• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II IDENTITAS DAN RUANG KETIGA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II IDENTITAS DAN RUANG KETIGA"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

IDENTITAS DAN RUANG KETIGA 2.1. Pendahuluan

Sejak kecil penulis diajarkan untuk mengetahui dan mengingat identitas sebagai orang Nias Padang. Ajaran ini berulang-ulang dilakukan oleh ibu penulis dengan menekankan pentingnya menjelaskan identitas dengan detail kepada setiap orang. Ia mengatakan jikalau ada orang yang menanyakan tentang identitas maka jawabannya adalah orang Nias Padang bukan orang Nias dari kampung, bahkan jika perlu sebutkan daerah tempat tinggal kakek nenek di Padang supaya meyakinkan mereka. Selain itu, kata-kata ibu penulis yang sangat melekat dipikiran saya mengenai identitas ketika ia berkata, “kak, jangan pernah salah ngomong kalau ditanya kamu orang mana ya, nanti bisa perang loh”. Dari pesan ibu penulis ini mengisyaratkan akan pentingnya sebuah identitas dalam kehidupan kami sebagai orang Nias yang berdiaspora di Padang.

Dalam contoh pengajaran yang dilakukan oleh ibu penulis tersebut membuat penulis tertarik untuk meneliti tentang identitas yang dimiliki oleh orang-orang Nias yang berdiaspora di Padang. Jika dilihat dari namanya maka tampaknya identitas yang mereka miliki bukanlah identitas biasa. Sebutan “Nias Padang” secara harafiah tampak seperti memiliki dua nama daerah yaitu Nias dan Padang. Dengan melihat kenyataan ini maka tampaknya identitas ini lahir dalam sebuah kondisi yang tidak biasa. Kondisi yang tidak biasa ini dapat terjadi dalam sebuah ruang yang disebut oleh Bhabha sebagai

(2)

ruang ketiga, tempat terjadinya negosiasi-negosiasi dari berbagai elemen.1 Identitas yang lahir dari negosiasi-negosiasi inilah yang akan penulis bahas dalam bab ini dengan menggunakan teori-teori identitas dan ruang ketiga. 2.2. Teori Identitas Secara Umum

2.2.1. Teori Identitas (Identity Theory)

Identitas adalah himpunan makna yang menentukan jati diri seseorang ketika ia memiliki suatu peran tertentu dalam masyarakat atau mengklaim karateristik tertentu karena ingin menunjukkan bahwa

setiap orang itu unik.2 Seseorang mengidentifikasikan eksistensinya

sebagai sesuatu yang berhubungan dengan titik yang ia tempati dalam

peta sosial.3 Lokasi sosial mempengaruhi identitas seseorang karena

lokasi sosial meliputi keberadaan kita (being) maupun perbuatan kita (conduct).4

Identitas mencirikan individu berdasarkan banyaknya posisi yang mereka miliki di dalam masyarakat. Dalam teori ini individu harus selalu diingat bahwa individu itu ada dalam konteks struktur sosial. Cooley menunjukkan bahwa individu dan masyarakat adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Sementara itu, Coleman dan Stryker memiliki pandangan bahwa masyarakat (struktur sosial) diciptakan dari tindakan individu meskipun diakui bahwa tindakan ini diproduksi dalam konteks struktur sosial yang mereka ciptakan dan dipengaruhi

1 Homi K. Bhabha, The Location of Culture, (New York:Routledge, 1994), 33. 2 Peter J. Burke dan Jan E. Stets, Identity Theory, (New York:Oxford University

Press, 2009), 3.

3 Peter L. Berger, Humanisme Sosiologi ter. Daniel Dakhidae, (Jakarta:Inti Sarana

Aksara, 1985), 96.

(3)

oleh konteks tersebut. Kita harus dapat memahami sifat individu yang menciptakan masyarakat dan sekaligus memahami sifat masyarakat

dimana individu itu bertindak.5

Hal yang senada diungkapkan Mead, yang mana identitas bukanlah sesuatu yang “sudah ada”, tetapi diberikan di dalam perilaku yang mendapat pengakuan sosial. Kita menjadi apa yang diharapkan dari kita karena identitas diberikan secara sosial. Oleh karena itu identitas juga harus dipertahankan secara sosial. Seseorang tidak dapat menjadi manusiawi semata-mata oleh dirinya sendiri. Ia membutuhkan

orang lain untuk dapat mengakui identitas yang ia miliki.6

Dalam memahami teori identitas, Berger menekankan pentingnya memahami teori peran. Setiap orang dapat memiliki banyak identitas dikarenakan dia memiliki banyak peran. Peran dapat mereka peroleh dari interaksi sosial yang mereka lakukan seperti menjadi anggota dari banyak kelompok. Peran kemudian menyiapkan pola yang mana individu harus bertindak menurut pola itu dalam situasi tertentu. Setiap peran yang ia miliki dalam masyarakat akan melekatkan suatu identitas baru kepadanya. Seorang anak menemukan siapa dirinya

ketika dia belajar apakah masyarakat itu.7 Setiap individu memainkan

peran yang ia miliki dengan tujuan untuk dapat menyelesaikan tugas tertentu dalam situasi khusus atau untuk membuat struktur sosial. Struktur sosial muncul dari tindakan individu yang terpola secara

