• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rasio Adenoid-Nasofaring dan Gangguan Telinga Tengah pada Penderita Hipertrofi Adenoid

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Rasio Adenoid-Nasofaring dan Gangguan Telinga Tengah pada Penderita Hipertrofi Adenoid"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Rasio Adenoid-Nasofaring

dan Gangguan Telinga Tengah pada

Penderita Hipertrofi Adenoid

Muhammad Arman Amar, Riskiana Djamin, Abdul Qadar Punagi

Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Kepala Leher,

Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo, Makassar

Abstrak

Pendahuluan: Hipertrofi adenoid telah banyak dilaporkan sebagai salah satu faktor penyebab terjadinya disfungsi tuba. Disfungsi tuba dapat menyebabkan perubahan tekanan telinga tengah yang berujung pada gangguan telinga tengah. Untuk mengetahui kelainan telinga tengah akibat hipertrofi adenoid dapat dilakukan pemeriksaan timpanometri. Akan tetapi, pemeriksaan tersebut belum digunakan secara rutin karena harga yang relatif mahal. Oleh karena itu, ukuran hipertrofi adenoid ditentukan melalui pemeriksaan radiografi kepala true lateral dengan mengukur besarnya adenoid. Rasio adenoid-nasofaring sebagai prediktor gangguan telinga tengah belum pernah dilaporkan pada literatur. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai hubungan antara rasio adenoid - nasofaring berdasarkan radiografi kepala true lateral dengan gangguan telinga tengah pada penderita hipertrofi adenoid.

Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang analitis pada 40 penderita hipertrofi adenoid yang datang ke RS Wahidin Sudirohusodo dan RS Mitra Husada, Makassar, pada bulan Juli hingga November 2012, serta memenuhi kriteria inklusi.

Hasil: Semakin besar rasio adenoid-nasofaring, semakin tinggi derajat gangguan telinga tengah. Terdapat hubungan yang bermakna antara rasio adenoid-nasofaring dengan gangguan telinga tengah pada kedua kelompok usia 5,0-10,0 tahun dan 11,0-14,0 tahun dengan nilai koefisien korelasi parsial masing-masing kelompok usia yaitu 56,8% dan 64,1%. Rasio adenoid-nasofaring >0,71 terdapat pada 75,0% pasien yang mengalami gangguan telinga tengah dengan tipe B dan C.

Kesimpulan: Rasio adenoid-nasofaring >0,71 dapat dijadikan sebagai prediktor dalam menentukan gangguan telinga tengah. J Indon Med Assoc. 2013;63:21-6.

Kata kunci: rasio adenoid-nasofaring, hipertrofi adenoid, radiografi kepala true lateral, timpanogram.

Korespondensi: Muhammad Arman Amar,

(2)

Adenoid-Nasopharyngeal Ratio and

Middle Ear Disorder in Patients with Adenoid Hypertrophy

Muhammad Arman Amar, Riskiana Djamin, Abdul Qadar Punagi

Department of Otolaryngology-Head and Neck,

Faculty of Medicine Universitas Hasanuddin Wahidin Sudirohusodo Hospital, Makassar

Abstract

Introduction: Adenoid hypertrophy has been reported as one of the factors contributing to the

dysfunction of the tube. Dysfunction of the tube causes alteration of middle ear pressure which may leads to disorder of the middle ear. Tympanometry can be used to examine the middle ear disorder caused by adenoid hypertrophy. Unfortunately, this examination is not routinely used in primary health care. Thus, true lateral radiographic head is preferable to tympanometry for measure the size of adenoid. Adenoid - nasopharynx ratio as the predictor of middle ear disorders had not been reported in literature. The aim of the study was to assess the relationship between adenoid ratio-nasopharynx by true lateral radiographic head with middle ear disorders in patients with adenoid hypertrophy.

Methods: This study is an analytic cross-sectional study in 40 patients with adenoid hypertrophy,

who came to dr. Wahidin Sudirohusodo Hospital and Mitra Husada Hospital, Makassar, on July until November 2012, and met the inclusion criteria.

Results: The larger adenoid-nasopharynx ratio, the higher degree of disorder of the middle ear.

