• Tidak ada hasil yang ditemukan

Written by PTUN SURABAYA Tuesday, 26 February :00 - Last Updated Tuesday, 26 February :17

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Written by PTUN SURABAYA Tuesday, 26 February :00 - Last Updated Tuesday, 26 February :17"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

CONTOH-CONTOH KASUS DI PTUN

Oleh : TC Indra Permana, SH.MH

Pada tiap-tiap Pengadilan Tata Usaha Negara tidaklah sama jenis dan jumlah perkaranya. Khususnya pada daerah-daerah tertentu memiliki ciri khasnya masing-masing yang

mengharuskan Hakim untuk memahami hukum yang hidup di masyarakat. Di Propinsi

Sumatera Barat ada Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang dikenal dengan Wali Nagari serta Kerapatan Adat Nagari. Sedangkan di Propinsi DKI Jakarta karena sudah tidak ada lagi jabatan Kepala Desa, maka tidak ada lagi perkara mengenai Pemilihan Kepala Desa.

Disamping itu terhadap Pejabat pusat khususnya yang setingkat dengan Direktur Jenderal atau Menteri karena hanya berkedudukan di Jakarta maka semua keputusannya menjadi

kewenangan PTUN Jakarta berdasarkan Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Peratun. Termasuk surat keputusan yang diterbitkan oleh Presiden seperti permasalahan Pergantian Antar Waktu anggota DPR RI hanya mungkin diuji di PTUN Jakarta. Oleh karenanya PTUN Jakarta

merupakan PTUN yang paling sibuk karena paling banyak perkaranya baik dari jumlah maupun dari segi kompleksitas perkaranya. Berikut ini adalah contoh-contoh kasus yang diperiksa di PTUN:

a.    Masalah Pertanahan, Jika yang lebih dipersoalkan oleh Penggugat adalah mengenai kepemilikan atas suatu bidang tanah, maka hal tersebut bukan menjadi kewenangan PTUN untuk memeriksa memutus dan menyelesaikannya melainkan kewenangan peradilan umum. Namun apabila yang dipersoalkan oleh Penggugat adalah menyangkut kewenangan, substansi dan prosedur penerbitan sertipikat tanah atau pencatatan dalam buku C Desa, maka sengketa tersebut menjadi kewenangan PTUN untuk memeriksa dan mengadilinya. Sedangkan apabila yang dipersoalkan adalah kedua-duanya, maka persoalan kepemilikan lebih hakiki

dibandingkan dengan kewenangan, substansi dan prosedur penerbitan sertipikat tanah,

sehingga oleh karenanya PTUN harus menyatakan secara absolut tidak berwenang memeriksa perkaranya dan gugatan dinyatakan tidak diterima. Masalah dibidang pertanahan antara lain : masalah pengukuran dan penetapan batas-batas bidang tanah berdasarkan Pasal 17 dan 18 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, Sertipikat ganda berdasarkan Pasal 12, 29 dan Pasal 30 Peraturan Pemerintah Nomor. 24 Tahun 1997, pemindahan hak yang mengharuskan penggunaan akta autentik berdasarkan Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor. 24 Tahun 1997, pembuatan akta jual beli atau akta hibah yang harus dihadiri oleh para pihak dan 2 orang saksi berdasarkan Pasal 38  Peraturan Pemerintah Nomor. 24 Tahun 1997, Penolakan untuk

pendaftaran peralihan atau pembebanan hak berdasarkan Pasal 45  Peraturan Pemerintah Nomor. 24 Tahun 1997. Masalah peningkatan Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik, masalah perpanjangan Hak Guna Usaha, masalah sertipikat wakaf dan masalah hak-hak atas tanah yang berasal dari hak-hak barat (misalnya masalah recht van eigendom verponding)

berdasarkan Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1979 dan lain-lain.  

b.    Masalah Perizinan, bisa karena penerbitan izin atau sebaliknya penolakan penerbitan izin, antara lain : Izin Mendirikan Bangunan, khususnya ruko, hotel dan tower telekomunikasi, Izin Gangguan (HO) misalnya untuk mendirikan peternakan ayam, Izin Penggunaan Bangunan, Izin Perubahan Fungsi Bangunan, Izin Kuasa Pertambangan, Izin Galian, Izin Pembangunan

(2)

Jembatan, Izin Trayek, Izin perceraian atau Izin menikah untuk yang kedua bagi Pegawai Negeri Sipil dan lain-lain.

Masalah perizinan juga dapat terjadi karena pencabutan keputusan mengenai perizinan yang telah diberikan yang pada umumnya dikarenakan pelanggaran atas ketentuan-ketentuan dalam peraturan dasar perizinan misalnya mengubah dan menambah bangunan tanpa izin kembali sehingga dalam keputusan tersebut juga disertai perintah untuk melakukan pembongkaran. Surat keputusan Bupati/Walikota mengenai perintah pembongkaran bangunan juga bisa terjadi karena Penggugat telah mengajukan permohonan IMB sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, akan tetapi tidak dijawab oleh Tergugat, sehingga

Penggugat mengira permohonan tersebut dikabulkan. Dalam contoh tersebut, yang dilakukan oleh Penggugat bukannya menggugat keputusan fiktif negatif tersebut, justru terus mendirikan bangunan sehingga bangunan yang telah selesai dibangun tersebut diperintahkan untuk dibongkar berdasarkan surat perintah bongkar karena dianggap tidak memiliki izin.

c.    Masalah Kepegawaian, antara lain : pemberhentian PNS berdasarkan Peraturan

Pemerintah Nomor. 32 Tahun 1979, hukuman disiplin PNS berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor. 30 Tahun 1980 (dahulu), sedangkan untuk saat ini masalah hukuman disiplin PNS akan mendasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 yang telah mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 dan Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979, mutasi PNS yang dilatarbelakangi

ketidakharmonisan hubungan antara atasan-bawahan, pengisian jabatan struktural,

pengangkatan sekretaris desa menjadi PNS , penolakan terhadap penyandang cacat untuk mengikuti tes CPNS , masalah poligami PNS atau perceraian PNS dan Pemberhentian PNS karena menjadi anggota/pengurus partai politik.

Untuk masalah pengangkatan sekretaris desa menjadi PNS berdasarkan Peraturan

Pemerintah Nomor 45 Tahun 2007, persoalan yang diperiksa di PTUN pada umumnya meliputi 2 (dua) hal yaitu : pertama, sekretaris desa yang memenuhi syarat untuk diangkat menjadi PNS tetapi tidak mau menjadi PNS sehingga menggugat SK PNS nya dengan perhitungan secara matematis jika ia tetap sebagai sekretaris desa non PNS maka usia pensiunnya akan lebih lama dan penghasilannya dari bengkok lebih besar dibandingkan dengan PNS golongan II/a. Alasan kedua yaitu sekretaris desa yang tidak memenuhi syarat untuk menjadi PNS, akan tetapi tidak memperoleh hak berupa tunjangan kompensasi dari Bupati/Walikota yang pada umumnya karena ketiadaan dana didalam APBD. Hal tersebut diakibatkan adanya ketentuan didalam Pasal 10 ayat (2) dan (3) PP Nomor 45 Tahun 2007 yang pada pokoknya menyebutkan Sekretaris Desa yang tidak diangkat menjadi PNS diberikan tunjangan kompensasi yang

dihitung berdasarkan masa kerja selama yang bersangkutan menjadi sekeretaris desa sebagai berikut :

a.    masa kerja 1 (satu) sampai dengan 5 (lima) tahun ditetapkan sebesar Rp. 5.000.000,-(lima juta rupiah);

b.    masa kerja lebih dari 5 (lima) tahun dihitung sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) per tahun dengan ketentuan secara komulatif paling tinggi sebesar Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah);

Sedangkan untuk masalah Pemberhentian PNS karena menjadi anggota/pengurus partai politik, berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2004 tentang larangan PNS menjadi anggota Partai Politik, disebutkan bahwa bagi PNS yang menjadi anggota Partai Politik diberhentikan dari PNS. Apabila PNS tersebut tidak mengundurkan diri

(3)

atau mengundurkan diri setelah menjadi anggota/pengurus parpol maka diberhentikan tidak dengan hormat dan tidak mendapat pensiun. Namun jika telah mengundurkan diri sebelum menjadi anggota parpol, maka diberhentikan dengan hormat dan berhak mendapat pensiun jika usia ≥ 50 Tahun dan masa kerja ≥ 20 Tahun.

Terhadap PNS yang diberhentikan dengan hormat atau tidak dengan hormat tersebut tetap diberikan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai berikut :

-    Bagi PNS yang diberhentikan dengan hormat dengan hak pensiun, berhak menerima pensiun, tunjangan hari tua dan tabungan perumahan dari Bapertarum.

