Studi Pengaruh Letusan Abu Vulkanik Gunung Marapi
di Sumatra Barat Tanggal 3 Agustus 2011 Terhadap Hasil Pengukuran Gas SO
2dan Partikel (Pm10 Dan Tsp) di Stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang
The Study On The Effect Of Mount Marapi Eruption Volcanic Ash
In West Sumatra (3 August 2011) On The Results Of Measurement Of SO
2Gas And Particle
(Pm10 And Tsp) In The Global Atmosphere Watch Of Bukit Kototabang Station
Agusta Kurniawan
Stasiun Pemantau Atmosfer Global (SPAG) Bukit Kototabang Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika-Sumatra Barat, Indonesia
Naskah diterima 21 Mei 2015, selesai direvisi 02 Oktober 2015, dan disetujui 15 Oktober2015 2015 e-mail: agusta.kurniawan@bmkg.go.id
ABSTRAK
Makalah ini bertujuan memberi gambaran tentang perlunya sinergi dan harmonisasi antar sektor dalam perencanaan dan pengelolaan tata ruang. Studi kasus dilakukan di kawasan Dieng Plateau menggunakan metode pendekatan survei lapang-an dlapang-an lapang-analisis. Teklapang-anlapang-an populasi di kawaslapang-an ini telah menyebabklapang-an terjadinya teklapang-anlapang-an lahlapang-an ylapang-ang memicu peningkatlapang-an aktivitas di sektor pertanian, khususnya komoditas kentang. Aktivitas tersebut disertai dengan pemanfaatan pupuk organik maupun anorganik untuk meningkatkan produktivitas. Hasil analisis lima dari enam sampel air sumur di sekitar lokasi studi menunjukkan kadar nitrat dan COD (Chemical Oxygen Demand) yang tinggi. Tingginya kadar nitrat dan COD dalam air sumur memberikan indikasi yang cukup kuat yaitu telah terjadi kontaminasi air akibat aktivitas pertanian. Oleh karena itu, untuk mencapai kesinambungan sumber daya di Dieng Plateau, maka perlu adanya sinergi dan harmonisai antarsektor, khususnya sektor sumber daya air dan lahan.
Kata kunci: COD, Dieng Plateau, nitrat, produktivitas pertanian ABSTRACT
This paper aims to provide an overview of the need for the synergy and harmonize between sectosr in the spatial planning and its management. The case study was conducted in Dieng Plateau using the method of survey and analytical approach. The population pressure influenced the land pressure in this location. It has triggered the increase of agricultural activities, particularly in potato commodities. Its activities use organic and inorganic fertilizers to improve productivity. The analysis result of five of six water samples taken from the shallow dug well around the Dieng Plateau showed the high concentration of nitrate and COD (Chemical Oxygen Demand). High concentration of nitrate and COD in water sample provides a strong enough indication that water con-tamination occurred as a result of the agricultural activities. Therefore, in order to achieve sustainability of resources in the Dieng Plateau, hence the synergy and harmony between sectors are needed, especially water and land resources sectors.
Keywords: COD, Dieng Plateau, nitrate, agricultural activitie
JLBG
JURNAL LINGKUNGAN DAN BENCANA GEOLOGI
Journal of Environment and Geological Hazards
ISSN: 2086-7794
Akreditasi LIPI No. 692/AU/P2MI-LIPI/07/2015 e-mail: jlbg_geo@yahoo.com
PENDAHULUAN Gunung Marapi
Gunung Marapi secara adminstratif berlokasi di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Agam dan Kabu-paten Tanah Datar, Provinsi Sumatra Barat (Gambar 1). Kecamatan Banuhampu Sungai Puar di Kabu-paten Agam dan Kecamatan Pariangan, Kecamatan Batipuh, Kecamatan X Koto di Kabupaten Tanah Datar. Gunung Marapi merupakan gunung api Tipe A (Strato).
