• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DAN RESILIENSI PADA WANITA DEWASA DINI YANG MENGALAMI BODY SHAMING DALAM HUBUNGAN BERPACARAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DAN RESILIENSI PADA WANITA DEWASA DINI YANG MENGALAMI BODY SHAMING DALAM HUBUNGAN BERPACARAN"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

1

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DAN RESILIENSI

PADA WANITA DEWASA DINI YANG MENGALAMI BODY

SHAMING DALAM HUBUNGAN BERPACARAN

OLEH

YESIKA AYU YULIANA 802015131

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DAN RESILIENSI

PADA WANITA DEWASA DINI YANG MENGALAMI BODY

SHAMING DALAM HUBUNGAN BERPACARAN

Yesika Ayu Yuliana

Ratriana Y.E.Kusumiati

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(8)

i ABSTRAK

Penelitian ini terkait wanita yang mengalami body shaming oleh pasangan saat menjalani hubungan berpacaran. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui bagaimana hubungan konsep diri dan resiliensi pada korban body shaming khususnya pada wanita dewasa dini yang sedang menjalani hubungan berpacaran. Penelitian korelasional ini melibatkan 40 partisipan dengan menggunakan teknik snowball sampling. Metode analisis data dalam penelitian ini menggunkan analisis korelasi Pearson Product Moment. Dari hasil analisis statistik diketahui terdapat hubungan positif yang signifikan (r = 0,692) antara konsep diri dan resiliensi dengan signifikansi 0,000 (p < 0,01) yang berarti semakin tinggi konsep diri yang dimiliki oleh wanita maka semakin tinggi pula kemampuan resiliensi nya saat mengalami body shaming.

Kata Kunci : Body Shaming, Wanita Dewasa Dini, Hubungan Berpacaran, Konsep Diri dan Resiliensi.

(9)

ii

ABSTRACT

This study related to women who experienced body shaming by a partner while undergoing a dating relationship. The purpose of this study was to find out how the relationship between self-concept and resilience among victims of body shaming, especially in early adult women who are undergoing dating relationship. This correlational study involved 40 participants using snowball sampling techniques. Data analysis method in this study uses Pearson Product Moment correlation analysis. From the results of statistical analysis, known that there is a significant positive relationship (r = 0.692) between self-concept and resilience with a significance 0,000 (p <0.01) which means that the more higher the self-concept owned by women, the more higher the ability of resilience when experiencing body shaming.

Keywords: Body Shaming, Early Adult Women, Dating Relationships,

(10)

1

PENDAHULUAN

Dalam kehidupan manusia pasti mengalami perubahan, baik pria maupun wanita. Setiap manusia tentunya menginginkan perubahan yang lebih baik dari sebelumnya begitupula pada wanita dewasa dini. Masa dewasa dini menurut Hurlock (1999) dimulai pada umur 18 tahun sampai kira-kira umur 40 tahun. Salah satu perubahan yang diinginkan wanita adalah penampilan yang menarik menurut standar ideal yang mereka ciptakan. Wanita menyadari bahwa penampilan fisik yang menarik sangat membantu statusnya di bidang bisnis maupun dalam perkawinan. Penampilan fisik yang menarik menurut wanita salah satunya adalah memiliki wajah yang cantik. Berbagai hal dilakukan wanita agar dapat terlihat cantik dan menarik dimanapun mereka berada. Melakukan perawatan hingga operasi plastik pun dilakukan demi terlihat cantik dan ideal. Standar cantik dan ideal dalam hal ini mencakup kulit putih, hidung mancung, pipi yang tirus dan lain sebagainya. Standar kecantikan yang telah tercipta ini dapat memicu rasa percaya diri yang rendah. Tidak jarang jika pada akhirnya hal ini menuntun seorang perempuan pada tekanan yang lebih besar terkait persepsi tubuhnya (Putri, Kuntjara, & Sutanto, 2018). Para wanita rela mengeluarkan berapapun biaya yang diperlukan untuk mengubah bagian tubuh yang dirasa kurang ideal. Dengan melakukan perubahan penampilan menjadi lebih baik atau sesuai figur tertentu membuat rasa percaya diri pada wanita meningkat. Padahal pada kenyataannya, definisi seorang wanita yang sempurna tergantung pada bagaimana seseorang memaknai dan mempersepsikan hal tersebut (Hasmalawati, 2018).

Tidak semua wanita mampu mencapai standar ideal kecantikan karena beberapa hal salah satunya adalah faktor ekonomi. Terkadang biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan perawatan tidaklah sedikit. Oleh sebab itu slogan di masyarakat “cantik itu mahal” memang benar adanya jika kecantikan hanya dilihat dari segi fisik. Cara pandang tubuh semacam ini dapat terjadi karena adanya objektifikasi diri. Objektifikasi diri merupakan penilaian individu mengenai tubuhnya sendiri, lebih mementingkan pendapat orang lain mengenai tubuh kita dan kurang melihat potensi tubuh yang sebenarnya (Frederickson & Robert dalam Damanik, 2018). Teori ini membuat peluang rasa malu akan tubuh

(11)

2

sendiri menjadi meningkat (Noll & Frederickson dalam Damanik, 2018). Ketidakmampuan wanita untuk memenuhi standar kecantikan yang telah beredar tersebut membuat tingkat kepercayaan diri mereka menurun dan terciptanya body shame pada wanita.

