• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mill Scale

Hingga saat ini bahan-bahan oksida besi masih menjadi salah satu fokus kajian penting dalam kegiatan riset. Secara alamiah bahan-bahan tersebut ditemukan dalam bentuk mineral oksida besi berupa magnetit (Fe3O4), maghemit

(γFe2O3) dan hematit ( Fe2O3). Berdasarkan keunggulan sifat kemagnetannya,

bahan oksida besi telah dimanfaatkan secara luas untuk berbagai produk seperti sensor, tinta, katalis, film tipis, dan beberapa produk berteknologi nano partikel. Di indonesia oksida besi dapat ditemukan pada beberapa bahan lokal diantaranya pada sisa produk pembuatan besi baja, atau yang dikenal sebagai mill scale, serta pada bahan alam pasir besi, senyawa tersebut terbentuk secara alamiah pada saat proses pembentukan batuan. Meskipun kedua bahan lokal tersebut mengandung senyawa dominan dengan jenis dan persentase yang berbeda, namun pada keduanya terdapat ketiga jenis oksida besi yaitu magnetit, maghemit dan hematit. Keberadaaan oksida besi pada mill scale menjadikan sangat potensialnya untuk dikembangkan lebih lanjut menjadi produk lebih berdaya guna dan bernilai ekonomi tinggi. Selain itu ketersediaanya yang melimpah menjadi salah satu faktor pendorong untuk dikembangkannya bahan-bahan lokal [Prasetya, 2007].

Mill scale merupakan salah satu limbah hasil industri baja dalam proses hot rolling maupun cold rolling. Kandungan di dalamnya berupa material besi oksida dalam bentuk (magnetit, hematit, dan wustit). Jumlah limbah ini sangat besar, selama ini material selain dilakukan pengecoran kembali juga diekspor dalam bentuk raw material dengan jumlah yang sangat besar sehingga perlu dilakukan sebuah upaya alternatif pengolahan untuk meningkatkan nilai ekonomi [Rahman dkk, 2013].

Dengan melihat korelasi kandungan dari mill scale yang berupa ion bisa dilakukan pengolahan mill scale menjadi pigmen besi oksida dengan menggunakan proses reaksi kimia/fisika. Dan telah diketahui bahwa untuk

(2)

mengetahui fasa hematit dilakukan kalsinasi pada temperatur 9000C dan diperoleh fasa tunggal.

Material mill scale merupakan campuran antara Fe2O3 dan Fe3O4 dengan

fraksi masing-masing adalah 99,71% dan 0,29% menjadikan material ini menjadi material dua fasa. Pada proses oksidasi 9000C selama waktu oksidasi minimal 1 jam diperoleh material besi oksida fasa tunggal berupa Fe2O3 [Rahman dkk,

2013].

Pelet nano kristalin besi telah dibuat dari serbuk mill scale melalui proses konvensional. Efek dari suhu sintering dan waktu terhadap sifat fisis dan magnet telah diteliti. Metode Archimedes sama halnya dengan Universal Testing Machine telah digunakan untuk menentukan sifat fisis dari pelet. Sementara itu, fasa yang terbentuk dan sifat magnet yang dihasilkan diteliti dengan menggunakan x-ray diffraction, scanning electron microscope dan vibrating sample magnetometer. Hasil menunjukkan bahwa dengan suhu pembakaran 11000C, dengan tekanan 832kgF/cm2 dan bulk density tertinggi adalah 3.93 g/cm3, sedangkan magnetisasi saturasi tertinggi 45.2 emu/g dan koersivitas terendah 6.13 Oe yang dicapai sampel pada suhu 12000C. Efek lama pembakaran dan suhu optimum terhadap sifat fisis dan sifat magnet yang dihasilkan pelet tidak signifikan . struktur kristal berubahdari tetragonal menjadi kubik seiring dengan disosiasi Fe [Ahmed dkk, 2008].