Menurut laporan Badan Nasional Penanggulan Ben-cana, Gunung Marapi di Sumatra Barat mulai ada peningkatan aktivitas sejak tanggal 3 Agustus 2011 pukul 09.00 WIB (http://www.bnpb.go.id/website/ asp/berita_list.asp?id=636). Material yang dilontar-kan ke atmosfer saat letusan adalah gas dan material vulkanik (Robock, 2002). Selain itu, emisi letusan gunung api juga mengeluarkan gas-gas halogen, se-perti HCl dan HF yang memperkuat deposisi asam (Delmelle drr., 2001).
SPAG Bukit Kototabang
Stasiun Pemantau Atmosfer Global (SPAG) Bukit Kototabang merupakan satu-satunya Stasiun Peman-tau Atmosfer Global di Indonesia dari Stasiun Pe-mantau Atmosfer Global (berskala global) yang ada di dunia (Gambar2) (Kurniawan , 2014).
SPAG Bukit Kototabang merupakan implementasi program Global Atmosphere Watch (GAW) yang di-cetuskan oleh World Meteorological Organization (WMO) sebagai upaya untuk melakukan monitoring terhadap kondisi atmosfer secara global. Sampai saat ini,25September 2013, ada tiga puluh stasiun sejenis yang ada di dunia yang bertugas untuk memperoleh data atmosferik dan kualitas udara di daerah dengan tipe remote atau daerah dengan kondisi udara yang relatif bersih dan jauh dari aktivitas antropogenik. Stasiun Pemantau Atmosfer Global (SPAG) Bukit Kototabang merupakan salah satu stasiun penga-matan referensi udara bersih (Gambar 3).
Untuk kawasan Asia, SPAG Bukit Kototabang meru-pakan satu dari empat stasiun GAW selain
Gambar 2. Lokasi Stasiun Pemantau Atmosfer Global (berskala global) di dunia. (Sumber: www.gawsis.de).
Gambar 3. Kondisi lingkungan sekitar di Stasiun Pemantau Atmosfer Global (SPAG) Bukit Kototabang yang masih bersih (sebagai latar belakang adalah Gunung Singgalang).
torishima (Jepang), Mount Waliguan (China), dan Danum Valley (Malaysia). Posisi astronomis dan geografis Indonesia memberikan fenomena tersend-iri dalam bidang sains atmosfir. Kenyataan bahwa Indonesia merupakan negara maritim yang terletak di daerah tropis dengan keberagaman topografi dan sumber daya alamnya telah sejak lama menjadi per-hatian para peneliti di bidang sains atmosfir. Oleh karena itu, ketika Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) bermaksud untuk memperluas jaringan pemantau atmosfirnya, maka Indonesia dijadikan sebagai salah satu kandidat utama. Wilayah Indo-nesia yang terbagi dalam lima pulau utama, yaitu Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua dengan perbedaan topografi mengisyaratkan suatu pemilihan yang selektif untuk dapat merepresenta-sikan Indonesia sebagai titik acuan bagi pengukuran di wilayah tropis berbasis maritim. Dari kelima pu-lau tersebut, Pupu-lau Sumatra dipilih karena keraga-man topografi dan letaknya yang berhadapan den-gan Samudra Hindia, yang telah lama menjadi salah satu perhatian kalangan meteorologis dan peneliti sains atmosfer.
Stasiun ini secara administratif berada di Keca-matan Palupuh, Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Secara geografis, berada di 0,20°LS dan 100,32°BT (Gambar 1). Letak astronomisnya yang sangat unik karena berada dekat dengan garis ekuator, membuat stasiun ini menjadi sangat penting untuk penga-matan kondisi atmosferik di daerah sekitar ekua-tor. Letak geografis stasiun ini juga tak kalah unik karena bagian barat merupakan daerah pesisir yang berhadapan dengan Samudra Hindia yang luas, se-mentara bagian timur merupakan wilayah dataran tinggi yang merupakan bagian dari Pegunungan Bukit Barisan.