Body shame adalah emosi negatif yang dirasakan seeorang ketika gagal mencapai suatu standar ideal tubuh saat mengevaluasi diri (Lewis, dalam Fredrickson & Roberts, 1997). Body shame merupakan perasaan malu atas penilaian orang lain dan pendapat diri sendiri terhadap salah satu bentuk tubuh individu yang tidak sesuai dengan standar ideal yang diharapkan individu (Noll & Frederikson, dalam Damanik, 2018). Body shame terjadi ketika seseorang mengevaluasi dirinya menurut internalisasi dan budaya ideal (Frederickson & Roberts, dalam Damanik, 2018). Body shame pada seseorang akan mengalami peningkatan ketika seseorang sedang menjalani hubungan berpacaran(Sanchez dkk dalam Damanik, 2018). Baumeister & Leary (1995) mengatakan bahwa manusia memiliki “need to belong” yaitu kebutuhan untuk membentuk dan mempertahankan hubungan interpersonal yang kuat, stabil, serta berusaha untuk tidak memutus ikatan dari hubungan yang sudah terjalin. Sanchez & Kwang (dalam Dinartika,Wisnuwardhani & Arbiyah, 2017) mengatakan bahwa erasaan mengenai takut kehilangan pasangan mengarahkan seseorang untuk mengadopsi standar-standar tubuh ideal yang terkadang tidak masuk akal.

Ketika wanita tidak berhasil mencapai standar tubuh ideal yang mereka ciptakan, timbul perasaan insecure dalam diri mereka. Hal ini berkaitan pula dengan harga diri seseorang yang didapat dari memelihara hubungan romantis dengan seseorang, sehingga persepsi akan keberhasilan dan kegagalan dalam menjalani hubungan dapat memengaruhi evaluasi mengenai dirinya (Sanchez & Kwang, 2007). Harga diri yang dikemukakan Sanchez dan Kwang ini disebut Relationship contingency of self-worth. Relationship contingency of self-worth merupakan salah satu contingency yang membutuhkan evaluasi dari orang lain (Crocker & Wolfe, 2001). Seseorang yang memiliki contingency pada hubungan berpacaran, harga dirinya cenderung tidak stabil. Ketika tidak memiliki pasangan atau sebuah hubungan ia akan memiliki perasaan negatif akan dirinya, salah satunya adalah mengaitkan ketidakmampuannya dalam memiliki hubungan

(12)

3

berpacaran karena memiliki penampilan fisik yang tidak memuaskan (Dinartika, Wisnuwardhani & Arbiyah, 2017). Apalagi bagi wanita era sekarang ini, ada rasa puas ketika tampil menawan didepan pasangan mereka. Menurut salah satu partisipan yang merupakan mahasiswi fakultas psikologi Universitas Kristen Satya Wacana angkatan 2016, ia merasa malu apabila tidak tampil menarik seperti standar kecantikan yang sudah dijadikan panutan. Ia juga merasa tidak percaya diri didepan pasangan, ketika ia sedang tidak menggunakan riasan wajah. Ada hal yang ia takutkan, yaitu pasangannya akan malu dan risih ketika ia tidak tampil cantik seperti saat ia menggunakan riasan wajah. Sebelumnya, partisipan pernah memiliki pengalaman yang tidak menyenangkan mengenai komentar seseorang yang dulu menjadi kekasihnya. Karena partisipan memiliki kulit sawo matang dan suka memakai lipstick berwarna merah terang, kekasihnya yang terdahulu memberinya komentar yang kurang berkenan di hati partisipan yang membuatnya sakit hati dan akhirnya partisipan memutuskan untuk mengubah penampilan. Namun, usaha tersebut ternyata kurang berhasil untuk menyenangkan hati kekasihnya terdahulu. Hubungan mereka pun berakhir beberapa saat setelah partisipan mengubah penampilan. Hal ini membuatnya hampir mengalami depresi dan sempat memiliki ketakutan untuk menjalin hubungan dengan pria baru. Selang beberapa minggu partisipan pun bangkit dari masa-masa krisis nya. Ia melakukan berbagai perawatan kulit dan belajar menggunakan riasan wajah yang cocok untuk warna kulitnya. Hingga kini partisipan terbiasa menggunakan riasan wajah agar selalu menarik di mata orang-orang dan tentunya menarik di mata kekasihnya yang sekarang.

Dengan adanya standar tubuh ideal, seringkali wanita yang dianggap tidak memenuhi standar tersebut lantas mendapatkan perlakuan berbeda, seperti sindiran yang secara disengaja maupun tidak. Hal tersebut dapat dikategorikan sebagai suatu kekerasan verbal yang selanjutnya lebih umum disebut sebagai body shaming. Body shaming merupakan suatu bentuk kekerasan verbal- emosional yang sering tidak disadari oleh pelakunya karena umumnya perbuatan tersebut dianggap wajar (Putri, Kuntjara, & Sutanto, 2018). Body shaming dan citra tubuh memiliki kaitan, yaitu mengenai aspek pembentukan persepsi tubuh ideal yang beredar di lingkungan masyarakat, sehingga muncul rasa malu dan minder ketika

(13)

4

tidak bisa memenuhi standar tersebut. Sebagai contoh, seorang perempuan dianggap cantik apabila memiliki kulit yang putih bersih, berambut lurus, tidak gemuk dan hidung mancung. Informasi mengenai perkembangan standar kecantikan dapat diakses oleh masyarakat sehingga para wanita di berbagai belahan dunia mengikuti perubahan tersebut.

