MADYA DI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
SKRIPSI
Disajikan sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi
oleh
Yuliana Sulistiyo Rini
1550408046
JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
ii
seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini
dikutip atau dirajuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Semarang, 21 Mei 2013
iii
Panitia
Ketua Sekretaris
Prof. Dr. Haryono, M. Psi Dr. Edy Purwanto, M. Si. NIP 19620222 198601 1 001 NIP 19630121 198703 1 001
Penguji Utama
Sugiariyanti, S. Psi., M. Si. NIP 19780419 200312 2 001
Penguji 1/Pembimbing 1 Penguji 2/Pembimbing 2
iv
kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya
dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya...(Qs. Al
Baqarah: 286)
Everything is okay and everything is gonna be okay (Yuliana S. R.)
Persembahan:
Karya sederhana ini saya persembahkan
kepada:
Bapak dan ibu yang selalu mendoakan,
memahami dan mendukungku.
Kepada teman-temanku tercinta
Kepada pihak-pihak yang mendukung dalam
v
citra tubuh (body image) pada Pegawai Negeri Sipil wanita dewasa madya di
Universitas Negeri Semarang” ini dapat terselesaikan.
Skripsi ini dapat terselesaikan tidak terlepas dari peran berbagai pihak yang
telah banyak membantu. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima
kasih kepada:
1. Drs. Hardjono, M.Pd, Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri
Semarang.
2. Dr. Edy purwanto, M.Si. Ketua Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan masukan serta kritikan
dalam rangka penyempurnaan skripsi.
3. Dr. Sri Maryati Deliana, M.Si. pembimbing I yang memberikan petunjuk,
nasehat dan arahan agar penulis segera menyelesaikan skripsi ini.
4. Rulita Hendriyani, S.Psi, M.Si. pembimbing II dan dosen wali yang telah
memberikan bimbingan, saran, petunjuk, dan masukan selama penulisan
skripsi.
5. Sugiariyanti, S. Psi., M.Si. penguji utama yang telah memberikan masukan
serta kritikan dalam rangka penyempurnaan skripsi.
6. Seluruh dosen Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri
vi
membantu dalam proses pembuatan skripsi ini
9. Teman-teman konsentrasi perkembangan 2008 yang memberikan semangat
perjuangan kepada penulis
10. Teman-teman di kos Latansa: Niken, Puji, Anggi, Erni, dan lainnya terima
kasih atas dukungan dan doa.
11. Pihak-pihak yang mendukung dalam pembuatan skriksi ini
Semoga kebaikan dan bantuan yang telah diberikan mendapat balasan dari
Allah SWT dan mudah-mudahan skripsi ini dapat memberikan makna dan
manfaat bagi pembaca.
Semarang, 21Mei 2013
vii
Semarang. Pembimbing 1 Dr. Sri Maryati Deliana, M.Si, Pembimbing 2 Rulita Hendriyani, S.Psi, M.Si.
Kata kunci: citra tubuh (body image), dewasa madya
Usia madya atau disebut juga usia setengah baya sebagai masa usia antara 40 sampai 60 tahun. Masa tersebut ditandai dengan perubahan-perubahan fisik dan mental. Perubahan fisik yang terjadi selama masa dewasa tengah mungkin sangat sulit bagi beberapa wanita. Akibat wanita dewasa madya mengevaluasi citra tubuh secara negatif dan mengaku tidak puas terhadap penampilannya. Citra tubuh (body image) adalah evaluasi dari pengalaman subjektif individu tentang persepsi, pikiran dan perasaan serta sikap terhadap penampilan tubuhnya. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana gambaran citra tubuh (body image) pada wanita dewasa madya.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif deskriptif. Populasi dalam penelitian ini adalah wanita dewasa madya yang aktif bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Universitas Negeri Semarang. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling. Sampel yang diambil dalam penelitian ini berusia 40 – 56 tahun sebanyak 80 orang yang bekerja sebagai tenaga administrasi, teknisi, laboran, dan pustakawan. Variabel dalam penelitian ini adalah variabel citra tubuh (body image). Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala psikologi, yaitu skala citra tubuh (body image).
Validitas dan reliabilitas instrumen dianalisis menggunakan SPSS 20. Analisis validitas menggunakan product moment dimana instrumen dinyatakan valid dengan koefisien validitas tertinggi sebesar 0,688 dan terendah sebesar 0,308. Analisis reliabilitas menggunakan koefisien, dalam penelitian nilai koefisien reliabilitas skala citra tubuh (body image) adalah 0,898. Hasil penelitian menunjukkan bahwa citra tubuh (body image) wanita dewasa madya yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Universitas Negeri Semarang berada pada kategori tinggi dengan presentase 67,5.
viii
PERNYATAAN ...ii
PENGESAHAN...iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ...iv
KATA PENGANTAR ...v
ABSTRAK...vii
DAFTAR ISI ...viii
DAFTAR TABEL...xi
DAFTAR GAMBAR...xii
DAFTAR LAMPIRAN...xiii
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah..………...1
1.2 Rumusan Masalah...………...10
1.3 Tujuan Penelitian...……….………...10
1.4 Manfaat Penelitian..……….………...10
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Citra Tubuh ...12
2.1.1 Pengertian Citra Tubuh……….………...……....…...12
2.1.2 Aspek-aspek Citra Tubuh.………...…...13
2.1.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Citra Tubuh …………...14
ix
2.3.1 Pengertian Dewasa Madya...20
2.3.2 Karakteristik Dewasa Madya...20
2.3.3 Tugas Perkembangan pada Masa Usia Madya...23
2.3.4 Perubahan Fisik Pada Dewasa Madya...24
2.4 Kerangka Berfikir Citra Tubuh pada Wanita Dewasa Madya...25
BAB 3 METODE PENDEKATAN 3.1 Jenis Penelitian...…….…...………...29
3.2 Desain Penelitian...29
3.3 Identifikasi Variabel Penelitian...30
3.3.1 Variabel Penelitian...30
3.3.2 Definisi Operasional...30
3.4 Populasi dan Sampel...31
3.4.1 Populasi...31
3.4.2 Sampel ……….………...32
3.5 Metode dan Pengumpulan Data...32
3.5.1 Try Out...37
3.5.2 Try Out Instrumen...38
3.6 Validitas Dan Reliabilitas...40
3.6.1 Validitas ...40
x
4.2 Deskriptif Hasil Penelitian...45
4.2.1 Gambaran Umum Citra Tubuh (Body Image)...46
4.2.1.1 Penampilan Fisik Subjek...48
4.2.1.2 Perasaan Mengenai Kemampuan Tubuh Subjek...51
4.2.1.3 Pengalaman Tentang Kesehatan dan Penyakit Subjek...53
4.3 Pembahasan ...58
4.3.1 Citra Tubuh (Body Image) Subjek...58
4.3.1.1 Penampilan Fisik Subjek...61
4.3.1.2 Perasaan Mengenai Kemampuan Tubuh...62
4.3.1.3 Pengalaman Tentang Kesehatan dan Penyakit...63
4.4 Keterbatasan Penelitian...64
BAB 5 PENUTUP 5.1Kesimpulan ...66
5.2 Saran...67
xi
3.2 Penyebaran Butir Skala Citra Tubuh (Body Image) Sebelum Try Out...36
3.3 Penyebaran Butir Skala Citra Tubuh (Body Image)Try Out...39
3.4 Tabel Interpretasi Nilai r...42
3.5 Kriteria Deskriptif...43
4.1 Daftar Pegawai Negeri Sipil Wanita Dewasa Madya di UNNES...45
4.2 Distribusi Frekuensi Citra Tubuh (Body Image) Subjek...47
4.3 Distribusi Frekuensi Citra Tubuh (Body Image) Subjek ditinjau dari Aspek Penampilan Fisik...49
4.4 Statistik Deskriptif Aspek Penampilan Fisik...50
4.5 Distribusi Frekuensi Citra Tubuh (Body Image) Subjek ditinjau dari Aspek Perasaan Mengenai Kemampuan Tubuh...52
4.6 Statistik Deskriptif Aspek Perasaan Mengenai Kemampuan Tubuh...53
4.7 Distribusi Frekuensi Citra Tubuh (Body Image) Subjek ditinjau dari Aspek Pengalaman Tentang Kesehatan Dan Penyakit ………...54
4.8 Statistik Deskriptif Aspek Pengalaman Tentang Kesehatan Dan Penyakit.56 4.9 Ringkasan Analisis Citra Tubuh (Body Image) Tiap Aspek...56
xii
Madya...28
4.1 Diagram Citra Tubuh (Body Image) Subjek...48
4.2 Diagram Citra Tubuh (Body Image) Ditinjau Dari Aspek Penampilan Fisik ...50
4.3 Diagram Citra Tubuh (Body Image) Subjek ditinjau dari Aspek Perasaan Mengenai Kemampuan Tubuh...53
4.4 Daigram Citra Tubuh (Body Image) Subjek ditinjau dari Aspek Pengalaman Tentang Kesehatan Dan Penyakit...…...55
4.5 Diagram Analisis Citra Tubuh (Body Image) Tiap Aspek...57
xiii
3. Tabulasi Data...82
4. Tabulasi Data Tiap Aspek...91
1
Bagi banyak orang, dewasa madya adalah suatu masa menurunnya
keterampilan fisik dan semakin besarnya tanggung jawab; suatu periode dimana
orang menjadi semakin sadar akan popularitas muda-tua dan semakin
berkurangnya jumlah waktu yang tersisa dalam kehidupan; suatu titik ketika
individu berusaha meneruskan sesuatu yang berarti pada generasi berikutnya;
dan suatu masa ketika orang mencapai dan mempertahankan keputusan dalam
karir.