Berdasarkan pertimbangan kedekatan lokasi Gunung Marapi dan Stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang, serta tugas pokok dan fungsi Stasiun Pe-mantau Atmosfer Global Bukit Kototabang sebagai salah satu stasiun referensi udara bersih di Indonesia, studi pengaruh letusan abu vulkanik Gunung Marapi dilakukan pada 3Agustus 2011 terhadap penguku-ran gas SO2 dan parameter partikel (PM10dan TSP) di Stasiun Pemantau Atmosfer Global (SPAG) Bukit Kototabang.
METODE PENELITIAN
Data yang digunakan dalam penelitian ini meng-gunakan agregat harian yang terbagi menjadi dua: data pembanding, yaitu data harian sebelum letu-san abu vulkanik Gunung Marapi pada 1-30 Juli 2011, dan data sampel, yaitu data setelah letusan abu vulkanik Gunung Marapi pada 1-10 Agustus 2011.
Pengukuran Konsentrasi SO2
Konsentrasi gas SO2 (part per billion=ppb) diperoleh dari instrumen TS43i-Trace Level Enhance. Prinsip kerja instrumen ini dengan metode UV Fluores-cence. Data gas SO2 merupakan data dengan resolusi
5 menit,yang kemudian diolah menjadi agregat har-ian. Raw data diambil dari instrumen menggunakan software iport dengan kabel RS232 yang dilengkapi dengan sistem kalibrasi (Dynamic Gas Calibrator TS146i dan Zero Air Supply TS111) serta gas Stan-dar SO2 (Kurniawan, 2010).
Pengukuran Konsentrasi PM10
Konsentrasi PM10 (particulate matter 10/aerosol berukuran kurang dari 10 μm) diperoleh dari instru-men BAM yang instru-menggunakan prinsip pelemahan sinar beta. Data PM10 (μg/m3) merupakan data
den-gan resolusi 1 jam. Raw data diambil dari instrumen menggunakan aplikasi hyperterminal dengan kabel RS232. Raw data kemudian diolah menjadi data agregat harian (Met One Instruments, Inc., 2001; Kurniawan, 2010).
Pengukuran Konsentrasi TSP
Konsentrasi TSP (Total Suspended Particle) diperoleh dari instrumen HVAS (High Volume Air Sampler). Instrumen ini dioperasikan selama 24 jam. HVAS Staplex ini juga dilengkapi dengan flow controller (pengatur laju alir), yang memastikan laju alir udara tetap sama/konstan. Laju alir udara diatur tetap 1.12 CMM ≈ 1.2 CMM (Cubic Meter Per Minute)=1200 LPM atau Pompa dioperasikan dengan laju alir 1,2 m3/menit. Partikel akan mengendap pada filter. Berat Total Suspended Particle (TSP) merupakan selisih antara berat filter sesudah pemasangan dikurangi be-rat filter sebelum pemasangan (dalam gram) (Kurni-awan, 2010).
Citra Satelit OMI (Ozon Monitoring Instrument) pada Satelit Aura
Citra satelit ini digunakan untuk memotret konsen-trasi kolom SO2 di atmosfer bumi dari luar angkasa, dalam satuan DU (Dobson Unit).
Model HYSPLIT Volcanic Ash
Model ini merupakan salah satu produk dari NOAA (National Oceanic and Atmospheric
Administra-tion), dan pada tulisan ini model tersebut
dipergu-nakan untuk memperkirakan arah letusan abu vul-kanik Gunung Marapi yang terjadi pada 3 Agustus 2011(Draxler drr., 2009).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang merupakan stasiun referensi udara bersih dan meman-tau secara terus menerus kondisi udara ambien bersih yang mewakili daerah terpencil di dunia, khususnya di daerah ekuator. Oleh karena itu, pengukuran gas mau-pun partikel akan sangat sensitif terhadap perubahan aktivitas antropogenik ataupun aktivitas alami seperti letusan abu vulkanik gunung berapi.