-    Bagi PNS yang diberhentikan dengan hormat tanpa hak pensiun dan PNS yang

diberhentikan tidak dengan hormat berhak menerima pengembalian nilai tunai iuran pensiun, tunjangan hari tua dan tabungan perumahan dari Bapertarum.

Dahulu, terhadap masalah pemberhentian PNS berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil sering terjadi salah persepsi oleh Pegawai yang bersangkutan ataupun kuasanya dengan mengira pemberhentian dengan

hormat tidak atas permintaan sendiri dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil sebagai bentuk jenis hukuman disiplin berat berdasarkan Pasal 6 ayat (4) huruf c dan d Peraturan Pemerintah Nomor. 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil sehingga ada upaya banding administrasi yang berpuncak pada Badan Pertimbangan Kepegawaian (BAPEK).

Sedangkan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil baik dengan hormat maupun tidak dengan hormat yang didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 tidak ada upaya banding administrasi sehingga upaya hukum yang dapat digunakan adalah langsung

mengajukan gugatan di PTUN.

Hal tersebut dapat diketahui dari kewenangan BAPEK sebagaimana disebutkan didalam  Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 67 Tahun 1980 tentang Badan Pertimbangan

Kepegawaian yaitu :

a)    Memeriksa dan mengambil keputusan mengenai keberatan yang diajukan oleh Pegawai Negeri Sipil yang berpangkat Pembina, golongan ruang IV/a ke bawah tentang hukuman disiplin yang dijatuhkan kepadanya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980, sepanjang mengenai hukuman disiplin pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.

b)    Memberikan pertimbangan kepada Presiden mengenai usul penjatuhan hukuman disiplin pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil bagi Pegawai Negeri Sipil yang berpangkat Pembina Tingkat I, golongan ruang IV/b keatas serta pembebasan dari jabatan bagi Pejabat Eselon I, yang diajukan oleh Menteri, Jaksa Agung, Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negera dan Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen.

Saat ini dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS dan PP Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Pertimbangan kepegawaian, maka tugas BAPEK saat ini adalah sebagaimana Pasal 3 PP Nomor 24 Tahun 2011 yaitu :

a.    memberikan pertimbangan kepada Presiden atas usul penjatuhan hukuman disiplin berupa pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah, pembebasan dari jabatan, pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri, dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS, bagi PNS yang menduduki jabatan struktural eselon I dan pejabat lain yang pengangkatan dan pemberhentiannya oleh Presiden;

(4)

b.    memeriksa dan mengambil keputusan atas banding administratif dari PNS yang dijatuhi hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS oleh pejabat pembina kepegawaian dan/atau gubernur selaku wakil pemerintah.

d.    Masalah Keputusan BUMN dan BUMD antara lain pemberhentian pegawai  Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), Bank Perkreditan Rakyat Bank Pasar, dan Bank Kredit Kecamatan (BKK) yang aturan dasarnya diatur didalam hukum publik. Pada umumnya pemberhentian pegawai BUMD dan BUMN dikarenakan melakukan penggelapan, penyalahgunaan keuangan, atau penyalahgunaan kewenangan seperti melakukan praktek bank didalam bank.

Dahulu PTUN menyatakan dirinya berwenang memeriksa dan mengadili sengketa

kepegawaian BUMN atau BUMD dengan alasan ada yang membedakan antara sengketa TUN dalam bidang kepegawaian BUMN dan BUMD dengan sengketa ketenagakerjaan yang menjadi wewenang PHI (Pengadilan Hubungan Industrial) antara lain hukum yang melingkupi hubungan antara Penggugat dengan Tergugat apakah hukum privat dengan kontrak ataukah hukum publik dengan surat keputusan pengangkatan pegawai, serta sumber kewenangan Tergugat untuk memberhentikan Penggugat diperoleh dari hukum publik ataukah hukum privat.  

Apabila hukum yang melingkupi hubungan antara Penggugat dengan Tergugat adalah hukum privat dengan kontrak dan sumber kewenangan Tergugat untuk memberhentikan Penggugat diperoleh dari hukum privat, maka sengketa tersebut menjadi kewenangan PHI untuk

memeriksa dan mengadilinya, sedangkan apabila hukum yang melingkupi hubungan antara Penggugat dengan Tergugat adalah hukum publik dengan surat keputusan dan sumber kewenangan Tergugat untuk memberhentikan Penggugat berasal dari hukum publik, maka sengketa tersebut menjadi kewenangan PTUN untuk memeriksa dan mengadilinya;

Namun saat ini telah terjadi pergeseran pemikiran dari beberapa Hakim PTUN, yang berpendapat pada intinya sengketa kepegawaian BUMN dan BUMD termasuk kedalam sengketa ketenagakerjaan, sehingga menjadi wewenang Pengadilan Hubungan Industrial. Akan tetapi apabila mengacu pada putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 695 K/PDT/2010 tertanggal 13 September 2011 diperoleh kaedah hukum yang menyebutkan “Bahwa dalam kasus aquo terdapat sengketa tata usaha negara dimana Perusahaan Daerah Pasar Surya (Pemerintah) telah menetapkan surat pembatalan Hak Pakai Stand No. 511.2/312/436.2/2004 tertanggal 25 Maret 2004 kepada Penggugat sebab Penggugat telah menelantarkan stand yang telah disewanya, karena bertentangan dengan surat perjanjian pemakaian tempat berjualan di Pasar Pasal 8. Bahwa surat pembatalan Hak Pakai Stand tersebut adalah produk administrasi yang masuk ranah tata usaha negara, karenanya Pangadilan Negeri tidak berwenang

menyelesaikan kasus aquo”.

Oleh karenanya terhadap keputusan-keputusan BUMN atau BUMD haruslah dipilah-pilah, termasuk kewenangan absolut siapa dapatlah ditentukan dengan mengacu pada uraian tersebut diatas.

e.    Masalah Pemberhentian Kepala Desa dan Perangkat Desa (berdasarkan Peraturan Pemerintah tentang Desa dan Peraturan Daerah) misalnya dikarenakan melakukan suatu perbuatan tercela yang dilarang bagi Kepala Desa dan Perangkat Desa. Kecenderungannya jumlah perkara yang berkaitan dengan pemberhentian kepala desa dan perangkat desa semakin meningkat khususnya dikarenakan melakukan perselingkuhan atau perzinahan dan perbuatan asusila lainnya serta melakukan tindak pidana dalam jabatan (korupsi) yang dilarang

(5)

bagi kepala desa dan perangkat desa berdasarkan peraturan daerah.

Perkara yang menyangkut masalah pemberhentian Kepala Desa juga disebabkan adanya perubahan ketentuan didalam Undang-Undang tentang pemerintahan daerah yang semula mengatur masa jabatan Kepala Desa selama 10 (sepuluh) tahun atau 8 (delapan) tahun, saat ini dengan berlakunya Undang-Undang Nomor. 32 Tahun 2004 maka masa jabatan Kepala Desa hanya 6 Tahun ;

Masalah usia pensiun bagi Perangkat Desa yang bukan PNS juga sering menjadi gugatan di PTUN dikarenakan antara ketentuan mengenai usia pensiun yang ada didalam Peraturan Daerah dengan ketentuan didalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang

Pemerintahan Desa tidak sejalan. Begitu pula di beberapa daerah ternyata mengatur usia pensiun perangkat desa yang berbeda satu dengan yang lain. Ada satu daerah yang mengatur usia pensiun perangkat desa hingga berusia 60 tahun, namun ada pula daerah lain yang mengatur usia pensiun perangkat desa hingga berusia 65 tahun bahkan ada yang mengatur masa jabatan perangkat desa selama 20 tahun.

Hal tersebut dimungkinkan karena peraturan perundang-undangan khususnya didalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maupun Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa tidak mengatur secara jelas dan tegas berapa usia pensiun atau masa jabatan perangkat desa, sehingga terjadilah disparitas usia pensiun dan masa jabatan di beberapa daerah seperti yang terjadi saat ini.

Untuk menghindari adanya persoalan-persoalan yang berkaitan dengan usia pensiun atau masa jabatan perangkat desa sebagaimana diuraikan diatas, maka sebaiknya usia pensiun atau masa jabatan perangkat desa juga diatur didalam peraturan perundang-undangan yang bersifat nasional sebagaimana masa jabatan kepala desa.

f.    Masalah Pemberhentian Tidak Dengan Hormat Anggota Polri dikarenakan melakukan tindak pidana, melakukan pelanggaran peraturan disiplin, dan pelanggaran kode etik.

Contoh-contoh kasusnya karena meninggalkan tugas atau perbuatan lain yang terlarang bagi anggota Polri berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku misalnya menjadi anggota atau pengurus partai politik, menjadi makelar kasus, menjadi pelindung tempat perjudian, menjadi pengguna narkoba dan lain-lain.