Media massa pun ambil bagian dalam memberikan informasi kepada masyarakat mengenai standar tubuh ideal. Wanita yang menilai tubuh ideal berdasarkan informasi dari media massa akan terus mengidentifikasikan tubuh ideal yang di expose oleh media massa. Media masa seringkali menampilkan iklan-iklan produk kecantikan dengan menggunakan model yang dianggap telah mencapai standar ideal kecantikan wanita (Fauzia & Rahmiaji, 2019). Hal ini kemudian menjadi kontroversial karena tidak semua wanita diciptakan memiliki kulit yang putih, rambut lurus, dan badan yang langsing seperti figur yang digunakan dalam iklan produk kecantikan. Khulsum (2014) menjelaskan bahwa media pun menyoroti kontes kecantikan mulai dari kontes lokal hingga internasional. Pada kontes kecantikan, sang jawara pasti telah memenuhi standar tertentu yang telah ditetapkan oleh panitia kontes. Tidak mengherankan apabila standar ini kemudian dijadikan patokan oleh masyarakat mengenai wanita yang cantik secara fisik. Tak jarang wanita yang kondisi fisik nya tak sesuai standar kecantikan yang ada mendapat kekerasan verbal berupa body shaming.

Hal ini sering terjadi di media sosial untuk mengunggah foto seperti Instagram. Sebagai pengguna media sosial Instagram, peneliti sering menemukan peristiwa body shaming di beberapa akun termasuk akun official milik artis bahkan supermodel internasional. Body shaming juga termasuk dalam bentuk kekerasan secara verbal (bullying), posesif (biasanya hubungan dengan kekasih/pernikahan) yang kemudian menyudutkan korban dalam permasalahan tertentu (Putri, Kuntjara, & Sutanto, 2018). Meski dengan nada bercanda, body shaming dapat dikategorikan sebagai tindakan bullying karena dianggap sebagai kekerasan dalam bentuk verbal kepada orang lain (Sakinah, 2018).

Body shaming pun berdampak serius pada kondisi psikis seseorang yang mengalaminya. Dilansir dari situs Wolipop yang ditulis oleh Hestianingsih pada November 2018, perilaku body shaming atau mengomentari/mengejek fisik

(14)

5

orang lain bisa berdampak laten pada diri seseorang. Wanita, umumnya lebih rentan jadi korban body shaming. Survei yang dilakukan oleh Fit Rated terhadap 1.000 pria dan wanita mengungkapkan bahwa 92,7% wanita pernah diolok-olok karena penampilannya sementara pria 86,5%. Stevanny (dalam Putri, Kuntjara, & Sutanto, 2018) mengatakan bahwa maraknya kasus body shaming melunturkan kepercayaan diri korban dan menggiring korban untuk membenci diri sendiri. Dilansir dari laman Health.detik.com yang ditulis oleh Khadijah Nur Azizah pada November 2018, hal serupa dikatakan oleh Psikolog Universitas Indonesia, Bona Sardo, M.Psi, body shaming akan berdampak pada self esteem dan tingkat kepercayaan diri korban body shaming.

Bentuk fisik yang menjadi fokus dalam body shaming dapat membuat korban mengalami stres dan depresi. Bona Sardo juga menuturkan, ketika seseorang diberikan ujaran terkait dengan kondisi fisiknya dan kondisi fisik tersebut memang sedang buruk, seseorang akan merasa buruk secara psikis. Terluka secara psikis akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk pulih. Ini dikarenakan luka secara psikis akan membekas diingatan korban mengenai hal-hal yang membuatnya terluka secara psikis. Oleh sebab itu, dalam proses pemulihan korban body shaming ada kaitan dengan resiliensi, yaitu bagaimana para korban body shaming ini dapat bangkit kembali dari masa-masa sulit setelah mengalami bully terhadap bentuk tubuh mereka.

Resiliensi (Block & Block, Block & Kremen, Lazarus dalam Swastika & Retnaningsih, 2012) adalah kemampuan untuk bangkit kembali dari situasi atau peristiwa yang traumatis. Hal senada juga dikatakan oleh Reivich dan Shatte (2002), resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk membuat keputusan dan bertahan dalam situasi yang sulit. Resiliensi dalam sudut pandang psikologi diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam memberikan respon yang fleksibel untuk mengubah kebutuhan situasional dan kemampuan untuk bangkit dari pengalaman emosional yang negatif. Ungar (2008) juga berpendapat bahwa resiliensi adalah suatu kemampuan individu untuk mengatasi kesulitan dan melanjutkan perkembangan normalnya seperti semula. Pernyataan serupa juga dikatakan oleh Mc Ewen (dalam Steven & Prihatsanti, 2018) bahwa resiliensi adalah kemampuan bertahan atau mengatasi kesulitan dari peristiwa tidak

(15)

6

menyenangkan dan berhasil beradaptasi dengan perubahan dan ketidakpastian. Dengan demikian dapat diketahui bahwa resiliensi adalah kemampuan individu untuk bertahan dan mengambil keputusan dalam kondisi yang sulit diterima .