Data yang digunakan pada tulisan ini berbasis harian (aggregat harian). Sebagai data pembanding (data ref-erensi) digunakan data harian parameter sebelum ter-jadinya letusan abu vulkanik Gunung Marapi, yaitu data bulan Juli 2011, sedangkan sebagai data pengu-jian (data sampel) digunakan data harian setelah letu-san awal abu vulkanik Gunung Marapi (awal meletus pada 3 Agustus 2011 pada pukul 09.00 WIB). Ada tiga parameter yang dianalisis pada tulisan ini, yaitu konsentrasi gas SO2 dinyatakan dalam ppb, konsen-trasi partikel PM10dinyatakan dalam mg/m3 atau
μg/m3, dan konsentrasi TSP (Suspended Particulate Matter) yang dinyatakan sebagai berat debu (g).
Pengukuran Konsentrasi Gas SO2
Parameter gas SO2 (sulfur dioksida) diamati pada pen-gukuran ini karena gas SO2 sebagai salah satu param-eter deposisi asam, yang menyebabkan kerusakan pada lingkungan. Gas SO2 berbau tajam dan tidak mudah terbakar.Bila bertemu dengan udara yang mengand-ung uap air akan bereaksi membentuk asam sulfit (H2SO3) (Sutamihardja dan Murniawati, 2008).
SO2 + H2O
→
H2SO3Gas SO2 bila bertemu dengan oksigen di udara akan membentuk gas SO3, kemudian bereaksi dengan uap air (H2O) atau bereaksi dengan air hujan membentuk asam sulfat (H2SO4) (Sutamihardja dan Murniawati, 2008). SO3 + H2O
→
H2SO4Asam sulfat ini akan bersifat korosif terhadap logam, bangunan, dan juga bisa membuat logam-logam ter-larut kembali dalam bentuk oksidasi tinggi, sehingga beracun bagi makhluk hidup (Sutamihardja dan Murniawati, 2008; Andrews drr., 1996). Walaupun gas SO2 (sulfur dioksida) mempunyai kelarutan yang kecil dalam air, namun dalam jumlah mol yang sama dengan gas lain (misal: CO2, NO2), gas ini mampu menaikkan keasaman/menurunkan pH air hujan se-cara signifikan dibandingkan dengan gas lain tersebut (Andrews drr., 1996).
Nilai rata-rata konsentrasi gas SO2 (Gambar 4) sebe-lum letusan abu vulkanik Gunung Marapi (pada 1 Juli 2011 sampai 2 Agustus 2011) sebesar 0,50 ppb, dan maksimum tercapai pada tanggal 30 Juli 2011 sebesar 0,86 ppb. Nilai rata-rata konsentrasi gas SO2 (Gambar 4) setelah letusan (pada 4 sampai 10 Agus-tus 2011) sebesar 0,50 ppb, dan maksimum tercapai pada tanggal 5 Agustus 2011 sebesar 0,80 ppb. Data tersebut menunjukkan bahwa letusan abu vulkanik Gunung Marapi tidak memengaruhi pengukuran gas SO2 di Stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang. Adanya fluktuasi konsentrasi gas SO2 yang teramati sebelum letusan abu vulkanik Gunung Marapi merupakan variabilitas harian akibat adanya aktivitas antropogenik di sekitar Stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang. Kenaikan kon-sentrasi gas SO2 setelah letusan abu vulkanik Gu-nung Marapi yang masih dalam orde ppb (part per bilion) bukan merupakan pengaruh material letusan Gunung Marapi, tetapi merupakan variabilitas har-ian. Dari analisis tersebut dapat dikatakan letusan abu vulkanik Gunung Marapi tidak berpengaruh terhadap pengukuran gas SO2 di Stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang.
