• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tabel 15 Kebutuhan pelaku sistem perikanan tangkap di perairan Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tabel 15 Kebutuhan pelaku sistem perikanan tangkap di perairan Jakarta"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

5 HASIL PENELITIAN

5.1 Hasil Analisis Pendekatan Sistem

Metode pendekatan sistem diterapkan dalam memperoleh gambaran perikanan tangkap di perairan Jakarta, dimulai dengan mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan dari masing-masing pelaku sistem (stakeholders) sebagai

dasar pertimbangan dalam memahami sistem perikanan di perairan Jakarta. Jika pelaku merasa mekanisme sistem tidak dapat mengakomodasi kebutuhannya, maka pelaku sebagai komponen sistem tidak mau atau tidak akan menjalankan fungsi secara optimal sehingga mengakibatkan kinerja sistem terganggu, dan sebaliknya jika pelaku mekanisme sistem akan dapat memenuhi kebutuhannya, maka pelaku akan menjalankan fungsi dalam sistem sehingga tujuan sistem tercapai (Hartrisari 2007).

5.1.1 Hasil analisis kebutuhan

Dalam sistem perikanan tangkap di perairan Jakarta, dari hasil identifikasi lapang ada tujuh pelaku sistem yang utama, yaitu pemerintah (pusat dan daerah), nelayan, industri perikanan (pengolah ikan), pedagang pengumpul, pemodal/investor, lembaga keuangan (perbankan/koperasi) dan masyarakat/konsumen. Hasil identifikasi kebutuhan pelaku sistem perikanan tangkap di perairan Jakarta dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15 Kebutuhan pelaku sistem perikanan tangkap di perairan Jakarta

No Pelaku Kebutuhan

1 Pemerintah (pusat dan

daerah) • Pemakaian alat tangkap yang ramah lingkungan • Dapat memberikan Sumbangan kontribusi terhadap keuangan negara (PNBP/PAD)

• Stabilitas harga ikan/bahan baku ikan

• Sarana dan prasarana pemerintah yang tersedia dimanfaatkan oleh pelaku usaha perikanan • Kepatuhan terhadap pelaksanaan peraturan dan

perundang-undangan

• Peningkatan kesejahteraan dan pendapatan dari

stakeholder

(2)

Tabel 15 (lanjutan)

No. Pelaku Kebutuhan

2 Industri perikanan (pengolah

ikan) • Terjaminnya suplai bahan baku ikan yang cukup. • Sarana dan prasarana untuk akses ke pasar

memadai (jalur darat, laut dan udara) • Harga bahan baku ikan yang terjangkau

• Terciptanya profit untuk keberlangsungan usaha

• Akses kepada lembaga keuangan mudah 3 Nelayan • Potensi SDI selalu tersedia

• Ketersediaan sarana pokok seperti : bahan bakar, logistik, kapal dan alat tangkap

• Memperoleh fasilitas / kemudahan akses dari pemerintah (modal dan pasar)

• Pelayanan suplai bahan bakar, es dan logistik • Terciptanya profit untuk keberlangsungan

usaha

• Harga komoditi ikan dibeli tinggi • Tidak ada konflik pemanfaatan SDI

4. Pedagang pengumpul • Terciptanya profit untuk keberlangsungan usaha

• Ketersediaan ikan didistribusikan dan dipasarkan

• Akses kepada lembaga keuangan mudah • Harga beli bahan baku yang terjangkau

• Fasilitas untuk kemudahan pemasaran dan distribusi

5 Pemodal / investor di bidang

perikanan • Iklim usaha di bidang perikanan yang kondusif (hukum dan ekonomi) • Bunga pinjaman dari lembaga keuangan rendah • Tersedianya sarana prasarana umum yang baik • Low investment, high return

• Peraturan pemerintah yang tidak menyebabkan biaya tinggi.

(3)

Tabel 15 (lanjutan)

5.1.2 Hasil identifikasi sistem dengan diagram sebab akibat

Interaksi lebih jauh antara stakeholders/komponen dalam sistem perikanan

tangkap di perairan Jakarta dikaji dengan analisis diagram lingkar sebab-akibat (causal loop) seperti ditunjukkan pada Gambar 9. Analisis diagram lingkar

sebab-akibat ini dapat mendeskripsikan keterkaitan satu sama lain dari

stakeholders/komponen sistem dalam kegiatan perikanan tangkap di perairan

Jakarta.

Berdasarkan Gambar 9, hubungan/interaksi antar stakeholders/komponen

sistem perikanan tangkap ada yang bersifat positif dan negatif. Hubungan yang bersifat positif akan menunjukkan komponen yang mempengaruhi dengan komponen yang dipengaruhi akan mempunyai dampak yang sama/setara, sedangkan hubungan yang bersifat negatif akan sebaliknya. Bila interaksi/hubungan positif yang ditunjukkan pada Gambar 9 dapat terealisasi dengan baik, maka kebutuhan semua stakholders/komponen terkait akan selalu terpenuhi dan sistem perikanan tangkap di perairan Jakarta akan berjalan dengan baik.

No. Pelaku Kebutuhan

6. Lembaga keuangan

(perbankan / koperasi) • Dana / kredit dikeluarkan mempunyai “zero risk”

• Usaha dijamin oleh agunan yang memenuhi syarat

• Adanya jaminan pemerintah untuk kredit mikro 7 Masyarakat/konsumen • Harga produk perikanan terjangkau

• Kualitas produk ikan yang baik dan aman dikonsumsi

• Kemudahan mendapatkan produk perikanan yang berkualitas

(4)

Gambar 9 Diagram lingkar sebab akibat kegiatan perikanan tangkap.

Hubungan yang bersifat negatif dicerminkan hubungan sebab akibat dibawah ini :

B1 = Terjadi antara penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan (negatif) oleh nelayan dengan potensi SDI dan hubungan pencemaran/alih fungsi ekologi dengan potensi SDI yang dilakukan oleh masyarakat umum. Bila penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan oleh nelayan dan masyarakat umum secara terus Keterangan :

Efek ganda positif dari R1 dan R2 Efek ganda negatif dari B1

Lembaga Keuangan/ Pemodal Investor/ Pemodal Peraturan dan Perundangan Niaga Profit / Pendapatan Nelayan Masyarakat Umum Alat Tangkap Pencemaran/ Alih fungsi ekologi perairan U Produktivitas Sistem Perikanan Tangkap Sarana/ Prasarana + -+ -Potensi SDI + - -+ Ketersediaan Lap. Kerja + -+ Suplai Bahan baku + -+ Pemerintah + + Industri Perikanan/ Pedagang Pengumpul -+ Pasar Lokal/Ekspor PNBP/ PAD + + + + + R1 + + + R2 + R3 + + -+ -+ -B1

(5)

sampah dan limbah ke perairan Jakarta, akan memberikan efek ganda negatif terhadap potensi SDI dan industri perikanan/pedagang pengumpul, pemerintah investor/pemodal serta nelayan dan masyarakat umum sebagai pelaku.

Hubungan yang bersifat positif dicerminkan hubungan sebab akibat dibawah ini :

R1 = Nelayan menggunakan alat tangkap yang aman/ramah lingkungan (+) memberikan akibat positif bagi keberlangsungan potensi SDI, maka dapat meningkatkan produktivitas yang berpengaruh positif terhadap pendapatan/profit dan terhadap nelayan.

R2 = Produktivitas nelayan yang tinggi menyebabkan meningkatnya/terjaminnya suplai bahan baku yang cukup untuk industri perikanan/pedagang pengumpul sehingga dapat memenuhi kebutuhan pasar lokal/ekspor. Dengan adanya aktivitas penjualan ke pasar lokal/ekspor berdampak positif terhadap PNBP/PAD dari pajak/retribusi dipungut. Dengan peningkatan pada PNBP/PAD berpengaruh positif terhadap Pemerintah dan sistem perikanan tangkap. Pemerintah mempunyai dana untuk membangun sarana dan prasarana perikanan tangkap. Hubungan positif ini memberikan efek ganda positif bagi industri perikanan/pengolah ikan dan nelayan dalam bentuk peningkatan profit/pendapatan dan tersedianya prasarana/sarana yang memadai.

