• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Fotoperiode terhadap Respon Stres dan Parameter Reproduksi pada Mencit Jantan (Mus musculus L.) Galur Swiss Webster

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pengaruh Fotoperiode terhadap Respon Stres dan Parameter Reproduksi pada Mencit Jantan (Mus musculus L.) Galur Swiss Webster"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

39

Pengaruh Fotoperiode terhadap Respon Stres dan Parameter Reproduksi

pada Mencit Jantan (Mus musculus L.) Galur Swiss Webster

Ahmad Ridwan, Zuliyanto Zakaria dan Anggraini Barlian Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati

Institut Teknologi Bandung, Bandung e-mail: ridwan@sith.itb.ac.id

Diterima 27 Maret 2012, disetujui untuk dipublikasikan 27 April 2012

Abstrak

Modernisasi mengubah pola aktivitas manusia dalam rentang waktu 24 jam. Dewasa ini banyak pola aktivitas manusia yang bergeser ke malam hari sehingga terjadi peningkatan aktivitas dan paparan cahaya hingga malam hari. Pergeseran pola aktivitas ini diduga akan mengubah ritme jam biologis dan dapat menimbulkan stres serta gangguan vitalitas seseorang. Namun kajian tentang pengaruh perubahan fotoperiode terhadap respon stres serta parameter reproduksi masih jarang dilakukan. Penelitian ini menggunakan hewan model mencit SW jantan berumur 4 minggu sebanyak 25 ekor yang dibagi ke dalam 4 kelompok perlakuan berdasarkan durasi fotoperiode yang digunakan yakni 0T, 6T, 18T, 24T dengan 12T sebagai kelompok kontrol (T = durasi terang dalam jam). Intensitas cahaya yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebesar 100-110 lux. Seluruh hewan uji didedahkan dengan masing-masing perlakuan fotoperiode selama 2 bulan. Parameter yang diukur meliputi kadar kortikosteron plasma dan berat badan sebagai parameter respon stres, serta kadar testosteron plasma, jumlah sperma dan berat testis sebagai parameter reproduksi. Pengukuran parameter berat badan dilakukan selama pendedahan, sedangkan pengukuran parameter lainnya dilakukan setelah pendedahan fotoperiode. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa fotoperiode 0T dan 24T dapat meningkatkan kadar kortikosteron plasma secara signifikan dari kelompok kontrol (p<0,05). Selain itu fotoperiode 24T secara signifikan dapat menurunkan berat badan mencit setelah hari ke-30 pendedahan (p<0,05). Selanjutnya hasil pengukuran parameter reproduksi menunjukkan bahwa fotoperiode 0T dan 24T secara signifikan menurunkan kadar testosteron plasma (p<0,05), namun tidak mempengaruhi jumlah sperma dan berat testis mencit (p>0,05). Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa pendedahan fotoperiode 0T dan 24T dapat meningkatkan respon stres (kadar kortikosteron) yang diiringi oleh penurunan berat badan dan kadar testosteron plasma.

Kata Kunci : Fotoperiode, Respon stres, Parameter reproduksi, Mus musculus L.

Influence of Photoperiod on Stress Response and Reproduction Parameter

of Male Mice (Mus musculus L.) of Swiss Webster Strain

Abstract

Modernization may increase human exposure to light during the night, which alter human daily activities. The effect of photoperiod on stress response and the correlation to reproductive performance has not fully been explored. Thus, this study was aimed to observe the effect of light on stress response and its correlation to reproductive performance. Twenty-five male mice Mus musculus L. SW (4 weeks old) were exposed to 4 types of photoperiod treatments : 0T, 6T, 18T and 24T with 12T used as control group (T= duration of light in hours). Light intensity used in this experiment was 100-110 lux. All mice were exposed continuously to every photoperiod treatment for 2 months. The stress parameters measured in this study were corticosterone level and weight loss, with testosterone level, sperm count and testicular weight as reproductive performance parameters. Body weight was measured during exposure of photoperiod, while the other parameters after exposure. The results showed that 0T and 24T significantly increased corticosterone level compared to control group (p<0.05). Furthermore, 24T significantly decreased body weight 30 days after exposure (p<0.05). Effect of photoperiod 0T and 24T significantly decreased plasma testosterone level (p<0.05), but it did not show on sperm count and testicular weight (p>0.05). Based on these results, it can be concluded that exposure to 0L and 24T photoperiod increased stress response and impaired the reproductive performance.