Pengukuran Konsentrasi PM10
Parameter partikel dalam hal ini adalah PM10 (par-tikel debu berukuran 10 mikron ke bawah). Parameter
ini penting untuk diamati karena partikel ini berpen-garuh terhadap kesehatan manusia (berpotensi meng-ganggu pernapasan dan jarak pandang (visibilitas) (Kurniawan drr., 2011; Miroslav danVladimir,1999). Selain itu, partikel ini cenderung mempunyai sebaran atau distribusi yang jauh dari sumber awal polutan-nya. Letusan abu vulkanik gunung berapi sangat ber-potensi mengeluarkan partikel PM10 ini.
Sebelum letusan abu vulkanik Gunung Marapi pada 1 Juli sampai 2 Agustus 2011 (Gambar 5), konsen-trasi PM10 rata-rata harian di SPAG Bukit Koto-tabang sebesar 0,029 mg/m3 udara, dan mencapai konsentrasi maksimum sebesar 0,076 mg/m3 udara pada 29 Juli 2011. Tingginya konsentrasi PM10 pada awal Juli 2011 dan pada akhir bulan Juli 2011 (Gam-bar 5), kemungkinan besar adalah aktivitas antro-pogenik di sekitar stasiun GAW Bukit Kototabang,
akibat perambahan dan pembakaran hutan di sekitar stasiun, dan adanya transpor polutan hasil kebakaran hutan di Pulau Sumatra, khususnya di Jambi dan Riau. Setelah letusan abu vulkanik Gunung Marapi pada tanggal 2 sampai 10 Agustus 2011 (Gambar 5), konsentrasi PM10 rata-rata harian di SPAG Bukit Kototabang sebesar 0,024 mg/m3 udara, dan menca-pai maksimum tercamenca-pai pada 3 Agustus 2011sebesar 0,060 mg/m3 udara.
Kecenderungan tinggi setelah letusan abu vulkanik Gunung Marapi dan menurun sampai 7 Agustus 2011 dan menaik lagi sampai 11 Agustus 2011 (Gam-bar 5), bukan akibat dari letusan abu vulkanik Gu-nung Marapi, tetapi merupakan variabilitas rata-rata harian konsentrasi PM10 akibat aktivitas antropoge-nik di stasiun GAW Bukit Kototabang dan transpor polutan akibat kebakaran hutan di Pulau Sumatra. Gambar 4. Konsentrasi harian gas SO2 di SPAG Bukit Kototabang, kiri: sebelum dan kanan: setelah, letusan abu vulkanik Gunung Marapi pada 3 Agustus 2011
Gambar 5. Konsentrasi harian PM10 di SPAG Bukit Kototabang, kiri: sebelum dan kanan: setelah, letusan abu vulkanik Gunung Marapi pada 3 Agustus 2011. Baku mutu udara ambien menurut PP no 41 tahun 1999 adalah 120 μg/m3
Letusan abu vulkanik Gunung Marapi ternyata ti-dak berpengaruh secara nyata terhadap pengukuran partikel PM10 di Stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang, terlihat bahwa nilai rata-rata dan nilai maksimum konsentrasi harian PM10 setelah letusan abu vulkanik Gunung Marapi terukur lebih rendah dibandingkan nilai rata-rata dan nilai maksi-mum konsentrasi harian PM10 sebelum letusan abu vulkanik Gunung Marapi.
Pengukuran Berat TSP (Total Suspended Partikel )
Partikelyang diukur adalah Total Suspended Partikel (TSP), merupakan partikel debu (aerosol) yang dapat mengendap dan biasanya berukuran sampai 100 mik-ron. Partikel ini diamati karena debu vulkanik mem-punyai cenderung berukuran besar dan mudah men-gendap.