Clark-Plaskie & Lachman (dalam Papalia, Old & Feldman, 2008: 734)
menjelaskan bahwa “banyak juga orang-orang paruh baya (dewasa madya)
membesarkan anak mereka, memiliki peningkatan kebebasan dan independensi.
Ada juga yang merasakan peningkatan kesuksesan dan kontrol dalam pekerjaan
dan hubungan sosial, beriringan dengan kesadaran lebih realistis akan
keterbatasan mereka dan kekuatan luar yang tidak dapat mereka kontrol.”
Sebagaimana dikemukakan oleh seorang ahli masa hidup Gilbert Brim
(dalam Santrock, 2002: 139) “dewasa madya (middle age) adalah penuh dengan
perubahan, perputaran, dan pergeseran; jalannya tidak tetap. Orang masuk dan
keluar dengan keadaan berhasil dan gagal. Usia dewasa madya atau disebut juga
usia setengah baya sebagai masa usia antara 40 sampai 60 tahun. Masa tersebut
“Keragaman terjadinya kecepatan perubahan-perubahan dipengaruhi oleh
jenis kelamin. Pada umumnya, wanita menunjukkan proses penuaan yang lebih
cepat datangnya dibandingkan pria. Hal ini disebabkan oleh peranan wanita yang
khas, yaitu melahirkan” (Mappiare, 1983: 203).
Hurlock (1979: 438) juga menambahkan bahwa “dewasa madya
merupakan masa kecewa dan putus asa, terutama bagi wanita. Kecewa karena
prestasi telah jauh dari harapan dan putus asa karena kesempatan mencapai
tujuan kelihatan muda, tumbuh lebih ramping telah lewat setiap tahun.”
Hal serupa juga dikemukakan oleh Sontag (dalam Bert & Panek, 1989:
45) bahwa “perubahan fisik yang terjadi selama masa dewasa madya mungkin
sangat sulit bagi beberapa wanita, karena masyarakat memandang seorang
wanita harus terlihat cantik dan muda dalam penampilannya... akibat fisik dari
penuaan dapat menurunkan nilai dan harga diri, karena mereka menerima mitos
bahwa penurunan kecantikan fisik berarti sesuatu yang negatif. “
Survei nasional yang dilakukan di Amerika Serikat diketahui setengah dari
805 wanita mengevaluasi citra tubuh secara negatif dan mengaku ketidakpuasan
terhadap penampilannya” (Cash & Henry, 1995). Wanita dewasa memandang
citra tubuh lebih negatif jika dibandingkan lak-laki dewasa karena mereka
cenderung memelihara dan merawat penampilan (Hubley & Quinlan, 2003).
Franzoi dan Koehler (dalam Cash & Pruzinsky, 2002: 87) menemukan bahwa
wanita memiliki citra tubuh negatif daripada pria.
Nowak (dalam Santrock, 2002: 142) menemukan bahwa “perempuan
perempuan yang lebih tua atau lebih muda. Perempuan dewasa madya lebih
mungkin menganggap tanda-tanda penuaan sebagai memiliki pengaruh negatif
terhadap penampilan fisiknya.”
“Penuaan adalah proses mengubah atau melibatkan semua aspek
organisme. Konsekuensinya beragam, mulai dari struktur yang berubah dan
fungsi dari komponen jaringan tubuh yang mengubah hubungan organisme
dengan lingkungan fisik dan sosial” (Hurlock, 1979: 158).
Secara penampilan, wanita dewasa madya terlihat tidak sebaik ketika
mereka masih dewasa awal. Rambut mulai menipis dan memutih bahkan
beruban; kulit pada wajah, leher, lengan dan tangan menjadi kering dan keriput;
gigi menjadi kuning; bahu sering kali berbentuk bulat, dan terjadi penggemukan
seluruh tubuh yang membuat perut kelihatan menonjol sehingga seseorang
terlihat lebih pendek.
Para wanita menyadari bahwa memasuki usia akhir empat puluhan mereka
akan mengalami kegemukan. Banyak diantara mereka yang ingin terbebas dari
keadaan ini. Biasanya mereka akan berkonsultasi dengan dokter atau melakukan
diet untuk mengurangi kegemukan. Sebuah penelitian membuktikan bahwa
perempuan mulai membenci tubuhnya di usia 40 tahun. Penelitian ini dilakukan
oleh Asosiasi Gangguan Makan di Inggris, dengan melakukan survei terhadap
2.000 perempuan berusia 40 tahun ke atas, dan diperoleh hasil 70 persen dari
perempuan tersebut mengaku melakukan diet ketat, dan 58 persen dari mereka
bahkan mengalami gangguan pola makan (Sagitarius, 2008 diunduh dari
Ziebland, Robertson, Jay and Neil (2002) diketahui bahwa 87% (33/38) dari
wanita usia 35 sampai 55 tahun selalu mencoba untuk menurunkan berat badan
walaupun mereka tidak memiliki kelebihan berat badan dan diberitahukan
bahwa 58% wanita tersebut berhasil menurunkan berat badan mereka. Hal ini
disebabkan oleh ketidakpuasaan pada citra tubuh dibandingkan dengan
konsekuensi kesehatan.
Masalah kesehatan secara umum pada usia dewasa madya mencakup
kecenderungan untuk mudah lelah, telinga berdengung, sakit pada otot,
kepekaan kulit, pusing-pusing biasa, sakit pada lambung, kehilangan selera
makan serta insomnia. Secara khusus, terdapat penyakit serius yang diderita
dewasa madya adalah serangan jantung, hipertensi, dan osteoporosis.
Hasil penelitian Persatuan Osteoporosis Indonesia (PEROSI) tahun 2006
menemukan bahwa sebanyak 38% pasien yang datang untuk memeriksakan
densitas tulang mereka di Makmal Terpadu FKUI Jakarta. Ternyata terdeteksi
menderita osteoporosis sebanyak 14,7%, sedangkan di Surabaya sebanyak 26%
pasien dinyatakan positif osteoporosis. Data penelitian Departemen Kesehatan
(DEPKES) tahun 2006 menunjukkan bahwa 1 dari 5 orang Indonesia rentan
terkena penyakit osteoporosis. Menurut statistik dunia, 1 dari 3 wanita rentan
terkena penyakit osteoroporosis. (Katrina, 2011 diunduh dari
forumkristen.com/index.php?topic=34394.0). Bahkan yang perlu diperhatikan, berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Semarang, kasus osteoporosis tidak
hanya menimpa usia lanjut (lansia), tetapi ada juga yang menyerang anak usia
tersebut jika dilihat dari deretan umur, satu kasus terjadi pada umur 5-14 tahun;
kemudian 15 kasus pada umum 15-44 tahun; 49 kasus pada umur 45-54 tahun.
(Istibsaroh, 2012 diunduh dari
www.antarajateng.com/detail/index.php?id=68975#.UIioRK7PyGc).
Wanita dewasa madya nantinya juga akan mengalami menopause, dimana
masa menstruasi berhenti, dan mereka kehilangan kemampuan melahirkan anak.
Wanita dewasa madya yang menghadapi menopause, mengeluh tentang
ketakutan mereka tentang perubahan fisik. Seperti yang dikemukakan oleh
Rostiana & Kurniati (2009) bahwa wanita merasa takut karena adanya
pikiran-pikiran mereka yang merasa tidak cantik lagi, keriput, tua dan tidak bugar lagi.
Selain itu, wanita juga merasa takut jika suaminya akan mencari wanita lain bila
mereka terlihat tidak cantik dan tidak bugar. Sama seperti penemuan Damayanti
& Purnamasari (2011), bahwa wanita yang mengalami premenopause cenderung
merasa tidak percaya diri dengan perubahan fisik yang terjadi dalam dirinya.