Keywords : Photoperiod, Stress response, Reproductive performance, Mus musculus L. 1. Pendahuluan

Pola perubahan cahaya lingkungan pada mamalia digunakan sebagai sinyal dalam pengaturan aktivitas untuk optimalisasi kemampuan hidup dalam

satu periode harian (Buijs dkk., 2003). Pada kelompok hewan nokturnal, periode gelap menjadi sinyal untuk beraktifitas. Sebaliknya periode terang bagi kelompok hewan diurnal merupakan sinyal

(2)

untuk beraktifitas. Regulasi ritme tersebut dilakukan oleh sepasang kumpulan saraf di hipotalamus yang dikenal sebagai SCN (suprachiasmatic nucleus). SCN menggunakan informasi fotoperiode (durasi cahaya) untuk menyelaraskan proses faal internal tubuh dengan kondisi eksternal hewan (Welsh dkk., 2010; Butler dkk., 2009).

Ritme sirkadian hormonal merupakan salah satu bentuk pengaturan SCN terhadap proses faal tubuh. Butler dkk. (2009) menyebutkan bahwa SCN mampu mengatur sekresi sejumlah hormon melalui hubungan saraf dengan neuron-neuron penghasil hormon pada hipotalamus. Kemudian diketahui pula bahwa pelukaan pada bagian SCN dapat mengganggu ritme sirkadian hormonal hewan (Welsh dkk., 2010). Regulasi hormonal yang turut dipengaruhi oleh SCN adalah hormon reproduksi melalui sumbu hormonal HPG (hipotalamus-hipofisis-gonad) dan hormon stres melalui sumbu hormonal HPA (hipotalamus-hipofisis- adrenal) (Butler dkk., 2009; Macci dan Bruce, 2004).

Perkembangan teknologi saat ini telah menyebabkan 62% penduduk bumi terpapar cahaya buatan pada malam hari (Navara dan Nelson, 2007). Peningkatan paparan cahaya tersebut ternyata berdampak pula pada pengurangan durasi tidur anak usia sekolah di Jepang (Kohyama, 2009). Lebih lanjut Navara dan Nelson (2007) menyebutkan bahwa peningkatan paparan cahaya pada malam hari dapat meningkatkan resiko gangguan metabolisme, gangguan fungsi neuroendokrin serta gangguan fungsi reproduksi. Disamping itu, perubahan durasi cahaya (fotoperiode) tertentu diketahui turut pula menginduksi respon stres (Wen-Pei dkk., 2007). Fonken dkk. (2009) mengemukakan bahwa pada mencit pendedahan cahaya total (24 jam) dalam satu siklus harian selama 3 minggu dapat meningkatkan respon perilaku depresi. Sementara Milosevi´c dkk. (2005) menunjukkan bahwa pendedahan cahaya total turut meningkatkan sekresi kortikosteron yang disertai dengan peningkatan aktivitas zona fasciculata pada tikus.

Sampai saat ini penelitian yang mengkaji hubungan antara hormon stres dengan hormon reproduksi masih terbatas. Gore dkk. (2006) menyebutkan bahwa hormon stres (kortikosteron) dapat menghambat beberapa hormon reproduksi dalam sumbu HPG. Kemudian diketahui pula bahwa hormon kortikosteron mampu menurunkan kadar testosteron (Hardy dkk., 2005; Sankar dkk., 2000) serta dapat menginduksi apoptosis pada sel-sel Leydig (Gao dkk., 2003; 2002). Namun, kajian pengaruh perubahan fotoperiode terhadap hormon stres dan dampaknya terhadap parameter reproduksi masih terbatas pada efek fotoperiode pendek (6 jam terang) dan fotoperiode panjang (18 jam terang) (Kus dkk., 2003), sementara efek penghilangan periode terang (0 jam terang) dan penghilangan periode gelap (24 jam terang) serta hubungan antara hormon stres

dengan parameter reproduksi yang dipengaruhi oleh fotoperiode belum pernah dilakukan.

2. Bahan dan Metode 2.1 Hewan uji

Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit (Mus musculus) galur Swiss Webster jantan berumur sekitar empat minggu dengan berat  15-25 gram. Hewan uji dengan kriteria tersebut diperoleh dari unit pemeliharaan hewan Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB. Adapun pemberian pakan dan air minum dilakukan secara ad libitum.