Pengukuran sampel TSP dilakukan selama 24 jam, dengan jadwal mingguan, dan sebagai data sebelum le-tusan abu vulkanik Gunung Marapi diukur dari 7 Mei 2011 sampai 30 Juli 2011, namun ada beberapa hari pada tanggal tersebut data tidak tersedia. Konsentrasi TSP dalam tulisan ini dinyatakan sebagai berat dalam gram. Berat TSP diperoleh dengan cara menghitung berat filter setelah dipasang dikurangi berat filter awal. Berat TSP rata-rata sebelum letusan abu vulkanik Gu-nung Marapi sebesar 0,048 gram, dengan nilai maksi-mum tercapai pada 6 Juli 2011 sebesar 0,1100 gram (Gambar 6). Ternyata pola yang sama pada penguku-ran partikel PM10 teramati juga pada pengukupenguku-ran TSP, pada 6 Juli 2011, pengukuran TSP mencapai puncak.
Hal itu karena aktivitas antropogenik di sekitar stasiun GAW Bukit Kototabang dan transpor polutan akibat kebakaran hutan di Pulau Sumatra. Sementara sebagai data sampel atau data TSP setelah letusan abu vulkanik Gunung Marapi (Gambar 6) hanya diukur tiga kali, yaitu 5, 7, dan 11 Agustus 2011. Nilai rata-rata be-rat SPM setelah letusan abu vulkanik Gunung Marapi sebesar 0,0609 gram dan mencapai maksimum pada 17 Agustus 2011 sebesar 0,0821 gram. Walaupun nilai rata-rata berat TSP setelah letusan abu vulkanik Gu-nung Marapi lebih tinggi daripada nilai rata-rata be-rat TSP sebelum letusan Gunung Marapi, namun itu tidak menunjukkan bahwa letusan abu vulkanik ber-pengaruh secara signifikan terhadap pengukuran TSP di Stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kotota-bang. Nilai maksimum berat TSP sebelum letusan abu vulkanik Gunung Marapi (0,1100 gram) lebih tinggi daripada nilai maksimum berat TSP setelah letusan abu vulkanik Gunung Marapi (0,0821 gram).Letu-san abu vulkanik mengeluarkan material ke udara yang banyak, sehingga penurunan nilai maksimum berat TSP sebelum dikurangi sesudah letusan abu vulkanik, merupakan bukti yang lebih masuk akal bahwa letu-san abu vulkanik Gunung Marapi tidak berpengaruh secara signifikan terdapat pengukuran TSP di Stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang.
Citra Satelit OMI (Ozon Monitoring Instrument) pada Satelit Aura
Citra satelit OMI digunakan untuk melihat konsen-trasi kolom SO2 di atas Pulau Sumatra untuk dapat
membantu menjelaskan fenomena konsentrasi gas
Gambar 6. Konsentrasi TSP di SPAG Bukit Kototabang, kiri: sebelum dan kanan: setelah, letusan abu vulkanik Gunung Marapi pada 3 Agustus 2011.Baku mutu udara ambien menurut PP no 41 tahun 1999 adalah 230 μg/m3 atau 0,230 mg/ m3.
(SO2) di stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang yang terukur lebih kecil setelah letusan abu vulkanik dibandingkan dengan konsentrasi se-belum letusan abu vulkanik Gunung Marapi pada 3 Agustus 2011.
Citra satelit OMI juga mendukung data pengamatan partikel dan gas di stasiun GAW Bukit Kototabang, yang menunjukkan bahwa tidak teramati kenaikan yang signifikan akibat letusan abu vulkanik Gunung Marapi 3 Agustus 2011, terutama pada pengukuran konsentrasi gas SO2 yang disebabkan oleh material abu vulkanik yang bergerak menuju ke barat ke arah pantai Sumatra, bukan menuju ke arah timur ke Sta-siun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang (Gambar 7). Pada hari berikutnya pada tanggal 4 Agustus 2011, kondisi kolom atmosfer sudah lebih bersih.
