1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah
Jumlah kematian bayi dan balita masih menjadi perhatian pemerintah Indonesia walaupun indikator program Millennium Development Goals (MDGs) terkait Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Balita (AKBa) dapat tercapai di tahun 2015. Di akhir 2015 AKB dapat turun menjadi 21 per 100 kelahiran hidup dan AKBa menjadi 22 per 1000 kelahiran hidup, namun jumlah kematian balita secara absolut masih tetap tinggi. Walaupun Provinsi Daerah Istimewa Yogyakrta (DIY) dapat mencapai target AKB yaitu sebesar 9 per 1000 kelahiran hidup, namun angka tersebut masih bersifat fluktuatif. Hal ini juga terjadi di Kabupaten Bantul, DIY. Angka Kematian Bayi di Kabupaten Bantul dari tahun 2009-2014 mengalami fluktuatif yaitu 12 per 1000 kelahiran hidup di tahun 2009, 10 per 1000 kelahiran hidup tahun 2010, 8 per 1000 kelahiran hidup tahun 2011, 8 per 1000 kelahiran hidup tahun 2012, 9 per 1000 kelahiran hidup tahun 2012, dan 8 per 1000 kelahiran hidup di tahun 2014.1,2
Banyaknya indikator program MDGs yang melampaui sasaran atau target tidak tercapai dan masih tingginya kematian balita secara absolut, Pemerintah membuat agenda kerja baru yaitu Sustainable Development Goals (SDGs) untuk periode 2016 - 2030. Dalam program SDGs, semua negara ditargetkan pada tahun 2030, mengakhiri kematian bayi dan balita yang dapat dicegah dengan menurunkan AKB menjadi 12 per 1000 kelahiran hidup dan AKBa menjadi 25 per 1000 kelahiran hidup. Program ini didukung oleh Program Kesehatan
2
Indonesia lainnya, yaitu Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan (RPJPK) 2005-2025. Sama halnya dengan salah satu tujuan SDGs, yaitu menurunkan AKB dan AKBa, RPJPK juga mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud.1,3
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 merupakan bagian dari RPJPK yang dapat diwujudkan melalui upaya kesehatan dan pemberdayaan masyarakat yang didukung dengan perlindungan finansial dan pemeratan layanan kesehatan. Salah satu sasaran pokok adalah meningkatnya status kesehatan, gizi ibu dan anak yang dapat diwujudkan dengan dilaksanakannya 3 pilar utama Program Indonesia Sehat, salah satunya pilar paradigma sehat yang dilakukan dengan strategi mengutamaan kesehatan dalam pembangunan, penguatan promotif, preventif, dan pemberdayaan masyarakat. Penguatan sektor promotif dan preventif dapat dilakukan dengan cara pelaksanaan promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat3.
Berdasarkan data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tahun 2016, 26.887.974 jiwa melakukan kunjungan kesehatan ke fasilitas kesehatan tingkat pertama dari 126.487.116 jumlah penduduk Indonesia yang menjadi peserta BPJS, jadi hanya sebesar 21 %, artinya terdapat 79 % penduduk yang sehat. Mengingat hal tersebut, seharusnya pemerintah memberikan perhatian pada masyarakat yang sehat. Selama ini nampak bahwa perhatian yang lebih besar ditujukan pada mereka yang sakit. Tidak maksimalnya
3
pelaksanaan promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat di Indonesia disebabkan oleh keterbatasan kapasitas promosi kesehatan di daerah akibat kurangnya tenaga promosi kesehatan. Berdasarkan laporan Riset Fasilitas Kesehatan (Rifaskes) 2011, diketahui bahwa jumlah tenaga penyuluh kesehatan masyarakat di Puskesmas hanya 4.144 dari 8990 Puskesmas di Indonesia. Tenaga tersebut tersebar di 3.085 Puskesmas (34,4%). Derah Istimewa Yogyakarta (DIY) hanya memiliki 49 tenaga promosi kesehatan yang berarti hanya 0,4% per Puskesmas.4,5