5 Burke and Stets, Identity ..., 3-4. 6 Berger, Humanisme..., 140-141. 7 Berger, Humanisme…, 138-139.

(4)

keseluruhan. Dalam hal ini aktor atau orang yang berperan memiliki kapasitas untuk mengubah struktur sosial sehingga menghasilkan

reorientasi perilaku sosial dengan memunculkan pola-pola baru. 8

Peran menyediakan struktur dan organisasi yang berarti bagi diri sendiri dan situasi. Untuk memahami peran identitas, maka perlulah dijabarkan tentang posisi sosial. Posisi sosial adalah kategori yang ditempati oleh seseorang dalam sebuah organisasi atau masyarakat. Beberapa posisi sosial yang dianggap normatif seperti siswa dan pekerja. Posisi sosial yang kontra normatif seperti kriminal, pecandu alkohol, dan tuna wisma. Posisi sosial lainnya diberikan berdasarkan

kategori minat, aktivitas atau kebiasaan seseorang.9 Stets dan Burke

menjelaskan bahwa sifat dan tindakan yang dilakukan individu sangatlah bergantung pada masyarakat di sekitar mereka. Tindakan seorang individu merupakan serangkaian pola tindakan dan interaksi yang ditransfer dari pola yang ada dalam masyarakat sekitar. Hal yang dilakukan individu sangat bergantung pada masyarakat tempat mereka tinggal. Individu dapat menerima umpan balik dari struktur mereka dan

ciptaan orang lain untuk mengubah cara mereka beroperasi.10

2.2.2. Teori Identitas Sosial (Social Identity Theory)

8 Burke and Stets, Identity ..., 35. 9 Burke and Stets, Identity ..., 114.

10 Jan E. Stets dan Peter J. Burke, “A Sociological Approach to Self and Identity”,

dalam Handbook of Self and Identity, ed. Mark Leary and June Tangney, (New York : Guilford Press, 2003), 133.

(5)

Masyarakat dipahami sebagai suatu realitas eksternal yang menekan dan memaksa terhadap individu. Masyarakat dapat menentukan hal yang dihasilkan oleh individu sekaligus juga menentukan siapa individu itu. Identitas sosial didasarkan pada identifikasi individu dengan kelompok sosial atau masyarakat. Sebuah kelompok sosial adalah seperangkat individu yang memiliki pandangan bahwa mereka adalah anggota dari kategori sosial yang sama. Melalui proses perbandingan dan kategorisasi sosial maka individu-individu yang merasa dirinya mirip dengan kategori tertentu akan dilabeli termasuk di dalam in group. Sebaliknya, hal yang berada di luar dari kategori yang mereka tentukan akan dilabeli ke dalam kategori out group. Hal ini mengemukakan asumsi individu harus memiliki cara berpikir dan bertindak yang sama sebagai anggota kelompok agar

terciptanya sebuah. keseragaman pemikiran dan tindakan.11 Ini

mencerminkan bahwa identitas kelompok sering diperlakukan sebagai bentuk identifikasi yang paling kuat dalam hal kapasitas untuk

memobilisasi individu.12

Dalam memahami identitas sosial, Jenkins mengadopsi sebuah pendekatan yang berpendapat bahwa pertama, dengan identifikasi maka individu yang unik dan kelompok dapat dipahami serupa dalam hal-hal tertentu. Kedua, individu dan kelompok dapat terikat secara rutin satu sama lain. Ketiga, identifikasi individu dan kelompok hanya terjadi di

11 Burke dan Stets, Identity..., 118.

(6)

dalam suatu interaksi. Keempat, proses yang terjadi dimana masing-masing dapat diproduksi dan direproduksi adalah analog dan kelima, dalam teori identifikasi harus mengakomodasi individu dan kelompok

dalam ukuran yang sama.13

Lawler mengatakan bahwa identitas perlu dipahami bukan sebagai milik “di dalam” individu, tapi diproduksi antar individu dan

dalam hubungan sosial.14 Diri sejati atau identitas sejati adalah sesuatu

yang berada di dalam dan secara fundamental terpisah dari dunia sosial bukanlah efek dari ciri bawaan identitas manusia melainkan hasil dari proses kontrol sosial. Gagasan tentang identitas bergantung pada kombinasi paradoks dari kesamaan dan perbedaan: kita identik dengan diri kita sendiri (dari lahir sampai mati) dan identik dengan orang lain (berbagi beberapa identitas umum). Pada saat bersamaan, kita unik dan berbeda dari orang lain. Di dalamnya, dia menantang pandangan yang dipegang luas bahwa identitas sejati seseorang ada di dalam mereka dan pada dasarnya terpisah dari dunia sosial. Sebaliknya, dia memajukan perspektif identitas sosial yang radikal, dengan alasan bahwa hal itu dihasilkan dan dinegosiasikan antara orang-orang dalam hubungan. Ini berarti identitas itu bukan diberikan, tetapi sesuatu dihasilkan melalui narasi yang digunakan orang untuk menjelaskan dan memahami kehidupan mereka. Fokusnya pada tantangan naratif adalah gagasan