Model HYSPLIT Volcanic Ash (NOAA)
Salah satu model partikel yang berfungsi untuk mem-perkirakan arah letusan abu vulkanik dan material gunung berapi adalah Hysplit Volcanic Ash Model dari NOAA(Stunder dan Draxler, 2014). Model ini digunakan untuk dapat lebih menjelaskan mengapa konsentrasi partikel dan gas di Stasiun Pemantau At-mosfer Global Bukit Kototabang terukur lebih ren-dah, atau mengapa letusan abu vulkanik Gunung Marapi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pengukuran partikel dan gas di stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang. Model tersebut dijalankan dengan skenario Gunung Marapi di Su-matra Barat meletus selama 1 jam, dan terjadi pada 29 Agustus 2011 (Gambar 8). Hasil running mod-el tersebut, menguatkan lagi citra satmod-elit OMI dari satelit AURA bahwa material abu vulkanik Gunung Marapi melayang terbang ke arah barat ke pantai Padang, bukan ke arah Stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang.
Hubungan Antara Berbagai Parameter
Walaupun jarak antara Gunung Marapi dengan SPAG Bukit Kototabang kurang dari 50 km, namun parameter-parameter pengukuran partikel dan gas ti-dak terlalu terpengaruh. Nilai pengukuran gas SO2 dan nilai pengukuran partikel PM10 dan TSP yang diharapkan tinggi, karena material abu vulkanik akan
banyak mengandung gas SO2 dan partikel-partikel yang berukuran sampai 100 mikrometer seharusnya terbawa terbang menuju ke SPAG Bukit Kototabang, ternyata tidak demikian. Data fluktuatif nilai pengu-kuran gas SO2 dan partikel (PM10 dan SPM) meru-pakan variabilitas harian, dan banyak dipengaruhi oleh transpor polutan dari daerah lain seperti keba-karan, kegiatan antropogenik di sekitar SPAG Bukit Kototabang, dan bukan akibat dari letusan abu vul-kanik Gunung Marapi. Data Citra Satelit OMI pada saat dan setelah letusan didukung dengan output dari Model Hysplit Volcanic Ash (dari NOAA) sangat ses-uai dengan data observasi di Stasiun Pemantau At-mosfer Global Bukit Kototabang. Arah dan lintasan abu vulkanik letusan abu vulkanik Gunung Marapi ke arah barat atau ke arah pantai Sumatra, bukan ke arah timur (ke arah SPAG Bukit Kototabang), se-hingga semua parameter pengukuran partikel dan gas di SPAG Bukit Kototabang, terukur rendah .
KESIMPULAN
Berdasarkan data dan analisis di atas dapat diambil kesimpulan, letusan abu vulkanik Gunung Marapi pada 3 Agustus 2011 tidak memengaruhi hasil pen-gukuran gas SO2 dan partikel (PM10 dan TSP) di Stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kotota-bang karena material abu vulkanik Gunung Marapi melayang terbang ke arah barat ke pantai Sumatra, bukan ke arah barat laut ke lokasi stasiun pemantau tersebut berada.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan SPAG Bukit Kototabang yang telah mengop-erasikan dan menganalisis TSP, terutama kepada Yosfi Andri, S.T. dan Aulia Rinadi S.Si. Tak lupa penu-lis juga mengucapkan terima kasih kepada NASA (NASA Official: Nickolay A. Krotkov, Web Content: Keith D. Evans (UMBC/JCET), Simon Carn) dalam hal ini menyediakan Citra OMI pada Satelit Aura se-cara online (http://so2.gsfc.nasa.gov/pix/daily/0811/ sumatra_0811z.html) melalui internet. Penulis juga mengucapkan terima kasih terhadap NOAA yang menyediakan Model Hysplit Volcanic Ashyang
diak-Gambar 7. Citra Satelit OMI menunjukkan kolom konsentrasi SO2 di Pulau Sumatra, atas: saat terjadi letusan abu vulkanik Gunung Marapi pada 3 Agustus 2011, bawah pada 4 Agustus 2011 (http://so2.gsfc. nasa.gov/, diakses 8 Agustus 2011)
Gambar 8. Hasil running Hysplit Volcanic Ash Model dari NOAA, dengan skenario Gunung Marapi me-letus pada 29 Agustus 2011, selama 1 jam (http://ready.arl.noaa.gov/READYVolcAsh.php).
ses online melalui http://ready.arl.noaa.gov/READY-VolcAsh.php.