 Dengan adanya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka anggota Polri berubah status menjadi Pegawai Negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia , sehingga oleh karenanya apabila terdapat sengketa tata usaha negara terhadap anggota Polri menjadi kewenangan PTUN untuk memeriksa dan mengadili

perkaranya.

Hukum materil mengenai pemberhentian anggota Polri antara lain diatur didalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia serta peraturan-peraturan lain yang diterbitkan oleh Kapolri.

g.    Masalah Penetapan Pemenang Lelang (Tender) dan Masalah Pembatalan Penetapan Pemenang Lelang (Tender) dahulu pengadaan barang dan jasa pemerintah diatur berdasarkan Keputusan Presiden Nomor. 80 Tahun 2003 beserta aturan-aturan perubahannya. Saat ini diatur didalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Perkara yang berkaitan dengan pembatalan penetapan pemenang lelang (tender)

(6)

pada umumnya tidak menimbulkan perbedaan pendapat yang menjadi kewenangan PTUN untuk memeriksa dan mengadilinya pada tingkat pertama, karena tidak adanya upaya keberatan dan banding administrasi.

Sedangkan perkara yang berkaitan dengan penetapan pemenang lelang, di beberapa PTUN, putusannya tidak seragam dalam arti ada yang gugatan dinyatakan tidak diterima (di N.O) menyangkut kewenangan PTUN dan ada pula yang diperiksa pokok perkaranya. Bahkan ada beberapa PTUN yang menyatakan tidak lolos dismisal proses.

Dalam hal tersebut diatas, ada Hakim PTUN yang berpendapat bahwa perkara mengenai penetapan pemenang lelang berdasarkan Keputusan Presiden Nomor. 80 Tahun 2003 maupun Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 merupakan sengketa perdata karena akan berujung pada suatu kontrak antara pemerintah dengan rekanan pemenang lelang sehingga termasuk yang dikecualikan untuk digugat di PTUN berdasarkan Pasal 2 huruf a Undang-Undang Peratun.

Untuk pendapat yang terakhir ini penulis tidak sependapat karena penetapan pemenang lelang selain memenuhi ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Peratun, juga telah diterima didalam Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI, misalnya Putusan Nomor. 425K/TUN/2002 Tanggal 11 Agustus 2003 yang dalam kaidah hukumnya menyatakan dua perusahaan yang berada dalam satu grup usaha tidak dibenarkan keduanya ikut sebagai peserta tender atas satu paket pelelangan pekerjaan .

Dengan dibatalkannya keputusan pemenang tender oleh Mahkamah Agung, maka keputusan penetapan pemenang tender merupakan keputusan tata usaha negara yang dapat menjadi obyek di Peradilan Tata Usaha Negara.

Yang menjadi persoalan selanjutnya adalah dalam hal Penggugat telah menempuh upaya sanggahan dan sanggahan banding namun tetap tidak puas dengan keputusan sanggahan banding, maka menjadi kewenangan siapa sengketa yang akan diajukan, apakah PTUN ataukah PT TUN ? Dalam hal yang demikian, dengan mengacu pada ketentuan Pasal 48 jo Pasal 51 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, maka kiranya Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) lah yang berwenang untuk memeriksa, mengadili dan menyelesaikannya pada tingkat pertama, karena sanggahan banding merupakan bentuk banding administrasi yang merupakan quasi peradilan sehingga dianggap dipersamakan dengan peradilan tingkat pertama.

h.    Masalah PAW (Pergantian Antar Waktu) atau dalam bahasa hukumnya sebagaimana diatur didalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) adalah Peresmian Pemberhentian dan Peresmian Pengangkatan Antar Waktu Anggota DPR/DPRD. Gugatan mengenai PAW di PTUN tidak ditujukan kepada Pejabat/Fungsionaris partai politik karena mereka bukanlah pejabat tata usaha negara, akan tetapi ditujukan kepada Gubernur/Menteri Dalam Negeri/Presiden atas Surat Keputusan tentang Peresmian Pemberhentian dan Peresmian Pengangkatan Pergantian Antar Waktu Anggota DPR/DPRD yang diterbitkannya.

Di beberapa PTUN ada yang menyatakan gugatan mengenai PAW tidak lolos dismisal proses karena nyata-nyata bukan kewenangan PTUN untuk memeriksa dan mengadilinya, ada yang menyatakan gugatan lolos dismisal akan tetapi kemudian putusannya menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima (N.O) karena keputusannya bukan dibidang pemerintahan tetapi dibidang politik dan ada pula yang gugatan Penggugat dikabulkan dalam arti pokok

(7)

perkaranya diperiksa sehingga bisa dikatakan tidak seragam putusan-putusannya.

Di PTUN Semarang, dalam perkara Nomor. 09/G/2008/PTUN.SMG  mengenai Pergantian Antar Waktu, gugatan telah dinyatakan lolos dismissal dan bahkan dikeluarkan Penetapan Penangguhan oleh Majelis Hakim dan akhirnya didalam putusan akhir tanggal 11 Juni 2008 gugatan tersebut dikabulkan untuk seluruhnya. Putusan tersebut telah dikuatkan pula oleh Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya Nomor. 106/B/2008/PT.TUN SBY tanggal 7 Januari 2009 akan tetapi saat tulisan ini disusun masih dalam proses kasasi.

Memang benar apabila masalah PAW berawal dari usulan partai politik kepada pejabat yang berwenang untuk menerbitkan SK PAW, namun sepanjang yang digugat adalah Surat

Keputusan tentang Peresmian Pemberhentian dan Peresmian Pengangkatan Pergantian Antar Waktu Anggota DPR/DPRD, maka telah memenuhi ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 dan tidak termasuk keputusan yang dikecualikan untuk digugat di PTUN berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Peratun, sehingga oleh karenanya menjadi kewenangan absolut PTUN untuk memeriksa dan mengadilinya tanpa harus dilihat apakah keputusan

tersebut “berbau” (berada dalam bidang) politik atau tidak.

Pemberhentian anggota DPR/DPRD pada umumnya dikarenakan melakukan tindak pidana baik pidana umum atau pidana yang terkait dengan jabatan, atau karena diberhentikan sebagai anggota/pengurus partai politik oleh pimpinan partai yang bersangkutan. Untuk pemberhentian sebagai anggota/pengurus partai politik oleh pimpinan partai politik yang bersangkutan, dalam beberapa yurisprudensi putusan MA telah ditetapkan bahwa hal tersebut merupakan urusan internal partai sehingga sebelum mengajukan gugatan di peradilan umum, harus ditempuh terlebih dahulu upaya penyelesaian oleh internal partai yang bersangkutan. Artinya, Peradilan Umum baru berwenang untuk memeriksa dan mengadilinya, apabila pemberhentian sebagai anggota parpol telah ditempuh upaya penyelesaian internal melalui parpol yang bersangkutan. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik didalam Pasal 32 dan Pasal 33 mengatur sebagai berikut : Pasal 32

1)    Perselisihan Partai Politik diselesaikan oleh internal Partai Politik sebagaimana diatur di dalam AD dan ART.

2)    Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suatu mahkamah Partai Politik atau sebutan lain yang dibentuk oleh Partai Politik.

3)    Susunan mahkamah Partai Politik atau sebutan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Pimpinan Partai Politik kepada Kementerian.

4)    Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diselesaikan paling lambat 60 (enam puluh) hari.

5)    Putusan mahkamah Partai Politik atau sebutan lain bersifat final dan mengikat secara internal dalam hal perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan.

Pasal 33

1)    Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan negeri.

2)    (2) Putusan pengadilan negeri adalah putusan tingkat pertama dan terakhir, dan hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.

3)    Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan oleh pengadilan negeri paling lama 60 (enam puluh) hari sejak gugatan perkara terdaftar di kepaniteraan pengadilan negeri dan oleh Mahkamah Agung paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak memori kasasi terdaftar di

(8)

kepaniteraan Mahkamah Agung.

Dengan demikian, apabila putusan pemberhentian sebagai anggota/pengurus parpol telah berkekuatan hukum tetap, maka barulah dapat diusulkan untuk pemberhentian sebagai Anggota Dewan yang diawali dengan usulan dari pimpinan partai yang bersangkutan.