There is significant difference between adenoid-nasopharynx ratio and the degree of disorder of the middle ear in both age groups from 5.0 to 10.0 years and from 11.0 to 14.0 years with the value of each partial correlation coefficient in each age group 56.8% and 64.1%. Adenoid-nasopharynx ratio >0.71 was founded in 75.0% of middle ear disorder with type B and C.

Conclusion: Adenoid-nasopharynx ratio >0.71 can be used as a predictor in determining middle

ear disorders. J Indon Med Assoc. 2013;63:21-6.

Keywords: ratio of adenoid-nasopharynx, adenoid hypertrophy, true lateral radiographic head,

tympanogram.

Pendahuluan

Adenoid adalah jaringan limfoepitelial berbentuk tringukugular yang terletak pada dinding posterior nasofaring dan merupakan salah satu jaringan yang membentuk cincin Waldeyer. Secara fisiologis, ukuran adenoid dapat berubah

sesuai dengan perkembangan usia. Menurut Havas, et al1

pada 2002 adenoid membesar secara cepat setelah lahir dan mencapai ukuran maksimum pada saat usia 3-7 tahun, kemudian menetap sampai usia 8-9 tahun. Setelah usia 14 tahun, adenoid secara bertahap mengalami involusi. Jika terjadi hipertrofi pada adenoid, maka nasofaring sebagai penghubung udara inspirasi dan sekresi sinonasal yang mengalir dari kavum nasi ke orofaring akan mengalami penyempitan. Hipertrofi adenoid, terutama pada kanak-kanak, muncul sebagai respon multiantigen virus, bakteri, alergen,

makanan, dan iritasi lingkungan.1,2

Diagnosis hipertrofi adenoid dapat ditegakan berda-sarkan tanda dan gejala klinis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang. Secara klinis dapat ditemukan tanda-tanda, seperti bernapas melalui mulut, sleep apnea,

fasies adenoid, mengorok dan gangguan telinga tengah. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dapat ditemukan tahanan gerakan palatum mole sewaktu fonasi, sementara peme-riksaan rinoskopi posterior pada anak biasanya sulit dilakukan dan tidak dapat menentukan ukuran adenoid. Oleh karena itu, diperlukan pemeriksaan radiologi dengan membuat foto polos true lateral. Pemeriksaan tersebut dianggap paling baik untuk mengetahui ukuran adenoid dan pengukuran

hubungan ukuran adenoid dengan sumbatan jalan napas.3,4

Menurut Austi, et al5salah satu efek hipertofi adenoid

adalah terbatasnya gerakan torus tubarius ke arah posterior sehingga pembukaan muara tuba auditiva tidak adekuat.

Tuohimaa, et al6 pada 1987 mengemukakan bahwa perubahan

patensi tuba auditiva oleh hipertofi adenoid disebabkan karena obstruksi mekanis pada lumen tuba dan penekanan pada pembuluh limfatik sekitar lumen tuba. Hal tersebut dapat berujung pada efusi di dalam telinga tengah. Akhirnya,

terbentuk tekanan negatif akibat absorpsi O2 dari udara yang

(3)

Diskusi kelainan telinga tengah akibat hipertrofi adenoid dapat dilakukan pemeriksaan timpanometri. Akan tetapi, pemeriksaan tersebut belum digunakan secara rutin, terutama pada pusat pelayanan kesehatan di daerah karena harga yang relatif mahal. Meski demikian, ukuran hipertrofi adenoid ditentukan melalui pemeriksaan radiografi kepala true lateral dengan mengukur besarnya adenoid dan nasofaring,

kemudian menghitung rasionya menurut teknik Fujioka9.

Sementara itu, kelainan telinga tengah ditentukan melalui pemeriksaan timpanometri yang dicatat dalam bentuk grafik

timpanogram.9 Terdapat tiga tipe timpanogram, yaitu tipe A

untuk kondisi telinga tengah yang normal, serta tipe B dan

tipe C untuk kondisi telinga tengah yang abnormal.10

Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan antara rasio adenoid-nasofaring (A/N) berdasarkan radiografi kepala

true lateral dengan tekanan telinga tengah. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menggambarkan bagaimana pengaruh usia dalam hubungan antara rasio A/N dengan gangguan telinga tengah dan menentukan apakah rasio A/N dapat dijadikan sebagai prediktor untuk menentukan gangguan telinga tengah.