Sehingga individu berusaha untuk memperbaiki penampilan agar terlihat lebih
muda dengan menggunakan berbagai obat kecantikan tanpa memperhatikan
harganya yang mahal dan resiko dari obat tersebut. Individu juga merendahkan
diri sendiri karena merasa dirinya tidak menarik dan tidak berguna sehingga
cenderung menghindari kontak fisik dengan orang lain.
Datangnya usia dewasa madya meningkatkan kesadaran bahwa
mempertahankan penampilan muda sama pentingnya dengan usaha dan
keberhasilan sosial sebagai sebuah daya tarik. Akibatnya, orang dewasa
dan alat bantu kamuflase untuk menurunnya kemampuan sensorik, seperti lensa
kontak.
Kosmetik merupakan kamuflase yang sangat baik untuk fitur wajah yang
tidak sesuai dengan keinginan orang tersebut. Wax (dalam Hurlock, 1979: 152)
mengatakan bahwa tujuan dari kosmetik adalah untuk "memanipulasi struktur
fisik luar seseorang sehingga membuat kesan yang diinginkan pada orang lain”.
Rambut dapat dikeriting atau diluruskan sesuai keinginan, mata dapat
dipercantik dengan penggunaan maskara dan bulu mata palsu, kulit dapat
diputihkan atau dicokelatkan dengan menggunakan krim atau lotion, bibir dapat
dibentuk kembali menggunakan lipstik. Gigi tidak lurus dapat diluruskan oleh
kawat gigi, gigi yang hilang dapat digantikan dengan gigi palsu. Hidung yang
terlalu besar atau terlalu kecil dapat diperbaiki dengan operasi plastik. Keriput
dan kantong di bawah mata bisa dihilangkan dengan pengamplasan
menghilangkan lapisan luar kulit wajah.
Banyak akibat psikologis yang muncul karena kenyataan akan datangnya
penuaan. Diantaranya adanya sikap menolak para wanita sehingga mereka
berusaha melindungi diri secara berlebihan, perasaan takut dan khawatir dengan
datangnya masa tua, pemikiran yang negatif. Semua hal tersebut umumnya
dialami oleh mereka yang tidak menerima dengan realistis penuaan atau
menurunnya keadaan fisik. Sikap menolak bagi wanita dewasa madya
diperparah oleh isi majalah dan advertensi di televisi yang membujuk agar
Penelitian tentang penolakan proses penuaan di usia dewasa madya juga
dilakukan oleh Ballard, Elston & Gabe (2005) dengan judul Beyond the mask:
women’s experiences of public and private aging during midlife and their use of
age-resisting activities:
Wanita menggunaan istilah public aging dan private aging. Public aging itu menjelaskan tentang sesuatu yang tampak, berhubungan dengan usia fisik yang berubah pada tubuh, seperti menipisnya rambut dan rambut menjadi putih (beruban), kulit yang keriput dan tidak elastis. Para wanita biasanya membuat perbandingan penampilan fisiknya dengan wanita lain yang usianya sama dengan dirinya tentang penuaan yang mereka alami. Sedangkan private aging dijelaskan dengan sesuatu yang tidak tampak, berhubungan dengan usia kronologis seseorang seperti tekanan darah tinggi, menopause, menurunnya kemampuan memori, menurunnya gairah seksual, merasa cepat lelah. Semua itu dapat dikomunikasikan kepada setiap orang atau wanita tanpa melihat kesamaan usia atau kelompok dari masyarakat luas.
Berdasarkan perubahan-perubahan yang terjadi tersebut para wanita
dewasa madya melakukan aktivitas yang bisa mengurangi proses penuaan
terutama perubahan yang bersifat “public aging”. Hal ini menunjukkan
kecenderungan bahwa wanita dewasa madya tidak suka dengan penuaan dan
menggambarkan perubahan fisik secara negatif. Perubahan fisik biasanya
diiringi dengan perubahan peran dalam kehidupan seseorang.
Teori proses identitas menurut Whitbourne & Skultety (dalam Cash &
Pruzinsky, 2002: 85-86):
ketika menggabungkan informasi tentang proses penuaan ke dalam kesadaran diri.
Berdasarkan penjelasan teori proses identitas di atas, terdapat resiko pada
kedua mekanisme identitas tersebut. Individu yang terlalu fokus pada asimilasi
identitas cenderung menolak tanda-tanda penuaan dan harus memberikan
perhatian lebih dari proses penuaan, karena mereka mendefinisikan diri sebagai
“muda”, sehingga mereka akan secara aktif terlibat dalam olahraga dan diet yang
dirancang untuk mempertahankan penampilan muda dengan alasan menjaga
kesehatan fisik. Sebaliknya individu yang terlalu fokus pada akomodasi identitas
mungkin lebih menderita akibat memikirkan akibat negatif dari proses penuaan.
Individu tersebut mendefinisikan diri sebagai “tua” dan menjadi sibuk dengan
penuaan dan masalah kesehatan. Pendekatan asimilasi identitas mungkin lebih
menguntungkan dalam menghadapi proses penuaan, setidaknya dalam menjaga
rasa kesejahteraan dan citra tubuh yang positif.
Cross and Cross (dalam Hurlock, 1980: 219) mengatakan “citra tubuh
sangat erat kaitannya dengan penampilan fisik seseorang, jika seseorang tersebut
merasa dirinya tidak menarik seperti yang diharapkan maka akan mencari jalan
keluar untuk memperbaiki dirinya. Kecantikan dan daya tarik fisik sangat
penting bagi wanita.”
Fallon & Ackard (dalam Cash & Pruzinsky, 2002: 117) menjelaskan
bahwa “citra tubuh merupakan representasi mental dari tubuh yang meliputi
persepsi dari penampilan, perasaan dan pikiran tentang tubuh, bagaimana
Honigman & Castle (dalam Jacinta, 2004 diunduh dari www.e-psikologi.com/epsi/search.asp), body image adalah gambaran mental seseorang terhadap bentuk dan ukuran tubuhnya; bagaimana seseorang mempersepsi dan
memberikan penilaian atas apa yang dia pikirkan dan rasakan terhadap ukuran
dan bentuk tubuhnya, dan atas bagaimana kira-kira penilaian orang lain terhadap
dirinya. Sebenarnya, apa yang dipikirkan dan dirasakan, belum tentu
benar-benar merepresentasikan keadaan yang aktual, namun lebih merupakan hasil
penilaian diri yang subyektif. Selanjutnya faktor-faktor yang mempengaruhi
citra tubuh (body image) antara lain: usia, jenis kelamin, media massa, hubungan
interpersonal, dan kepribadian seseorang.
Sebelumnya variabel citra tubuh (body image) telah diteliti oleh
Noviningtyas (2008), hasil penelitiannya menunjukan bahwa sebagian besar
(54,72%) wanita dewasa madya di koperasi Citra Kartini Sumberpucung,
memiliki citra tubuh dengan taraf rendah.
Studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan November 2012 di Rektorat
gedung H Universitas Negeri Semarang oleh peneliti dengan menggunakan
metode wawancara kepada tiga Pegawai Negeri Sipil non kependidikan wanita
yang berusia 40, 42 dan 47 tahun diperoleh hasil bahwa, mereka berusaha
memberikan penampilan yang menarik dalam kondisi apapun. Salah satu
interviewee mengatakan bahwa meskipun dalam keadaan sakit, dia akan tetap
berdandan supaya menarik. Para wanita juga mengeluh tentang kesehatan yang
menurun akibat perubahan fisik, badan menjadi cepat lelah, kegemukan serta
Pegawai Negeri Sipil dijadikan sebagai subjek penelitian, karena
kenyataannya bahwa waktu kerja yang padat dan sedikit waktu untuk
bersitirahat sehingga hal ini dapat berpengaruh pada kebugaran dan kesehatan
subjek. Jika kebugaran dan kesehatan menurun bisa berdampak pada performa
kerja yang menurun. Akan tetapi berdasarkan hasil wawancara dengan subjek
mereka menyempatkan diri untuk melakukan olahraga. Pegawai Negeri Sipil
juga dituntut untuk memberikan penampilan diri yang bersih dan rapi karena
berhubungan dengan pelayanan.
Berdasarkan permasalahan yang terjadi di atas peneliti tertarik untuk
meneliti mengenai gambaran citra tubuh (body image) pada Pegawai Negeri
Sipil wanita dewasa madya di Universitas Negeri Semarang.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan alasan pemilihan judul yang telah diuraikan di atas, maka
rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana gambaran citra tubuh
(body image) pada Pegawai Negeri Sipil wanita dewasa madya di Universitas
Negeri Semarang?