Sedangkan bagi Anggota Dewan yang melakukan tindak pidana, maka dari segi prosedur, sesusungguhnya tahapan-tahapan sebelum sampai pada peresmian pemberhentian anggota DPRD, maka berdasarkan Pasal 110 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tentang Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diawali dengan pemberhentian sementara sejak Anggota Dewan menjadi Terdakwa dalam hal yang bersangkutan melakukan tindak pidana. Namun prosedur pemberhentian sementara juga sering kali tidak ditempuh. Kasus konkritnya

tergambar dalam sengketa Tata Usaha Negara Nomor 76/G/2012/PTUN.Sby antara Masykuri Ismail sebagai Penggugat melawan Gubernur Jawa Timur sebagai Tergugat. Dalam kasus tersebut Penggugat tidak pernah diberhentikan sementara sejak menjadi Terdakwa karena tidak adanya usulan dari pimpinan partai politik yang bersangkutan hingga kepada Gubernur. Selanjutnya berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 719 K/PID.SUS/2010 tanggal 9 Juli 2010 sebagaimana juga diakui oleh Penggugat didalam gugatannya telah dinyatakan

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut dan dijatuhi pidana penjara selama satu tahun serta dihukum untuk membayar uang pengganti sebesar Rp. 76.140.000,- (tujuh puluh enam juta seratus empat puluh ribu rupiah) dengan ketentuan apabila dalam waktu satu bulan setelah keputusan Hakim mempunyai kekuatan hukum tetap Terdakwa (in casu Penggugat) tidak membayar uang pengganti, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut dan dalam hal Terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka diganti dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan

Prosedur selanjutnya adalah sebagaimana diatur didalam Pasal 103 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tentang Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yaitu : Pemberhentian anggota DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (1) huruf a dan huruf b serta ayat (2) huruf c, huruf e, huruf h dan huruf i diusulkan oleh pimpinan partai politik kepada pimpinan DPRD Propinsi dengan tembusan kepada Menteri Dalam Negeri bagi anggota DPRD Propinsi dan kepada pimpinan DPRD Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada Gubernur bagi

anggota DPRD kabupaten/kota;

Prosedur yang berikutnya adalah sebagaimana Pasal 384 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai berikut :

(1)    Pemberhentian anggota DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 383 ayat (1) huruf a dan b serta pada ayat 2 huruf c, huruf e, huruf h, dan huruf i diusulkan oleh pimpinan DPRD Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada Gubernur;

(2)    Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya usul pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPRD Kabupaten/Kota menyampaikan usul pemberhentian anggota DPRD Kabupaten/Kota kepada Gubernur melalui Bupati/Walikota untuk memperoleh

peresmian pemberhentian;

(3)    Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya usul pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bupati/Walikota menyampaikan usul tersebut kepada Gubernur;

(9)

14 (empat belas) hari sejak diterimanya usul pemberhentian anggota DPRD Kabupaten/Kota dari Bupati/Walikota;

Disamping persoalan prosedur pemberhentian baik sebagai anggota parpol maupun sebagai anggota dewan yang sangat panjang sebagaimana diuraikan diatas, didalam praktek yang sering terjadi antara lain munculnya persoalan sebagai berikut :

1.    Anggota Dewan tidak menggunakan mekanisme internal partai politik untuk

menyelesaikan pemberhentiannya sebagai anggota parpol dan langsung mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri, sehingga gugatannya dinyatakan tidak diterima sampai putusan tersebut berkekuatan hukum tetap. Disamping itu, Mahkamah Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, hingga kini juga belum terbentuk. 2.    Terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap namun dinyatakan tidak diterima karena belum menempuh upaya internal partai politik tersebut, diajukan gugatan baru lagi tanpa menempuh upaya penyelesaian internal parpol sehingga putusannya akan dinyatakan tidak diterima lagi.

3.    Adanya keengganan atau setidak-tidaknya ketidaksegeraan dari pimpinan parpol yang bersangkutan untuk mengusulkan pemberhentian sebagai anggota dewan meskipun anggota dewan yang melakukan tindak pidana telah berstatus sebagai narapidana. Dengan tidak adanya usulan pemberhentian sebagai anggota dewan, maka setelah bebas menjalani

hukuman, dikhawatirkan ia dapat menjabat kembali sebagai anggota dewan. Kasus yang nyata adalah sebagaimana yang menimpa Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya periode 2009-2014 Musyafak Rouf dari Partai Kebangkitan Bangsa.

4.    Adanya perbedaan pendapat atau perbedaan pemahaman diantara Pimpinan Dewan perihal kerahusan usulan dari Pimpinan DPRD karena Pimpinan Dewan bersifat kolektif dan kolegial, maka usulan pemberhentian sebagai anggota dewan oleh pimpinan DPR/DPRD harus disetujui oleh semua pimpinan Dewan atau setidak-tidaknya dengan suara terbanyak. Dalam kasus konkrit pemberhentian dua orang anggota DPRD Kabupaten Bojonegoro periode

2009-2014 hanya diusulkan oleh 1 orang Wakil Ketua DPRD Bojonegoro padahal 3 (tiga) orang pimpinan DPRD Bojonegoro yang lain tidak setuju untuk mengusulkan pemberhentian

keduanya .

5.    Adanya usulan pemberhentian sebagai anggota dewan yang tidak dilengkapi dengan persyaratan-persyaratan yang ditentukan Undang-Undang, padahal Pejabat yang berwenang menerbitkan SK PAW dibatasi oleh waktu yang sangat pendek. Dalam kasus konkrit, usul pemberhentian Sdr. Masykuri Ismail mantan Wakil Ketua DPRD Kabupaten Situbondo Periode 2009-2014 sempat dikembalikan oleh Gubernur Jawa Timur karena persyaratannya belum lengkap.

Atas dasar persoalan-persoalan tersebut diatas, dan dengan mengingat masa jabatan Anggota Dewan yang hanya 5 (lima) tahun, maka sebaiknya sengketa mengenai

pemberhentian sebagai Anggota Dewan juga hanya 2 (dua) tingkat peradilan saja sebagaimana sengketa pembehentian sebagai anggota partai politik.

i.    Masalah Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) dan Pengisian Perangkat Desa. Mengenai masalah Pilkades, hingga saat ini PTUN masih memeriksa dan mengadilinya meskipun telah ada Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 482 K/TUN/2003 Tanggal 18 Agustus 2004 yang dalam kaidah hukumnya menyebutkan bahwa masalah Pilkades merupakan

perbuatan-perbuatan hukum yang termasuk dalam ruang lingkup politik dan didasarkan pada pandangan-pandangan politis para pemilih maupun yang dipilih. Hasil Pilkades juga merupakan

(10)

hasil dari suatu pemilihan yang bersifat umum di lingkungan desa yang bersangkutan oleh karenanya keputusan hasil Pilkades tidak termasuk pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.

Namun saat ini Yurisprudensi tersebut tidak banyak diikuti karena terhadap masalah Pilkades banyak Hakim yang berpendapat bahwa obyek gugatannya bukan keputusan panitia pemilihan mengenai hasil pemilihan umum, melainkan keputusan Bupati mengenai pengesahan dan pengangkatan Kepala Desa. Sedangkan untuk pengisian perangkat desa, obyek gugatannya bukan keputusan panitia pengisian perangkat desa namun keputusan Kepala Desa.

Dalam kasus Pilkades dan pengisian perangkat desa, Penggugat adalah peserta Pilkades atau peserta pengisian perangkat desa yang mendalilkan adanya kecurangan-kecurangan, baik yang dilakukan oleh panitia maupun oleh pemegang obyek sengketa (pemenang) didalam proses pemilihan dan telah diketahui oleh Tergugat akan tetapi Tergugat tetap menerbitkan surat keputusan obyek sengketa sehingga Penggugat menuntut pembatalan surat keputusan obyek sengketa karena penerbitannya dianggap telah bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku serta bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Perkara mengenai Pilkades dan pengisian perangkat desa masih diperiksa di PTUN juga dikarenakan Putusan mengenai perkara Pilkades dan pengisian perangkat desa akan

mempunyai kekuatan hukum tetap sampai tingkat Pengadilan Tinggi saja karena termasuk jenis perkara yang tidak dapat diajukan kasasi sehingga saat ini masih banyak perkara mengenai Pilkades yang diperiksa oleh PTUN dan diputus sebagai kewenangan absolut PTUN.

Contoh perkara Pilkades yang masih diputus sebagai kewenangan PTUN adalah Putusan Perkara Nomor. 16/G/2009/PTUN.SMG tanggal 7 Juli 2009 antara Makruf Bin Sudiran sebagai Penggugat melawan Bupati Demak sebagai Tergugat. Terhadap putusan PTUN Semarang tersebut para pihak yang bersengketa tidak melakukan upaya hukum sehingga telah

berkekuatan hukum tetap.

j.    Masalah permohonan pembatalan Akta Kelahiran dan Akta Nikah. Khusus mengenai akta kelahiran dan akta nikah, pada umumnya dikarenakan adanya perceraian antara pasangan suami istri. Sedangkan untuk perkara gugatan pembatalan akta kelahiran, Penggugat pada umumnya adalah orangtua kandungnya atau keluarganya yang memohon pembatalan akta kelahiran atas nama anaknya atau keluarganya sendiri dengan motif antara lain karena

warisan, hak asuh anak, perubahan status anak angkat yang dicatatkan sebagai anak kandung ataupun nama anak yang dirubah oleh pihak lain.