Metode

Penelitian ini merupakan studi potong lintang analitis yang dilakukan di RS dr. Wahidin Sudirohusodo dan RS Mitra Husada Makassar pada Juli 2012 hingga November 2012. Pemilihan sampel penelitian dilakukan dengan metode

con-secutive sampling dan didapatkan 40 sampel penelitian dari populasi usia 5-14 tahun yang memenuhi syarat inklusi. Kriteria inklusi adalah pasien usia 5-14 tahun dengan berbagai tanda hipertropi adenoid: mendengkur, sleep apnea, mouth

breating, obstruksi nasi, rhinorrhea, tinitus, gangguan pendengaran, riwayat demam, dan odinofagi. Bagi setiap penderita yang menjadi sampel penelitian, dilakukan anam-nesis dan informed concent dari penderita (orang tua), ditanyakan mengenai keluhan subjektif penderita yang meliputi hidung tersumbat, suara sengau, bernapas melalui mulut, mendengkur, sering pilek, demam, nyeri tenggorok yang berulang-ulang, nafsu makan kurang, pendengaran berkurang, konsentrasi belajar kurang, dan rasa lesu pada siang hari.

Selanjutnya, pada pasien dilakukan pemeriksaan fisik berupa otoskopi, rinoskopi anterior, rinoskopi posterior, dan faringoskopi. Pemeriksaan otoskopi dilakukan untuk mengetahui keutuhan, warna, dan posisi membran timpani, serta untuk menaksir ukuran probe telinga yang akan digunakan dalam pemeriksaan timpanometri. Pemeriksaan rinoskopi anterior ditujukan untuk melihat fenomena palatum mole, ada/tidaknya sekret, ada/tidaknya deviasi septum, dan hipertrofi konka. Sementara itu, rinoskopi posterior dilakukan pada anak-anak yang kooperatif untuk melihat adanya pembesaran adenoid.

Parameter pemeriksaan radiografi kepala true lateral adalah posisi pasien erect (kepala ekstensi dengan garis dari

kraniomeatal membentuk sudut 15o terhadap garis

horizon-tal). Jarak tube cassette adalah sejauh 180 cm dan sentrasi sinar ±1 inci (2,5 cm) dibawah meatus akustikus ekstenus untuk memperlihatkan daerah nasofaring. Pajanan meng-gunakan 10 mAs dan 70 kV.

Untuk pemeriksaan timpanometri, petunjuk yang perlu disampaikan kepada pasien adalah mencegah gerakan kepala dan mulut seperti berbicara pada saat pemeriksaan, meng-instruksikan untuk tidak menelan, mengunyah, dan menguap sebelum pemeriksaan dimulai, serta memberitahukan tentang pemasangan probe ke dalam liang telinga yang mungkin menimbulkan rasa sedikit tidak nyaman. Seluruh data yang terkumpul disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Metode analisis data menggunakan uji korelasi Spearman.

Hasil

Distribusi sampel dilihat berdasarkan kategori rasio A/N hasil pengukuran pada radiografi kepala true lateral dan derajat gangguan telinga tengah. Dari Tabel 1, dapat dilihat bahwa pada 12,5% sampel tidak ditemukan pembesaran ade-noid dan 67,5% sampel mengalami pembesaran sedang tanpa obstruksi. Sebanyak 20% sampel mengalami pembesaran dengan obstruksi.

Selanjutnya, berdasarkan hasil timpanogram telinga kiri dan kanan dibuat grading gangguan telinga tengah yang berkaitan dengan hipertrofi adenoid. Jika sampel tidak memiliki kelainan timpanogram pada kedua telinga (tipe A/ tipe A), maka sampel dinyatakan sebagai gangguan telinga tengah derajat 1. Jika salah satu telinga memiliki timpanogram tipe C (tipe A/tipe C) maka dinyatakan sebagai gangguan telinga tengah derajat 2. Jika kedua telinga memiliki timpanogram tipe C (tipe C/tipe C), maka dinyatakan sebagai gangguan telinga derajat 3. Jika salah satu telinga memiliki timpanogram tipe B (tipe B/tipe C), maka dinyatakan sebagai derajat 4 dan jika keduanya tipe B (tipe B/tipe B) dinyatakan sebagai derajat 5. Pada penelitian ini, didapatkan kebanyakan sampel mengalami gangguan telinga tengah derajat 1 (37,5%). Hasil uji korelasi Spearman antara usia dengan rasio A/ N dan derajat gangguan telinga tengah dapat dilihat pada tabel 2. Pada penelitian ini, terdapat korelasi linear negatif antara usia dengan rasio A/N pada kelompok usia 5,0-10,0