13 Jenkins, Social..., 37-38.

(7)

individu yang terionisasi dan menggantikannya dengan konsep

seseorang yang terlibat dan menghasilkan jaring hubungan sosial.15

Lawler berpendapat bahwa identitas dibuat dengan menyusun sebuah cerita di luar kehidupan seperti mengumpulkan berbagai kenangan, pengalaman, episode, interpretasi, pemahaman, dan lain-lain melalui narasi. Pandangan naratif tentang identitas ini membentuk inti argumennya. Seseorang akan tanpa henti bercerita tentang kehidupannya kepada dirinya dan orang lain. Dan melalui cerita-cerita seperti itu kita memahami dunia, tentang hubungan kita dengan dunia itu, dan hubungan antara diri kita sendiri. Secara krusial, dari perspektif ini, narasi ini tidak mencerminkan identitas yang telah ditentukan sebelumnya. Artinya, narasi bukanlah pembawa transparan dari “kehidupan sejati”. Sebaliknya, identitasnya adalah “diproduksi melalui karya otobiografi di mana kita semua terlibat setiap hari, walaupun beberapa dari kita secara formal akan menulis sebuah “otobiografi”. Oleh karena itu identitas sangat bersifat sosial dan terus ditafsirkan dan ditafsirkan ulang. Sejauh kita mengenal diri kita sendiri dan orang lain maka kita akan mencapai pengetahuan ini hanya melalui

interpretasi. Pengetahuan diri kemudian menafsirkan diri.16

2.2.3. Teori Proses Identitas (Identity Process Theory)

Identitas individu itu terbentuk melalui sebuah proses yang melalui asimilasi-akomodasi dan evaluasi. Proses asimilasi-akomodasi

15 Steph Lawler, Identity Sociological..., 25 16 Steph Lawler, Identity Sociological..., 66

(8)

adalah dimana individu melakukan penyerapan informasi baru dalam struktur identitas dan melakukan penyesuaian agardapat menjadi bagian dari struktur tersebut. Selanjutnya adalah proses evaluasi yang mana individu memberikan makna dan nilai pada suatu identitas baru

yang mereka miliki.17 Teori proses identitas ini mencakup

elemen-elemen secara dinamis yang berasal dari setiap pengalaman individu (sebagai anggota kelompok), hubungan interpersonal, representasi sosial, kegiatan individu, observasi dan sebagainya. Teori ini berkaitan

dengan analisis holistik yang berarti identitas individu secara total. 18

Hal ini bermakna agar tidak munculnya identitas ganda karena antara

identitas individu dan sosial tidak dapat dipisahkan.19

Dalam teori ini struktur identitas dijelaskan bersama dalam dua dimensi yakni dimensi konten dan dimensi nilai. Penyusunan dimensi konten dicirikan dalam beberapa hal; pertama, tingkat sentralitas; kedua, pengaturan hirarki elemen dan ketiga, arti penting relatif dari komponen. Susunan ini tidak statis tetapi responsif terhadap perubahan input dan permintaan dari konteks sosial yang ada selain rekonstruksi yang sengaja diprakarsai oleh individu. Setiap dimensi konten dianggap memiliki nilai positif dan negatif. Nilai setiap elemen terbuka untuk penilaian ulang sebagai konsekuensi terhadap perubahan

17 Rusi Jaspal, “Social Psychological Debates About Identity”, dalam Identity

Process Theory: Identity, Social Action, and Social Change, ed. Rusi Jaspal dan Glynis M.

Breakwell, (New York: Cambridge, 2014), 4.

18Glynis M. Breakwell, “Identity Process Theory: Clarification and Elaborations”,

dalam Identity Process Theory: Identity, Social Action, and Social Change, ed. Rusi Jaspal dan Glynis M. Breakwell, (New York: Cambridge, 2014), 24.