DAFTAR PUSTAKA
Andrews, J. E., Brimblecambe, P. Jickells, T. D., dan Liss, P. S., 1996. An Introduction to Environmental Chemistry.
School of Environmental Sciences. University of East Anglia,
Blackwell Sciences, UK.
,Alan.T. D.P. S. Citra OMI dari Satelit Aura. http://so2. gsfc.nasa.gov/ [8 Agustus 2011].
Delmelle, Pierre, Stix, John, Charles, P. Bourque, A., Bax-ter, Peter J., Alvarez, Julios Garcia, Barquer, Jorge, 2001.
Dry Deposition and Heavy Acid Loading in the Vicinity of Masaya Volcano, a Major Sulfur and Chlorine Source in Ni-caragua, Environmental Science & Technology, Vol. 35,
No. 7, h. 1289-1293.
Draxler, R., Stunder, B., Rolph, G., Stein, A., dan Taylor. A, 2009. Hysplit4 User's Guide, Version 4.9, NOAA Tech-nical Memorandum.
?Fotoletusan Gunung Marapi di Sumatra Barat. http:// rafjitsu.blogspot.com/2011/08/aktivitas-gunung-marapi-meningkat.html [16 April 2012].
?Informasi tentang Gunung Marapi. http://catros.word-press.com/2007/05/11/gunung-marapi/, [16 April 2012]. ?Informasi tentang Gunung Marapi. http://id.wikipedia. org/wiki/Gunung_marapi [16 April 2012].
Informasi tentang Gunung Marapi http://www.bnpb.go.id/
website/asp/berita_list.asp?id=636, [17 April 2012]. Kurniawan, A., 2010. , Pengaruh Letusan GunungSinabung
Terhadap Pengukuran Deposisi Asam Di Bukit Kototabang.
Megasains Volume I No.4 Desember 2010, hal.:218-229. Kurniawan, A., 2014, Pengaruh Letusan Gunung Sinabung pada 15 September 2013 terhadap pengukuran deposisi asam di SPAG Bukit Kototabang, Jurnal
Lingkun-gan dan Bencana Geologi, Vol. 5 No.1 April 2014:19 – 38.
Kurniawan, E., Nuraliyanti, Ahmad, Mizani, dan Se-tiawan, Budi, 2011. Karakteristik PM10 Di Wilayah
Ke-mayoran. Megasains Volume 2 No.2 Juni 2011, h.83-91.
Lokasi Stasiun Pemantau Atmosfer Global (berskala glob-al) di dunia, http://www.gawsis.de[25 September 2013]. Met One Instruments, Inc., 2001. BAM 1020 Particulate
Monitor Operation Manual. Oregon.
Miroslav, R. dan Vladimir. B. N., 1999. Practical
Environ-mental Analysis. The Royal Society of Chemistry, Cambridge. Output Model Hysplit Volcanic Ash diperoleh dari NOAA.
http://ready.arl.noaa.gov/READYVolcAsh.php.
Peraturan Pemerintah No.41 Tahun 1999 tentang Baku Mutu Udara Ambien.
Robock, Alan, 2002. Volcanic Eruptions, Volume 1, The
Earth system: physical and chemical dimensions of global en-vironmental change,pp 738–744, John Wiley & Sons, Ltd,
Chicheste.
A.Stunder, Barbara B. dan Draxler, R., 20140. HYSPLIT
model description and operational set up for benchmark case study, Workshop on Ash Dispersal Forecast and Civil Avia-tion, Geneva, Switzerland.
Sutamihardja, R.T.M. dan Murniawati,Tati, 2008. Depo-sisi Asam (Acid deposition). Materi Training DepoDepo-sisi Asam di Pusarpedal, 28 - 30 Oktober 2008.