R3 = Pemerintah dengan mengeluarkan peraturan dan perundang-undangan di bidang perikanan tangkap akan menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi investor/pemodal sebagai langkah untuk memberikan kepastian hukum bagi investor/pemodal. Iklim yang kondusif berpengaruh kepada kecenderungan investasi yang meningkat di bidang perikanan. Hal ini berdampak positif terhadap menciptakan lapangan kerja dan berdampak positif terhadap Pemerintah karena dapat menurunkan angka pengangguran dan sebagai faktor yang menjadikan sistem perikanan tangkap berjalan dengan baik.

(6)

Peningkatan investasi akan menggerakan usaha di bidang perikanan tangkap dan memberikan dampak positif bagi lembaga keuangan karena industri perikanan tangkap tumbuh sehingga sangat menarik bagi lembaga keuangan dan pemodal untuk mengucurkan kredit kepada nelayan dan industri pengolah/pedagang pengumpul.

5.1.3 Hasil identifikasi sistem dengan diagram input-output

Identifikasi sistem perikanan di perairan Jakarta dengan diagram input-output menunjukkan sistem perikanan tertutup yaitu memberikan suatu

mekanisme pengendalian (kontrol) terhadap timbulnya suatu output yang tidak

dikehendaki. Diagram input-output menggambarkan masukan (input) dan

keluaran (output) serta kontrol dari sistem (Gambar 10).

Berdasarkan Gambar 10, input lingkungan dari luar sistem antara lain peraturan/kebijakan pemerintah, preferensi konsumen dan menurut Satria (2009), forum perdagangan dunia yang mempengaruhi sistem perikanan adalah World Trade Organization (WTO) untuk masalah subsidi bidang perikanan, Asia Free Trade Area (AFTA) dan Asia Pacific Economic Community (APEC) untuk

perdagangan bebas diantara negara yang menjadi anggota, yaitu bebas hambatan tarif dan non-tarif, Regional Fisheries Management Organizations (RFMOs) yaitu

kerjasama tingkat regional untuk mengatur penangkapan ikan jenis tertentu, misal jenis tuna sirip biru, Indonesia harus menjadi anggota CCSBT (The Convention for the Conservation of South Bluefin Tuna) jika tidak maka hasil tangkapannya

dikategorikan illegal, dan Uni Eropa (UE) yang menerapkan tarif bea masuk

untuk produk perikanan Indonesia sebesar 7-24%. Dalam Gambar 10, kebutuhan/kepentingan stakeholders ada yang menjadi input dan ada yang

menjadi output dari sistem perikanan tangkap perairan Jakarta. Diantara input

tersebut, kondisi fisik, ekologi, biologi lingkungan perairan yang mempengaruhi potensi sumberdaya ikan sebagai kebutuhan stakeholders (nelayan) menjadi input

yang tidak terkendali termasuk harga ikan.

Kepentingan stakeholders pengelolaan yang menjadi output dari sistem

(7)

dikehendaki. Output tidak dikehendaki diantaranya konflik, kerusakan

lingkungan, kerugian usaha dan penurunan stok ikan.

Agar tercapainya tujuan sistem, diperlukan kesepakatan bersama dalam manajemen pengendalian antara stakeholders untuk mencegah tidak terjadinya output yang tidak dikehendaki dan meminimalisasi dampak negatif dari input

tidak terkendali.

Keterangan : adalah garis input dari luar sistem

adalah garis input dan output di dalam sistem

Gambar 10 Diagram Input-Output.

MANAJEMEN PENGENDALIAN INPUT LINGKUNGAN

• Peraturan/kebijakan pemerintah • WTO, RFMOs, AFTA, APEC

dan UE

• Preferensi konsumen

INPUT TIDAK TERKENDALI

• Kondisi fisik, ekologi, biologi lingkungan perairan

• Harga ikan

• Dinamika sumberdaya ikan

OUTPUT DIKEHENDAKI

• Produksi ikan meningkat • Kelestarian SDI terjaga • Pendapatan/kesejahteraan

nelayan meningkat • Pendapatan daerah naik • Penyerapan tenaga kerja baik

SISTEM PERIKANAN TANGKAP BERKELANJUTAN DI PERAIRAN JAKARTA

INPUT TERKENDALI

• Upaya penangkapan

• Sarana & prasarana perikanan • Mutu hasil perikanan

• Produksi

OUTPUT TDK DIKEHENDAKI

• Penurunan stok ikan • Kerusakan lingkungan &

semberdaya pesisir/lautan • Kerugian usaha penangkapan • Konflik

(8)

5.2 Hasil Analisis SWOT

5.2.1 Hasil identifikasi dimensi pengelolaan dan faktor-faktor internal dan eksternal

Untuk mengetahui tingkat keberlanjutan kebijakan pengelolaan perikanan tangkap di perairan Jakarta dilakukan analisis SWOT, dengan cara mengidentifikasi faktor-faktor yang menjadi penentu keberlanjutan perikanan tangkap, selanjutnya akan digunakan untuk merumuskan strategi pengelolaannya. Sebagaimana dicontohkan oleh Garcia et al. (2000), beberapa dimensi utama

dalam pengembangan keberlanjutan dalam suatu Sustainable Development References System (SDRS) antara lain adalah dimensi ekologi, biologi, ekonomi

yang kemudian ditambahkan dimensi sosial dan teknologi sesuai dengan kondisi lapangan di perairan Jakarta. Setiap komponen dasar tersebut akan menguraikan faktor-faktor yang dikelompokkan dalam lingkungan internal (faktor kekuatan dan kelemahan) dan dalam lingkungan eksternal (faktor peluang dan ancaman). Analisis lingkungan internal mengurai yang menjadi kekuatan dan kelemahan perikanan tangkap di perairan Jakarta mencakup :

1) Kekuatan : faktor-faktor yang menjadi kekuatan yang dimiliki antara lain sumberdaya ikan, potensi serta kegiatan konservasi sumber daya itu sendiri, sumberdaya manusia di bidang perikanan, sarana dan prasarana, modal, kapal dan teknologinya, pendapatan nelayan maupun peraturan. Kekuatan ini dapat dioptimalkan untuk meminimalisasi ancaman. Karena ini berasal dari internal sistem perikanan tangkap, aplikasinya memungkinkan untuk direncanakan dengan baik.

2) Kelemahan : mencakup faktor-faktor yang menjadi kelemahan atau kendala-kendala yang menyebabkan perikanan tangkap di Teluk Jakarta sulit berkembang, antara lain tingkat produktifitas, rendahnya pengetahuan nelayan, konflik, belum adanya standardisasi kapal dan peraturan yang perlu namun belum tersedia. Kelemahan ini berasal dari dalam sistem perikanan tangkap yang dibutuhkan untuk dikembangkan namun tidak dimiliki atau sangat kurang. Untuk tidak menjadi hambatan,

(9)

kelemahan ini dapat diminimalisasi sehingga tidak menjadi dampak yang negatif terhadap sistem.

Analisis lingkungan eksternal mengurai yang menjadi peluang dan ancaman perikanan tangkap di perairan Jakarta mencakup :

1) Peluang : faktor-faktor yang memberikan kesempatan untuk berkembang. Peluang ini tersedia di lingkungan perikanan tangkap dan tidak dapat diberdayakan oleh sistem perikanan tangkap di perairan Jakarta namun memberikan ruang untuk menyesuaikan dengan faktor- faktor lingkungan yang tersedia tersebut. Faktor – faktor sebagai peluang tersebut antara lain : program pemerintah yang mendukung penyelamatan terumbu karang, upaya konservasi, tingginya permintaan pasar, letak strategis, kegiatan promosi oleh pemerintah maupun swasta, iklim investasi, kondisi sosial politik dan perkembangan teknologi.