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 369/MENKES/SK III/2007 Tentang Standar Profesi Bidan menyebutkan bahwa bidan berwenang dalam memantau dan menstimulasi tumbuh kembang bayi dan anak. Salah satu bentuk stimulasi yang dilakukan sampai saat ini oleh masyarakat adalah dengan pijat bayi.Pemberian pijat pada bayi dinilai dapat membantu pencapaian program SDGs dalam penurunan AKB dan AKBa dengan penurunan prevalensi bayi dan balita gizi buruk sebesar 17% dan prevalensi balita pendek sebesar 9,5% di tahun 2019. Penelitian yang dilakukan oleh Zein (2013), terdapat pengaruh pijat bayi dengan kenaikan berat badan yang dibuktikkan dengan nilai t-test 0,001 ˂0,05. Pijat bayi merupakan peluang yang berpengaruh terhadap peningkatan berat badan bayi sebesar 2,68%. 1,6,7
Penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2009), pelaksanaan pijat bayi oleh 6 dukun di Kabupaten Bantul adalah kurang baik (5 dukun kurang baik dalam pemijatan pada kaki, 6 dukun kurang baik dalam pemijatan pada perut, 6 dukun kurang baik dalam pemijatan pada dada, 4 dukun kurang baik dalam pemijatan
4
pada tangan, 5 dukun kurang baik dalam pemijatan pada punggung, dan 4 dukun kurang baik dalam pemijatan pada wajah). 6 dukun pijat juga tidak melaksanakan gerakan peregangan atau relaksasi.8
Berbeda dengan masyarakat desa yang masih percaya pada dukun, baby spa lebih dipilih oleh masyarakat perkotaan sebagai cara untuk memberikan perawatan tubuh bayi. Selain untuk mengoptimalkan tumbuh kembang, pemijatan saat perawatan baby spa juga bertujuan untuk menjalin ikatan atau komunikasi verbal antara ibu dan bayinya. Manfaat baby spa menjadi tidak optimal bila pemijatan tidak dilakukan atau didampingi oleh ibu.9
Dari penjelasan tersebut, sudah cukup menjadi alasan untuk dilakukannya pijat bayi secara rutin agar kesehatan bayi dapat dipertahankan, pijat bayi ini terbukti murah, mudah, dan telah biasa dilakukan di Indonesia sehingga bukan hal yang baru bagi kultur kita.
Fakta dan kenyataan di masyarakat saat ini, dukun pijat, pemberi layanan
baby spa, maupun tenaga kesehatan lebih dipilih oleh ibu dengan alasan ibu takut
jika salah pijat dan kurang puas dengan hasil pijatannya. Penyebab utama dalam hal ini adalah kurangnya pengetahuan ibu tentang pentingnya pelaksanaan pijat bayi secara mandiri sehingga timbul sikap dan perilaku ibu yang tidak mendukung pelaksanaan pijat bayi secara mandiri.10
Berdasarkan fenomena tersebut, diperlukan suatu pendidikan kesehatan sebagai media tersampaikannya informasi. Pendidikan kesehatan adalah bagian dari usaha promosi kesehatan. Untuk itu dibutuhkan suatu metoda pendidikan kesehatan yang tepat agar status kesehatan, gizi ibu dan anak dapat meningkat
5
melalui promosi kesehatan. Pemilihan metoda pendidikan kesehatan yang tepat juga dibutuhkan hasil dapat optimal sehubungan dengan kurangnya tenaga promosi kesehatan di Indonesia.3
Metoda ceramah sering digunakan dalam penyuluhan kesehatan karena dinilai cukup efektif sebagai penyampainan pesan. Sedangkan untuk aspek efektif dan tindakan dapat digunakan metoda diskusi kelompok, demonstrasi, dan bermain peran. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Dwi (2010) dengan judul “Pengaruh Pengetahuan dan Sikap Ibu Terhadap Pelaksanaan Pijat Bayi”. Kelompok perlakuan diberikan penyuluhan terkait pelaksanaan pijat bayi secara mandiri dengan hasil setiap satu nilai peningkatan pengetahuan ibu dapat meningkatkan 0,92 kemampuan ibu dalam melaksankan pijat bayi (koefisien regresi 0,92, CI 0,34-1,50) dan setiap peningkatan satu nilai sikap dapat meningkatkan 0,55 kemampuan ibu dalam melaksankan pijat bayi (koefisien regresi 0,55, CL 0,30-0,80). Sedangkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Ernawati (2012) dengan judul “Pengaruh Demonstrasi Pijat Bayi terhadap Minat Ibu untuk Melakukan Pijat Bayi Secara Mandiri“, hasilnya terdapat peningkatan jumlah responden yang memiliki minat tinggi. Diperoleh Z=-4,426 nilai p-value =0,00 kurang dari α =0,05, hal ini menunjukkan adanya pengaruh demonstrasi tentang pijat bayi terhadap minat ibu untuk melakukan pijat bayi secara mandiri.11,12
Berdasarkan penjelasan tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian “Pengaruh Metoda Pendidikan Kesehatan Demonstrasi dan Ceramah terhadap Pengetahuan dan Sikap Ibu pada Pijat Bayi”.
