaruhi para manajer untuk melakukan perataan laba adalah:

1) Mekanisme pasar yang kompetitif sehingga mengurangi jumlah pilihan yang tersedia bagi manajemen.

2) Skema kompensasi manajemen yang terhubung langsung dengan kinerja perusahaan.

3) Ancaman penggantian manajemen.

Dipandang dari sisi manajemen, Hepwort dalam Salno (2000) mengungkapkan bahwa manajer yang termotivasi melakukan perataan laba atau penghasilan pada dasarnya ingin mendapatkan berbagai keuntungan ekonomi dan psikologis, antara lain; mengurangi total pajak terutang, meningkatkan kepercayaan diri manajer yang bersangkutan karena penghasilan yang stabil mendukung kebijakan deviden yang stabil pula, meningkatkan hubungan manajer dengan karyawan karena pelaporan penghasilan yang meningkat tajam memberi kemungkinan munculnya tuntutan kenaikan gaji dan upah, siklus peningkatan dan penurunan penghasilan dapat ditandingkan dan gelombang optimisme atau pesimisme dapat diperlunak.

(10)

Gordon dalam Ghozali dan Chariri (2007) mengajukan proporsi berkaitan dengan perataan laba sebagai berikut:

1) Kriteria yang dipakai oleh manajemen perusahaan dalam memilih metode akuntansi adalah untuk memaksimumkan kepuasan atau kesejahteraannya.

2) Kepuasan merupakan kunci pengamanan pekerjaan, level, dan tingkat pertumbuhan gaji serta level dan tingkat pertumbuhan dan besaran (size) perusahaan.

3) Kepuasan dari pemegang saham dan kenaikan performan perusahaan dapat meningkatkan status dan reward bagi manajer.

4) Kepuasan yang sama tergantung pada tingkat pertumbuhan dan stabilitas laba perusahaan.

Dascher dan Malcolm (1970) dalam Ghozali dan Chariri (2007) menyatakan bahwa ada beberapa media yang biasanya digunakan manajemen dalam melakukan income smoothing yaitu real smoothing dan artificial smoothing. Perataan riil mengacu pada transaksi aktual yang terjadi maupun tidak terjadi dalam hal pengaruh perataan sedangkan perataan artifisial mengacu pada prosedur akuntansi yang diimplementasikan terhadap pergeseran biaya dan pendapatan dari satu periode ke periode yang lain. Namun disamping kedua media tersebut masih terdapat dimensi atau media lain untuk melakukan income smoothing, yaitu classificatory smoothing.

Barnea et.al 1976 dalam Ghozali dan Chariri (2007) membedakan ketiga dimensi perataan tersebut sebagai berikut:

(11)

1) Perataan melalui terjadinya peristiwa dan/atau pengakuan peristiwa. Artinya, manajemen dapat menentukan waktu transaksi aktual terjadi sehingga pengaruh transaksi tersebut terhadap laba yang dilaporkan cenderung rata sepanjang waktu.

2) Perataan melalui alokasi sepanjang periode. Atas dasar terjadinya dan diakuinya atas peristiwa tertentu, manajemen memiliki media pengendalian tertentu dalam penetuan laba pada periode yang terpengaruh oleh kuantifikasi peristiwa tersebut.

3) Perataan melalui klasifikasi (classificarity smoothing). Jika angka-angka dalam laporan laba rugi selain laba bersih merupakan proyek dari perataan laba, maka manajemen dapat dengan mudah mengklasifikasikan elemen-elemen dalam laporan laba rugi sehingga dapat mengurangi variasi laba setiap periodenya.

2.1.5 ROA (Return on Assets)

Menurut Hanafi dan Halim (2003:27), Return on Assets (ROA) merupakan rasio keuangan perusahaan yang berhubungan dengan profitabilitas mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan keuntungan atau laba pada tingkat pendapatan, aset dan modal saham tertentu. Dengan mengetahui ROA, kita dapat menilai apakah perusahaan telah efisien dalam menggunakan aktivanya dalam kegiatan operasi untuk menghasilkan keuntungan.

Laba bersih (net income) merupakan ukuran pokok keseluruhan keberhasilan perusahaan. Laba dapat mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk mendapat pinjaman dan pendanaan ekuitas, posisi likuiditas perusahaan dan kemampuan

(12)

perusahaan untuk berubah. Jumlah keuntungan (laba) yang diperoleh secara teratur serta kecenderungan atau trend keuntungan yang meningkat merupakan suatu faktor yang sangat penting yang perlu mendapat perhatian penganalisa di dalam menilai profitabilitas suatu perusahaan. Munawir (2001:57) menjelaskan bahwa profitabilitas atau rentabilitas digunakan untuk mengukur efisiensi penggunaan modal dalam suatu perusahaan dengan memperbandingkan antara laba dengan modal yang digunakan dalam operasi, oleh karena itu keuntungan yang besar tidak menjamin atau bukan merupakan ukuran bahwa perusahaan itu rentable. Bagi manajemen atau pihak-pihak yang lain, rentabilitas yang tinggi lebih penting daripada keuntungan yang besar.