2) Ancaman : faktor-faktor yang dapat mempengaruhi menurunnya keberlanjutan perikanan tangkap di Teluk Jakarta, bahkan dapat menghentikan sistem perikanan tangkap. Faktor-faktor ini tercipta oleh lingkungan, tidak dapat dihilangkan namun dapat diminimalisasi dampaknya. Faktor-faktor tersebut antara lain : peraturan pemerintah yang berdampak konflik, pencemaran, degradasi fungsi ekosistem perairan, punah atau berkurangnya spesies ikan baik dalam jumlah maupun mengecilnya ukuran ikan hasil tangkapan, faktor musiman yang mempengaruhi harga ikan, dan penggunaan alat tangkap yang destruktif . Setelah diidentifikasi faktor-faktor yang tercakup dalam kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman, penulis melakukan verifikasi kepada responden terlatih sebagai perbandingan atas pemberian rating. Rating menunjukkan tingkat pengaruh yang secara riil dapat diberikan oleh komponen dimensi / faktor tersebut terhadap pengelolaan perikanan tangkap dengan nilai berkisar 1 – 4, dimana 1, 2, 3, dan 4 berturut-turut rendah, cukup, baik, dan sangat baik. Nilai rating untuk faktor kelemahan dan ancaman diberi secara

(10)

terbalik, yaitu bila pengaruh rendah diberi nilai 4 dan pengaruh sangat tinggi diberi nilai 1.

Bobot pada setiap faktor menunjukkan tingkat kepentingan pengelolaan perikanan tangkap terhadap faktor-faktor internal. Bobot didapat dengan menggunakan penghitungan rata-rata tertimbang (weighted average), bernilai berkisar 0 - 1, dimana 0 menunjukkan tidak penting dan 1 menunjukkan sangat penting.

Pengalian bobot dan rating untuk memperoleh skor pembobotan. Penjumlahan skor pembobotan menunjukkan bagaimana pengelolaan perikanan tangkap di perairan Jakarta bereaksi terhadap faktor-faktor internal atau eksternalnya. Tabel faktor strategis internal (IFAS) dan Tabel faktor strategis eksternal (EFAS) dapat dilihat pada Lampiran 3 dan Lampiran 4.

Dari tabel IFAS dan EFAS dipilih fakor-faktor yang memiliki skor yang tinggi untuk kekuatan dan peluang, dan memilih faktor-faktor yang memiliki skor yang rendah untuk faktor-faktor kelemahan dan ancaman atau merupakan faktor negatif yang sangat berpengaruh terhadap perikanan tangkap di perairan Jakarta. Setelah dipilih dituangkan dalam tabel SFAS (Strategic Factor Analysis Summary) yang merupakan tabel ringkasan / rangkuman dari kekuatan,

kelemahan, peluang dan ancaman dengan tujuan untuk lebih memudahkan memformulasikan strategi. Jumlah skor pembobotan menunjukkan respon dari pengelolaan perikanan tangkap di perairan Jakarta terhadap lingkungan eksternal dan internalnya (Wheelen et al. 2002, diacu dalam Radarwati 2003).

Jumlah skor IFAS perikanan tangkap di perairan Jakarta adalah 2.529, artinya pengelolaan perikanan tangkap di perairan Jakarta dikategorikan ‘kurang baik’ dalam hal merespons faktor internalnya. Jumlah skor EFASnya adalah 2.747, artinya perikanan tangkap di perairan Jakarta dikategorikan ‘kurang baik’ dalam hal merespons faktor eksternalnya.

Indikator jumlah skor pembobotan (Wheelen et al. 2002, diacu dalam

Radarwati 2003 yang telah dimodifikasi) adalah sebagai berikut : 1) Nilai 5 = baik sekali

2) Nilai 4 = diatas rata-rata atau baik 3) Nilai 3 = rata-rata atau cukup baik

(11)

4) Nilai 2 = dibawah rata-rata atau kurang baik 5) Nilai 1 = buruk

 

5.2.2 Tabel SFAS (Strategic Factor Analysis Summary)

Rangkuman tabel SFAS menghasilkan 17 faktor dominan yaitu enam faktor kekuatan, empat faktor kelemahan, tiga faktor peluang dan empat faktor ancaman. Total skor adalah 2.152 yang berarti dikategorikan ‘kurang baik’ dalam hal merespon faktor-faktor internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap keberlanjutan perikanan tangkap di perairan Jakarta.

(12)

Tabel 16 SFAS (Strategic Factor Analysis Summary)

No Faktor-faktor strategis Bobot Rating Skor Ket

Rata-rata

A INTERNAL

KEKUATAN (K)

1 Dimensi Ekologi :

2 Dimensi Biologi :

a Potensi SDI 0.042 3.0 0.127 K2a

3 Dimensi ekonomi :

a Modal kerja relatif baik 0.042 3.0 0.127 K3a e Sarana dan prasarana perikanan tangkap 0.042 3.0 0.127 K3e

4 Dimensi Sosial :

g Ketersediaan tenaga kerja disektor perikanan 0.057 3.0 0.170 K4g 5 Dimensi Teknologi : a Kemampuan pengadaan alat tangkap secara mandiri 0.050 3.0 0.149 K5a b Penyesuaian alat tangkap yang sesuai dgn 0.050 3.0 0.149 K5b perairan Jakarta secara mandiri

KELEMAHAN (L)

1 Dimesi Ekologi :

a Pengetahuan tentang jumlah tangkap yang 0.019 1.0 0.019 L1a diperbolehkan/JTB rendah b Pemanfaatan SDI yg berinteraksi dgn terumbu karang / dasar perairan 0.032 2.0 0.064 L1b

2 Dimensi Biologi :

a Kecenderungan menurunnya produksi 0.038 2.0 0.076 L2a

3 Dimensi Ekonomi :

4 Dimensi Sosial :

5 Dimensi Tehnologi : a Ukuran kapal dan mesin yang belum standar 0.030 2.0 0.060 L5a

B EKSTERNAL PELUANG (P) : 1 Dimensi Ekologi : 2 Dimensi Biologi : 3 Dimensi Ekonomi :

a Tingginya permintaan akan komoditi perikanan di dunia 0.093 4.0 0.373 P3a b Kedekatan dgn pasar potensial DKI Jakarta & jalur ekspor 0.086 4.0 0.344 P3b c Promosi potensi perikanan dan wisata bahari oleh PEMDA 0.063 3.0 0.188 P3c

4 Dimesi Sosial :

5 Dimensi Teknologi :

ACAMAN (A) :

1 Dimensi Ekologi :

a Tingkat pencemaran di perairan yang tinggi 0.038 1.0 0.038 A1a b Degradasi ekosistem laut & pesisir akibat alih fungsi lahan 0.031 1.0 0.031 A1b

2 Dimensi Biologi :

3 Dimensi Ekonomi :

a Saat ikan melimpah harga cenderung turun 0.055 2.0 0.110 A3a dan saat ikan langka harga sangat tinggi

4 Dimensi Sosial :

5 Dimensi Teknologi : a Penggunaan teknologi destruktif oleh nelayan pendatang 0.061 2.0 0.122 A5a

(13)

5.2.3 Matriks SWOT pengelolaan perikanan tangkap di perairan Jakarta Dari tujuh belas faktor dominan yang penting untuk perumusan strategi pengelolaan perikanan tangkap di perairan Jakarta, dirumuskan dalam matriks SWOT (Lampiran 4) menjadi 8 (delapan) alternatif strategi yaitu :

(1) SO strategi :

1) Pemberdayaan SDM di bidang perikanan melalui penyuluhan teknis dan manajemen untuk pemanfaatan potensi SDI

2) Peningkatan kualitas produk melalui diversifikasi produk untuk memenuhi permintaan komoditi perikanan yang tinggi

3) Peningkatan kemampuan nelayan mandiri melalui kemudahan akses ke fasilitas modal, jalur distribusi dan pasar.