Tabel 1. Karakteristik Subyek Penelitian

Sebaran Umum Jumlah Sampel

Rasio adenoid-nasofaring (A/N)

A/N = 0,00-0,52 (tidak ada pembesaran) 5 (12,5%) A/N = 0,53-0,71 (pembesaran sedang tanpa 27 (67,5%)

obstruksi)

A/N > 0,71 (pembesaran +obstruksi) 8 (20,0%) Gangguan telinga tengah

Tipe A/Tipe A (derajat 1) 15 (37,5%)

Tipe A/Tipe C (derajat 2) 4 (10,0%) Tipe C/Tipe C (derajat 3) 9 (22,5%) Tipe B/Tipe C (derajat 4) 2 (5,0%)

(4)

tahun, namun secara statistik tidak bermakna (p=0,418). Sebaliknya, pada kelompok usia 11,0-14,0 tahun terdapat korelasi linear positif antara usia dengan rasio A/N namun secara statistik tidak bermakna (p=0,210). Hal tersebut menunjukkan bahwa usia dapat menjadi faktor perancu hubungan antara rasio A/N dengan derajat gangguan telinga tengah. Namun terdapat korelasi linear negatif antara usia dengan gangguan telinga tengah yang secara statistik bermakna (p=0,037) pada kelompok usia 5,0-10,0 tahun. Pada kelompok usia 11,0-14,0 tahun, terdapat korelasi linear positif, makin tidak bermakna secara statistik (p=0,116).

Selain dilakukan uji korelasi bivariat, dilakukan juga uji korelasi parsial dengan pengendalian usia, mengingat bahwa usia dapat menjadi faktor perancu hubungan rasio adenoid-nasofaring dengan derajat gangguan telinga tengah. Tabel 3 menunjukkan bahwa rasio A/N berkorelasi linier positif dengan derajat gangguan telinga tengah pada kedua kelompok usia, baik pada kelompok usia 5,0-10,0 tahun maupun kelompok usia 11,0-14,0 tahun, yang secara statistik bermakna. Koefisien korelasi (r) parsial pada kelompok usia 5,0-10,0 tahun (r=0,568) dan kelompok usia 11,0-14,0 (r=0,641) menunjukkan bahwa semakin besar rasio adenoid-nasofaring, semakin tinggi derajat gangguan telinga tengah.

Untuk menilai apakah rasio A/N dapat digunakan sebagai prediktor adanya kelainan telinga tengah, dilakukan tabulasi silang antara klasifikasi rasio A/N dengan derajat gangguan telinga tengah (Tabel 4). Jika rasio A/N <0,52, maka dari 5 orang yang ditemukan, tidak ada satupun (0,0%) yang mengalami gangguan telinga tengah. Dari 27 orang yang mempunyai rasio tipe A/tipe N antara 0,53 – 0,71, ditemukan 19 orang (70,4%) mengalami gangguan telinga tengah (5 orang tipe B/tipe B, 2 orang tipe C/tipe B, 8 orang tipe C/tipe

Tabel 2. Korelasi Usia dengan Rasio Adenoid-Nasofaring dan derajat Gangguan Telinga Tengah

Variabel Kelompok usia

5,0-10,0 tahun 11,0-14,0 tahun (n=28) (n=12)

Rasio adenoid-nasofaring (A/N) r= -0,04 r= 0,257 (p=0,418) (p=0,210) Derajat kelainan telinga tengah r= -0,342 r=0,373

(p=0,037) (p=0,116)

Tabel 3. Korelasi Rasio Adenoid-Nasofaring dengan Derajat Gangguan Telinga Tengah

Usia 5,0-10,0 tahun Usia 11,0-14,0 tahun

(n=28) (n=12)

Korelasi Korelasi Korelasi Korelasi Bivariat Partial Bivariat Partial

(pengenda- (pengenda-lian usia) lian usia)

r=0,475 r=0,568 r=0,631 r=0,641

(p=0,005) (p=0,001) (p=0,014) (p=0,017)

C, 4 orang tipe A/tipe B) dan 8 orang (29,6%) tidak mengalami gangguan telinga tengah (tipe A/tipe A). Dari 8 orang dengan rasio tipe A/tipe N >0,71, didapatkan sebanyak 75% di-antaranya mengalami gangguan telinga tengah (5 orang tipe B/tipe B dan 1 orang tipe C/tipe C) dan hanya 2 orang (25,0%) yang tidak mengalami gangguan (tipeA/tipeA).