2.2 Perlakuan

Sebanyak 25 ekor mencit berumur empat minggu dibagi ke dalam 4 kelompok perlakuan fotoperiode dengan 1 kelompok kontrol. Perlakuan fotoperiode selanjutnya dibedakan atas lamanya periode terang dalam satu siklus gelap-terang harian (24 jam). Kelompok dengan periode 12 jam terang (12T) dijadikan sebagai kelompok kontrol. Sementara kelompok perlakuan dibagi menjadi kelompok 0 jam terang (0T), 6 jam terang (6T), 18 jam terang (18T) dan 24 jam terang (24T). Setiap kelompok yang menggunakan periode terang diletakkan dalam ruang pencahayaan yang memiliki sebuah lampu neon beserta timer switch untuk pengaturan durasi cahaya pada setiap kelompok tersebut. Jarak antara lantai ruang pencahayaan dengan sumber cahaya ± 75 cm, sehingga cahaya yang diterima oleh hewan uji berkisar 100-110 lux (Wen-Pei dkk., 2007). Seluruh kelompok perlakuan didedahkan dengan masing-masing perlakuan selama 2 bulan. Dalam penelitian ini, parameter respon stres diwakili oleh kadar kortikosteron plasma dan berat badan. Sedangkan parameter reproduksi diwakili oleh kadar testosteron plasma, berat testis dan jumlah sperma.

2.3 Pengukuran parameter respon stres

Pengukuran kadar hormon kortikosteron dilakukan pada akhir perlakuan di laboratorium Pusat Radisoisotop dan Radiofarmaka BATAN Serpong. Pengukuran hormon ini menggunakan kit RIA Corticosterone I125 dari Institute of Isotop Corporation dengan kadar hormon minimal yang dapat terdeteksi adalah 0,4 ng/mL. Prosedur pengukuran hormon dilakukan berdasarkan instruksi manual yang disertakan dalam kit. Sementara pengukuran berat badan hewan uji dilakukan setiap 15 hari selama penelitian dengan menggunakan neraca analitik pada nilai ketelitian 0,1 gram.

2.4 Pengukuran parameter reproduksi

Pengukuran kadar hormon testosteron plasma dilakukan di laboratorium preparasi SITH ITB dengan menggunakan kit ELISA Testosteron dari DRG International. Kadar hormon minimal yang dapat terdeteksi pada kit ini adalah 0,086 ng/mL. Prosedur pengukuran hormon dilakukan berdasarkan

(3)

instruksi manual yang disertakan dalam kit. Sementara pengukuran berat testis dilakukan segera setelah dislokasi leher pada akhir perlakuan. Setiap testis diukur dengan menggunakan timbangan analitik dengan nilai ketelitian 0,01 gram. Nilai rata-rata dari kedua berat testes dijadikan berat akhir testis untuk setiap individu. Adapun penghitungan jumlah sperma dilakukan pada akhir perlakuan dari epididimis kauda bagian kiri mencit. Penghitungan jumlah sperma dilakukan berdasarkan metode penghitungan sperma dari WHO (1999).

2.5 Analisis data

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan Analisis Kolmogorof-Smirnov; One Way ANOVA yang dilanjutkan dengan uji Tukey untuk mengetahui ada tidaknya kelompok perlakuan yang berbeda siginifikan. Untuk data yang tidak memenuhi distribusi normalitas dianalisis dengan menggunakan uji Kruskal-Wallis dengan uji lanjut metode Conover. Sementara untuk uji korelasi hubungan antara parameter respon stres dengan parameter reproduksi dilakukan dengan uji korelasi Pearson dan Spearmen`s rho (Sarwono, 2009; Trihendradi, 2009). Seluruh analisis statisik dalam penelitian ini menggunakan taraf signifikansi 95%.

3. Hasil dan Diskusi

3.1 Pengaruh fotoperiode terhadap parameter respon stres

Pengaruh fotoperiode terhadap respon stres diketahui dengan mengukur kadar hormon kortikosteron sebagai indikator stres pada hewan uji. Sementara berat badan dianggap sebagai salah satu parameter respon stres mengingat perubahan berat badan yang pada suatu individu merupakan indikasi adanya stres yang menimbulkan gangguan homeostasis hormonal pada sumbu HPA.