2.1.1 Hematite (Fe2O3)

Fe2O3 termasuk dalam besi oksida. Mineral ini mempunyai warna abu-abu,

putih dan coklat. Mineral ini memiliki struktur kristal isometrik. Fasa-fasa pada Fe2O3 antara lain:

- Fasa alpha

- Fe2O3 memiliki struktur rhombohedral. Itu terjadi secara alami sebagai

mineral hematit yang merupakan hasil utama dari penambangan, dan memiliki sifat antiferomagnetik. Fasa ini mudah dibuat menggunakan thermal decomposition dan presipitasi pada fasa cair. Sifat magnetiknya bergantung pada beberapa faktor yaitu tekanan, ukuran partikel, dan intensitas medan magnetik.

(3)

- Fasa beta

- Fe2O3 memiliki struktur kristal FCC, bersifat metastabil, pada suhu

500oC berubah menjadi fasa alpha. Dapat dibuat dengan mereduksi hematit dengan menggunakan karbon, pyrolysis dari larutan besi (III) klorida, atau thermal decomposition dari besi (III) sulfat.

- Fasa Gamma

-Fe2O memiliki struktur kristal kubik, bersifa metastabil, berubah menjadi

fasa alpha pada temperatur yang tinggi. Di alam berbentuk sebagai maghemite. Bersifat ferrimagnetik, dan pada ukuran partikel yang ultra halus yang lebih kecil daripada 10 nm bersifat superparamagnetik.

2.2 Ferromolybdenum (FeMo)

Besi (Fe) merupakan unsur transisi yang mempunyai sifat logam sebagaimana semua unsur transisi lainnya. Sifat logam ini dipengaruhi oleh kemudahan unsur tersebut untuk melepas elektron valensi. Besi juga merupakan unsur logam terbanyak di bumi ini yang membentuk 5% kerak bumi,namun jarang memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Endapan besi yang ekonomis biasanya berupa magnetite dan hematite. Magnetite merupakan bijih yang mengandung Fe paling tinggi tetapi terdapat dalam jumlah yang kecil. Berbeda dengan hematite yang merupakan bijih yang paling dibutuhkan dalam industri besi. [Nurul, 2011]. Fe tergolong bahan ferromagnetik sehingga termasuk bahan yang memiliki nilai remanensi yang baik dan suseptibilitas yang baik juga [Iwan, 2014].

Besi dengan simbol Fe mempunyai nomor atom 26, massa atom 55,845 g/mol, titik didih 3143 K, titik lebur 1811 K, struktur kristal BCC, dan warna perak keabu-abuan. [syukri, 1999].

Molybdenum adalah elemen logam yang seringkali digunakan sebagai aditif pada pada baja. Molybdenum dapat meningkatkan kekuatan, kekerasan, mampu las, ketahanan terhadap temperatur tinggi, dan ketahanan terhadap korosi.

Walaupun molybdenum sering digunakan dalam pencampuran baja, molybdenum memiliki sifat unik dan kompleks telah terbukti salah satu sifat unik molybdenum yang langka dibandingkan metal keras lainnya, hasil laboratorium

(4)

telah menunjukkan komponennya mengandung sifat racun yang rendah [Wimbledon, 1998].

2.3 Pembuatan Sampel Uji

Secara teoritis semua logam dapat dibuat menjadi serbuk, tetapi hanya beberapa logam yang dimanfaatkan dalam pembuatan serbuk logam. Metode yang digunakan dalam pembentukan serbuk tergantung pada sifat-sifat khusus material [German, 1994].

Bahan baku yang digunakan dalam proses penggilingan adalah serbuk. Ukuran serbuk yang digunakan umumnya berkisar antara 1 mm - 20 mm. Semakin kecil ukuran partikel yang digunakan, maka proses penggilingan akan semakin efektif dan efisien. Selain itu serbuk yang digunakan juga harus memiliki kemurnian yang sangat tinggi. Namun ukuran tidaklah terlalu kritis, asalkan ukuran material itu haruslah lebih kecil dari ukuran bola gerinda. Ini disebabkan karena ukuran partikel serbuk akan berkurang dan akan mencapai ukuran mikron setelah dimilling beberapa jam. Selain itu serbuk yang dimilling dengan cairan misalnya dengan toluene dan dikenal dengan penggilingan basah. Dan telah diteliti bahwa kecepatan atmosfir lebih cepat selama proses penggilingan basah daripada penggilingan kering. Kerugian dari penggilingan basah adalah meningkatnya kontaminasi serbuk [C.Suryanaraya, 2001].