(2) WO strategi :

4) Peningkatan pengawasan melekat terhadap aktifitas pemanfaatan sumberdaya ikan serta area konservasi dalam upaya tercapainya SDI berkelanjutan.

(3) ST strategi :

5) Penyuluhan kepada nelayan terhadap pentingnya kawasan konservasi dan manfaatnya bagi kelestarian SDI

6) Menajemen terpadu untuk mempertahankan dan peningaktan fungsi ekosistem perairan terutama pencegahan terjadi pencemaran yang berkelanjutan.

(4) WT strategi :

7) Standarisasi terhadap perikanan skala kecil untuk peningkatan produktifitas kapal dan mutu ikan

8) Pengaturan hari operasi dengan penerapan closed-open season untuk

menjaga stabilitas jumlah produksi dan harga ikan di pasar.

5. 3 Hasil Analisis Linear Goal Programming (LGP)

Secara umum, ada 18 jenis alat tangkap yang dioperasikan di perairan Jakarta, yaitu pukat tarik udang ganda, pukat tarik udang tunggal, payang, dogol,

(14)

pukat cincin, jaring insang hanyut, jaring klitik, jaring insang tetap, bagan perahu, bagan tancap, rawai, pancing tonda, sero, bubu, alat penangkap kerang, muro ami, pancing yang lain, dan lain-lain. Dari jenis tersebut, alat tangkap yang hasil tangkapannya rata-rata di atas 1.000 ton (tahun 2004-2008) dan potensial untuk dikembangkan adalah payang, pukat cincin, jaring insang hanyut, bagan perahu, rawai, bubu, dan muro ami. Dari data statistik Dinas Kelautan dan Pertanian Propinsi DKI Jakarta (2009), hasil tangkapan dari payang, pukat cincin, jaring insang hanyut, bagan perahu, rawai, bubu, dan muro ami pada tahun 2008 berturut-turut adalah 2.558,8 ton, 6.944 ton, 43.698,6 ton, 14.183,3 ton, 4.921 ton, 2.267,4 ton, dan 1.016,8 ton. Dari tujuh jenis alat tangkap tersebut, pukat cincin termasuk alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, sehingga kurang baik untuk dikembangkan ke depan, apalagi di perairan Jakarta di mana terdapat taman nasional laut yang harus dilindungi dari kegiatan penangkapan destruktif.

Mengacu pada kondisi tersebut dan hasil analisis LGP, maka alat tangkap yang potensial dan lebih memungkinkan untuk dikembangkan adalah payang, jaring insang hanyut, bagan perahu, rawai, bubu, dan muro ami. Menurut data stastistik (DKPP 2009), jumlah alat tangkap tersebut adalah payang 712 unit, jaring insang hanyut 960 unit, bagan perahu 553 unit, rawai 2.822 unit, bubu 4.927 unit, dan muro ami 798 unit.

Berdasarkan hasil studi dan identifikasi lapang, ada sepuluh macam sasaran (pembatas) yang perlu diperhatikan dalam upaya optimasi alokasi jenis alat tangkap potensial sebagai sebuah dinamika pengelolaan perikanan tangkap di perairan Jakarta, yaitu :

(1) Mengoptimalkan hasil tangkapan (2) Mengoptimalkan jumlah hari operasi (3) Mengoptimalkan jumlah nelayan (4) Mengoptimalkan penggunaan BBM

(5) Mengoptimalkan penggunaan alat pendukung khusus (6) Mengoptimalkan penggunaan es

(7) Mengoptimalkan penggunaan air tawar (8) Mengoptimalkan keuntungan

(15)

(10) Mengoptimalkan pengurangan pencemaran oleh umpan ke perairan Optimasi alokasi jenis alat tangkap potensial dengan memperhatikan sepuluh sasaran yang hendak dicapai tersebut dilakukan dengan menggunakan model linear goal programming (LGP) yang diaplikasikan menggunakan sofware

LINDO. Untuk memudahkan analisis, keenam jenis alat tangkap kemudian disimbolkan dengan :

X1 = Payang

X2 = Jaring insang hanyut X3 = Bagan perahu

X4 = Rawai X5 = Bubu X6 = Muro ami

Keenam alat tangkap tersebut (X1, X2, X3, X4, X5, dan X6) kemudian menjadi variabel keputusan dalam analisis. Untuk menghindari konflik serta sejalan dengan program pemerintah daerah, maka penentuan alokasi optimum alat tangkap tersebut tidak bersifat meniadakan/mengurangi jenis alat tangkap tertentu yang telah diprogramkan. Sejak tahun 2006, muro ami menjadi alat tangkap yang diprogramkan pemerintah daerah di perairan Jakarta. Meskipun bukan alat tangkap paling ramah terhadap lingkungan, tetapi muro ami dapat dioperasikan secara pasif, lebih mudah dikuasai oleh masyarakat, dan menyerap tenaga kerja banyak. Pada tahun 2005, jumlah muro ami hanya sekitar 75 unit, kemudian meningkat pada tahun 2006, 2007 tetap, dan meningkat pada 2008 yaitu masing-masing 641 unit, 641 unit, dan 798 unit.

Dengan demikian, kondisi variabel keputusan X1, X2, X3, X4, X5, dan X6 : X1 >= 0

X2 >= 0 X3 >= 0

(16)

X5 >=0 X6 >= 798

Dalam kaitan dengan penentuan alokasi optimum alat tangkap potensial tersebut, dua skenario yang dikembangkan yaitu optimasi dengan dipenuhinya kesepuluh sasaran/pembatas secara bersamaan (Skenario I) dan optimasi dengan dipenuhinya sasaran/pembatas secara bertahap berdasarkan prioritas/kepentingannya (Skenario II). Untuk skenario II, pemenuhan sasaran dibagi dalam dua kelompok, yaitu berturut-turut dari yang paling penting adalah : (1) Kelompok I (sasaran yang diprioritaskan dipenuhi) :

™ Mengoptimalkan hasil tangkapan ™ Mengoptimalkan jumlah hari operasi ™ Mengoptimalkan jumlah nelayan ™ Mengoptimalkan penggunaan BBM

™ Mengoptimalkan frekuensi penyuluhan konservasi

(2) Kelompok II (sasaran dipenuhi pada analisis tahap berikutnya): ™ Mengoptimalkan penggunaan alat pendukung khusus

™ Mengoptimalkan penggunaan es ™ Mengoptimalkan penggunaan air tawar ™ Mengoptimalkan keuntungan

™ Mengoptimalkan pengurangan pencemaran oleh umpan ke perairan

Hasil analisis LINDO tentang alokasi optimal keenam jenis alat tangkap tersebut menggunakan skenario I dan skenario II tersebut disajikan :

Hasil analisis LINDO skenario I :

LP OPTIMUM FOUND AT STEP 6 OBJECTIVE FUNCTION VALUE 1) 0.3981288E+11

VARIABLE VALUE REDUCED COST DA1 0.000000 1750001.000000 DA2 0.000000 1.000000 DA3 0.000000 1.000000 DA4 0.000000 1.000000 DA5 0.000000 1.000000 DA6 0.000000 1.000000

(17)

DB8 **************** 0.000000 DB9 0.000000 1.000000 DB10 0.000000 1.000000 X1 0.000000 0.000000 X2 47.741276 0.000000 X3 27.016666 0.000000 X4 117.716049 0.000000 X5 8500.641602 0.000000 X6 798.000000 0.000000 Hasil analisis LINDO skenario II :