Lianasari (2016) mengatakan bahwa resiliensi adalah salah satu moderator yang dapat membantu memahami mengapa satu individu dapat bereaksi negatif terhadap pengalaman negatif, sedangkan individu lain tidak mengalami masalah apapun meskipun menghadapi tekanan yang berat. Ketika seseorang memiliki kemampuan resiliensi yang rendah, maka ia akan memandang dirinya sebagai seseorang yang buruk bahkan tidak berguna. Hal ini sering terjadi pada korban body shaming, setelah mengalami nya korban biasanya akan merasa rendah diri. Resiliensi para korban body shaming dapat terlihat dari bagaimana para korban tersebut bangkit dari masa-masa krisis nya pasca mengalami body shaming. Dilansir dari laman psychology.binus.ac.id yang ditulis oleh Ria Septiana Widyastuti, bullying secara verbal bukan hal yang remeh, hal tersebut dapat menimbulkan dampak buruk yang signifikan pada kesehatan mental dan perkembangan psikologis seseorang. Tingkat resiliensi seseorang berbeda-beda tergantung dari sudut pandang apa ia memandang suatu masalah dan setiap orang juga memiliki sikap yang berbeda-beda dalam menghadapi masalah. Oleh sebab itu, konsep diri adalah salah satu faktor yang mempengaruhi resiliensi karena konsep diri yang positif juga berkontribusi terhadap kemampuan resiliensi (Lianasari, 2016).

Berzonsky (1981) mengemukakan bahwa konsep diri adalah gambaran mengenai diri seseorang, baik persepsi terhadap diri nyatanya maupun penilaian berdasarkan harapannya yang merupakan gabungan dari aspek-aspek fisik, psikis, sosial, dan moral. Chaplin (dalam Prawoto, 2010) mengatakan bahwa konsep diri (self concept) adalah evaluasi individu mengenai diri sendiri penilaian atau penaksiran mengenai diri sendiri oleh individu yang bersangkutan. Ketika seseorang mampu menerima diri nya sendiri dengan baik, maka cenderung akan tumbuh konsep diri yang positif, sebaliknya seseorang yang tidak mampu menerima dirinya sendiri dengan baik makan cenderung akan tumbuh konsep diri yang negatif (Andriani & Ni’matuzahroh, 2013). Menurut Lianasari (2016) konsep diri yang positif berkontribusi terhadap kemampuan resiliensi seseorang.

(16)

7

Konsep diri yang positif membuat wanita akan terlihat lebih optimis, penuh percaya diri dan dapat bersikap positif terhadap segala sesuatu, juga tentang kegagalan yang dialaminya. Berbanding terbailk dengan konsep diri yang negatif, yang memandang bahwa dirinya lemah, tidak menarik, tidak disukai, bahkan kehilangan daya tarik terhadap hidup dan dirinya. Dengan konsep diri yang positif ,kita dapat melihat hal-hal positif yang dapat dilakukan demi keberhasilan dimasa yang akan datang (Hurlock dalam Lianasari, 2016).

Fenomena bullying secara verbal mengenai bentuk fisik tertentu pada wanita oleh beberapa oknum membuat peneliti ingin meneliti bagaimana konsep diri dan resiliensi para korban tersebut. Selain disebabkan oleh berkembangnya teknologi, fenomena yang juga berkaitan dengan body shaming terjadi ketika seseorang menjalani hubungan berpacaran(Damanik, 2018). Tampil “ sempurna “ didepan pasangan menjadi hal yang selalu ingin dilakukan wanita ketika sedang menjalani sebuah hubungan. Ketika mengalami body shaming, respon wanita akan beragam sebagai bentuk resiliensi yang dimiliki. Respon yang ditunjukkan oleh beberapa partisipan dalam penelitian ini seperti, langsung mengubah bentuk tubuh yang menurut korban dapat memberikan stimulus kepada orang lain untuk melakukan body shaming terhadapnya. Bahkan, menurut artikel yang dimuat dalam psychology.binus.ac.id yang ditulis oleh Ria Septiana Widyastuti pada tahun 2015, seseorang dapat menarik diri dari pergaulan setelah mengalami bullying terhadap bentuk tubuhnya. Respon lain seperti yang ditunjukkan oleh artis Audy istri dari aktor laga Iko Uwais, ia sering mendapatkan komentar mengenai bentuk tubuh nya oleh para pengguna instagram lain saat mengunggah foto namun ia tidak menanggapi serius karena menurutnya cantik bukan hanya tentang bentuk tubuh yang ramping.

Beberapa penelitian mengenai body shaming yang peneliti temukan berkaitan dengan variabel – variabel lain seperti, Relationship contingency dan self efficacy (Dinartika,Wisnuwardhani & Arbiyah, 2017), Gangguan makan (Chairani, 2018), dan sebagainya. Peneliti belum menemukan penelitian mendalam mengenai bagimana korban body shaming dapat kembali bangkit secara psikis setelah mengalami body shaming. Peneliti juga belum menemukan bagaimana konsep diri dari para korban body shaming berpengaruh terhadap

(17)

8

upaya mereka bangkit dari keterpurukan setelah mengalami kejadian body shaming. Penelitian mengenai dinamika psikologis pada perempuan yang mengalami body shaming yang dilakukan oleh Damanik (2018) membantu peneliti memahami bagaimana proses serta dampak nya bagi perempuan yang mengalaminya.

Pada penelitian ini peneliti merumuskan rumusan masalah penelitian yaitu apakah terdapat hubungan antara konsep diri dan resliensi pada wanita dewasa dini yang mengalami body shaming dalam hubungan berpacaran.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana hubungan antara konsep diri dan resiliensi pada wanita dewasa dini yang mengalami body shaming dalam hubungan berpacaran.

Berdasarkan hasil penelitian terkait yang sudah peneliti himpun, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah:

Terdapat hubungan positif yang signifikan antara konsep diri dengan resiliensi pada wanita dewasa dini yang mengalami body shaming dalam hubungan berpacaran.