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti maka dapat diperoleh
tujuan penelitian untuk mengetahui gambaran citra tubuh (body image) pada
1.4 Manfaat Penelitian
1. Kontribusi teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat informasi mengenai gambaran citra
tubuh (body image) pada wanita dewasa madya yang bekerja sebagai
Pegawai Negeri Sipil.
b. Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan teoritis di bidang
psikologi perkembangan dan gerontologi, untuk menambah pengetahuan
tentang citra tubuh (body image).
2. Kontribusi praktis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi wanita setengah
baya yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil mengenai citra tubuh (body
image) sehingga dapat meningkatkan kualitas pekerjaannnya yang di tinjau
dari aspek kesehatan dan kebugaran tubuh.
b. Penelitian ini dapat dijadikan pengetahuan dan acuan bagi dewasa madya
dalam menghadapi masa dewasa akhir.
c. Penelitian ini dapat dijadikan referensi dan acuan untuk penelitian yang
12 2.1.1 Pengertian Citra Tubuh (Body Image)
Citra tubuh (body image) merupakan evaluasi dari pengalaman subjektif
individu tentang persepsi, pikiran dan perasaan serta sikap terhadap penampilan
tubuhnya. Pengertian tersebut di perkuat oleh pendapat Fallon & Ackard (dalam
Cash & Pruzinsky, 2002: 117) yang menyatakan bahwa “citra tubuh merupakan
representasi mental dari tubuh yang meliputi persepsi dari penampilan, perasaan
dan pikiran tentang tubuh, bagaimana rasanya berada di dalam tubuh, dan fungsi
tubuh dan kemampuannya.”
Citra tubuh (body image) adalah ide seseorang mengenai betapa
penampilan badannya menarik di hadapan orang lain (Chaplin, 2011: 63).
Senada dengan pendapat Papalia, Olds, dan Feldman (2008: 546) yang
mendefinisikan citra tubuh (body image) sebagai keyakinan deskriptif dan
evaluasi mengenai penampilan seseorang. Citra tubuh (body image) adalah
konsepsi dan sikap terhadap penampilan fisik seseorang (Berk, 2012: 508).
Rosen (dalam Cash & Pruzinsky, 2002: 405) menggambarkan citra tubuh
sebagai citra mental dan evaluasi seseorang terhadap penampilan dan
mempengaruhi persepsi dan sikap dari perilaku. Tovian (dalam Cash &
Pruzinsky, 2002: 362) menggambarkan citra tubuh sebagai citra mental individu
atau representasi kognitif dari tubuhnya sendiri, termasuk penampilan luar,
Citra tubuh digambarkan oleh Schilder (dalam Cash & Pruzinsky, 2002:
22) sebagai "citra tridimensional yang dimiliki sekitar dirinya sendiri":
seseorang dapat memvisualisasikan tubuhnya dari sisi depan, samping, dan
bahkan belakang, meskipun tidak semua dapat dilihat pada saat yang sama. Atau
seseorang dapat merasakan tubuhnya sebagai persepsi terpadu, tanpa mengalami
perpecahan antara kontribusi dari sentuhan, posisi, dan keseimbangan.
Honigman & Castle (dalam Rini, 2004 diunduh dari www.e-psikologi.com/epsi/search.asp), body image adalah gambaran mental seseorang terhadap bentuk dan ukuran tubuhnya; bagaimana seseorang mempersepsi dan
memberikan penilaian atas apa yang dia pikirkan dan rasakan terhadap ukuran
dan bentuk tubuhnya, dan atas bagaimana kira-kira penilaian orang lain terhadap
dirinya. Sebenarnya, apa yang dia pikirkan dan rasakan, belum tentu benar-benar
merepresentasikan keadaan yang aktual, namun lebih merupakan hasil penilaian
diri yang subyektif.
2.1.2 Aspek-Aspek Citra Tubuh (Body Image)
Banyak orang menganggap diri mereka telah menyelesaikan
perkembangan fisik di masa remaja, akan tetapi pada kenyataannya bahwa tubuh
terus menerus berubah sampai mati. Mengevaluasi bagaimana orang bereaksi
terhadap perubahan bentuk tubuh, penampilan, dan fungsi merupakan pusat
untuk sepenuhnya memahami adaptasi psikologis sepanjang masa dewasa.
Whitbourne & Skultety (dalam Cash & Pruzinsky, 2002: 83-84) membagi
aspek citra tubuh (body image) di masa dewasa tengah menjadi tiga, yaitu
1. Penampilan fisik, mengungkapkan informasi tentang evaluasi dari
penampilan keseluruhan tubuh, perhatian individu terhadap penampilan
dirinya, serta usaha yang dilakukan untuk memperbaiki dan meningkatkan
penampilan fisiknya.
2. Perasaan mengenai kemampuan tubuh, didasarkan pada sensasi fisik yang
terkait dengan penuaan, seperti perasaan tentang ketangkasan berolahraga,
daya tahan tubuh, dan kekuatan fisik. Hal ini terlihat pada evaluasi derajat
kebugaran yang dirasakan individu terhadap tubuhnya, perhatian individu
terhadap kebugaran fisiknya, serta usaha yang dilakukan untuk memperbaiki
dan meningkatkan kebugaran fisiknya.
3. Pengalaman tentang kesehatan dan penyakit, yang berimplikasi mengenai
kualitas hidup yaitu evaluasi penilaian individu mengenai kesehatan
tubuhnya; mengukur derajat pengetahuan dan kesadaran individu terhadap
pentingnya kesehatan fisik dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang
kesehatan sehingga selalu berusaha untuk mengembangkan gaya hidup
sehat; serta mengukur kesadaran individu terhadap penyakit dan derajat
reaksi terhadap masalah penyakit yang dialami tubuh.
2.1.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Citra Tubuh (Body Image)
Beberapa ahli menyatakan bahwa citra tubuh (body image) dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi citra tubuh
(body image) antara lain: usia, jenis kelamin, media massa, hubungan
a. Usia
Usia mempengaruhi citra tubuh-ketidakpuasan tubuh. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa wanita usia 17 sampai 25 tahun memiliki katidakpuasan
terhadap citra tubuh lebih tinggi dibandingkan wanita usia 40 tahun sampai 60
tahun (Sivert & Sinanovic, 2008). Meskipun wanita dewasa madya memiliki
hasil yang lebih rendah, usia memiliki kaitan dengan dengan citra tubuh.
Whitbourne & Skultety (dalam Cash & Pruzinsky, 2002: 84) menambahkan
bahwa tahap perkembangan dewasa madya terjadi proses penuaan seperti
kerutan dan kendur dari kulit, hilangnya tinggi badan, dan redistribusi lemak
tubuh dari kaki dan tangan ke seluruh tubuh, bersifat universal. Kekuatan fisik
dipengaruhi oleh hilangnya kekuatan otot dan elastisitas otot pada tingkat 1%
per tahun. Tulang menjadi lemah dan lebih rapuh, dan sendi menjadi terasa
menyakitkan dan kaku. Selain itu, sistem pernapasan menjadi kurang efisien,
dan ketahanan kandung kemih berkurang. Ada perubahan dalam fungsi
hormonal (terutama jelas dalam perempuan), pola tidur, dan penurunan
kemampuan untuk menyesuaikan perubahan suhu yang ekstrim. Fungsi mental,
termasuk memori kerja, perhatian, dan pengambilan keputusan, dipengaruhi
oleh perubahan di otak. Beberapa penyakit mulai tampak, seperti gangguan
pencernaan, yang lebih terkait dengan praktek diet yang berkaitan dengan
perubahan usia. Jadi masih terdapat bukti bahwa orang setengah baya lebih
sensitif terhadap kekhawatiran penuaan daripada orang dewasa yang lebih tua
b. Jenis kelamin
Jenis kelamin adalah faktor paling penting dalam perkembangan citra tubuh
seseorang (Chase, 2001). Wanita dewasa memandang citra tubuh lebih negatif
jika dibandingkan lak-laki dewasa karena mereka cenderung memelihara dan
merawat penampilan (Hubley & Quinlan, 2003). Franzoi dan Koehler (dalam
Cash & Pruzinsky, 2002: 87) menemukan bahwa wanita memiliki citra tubuh
negatif daripada pria.