LP OPTIMUM FOUND AT STEP 7 OBJECTIVE FUNCTION VALUE 1) 0.3981288E+11

VARIABLE VALUE REDUCED COST DA1 0.000000 1.000000 DA2 0.000000 1.000000 DA3 0.000000 1.000000 DA4 0.000000 1.000000 DA5 0.000000 1.000000 DA6 0.000000 1.000000 DA7 0.000000 1.000000 DB8 **************** 0.000000 DB9 0.000000 1.000000 DB10 0.000000 1.000000 X1 6.743933 0.000000 X2 97.963364 0.000000 X3 23.419903 0.000000 X4 17.626667 0.000000 X5 8547.314453 0.000000 X6 798.000000 0.000000  

Berdasarkan hasil analisis tersebut, alokasi optimum payang, jaring insang hanyut, bagan perahu, rawai, bubu, dan muro ami menggunakan skenario I berturut-turut adalah 0 unit, 48 unit, 27 unit, 118 unit, 8501 unit, dan 798 unit. Sedangkan alokasi payang, jaring insang hanyut, bagan perahu, rawai, bubu, dan muro ami menggunakan skenario II berturut-turut adalah 7 unit, 98 unit, 23 unit, 18 unit, 8547 unit, dan 798 unit. Tampilan detail hasil analisis LINDO disajikan pada Lampiran 15 dan Lampiran 16.

(18)

5.4 Hasil Analisis Kesesuaian Lahan dan Wilayah Basis 5.4.1 Hasil analisis kesesuaian lahan

Analisis spasial menggunakan pendekatan SIG, dimana perangkat lunak yang digunakan adalah Arc Info 3,5 dan Arc View 3,3. Analisis ini difokuskan pada kesesuaian perikanan tangkap dan budidaya perikanan (keramba jaring apung dan rumput laut). Berdasarkan hasil pembobotan dan skoring terhadap masing-masing parameter yang ada, maka dilakukan pembagian kelas kedalam empat kategori kesesuaian yaitu sangat sesuai (S1), sesuai (S2), sesuai bersyarat (S3) dan tidak sesuai (N).

Luas wilayah perairan Kota Administrasi Jakarta Utara dan Kep. Seribu dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17 Luas wilayah penelitian (dalam km2)

No. Wilayah Luas Daratan Luas Perairan Total

1 Kota Adm. Jakarta Utara 155,01 490

2 Kabupaten Kep. Seribu 11,80 6.997,5

Total 165,81 7.487,5 7.653,31

Sumber :Nontji (1984), BAPEDA Jakarta (2009a, 2009b) dan Pemkab. Kep. Seribu (2009)

Hasil dari masing-masing analisis kesesuaian lahan tersebut dijelaskan pada uraian di bawah ini.

5.4.1.1 Kesesuaian lahan untuk perikanan tangkap

Analisis SIG dilakukan secara bertahap, tahap pertama adalah analisis SIG untuk menghasilkan peta kesesuaian lahan untuk penangkapan ikan dengan mempaduserasikan (overlay) peta jalur-jalur penangkapan ikan berdasarkan SK

Mentan No. 392 tahun 1999 dan kriteria umum untuk zonasi perikanan tangkap (Tabel 5 pada Bab 3). Hasil analisis tahap pertama berupa luas dan presentasinya dapat dilihat pada Tabel 18.

(19)

Tabel 18 Kesesuaian lahan untuk perikanan tangkap

No. Tingkat Kesesuaian Lahan

Perikanan Tangkap

Luas (ha) Persentase (%)

1. Sangat Sesuai (S1) 229,12 30,6 2. Sesuai (S2) 327,90 43,8 3. Sesuai Bersyarat (S3) 136,59 18,2 4. Tidak Sesuai (N) 54,39 7,4 Jumlah 748

Ruang dengan kategori tidak sesuai (berwarna coklat pada Gambar 11), berada pada areal perairan konservasi tepatnya di dalam zona pemanfaatan wisata taman nasional dan zona pemukinan taman nasional serta berdekatan dengan areal budidaya dan pantai Luas areal yang tidak sesuai (N) untuk penangkapan ikan yaitu sekitar 54,39 ha atau menempati areal sebesar 7,4% dari keseluruhan areal penelitian.

(20)

Gambar 11 Peta kesesuaian kawasan perikanan tangkap

106˚20’  107˚ BT 

(21)

Analisis SIG tahap kedua merupakan lanjutan tahap pertama, yaitu

di-overlay kembali berturut-turut dengan :

1) Peta Rencana Struktur Ruang Kepulauan Seribu (Lampiran 17) yang memuat informasi mengenai jalur pipa minyak gas bumi, jalur kabel/pipa dalam air, rute-rute pelayaran dan batas administratif pemerintahan daerah. 2) Peta arahan kawasan strategis Kepulauan Seribu yang memuat informasi mengenai kawasan latihan TNI AL, wisata terpadu, wisata edukasi dan budidaya laut, pemerintahan, konservasi, pertambangan serta pemukiman nelayan.

3) Peta Rencana Pola Ruang Kepulauan Seribu (Lampiran 18) yang memuat informasi mengenai kawasan wisata, taman wisata alam, kawasan khusus, kawasan terbuka hutan non-lindung, suaka alam, hutan lindung, budidaya dan kawasan Taman Nasional Laut Kep. Seribu.

Hasil dari overlay peta-peta tersebut diatas yang merupakan rencana kebijakan

pemerintah Provinsi DKI Jakarta, diperoleh hasil akhir kesesuaian lahan perikanan tangkap pada Gambar 12. Luas kesesuaian lahan setelah overlay

(22)

Gambar 12 Hasil akhir kesesuian lahan perikanan tangkap 

106˚20’  107˚ BT 

(23)

Tabel 19 Luas kesesuaian lahan setelah overlay dengan peta rencana struktur

ruang dan peta rencana pola ruang

No. Tingkat Kesesuaian Lahan

Perikanan Tangkap

Luas (ha) Persentase (%)

1. Sangat Sesuai (S1) 164,7 22,01

2. Sesuai (S2) 198,6 26,55

3. Sesuai Bersyarat (S3) 32,4 4,33

4. Tidak Sesuai (N) 352,3 47,11

Jumlah 748 100

5.4.1.2 Kesesuaian lahan untuk perikanan budidaya

Pada tahap analisis kesesuaian lahan untuk perikanan budidaya dilakukan penentuan daerah kesesuaian melalui overlay parameter yang telah diekstrasi dari

parameter biofisik perairan yang penting untuk budidaya dengan menggunakan referensi dari penelitian Soebagyo (2004). Budidaya yang berkembang di perairan Jakarta adalah budidaya ikan dalam keramba jaring apung (KJA) dan budidaya rumput laut.

Tabel 20 menyajikan luas kesesuaian lahan untuk perikanan budidaya ikan (KJA), sedangkan Gambar 13 menyajikan hasil analisis peta kesesuaian kawasan budidaya ikan (KJA), dengan tingkat kesesuaian sangat sesuai (S1) ditunjukkan dengan warna hijau, merupakan daerah yang tidak sesuai untuk perikanan tangkap, sedangkan daerah yang merupakan perairan terbuka yang ditunjukkan dengan warna biru muda masuk dalam kategori tidak sesuai (N).

Tabel 20 Kesesuaian lahan untuk budidaya ikan (KJA) Tingkat Kesesuaian Lahan

Budidaya Ikan (KJA)

Luas (ha) Presentase (%)

1. Sangat Sesuai (S1) 50,2 6,7

2. Sesuai (S2) 68 9,1

3. Sesuai Bersyarat (S3) 58 7,8

4. Tidak Sesuai (N) 571,8 76,4

(24)

Gambar 13 Peta kesesuaian kawasan budidaya ikan (KJA)

106˚20’  107˚ BT 

(25)

Gambar14 Peta kesesuaian kawasan budidaya rumput laut

106˚20’  107˚ BT 

(26)

Gambar 14 menyajikan hasil analisis peta kesesuaian kawasan budidaya rumput laut dengan tingkat kesesuaian sangat sesuai (S1) ditunjukkan dengan warna hijau, merupakan daerah yang tidak sesuai untuk perikanan tangkap, sedangkan daerah yang merupakan perairan terbuka yang ditunjukkan dengan warna biru muda masuk dalam kategori tidak sesuai (N). Tabel 21 menyajikan luas kesesuaian lahan untuk perikanan budidaya rumput laut.