Contoh kasus konkrit pernah terjadi Penggugat yang menikah secara siri (tidak dicatatkan kepada Negara) dengan seorang perempuan telah memiliki seorang anak. sebagai ayah biologis, ia menggugat Kepala Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta memohon pembatalan akta kelahiran anak biologisnya karena setelah perceraian, anak tersebut dicatatkan dalam akta kelahirannya dengan nama yang tidak sesuai dengan nama yang terdapat dalam surat keterangan lahir yang diterbitkan oleh Rumah Sakit tempat anak tersebut dilahirkan.

k.    Masalah Keputusan-Keputusan Administratif Komisi Pemilihan Umum dan/ atau Komisi Pemilihan Umum Propinsi/Kabupaten/Kota. Didalam penyelenggaraan Pemilukada, Komisi Pemilihan Umum Propinsi/Kabupaten/Kota tentu saja menerbitkan keputusan-keputusan yang berpotensi menimbulkan sengketa yang pada pokoknya dapat dibedakan menjadi dua

(11)

kelompok yaitu kelompok keputusan yang merupakan hasil Pemilukada dan kelompok keputusan yang bukan/belum merupakan hasil Pemilukada.

Berkaitan dengan hal tersebut, gugatan terhadap keputusan-keputusan administratif Komisi Pemilihan Umum dan/ atau Komisi Pemilihan Umum Propinsi/Kabupaten/Kota beberapa waktu yang lalu masih diajukan di PTUN misalnya keputusan KPU mengenai hasil verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu 2009, keputusan KPU / KPU Propinsi/Kabupaten/Kota mengenai calon anggota legislatif yang pernah dijatuhi hukuman/pidana atau keputusan KPU / KPU

Propinsi/Kabupaten/Kota mengenai penetapan calon terpilih pasca putusan Mahkamah Agung Nomor. 16P/HUM/2009 tanggal 18 Juni 2009 tentang pengujian terhadap Peraturan KPU Nomor. 15 Tahun 2009 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 110-111-112 dan 113/PUU-VII/2009 tanggal 6 Agustus 2009 tentang pengujian Pasal 204 Undang-Undang Pemilu.

Akan tetapi Yurisprudensi tetap Putusan Mahkamah Agung RI antara lain dalam Putusan Kasasi Nomor. 187 K/TUN/2004 tanggal 14 Februari 2008 antara Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Batang melawan Dr. H.A. Asrori HAS, MBA dinyatakan bahwa

keputusan-keputusan administratif yang diterbitkan oleh KPU/KPUD tidak termasuk katagori keputusan tata usaha negara sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Peratun.

Selanjutnya didalam Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI Nomor. 315 K/TUN/2008 tanggal 22 Oktober 2008 antara Komisi Pemilihan Umum melawan Partai Republiku Indonesia

dinyatakan bahwa sekalipun yang dicantumkan secara eksplisit dalam ketentuan Pasal 2 huruf g Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara tersebut hanya mengenai hasil Pemilu, namun melalui pendekatan penafsiran sistemik harus diartikan sebagai meliputi juga keputusan-keputusan yang terkait dengan Pemilu dalam rangka proses persiapan

penyelenggaraan Pemilu juga tidak dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara, sebab apabila harus dibedakan lembaga-lembaga peradilan yang berhak memutusnya padahal pemeriksaan dilakukan terhadap produk Badan/Pejabat yang sama yaitu Ketua Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah dan terkait dengan peristiwa hukum yang sama yaitu perihal Pemilu, maka dengan dibeda-bedakannya kewenangan mengadili tersebut akan menimbulkan inkonsistensi putusan pengadilan bahkan putusan-putusan pengadilan yang berbeda satu sama lain akan saling bertentangan (kontroversial).

Menurut hemat penulis, pertimbangan hukum dalam perkara kasasi yang menjadi yurisprudensi tersebut diatas, substansinya merupakan inti dari Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2005 tanggal 6 Juni 2005 mengenai pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) sehingga di beberapa PTUN dengan mengacu pada yurisprudensi tersebut diatas, sengketa mengenai keputusan administratif KPU/KPUD yang bukan merupakan “hasil pemilihan umum” pun dinyatakan tidak lolos proses dismisal atau meskipun lolos proses dismisal, kemudian putusan akhirnya menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima. Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan untuk memeriksa sengketa mengenai hasil pemilihan umum kepala daerah berada pada Pengadilan Tinggi untuk Pemilukada kabupaten/kota dan Mahkamah Agung untuk Pemilukada Propinsi. Sehingga dengan demikian munculnya SEMA Nomor 8 Tahun 2005 adalah untuk menghindari disparitas putusan antara putusan peradilan tata usaha negara disatu sisi dan putusan

Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung disisi lain.

(12)

Konstitusi pada tanggal 13 Agustus 2003, maka perselisihan tentang hasil pemilu tidak lagi menjadi kewenangan absolut Mahkamah Agung, melainkan menjadi kewenangan absolut Mahkamah konstitusi untuk memeriksa dan mengadilinya.

Sesungguhnya Undang-Undang Mahkamah Konstitusi secara eksplisit hanya mengatur mengenai kewenangan mengadili perselisihan tentang hasil pemilihan umum yang didalam penjelasannya tidak dijelaskan apakah pemilihan umum disini termasuk didalamnya

Pemilukada ataukah Pemilu nasional saja.

Akan tetapi selanjutnya mengenai sengketa Pemilukada, dengan diterbitkannya Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 08A Tahun 2008 tentang pengalihan wewenang mengadili

sengketa Pemilukada, maka terhitung sejak tanggal 1 November 2008, sengketa mengenai pemilihan Kepala Daerah dialihkan dan menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan mengadilinya. Atas dasar tersebut, maka “pintu” bagi PTUN untuk memeriksa sengketa mengenai keputusan administratif KPU/KPUD yang bukan mengenai “hasil pemilihan umum” seolah-olah sama sekali telah tertutup.

Oleh karenanya di dalam putusan Mahkamah Konstitusi maupun Mahkamah Agung

disebutkan bahwa sengketa mengenai hasil pemilihan umum antara lain menyangkut tiga hal yaitu : penetapan jumlah perolehan suara partai, penetapan jumlah perolehan kursi serta penetapan orang-orang yang terpilih sebagai anggota legislatif tidak dapat dijadikan sebagai obyek sengketa di peradilan tata usaha negara melainkan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Sedangkan keputusan administratif Komisi Pemilihan Umum lainnya, apabila dikaji latar belakang penerbitannya dikaitkan dengan ruang lingkup kewenangan (intra vires) KPU di dalam melaksanakan tugasnya, maka tindakan KPU berkaitan dengan kegiatan politik yaitu sebagai penyelenggara pemilihan umum khususnya pemilihan umum anggota legilatif, sehingga produk-produk tindakan hukum publik yang dilakukan oleh KPU jika itu dituangkan dalam bentuk keputusan (beschikking) bukanlah keputusan yang dapat digolongkan sebagai

Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud oleh Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 juncto Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, karena materinya bukan berisi tindakan hukum tata usaha negara melainkan berisi tindakan hukum di bidang politik (taakteling) sehingga diluar lingkup tindakan yang bersifat tata usaha negara/pemerintahan (verwezenlijking van de taak).

Namun jika keputusan KPU dianggap merugikan seseorang atau partai politik, maka dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Negeri dengan konstruksi hukum perbuatan melawan hukum oleh Pemerintah (Onrechtmatge Overheids Daad/OOD) berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata. Dalam perkembangannya Mahkamah Agung pada tanggal 11 Mei 2010 telah merubah

pendapatnya dengan menerbitkan Surat Edaran Nomor 7 Tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Sengketa mengenai Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) yang mengartikan

keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di tingkat pusat maupun di daerah mengenai “hasil pemilihan umum” yang tidak dapat dijadikan sebagai obyek gugatan di PTUN berdasarkan Pasal 2 huruf g Undang-Undang Peratun adalah keputusan yang berisi hasil pemilihan umum sesudah melewati tahap pemungutan suara yang dilanjutkan dengan penghitungan suara. Seolah ingin memperbaiki kesalahannya, Mahkamah Agung menetapkan bahwa keputusan administratif KPU/KPUD yang diterbitkan sebelum hasil penghitungan suara seperti pada tahapan pendaftaran pemilih, tahap pencalonan peserta, tahap kampanye dan sebagainya sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Peratun, tetap menjadi

(13)

kewenangan PTUN untuk memeriksa dan mengadilinya karena keputusan tersebut di luar jangkauan perkecualian sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 2 huruf g Undang-Undang Peradilan Tata Usana Negara.