(9)

sosial, sistem nilai dan modifikasi posisi individu.20 Teori proses identitas ini berjuang mencari jalan atau cara untuk mengartikulasikan proses dinamis kepribadian yang kompleks yang dapat menggabungkan identitas individu dan sosial. Dalam teori ini identitas individu dan sosial tidak dibedakan karena dalam seluruh biografi identitas sosial dipandang menjadi komponen inti dari identitas pribadi. Semua

identitas bersifat sosial karena pada titik tertentu dalam

perkembangannya akan bergantung pada input sosial.21

Breakwell mengusulkan empat prinsip yang dimiliki dalam teori proses identitas yaitu pertama, adanya suatu kesinambungan lintas waktu dan situasi (continuity), kedua, adanya keunikan atau kekhasan dari orang lain (distinctiveness), ketiga, memiliki suatu kepercayaan diri dan mengendalikan hidup seseorang (self-efficacy), dan keempat,

memiliki harga diri (self-esteem).22 Kunci dari teori ini adalah

memahami bagaimana proses pembentukan suatu identitas baru yang

didorong oleh reaksi individu ketika berada dalam suatu ancaman.23

Breakwell berpendapat bahwa ancaman tidak boleh dianggap sebagai kejadian traumatis. Namun, pada tingkat tertentu ancaman dapat bersifat berkesinambungan baik dalam identitas sosial maupun individu yang dapat mengakibatkan perubahan identitas terus-menerus. Oleh sebab itu maka mempelajari ancaman dan reaksi terhadapnya

20 Glynis M. Breakwell, “Identity Process..., 29. 21 Glynis M. Breakwell, “Identity Process..., 25. 22 Rusi Jaspal, “Social Psychological..., 4. 23 Rusi Jaspal, “Social Psychological..., 5.

(10)

merupakan hal yang penting untuk dapat dengan tepat mengoperasikan

metode terhadap akibat yang dihasilkan dalam suatu perubahan.24

2.3. Konstruksi Identitas dalam Situasi Sosial, Budaya, dan Agama 2.3.1. Identitas Diaspora

Persoalan tentang identitas adalah hal yang kompleks untuk dibahas. Hal ini disebabkan oleh begitu banyaknya ilmu yang dapat terkait dalam membicarakan tentang identitas. Bahkan identitas pun dapat dibahas dengan sangat luas tergantung objek yang melekat kepadanya seperti salah satunya identitas diaspora. Ketika kata “diaspora” dilekatkan pada identitas maka pembahasan ini akan semakin meruncing dan menemukan fokusnya. Di bagian pendahuluan penulis telah menjelaskan secara singkat bahwa identitas Nias Padang merupakan hasil dari negosiasi yang terjadi di dalam kalangan orang Nias yang berdiaspora di Padang. Oleh karena itu maka perlulah adanya pemahaman tentang identitas diaspora.

Jika mendengar kata “diaspora” maka hal pertama yang terlintas adalah Yahudi. Diaspora memiliki akar yang kuat pada pengalaman sejarah orang Yahudi. Pengalaman terbuang, penyebaran, dan

pengembaraan menjadi bagian dari identitas orang Yahudi.25 Bukti

bahwa orang Yahudi adalah masyarakat diaspora yaitu selama hampir dua milenia mereka tidak memiliki tanah air. Oleh karenanya mereka harus tinggal di daerah lain. Namun mereka seringkali kurang

24 Glynis M. Breakwell, “Identity Process..., 35.

25 Howar Wettstein, Diaspora and Exiles, (Berkeley: University of Californias

(11)

mendapat penerimaan yang penuh dari setiap daerah yang mereka tempati, contohnya Jerman, Polandia, dan Austria. Selain itu, fakta yang mendukung bahwa orang Yahudi benar-benar masyarakat diaspora dibuktikan dengan dijadikannya cerita rakyat Kristen Eropa,

dimana muncul istilah “para pengembara Yahudi”.26 Kenyataan yang

dialami oleh orang Yahudi tersebut akhirnya membentuk sebuah identitas yang unik dan berbeda.

Diaspora dapat dialami oleh siapapun, dimanapun, dan kapanpun. Beberapa faktor yang dapat menjadi alasan terjadinya diaspora diantaranya mengungsi akibat masalah politik dan ekonomi, ekspariat, atau emigran sukarela. Orang-orang diaspora mengalami pergolakan identitas ketika meninggalkan tempat asal mereka. Pilihan satu-satunya yang mereka miliki adalah menyesuaikan diri dengan keadaan baru yang ada di sekitar mereka. Hal dilematis mereka alami

karena berada di dalam dua dunia yang berbeda27. Di satu sisi mereka

tidak ingin melupakan dan meninggalkan identitas asal mereka, dan di sisi lain mereka harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, dan identitas baru yang berbeda dengan daerah asal mereka.

Proses penyesuaian ini tidak selamanya berjalan mulus. Terkadang mereka juga mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan hal-hal yang baru bahkan bertentangan dengan kebiasaan daerah asal mereka. Namun, hal yang terpenting adalah setiap anggota

26 Waltraud Kokot, Kachig Tötölyan, dan Carolin Alfonso, Diaspora, Identity and

Religion, (London: Routdledge, 2004), 10.