METODE Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif korelasional. Jenis penelitian ini dirancang untuk menentukan tingkat hubungan variabel-variabel yang berbeda dalam suatu populasi. Menurut Sevilla (dalam Noviana, 2014) pengukuran korelasional digunakan untuk menentukan besarnya arah hubungan.

Penelitian ini memiliki dua variabel yaitu: 1. Variabel bebas : Konsep diri 2. Variabel terikat : Resiliensi Partisipan

Partisipan dalam penelitian ini adalah wanita dengan rentang usia 18-25 tahun yang sedang menjalani hubungan berpacaran, merupakan mahasiswi aktif fakultas psikologi UKSW dan pernah memiliki pengalaman merasa malu dengan bagian tubuh tertentu yang diakibatkan oleh partisipan menginternalisasi penilaian

(18)

9

yang ada di lingkungannya. Teknik pengambilan data pada penelitian ini menggunakan snowball sampling. Penelitian ini dilakukan awal bulan Agustus 2019 dengan menyebarkan kuesioner cetak untuk partisipan di lingkungan Fakultas Psikologi UKSW Salatiga serta menyebarkan kuesioner online melalui google form bagi subjek yang sedang tidak berada di lingkungan Fakultas Psikologi UKSW. Peneliti menentukan jumlah sampel sebanyak 40 orang dan memilih teknik snowball sampling karena populasi mahasiswi fakultas psikologi UKSW yang berusia 18-25 tahun dan sedang menjalani hubungan berpacaran belum bisa diketahui secara pasti berapa jumlahnya. Peneliti akhirnya memperoleh sampel sebesar 40 partisipan dalam kurun waktu kurang lebih satu bulan. Jumlah sampel pada penelitian ini sesuai pernyataan Roscoe (1975) yang mengatakan bahwa ukuran sampel lebih dari 30 dan kurang dari 500 adalah jumlah yang tepat untuk penelitian.

Skala Pengumpulan Data

Skala konsep diri mengacu pada aspek konsep diri yang dikemukakan oleh Berzonsky (1981) yaitu aspek fisik, psikis, sosial, dan moral. Semua pernyataan dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok favourable dan unfavourable. Menurut Azwar (dalam Noviana, 2014) aitem favourable adalah aitem yang mendukung atribut yang hendak diukur sedangkan aitem unfavourable adalah aitem yang tidak mendukung atribut yang akan diukur. Terdapat 4 pilihan jawaban dalam skala konsep diri yaitu SS ( sangat setuju) , S (setuju), TS (tidak setuju), dan STS (sangat tidak setuju).

Skala resiliensi mengacu pada aspek resiliensi yang disampaikan oleh Reivich dan Shatte (2002), yaitu reaching out, regulasi emosi, pengendalian impuls, causal analysis, efikasi diri, optimisme, dan empati. Sama seperti skala konsep diri, pernyataan dalam skala resiliensi dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu favourable dan unfavourable. Begitu juga dalam pilihan jawaban terdapat 4 pilihan jawaban yaitu SS, S, TS, dan STS.

HASIL Analisis Aitem

(19)

10

Berdasarkan diskriminasi analisis data aitem-aitem pada skala konsep diri menggunakan daya beda aitem ≥ 0,27 untuk aitem valid, sehingga aitem dengan nilai ≤ 0,27 akan dinyatakan gugur. Hasil yang diperoleh dari dua kali perhitungan pada skala konsep diri yang memiliki 26 aitem pertanyaan memperoleh 6 aitem gugur sehingga tersisa 20 aitem valid. Untuk menentuk aitem-aitem valid pada skala resiliensi menggunakan ketentuan Azwar (dalam Noviana, 2014) yaitu aitem akan dikatakan valid apabila bernilai ≥ 0,27. Dilakukan dua kali perhitungan yang terdiri dari 34 aitem pernyataan memperoleh 10 aitem gugur dan tersisa 24 aitem valid.

Uji Reliabilitas

Hasil uji reliabilitas dalam penelitian ini, menggunakan koefisien Alpha-Cronbach. Berdasarkan perhitungan uji reliabilitas Alpha-Cronbach memperoleh hasil pada skala konsep diri dengan reliabilitas sebesar 0,865 dan untuk skala resiliensi sebesar 0,873 dan dinyatakan reliabel.

Uji Asumsi Uji Normalitas

Uji normalitas pada penelitian ini menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov Test. Berikut ini merupakan hasil dari uji normalitas Kolmogorov-Smirnov pada variabel konsep diri memiliki signifikansi sebesar p = 0,714 (p>0,05). Kemudian untuk variabel resiliensi memiliki nilai signifikansi sebesar p = 0,541 (p>0,05). Data dikatakan berdistribusi normal apabila memiliki nilai signifikansi >0,05. Variabel konsep diri dan resiliensi memiliki signifikansi lebih besar dari 0,05 dan dapat ditarik kesimpulan bahwa data dari kedua variabel tersebut berdistribusi normal.

Uji Linieritas

Uji linieritas antara konsep diri dengan resiliensi memperoleh hasil signifikansi sebesar 0,059. Data dikatakan liner jika nilai signifikansi p>0,05. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang linier antara konsep diri dan resiliensi.

(20)

11

Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif digunakan untuk melihat hasil perhitungan nilai rata-rata, nilai maksimal, nilai minimal, standar deviasi serta frekuensi berdasarkan pengkategorisasian setiap variabel sebagai hasil pengukuran konsep diri dengan resiliensi. Peneliti membagi skor menjadi 4 kategorisasi mulai dari “Sangat Rendah” sampai dengan “Sangat Tinggi”. Tabel 1 menunjukkan kategorisasi skor konsep diri diikuti tabel 2 yang menunjukkan kategorisasi dari skor resiliensi.