Hasil pengukuran kadar kortikosteron plasma setelah pendedahan fotoperiode pada Gambar 1A menunjukkan bahwa pendedahan fotoperiode dapat mempengaruhi respon stres (p<0,05, Kruskal-Wallis). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan 0T dan 24T berbeda secara nyata dari kelompok kontrol (p<0,05). Perbedaan ini membuktikan bahwa penghilangan periode terang mampu menginduksi respon stres pada mencit SW jantan. Hilangnya periode terang secara total pada perlakuan 0T mengakibatkan hewan uji (nokturnal) mengalami stres karena diinduksi untuk terus beraktivitas dan memberi dampak perubahan pada pengaturan sumbu HPA. Selain itu, peningkatan kortikosteron pada perlakuan 0T dapat disebabkan oleh terganggunya peran SCN dalam regulasi ritme sirkadian. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, SCN turut serta mengatur sekresi hormon kortikosteron melalui jalur sinapsis dengan PVN (Butler dkk., 2009). Penghilangan periode terang yang diberikan pada perlakuan 0T diduga mengganggu peran SCN yang secara normal

terstimulasi oleh sinyal cahaya dari retina. Gangguan fungsi SCN akibat hilangnya sinyal cahaya dapat berdampak pada terganggunya ritme sirkadian hormon kortikosteron yang ditandai oleh peningkatan hormon tersebut pada perlakuan 0T.

Gambar 1. Gambar bagian A menunjukkan kadar kortikosteron plasma mencit setelah pendedahan fotoperiode. Notasi yang berbeda (a, b) antar perlakuan menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0,05). Gambar bagian B menunjukkan data berat badan mencit selama pendedahan fotoperiode. Tanda

(*)

menunjukkan berbeda dari kelompok kontrol.

Hasil pengukuran kortikosteron pada kelompok 24T juga berbeda secara nyata dari kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa penghilangan periode gelap dapat pula menginduksi respon stres pada hewan uji. Penghilangan periode gelap secara total menyebabkan hewan uji yang merupakan hewan nokturnal akan mengalami stres akibat terinduksi untuk terus beristirahat. Hasil penelitian Milosevi´c dkk. (2005) menunjukkan bahwa pendedahan terang total mampu meningkatkan aktivitas sel-sel pada zona fasciculata adrenal dan meningkatkan sekresi kortikosteron ke dalam darah. Selain itu, peningkatan hormon kortikosteron yang ditemui pada perlakuan 24T dapat juga merupakan efek dari terganggunya fungsi SCN akibat stimulasi cahaya dari retina yang berlangsung secara terus

(4)

menerus. Input cahaya secara konstan ini, selanjutnya berdampak pada terganggunya ritme sirkadian hormon kortikosteron. Hasil ini didukung oleh hasil penelitian Claustrat dkk. (2008) yang menunjukkan bahwa pendedahan terang total dapat mengubah ritme sirkadian kortikosteron pada tikus.

Sementara hasil pengukuran kortikosteron pada perlakuan 6T dan 18T secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan kelompok kontrol (12T). Sejauh yang diketahui, penambahan periode terang memberikan efek yang berbeda pada beberapa spesies. Mohawk dkk. (2007) menunjukkan bahwa pemberian cahaya pada malam hari mampu memicu peningkatan kortikosteron pada tikus galur Sparague-Dawley. Namun pengaruh sebaliknya justru ditemui pada tikus galur Wistar (Prendergast dkk., 2007). Selain itu, Gatien dkk. (2004) juga menunjukkan bahwa pendedahan fotoperiode panjang (18T) dapat meningkatkan kadar hormon tersebut pada mencit galur C3H/HeN. Perbedaan respon pada beberapa hewan uji ini, kemungkinan disebabkan oleh adanya variasi spesies. Walaupun pendedahan fotoperiode 18T belum mampu memicu respon stres, namun data yang diperoleh menunjukkan kecenderungan peningkatan hormon kortikosteron.