Dengan diterbitkannya SEMA Nomor 7 Tahun 2010 ini, menurut hemat penulis sikap

Mahkamah Agung sudah tepat karena selama ini telah terjadi kekosongan hukum (vacuum of law) terhadap keputusan administratif KPU/KPUD sepanjang bukan keputusan mengenai “hasil pemilihan umum” karena ternyata Mahkamah Konstitusi juga tidak memeriksa jenis sengketa yang seperti ini. Oleh karenanya pasca diterbitkannya SEMA Nomor 7 Tahun 2010, seluruh jajaran PTUN didalam menerima perkara yang berkaitan dengan keputusan administratif KPU/KPUD sepanjang bukan keputusan mengenai “hasil pemilihan umum” akan menyatakan lolos dismisal proses.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sikap PTUN dalam menerima perkara yang berkaitan dengan keputusan administratif KPU/KPUD sepanjang bukan keputusan mengenai “hasil pemilihan umum” telah mengalami pasang surut dengan diterbitkannya SEMA Nomor 8 Tahun 2005 dan SEMA Nomor 7 Tahun 2010. Hal tersebut dikarenakan Pasal 2 huruf g

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sama sekali tidak memberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan hasil pemilihan umum.

Sebaliknya terhadap SEMA Nomor 8 Tahun 2005 tanggal 6 Juni 2005 mengenai pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) seharusnya dinyatakan dicabut karena substansinya telah bertentangan dengan SEMA Nomor 7 Tahun 2010 sehingga telah kehilangan relevansinya dan jangan justru sebaliknya ditegaskan kembali oleh SEMA Nomor 7 Tahun 2010.

Dengan adanya dua lembaga yang berwenang untuk memeriksa sengketa mengenai Pemilukada (PTUN dan Mahkamah Konstitusi), memang sangat dimungkinkan terjadinya disparitas putusan yang tidak terukur. Putusan PTUN yang berujung kepada Mahkamah Agung mengenai keputusan administratif KPU/KPUD sepanjang bukan keputusan mengenai “hasil pemilihan umum”, sangat mungkin mengabulkan gugatan salah satu pasangan calon yang tidak memenuhi syarat pencalonan sehingga konsekuensi hukumnya harus diikutkan dalam

pemilukada . Akan tetapi disisi lain sengketa perselisihan tentang hasil pemilihan umum kepala daerah di Mahkamah Konstitusi sangat mungkin pula telah lebih dulu menyatakan menolak permohonan pemohon sehingga hasil pemilukada telah sah menurut hukum .

Jika hal tersebut terjadi, maka yang paling mungkin tidak dipatuhi adalah putusan (termasuk penetapan penangguhan/schorsing) Mahkamah Agung selain karena munculnya belakangan juga karena pelaksanaan putusan Mahkamah Agung dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dinilai sebagai eksekusi yang paling lemah, sehingga yang sangat dirugikan tentu saja salah satu pasangan calon yang tidak memenuhi syarat pencalonan namun dimenangkan oleh Mahkamah Agung tersebut.

Untuk menghindari terjadinya disparitas putusan PTUN dengan putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana contoh tersebut diatas, dengan mengingat tahapan-tahapan dalam Pemilukada yang sudah terjadwal, maka seharusnya putusan PTUN bersifat final dan mengikat, karena dengan pemeriksaan tiga tingkat seperti yang terjadi saat ini selain membutuhkan waktu penyelesaian perkara yang sangat lama (meskipun telah dilakukan pemeriksaan dengan acara cepat) juga berpotensi menimbulkan disparitas putusan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Jika hal tersebut tidak dapat dilakukan karena harus merubah Undang-Undang, maka penulis berpendapat sebaiknya seluruh sengketa mengenai pemilukada berupa keputusan administratif KPU/KPUD sepanjang bukan keputusan mengenai “hasil pemilihan umum”, juga diserahkan oleh Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan mengadilinya

(14)

sebagaimana pernah dilakukan dengan diterbitkannya Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 08A Tahun 2008 tentang pengalihan wewenang mengadili sengketa Pilkada, apalagi Ketua Mahkamah Konstitusi sendiri telah menyatakan bahwa kewenangan mengadili sengketa pemilukada oleh peradilan dibawah Mahkamah Agung rawan terhadap serangan, baik

“serangan kasar” maupun “serangan halus”.

Dengan diserahkannya seluruh kewenangan mengadili sengketa mengenai pemilukada dari Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi, maka tidak akan ada lagi yang mengatakan ibarat kita melepas kerbau, dilepas kepalanya akan tetapi masih dipegangi ekornya.

Selanjutnya agar tercipta kesatuan hukum dan mencegah dirugikannya peserta Pemilukada, maka apakah tidak sebaiknya saudara kita di Mahkamah Konstitusi saja yang akan memeriksa dan mengadili seluruh sengketa yang berkaitan dengan Pemilukada ?

l.    Masalah Risalah Lelang yang dibuat oleh pejabat lelang di KPKNL masih digugat melalui PTUN, akan tetapi Yurisprudensi tetap Putusan Mahkamah Agung RI antara lain Putusan Mahkamah Agung Nomor. 150K/TUN/1994 tanggal 7 September 1995 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor. 245K/TUN/1999 Tanggal 30 Agustus 2001 menyatakan bahwa risalah lelang bukan obyek sengketa TUN sehingga Pengadilan Tata Usaha Negara secara absolut tidak berwenang untuk memeriksa, mengadili dan menyelesaikannya karena risalah lelang hanyalah merupakan berita acara pelaksanaan lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang sehingga tidak ada unsur beslissing (pernyataan kehendak) dari Pejabat Lelang tersebut sehingga oleh karenanya risalah lelang tidak termasuk dalam pengertian keputusan tata usaha negara. Meskipun pada saat Yurisprudensi putusan Mahkamah Agung tersebut dijatuhkan, Tergugat masih bernama KP2LN, namun substansi obyek sengketa yang diterbitkan adalah sama yaitu risalah lelang sehingga Yurisprudensi putusan Mahkamah Agung tersebut masih relevan untuk digunakan sebagai acuan bagi putusan-putusan selanjutnya.

Namun demikian, di PTUN Semarang pernah terdapat gugatan terhadap Kepala Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Kota Semarang dengan obyek gugatan berupa Surat mengenai penetapan hari dan tanggal lelang yang diputus dengan putusan Nomor 41/G/2009 tanggal 28 Oktober 2009 yang amar putusannya mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya  bahkan diterbitkan penetapan penundaan pelaksanaan keputusan yang digugat sampai putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap.

Selanjutnya putusan PTUN Semarang tersebut telah dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya melalui putusan Nomor 15/B/2010/PTTUN-SBY tanggal 14 April 2010 yang sependapat dengan pendapat Dissenter (Hakim Anggota I pada PTUN Semarang) yang kemudian mengadili sendiri dengan amar putusan menyatakan gugatan Penggugat/Terbanding tidak dapat diterima. Saat ini (pada saat buku ini ditulis) perkara tersebut masih dalam tahapan pemeriksaan kasasi di Mahkamah Agung.

m.    Masalah Izin Lingkungan Hidup, pada prinsipnya sama dengan masalah perizinan yang lain, namun pengujiannya lebih bersifat kompleks karena selain berkaitan dengan persoalan administrasi dan teknis, juga ada kaitannya dengan hukum lingkungan dan tata kota. Sebagai contoh perkara yang berkaitan dengan Izin lingkungan hidup misalnya perkara Pertambangan Daerah Eksplorasi Bahan Galian C Batu Kapur antara Organisasi Lingkungan Hidup dalam hal ini Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) sebagai Penggugat melawan Kepala Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Pati sebagai Tergugat  dan PT. Semen Gresik (Persero) Tbk sebagai Tergugat II-Intervensi.

(15)

Dalam perkara Nomor. 04/G/2009/PTUN.SMG yang diputus pada tanggal 6 Agustus 2009 tersebut, Legal Standing dari WALHI telah diterima di PTUN dengan mendasarkan pada asas inanimatif  yaitu asas yang menyatakan bahwa “natural objects” seperti hutan, laut dan sungai memiliki legal right tetapi tidak dapat menggunakan haknya sehingga organisasi lingkungan hiduplah yang mewakili kepentingan mereka.