Tabel 1

Kategorisasi Konsep Diri

No Interval Kategori Mean F Presentase

1 20 ≤ x < 35 Sangat rendah 0 0% 2 35 ≤ x < 50 Rendah 0 0% 3 50 ≤ x < 65 Tinggi 62,15 32 80% 4 65 ≤ x < 80 Sangat tinggi 8 20% Total 40 100% SD = 2,381 , Min = 55, Maks = 66 Tabel 2 Kategorisasi Resiliensi

No Interval Kategori Mean F Presentase

1 24 ≤ x < 42 Sangat rendah 0 0% 2 42 ≤ x < 60 Rendah 0 0% 3 60 ≤ x < 78 Tinggi 11 27,50% 4 78 ≤ x < 96 Sangat tinggi 79,00 29 72,50% Total 40 100% SD = 3,876 , Min = 69 , Maks = 87

Menurut tabel 1 pada skala konsep diri memperoleh 80% atau 32 partisipan yang mayoritas berada pada kategorisasi tinggi. Sedangkan pada tabel 2

(21)

12

skala resiliensi memperoleh 72,50% atau 29 partisipan yang mayoritas berada pada kategorisasi sangat tinggi.

Uji Korelasi

Berdasarkan uji asumsi yang telah dilakukan, data pada skala konsep diri dan resiliensi berdistribusi normal dan variabel yang diuji linear, maka dilakukan uji korelasi menggunakan statistik parametrik korelasi Pearson.

Tabel 4

Uji Korelasi Konsep Diri dengan Resiliensi

Hasil uji korelasi pada konsep diri dan resiliensi pada wanita dewasa dini yang mengalami body shaming menunjukkan adanya korelasi yang positif. Hal tersebut dapat diketahui dari nilai r sebesar 0,692 dengan signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,01). Oleh sebab itu hipotesis yang menyatakan bahwa ada korelasi positif antara konsep diri dan resiliensi pada wanita dewasa dini yang mengalami body shaming ketika menjalani hubungan berpacaran, terbukti. Dengan demikian dapat diketahui bahwa semakin tinggi konsep diri, semakin tinggi pula tingkat resiliensi yang dimiliki.

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil analisis menggunakan teknik korelasi product moment pearson diperoleh hasil koefisien korelasi r sebesar 0,692 dengan signifikansi 0,000 (p < 0,01). Hal tersebut berarti bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan pada konsep diri dan resiliensi pada wanita dewasa dini yang

(22)

13

mengalami body shaming dalam hubungan berpacaran. Semakin tinggi tingkat konsep diri seseorang maka akan tinggi pula tingkat resiliensi seseorang.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Djudiyah (2011) dan Lianasari (2016) yang menyatakan bahwa konsep diri yang positif memiliki kontribusi terhadap kemampuan resiliensi seseorang. Konsep diri yang positif akan membuat wanita terlihat lebih optimis, percaya diri dan dapat bersikap positif terhadap segala sesuatu termasuk kegagalan yang sedang dihadapi.

Sumbangan efektif dari variabel konsep diri terhadap variabel resiliensi sebesar 47,88%, 52,12% sisanya adalah faktor diluar individu yang dapat mempengaruhi resiliensi seseorang. Dari hasil tersebut menandakan bahwa konsep diri juga berpengaruh terhadap kemampuan resiliensi seseorang, semakin tinggi tingkat konsep diri diri seseorang maka akan semakin baik pula kemampuan resiliensinya begitupula sebaliknya jika konsep diri yang dimiliki seseorang rendah, maka akan sulit pula untuk bertahan dan bangkit kembali dari keterpurukan. Wanita yang memiliki konsep diri yang baik, ketika mengalami body shaming ia mampu memanfaatkannya sebagai bahan untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Hal tersebut dapat terjadi karena seseorang yang memiliki konsep diri yang positif selalu dapat melihat peluang yang baik dibalik kelemahan yang ia miliki.

Kategorisasi pada skala konsep diri menunjukkan bahwa 80% partisipan memiliki konsep diri yang tinggi, 20% partisipan memiliki konsep diri yang sangat tinggi dan tidak ditemukan partisipan yang memiliki konsep diri pada kategori rendah dan sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa, mereka yang mengalami body shaming ketika menjalani sebuah hubungan masih mampu melihat hal positif yang terdapat pada dirinya. Sehingga ketika mengalami body shaming mereka mampu bertahan dan melanjutkan kehidupannya dengan baik. Kategorisasi pada skala resiliensi menunjukkan bahwa 27,5% memiliki tingkat resiliensi yang tinggi, 72,5% sisanya berada pada kategori sangat tinggi dan tidak ditemukan partisipan dengan kategori resiliensi rendah dan sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh partisipan adalah pribadi yang resilien meskipun sempat mengalami body shame, mereka tidak lantas menyerah dan putus asa

(23)

14

karena tidak sesuai dengan standar ideal kecantikan yang dianut masyarakat. Resiliensi akan berpengaruh terhadap masa depan, hal ini dikarenakan ketika seseorang memiliki resiliensi yang rendah akan merasa putus asa dengan kehidupan dan perencanaan akan masa depannya kurang baik. Berbeda dengan seseorang yang resilien, terbiasa menghadapi masalah sehingga tahu bagaimana menyikapi masalah dengan baik yang akan menjadikannya pribadi yang lebih bijaksana dalam hidup.

KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan tentang hubungan konsep diri dan resiliensi pada wanita dewasa dini yang mengalami body shaming dalam hubungan berpacaran, dapat disimpulkan bahwa :

1. Ada hubungan positif yang sangat signifikan antara konsep diri dan resiliensi pada wanita dewasa dini yang mengalami body shaming dalam hubungan berpacaran.

2. Sumbangan efektif dari variabel konsep diri terhadap variabel resiliensi sebesar 47,88% dan sisanya sebesar 52,12% dipengaruhi oleh faktor lain diluar konsep diri yang dapat berpengaruh pula terhadap resiliensi.

SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan diatas, penulis menyarankan beberapa hal sebagai berikut :

1. Bagi wanita yang berada pada rentang usia dewasa dini yang pernah mengalami body shaming dalam hubungan berpacaran namun memiliki konsep diri yang positif, peneliti sangat mengapresiasi dan harap dipertahankan karena konsep diri yang positif akan berpengaruh pada proses resiliensi. Bagi wanita dengan kategori yang sama namun kurang memiliki pandangan yang baik mengenai diri sendiri, penulis berharap agar lebih mampu melihat kelebihan / potensi diri, terbuka dengan kritik dan saran yang membangun, dan memiliki pandangan yang baik terhadap diri sendiri agar menjadi pribadi yang resilien ketika menghadapi body shaming.

(24)

15

2. Berdasarkan pengalaman beberapa partisipan, body shaming juga dipengaruhi oleh perlakuan masyarakat di sekitar lingkungan partisipan yang tidak jarang melakukan body shaming kepada wanita yang memiliki keunikan fisik tertentu meskipun dengan maksud bercanda. Oleh sebab itu, diharapkan masyarakat memahami dampak setelah melakukan body shaming sehingga mengurangi intensitas terjadinya body shame pada wanita.

3. Bagi peneliti selanjutnya

Kontribusi variabel konsep diri terhadap resiliensi sebesar 47,88% pada wanita dewasa dini yang mengalami body shaming ketika menjalani sebuah hubungan dengan pria dapat menjadi referensi bagi peneliti selanjutnya dengan topik seputar body shaming. Peneliti selanjutnya dapat meneliti variabel diluar konsep diri seperti efikasi diri, regulasi emosi, dan lain sebagainya. Penelitian selanjutnya juga dapat menggunakan partisipan dengan kategori remaja karena masa remaja berada pada fase peralihan dengan emosi yang belum stabil sehingga hasil yang didapatkan mungkin akan berbeda dengan wanita yang berada pada kategori dewasa. Selain itu, peneliti selanjutnya juga dapat meneliti bagaimana konsep diri dari para pelaku body shaming yang mungkin akan berbeda dengan korbannya.

(25)

16

DAFTAR PUSTAKA

Ana Setyowati, Sri Hartati, dan Dian Ratna Sawitri. (2010). Hubungan Antara Kecerdasan Emosional Dengan Resiliensi Pada Siswa Penghuni Rumah Damai. Jurnal Psikologi Undip Vol. 7, No. 1, April 2010.Andriani, M. Ni’matuzahroh.(2013). Konsep diri dengan konformitas pada komunitas hijabers. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 1(01).

Atuti, F. (2017). Hubungan Antara Konsep Diri Dengan Resiliensi Pada Mahasiswa Tahun Pertama Program Kelas Karyawan (Doctoral dissertation, Universitas Mercu Buana Yogyakarta).

Azwar, S. (2012). Penyusunan Skala Psikologi (cetakan pertama). Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

Berzonsky, M. D. (1981) . Adolescence Development. New York : Mc Millan Publishing.

Chairani, L. (2018). Body Shame Dan Gangguan Makan Kajian Meta-Analisis. Jurnal Ilmiah Buletinpsikologi, 26(1).

Damanik, T. M. (2018). Dinamika Psikologis Perempuan Mengalami Body shaming. Skripsi, Program Studi Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Dinartika, N. L., Wisnuwardhani, D., & Arbiyah, N. (2017). Prediksi Relationship Contigency dan Self-Efficacy dalam Hubungan Romantis terhadap Body Shame Pada Dewasa Muda. Psibernetika, 7(2).

Djudiyah & Yuniardi, M. (2011). Model Pengembangan Konsep Diri Dan Daya Resiliensi Melalui Support Group Therapy: Upaya Meminimalkan Trauma Psikis Remaja Dari Keluarga Single Parent. Jurnal Proyeksi 6(1), 16-26. Enggar Puspito, A., Hertinjung, W. S.,S.Psi. (2019). Hubungan Dukungan Sosial

Dengan Kesejahteraan Psikologis Remaja Yang Tinggal Di Panti Asuhan (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta).

(26)

17

Fatimah, Siti Nur. (2012). Dinamika Konsep Diri Pada Orang Dewasa. Jurnal Vol.1 No.1. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.

Fauzia, T. F., & Rahmiaji, L. R. (2019). Memahami Pengalaman Body Shaming Pada Remaja Perempuan. Interaksi Online, 7(3), 238-248.

Fredrickson, B. L., & Roberts, T. (1997). Objectification theory: Toward understanding women‟s lived experiences and mental health risks. Psychology of Women Quarterly, 22, 173-206.