Diskusi

Pada penelitian ini, kasus hipertrofi sedang obstruksi menempati urutan teratas (n=27-67,5%) berdasarkan rasio A/

N untuk kriteria Fujioka. Grimer, et al11 pada 2005 menemukan

bahwa adenoid yang relatif besar tidak perlu sampai menutup ostium tuba Eustachius untuk menimbulkan obstruksi tuba. Saat menelan, gerakan konstriksi faring dan elevasi palatum dapat mendorong adenoid yang besar hingga menekan permukaan posteromedial torus tubarius dari ostium tuba Eustachius ke arah anterior. Akibatnya, dilatasi ostium tuba terhambat oleh obstruksi temporer torus. Pengukuran rasio A/N memberikan informasi tentang ukuran adenoid atau derajat sumbatannya terhadap nasofaring. Namun demikian, pada pemeriksaan rasio A/N tidak dapat menggambarkan adanya disfungsi tuba diakibatkan oleh pembesaran

ad-enoid.12

Pada penelitian ini, jenis gangguan telinga tengah terbanyak berupa denyut 1 (tipe A/tipe A; 37,5%) dan denyut 5 (tipe D/tipe B; 25%). Hasil tersebut berbeda dengan penelitian sebelumnya yang menemukan kasus tipe C sebagai yang terbanyak. Hal tersebut disebabkan karena kriteria pemilihan kasus hipertofi adenoid pada penelitian tersebut adalah pembesaran adenoid yang telah menyebabkan obstruksi nasi, sedangkan kriteria pemilihan kasus pada penelitian ini tidak hanya keluhan obstruksi nasi, tetapi juga berdasarkan gejala dan tanda hipertrofi adenoid, terutama yang menyebabkan kelainan di telinga tengah.

Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan adanya gangguan telinga tengah yang berkorelasi linear negatif pada kelompok usia 5,0-10,0 tahun yang secara statistik bermakna.

Penelitian yang dilakukan Tos14 pada 1990 menemukan

hipertrofi adenoid sebagai salah satu faktor penyebab

terja-dinya otitis media serosa dan Luntz15 pada 1990 menemukan

bahwa angka kejadian efusi telinga tengah secara bermakna ditemukan lebih tinggi pada anak-anak usia 5-10 tahun

Tabel 4. Nilai Prediksi Rasio Adenoid-Nasofaring terhadap Gangguan Telinga Tengah

Rasio adenoid- Gangguan Timpanogram Telinga Tengah nasofaring Kiri-Kanan

Tidak ada gangguan Ada gangguan A/A A/B C / C C / B B/B n=15 (n=4) (n=9) n=2 n=10

0,00-0,52 (n=5) 5 0 0 0 0

0,53-0,71(n=27) 8 4 8 2 5

(5)

dibandingkan penderita yang lebih dewasa.

Korelasi linear positif antara usia dengan derajat gangguan telinga tengah ditemukan pada kelompok usia 11-14 tahun, sedangkan korelasi linear negatif ditemukan pada kelompok usia 5-10 tahun. Hal tersebut menunjukkan bahwa derajat gangguan telinga tengah pada kelompok usia 5-10 tahun dapat berkurang seiring dengan bertambahnya usia penderita, sedangkan pada kelompok usia 11-14 tahun justru cenderung semakin bertambah seiring bertambahnya usia.