Moore & Franko (dalam Cash & Pruzinsky, 2002: 183) menjelaskan bahwa
wanita-semua usia-lebih mempermasalahkan citra tubuh bila dibandingkan
dengan laki-laki. Kekhawatiran terhadap citra tubuh begitu luas jika dilihat
sebagai "masalah perempuan" dimana banyak studi yang meneliti tentang
wanita, dengan asumsi (implisit atau eksplisit menyatakan) bahwa masalah
tersebut tidak relevan untuk laki-laki.
c. Media Massa
Tiggemann (dalam Cash & Pruzinsky, 2002: 91-92) menyatakan bahwa
media yang muncul dimana-mana memberikan gambaran ideal mengenai fitur
perempuan yang dapat mempengaruhi gambaran tubuh seseorang. Media
massa menjadi pengaruh yang paling kuat dalam budaya sosial. Kebanyakan
orang dewasa membaca surat kabar harian dan majalah. Survei di media
menunjukkan bahwa majalah fashion, khususnya, dibaca oleh mayoritas wanita
dan perempuan (diperkirakan hingga 83%). Isi media tersebut sering
menggambarkan standar kecantikan wanita adalah memiliki tubuh yang kurus
Media massa mempengaruhi body image seseorang melalui tiga proses yaitu
persepsi, kognitif dan tingkah laku yang dikaitkan dengan social comparison,
dimana wanita cenderung membandingkan diri dengan model-model kurus
yang dikategorikan menarik. Akibat social comparison, terjadi distorsi persepsi
pada wanita dimana mereka merasa tubuh mereka gemuk padahal sebenarnya
mereka tidak gemuk. Secara kognitif mereka telah tergambar bagaimana
wanita yang dianggap menarik sehingga menjadikannya landasan untuk
melakukan evaluasi diri terhadap penampilan. Dari segi tingkah laku dimana
wanita ingin memiliki tubuh yang kurus seperti para model di media, mereka
rela melakukan diet atau cara lain yang dapat mengurangi berat tubuh.
d. Hubungan interpersonal
Hubungan interpersonal membuat seseorang cenderung membandingkan
diri dengan orang lain dan feedback yang diterimanya mempengaruhi konsep
diri termasuk mempengaruhi bagaimana perasaan terhadap penampilan fisik.
Hal inilah yang sering membuat orang merasa cemas dengan penampilannya
dan gugup ketika orang lain melakukan evaluasi terhadap dirinya.
Rosen dan koleganya (dalam Cash & Purzinsky, 2002: 108) menyatakan
bahwa feedback terhadap penampilan dalam hubungan interpersonal dapat
mempengaruhi bagaimana pandangan dan perasaan mengenai tubuh.
Menurut Dunn & Gokee (dalam Cash & Pruzinsky, 2002: 109) menerima
feedback mengenai penampilan fisik berarti seseorang mengembangkan
dapat membuat mereka melakukan perbandingan sosial yang merupakan salah
satu proses pembentukan dalam penilaian diri mengenai daya tarik fisik.
Pikiran dan perasaan mengenai tubuh bermula dari adanya reaksi orang lain.
Dalam konteks perkembangan, gambaran tubuh berasal dari hubungan
interpersonal. Perkembangan emosional dan pikiran individu juga
berkontribusi pada bagaimana seseorang melihat dirinya. Maka, bagaimana
seseorang berfikir dan merasa tubuhnya dapat mempengaruhi hubungan dan
karakteristik psikologis(Chase, 2001).
e. Kepribadian
Cash (dalam Cash & Pruzinsky, 2002: 41) mengatakan bahwa kepribadian
individu juga mempengaruhi pembentukan terhadap citra tubuh. Harga diri
tinggi dapat meningkatkan evaluasi tubuh seseorang ke arah positif dan
berfungsi sebagai pelindung terhadap peristiwa yang mengancam citra tubuh
seseorang. Sebaliknya, harga diri rendah dapat menurunkan citra tubuh
seseorang. Paham perfeksionis merupakan faktor lain yang berpengaruh pada
kepribadian individu untuk memiliki fisik yang ideal. Seseorang yang memiliki
kedekatan tidak aman, dimana individu mencari cinta dan penerimaan namun
merasa tidak layak, dapat menumbuhkan sikap citra tubuh yang negatif. Di sisi
lain, kedekatan yang aman dapat memumbuhkan citra tubuh yang lebih
2.2 Pegawai Negeri Sipil
2.2.1 Pengertian Pegawai Negeri Sipil
Pegawai negeri sipil merupakan bagian dari pegawai negara dimana
pegawai yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat
yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi
tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku (diunduh dari http://id.wikipedia.org/wiki/Pegawai_negeri)
2.2.2 Jabatan fungsional
Jabatan yang tidak secara tegas disebutkan dalam struktur organisasi
pemerintah, tetapi dari sudut pandang fungsinya diperlukan oleh organisasi
pemerintah. Pangkat Pegawai Negeri Sipil dalam jabatan fungsional berorientasi
pada prestasi kerja, sehingga tujuan untuk mewujudkan Pegawai Negeri Sipil
sebagai aparatur negara yang berdaya guna dan berhasil guna dalam
melaksanakan tugas umum pemerintahan dan pembangunan dapat dicapai.
Jabatan Pegawai Negeri Sipil yang terdapat di Universitas Negeri Semarang
berdasarkan Peraturan Rektor Universitas Negeri Semarang nomor 30 Tahun
2009 tentang standar etika Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Universitas
Negeri Semarang bab II pasal 3 adalah dosen, tenaga administrasi, tenaga
2.3 Wanita Dewasa Madya
2.3.1 Pengertian Dewasa Madya
Pada umumnya masa dewasa madya atau usia setengah baya dipandang
sebagai masa usia antara 40 sampai 60 tahun. Usia dewasa madya dibagi
menjadi dua yakni usia madya dini yang dari usia 40 sampai 50 tahun dan usia
madya lanjut dari usia 50 sampai 60 tahun (Hurlock, 1980: 320). Hal serupa juga
diungkapkan oleh Mappiare (1983: 173) bahwa rentang usia setengah baya
(dewasa madya) adalah dimulai dari usia 40 tahun sampai 60 tahun.
Masa dewasa madya (middle age) atau disebut paruh baya dimulai antara
usia 45 sampai 65 tahun. (Papalia, Olds, & Feldman, 2008: 733). Sedangkan
Santrock (2002: 139) menganggap usia dewasa madya (middle adulthood)
sebagai periode perkembangan yang dimulai kira-kira pada usia 35-45 tahun
hingga memasuki usia 60-an tahun
Levinson (dalam Monks dkk, 2006: 330) menjelaskan bahwa “dewasa
madya dimulai sekitar usia 40-45 sampai 65 tahun dengan menghadapi tugas:
penilaian kembali masa lalu, merubah struktur kehidupan, dan proses
individuasi.”
2.3.2 Karakteristik Dewasa Madya
Hurlock (1980: 320-324) menjelaskan karateristik dewasa madya sebagai
berikut:
a. Usia madya merupakan periode yang sangat ditakuti
Usia madya merupakan periode yang menakutkan, orang-orang dewasa tidak
tidak mau mengakui karena fikiran negatif yaitu: tentang kerusakan mental,
penurunan fisik, berhentinya reproduksi menopause dan klimaterik, mereka
merasa tidak dihormati lagi, mereka menjadi rindu pada masa muda mereka
dan berharap kembali masa muda mereka.
b. Usia madya merupakan masa transisi
Usia madya merupakan masa dimana wanita meninggalkan ciri-ciri
jasmaninya dan perilaku masa dewasanya dan memasuki suatu periode dalam
kehidupan yang akan diliputi oleh ciri-ciri jasmani dan perilaku baru. Transisi
berarti penyesuaian diri terhadap minat, nilai dan pola perilakunya yang baru.
c. Usia madya adalah masa stres
Maksudnya penyesuaian secara radikal terhadap peran dan pola hidup yang
berubah, khususnya bila disertai dengan berbagai perubahan fisik, selalu
cenderung merusak homeostasis fisik dan psikologis seseorang dan membawa
ke masa stres, suatu masa bila sejumlah penyesuaian pokok yang harus
dilakukan di rumah, bisnis dan aspek sosial kehidupan mereka.
d. Usia yang berbahaya
Merupakan suatu masa dimana seseorang mengalami kesusahan fisik sebagai
akibat dari terlalu banyak bekerja, rasa cemas yang berlebihan, ataupun
kurang memperhatikan kehidupan. Timbulnya penyakit jiwa datang dengan
cepat dikalangan pria dan wanita, dan gangguan ini berpuncak pada suicide
e. Usia madya adalah “usia canggung”
Wanita yang berusia madya bukan “muda” lagi tapi bukan juga tua.