Hasil pengukuran berat badan pada Gambar 1B menunjukkan bahwa secara statistik data berat badan selama perlakuan 6T, 18T dan 0T tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dari kelompok kontrol (p>0,05,). Namun berdasarkan Gambar 1B tersebut dapat terlihat bahwa pola pertambahan berat badan pada seluruh kelompok perlakuan cenderung lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol. Beberapa hewan Rodentia non tropis memiliki strategi untuk menghadapi periode terang yang lebih pendek dengan cara menurunkan berat badan melalui pengurangan sel-sel adiposa serta penyusutan jaringan-jaringan lainnya (Walton dkk., 2010). Pada penelitian ini, data berat badan pada kelompok 6T cenderung menunjukkan hasil yang serupa dengan fakta yang ditemui pada hewan-hewan non tropis. Sementara gejala penurunan berat badan pada perlakuan 24T (p<0,05) dapat diartikan bahwa hewan uji mengalami stres dan mengkompensasi stres tersebut dengan menurunkan berat badannya. Penurunan berat badan ini sejalan dengan peningkatan kadar hormon kortikosteron yang menginduksi pengubahan cadangan glukosa dan lemak untuk penyediaan sumber energi metabolisme untuk digunakan dalam merespon stres yang ditimbulkan oleh pendedahan periode gelap yang lebih panjang maupun pendedahan periode terang yang lebih lama (Saladin, 2002). Akibat dari perombakan glukosa dan lemak tersebut terjadilah penurunan berat badan pada hewan uji. Selain itu, penghilangan periode gelap (24T) turut mengakibatkan penurunan asupan makanan hewan uji yang disebabkan berkurangnya perilaku makan yang secara alamiah ditemui pada periode gelap.

3.2 Pengaruh fotoperiode terhadap parameter reproduksi

Hasil analisis data testosteron untuk kelompok perlakuan 6T dan 18T pada Gambar 2A tidak menunjukkan perbedaan nyata dari kelompok kontrol (p>0,05). Namun demikian kadar testosteron pada perlakuan 6T cenderung lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol. Sebaliknya, kadar testosteron pada perlakuan 18T justru lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Hasil penelitian ini, sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya (Kus dkk., 2003). Indikasi penurunan testosteron pada perlakuan 6T, diduga sebagai dampak dari peningkatan sekresi hormon melatonin. Sebaliknya pada perlakuan 18T, gejala peningkatan hormon testosteron diduga sebagai dampak dari menurunnya kadar melatonin dalam darah. Hal ini disebabkan keadaan gelap merupakan sinyal bagi pelepasan hormon melatonin (Macchi dan Bruce, 2004; Malpaux dkk., 2001). Hormon melatonin sejauh ini dikenal sebagai hormon penghambat sumbu HPG. Efek tersebut dapat terjadi melalui penghambatan sekresi hormon GnRH (Malpaux dkk., 2001), LH (Vanecek dan Watanabe, 2002) serta pada biosintesa testosteron (Frungieri dkk., 2005).

Penurunan sekresi testosteron pada perlakuan 6T dapat disebabkan oleh kadar hormon melatonin yang tinggi dalam darah akibat pengurangan periode terang, sebaliknya gejala peningkatan hormon testosteron pada perlakuan 18T diduga sebagai dampak dari berkurangnya hormon melatonin akibat penambahan periode terang (pengurangan periode gelap). Hal ini sesuai dengan pernyataan Malpaux dkk. (2001) yang mengungkapkan bahwa pengaruh fotoperiode terhadap penurunan testosteron dimediasi melalui penghambatan hormon-hormon reproduksi oleh melatonin. Sementara sekresi hormon melatonin diinduksi oleh SCN pada periode gelap (Butler dkk., 2009; Macci dan Bruce, 2004; Malpaux dkk., 2001).

Data kadar testosteron untuk kelompok perlakuan 0T dan 24T pada Gambar 2A menunjukkan perbedaan yang nyata dari kelompok kontrol (p<0,05). Penurunan kadar testosteron pada kedua perlakuan ini, dapat diakibatkan oleh peningkatan kadar kortikosteron pada kedua perlakuan tersebut. Diketahui bahwa peningkatan kortikosteron dapat menekan sekresi hormon testosteron (Claustrat dkk., 2008; Gore dkk., 2006; Dong dkk., 2004; Sankar dkk., 2000). Selain itu, penurunan kadar testosteron pada perlakuan 0T dapat pula disebabkan oleh peningkatan hormon melatonin akibat penghilangan periode terang (Zemkova dkk., 2008; Malpaux dkk., 2001). Sehingga penurunan testosteron pada perlakuan 0T merupakan dampak penghambatan oleh hormon kortikosteron dan hormon melatonin. Sementara penurunan kadar testosteron pada perlakuan 24T lebih disebabkan oleh efek tunggal penghambatan hormon kortikosteron terhadap hormon testosteron.