(12)

diaspora pasti memiliki suatu “rumah” yang menampung segala macam spiritual, emosional, budaya, perasaan, dan tradisi dari daerah asal tetapi tidak dimiliki oleh daerah setempat. Rumah ini bukanlah tempat yang dimiliki oleh leluhur mereka, tetapi lebih mengarah pada

tempat mereka dilahirkan atau dibesarkan.28 Identitas diaspora dapat

bertahan selama mereka mampu menghidupkan nostalgia kehidupan mereka terus menerus dalam bentuk festival budaya, adat istiadat, dan agama yang berpusat pada ritual. Hal ini akan menyegarkan ingatan-ingatan yang memiliki makna pribadi bagi setiap anggota diaspora. Oleh sebab itu diasporisme mereka akan bersifat instrumental selama mereka dapat mereplikasi aspek budaya daerah asal di tempat mereka

berdiaspora.29

Resistensi identitas diaspora tergantung pada institusi politik, ideologi, dan kebijakan dari host. Pada prinsipnya, identitas diaspora lebih mudah mempertahankan identitasnya di pemerintahan demokratis daripada yang otoriter. Hal ini disebabkan karena pemerintahan yang demokratis lebih memberikan ruang kepada warganya untuk menentukan lingkup budaya dan sosial mereka

sebagai hak kebebasan pribadi setiap warganya.30 Oleh sebab itu,

identitas diaspora tidak hanya ditentukan dari pihak anggota diaspora saja justru pihak host juga turut memegang peranan penting di dalamnya.

28 Kokot, Diaspora, Identity..., 13. 29 Kokot, Diaspora, Identity..., 14. 30 Kokot, Diaspora, Identity..., 18.

(13)

2.3.2. Identitas dalam Kebudayaan dan Agama

Kebudayaan adalah suatu pola makna yang diteruskan secara historis yang terwujud dalam simbol-simbol, atau suatu sistem konsep yang diwariskan yang terungkap dalam bentuk-bentuk simbolis yang

dengannya manusia berkomunikasi, melestarikan dan

memperkembangkan pengetahuan mereka tentang kehidupan dan

sikap-sikap terhadap kehidupan.31 Hal yang selaras pun diungkap oleh

Bakker bahwa kebudayaan adalah alam kodrat sendiri sebagai milik

manusia, sebagai ruang realisasi diri.32 Dalam kebudayaan adanya

penciptaan, penertiban, dan pengolahan nilai-nilai insani. Terlingkup di dalamnya usaha membudayakan alam, memanusiakan hidup,

menyempurnakan hubungan keinsanian.33 Dalam membentuk dan

mempertahankan identitasnya menurut Anne Phillips, kebudayaan merupakan celah kesempatan bagi suatu kelompok baru untuk mempertahankan eksistensinya sebagai minoritas di wilayah yang bukan miliknya. Mereka bisa menggunakan ini untuk mencapai tujuan mereka.34

Manusia melihat dunia yang sudah diedit oleh satu set tertentu dari adat istiadat dan lembaga serta cara berpikir mereka. Bahkan

31 Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama, (Yogyakarta:Kanisius, 1992), 3 32 J.W.M. Bakker SJ, Filsafat Kebudayaan, (Yogyakarta :Kanisius, 1984), 15 33 Ibid., 22

34 Anne Phillips, Multiculturalism Without Culture (New Jersey: Princenton Press,

(14)

semua yang kita lihat itu mempunyai filosofi sendiri yang tidak jauh dari balik streotip tertentu, termasuk konsep tentang apa yang benar dan apa yang salah, yang mempunyai referensi tersendiri dalam kebiasaan tradisionalnya. Sama seperti kata John Dewey, dalam segala kehidupan manusia sejatinya, ada peranan adat istiadat untuk membentuk perilaku individu, bahkan peran adat ini melebihi cara dia

mempengaruhi adat itu sendiri. 35 Kebudayaan adalah sebuah

karakteristik dari suatu sistem sosial. Bahkan ilmu yang mempelajari

kebudayaan haruslah disebut ilmu sistem-sistem sosial.36 Parsons,

dalam bukunya Social System menyediakan peran bagi kebudayaan dalam melegitimasi tatanan sosial yang memungkinkan eksistensi

kebudayaan terpisah tetapi terintregasi dengan struktur sosial.37

Dalam hal ini identitas menjadi bagian penting dalam suatu kebudayaan. Individu tidak dapat lepas dari identitas budaya yang melekat padanya. Sistem sosial yang ia jalani dan hidupi menjadi identitas bagi mereka ketika berhadapan dengan kebudayaan lain di luar kebudayaan mereka. Selain dalam kebudayaan, identitas juga menjadi bagian dalam hal agama atau kepercayaan.

Dalam fenomenologi agama yang terpenting menurut Soderblom adalah keinginan untuk percaya sehingga muncul anggapan bahwa berbicara tentang agama adalah berbicara soal

35 Alo Liliweru, Konfigurasi dasar Teori – Teori Komunikasi Antarbudaya,

(Bandung: Nusa Media, 2016), 28.

36 A.R. Radcliffe-Brown, A Natural Science of Society, (Glencoe: Free Press,

1957), 106.