Dalam kasus tersebut Penggugat mempersoalkan penerbitan obyek sengketa yang tidak didahului dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) serta diterbitkan di Kawasan Kars yang merugikan kepentingan lingkungan. Masalah perizinan khususnya yang berkaitan dengan lingkungan hidup selain harus memperhatikan aspek perundang-undangan dibidang lingkungan juga harus memperhatikan perundang-undangan yang berkaitan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah.

Dalam perkara tersebut gugatan Penggugat dikabulkan untuk seluruhnya, akan tetapi kemudian Putusan PTUN Semarang tersebut dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya melalui Putusan Nomor. 138/B/2009/PT.TUN.SBY tanggal 30 Nopember 2009 yang pada pokoknya mempertimbangkan bahwa obyek sengketa berupa izin eksplorasi merupakan kegiatan survey atau penelitian awal apakah usaha pertambangan tersebut dapat berjalan atau tidak, dapat diteruskan atau tidak, sebelum izin eksploitasi diberikan sehingga belum perlu adanya Amdal dan bahkan kajian Amdal ini seharusnya dilakukan setelah izin eksplorasi tersebut berjalan, dengan memperhatikan dampak sosial, dampak ekonomi dan dampak ekologi yang akan muncul kemudian untuk menentukan apakah kelanjutan izin pertambangan setelah eksplorasi tersebut dapat dilanjutkan atau tidak ?

Selanjutnya dipertimbangkan dalam putusan tersebut bahwa Pasal 1 Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor. 11 Tahun 2006 menyatakan adanya jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Amdal adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1 Peraturan Menteri tersebut yang mengatur salah satu jenis rencana usaha dan atau kegiatan bidang sumber daya energi dan mineral yang wajib dilengkapi dengan Amdal antara lain adalah perizinan (KP) untuk mineral, batubara dan panas bumi dengan luas melebihi 200 hektar.

Menurut Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya, aturan tersebut tidak jelas apakah untuk kegiatan eksplorasi atau eksploitasi atau usaha pendirian industri

pertambangan termasuk didalamnya pendirian pabrik untuk industri pertambangan, sehingga luas izin eksplorasi yang luasnya 700 hektar yang wajib didahului dengan Amdal adalah penerbitan izin eksploitasi.

Terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya tersebut, Mahkamah Agung melalui putusan Nomor 103K/TUN/2010 tanggal 27 Mei 2010 telah mengabulkan permohonan kasasi Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia dengan pertimbangkan sebagai berikut :

-    Judex Faxtie Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya telah salah menerapkan hukum ketentuan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyebutkan :”Setiap rencana usaha dan atau kegiatan yang

kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, wajib memiliki analisis dampak lingkungan”. Ketentuan tersebut harus diartikan kegiatan eksplorasi yang akan berlanjut dengan eksploitasi dengan skala besar wajib dilengkapi AMDAL;

-    Judex Faxtie Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya juga telah salah menerapkan hukum, karena membenarkan keputusan Tergugat tentang Perubahan Izin Pertambangan atas nama PT. Semen Gresik, padahal permohonan izinnya tidak  dilengkapi AMdal dan tidak memperhatikan aspirasi masyarakat setempat yang keberatan, karena itu

(16)

keputusan tersebut bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (asas keterbukaan, asas kebijaksanaan dan asas perlindungan);

-    Pertimbangan Judex Faxtie  Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya tentang AMDAL, kurang atau tidak lengkap/tidak cukup (onvoldoende gemotiveerd), sehingga kesimpulannya tidak tepat;

Dari contoh kasus tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa pada umumnya sengketa perizinan yang berkaitan dengan masalah lingkungan hidup menyangkut dua hal, pertama, yaitu apakah untuk diterbitkannya izin tersebut diperlukan Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) atau cukup Unit Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Unit Pemantauan Lingkungan (UPL) saja. Untuk menentukan hal tersebut harus dilihat pada usaha/kegiatan dari izin yang dimohonkan. Jika berdampak penting pada lingkungan hidup, maka wajib memiliki Amdal, sebaliknya jika tidak berdampak penting bagi lingkungan hidup, maka kewajibannya adalah memiliki UPL dan UKL.

Saat ini Undang-Undang Nomor. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di dalam Pasal 22 ayat (2) menyebutkan bahwa dampak penting ditentukan berdasarkan kriteria :

a.    besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan;

b.    luas wilayah penyebaran dampak;

c.    intensitas dan lamanya dampak berlangsung;

d.    banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak; e.    sifat kumulatif dampak;

f.    berbalik atau tidak berbaliknya dampak; dan/atau

g.    kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sedangkan kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting yang wajib dilengkapi dengan Amdal terdiri atas:

a.    pengubahan bentuk lahan dan bentang alam;

b.    eksploitasi sumber daya alam, baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan; c.    proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pemborosan dan kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya;

d.    proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya;

e.    proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya;

f.    introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan, dan jasad renik; g.    pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan nonhayati;

h.    kegiatan yang mempunyai risiko tinggi dan/atau mempengaruhi pertahanan negara; dan/atau

i.    penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup .

Mengenai jenis rencana usaha dan atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Amdal, lebih spesifik sebelumnya telah dimuat didalam Lampiran I Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.

(17)

terlebih dahulu oleh pemohon untuk memperoleh izin rencana dan/atau usaha di bidang lingkungan hidup.

Menurut Arief Hidayat dan Aji Samekto, keputusan kelayakan lingkungan hidup dinyatakan batal apabila terjadi pemindahan lokasi atau perubahan desain, proses, kapasitas, bahan baku dan bahan penolong atau terjadi perubahan lingkungan yang sangat mendasar akibat peristiwa alam atau sebab lain sebelum usaha atau kegiatan yang bersangkutan dilaksanakan. Apabila pemrakarsa kegiatan hendak melaksanakan kegiatannya, maka pemrakarsa wajib membuat AMDAL baru .

Sayangnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup seolah-olah hanya membatasi alasan pengajuan gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana tertuang didalam Pasal 93 ayat (1) yang berbunyi : “Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara apabila :

a.    badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan kepada usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen amdal.

b.    badan atau pejabat tata usaha menerbitkan izin lingkungan kepada kegiatan yang wajib UKL-UPL, tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen UKL-UPL; dan/atau

c.    badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan yang tidak dilengkapi dengan izin lingkungan.

Padahal didalam praktek, sengketa administratif mengenai lingkungan hidup tidak hanya terbatas pada apa yang disebutkan oleh Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tersebut diatas;

Masalah yang kedua yang berkaitan dengan izin lingkungan hidup adalah apakah izin yang diterbitkan tersebut telah sesuai dengan Peraturan Daerah tentang RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) baik yang bersifat nasional, propinsi maupun kabupaten/kota dan jika sudah ada juga dikaitkan dengan Peraturan Daerah mengenai RDTRK (Rencana Detail Tata Ruang Kota).

Bukti-bukti berupa peraturan daerah mengenai RTRW dan RDTRK tersebut sebisa mungkin diajukan lengkap dengan lampirannya berupa peta (gambar) yang berwarna (dengan cara di scan) untuk membedakan kawasan satu dengan kawasan lainnya yang dibedakan dengan membedakan warnanya.

Seringkali terjadi permasalahan setelah izin diterbitkan oleh pemerintah dan usaha/kegiatan telah mulai dilaksanakan yang cukup menyedot dana pihak ketiga pemegang izin, ternyata muncul kemudian surat dari instansi lain yang menyatakan bahwa lokasi izin tersebut termasuk wilayah hutan/kawasan lindung yang tidak dapat diterbitkan izin lingkungan. Oleh karenanya untuk menghindari kerugian bagi pemegang izin, koordinasi antar instansi pemerintah sebagai upaya preventif mutlak diperlukan. Hal tersebut juga akan menghindari pemerintah dari

gugatan, baik dari pemegang izin yang dibatalkan maupun dari organisasi lingkungan hidup. Sebaliknya apabila terjadi pembatalan keputusan oleh pemerintah karena kesalahan aparat pemerintah sendiri menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan lokasi peruntukannya, maka pemegang izin yang dibatalkan dan mengalami kerugian tersebut dapat menuntut ganti kerugian kepada Pengadilan Negeri atas tindakan pemerintah tersebut.

Mengingat peliknya sengketa yang berkaitan dengan izin lingkungan terutama jika tidak jelas suatu usaha/kegiatan apakah akan berdampak penting bagi lingkungan atau tidak serta apakah lokasi usaha/kegiatan yang tercantum dalam obyek sengketa diperuntukkan bagi kepentingan apa, maka Hakim didalam memeriksa perkara tersebut sebaiknya juga menghadirkan

(18)

dan dibidang planologi (tata kota) atau dibidang lain yang berkaitan erat dengan obyek gugatan (misalnya dibidang teknik sipil dan arsitektur bangunan) serta jika dimungkinkan melakukan sidang pemeriksaan setempat (PS) guna menggali fakta hukum selengkap mungkin.