Tabel 21 Kesesuaian lahan untuk rumput laut

No. Tingkat Kesesuaian Lahan

Rumput Laut

Luas (ha) Presentase (%)

1. Sangat Sesuai (S1) 54,2 7,2 2. Sesuai (S2) 0,2 0 3. Sesuai Bersyarat (S3) 58,1 7,8 4. Tidak Sesuai (N) 635,5 85 Jumlah 748  

5.4.2 Hasil analisis wilayah basis

5.4.2.1 Nilai LQ dan pengganda tenaga kerja (K) wilayah Jakarta Utara Secara umum, wilayah Jakarta Utara terbagi dalam enam kecamatan, yaitu Kecamatan Penjaringan, Kecamatan Pademangan, Kecamatan Tanjung Priok, Kecamatan Koja, Kecamatan Cilincing, dan Kecamatan Kelapa Gading. Selama ini, kecamatan tersebut mempunyai intensitas sektor yang berbeda satu sama lain. Analisis Location Quotients (LQ) yang dilakukan akan menentukan apakah

wilayah kecamatan tertentu dapat menjadi wilayah basis bagi pengembangan alat tangkap potensial tertentu di wilayah Jakarta Utara. Tabel 22 menyajikan hasil analisis LQ bagi pengembangan payang, jaring insang hanyut, bagan perahu, rawai, bubu, dan muro ami di wilayah Jakarta Utara. Hasil analisis LQ tersebut diperoleh dengan output berupa tenaga kerja / nelayan dengan pertimbangan

(27)

nelayan merupakan pelaku kegiatan ekonomi perikanan yang menentukan tumbuh dan berkembangnya ekonomi wilayah.

Tabel 22 Hasil analisis LQ wilayah Jakarta Utara Sektor Perikanan / Alat Tangkap Potensial Nilai LQ Kec.

Penjaringan PademanganKec. Kec. Tj. Priok Kec. Koja Cilincing Kec.

Kec. Kelapa Gading Payang (X1) 1.24 0.17 - 0.94 0.73 - Jaring Insang Hanyut (X2) 0.65 0.29 - 0.97 1.50 - Bagan Perahu (X3) 1.11 0.00 - 0.99 0.91 - Rawai (X4) 1.16 1.68 - 0.17 0.76 - Bubu (X5) 0.64 0.17 - 8.80 1.41 - Muro ami (X6) 1.16 0.00 - 0.00 0.92 -

Terhadap hasil analisis LQ Tabel 22, dilakukan perhitungan lanjut untuk nilai pengganda tenaga kerja (K) untuk usaha perikanan di setiap Kecamatan dengan nilai LQ > 1. Berdasarkan analisis yang dilakukan, didapatkan nilai pengganda tenaga kerja (K) untuk payang, bagan perahu, rawai di Kecamatan Penjaringan berturut-turut adalah 32,80, 7,25, dan 1,58, nilai pengganda tenaga kerja (K) untuk rawai di Kecamatan Pademangan adalah 1,09, nilai pengganda tenaga kerja (K) untuk bubu di Kecamatan Koja adalah 1,91, dan nilai pengganda tenaga kerja (K) untuk jaring insang hanyut dan bubu di Kecamatan Cilincing adalah 2,69 dan 11,96 (Lampiran 21).

Nilai pengganda tenaga kerja tersebut diatas artinya : setiap kenaikan satu tenaga kerja untuk alat tangkap potensial tertentu di satu kecamatan akan meningkatkan tenaga kerja di kecamatan tersebut sebesar nilai penggandanya (bila hasilnya adalah bilangan desimal maka di bulatkan ke bawah untuk nilai desimal kurang dari 0.5 dan dibulatkan ke atas jika nilai desimal lebih atau sama dengan 0,5). Contoh untuk alat tangkap payang di kecamatan Penjaringan, nilai pengganda tenaga kerjanya adalah 32,8 artinya setiap kenaikan satu tenaga kerja untuk alat tangkap payang di kecamatan Penjaringan akan meningkatkan tenaga kerja di kecamatan Penjaringan sebanyak 33 orang.

(28)

5.4.2.2 Nilai LQ dan pengganda tenaga kerja (K) wilayah Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu

Wilayah Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu terbagi menjadi dua kecamatan, yaitu Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan. Secara umum, penduduk Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan lebih banyak daripada Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, dan pusat pemerintahan Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu terdapat di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, tepatnya di Pulau Pramuka, namun aktivitas perikanan berkembang cukup merata di kedua kecamatan tersebut.

Hasil analisis LQ bagi pengembangan payang, jaring insang hanyut, bagan perahu, rawai, bubu, dan muro ami di wilayah Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu disajikan pada Tabel 23.

Tabel 23 Hasil analisis LQ wilayah Kabupaten Adm. Kepulauan Seribu Sektor Perikanan / Alat

Tangkap Potensial

Nilai LQ

Kec. Kep. Seribu Utara Kec. Kep. Seribu Selatan

Payang (X1) 1.32 0.72

Jaring Insang Hanyut

(X2) - -

Bagan Perahu (X3) - -

Rawai (X4) - -

Bubu (X5) 0.77 1.20

Muro ami (X6) 0.78 1.19

Untuk mengetahui nilai pengganda tenaga kerja (K), maka usaha perikanan dengan nilai LQ > 1 di setiap kecamatan diproses lanjut, yaitu membuat analisis terkait perbandingan jumlah tenaga kerja untuk semua alat tangkap potensial dengan jumlah tenaga kerja pada alat tangkap tertentu di wilayah tertentu. Hasil analisis menunjukkan nilai pengganda tenaga kerja (K) untuk payang di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara adalah 1,86, sedangkan nilai pengganda tenaga kerja (K) untuk bubu dan muro ami di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan adalah 6,90 dan 1,79 (Lampiran 22).

(29)

5.5 Hasil Pengembangan Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan

5.5.1 Pengembangan kebijakan

Pengembangan kebijakan dilakukan dengan menentukan prioritas dari delapan alternatif kebijakan yang mendukung pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan berdasarkan kondisi internal-eksternal hasil analisis SWOT. Untuk mendapatkan hasil yang cakupannya menyeluruh, maka berbagai komponen yang berinteraksi/terkait dengan pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan akan dijadikan kriteria dan pembatas (limit factor) dan analisis dilakukan secara

terstruktur menggunakan AHP. Mengacu kepada hasil analisis SWOT, adapun kriteria, pembatas, dan alternatif kebijakan tersebut adalah :

(1) Kriteria pengelolaan perikanan tangkap berdasarkan prinsip keberlanjutan adalah mengakomodir semua dimensi pengelolaan, yaitu :

- Dimensi ekologi - Dimensi biologi - Dimensi ekonomi - Dimensi sosial - Dimensi teknologi

(2) Sub kriteria / pembatas (limit factor) pengembangan kebijakan :

- Kondisi perairan - Status pemanfaatan SDI - Sarana dan prasarana produksi - Ketersediaan tenaga kerja

- Teknologi mandiri dan ramah lingkungan (3) Alternatif kebijakan pengelolaan :

- Pemberdayaan SDM (PSDM) - Peningkatan kualitas produk (PKP)

- Peningkatan kemampuan nelayan mandiri (PKNM) - Peningkatan pengawasan melekat (PPM)

- Penyuluhan nelayan (PN)

(30)

- Standardisasi perikanan ukuran kecil (SPUK) - Pengaturan hari operasi (PHO)

Delapan alternatif kebijakan tersebut ditetapkan dengan mempertimbangkan kriteria dan sub kriteria / pembatas yang ada. Interaksi komponen kriteria, pembatas, dan alternatif kebijakan yang merupakan ilustrasi proses hireraki pertimbangan disajikan dalam struktur hierarki final AHP seperti dtunjukkan pada Gambar 15.