37 Chris Jenks, Culture Studi Kebudayaan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1993),

(15)

keyakinan. Menurut Sharpe, keyakinan dan doktrin yang ada itu terkait dengan teks. Dimana teks yang diperoleh dan diajarkan itu berubah menjadi suatu keyakinan dan doktrin. Dalam artikelnya "The Phenomenological Method" diterbitkan dalam koleksi yang berjudul “The Sacred Bridge” pada tahun 1963, Bleeker menulis bahwa semua agama harus dipahami sebagaimana adanya, yaitu sebagai kesaksian serius orang beragama bahwa mereka memiliki pengetahuan tentang Tuhan. Sejarah agama adalah cabang humaniora, bukan teologi dan bukan politik. Disana mungkin menjadi pengertian yang sah di mana semua masyarakat memproduksi dan mereproduksi gambar transendensi, seperti tanah leluhur, garis keturunan atau rumah, bangsa, langit, dunia bawah, dan sebagainya sehingga tempat transendental ini akan terhubung dengan nilai transendental. Smart mencoba membangun rumusan prinsip irredabilitasitas agama teologi atau sosiologi. Smart terus membedakan antara agama dan fenomena religius Dia juga berusaha untuk memenuhi tantangan perkalian tersebut data tentang lembaga ritual dan budaya yang peneliti dalam agama dan antropologi dan sosiologi telah berproduksi. Ini mengandaikan bahwa ciri khas sebuah agama adalah kepercayaan

kepada Tuhan atau yang transenden.38

Bagi Geertz, agama merupakan bagian dari kebudayaan dimana agama menjadi salah satu sistem kebudayaan. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa kebudayaan merupakan pola

38 Timothy Fitzgerald, The Ideology of Religious Studies, (New York: Oxford

(16)

makna yang terwujud dalam simbol-simbol. Simbol-simbol sakral ini berfungsi untuk mensintesiskan suatu etos bangsa, yaitu: nada, ciri, dan kualitas kehidupan manusia, yang meliputi moral, gaya hidup, dan

cara pandang mereka dalam hal bertindak dan berpikir.39 Agama

memiliki peran membantu kebudayaan untuk melaksanakan fungsi ini karena kebudayaan tidak dapat menguraikan makna symbol-simbol yang ada. Di satu sisi agama akan menanamkan kekuatan sumber-sumber simbolis untuk merumuskan gagasan analitis dalam sebuah konsep otoritatif tentang bentuk dari kenyataan. Namun, di sisi lain agama menanamkan kekuatan untuk mengungkapkan emosi yaitu gerak hati, sentimen, nafsu, afeksi, dan perasaan. Agama menyediakan sebuah jaminan kosmis tidak bagi kemampuan manusia untuk memahami dunia, melainkan juga memberi sebuah definisi bagi emosi-emosi mereka untuk menanggung dunia, entah dengan muram

atau dengan sukacita, dengan murung ataupun angkuh.40

Hal berbeda diungkapkan Bakker, dimana budaya itu memiliki suatu inti dan batas. Inti dan batas kebudayaan adalah memanusiakan manusia di dalam dimensi manusia. Kebudayaan adalah dimensi manusia sendiri sebagai pencipta di dunia. Sehingga hal merohanikan manusia merupakan bagian agama dan budaya tidak mengambil bagian dalam hal ini. Bagi Bakker, di dalam agama

manusia menerima rahmat yang mengatasinya dan

39 Geertz, Kebudayaan..., 4 40 Geertz, Kebudayaan..., 22 – 23

(17)

menyempurnakannya dalam dimensi Ilahi.41 Dalam penjelasannya, kebudayaan terdiri atas dua macam yaitu kebudayaan subjektif dan kebudayaan objektif. Kebudayaan subjektif terdapat dalam perkembangan kebenaran, kebajikan, dan keindahan, sedangkan kebudayaan objektif adalah hasil dari kebudayaan subjektif. Agama termasuk dalam kebudayaan objektif dengan kata lain agama adalah

hasil kebudayaan.42 Agama sebagai kebudayaan objektif terdiri dari

ajaran, peraturan atau moral, dan upacara-upacara ibadat yang mengandung unsur-unsur kebudayan. Bakker sangat membedakan dunia agama dan dunia kebudayaan. Kebudayaan berada dalam alam dunia yang sedang berlangsung saat ini dengan situasi yang ada sedangkan agama berada dalam dunia yang menetapkan cara-cara Tuhan menciptakan nilai-nilai adikodrati melalui wahyu kosmis dan

wahyu sabda.43

2.4. Ruang Ketiga dan Identitas Baru 2.4.1. Ruang Ketiga

Ruang ketiga menyediakan medan untuk menguraikan strategi ke-diri-an baik individu atau komunal yang memulai tanda-tanda identitas baru, dan inovasi situs kolaborasi dan kontestasi dalam

menentukan gagasan masyarakat itu sendiri.44 Di dalam ruang inilah

nilai budaya dinegosiasikan. Perbedaan artikulasi sosial dari sudut pandang minoritas adalah sesuatu yang kompleks dimana negosiasi