Kemudian mereka merasa tidak dianggap. Orang-orang yang berusia madya
sedapat mungkin berusaha untuk tidak dikenal oleh orang lain.
f. Usia madya adalah masa berprestasi
Merupakan masa dimana peran orang yang berusia madya akan menjadi lebih
sukses atau sebaliknya mereka berhenti dan tidak mengerjakan sesuatu
apapun lagi. Apabila dewasa madya mempunyai kemauan yang kuat untuk
berhasil, mereka akan mencapai puncaknya pada usia ini dan memungut hasil
dari masa-masa persiapan dan kerja keras yang dilakukan sebelumnya.
g. Usia madya merupakan masa evaluasi
Wanita mencapai puncak prestasinya, maka masa ini juga merupakan saat
mengevaluasi prestasi tersebut berdasarkan aspirasi mereka semula dengan
harapan-harapan orang lain, khususnya anggota keluarga dan teman.
h. Usia madya merupakan masa sepi
Ketika anak-anak sudah tidak lagi tinggal dirumah, banyak yang mengalami
tekanan batin karena dipensiunkan. Setelah bertahun-tahun hidup dalam
sebuah rumah yang berpusat pada keluarga (family-centered home),
umumnya orang dewasa menemui kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan
rumah yang berpusat pada pasangan suami isteri. Keadaan ini terjadi selama
masa-masa mengasuh anak, suami dan isteri selalu berkembang terpisah dan
sedikit persamaan setelah minat mereka terhadap anak-anak berkurang dan
ketika mereka harus saling menyesuaikan diri dengan sebaik-baiknya.
Terbukti juga bahwa, periode masa sepi pada usia madya lebih bersifat
traumatik bagi wanita daripada bagi pria. Hal ini benar khususnya pada
wanita yang telah menghabiskan masa-masa dewasa mereka dengan
pekerjaan rumah tangga dan bagi mereka yang kurang memiliki minat atau
sumber daya untuk mengisi waktu senggang mereka pada waktu pekerjaan
rumah tangga berkurang atau selesai. Banyak yang mengalami tekanan batin
karena dipensiunkan. Kondisi yang serupa juga dialami pria ketika mereka
mengundurkan diri dari pekerjaan.
i. Usia madya merupakan masa jenuh
Merupakan masa yang penuh dengan kejenuhan. Para wanita menjadi jenuh
dengan kegiatan sehari-hari dan dalam kehidupan keluarga yang hanya
memberikan sedikit hiburan.
2.3.3 Tugas Perkembangan pada Masa Usia Madya
Adapun tugas-tugas perkembangan pada dewasa madya menurut
Havighurst (dalam Hurlock, 1980: 10) adalah sebagai berikut:
a. Mencapai tanggung jawab sosial dan dewasa sebagai warga negara.
b. Membantu anak-anak remaja belajar untuk menjadi orang dewasa yang
bertanggung jawab dan bahagia.
c. Mengembangkan kegiatan-kegiatan pengisi waktu senggang untuk orang
dewasa. Aktivitas dan memanfaatkan waktu luang sebaik-baiknya bersama
d. Menghubungkan diri sedemikian rupa dengan pasangannya (dengan suami
atau istri) sebagai seorang pribadi yang utuh.
e. Menerima dan menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan psikologis
yang lazim terjadi pada masa setengah baya.
f. Mencapai dan mempertahankan prestasi yang memuaskan dalam karir
pekerjaan.
g. Menyesuaikan diri dengan orang tua yang semakin tua
2.3.4 Perubahan Fisik Pada Dewasa Madya
Hurlock (1980: 326-329) menjelaskan perubahan fisik yang terjadi selama
dewasa madya sebagai berikut:
1. Perubahan dalam penampilan
Penampilan seseorang memegang peranan penting terutama dalam
penilaian sosial, sambutan sosial, dan kepemimpinan. Mereka yang
berusia madya, memberontak terhadap penilaian status tersebut yang
mereka takuti ketika penampilan mereka menurun.
2. Perubahan dalam kemampuan indera
Perubahan yang paling merepotkan dan nampak terdapat pada mata dan
telinga. Kebanyakan orang yang berusia madya menderia presbiopi atau
kesulitan melihat dari jarak jauh. Kemampuan mendengar juga melemah,
akibatnya mereka yang berusia madya selalu harus mendengarkan sesuatu
secara lebih sungguh-sungguh daripada yang mereka lakukan dimasa lalu.
3. Perubahan pada kesehatan
Masalah kesehatan secara umum pada usia madya mencakup
kecenderungan untuk mudah lelah, telinga berdengung, sakit pada otot,
kepekaan kulit, pusing-pusing biasa, sakit pada lambung (konstipasi, asam
lambung, dan sendawa), kehilangan selera makan, serta insomnia.
4. Perubahan seksual
Wanita memasuki masa menopause, atau perubahan hidup, dimana masa
menstruasi berhenti, dan mereka kehilangan kemampuan memelihara
anak.
2.4 Kerangka Berfikir Citra Tubuh (Body Image) pada Wanita Dewasa
Madya
Masa dewasa madya adalah masa dimana seseorang akan mengalami
banyak perubahan fisik kearah kemunduran. Selama usia madya lemak
mengumpul sekitar perut dan paha. Rambut semakin tipis dan mulai beruban.
Kulit pada wajah, leher, lengan dan tangan menjadi lebih kering dan keriput.
Kulit dibagian bawah mata menggembung seperti kantong, dan lingkaran hitam
di bagian ini menjadi lebih permanen dan jelas. Bahu sering kali berbentuk
bulat, dan terjadi penggemukan seluruh tubuh yang membuat perut kelihatan
menonjol sehingga seseorang kelihatan lebih pendek (Hurlock, 1980: 327).
Usia dewasa madya ditandai dengan menurunnya kesegaran fisik secara
umum dan memburuknya kesehatan, seperti kecenderungan untuk mudah lelah,
pada lambung (konstipasi, asam lambung, dan sendawa) kehilangan selera
makan, serta insomnia. Para dewasa madya juga akan mengalami perubahan
seksual berupa menopause bagi wanita dan masa klimaterik bagi pria (Hurlock,
1980: 328)
Sontag (dalam Bert & Panek, 1989: 45) menyatakan bahwa perubahan
fisik yang terjadi selama masa dewasa madya mungkin sangat sulit bagi
beberapa wanita, karena masyarakat memandang seorang wanita harus terlihat
cantik dan muda dalam penampilannya. Kesadaran seseorang akan sikap orang
lain terhadap penampilan usia madya sering menyebabkan seseorang
mempunyai sikap yang kurang menyenangkan terhadap dirinya sendiri.
Perubahan-perubahan yang terjadi pada masa dewasa madya, para wanita
biasanya melakukan beberapa cara untuk mencegah seperti perawatan wajah dan
tubuh, olahraga, diet, mengatur pola makan, menggunakan kosmetik untuk
memanipulasi struktur wajah, dan perawatan lain.
Teori untuk pencegahan dan kompensasi yang berkaitan dengan perubahan
fungsi fisik adalah teori proses identitas. Teori proses identitas menurut
Whitbourne & Skultety (dalam Cash & Pruzinsky, 2002: 85-86):
Berdasarkan penjelasan teori proses identitas di atas, terdapat resiko pada
kedua mekanisme identitas tersebut. Individu yang terlalu fokus pada asimilasi
identitas cenderung menolak tanda-tanda penuaan dan harus memberikan
perhatian lebih dari proses penuaan, karena mereka mendefinisikan diri sebagai
“muda”, sehingga mereka akan secara aktif terlibat dalam olahraga dan diet yang
dirancang untuk mempertahankan penampilan muda dengan alasan menjaga
kesehatan fisik. Sebaliknya individu yang terlalu fokus pada akomodasi identitas
mungkin lebih menderita akibat memikirkan akibat negatif dari proses penuaan.
Individu tersebut mendefinisikan diri sebagai “tua” dan menjadi sibuk dengan
penuaan dan masalah kesehatan. Pendekatan asimilasi identitas mungkin lebih
menguntungkan dalam menghadapi proses penuaan, setidaknya dalam menjaga
rasa kesejahteraan dan citra tubuh yang positif.
Fallon & Ackard (dalam Cash & Pruzinsky, 2002: 117) menyatakan “citra
tubuh merupakan representasi mental dari tubuh yang meliputi persepsi dari
penampilan, perasaan dan pikiran tentang tubuh, bagaimana rasanya berada di
dalam tubuh, dan fungsi tubuh dan kemampuannya. Citra tubuh (body image)
juga menggambarkan bagaimana seseorang dapat memandang dirinya secara
3. 4.
Gambar 2.1 Kerangka Berfikir
29
mengungkapkan masalah yang diteliti. Metode penelitian sangat penting dalam
suatu penelitian karena dapat mempengaruhi keefektifan dan keefisienan
penelitian. Metode penelitian ini juga harus disesuaikan dengan objek dan tujuan
penelitian. Dalam penelitian ini, metode penelitian meliputi jenis dan desain
penelitian, variabel penelitian, populasi dan sampel, metode pengumpulan data,
validitas dan reliabilitas, serta metode analisis data.