Gambar 15 Struktur hierarki pengembangan kebijakan perikanan tangkap berkelanjutan (format Expert Choice)

(31)

Program AHP untuk kriteria berdasarkan Gambar 15 bahwa dalam penentuan prioritas kebijakan pengelolaan perikanan tangkap dilakukan pertimbangan terhadap lima jenis kriteria berkelanjutan yang perlu diakomodir dan lima jenis sub kriteria / pembatas, dengan jumlah rincian untuk dimensi ekologi dan dimensi biologi masing-masing dua sub kriteria / pembatas, untuk dimensi ekonomi, sosial, dan teknologi masing-masing tiga sub kriteria / pembatas. Pertimbangan terhadap semua kriteria dan sub kriteria / pembatas tersebut atas dasar pertimbangan responden dan pihak terkait yang berkepentingan serta banyak mengetahui pengelolaan perikanan tangkap di lokasi, seperti unsur Kementrian Kelautan dan Perikanan, PEMDA, pengusaha perikanan, LSM, nelayan dan masyarakat.

Gambar 16 Tampilan dua dimensi struktur hierarki (format Expert Choice)

Tampilan dua dimensi dari kriteria, subkriteria/pembatas, alternatif kebijakan pengelolaan disajikan pada Gambar 16. Tanda panah merah pada Gambar 16 menunjukkan hierarki subkriteria/pembatas (level 3) dengan setiap alternatif kebijakan pengelolaan yang ditawarkan. Alternatif kebijakan pengelolaan terlihat pada bagian bawah Gambar 16. Bahasan berikut akan

(32)

membahas hasil analisis AHP tersebut dalam upaya mendapat prioritas kebijakan pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di di perairan Jakarta.

5.5.2 Perbandingan kepentingan kriteria/dimensi pengelolaan

Seperti disebutkan sebelumnya, kriteria perikanan tangkap berdasarkan prinsip keberlanjutan merupakan upaya untuk mengakomodasi semua dimensi pengelolaan yang meliputi dimensi ekologi, dimensi biologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial, dan dimensi teknologi. Gambar 17 memperlihatkan hasil analisis rasio kepentingan setiap kriteria / dimensi pengelolaan setelah diolah menggunakan Program AHP.

Gambar 17 Rasio kepentingan kriteria/dimensi pengelolaan.

Berdasarkan Gambar 17 dimensi ekologi mempunyai rasio kepentingan paling tinggi dibandingkan empat kriteria lainnya, yaitu 0,362 pada inconsistency

terpercaya 0,07. Batas inconsistency yang diperbolehkan secara statistik adalah

maksimum 0,1. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan pengelolaan perikanan tangkap yang dipilih diutamakan yang dapat menjaga kondisi ekologi perairan Jakarta. Dipahami bahwa mempertahankan ekologi yang baik dan stabil akan mendukung kehidupan biota termasuk sumberdaya ikan potensial (dimensi biologi), berkembangnya usaha perikanan tangkap menggunakan teknologi

(33)

meningkatkan kesejahteraan nelayan dan masyarakat sekitar (dimensi sosial). Sebagaimana pendapat Hanna (1999) dalam konteks transisi dalam pengelolaan perikanan dari satu spesies menjadi biodiversity : ”maintaining ecological resilience is an increasingly important management goal for marine system as fisheries worldwide suffer from biodiversity loss”

Dimensi ekonomi merupakan kriteria/dimensi pengelolaan urutan kedua paling penting yang perlu diperhatikan dalam pemilihan kebijakan perikanan tangkap di perairan Jakarta. Hal ini ditunjukkan oleh rasio kepentingannya tertinggi kedua, yaitu 0,206 pada inconsistensy terpercaya 0,07. Dimensi ini

dianggap penting karena usaha ekonomi yang baik akan berpengaruh positif kepada aktivitas lainnya, seperti meningkatkan kemampuan mengadopsi teknologi tertentu dalam penangkapan, meningkatkan kesejahteraan dan daya beli keluarga nelayan. Kriteria yang mempunyai rasio kepentingan ketiga adalah dimensi biologi, yaitu 1,99 dengan inconsistency 0,07. Mengacu kepada kriteria ini, maka

alternatif kebijakan pengelolaan yang dipilih hendaknya dapat menjaga kelestarian sumberdaya ikan dan ekosistemnya sehingga kegiatan perikanan tersebut dapat berkelanjutan.

Dimensi sosial merupakan kriteria/dimensi pengeloalan dengan rasio kepentingan paling rendah dalam upaya pengembangan kebijakan perikanan tangkap, yaitu 0,098 pada inconsistency terpercaya 0,07. Sehubungan dengan

dimensi sosial dalam analisis ini lebih diartikan ketersediaan tenaga kerja dan sesuai hasil dari analisis SWOT bahwa faktor kekuatan dominan dari pengelolaan perikanan di perairan Jakarta adalah ketersediaan tenaga kerja, maka rasio kepentingan paling rendah dapat diartikan dimensi sosial saat ini pada kondisi yang sangat dalam mendukung pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di perairan Jakarta dan perhatian prioritas pada rasio tertinggi untuk faktor ekologi, mengingat faktor ekologi di perairan Jakarta saat ini pada kondisi yang berdampak negatif terhadap pengelolaan perikanan berkelanjutan.

(34)

5.5.3 Perbandingan kepentingan subkriteria / pembatas (limiting factor) dalam pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan

Hasil analisis SWOT terkait kondisi internal dan eksternal pengelolaan perikanan tangkap di perairan Jakarta menunjukkan bahwa beberapa hal yang menjadi pembatas dalam pengembangan kebijakan pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di perairan Jakarta adalah kondisi perairan, status pemanfaatan SDI, sarana dan prasarana produksi, ketersediaan tenaga kerja, teknologi mandiri dan ramah lingkungan. Pembatas-pembatas ini merupakan faktor koreksi dalam memenuhi kriteria-kriteria pengembangan sehingga kebijakan pengelolaan yang dipilih benar-benar merupakan kebijakan terbaik. Bahasan berikut akan membahas kepentingan setiap pembatas tersebut dalam mendukung kriteria / dimensi pengelolaan yang ada terkait pemilihan alternatif kebijakan pengelolaan yang ditawarkan.

Gambar 18 Rasio kepentingan pembatas dalam mendukung kriteria / dimensi ekologi

Dalam kaitan dengan pemenuhan kriteria/dimensi ekologi, ada dua pembatas yang berpengaruh atau berkepentingan, yaitu kondisi perairan dan status pemanfaatan SDI (Gambar 18). Status pemanfaatan SDI merupakan pembatas yang mengakomodasi kriteria/dimensi ekologi dari penilaian kondisi sumberdaya ikan yang ada di perairan, sedangkan kondisi perairan merupakan pembatas dalam pencapaian kriteria/dimensi ekologi dari penilaian kondisi perairan secara umum. Hal yang sama juga bagi perhatian terhadap kriteria/dimensi biologi, dimana kondisi perairan dan status pemanfaatan SDI menjadi pembatas penting dan lebih

(35)

tepat daripada tiga pembatas lainnya terkait pemenuhan kriteria / dimensi biologi dalam pengelolaan perikanan tangkap.