Hamid, C, A. (2014). Hubungan Antara Konsep Diri Dengan Resiliensi Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Angkatan 2010-2013 Universitas Islam Negri Malang. Skripsi. Program Sarjana (S1) pada Program Studi Psikologi Fakultas Psikologi, Universitas Negeri Malang. Malang.

Hasmalawati, N. (2018). Pengaruh Citra Tubuh Dan Perilaku Makan Terhadap Penerimaan Diri Pada Wanita. Psikoislamedia: Jurnal Psikologi, 2(2), 107-115.

Hayati, N. (2015). Pemilihan metode yang tepat dalam penelitian (metode kuantitatif dan metode kualitatif). Jurnal Tarbiyah Al-Awlad, 4, 345-357. Lianasari, M. L. (2016). Hubungan antara Konsep Diri dengan Resiliensi pada

Remaja Putus Sekolah di Kecamatan Gisting Lampung Selatan (Doctoral dissertation, Program Studi Psikologi FPSI-UKSW).

Khulsum, U. (2014). Perspektif cantik perempuan korea dalam film minyeoneun georowo. Undergraduate Thesis.

Noor Amalia, Fariskha. (2015). Hubungan Antara Konsep Diri Dengan Resiliensi Remaja Pada Keluarga Orang Tua Tunggal (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta).

Noviana, T. A. (2014). Hubungan antara Self-Esteem dengan Perilaku Seksual pada Remaja Awal (Doctoral dissertation, Program Studi Psikologi FPSI-UKSW).

(27)

18

Manik, Christa Gumanti. (2007). Analisa Faktor-Faktor Yang Mempenaruhi Konsep Diri Pada Narapidana Remaja Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas Iia Tanjung Gusta Medan. Skripsi. Medan: Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Prawoto, Y. B. (2010). Hubungan antara konsep diri dengan kecemasan sosial pada remaja kelas XI SMA Kristen 2 Surakarta (Doctoral dissertation, Universitas Sebelas Maret).

Putri, B. A. S., Kuntjara, A. P., & Sutanto, R. P. (2018). Perancangan Kampanye “Sizter’s Project” sebagai Upaya Pencegahan Body Shaming. Jurnal DKV Adiwarna, 1(12), 9.

Rakhmat, J. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakara.

Reivich, K & Shatte, A. (2002). The Resilience Factor : 7 Essential Skills for Overcoming Life’s Inevitable Obstacles.

Roscue, J.T. (1975). Fundamental research statistics for the behavioural science (2nd ed.). New York: Holt Rinehart & Winston.

Sakinah, S. (2018). Ini Bukan Lelucon. Emik, 1(1), 53-67.

Sari, I. K. (2013). Hubungan Antara Konsep Diri dengan Kecenderungan Perilaku Konsumtif Pada Mahasiswa dalam Menggunakan Produk Fashion Bermerek (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta). Septiani, T., & Fitria, N. (2016). Hubungan antara resiliensi dengan stres pada

mahasiswa Sekolah Tinggi Kedinasan. Jurnal penelitian psikologi, 7(2), 59-76.

Siswoyo, D. A. (2012). Hubungan antara konsep diri dengan sikap terhadap judi: Studi korelasi pada mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim).u

(28)

19

Steven, J., & Prihatsanti, U. (2018). Hubungan antara resiliensi dengan work engagement pada karyawan bank panin cabang menara imperium Kuningan Jakarta. Empati, 6(3), 160-169.

Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Pendidikan : Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.

Bandung: Alfabeta, Cetakan ke-14

Swastika, I., & Retnaningsih, R. (2012). Resiliensi Pada Remaja yang Mengalami Broken Home

Ungar, M. (2008). Resilience across cultures. The British Journal of Social Work, 38(2), 218-235.

https://wolipop.detik.com/health-and-diet/d-4312143/stop-body-shaming-sesama-wanita-di-media-sosial-kamu-bisa-dipenjara diakses pada 13 Febuari 2019 pukul 19.50

https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-4312424/jangan-remehkan-body-shaming-ini-dampaknya-bagi-kesehatan-jiwa diakses pada 3 Maret 2019 pukul 19.50

https://psychology.binus.ac.id/2015/09/20/6924/ diakses pada 22 Juli 2019 pukul 11.35

Referensi

Dokumen terkait

Saran bagi Pegawai Negeri Sipil wanita dewasa madya yang memiliki citra tubuh (body image) positif hendaknya lebih siap dalam menghadapi perubahan fisik pada dewasa

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara body image dengan self esteem pada wanita dewasa awal yang menggunakan skincare, untuk mengetahui peran body image

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara body image dengan self esteem pada wanita dewasa awal yang menggunakan skincare, untuk mengetahui peran body image

Ada hubungan positif antara citra tubuh ( body image) dengan konsep diri yang dimiliki oleh perempuan dewasa awal. Semakinpositif konsep

Responden penelitian ini adalah wanita perokok yang ada di wilayah Kecamatan Jebres Surakarta dengan kriteria wanita perokok usia dewasa awal rentang usia 18-40 tahun

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ketika seorang wanita dewasa muda pasca melahirkan memiliki body image yang positif maka self esteem pun akan tinggi, dan

Temuan dalam penelitian ini melihat, cara mereka menyikapi body shaming yang menimpa mereka yaitu dari 8 informan 5 orang bersikap cuek dan mengambil sisi positif nya

Responden penelitian ini adalah wanita perokok yang ada di wilayah Kecamatan Jebres Surakarta dengan kriteria wanita perokok usia dewasa awal rentang usia 18-40 tahun