41 Bakker , Filsafat...,22 42 Bakker , Filsafat..., 37 – 38 43Bakker , Filsafat...,, 48

(18)

yang sedang berlangsung berusaha mengesahkan hibridisasi budaya

yang muncul pada saat-saat transformasi historis.45

Ruang ketiga menjadi arena dimana otoritas dinegosiasikan, diterjemahkan, dihistoriskan dan dibaca dengan kacamata baru. Negosiasi berbeda dengan asimilasi apalagi kolaborasi. Negosiasi ini akan melahirkan identitas kultural hibrid sesuai dengan visi yang diinginkan. Bagi Bhabha, kekuasaan kolonial diproduksi di sebuah ruang agonistic. Oleh karena itu, wacana-wacana kolonial bukanlah produk seorang nahkoda kolonial yang serba lengkap dan kuat, tetapi merupakan hasil dari proses hibridasi yang dipicu oleh

benturan-benturan antara tradisi-tradisi kolonialis dan pribumi.46 Dalam

melakukan subversi terhadap wacana kolonial maka pribumi menggunakan strategi hibriditas. Menurut Bhabha, hibriditas adalah nama untuk pembalikan strategis terhadap proses dominasi melalui pengingkaran (produksi identitas yang menjaga identitas otoritas yang asli dan suci). Hibriditas adalah revaluasi asumsi identitas kolonial melalui pengulangan dampak identitas yang diskriminatif. Hibriditas mengganggu tuntutan mimetik atau narsistik kekuasaan kolonial tetapi menjalin kembali identifikasi dengan strategi subversi yang membalikkan pandangan kaum yang terdiskriminasi kembali ke mata

kekuasaan.47

45 Bhabha, The Location ..., 3

46 Richard King, Agama, Orientalisme, dan Poskolonialisme (Yogyakarta : Qalam,

2001), 394.

(19)

Bagi Bhabha dalam ruang ketiga ini terjadi suatu relasi timbal balik antara penjajah dan pihak dijajah. Penjajah tidak pernah bisa menguasai pihak yang dijajah. Pihak yang dijajah pun tidak pernah

sepenuhnya takluk kepada penjajah.48 Dalam ruang ketiga muncul

sebuah upaya untuk menghubungkan antara tradisi penjajah dan unsur penjajah, tanpa menjadi biner. Strategi ini disebut hibriditas yang mana dapat ditempuh dengan cara mimikri yaitu peniruan yang kabur atas warisan kolonial yang tidak sekadar anti padanya namun mau melampauinya sambil memanfaatkan warisan tersebut. Hal ini akhirnya menghasilkan suatu keadaan yang disebut almost the same, but not quite.49 Hal ini dapat dipahami dengan makna sebuah budaya yang familiar tetapi tidak sepenuhnya baru. Ruang ketiga adalah cara untuk mengartikulasikan kemungkinan baru ini. Sebuah ruang yang menginterupsi, menginterogasi dan mengungkapkan bentuk baru

makna kultural sehingga menghasilkan batas – batas yang kabur.50

Sebagaimana yang dikatakan Bhabha bahwa hibriditas mengacu pada suatu penciptaan format – format transkulturasi baru. Perbedaan sosial tidak hanya diberikan pada pengalaman melalui tradisi budaya yang sudah dikonfirmasi. Mereka adalah tanda-tanda munculnya komunitas yang dipandang sebagai sebuah proyek sekaligus sebuah visi dan sebuah konstruksi yang membawa komunitas itu mampu

48 Darwin Darmawan, Identitas Hibrid Orang Cina (Yogyakarta:LKIS, 2014), 27. 49 Martin Lukito Sinaga, Identitas Poskolonial “Gereja Suku” dalam Masyarakat

Sipil (Yogyakarta:LKIS, 2004),18-19.

(20)

'melampaui' dirinya agar dapat kembali, dengan semangat revisi dan rekonstruksi. Mereka memiliki hak untuk melakukan pilihan dan hak istimewa tidak bergantung pada tradisi sebelumnya. Hal ini berasal sumber oleh kekuatan tradisi untuk dimasukkan kembali melalui kondisi kontingensi dan kontradiktif yang menyertai kehidupan

orang-orang yang berada di minoritas. Pengakuan yang

dianugerahkan oleh tradisi adalah bentuk identifikasi parsial. Dalam mengabadikan masa lalu, ia memperkenalkan temporalitas budaya lain yang tidak dapat dibandingkan ke dalam penemuan tradisi. Proses ini mengasingkan akses langsung ke identitas asli atau tradisi “diterima”. Keterkaitan batas perbedaan budaya seringkali dianggap konsensus sebagai konflik. Mereka mungkin mengacaukan definisi tradisi dan modernitas kita tetapi menyesuaikan kembali batas-batas adat antara swasta dan publik, tinggi dan rendah, dan menantang

harapan normatif pembangunan dan kemajuan di masa lalu.51

2.4.2. Identitas Baru Dalam Ruang Ketiga

Identitas merupakan bagian terpenting dalam hidup manusia terkhususnya bagi orang-orang yang diaspora. Bagi anggota diaspora, identitas merupakan salah satu alat yang dapat mereka gunakan untuk dapat bertahan di host. Identitas sebuah kelompok muncul karena hadirnya kelompok lain. Dalam kerangka ini, sebuah kelompok etnis akan berusaha keras menonjolkan elemen-elemen yang jelas untuk

(21)

membedakan mereka dengan yang lain.52 Dalam mempertahankan eksistensi maka dibutuhkan identitas baru yang dapat diterima oleh berbagai pihak baik dari segi budaya dan agama. Identitas baru itulah dihasilkan dari negosiasi yang terjadi dalam ruang ketiga.