Hasil ini berbeda dengan hasil yang didapatkan Egeli, et al16

pada 2003 bahwa pada usia 6-9 tahun lebih banyak terjadi efusi telinga tengah dan timpanometrinya tipe C. Sama halnya

penelitian yang dilakukan oleh Prasetyo, et al17 pada 2009

yang menunjukkan bahwa kelainan telinga tengah pada usia >10 tahun lebih berat dibandingkan dengan usia <10 tahun. Dengan demikian usia dapat merancu hubungan antara rasio adenoid-nasofaring dengan derajat gangguan telinga tengah. Hipertrofi adenoid meningkat secara cepat setelah lahir dan mencapai ukuran maksimum pada usia 3-7 tahun, kemudian menetap sampai usia 8-9 tahun. Setelah usia 14

tahun, adenoid secara bertahap mengalami regresi.1,2

Hipertrofi adenoid yang terjadi pada usia 11-14 tahun cenderung diakibatkan oleh infeksi yang berulang pada saluran napas atas sehingga mempengaruhi struktur di sekitar nasofaring termasuk tuba Eustachius. Selain usia, faktor perancu lain adalah arah pembesaran adenoid. Jika pembe-saran ke arah lateral, maka dapat menyebabkan kelainan pada tuba Eustachius, sedangkan jika pembesaran adenoid ke arah anterior/koana, maka dapat menyebabkan obstruksi nasi.

Pada penelitian ini didapatkan pula hubungan antara rasio A/N dengan derajat gangguan telinga tengah. Semakin besar rasio A/N, semakin tinggi derajat gangguan telinga tengah. Rasio A/N >0,71 terdapat pada 75% sampel yang mengalami gangguan telinga tengah dengan tipe B dan C. Dapat disimpulkan, rasio A/N >0,71 dapat menyebabkan terjadinya gangguan telinga tengah. Penelitian sebelumnya

yang dilakukan oleh Egeli,et al16, pada 2003 pada 64 anak

usia 6-9 tahun menemukan bahwa efusi telinga tengah dan timpanometri tipe C terjadi akibat hipertrofi adenoid yang menyebabkan disfungsi tuba Eustachius dengan rasio A/N lebih dari 0,71. Tekanan telinga tengah ditemukan lebih rendah pada anak dengan rasio A/N lebih dari 0,71 dibandingkan anak dengan rasio A/N kurang 0,71 yang secara statistik

bermakna.Hal yang sama ditemukan oleh Prasetyo, et al17

pada 2009. Dari 20 orang anak dengan hipertofi adenoid, terdapat 14 anak (70%) memiliki timpanogram tipe B atau tipe C, sedangkan 6 anak (30%) memiliki tipe A. Penemuan yang

berbeda didapatkan Liu, et al.18 pada 2004, yaitu tidak

ditemukannya hubungan yang bermakna antara fungsi tuba Eustachius dengan rasio A/N. Namun demikian, pada penelitian ini didapatkan sampel dengan rasio A/N >0,71 yang tidak mengalami gangguan telinga tengah. Hal tersebut berhubungan dengan pembesaran adenoid terjadi ke arah anterior atau koana sehingga gejala yang paling menonjol

adalah obstruksi nasi dan rhinorrhea.

Kesimpulan

Semakin tinggi rasio A/N, semakin tinggi derajat gangguan telinga tengah dengan koefisien korelasi r=0,568 dan r=0,641. Usia dapat menjadi faktor perancu hubungan antara rasio A/N dengan derajat gangguan telinga tengah. Rasio A/N >0,71 dapat dijadikan sebagai prediktor dalam menentukan gangguan telinga tengah. Oleh karena itu, pada anak yang menderita hipertrofi adenoid, disarankan untuk dilakukan pengukuran rasio A/N berdasarkan radiografi kepala true lateral sebagai upaya deteksi dini adanya ganguan telinga tengah, terutama pada pusat pelayanan kesehatan yang belum memilki timpanometri.

Ucapan Terima Kasih

1. Dr. dr. Ilham Patellongi, MS atas bimbingan statistiknya

dalam penelitian.

2. Prof. Dr. dr. Bachtiar Murtala, SpRad(K) atas

bimbingan-nya dalam pemeriksaan radiologi.

Daftar Pustaka

1. Havas T, Lowinger D. Obstructive adenoid tissue: an indication for powered-shaver adenoidectomy. Arch Otolaringol Head Neck Surg. 2002:128(7):789-91.

2. Soepardi EA, Iskandar N. Hiperplasia adenoid. In: Soepardi EA, Iskandar NH, editors. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok-kepala leher. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universi-tas Indonesia; 2007. p. 224-5.

3. Ballenger JJ. Penyakit hidung, tenggorok, kepala dan leher jilid satu. 13th ed. Jakarta: Binarupa Aksara; 1994. p. 347-9.