6 2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah disajikan, rumusan masalah dalam penelitin ini adalah :
a. Apakah metoda pendidikan kesehatan demonstrasi lebih efektif dibandingkan dengan metoda pendidikan kesehatan ceramah untuk meningkatkan pengetahuan ibu pada pijat bayi ?
b. Apakah metoda pendidikan kesehatan menggunakan demostrasi lebih efektif dibandingkan dengan metoda pendidikan kesehatan ceramah untuk merubah sikap ibu pada pijat bayi ?
3. Tujuan Penelitian
a. Tujuan umum penelitian
Untuk membandingkan metoda pendidikan kesehatan demonstrasi dengan metoda ceramah terhadap pengetahuan dan sikap ibu pada pijat bayi.
b. Tujuan khusus penelitian
1) Mengidentifikasi pengetahuan dan sikap ibu pada pijat bayi sebelum dan sesudah dilakukan pendidikan kesehatan dengan metoda demonstrasi.
2) Mengidentifikasi pengetahuan dan sikap ibu pada pijat bayi sebelum dan sesudah dilakukan pendidikan kesehatan dengan metoda ceramah.
7 4. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
1) Menambah wawasan dan pengetahuan dalam mengembangkan pendidikan kesehatan pemijatan pada bayi.
2) Sebagai bahan masukan penentuan metoda dalam memberikan pendidikan kesehatan pijat bayi.
b. Manfaat Praktis
1) Memberikan informasi atau meningkatkan pengetahuan ibu yang menjadi responden penelitian terkait pijat bayi.
2) Menumbuhkan kesadaran dan meningkatkan kemampuan ibu yang menjadi responden penelitian dalam memberikan pemijatan pada bayi secara mandiri.
3) Memberikan sumber masukan kepada BPM Endang Purwaningsih untuk mempertahankan dan meningkatakan sikap ibu pada pelaksaan pijat bayi secara mandiri.
4) Memberikan sumber masukan kepada dinas terkait tentang metoda efektif yang dapat digunakan atau menjadi acuan penyusunan program dalam pemberian pendidikan kesehatan pemijatan pada bayi.
5. Keaslian Penelitian
Penelitian sebelumnya yang dilakukan pada tahun 2010 oleh saudari Rahayu Dwi dengan judul “Pengaruh Pengetahuan dan Sikap Ibu Terhadap Pelaksanaan
8
Sakit Bethesdha, Rumah Bersalin Rachmi, serta Rumah Sakit Ibu dan Anak Sakinah Idaman Yogyakarta dengan hasil setiap satu nilai peningkatan pengetahuan ibu dapat meningkatkan 0,92 kemampuan ibu dalam melaksankan pijat bayi (koefisien regresi 0,92, CI 0,34-1,50) dan setiap peningkatan satu nilai sikap dapat meningkatkan 0,55 kemampuan ibu dalam melaksankan pijat bayi (koefisien regresi 0,55, CL 0,30-0,80). Peneliti yang terdahulu merekomendasikan kepada peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian lebih lanjut terkait peningkatan pengetahuan dan sikap ibu dapat melalui pendidikan kesehatan tentang pijat bayi sebagai upaya meningkatkan kemandirian ibu dalam melaksanakan pijat bayi di rumah sehingga dapat menghemat biaya (cost
effectiveness). Persamaan dengan penelitian sebelumnya terletak jenis, cara
pengambilan sampel, dan variabel luar penelitian. Sedangkan perbedaannya terletak pada variabel bebas, variabel terikat, instrumen penelitian, dan uji analisis data. Berdasarkan pernyataan tersebut maka peneliti ingin melakukan penelitian lebih lanjut tentang “Perbandingan Metoda Pendidikan Kesehatan Demonstrasi dan Metoda Ceramah pada Pengetahuan dan Sikap Ibu pada Pijat Bayi”, dengan harapan peneliti dapat menemukan jawaban secara objektif terhadap pembuktian teori.