(5)

Gambar 2. Gambar bagian A, B dan C secara berturut-turut menunjukkan rerata kadar testosteron plasma, rerata berat testis dan rerata jumlah sperma pada mencit setalah pendedahan fotoperiode. Notasi yang berbeda (a , b) antar setiap kelompok perlakuan menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p<0,05).

Hasil pengukuran berat testis pada Gambar 2B secara statistik untuk seluruh perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dari kelompok kontrol (p>0,05), namun ada kecenderungan penurunan pada kedua kelompok perlakuan ekstrim (0T dan 24T) dibandingkan kelompok kontrol. Gejala penurunan berat testis pada kelompok 0T dan 24T dari kontrol dapat diartikan sebagai dampak dari peningkatan kadar kortikosteron pada kedua perlakuan tersebut (p<0,05). Menurut penelitian Gao dkk. (2002; 2003) diinformasikan bahwa peningkatan kortikosteron dapat memicu penurunan berat testis melalui induksi apoptosis pada sel-sel Leydig. Namun dalam penelitian ini data berat testis untuk

perlakuan 6T dan 18T tidak berbeda dari kontrol, sehingga dapat diduga bahwa gejala apoptosis seperti yang dilaporkan Gao dkk. tidak terjadi dalam penelitian ini.

Data jumlah sperma setelah pendedahan fotoperiode pada Gambar 2C secara umum menunjukkan pola penurunan pada seluruh kelompok perlakuan dibandingkan kontrol. Meskipun demikian, data jumlah sperma mencit pada seluruh perlakuan secara statistik tidak berbeda nyata dari kelompok kontrol (p>0,05). Secara normal jumlah sperma dipengaruhi berbagai faktor, salah satu diantaranya adalah kadar hormon testosteron (Nieschlag dkk., 2010; Johnson dan Everitt, 2000). Kemudian diketahui bahwa hormon testosteron bersama FSH memicu sel-sel Sertoli menginduksi spermatogenesis pada sel-sel germinal (Ganong, 2002). Disamping itu, diketahui pula bahwa kadar hormon testosteron dapat ditekan oleh peningkatan hormon kortikosteron (Dong dkk., 2004; Sankar dkk., 2000). Sehingga dapat disimpulkan bahwa penurunan jumlah sperma pada penelitian ini merupakan efek beruntun dari penghambatan kortikosteron terhadap produksi hormon testosteron.

4. Kesimpulan

Berdasarkan data yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa ada indikasi peningkatan respon stres (kadar kortikosteron plasma) pada pendedahan fotoperiode 0T dan 24T yang diiringi oleh penurunan berat badan dan kadar testosteron plasma.

Daftar Pustaka

Butler, M. P., L. J. Kriegsfeld, and R. Silver, 2009, Circadian Regulation of Endocrine Functions, 473-505 dalam Pfaff, D.W., A.P. Arnold, A. M. Etgen, S. E. Fahrbach, R. T. Rubin, Eds, Hormones, Brain and Behavior, 2nd Ed., Academic Press.

Buijs, R. M., C. G. Van Eden, V. D. Goncharuk, and A. Kalsbeek, 2003, The biological clock tunes the organs of the body: timing by hormones and the autonomic nervous system, J. Endocrinol., 177, 17–26.

Claustrat, B., J. Valatx, C. Harthé1, and J. Brun, 2008, Effect of Constant Light on Prolactin and Corticosterone Rhythms Evaluated Using a Noninvasive Urine Sampling Protocol in the Rat, Horm Metab. Res., 40, 398–403.

Dong, Q., A. Salva, C. M. Sottas, E. Niu, M. Holmes, and M. P. Hardy, 2004, Rapid Glucocorticoid Mediation of Suppressed Testosterone Biosynthesis in Male Mice Subjected to Immobilization Stress, J. Androl., 25, 973–981.

Fonken, L., S. Finy, C. Walton, Z. Weil, J. Workman, J. Ross, and R. Nelson, 2009, Influence of Light at Night on Murine Anxiety and

(6)

Depressive-like Responses, Behav. Brain Res., 205, 349–354.