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah
penelitan kuantitatif. Azwar (2012: 5) menyatakan bahwasanya “penelitian
kuantitatif adalah penelitian yang mendasarkan analisisnya pada pengujian data
numerik yang diolah dengan metode statistik”.
3.2 Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain
penelitian deskriptif (Azwar, 2012: 6) menjelaskan
terlalu dalam. Kebanyakan pengolahan datanya didasarkan pada analisis persentase dan analisis kecenderungan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif, karena
dalam pelaksanaannya mencari data sebanyak-banyaknya dan kemudian
berusaha untuk mendeskripsikan sejelas-jelasnya.
3.3 Identifikasi Variabel Penelitian
3.3.1 Variabel Penelitian
“Variabel penelitian adalah pemusatan perhatian terhadap fenomena atau
gejala utama pada beberapa fenomena lain yang relevan. Fenomena merupakan
konsep mengenai atribusi atau sifat yang terdapat pada subjek penelitian yang
dapat bervariasi” (Azwar, 2012: 59). Suatu penelitian harus mengandung
variabel yang jelas sehingga memberikan gambaran data atau informasi apa saja
yang diperlukan yang berkaitan dengan masalah penelitian. Variabel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah citra tubuh (body image).
3.3.2 Definisi Operasional
“Definisi operasional variabel penelitian merupakan suatu definisi
mengenai variabel penelitian yang dirumuskan berdasarkan
karakteristik-karakteristik variabel-variabel tersebut yang dapat diamati” (Azwar, 2012: 74).
Tujuan dari definisi operasional adalah untuk menghindari salah pengertian atau
salah persepsi mengenai data yang akan diteliti dalam suatu penelitian serta
untuk mengindari kesalahan dalam menentukan alat pengumpulan data yang
Citra tubuh (body image) merupakan evaluasi dari pengalaman subjektif
individu tentang penampilan fisik, perasaan mengenai kemampuan tubuh, dan
pengalaman tentang kesehatan dan penyakit.
3.4 Populasi dan Sampel
3.4.1 Populasi
“Populasi adalah keseluruhan subjek di dalam penelitan” (Arikunto, 2006:
130). Sebagai suatu populasi, kelompok subjek harus memiliki ciri-ciri atau
karakteristik individu yang sama yang membedakannya dari kelompok subjek
yang lain.
Azwar (2012: 77) mengatakan bahwa “populasi didefinisikan sebagai
kelompok subjek yang hendak dikenai generalisasi hasil penelitian. Kelompok
subjek ini harus memiliki ciri-ciri atau karakteristik-karakteristik bersama yang
membedakannya dari kelompok subjek yang lain. Ciri yang dimaksud tidak
terbatas hanya sebagai ciri lokasi akan tetapi dapat terdiri dari karakteristik
individu.” Karakteristik populasi yang ditetapkan dalam pengambilan populasi
dalam penelitian ini adalah:
a. Wanita dewasa madya usia 40 sampai 56 tahun.
b. Wanita yang aktif bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Universitas Negeri
Semarang.
3.4.2 Sampel
“Sampel adalah sebagian atau wakil dari suatu populasi yang diteliti”
(Arikunto, 2006: 131). Peneliti menggunakan cara purposive sampling.
“Purposive sampling adalah metode pemilihan sampel yang dilakukan dengan
cara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi itu berdasarkan
tujuan penelitian” (Arikunto, 2006: 139). Cara demikian dilakukan bila anggota
populasi dianggap homogen. Adapun jumlah sampel yang akan dipakai dalam
penelitian adalah 80 orang.
3.5 Metode dan Alat Pengumpul Data
“Teknik pengumpulan data merupakan cara yang digunakan untuk
memperoleh data yang diteliti. Teknik pengumpulan data dalam kegiatan
penelitian mempunyai tujuan untuk mengungkap fakta mengenai variabel
tertuju, dan untuk mengetahuinya dengan menggunakan metode atau cara-cara
yang efisien dan akurat” (Azwar, 2012: 91). “Metode pengumpulan data yang
akan dilakukan oleh peneliti adalah menggunakan metode pemberian skala
psikologi. Skala merupakan alat pengukur psikologi yang biasa digunakan untuk
mengukur aspek afektif yang antara lain memiliki ciri stimulusnya bersifat
ambigu serta tidak terdapat jawaban benar dan salah “(Azwar, 2010: 3-4).
Adapun alasan peneliti menggunakan skala psikologi sebagai metode
pengumpulan data atau alat ukur variabel (Azwar, 2010: 5-6) adalah:
1. Data yang diungkap oleh skala psikologi berupa konstrak atau konsep
2. Pada skala psikologi, pertanyaan sebagai stimulus tertuju pada indikator
perilaku guna memancing jawaban yang merupakan refleksi dari keadaan
subjek yang biasanya tidak disadari oleh responden yang bersangkutan.
3. Responden terhadap skala psikologi, sekalipun memahami isi pertanyaannya,
biasanya tidak menyadari arah jawaban yang dikehendaki dan kesimpulan apa
yang sesungguhnya diungkap oleh pertanyaan tersebut.
Skala psikologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala citra
tubuh yang disusun berdasarkan aspek penampilan fisik, kompetensi tubuh dan
pengalaman tentang kesehatan dan penyakit. Adapun blue print instrumen citra
Tabel 3.1
Blue Print Instrumen Citra Tubuh (Body Image)
No Aspek Indikator Jumlah
1 Penampilan fisik Individu menganggap penampilannya menarik
dan memuaskan atau tidak
5
Individu memperhatikan penampilan fisiknya 5
Individu melakukan usaha untuk memperbaiki
Setiap karakteristik akan diturunkan menjadi sejumlah aitem dimana dari
setiap aitem akan diperoleh skor total yang menunjukkan semakin tinggi skor
citra tubuh individu maka akan diikuti oleh semakin positif citra tubuh, dan
sebaliknya. Semakin rendah skor citra tubuh individu maka akan diikuti oleh
Bentuk penskalaan yang akan digunakan untuk mencari hasil skor adalah
berupa penskalaan respon atau skala Likert. Sifat dari skala tersebut adalah
favourable yaitu butir pernyataan yang mendukung objek penelitian dan
unfavourable yaitu butir pernyataan yang tidak mendukung objek penelitian.
Skala tersebut mempunyai lima alternatif jawaban yaitu: Sangat Setuju (SS),
Setuju (S), Antara Setuju dan Tidak (N), Tidak Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju
(STS). Sistem penilaian untuk favorable adalah Sangat Setuju (5), Setuju (4),
Antara Setuju dan Tidak (3), Tidak Setuju (2), dan Sangat Tidak Setuju (1). Pada
pernyataan unfavorable berlaku penskoran Sangat Setuju (1), Setuju (2), Antara
Tabel 3.2
Penyebaran Butir Skala Citra Tubuh (Body Image) Sebelum Try Out
Aspek F UF Jumlah
Penampilan fisik
a. Individu menganggap penampilannya
menarik dan memuaskan atau tidak
b. Individu memperhatikan penampilan
fisiknya a. Individu menganggap kebugaran fisiknya
bugar atau tidak
Pengalaman tentang kesehatan dan penyakit
a. Individu menganggap kesehatannya baik
atau buruk
b. Individu memperhatikan kesehatan
c. Individu melakukan usaha untuk
meningkatkan kesehatan
d. Individu memperhatikan penyakitnya
dengan melakukan usaha untuk mengobati
3.5.1 Try Out
Suatu penelitian dibutuhkan alat pengumpul data yang tepat untuk
mendapatkan hasil yang akurat dan terpercaya. Langkah-langkah yang perlu
dipersiapkan guna menyusun instrumen penelitian yang tepat, yaitu:
1. Menyusun Instrumen
Langkah-langkah yang dilakukan oleh peneliti dalam membuat instrumen
penelitian ini adalah:
a. Menyusun Lay Out Penelitian
Pengembangan instrumen dengan cara mendefenisikan terlebih dahulu
variabel-variabel penelitian dan dibuat defenisi operasionalnya untuk
kemudian dibagi-bagi menjadi aspek-aspek. Aspek-aspek tersebut
dikembangkan lagi menjadi indikator-indikator yang sesuai dengan defenisi
operasionalnya. Indikator-indikator ini kemudian disusun menjadi
butir-butir aitem dalam skala.
b. Menentukan Karakteristik Jawaban yang Dikehendaki
Menentukan jawaban dari masing-masing butir aitem dibuat menurut skala
kontinum yang terdiri dari 5 alternatif jawaban, yaitu 5, 4, 3, 2, 1 untuk
aitem favorable dan 1, 2, 3, 4, 5 untuk aitem unfavorable.