4. John H, David C. Tonsils and adenoids. In: Scott-Brown WG, Kerr AG. Paediatric otolaryngology (Scott Brown’s otolaryngol-ogy). 6th ed. Oxford: Butterworth-Heinemann. p.1-15.

5. Austin DF. Adenoidectomy for secretory otitis media. Arch Otolaringol Head Neck Surg. 1989;115:936-9.

6. Palva T, Ramsay H. Aeration of Prussak’s space is independent of the supradiaphragmatic epitympanic compartments. Otol Neurol. 2007;28(2):264-8.

7. Sedjawidada R. Historia naturalis of otitis media. ORL Indonesiana. 1985;16:135-44.

8. Mutsushisa F, Lionel Y, Bertram G. Radiographic evaluation of adenoidal size in children: adenoidal-nasopharyngeal ratio. Am J Roentgenol. 1979;133:401-4.

9. Jerger J. Clinical experience with impedance audiometry. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 1970:92:311-24.

10. Riedel CL, Wiley TL, Block MG. Tympanometric measures of eustachian tube function. J Speech Lang Hear Res. 1987; 30: 207-14.

11. Grimer JF, Poe DS. Update on Eustachius tube dysfunction and the patulous eustachius tube. Curr Opin Otolaryngol Head Neck Surg. 2005;13:277-82.

12. Mlynarek A, Tewfik MA, Hagr A. Lateral neck radiography ver-sus direct video rhinoscopy in assessing adenoid size. J Laryngol Otol. 2004;33(6):360-5.

13. Alhady RA, Sharnoubi ME. Tympanometric findings in patients with adenoid hyperplasia, chronic sinusitis, and tonsillitis. J Laryngol Otol. 1984;98:671-76.

14. Tos, M. Causes of smeeting otitis media. Danish approach to the treatment of secretory otitis media. Ann Oto Rhinol Laryngol. 1990;99(146):6-7.

(6)

atelectatic ear. Ann Otol Rhinol Laryngol. 1990; 99:201-4. 16. Egeli E, Oghan F, Ozturk O, Harputluoghu U, Yasici B. Measuring

the correlation between adenoidal-nasopharyngeal rasio (AN rasio) and timpanogram in children. Int J Pediatr Otorhino-laryngol. 2005;69:229-33.

17. Prasetyo A. Hubungan antara rasio adenoid-nasofaring dengan timpanogram pada anak dengan adenotonilitis kronik [Thesis].

Semarang; Universitas Diponegoro; 2009.

18. Liu Y, Sun Z, Li Z, Jiang W. Relationship between adenoids hypertrophy and secretory otitis media. Journal of Clinical Otorhi-nolaryngology. 2004;18(1):19-20.

Gambar

Tabel 1. Karakteristik Subyek Penelitian
Tabel 4. Nilai  Prediksi  Rasio  Adenoid-Nasofaring  terhadap Gangguan Telinga Tengah

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh pemberian kulit umbi ubi kayu (Manihot utilissima pohl) yang difermentasi dengan kapang Penicillium sp dalam ransum terhadap performa broiler.. Fakultas

Perusahaan tersebut memiliki sebuah masalah yaitu jumlah permintaan yang dihasilkan lebih banyak dari jumlah produksi yang ada sehingga menyebabkan kerupuk rambak tersebut

Melihat perkembangan dan persaingan yang sudah semakin ketat dan di lain pihak kredit bermasalah tetap muncul, pemanfaatan informasi bank jelas menjadi semakin

Jadi metode dakwah merupakan sebuah jalan atau cara yang digunakan atau dilakukan dalam melaksanakan aktifitas mengajak manusia kepada jalan yang lurus, yang mana

Pemerintah Daerah Kabupaten Minahasa Utara sebagai Kabupaten harus dalam upayakan meningkatkan struktur perekonomian Produk Domestik Regional bruto (PDRB) atas

.Di samping itu, pengaruh media massa seperti akhbar dan majalah telah menyemarakkan semangat nasionalisme di Indonesia.Akhbar dan majalah berupaya menyebarkan idea-idea nasionalis

Baik itu yang terkait dengan akidah (ideologi), akhlak, perilaku, politik, produksi dan sebagainya, sedangkan yang terkait dengan persoalan kaidah, sesunguhnya