Frungieri, M., A. Mayerhofer, K. Zitta, O. Pignataro, R. Calandra, and S. Gonzalez-Calvar, 2005, Direct Effect of Melatonin on Syrian Hamster Testes: Melatonin Subtype 1a Receptors, Inhibition of Androgen Production, and Interaction with the Local Corticotropin-Releasing Hormone System, Endocrinology, 146:3, 1541–1552.

Gore, A., B. Attardi, and D. DeFranco, 2006, Glucocorticoid repression of the reproductive axis: Effects on GnRH and Gonadotropin subunit mRNA Levels, Mol. Cell. Endocrinol., 256, 40–48.

Gatien, M. L., A. K. Hotchkiss, G. N. Neigh, F. S. Dhabhar, and R. J. Nelson, 2004, Immune and Stress Responses in C57BL/6 and C3H/HeN Mouse Strains Following Photoperiod Manipulation, Neuroendo-crinol. Lett., 25:4, 267-272.

Gao, H., M. Tong, Y. Hu, Q. Guo, R. Ge, and M. P. Hardy, 2003, Mechanisms of Gluco-corticoid-induced Leydig Cell Apoptosis, Mol. Cell. Endocrinol., 199, 153-163. Gao, H., M. Tong, Y. Hu, Q. Guo, R. Ge, and M. P.

Hardy, 2002, Glucocorticoid Induces Apoptosis in Rat Leydig Cells, Endocrinology, 143, 130-138.

Ganong, W.F., 2002, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 20, Wijajakusumah, H.M.D, Editor, Penerbit EGC, Jakarta.

Hardy, M. P., H. Gao, Q. Dong, R. Ge, Q. Wang, W. Chai, X. Feng, and C. Sottas, 2005, Stress Hormone and Male Reproductive Function (review), Cell Tissue Res., 322, 147–153. Johnson, M.H., dan B. J. Everitt, 2000, Essential

Reproduction 5th Edition, Blackwell Science Ltd, London.

Kohyama, J., 2009, A Newly Proposed Disease Condition Produced By Light Exposure During Night : Asynchronization (review), J. Brain and Development, 31, 225-273. Kus, I., N. Akpolat, H. Oner, A. Ayar, H. Pekmez, O.

A. Ozen, and M. Sarsilmaz, 2003, The Effects Photoperiod on Testes in rat: A Morphometric and Immunohistochemical Study, Neuroendocrinol. Lett., 24:(3-4), 209–214.

Mohawk, J., J. Pargament, and T. Lee, 2007, Circadian Dependence of Corticosterone Release to Light Exposure in the Rat, Physiology and Behaviour., 92:5, 800–806. Milosevi´c, V., S. Trifunovi´c, M. Sekuli´c, B.

Sosi´c-Jurjevi´c, B. Filipovi´c, N. Negi´c, N. Nestorovi´c, S. M. Manojlovi´c and V. Starcevi´c, 2005, Chronic Exposure to Constant Light Affects Morphology and Secretion of Adrenal Zona Fasciculata Cells

in Female Rats, Gen. Physiol. Biophys., 24, 299-309.

Macchi, M. and J. Bruce, 2004, Human Pineal Physiology and Functional Significance of Melatonin (review), Neuroendocrinology, 25, 177–195.

Malpaux, B., M. Migaud, H. Tricoire, and P. Chemineau, 2001, Biology of Mammalian Photoperiodism and the Critical Role of the Pineal Gland and Melatonin (review), Journal of Biology Rhythms, 16:4, 336-347. Nieschlag, E., H. M. Behre, and S. Nieschlag, 2010,

Andrology, Male Reproductive Health and Dysfunction 3rd Edition, Springer-Velag, Berlin.

Navara, K. and R. Nelson, 2007, The Dark Side of Light at Night: Physiological, Epidemiological, and Ecological Consequences (review), J. Pine Res., 43, 215–224.

Prendergast, B. J., A. Kampf-Lassin, J. R. Yee, J. Galang, N. McMaster, and L. M. Kay, 2007, Winter Day Lengths Enhance T Lymphocyte Phenotypes, Inhibit Cytokine Responses, and Attenuate Behavioral Symptoms of Infection in Laboratory Rats, Brain Behavior Immunity, 21:8, 1096–1108. Sarwono, J., 2009, Statistika Itu Mudah : Panduan

Lengkap untuk Belajar Komputasi Statistik menggunakan SPSS 16, Penerbit Andi, Jogjakarta.