Menurut Mardiyanto (2009: 196) ROA adalah rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba yang berasal dari aktivitas investasi. Menurut Dendawijaya (2003: 120) rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen dalam memperoleh keuntungan (laba) secara keseluruhan. Semakin besar ROA, semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai oleh perusahaan tersebut dan semakin baik pula posisi perusahaan tersebut dari segi penggunaan asset.

Menurut Lestari dan Sugiharto (2007: 196) ROA adalah rasio yang digunakan untuk mengukur keuntungan bersih yang diperoleh dari penggunaan aktiva. Dengan kata lain, semakin tinggi rasio ini maka semakin baik produktivitas asset dalam memperoleh keuntungan bersih. Hal ini selanjutnya akan meningkatkan daya tarik perusahaan kepada investor. Peningkatan daya tarik perusahaan menjadikan perusahaan tersebut semakin diminati oleh investor, karena tingkat

(13)

pengembalian atau deviden akan semakin besar. Hal ini juga akan berdampak pada harga saham dari perusahaan tersebut di pasar modal yang akan semakin meningkat sehingga ROA akan berpengaruh terhadap harga saham perusahaan. Menurut Lestari dan Sugiharto (2007: 196) angka ROA dapat dikatakan baik apabila > 2%.

2.1.6 NPM (Net Profit Margin)

Menurut Alexandri (2008: 200) Net Profit Margin (NPM) adalah rasio yang digunakan untuk menunjukkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan bersih setelah dipotong pajak.

Menurut Bastian dan Suhardjono (2006: 299) Net Profit Margin adalah perbandingan antara laba bersih dengan pendapatan bunga. Semakin besar NPM, maka kinerja perusahaan akan semakin produktif, sehingga akan meningkatkan kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya pada perusahaan tersebut. Rasio ini menunjukkan berapa besar persentase laba bersih yang diperoleh dari setiap pendapatan bunga. Semakin besar rasio ini, maka dianggap semakin baik kemampuan perusahaan untuk mendapatkan laba yang tinggi. Hubungan antara laba bersih sesudah pajak dan pendapatan bunga menunjukkan kemampuan manajemen dalam mengemudikan perusahaan secara cukup berhasil untuk menyisakan margin tertentu sebagai kompensasi yang wajar bagi pemilik yang telah menyediakan modalnya untuk suatu risiko. Hasil dari perhitungan mencerminkan keuntungan neto per rupiah penjualan. Para investor pasar modal perlu mengetahui kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba. Dengan mengetahui hal tersebut investor dapat menilai apakah perusahaan itu profitable

(14)

atau tidak. Menurut Sulistyanto (tanpa tahun: 7) angka NPM dapat dikatakan baik apabila > 5 %.

2.1.7 DER (Debt to Equity Ratio)

Menurut Charles H.Gibson (2008:260) “Debt equity ratio is another computation thats determines the entity’s long-term debt-paying ability”. Suad Husnan (2004:70) menjelaskan bahwa “debt to equity ratio menunjukan perbandingan antara hutang dengan modal sendiri.”

Menurut Horne dan Wachoviz (1998:145) “Debt to equity is computed by simply dividing the total debt of the firm (lincluding current liabilities) by its shareholders equity”. Debt to equity ratio merupakan perhitungan sederhana yang membandingkan total hutang perusahaan dari modal pemegang saham.

Menurut Sawir (2000-13) menjelaskan bahwa debt to equity ratio adalah “Rasio yang menggambarkan perbandingan utang dan ekuitas dalam pendanaan perusahaan dan menunjukan kemampuan modal sendiri perusahaan tersebut untuk memenuhi seluruh kewajibannya.”

Menurut Robert Ang (1997) DER dapat digunakan untuk melihat struktur modal suatu perusahaan karena DER yang tinggi menandakan srtuktur permodalan usaha lebih banyak memanfaatkan hutang-hutang relatif terhadap ekuitas. Semakin tinggi DER mencerminkan risiko perusahaan relatif tinggi karena perusahaan dalam operasi relatif tergantung terhadap hutang dan perusahaan memiliki kewajiban untuk membayar bunga hutang akibatnya para investor cenderung menghindari saham-saham yang memiliki nilai DER yang tinggi.