Berdasarkan Gambar 18, diantara dua pembatas yang ada, kondisi perairan mempunyai rasio kepentingan yang lebih tinggi daripada status pemanfaatan SDI dalam mendukung pemenuhan kriteria / dimensi ekologi. Kondisi perairan mempunyai rasio kepentingan 0,750 pada inconsistensy terpercaya 0,00,

sedangkan status pemanfaatan SDI mempunyai rasio kepentingan 0,250 pada

inconsistensy terpercaya 0,00. Hal ini dapat dipahami karena kondisi perairan

yang baik lebih dapat mendukung fungsi ekologi, sedangkan status pemanfaatan SDI lebih berkaitan dengan aspek keberadaan sumberdaya ikan suatu perairan.

Gambar 19 Rasio kepentingan pembatas dalam mendukung kriteria / dimensi biologi

Pemenuhan kriteria dimensi biologi, pembatas status pemanfaatan SDI mempunyai rasio kepentingan 0,667 pada inconsistensy terpercaya 0,00,

sedangkan pembatas kondisi perairan mempunyai rasio kepentingan yang lebih rendah, yaitu 0,333 pada inconsistensy terpercaya 0,00 (Gambar 19). Hal ini

karena dimensi biologi berkaitan langsung populasi ikan, sedangkan pembatas status pemanfaatan SDI terkait dengan tingkat pemanfaatan dihubungkan dengan populasi ikan yang ada di perairan.

(36)

Gambar 20 Rasio kepentingan pembatas dalam mendukung kriteria / dimensi ekonomi

Untuk kriteria / dimensi ekonomi, sosial, dan teknologi, ada tiga pembatas yang berpengaruh atau berkepentingan, yaitu sarana dan prasarana produksi, ketersediaan tenaga kerja, dan teknologi mandiri dan ramah lingkungan. Untuk pemenuhan kriteria / dimensi ekonomi, pembatas sarana dan prasarana produksi mempunyai rasio kepentingan paling tinggi, yaitu 0,550 pada inconsistensy

terpercaya 0,02 (Gambar 20). Hal ini karena sarana dan prasarana produksi merupakan penggerak kegiatan ekonomi termasuk di bidang perikanan tangkap. Bila sarana dan prasarana produksi tidak mendukung di suatu kawasan, maka kegiatan ekonominya tidak akan berkembang dengan maksimal. Ketersediaan tenaga kerja akan termanfaatkan dengan sendirinya bila sarana dan prasarana yang digunakan dalam kegiatan perikanan tangkap tersedia dengan baik dan siap dioperasikan. Hal yang sama berupa penggunaan teknologi penangkapan ikan juga akan berkembang bila kegiatan perikanan tangkap telah berjalan dengan baik.

(37)

Gambar 21 Rasio kepentingan pembatas dalam mendukung kriteria / dimensi sosial

Untuk pemenuhan kriteria / dimensi sosial, pembatas ketersediaan tenaga kerja mempunyai rasio kepentingan paling tinggi, yaitu 0,540 pada inconsistensy

terpercaya 0,01 (Gambar 21). Hal ini dapat dipahami karena perhatian yang baik terhadap tenaga kerja dapat secara langsung meminimalisasi konflik sosial yang ada dalam kegiatan perikanan tangkap di perairan Jakarta. Sarana dan prasarana produksi mempunyai rasio kepentingan paling tinggi kedua, yaitu 0,297 pada

inconsistensy terpercaya 0,01 dalam pemenuhan kriteria / dimensi sosial. Hal ini

karena sarana dan prasarana produksi tersebut secara tidak langsung dan mendukung dimensi sosial yang ada, yaitu adanya sarana dan prasarana produksi dapat membuka kesempatan kerja bagi yang membutuhkannya.

Rasio kepentingan pembatas dalam mendukung kriteria / dimensi teknologi pada pengelolaan perikanan tangkap di perairan Jakarta disajikan pada Gambar 22.

(38)

Gambar 22 Rasio kepentingan pembatas dalam mendukung kriteria / dimensi teknologi

Berdasarkan Gambar 22, teknologi mandiri dan ramah lingkungan merupakan pembatas dengan rasio kepentingan paling tinggi dalam mendukung pemenuhan kriteria/dimensi teknologi dalam pengelolaan perikanan tangkap di perairan Jakarta, yaitu 0,540 pada inconsistensy terpercaya 0,01. Hal ini bisa

terjadi karena teknologi mandiri dan ramah lingkungan berkaitan langsung dimensi teknologi, yang bila dikembangkan tentu berarti secara langsung mengakomodasi dimensi teknologi pada kegiatan pengelolaan perikanan tangkap. Ketersediaan tenaga kerja merupakan pembatas dengan rasio kepentingan tertinggi kedua (0,297 pada inconsistensy terpercaya 0,01). Hal ini bisa jadi

karena tenaga kerja merupakan pelaku langsung dari digunakan atau tidak digunakan suatu teknologi dalam kegiatan perikanan tangkap.

Terlepas dari kepentingan pembatas yang beraneka ragam dalam mendukung pemenuhan kriteria / dimensi pengelolaan tertentu, suatu alternatif strategi kebijakan pengelolaan yang dipilih (menjadi prioritas pertama) haruslah merupakan alternatif strategi kebijakan paling baik dalam mengakomodasi dengan proporsi yang tepat diantara kepentingan yang ada baik kepentingan sub kriteria / pembatas maupun kepentingan kriteria pengelolaan yang ada.

(39)

5.5.4 Prioritas strategi kebijakan pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan

Penentuan prioritas strategi kebijakan pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan dengan mempertimbangkan semua kriteria yaitu dimensi ekologi, biologi, ekonomi, sosial, dan teknologi. Setiap kriteria dilakukan pertimbangan terhadap semua jenis sub kriteria/pembatas (limiting factor) yang sesuai, dan

setiap alternatif kebijakan pengelolaan untuk setiap pembatas. Pertimbangan tersebut ditunjukkan dalam bentuk rasio kepentingan kriteria, rasio kepentingan pembatas, dan rasio kepentingan alternatif strategi kebijakan pengelolaan. Rasio kepentingan alternatif strategi disajikan pada Gambar 23, dimana urutan pertama menunjukkan tingkat prioritas paling tinggi hingga ke paling rendah.

Gambar 23 Urutan prioritas kebijakan pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan (inconsistency 0,07) 

Gambar

Gambar 9   Diagram lingkar sebab akibat kegiatan perikanan tangkap.
Gambar 10  Diagram Input-Output.
Tabel 16  SFAS (Strategic Factor Analysis Summary)
Tabel 18  Kesesuaian lahan untuk perikanan tangkap  No.  Tingkat Kesesuaian Lahan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Makalah Penulisan dan Seminar Ilmiah dengan judul "Kajian Pengaruh Cara Perlakuan pada Selada Air terhadap Kandungan Mikroorganisme'', yang diajukan oleh Ozora

Hasilpenelitian : menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh pemberian aroma terapi minyak sereh yang signifikan terhadap peningkatan asupan makan balita dalam

Sebagai Negara kepulauan yang memiliki laut yang luas dan garis pantai yang panjang, sektor maritime dan kelautan menjadi sangat strategis baggi Indonesia ditinjau

Lokasi dan objek PKL untuk setiap tahapan dirumuskan/disiapkan oleh Bidang PKL atau panitia PKL yang ditetapkan oleh Rapat Dewan Dosen Jurusan Pendidikan Geografi, yang

Novel ini berkisah mengenai sebuah cerita cinta yang romantic di antara dua pujangga terbesar yang hidup pada jaman romantik , yang bernama Randolph Henry Ash dan Christabel

Pertidaksmaan eksponen adalah suatu pertidaksamaan yang didalamnya memuat.

Pada perancangan model robot terbang sebagai alternatif media pendistribusian paket bantuan kedaerah terisolir terdiri dari empat motor brushless, dua motor servo

Menurut Thiagarajan, dkk (1974), analisis ujung depan bertujuan untuk memunculkan dan menetapkan masalah dasar yang dihadapi dalam pembelajaran, sehingga diperlukan suatu