Nias Padang merupakan identitas baru yang digunakan oleh orang Nias yang berdiaspora di Padang. Identitas ini dibutuhkan oleh orang Nias diaspora untuk dapat bertahan dan diterima oleh host yaitu Padang. Dalam menegosiasikan dan menghasilkan identitas baru ini, orang Nias diaspora menggunakan ruang ketiga yang ada di sekitar mereka. Melalui ruang ketigalah mereka merekonstroksi identitas baru dengan tidak meninggalkan identitas asal dan tidak mengabaikan identitas host. Identitas yang dihasilkan dalam ruang ketiga ini memberikan “kacamata” yang baru kepada orang Nias diaspora untuk melihat perbedaan budaya dan agama yang ada di host. Hal ini membantu orang Nias diaspora untuk dapat diterima dan hidup tidak menjadi sebagai Nias saja melainkan sebagai Nias Padang.

2.5. Kesimpulan

Dalam struktur sosial dibutuhkan identitas yang jelas sebagai penanda dan menjelaskan individu atau kelompok tertentu. Identitas dapat terbentuk dipengaruhi oleh konteks sosial yang ada di sekitarnya. Dalam sekian banyak peristiwa-peristiwa sosial yang dialaminya akan menggirng dan membentuk sebuah komunitas dalam suatu pola pikir dan cara hidup yang baru.

52 Fredrik Barth, Ethnic Groups and Boundaries: The Social Organization of

(22)

Perjumpaan dengan peristiwa sosial inilah yang menjadi bahan mentah dan kemudian diolah di dalam sebuah ruang yang disebut oleh Bhabha sebagai ruang ketiga. Proses yang dialami dalam ruang ketiga inilah yang akhirnya menghasilkan suatu identitas baru. Identitas baru ini akan mencerminkan identitas asli dan identitas host secara bersamaan karena ia memiliki secara langsung dua elemen yang diracik dan diproduksi menjadi sebuah keutuhan yang kompleks. Identitas baru akan membantu komunitas agar tetap bisa bertahan dalam sistem sosial tersebut. Identitas baru ini diproduksi dalam ruang ketiga yang menyediakan tempat bagi individu atau kelompok untuk menegosiasikan hal-hal yang berkaitan dengan konteks yang mereka hadapi.

Hal inilah yang dihadapi oleh orang Nias yang berdiaspora di Padang. Ketika mereka bertemu dengan konteks sosial yang berbeda dengan daerah asalnya mereka melakukan negosiasi dalam ruang ketiga yang mereka miliki untuk menghasilkan identitas baru yakni Nias Padang. Identitas yang diajarkan dan diterapkan turun-temurun kepada keturunan mereka di Padang.

Referensi

Dokumen terkait

Semua pembajaran dari Republik Indonesia kepada Republik Rakjat Tiongkok sepe rti dimaksudkan dalam Pasal 4 dan jang dilakukan atas perintah Bank Negara Indonesia,

Pelaksanaan penempatan pegawai sudah dilaksanakan dengan baik namun masih perlu diperhatikan persyaratan kese- suaian antara minat, bakat, pengetahuan, keterampilan

Sering kali mesin pencari ini menampilkan hasil yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan tema yang dicari.. Tampilan yang sederhana

Formula I yang mengandung bahan aktif bekatul, rice bran oil, ekstra aloe vera dan kopi dengan pengawet DMDM Hydantoin yang disimpan dalam climatic chamber pada suhu 40ºC ± 2ºC / 75%

Pada perlakuan menggunakan kultur mikroba N-Sw (Tabel 2) terlihat konsentrasi nitrit di akhir reaksi (24 jam) cukup tinggi dibandingkan dengan perlakuan campuran antara kultur N-Sw

Penyarian Cannabis sp menggunakan teknik maserasi dengan pelarut yang berbeda juga memberikan perbedaan profil fingerprint HPTLC (Gambar 3).. Perbedaan kelarutan cannabinoid

Hasil uji lanjut yang diperoleh yaitu mutlak selisih rata-rata hasil belajar siswa yang menggunakan model konvensional dan NHT = 10.72 > nilai BNTα=8.87,

Tugas utama Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan (Puslitbangbun) adalah untuk menciptakan teknologi inovasi komoditas perkebunan dalam bentuk varietas unggul,