(15)

2.1.8 Size (Ukuran Perusahaan)

Ukuran perusahaan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi manajemen dalam praktik perataan laba, karena perusahaan yang besar cenderung lebih diperhatikan oleh masyarakat sehingga mereka akan lebih berhati-hati dalam melakukan pelaporan keuangan. Siregar dan Utama (2005) dalam Pujiningsih (2011) menuturkan bahwa semakin besar ukuran perusahaan, biasanya informasi yang tersedia untuk investor dalam pengambilan keputusan sehubungan dengan investasi dalam saham perusahaan tersebut semakin banyak. Wolk,dkk (2001) menemukan bahwa perusahaan dengan ukuran yang lebih besar cenderung melakukan perataan laba, disamping itu juga cenderung memiliki return saham yang lebih tinggi. Michelson,dkk (2000) mengatakan bahwa perusahaan yang lebih besar memiliki dorongan untuk melakukan perataan dibandingkan perusahaan dengan ukuran yang lebih kecil, hal ini disebabkan karena perusahaan besar merupakan subjek yang dituju baik oleh pemerintah maupun masyarakat.

Perusahaan besar akan selalu menciptakan suatu keadaan yang dapat memberikan kesan kepada masyarakat bahwa kinerja perusahaan tersebut baik dengan cara menghindari fluktuasi laba yang terlalu drastis. Dengan demikian perusahaan berukuran besar diperkirakan memiliki kecenderungan lebih besar untuk melakukan praktik perataan laba, karena kenaikan laba yang terlalu drastis akan menyebabkan bertambahnya pajak bagi perusahaan, dan sebaliknya apabila jika terjadi penurunan laba secara drastis maka akan memberikan kesan terjadinya krisis di dalam perusahaan tersebut. Pada umumnya perusahaan lebih besar lebih banyak melakukan pengungkapan (disclosure) dari pada perusahaan dengan

(16)

ukuran yang lebih kecil. Hal ini dipengaruhi oleh sturktur aktivitas atau operasional perusahaan yang tercermin dari total aktiva (asset) yang dimiliki perusahaan. Makin besar asset suatu perusahaan maka semakin besar ukuran perusahaan, sehingga perusahaan yang tergolong jenis ini akan dianggap memiliki kemampuan lebih besar untuk dibebani biaya yang lebih tinggi, misalnya pembebanan biaya pajak (Zimmerman & Watts, 1986).

Berbeda halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Carolina dan Juniarti (2005) dalam Abiprayu (2011) bahwa perusahaan yang berukuran kecil akan cenderung untuk melakukan praktik perataan laba dibandingkan dengan perusahaan besar, karena perusahaan besar cenderung mendapatkan perhatian yang lebih besar dari analis dan investor dibandingkan perusahaan kecil.

2.2 Hipotesis Penelitian

2.2.1 Pengaruh Return on Assets (ROA) pada Praktik Perataan Laba

ROA menunjukkan kemampuan manajemen dalam menghasilkan laba dengan memanfaatkan aktiva yang digunakan dalam kegiatan operasi. Semakin besar perubahan ROA menunjukkan semakin besar fluktuasi kemampuan manajemen dalam menghasilkan laba. Hal ini mempengaruhi investor dalam memprediksi laba dan memprediksi risiko dalam investasi sehingga memberikan dampak pada kepercayaan investor terhadap perusahaan. Sehubungan dengan itu, manajemen termotivasi untuk melakukan praktik perataan laba agar laba yang dilaporkan tidak berfluktuatif sehingga dapat meningkatkan kepercayaan investor (Budiasih, 2009).

(17)

ROA (Return on Asset) pada penelitian Prabayanti dan Yasa (2010) menunjukkan bahwa profitabilitas yang diukur dengan ROA berpengaruh pada perataan laba. Hal ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dewi dan Prasetiono (2012) dan Santoso (2010) yang menunjukkan bahwa ROA tidak berpengaruh terhadap praktik perataan laba.

H1 : ROA memiliki pengaruh pada praktik perataan laba.

2.2.2 Pengaruh Net Profit Margin (NPM) pada Praktik Perataan Laba Net profit margin ini mengukur seluruh efisiensi baik produksi, administrasi, pemasaran, pendanaan, penentuan harga maupun manajemen pajak. Pada intinya NPM ini mengukur rupiah laba yang dihasilkan oleh setiap satu rupiah penjualan, sehingga dapat memberikan gambaran tentang laba untuk para pemegang saham sebagai presentase dari penjualan. Margin penghasilan bersih ini diduga berpengaruh terhadap pertaan laba, karena secara logismargin ini terkait langsung dengan objek perataan laba. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Septoaji (2002) dan Santoso (2010). Laba merupakan ukuran penting yang sering digunakan manajer sebagai dasar pembagian dividen, dengan asumsi bahwa investor tidak menyukai risiko dan kepuasan investor meningkat dengan adanya laba perusahaan yang stabil (Gordon, dalam Septoaji, 2002). Jika ada variabilitas laba yang besar manajer akan cenderung melakukan perataan dengan harapan bahwa profitabilitas yang tinggi akan menaikkan standar bonus/laba di masa yang akan datang dan mengurangi kekhawatiran manajer dalam pencapaian target laba yang stabil di masa yang akan datang (Septoaji, 2002).