Saladin, K., 2002, Anatomy and Physiology: The Unity of Form and Function with OLC Bind-in Card, McGraw-Hill Science, USA. Sankar, B. R., R. R. M. Maran, S. Sudha, P.

Govindarajulu, and K. Balasubramanian, 2000, Chronic Corticosterone Treatment Impairs Leydig Cel1 11 Hydroxysteroid Dehydrogenase Activity and LH-Stimulated Testosterone Production, Horm Metab Res., 32, 142—146.

Trihendradi, C., 2009, Step by Step SPSS 16. Analisis Data Statistik, Penerbit Andi, Jogjakarta. Vanecek, J. and K. Watanabe, 2002, Mechanisms Of

Melatonin Action In The Pituitary And SCN, 191-197 dalam Olcese, James., Eds, Melatonin After Four Decades An Assessment of Its Potential, Kluwer Academic Publishers, New York.

Walton, J.C., Z. M. Weil, and R. J. Nelson, 2010, Influence of Photoperiod on Hormones, Behavior, and Immune Function (review), Frontiers Neuroendocrinology, In press. Welsh, D. K., J. S. Takahashi, and S. A. Kay, 2010,

Suprachiasmatic Nucleus: Cell Autonomy and Network Properties (review), Annu. Rev. Physiol., 72, 551–77.

Wen-Pei, M., J. Cao, M. Tian, M. Cui, H. Han, Y. Yang, and L. Xu, 2007, Exposure to Chronic Constant Light Impairs Spatial Memory and

(7)

Influences Long-term Depression in Rats, Neurosci. Res., 59, 224–230.

WHO, 1999, WHO Laboratory Manual for the Examination of Human Serum and Semen-cervical Mucus Interaction, Cambridge University Press, New York.

Zemkova, H., A. Balik, and P. Mazna, 2008, Melatonin inhibition of

gonadotropin-releasing hormone-induced calcium signaling and hormone secretion in neonatal pituitary gonadotrophs, 59-82 dalam Haldar, C., M. Singaravel, S. Perumal, and D. Cardinali, Eds, Experimental Endocrinology and Reproductive Biology, Science Publisher, New Hampsire.

Gambar

Gambar 1. Gambar bagian A menunjukkan kadar  kortikosteron plasma mencit setelah pendedahan  fotoperiode
Gambar 2. Gambar bagian A, B dan C secara  berturut-turut menunjukkan rerata kadar testosteron  plasma, rerata berat testis dan rerata jumlah sperma  pada mencit setalah pendedahan fotoperiode

Referensi

Dokumen terkait

• Operation adalah implementasi dari sebuah service yang dapat direques dari object class untuk menghasilkan behaviour..

Kemudian seorang jenius lain adalah Yaqut Al- Musta‟shimi yang disebutkan dalam sejarah sebagai yang memberikan keindahan tiada tara semasanya pada bidang kaligrafi,

Pengaruh AdopsiInternational Financial Reporting Standards Good Corporate Governance, Dan Asimetri Informasi Terhadap Manajemen Laba Pada Perusahaan Otomotif Dan

“ analisis formalis dari karya seni mempertimbangkan efek estetika yang diciptakan oleh bagian-bagian komponen dari desain, bagian-bagian ini disebut elemen formal,

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya, dan saya bersedia dituntut di depan pengadilan serta bersedia menerima segala tindakan yang diambil oleh pemerintah,

LAMPU OTOMATIS YANG DIAKTIFKAN SUARA adalah suatu rangkaian elektronika yang outputnya berupa lampu menyala dengan memberikan input suara yang kepekaannya dapat diatur

PERBANDINGAN HASIL PASSING MENGGUNAKAN KAKI BAGIAN DALAM (INSIDE) DENGAN PASSING MENGGUNAKAN KAKI BAGIAN LUAR (OUTSIDE)TERHADAP KETEPATAN PASSING PENDEK FUTSAL..

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan komunikasi terapeutik perawat terhadap tingkat stres hospitalisasi anak usia sekolah yang dirawat