Pelanggaran terhadap salah satu ketentuan hukum dibidang lingkungan hidup atau dibidang tata kota, sudah cukup untuk membatalkan izin dibidang lingkungan hidup, sebaliknya untuk mempertahankan legalitas izin lingkungan, maka izin harus sesuai dengan hukum yang berlaku dibidang lingkungan hidup dan dibidang tata kota.

Satu hal yang aneh memang didalam sengketa administrasi yang berkaitan dengan hukum lingkungan, Tergugat adalah Pejabat/Badan yang berwenang memberikan izin di bidang lingkungan, padahal Aparatur penegak hukum lingkungan bukan hanya Hakim, Polisi, Jaksa, Advokad tetapi juga Pejabat/Badan yang berwenang memberikan izin di bidang lingkungan . Menurut hemat penulis, cenderung meningkatnya sengketa administrasi yang berkaitan dengan lingkungan hidup tidak lepas dari pelaksanaan otonomi daerah dimana orientasi pembangunan di daerah selalu berbenturan antara kepentingan investasi dan peningkatan pendapatan asli daerah dihadapkan dengan kepentingan kelestarian lingkungan.

n.    Masalah Keputusan Dalam Bidang Pendidikan antara lain masalah pemberhentian dosen baik pada Perguruan Tinggi Negeri maupun pada Perguruan Tinggi Swasta (meskipun masih menjadi perdebatan dikalangan Hakim PTUN menyangkut apakah Rektor Universitas Swasta adalah Pejabat TUN ataukah bukan), masalah pemilihan Rektor/Dekan/Pembantu Dekan yang dituangkan dalam bentuk keputusan rektor tentang pengangkatan Dekan/Pembantu Dekan, masalah perpanjangan usia pensiun Guru Besar, mutasi guru dari satu sekolah ke sekolah yang lain karena ketidakcocokan antara guru dengan kepala sekolah atau motif lain misalnya ketidakcocokan guru dengan Bupati akibat dukungan dalam Pemilukada, hukuman disiplin berupa pencopotan jabatan fungsional guru, keputusan mengenai keputusan tinggal/tidak naik kelas para murid . Di PTUN Surabaya dalam perkara Nomor 43/G/2011/PTUN.Sby bahkan keputusan Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya tentang Pemberian Gelar Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa) kepada Alim Markus juga diajukan untuk dimohonkan pembatalannya.

o.    Masalah Keputusan berupa Pengosongan Rumah Dinas.  Sengketa mengenai pengosongan rumah dinas baik PNS maupun POLRI dan TNI pada umumnya dikarenakan adanya pendataan atau penertiban penggunaan rumah dinas oleh dinas/instansi. Di dalam praktek banyak ditemukan rumah dinas masih digunakan oleh mantan pejabat/pegawai (yang telah pensiun) bahkan sampai pejabat/pegawai yang bersangkutan meninggal dunia,

keluarganya masih menempati rumah dinas tersebut. Oleh karena dinas/instansi menganggap penempatan rumah dinas tersebut tidak sesuai lagi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1994 tentang Rumah Negara, maka diterbitkanlah surat keputusan mengenai

pengosongan rumah dinas.

p.    Masalah Sengketa Informasi Publik.

Tuntutan masyarakat akan adanya keterbukaan (transparansi) informasi merupakan bentuk tuntutan akan akuntabilitas publik dari para penyelenggara negara seiring dengan tuntutan reformasi birokrasi. Para penyelenggara negara tidak dapat lagi melakukan tindakan, baik tindakan hukum maupun tindakan faktual diluar koridor hukum dan kewenangannya secara sembunyi-sembunyi. Untuk menjamin agar tuntutan masyarakat untuk mendapatkan informasi

(19)

terjamin, maka pada saat amandemen (perubahan) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang kedua, dimasukkan ketentuan yang menjamin hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang dituangkan dalam Pasal 28F UUDNRI Tahun 1945 yang berbunyi : “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk

mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Dengan dimuatnya hak untuk memperoleh informasi ke dalam UUDNRI Tahun 1945 sebagai Hak Asasi Manusia, maka pada prinsipnya menjadi kewajiban bagi Lembaga Publik untuk menyediakan informasi yang diinginkan oleh masyarakat (tidak termasuk informasi yang dikecualikan).

Dengan berlakunya Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan

Informasi Publik pada tanggal 30 April 2010 dan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2008 tentang

Keterbukaan Informasi Publik pada tanggal 23 Agustus 2010, maka pelanggaran akan jaminan konstitusi terhadap keterbukaan informasi sudah dapat ditegakkan, karena kedua peraturan tersebut menghadirkan suatu lembaga baru bernama Komisi Informasi baik pusat, propinsi maupun kabupaten/kota yang berwenang untuk  menyelesaikan sengketa informasi publik disamping juga adanya lembaga peradilan yang sudah ada yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Negeri.

Seiring berjalannya waktu, sengketa informasi publik sudah mulai diajukan oleh masyarakat kepada Komisi Informasi yang dapat diselesaikan melalui mediasi maupun ajudikasi nonlitigasi, bahkan beberapa kasus dilanjutkan dengan mengajukan upaya gugatan khususnya melalui Pengadilan Tata Usaha Negara untuk kemudian diperiksa, diputus dan diselesaikan sesuai kewenangannya. Dari praktek yang sudah berjalan tersebut, dapat digambarkan seperti apa konstruksi hukum sengketa informasi publik yang saat ini terjadi baik di Komisi Informasi maupun di Pengadilan Tata Usaha Negara guna menjawab pertanyaan apakah konstruksi hukum tersebut telah sesuai/harmonis dengan sistem hukum yang berlaku khususnya hukum administrasi negara yang dianut negara kita.

Beberapa hal yang menjadi catatan penulis untuk kemudian dianalisis adalah bahwa dengan telah diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Informasi Publik di Pengadilan terdapat beberapa persoalan yang menarik untuk diperhatikan antara lain sebagai berikut :

1.    Penyelesaian sengketa informasi publik melalui PTUN sebelum diterbitkannya Perma tersebut diatas diselesaikan dengan hukum acara PTUN sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang Peratun dengan mendudukan Komisi Informasi sebagai Tergugat dan putusannya sebagai obyek sengketa, sedangkan sengketa yang diperiksa setelah

diterbitkannya Perma tersebut diselesaikan menurut hukum acara yang diatur didalam Perma dengan tidak lagi mendudukkan Komisi Informasi sebagai Tergugat dan putusannya sebagai obyek sengketa;

2.    Putusan PTUN mengenai sengketa informasi publik masih terdapat dua format yaitu putusan sebagaimana peradilan tingkat pertama dan putusan yang menguji putusan Komisi Informasi sebagai pada putusan tingkat banding. oleh karenanya perlu kiranya Mahkamah Agung memberikan arahan model mana yang akan diikuti sebagai acuan.

3.    Masih ditemui putusan Komisi Informasi yang memerintahkan kepada Termohon untuk melakukan tindakan faktual yang bukan perintah untuk memberikan informasi dan bukti-bukti yang diajukan para pihak tidak dinazegelkan sebagaimana diwajibkan oleh Undang-Undang

(20)

Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai.

4.    Masih ditemui permohonan eksekusi atas putusan Komisi Informasi yang telah

berkekuatan hukum tetap yang salah forum yang seharusnya diajukan ke Pengadilan Negeri justru diajukan ke PTUN begitu pula sebaliknya.

 

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Yulianti (2011) keberhasilan suatu kegiatan budidaya rumput laut sangat ditentukan oleh faktor lahan perairan, oleh karena itu untuk memperoleh hasil yang

[r]

Pencipta adalah seorang atau beberapa orang yang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan kemapuan pikiran, imajinasi, kecekatan,

Diakhir penelitian ini kami meringkaskan bahwa Limbah Cair Pabrik CPO harus diolah lagi karena kolam anaerobik tidak efektif, karena telah mencemari sungai dan laut air bangis

Dengan demikian maka penelitian ini akan berkonsentrasi pada pertanyaan utama : Bagaimanakah makna ruang kekinian di Kawasan Keraton Kasepuhan dengan adanya pergeseran makna

Kecerdasan emosional merupakan kemampuan merasakan, memahami secara efektif dalam penerapan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi dan pengaruh yang

Bahan baku yang digunakan dalam proses pembuatan biodiesel di pabrik ini adalah minyak jarak pagar dengan kadar 99% dan metanol dengan kadar 99,85%.Reaksi ini terjadi di

Untuk memaksimalkan kinerja water bath, perlu adanya indikator level air yang berfungsi sebagai indikator yang menunjukkan level air di dalam waterbath,agar heater selalu