(18)

NPM (Net Profit Margin) yang diteliti oleh Santoso (2010) menunjukkan bahwa variabel NPM merupakan salah satu faktor yang berpengaruh signifikan terhadap perataan laba. Penelitian ini bertentangan dengan penenlitian yang dilakukan Silviana (2010) dan Rahmawati dan Dul Muid (2012) yang menunjukkan bahwa NPM tidak memiliki pengaruh terhadap praktik perataan laba.

H2 : NPM memiliki pengaruh pada praktik perataan laba.

2.2.3 Pengaruh Debt to Equity Ratio (DER) pada Praktik Perataan Laba Debt to equity Ratio (DER) mencerminkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi seluruh kewajibannya yang ditunjukkan oleh beberapa bagian modal sendiri yang digunakan untuk membayar hutang. Penggunaan hutang akan akan menentukan tingkat debt to equity perusahaan (Weston dan Copeland dalam Sitinjak, 2011). Semakin besar hutang perusahaan maka semakin besar pula risiko yang dihadapi investor sehingga investor akan meminta tingkat keuntungan yang semakin tinggi. Akibat kondisi tersebut perusahaan akan cenderung melakukan praktik pertaan laba. Alasan lain perusahaan melakukan pertaan laba untuk menghindari pelanggaran perjanjian hutang, hal ini dapat dilihat melalui kemampuan perusahaan tersebut untuk melunasi hutangnya dengan menggunakan aktiva yang dimiki. Perusahaan yang memiliki tingkat debt to equity tinggi diduga melakukan praktik perataan laba karena perusahaan terancam default sehingga manajemen membuat kebijakan yang dapat meningkatkan pendapatan.

(19)

2.2.4 Pengaruh Ukuran Perusahaan pada Praktik Perataan Laba

Perusahaan yang berukuran besar biasanya menerima lebih banyak perhatian dari analis dan investor dibandingkan dengan perusahaan yang kecil (Budiasih, 2009). Salah satu perusahaan yang memiliki total aktiva yang besar akan mendapatkan perhatian lebih dari pihak luar, diantaranya pemerintah. Pemerintah cenderung membebankan berbagai biaya yang dianggap sesuai dengan kemampuan perusahaan. Perusahaan yang besar akan dibebani biaya yang besar pula, contohnya pajak (Zimmerman and Watts, 1996). Jadi perusahaan besar memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk melakukan perataan laba dengan salah satu alasan untuk menghindari pajak.

Ukuran Perusahaan pada penelitian yang dilakukan oleh Budiasih (2009) menunjukkan bahwa variabel ukuran perusahaan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh signifikan terhadap perataan laba. Penelitian ini bertentangan dengan penenlitian yang dilakukan Julianti dan Corolina (2005), Santoso (2010), Prabayanti dan Yasa, 2010 dan Ina Ernawati, 2011 yang menunjukkan bahwa ukuran perusahaan tidak memiliki pengaruh terhadap praktik perataan laba.

Referensi

Dokumen terkait

Bila sebuah beban dihubungkan ke rangkaian seperti pada Gambar 17(c) tegangan output dari sumber tegangan akan menurun karena terjadi drop tegangan pada resistansi

Animasi lingkaran dan bintang, lingkaran kecil, frame, dan teks Tombol home Tombol profil Tombol materi Tombol latihan Tombol ya Tombol tidak Menu Utama (keluar).

Dari daerah Selatan sebenarnya juga bisa, tetapi karena daerah Pantai Pasir Putih berada di antara jalan Bondowoso-Situbondo dan Lumajang-Probolinggo maka kedua

Jadi kata santri adalah orang yang sedang belajar pada seseorang (guru). Maka istilah santri sama dengan istilah murid. Kajian teoretis di atas mengandung permasalahan

Upah merupakan kompensasi yang diterima oleh satu unit tenaga kerja yang berupa jumlah uang yang dibayarkan kepadanya (Mankiw, 2000) .Sedangkan menurut (PP NO

dari ekspansi kapitalisme yang ada pada relasi sosial ketimpangan agraria diantara. masyarakat

Dalam hal ini perusahaan menetapkan harga jual yang terbaru dan masih berlaku pada pasar dari produk tersebut, maka dari itu dengan metode target costing

Penerapan Metode Crank-Nicholson pada kasus adveksi-difusi 2D untuk proses sesaat dan kontinu dengan variasi nilai kecepatan dan koefisien difusi untuk waktu simulasi