2. Menyusun Format Instrumen
Format skala citra tubuh (body image) disusun secara jelas untuk
memudahkan subjek dalam mengisi instrumen. Instrumen dalam penelitian ini
Alasan pemilihan bentuk booklet ini adalah untuk memudahkan subjek
mengisi keseluruhan aitem. Urutan isi dalam booklet tersebut antara lain kata
pengantar, identitas subjek, petunjuk pengisian skala citra tubuh (body image).
Adapun format instrumen dalam penelitian ini terdiri dari:
a. Kata Pengantar
Pada kata pengantar berisi penjelasan peneliti terhadap subjek yang
meliputi: latar belakang penyusunan skala, tujuan penelitian, kerahasiaan
data, dan motivasi kepada subjek agar menjawab pernyataan
dengansebenarnya sesuai dengan keadaan subjek.
b. Identitas Subjek
Identitas subjek terdiri dari nama, usia, dan pekerjaan.
c. Petunjuk Pengisian
Terdapat penjelasan mengenai bagaimana cara memilih jawaban. Dimana
subjek memilih lima alternatif jawaban, yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju
(S), Antara Setuju dan Tidak (N), Tidak Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju
(STS).
d. Butir-butir Instrumen
Butir-butir instrumen dalam penelitian ini berjumlah total 50 aitem.
4.5.2 Try Out Instrumen
Penelitian ini menggunakan skala dengan jumlah 50 aitem. Kemudian
skala disusun dalam bentuk booklet dan diujicobakan secara acak kepada 45
orang subjek, yaitu ibu-ibu usia 40 tahun ke atas yang pekerjaannya adalah
out ini didasarkan pada kesamaan karakteristik populasi yang sebenarnya, yaitu
jenis kelamin, tingkat umur, dan pekerjaan. Hasil try out yang menggunakan
SPSS 20 adalah sebagai berikut:
Tabel 3.3
Penyebaran Butir Skala Citra Tubuh (Body Image)Try Out
Aspek F UF Jml
Penampilan fisik
a. Individu menganggap penampilannya menarik
dan memuaskan atau tidak
b. Individu memperhatikan penampilan fisiknya
c. Individu melakukan usaha untuk memperbaiki
dan meningkatkan penampilan fisiknya
d. Individu menganggap kebugaran fisiknya bugar atau tidak
e. Individu memperhatikan kebugaran fisiknya
f. Individu melakukan usaha untuk meningkatkan
kebugaran fisiknya g. Individu menganggap kesehatannya baik atau
buruk
h. Individu memperhatikan kesehatan
i. Individu melakukan usaha untuk meningkatkan
kesehatan
j. Individu memperhatikan penyakitnya dengan
3.6 Validitas dan Reliabilitas
Ada dua persyaratan yang harus dimiliki suatu alat pengumpul data yang
baik, yaitu memiliki validitas dan reliabilitas yang tinggi. Suatu alat pengumpul
data diharapkan dapat mengukur apa yang sebenarnya hendak diukur. Alat ukur
yang memiliki syarat akan menghasilkan penelitian yang benar dan dapat
menggambarkan keadaan yang sesungguhnya dari masalah yang diselidiki.
3.6.1 Validitas
Menurut Azwar (2009: 5) “validitas berasal dari kata validity yang
mempunyai arti sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam
melakukan fungsi ukurnya. Suatu tes atau instrumen pengukur dapat dikatakan
mempunyai validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi
ukurnya, atau memberikan hasil ukur, yang sesuai dengan maksud dilakukannya
pengukuran tersebut”. Maka validitas instrumennya menggunakan validitas
konstrak, hal ini karena menggunakan atribut psikologis yaitu citra tubuh (body
image). Allen & Yen (dalam Azwar, 2009: 48) menjelaskan bahwa “validitas
konstruk adalah tipe validitas yang menunjukkan sejauh mana tes mengungkap
suatu trait atau kontrak teoritik yang hendak diukurnya.”
Setelah skala diberikan kepada responden, maka skala harus diisi oleh
responden. Langkah selanjutnya skala diuji validitas dan reliabilitasnya. Untuk
menentukan kevalidan dari skala psikologis dihitung dengan menggunakan
korelasi Product Moment.
Hasil penelitian dianalisis menggunakan SPSS versi 20, diperoleh hasil
tidak valid atau gugur yaitu 2, 4, 6, 18, 19, 22, 23, 25, 28, 34, 36, 40, 44, 47, 48,
49 dan sisanya 34 aitem dinyakatan valid. Aitem yang valid mempunyai
koefisien validitas berkisar antara 0,308 sampai dengan 0,688 dengan taraf
signifikansi 0,05 atau 5%. Nilai 5% dalam taraf signifikansi atau taraf
keberartian tersebut bermakna probabilitas atau kemungkinan kesalahan yang
terjadi adalah sebesar 5% atau kemungkinan benar adalah 95% (Arikunto, 2006:
345). Dari 16 aitem yang tidak valid terdapat tiga aitem yang diperbaiki yaitu
aitem nomor 40, 44, dan 48. Aitem yang diperbaiki merupakan aitem-aitem yang
mewakili dari indikator. Jadi aitem yang dipakai saat penelitian sejumlah 37
aitem.
3.6.2 Reliabilitas
Menurut Arikunto (2006: 178) reliabilitas menunjuk pada satu pengertian
bahwa sesuatu instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat
pengumpul data karena instrumen tersebut sudah baik. “Reliabilitas instrumen
adalah sejauh mana instrumen tersebut hasilnya dapat dipercaya” (Azwar, 2009:
4). Pada prinsinya reliabilitas menunjukkan sejauhmana pengukuran itu dapat
memberikan hasil yang relatif sama bila dilakukan kembali terhadap subjek yang
sama atau dengan kata lain reliabilitas adalah keajegan suatu alat ukur. Uji
reliabilitas yang digunakan dengan menggunakan rumus Alpha.
Dalam penelitian ini, untuk mencari reliabilitas instrumen, peneliti
menggunakan rumus Alpha, karena perolehan skor dalam skala ini merupakan
rentangan berbentuk skala dari 1 sampai 5, skor yang diperoleh bukan 1 dan 0
Berdasarkan hasil pengujian melalui SPSS versi 20 diperoleh hasil untuk
reliabilitas skala citra tubuh (body image) diperoleh koefisien reliabilitas sebesar
0,898, dapat dikatakan bahwa skala tersebut memiliki tingkat reliabel yang
tergolong tinggi. Interpretasi reliabilitas didasarkan pada tabel berikut (Arikunto,
2006: 276)
Tabel 3.4
Tabel Interpretasi Nilai r
Besarnya nilai r Interpretasi
0,800-1,00 Tinggi
0,600-0,800 Cukup
0,400-0,600 Agak rendah
0,200-0,400 Rendah
0,000-0,200 Sangat rendah
3.7 Teknik Analisis Data
Analisis data dimulai dengan memahami seluruh data yang tersedia dari
berbagai sumber yang telah dilakukan sesuai metode pengumpulan data
sebelumnya. Analisis dilakukan agar peneliti segera dapat menyusun strategi
selanjutnya sehingga memperoleh kesimpulan. Metode yang digunakan untuk
menganalisis data dalam penelitian ini adalah metode statistik deskriptif.
Analisis deskriptif bertujuan untuk memberikan deskripsi mengenai
subjek penelitian berdasarkan data dari variabel yang diperoleh dari kelompok
subjek yang diteliti dan tidak dimaksudkan untuk pengujian hipotesis (Azwar,
2012: 126). Data yang telah terkumpul kemudian diklasifikasikan menjadi dua
kelompok data, yaitu data kuantitatif yang berbentuk angka-angka dan data
kualitatif yang dinyatakan dalam kata-kata atau simbol. Data yang diperoleh
digunakan (Arikunto, 2006: 239). Agar data dapat terbaca dan dapat dipahami
maka perlu dilengkapi dengan kata-kata yang dapat memberi gambaran yang
jelas mengenai citra tubuh (body image) pada Pegawai Negeri Sipil wanita
dewasa madya di Universitas Negeri Semarang
Data dari skala citra tubuh (body image) kemudian dibandingkan dengan
cara pemberian kriteria yang sesuai dalam Azwar (2010: 109), sehingga
diperoleh sebagai berikut:
Tabel 3.5 Kriteria Deskriptif
Interval skor Kriteria Keterangan (µ + 1 σ) ≤ X Tinggi Positif (µ - 1 σ) ≤X < (µ + 1 σ) Sedang Sedang X < (µ - 1 σ) Rendah Negatif
Keterangan:
µ = mean teoritis
σ = mean deviasi