Penelitian yang berkaitan dengan pijat bayi sudah banyak dipublikasikan, diantaranya :
a. Zein (2013), melakukan penelitian tentang pengaruh pijat bayi berat lahir rendah terhadap kenaikan berat badan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Panembahan Senopati Bantul. Sampel penelitian
9
sebanyak 60 bayi berat lahir rendah yang lahir dengan berat badan antara 1500-2499 gram, satu kelompok diberi perlakukan pijat bayi oleh ibunya selama 10 hari tiga kali sehari dan satu kelompok tidak diberi perlakukan dengan hasil menunjukkan bahwa ada pengaruh antara pijat bayi dengan peningkatan berat badan dibuktikan dengan nilai t-test 0,001 ≤ 0,05 berarti pijat bayi merupakan peluang yang berpengaruh terhadap peningkatan berat badan sebesar 2,68. Persamaan dengan penelitian sebelumnya adalah pada teknik pengambilan sampel. Sedangkan perbedannya teretak pada jenis dan rancangan penelitian, populasi, variabel, instrumen, dan uji analisis data.
b. Ernawati (2012), melakukan penelitian tentang pengaruh demonstrasi pijat bayi terhadap minat ibu untuk melakukan pijat bayi secara mandiri. Populasi yang digunakan adalah seluruh ibu yang mempunyai bayi usia 0-12 bulan di Posyandu Desa Kencong Kabupaten Kediri sejumlah 39 responden yang diberikan pendidikan kesehatan dengan teknik demonstrasi. Hasilnya terdapat peningkatan jumlah responden yang memiliki minat tinggi. Diperoleh Z=-4,426 nilai p-value =0,00 kurang dari α =0,05, hal ini menunjukkan adanya pengaruh demonstrasi tentang pijat bayi terhadap minat ibu untuk melakukan pijat bayi secara mandiri. Persamaan dengan penelitian sebelumnya terletak pada desain penelitian, teknik pengambilan sampel, dan jenis alat pengumpulan data. Sedangkan perbedaannya terletak pada jenis penelitian, populasi, variabel, dan uji analisis data.
10
c. Rismundari (2012), melakukan penelitian tentang pengaruh pendidikan kesehatan pijat bayi terhadap perilaku ibu dalam melakukan pijat bayi secara mandiri di Posyandu Krikilan Ngaglik Sleman. Jumlah sampel yang digunakan sebesar 40 responden yang terdiri dari 20 responden kelompok eksperimen (yang diberikan pendidikan kesehatan pijat bayi) dan 20 responden kelompok kontrol (yang tidak diberikan pendidikan kesehatan pijat bayi). Hasilnya pendidikan kesehatan pijat bayi berpengaruh efektif terhadap perilaku ibu dalam melakukan pijat bayi secara mandiri dengan hasil perilaku ibu pada kelompok eksperimen, sesudah diberi pendidikan kesehatan (35%) lebih baik dibandingkan perilaku ibu sebelum diberi pendidikan kesehatan pijat bayi (0%). Hal ini juga terlihat pada thitung > ttabel (13,585>2,093) dan nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05 (0,000<0,05). Persamaan dengan penelitian sebelumnya adalah terletak pada jenis, desain penelitian, dan teknik pengambilan sampel. Sedangkan perbedaannya terletak pada populasi, besar sampel, variabel, dan uji analisis data.
d. Hidayati (2009), melakuan penelitian tentang pengaruh pijat bayi terhadap pertumbuhan bayi baru lahir di Puskesmas Kota Bandung. Jumlah sampel yang digunakan adalah 80 responden dari Puskesmas Ibrahim Aji dan Puskesmas Puter. Hasilnya penambahan berat badan pada kelompok yang dipijat selama 4 minggu oleh ibunya, lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang tidak dipijat (p=0,0004) dan penambahan panjang badan kelompok dipijat lebih tinggi dibandingan
11
dengan kelompok yang tidak dipijat (p=0,01). Persamaan dengan penelitian sebelumnya terletak pada jenis peneltian dan teknik pengambilan sampel. Sedangkan perbedaannya terletak pada populasi, variabel, instrumen, dan uji analis data.