2.3.1 Bentuk dan ukuran Partikel

Bentuk dari partikel tergantung dari cara pembuatannya, bentuk partikel ini akan mempengaruhi packing, aliran, dan kompresitas [German, 1994].

Ukuran partikel dan distribusi ukuran partikel, keduanya memiliki pengaruh dalam sifat bulk density. Perubahan kecil pada ukuran partikel bisa menyebabkan perubahan yang signifikan. Ukuran partikel merupakan faktor penting dalam mengatur struktur susunan serbuk dan pada waktu yanng bersamaan gaya interparticulate mempengaruhi kekuatan struktur serbuk [Ganesan dkk, 2008].

(5)

2.3.2 Distribusi Ukuran Partikel

Dalam memproduksi serbuk logam ukuran partikel yang dihasilkan tidaklah seragam, terdapat daerah ukuran partikel serbuk. Ukuran partikel yang terkumpul tersebut lalu dianalisa distribusi ukuran partikelnya kemudian distribusi ukuran partikel dibuat dalam bentuk histogram atau frekuensi yang menunjukkan jumlah dari serbuk pada tiap-tiap ukuran.Pengaruh distribusi ukuran partikel ini adalah pada appereant density, densitas, dan porositas produk [Amstead dkk, 1985].

2.3.3 Mechanical Milling

Mechanical Milling atau milling adalah suatu penggilingan mekanik dengan suatu proses penggilingan bola dimana suatu serbuk yang ditempatkan dalam suatu wadah penggiilingan digiling dengan cara dikenai benturan bola-bola berenergi tingi. Proses ini merupakan metode pencampuran yang dapat menghasilkan produk yang sangat homogen. Proses milling disini selain bertujuan untuk memperoleh campuran yang homogen juga dapat memperoleh partikel campuran yang relatif lebih kecil sehingga dapat diharapkan sifat magnetikyang baik dari bahan [F. Izuni, 2012].

Dalam mekanik milling serbuk akan dicampur dalam suatu chamber (ruangan) dan dikenai energi tinggi terjadi deformasi yang berulang-ulang sehingga terjadi partikel-partikel yang lebih kecil dari sebelumnya. Akibat dari tumbukan pada tiap tipe dari unsur partikel serbuk akan menghasilkan bentuk yang berbeda juga, untuk bahan yang ulet, sebelum terjadi fracture akan menjadi flat atau pipih terlebih dahulu, sedangkan untuk bahan yang getas akan langsung terjadi fracture dan menjadi partikel serbuk yang lebih kecil. Saat dua bola bertumbukan berulang-ulang menyebabkan terjadinya penggabungan alloying. [Suryanaraya, 2003].

Proses milling memiliki dua metode yaitu: Metode dry milling dan wet milling. Dalam metode dry milling proses milling untuk menghindari terjadinya proses oksidasi dilakukan pemberian gas innert seperti argon atau nitrogen. Sedangkan dalam wet milling untuk menghindari terjadinya oksidasi maka

(6)

selama proses milling diberi campuran toluene. Adapun yang mempengaruhi proses milling antara lain adalah:

2.3.4 Tipe Milling

Tipe-tipe milling berbeda dari peralatan milling yang digunakan untuk menghaluskan ukuran partikel serbuk. Perbedaannya terletak pada kapasitasnya, efisiensi milling, dan kecepatan putar jar milling. Tipe-tipe milling tersebut antara lain: rotary ball mill, high energy milling, shaker milling, planetary ball mill, attritor mill [Nurul, 2007].

Ball mill adalah salah satu jenis mesin penggiling yang digunakan untuk menggiling suatu bahan material menjadi bubuk yang sangat halus. Mesin ini sangat umum digunakan untuk proses milling. Secara umum prinsip kerjanya yaitu dengan cara menghancurkan campuran serbuk melalui mekanisme pembenturan bola-bola giling yang bergerak mengikuti pola gerakan wadahnya yang berbentuk elips tiga dimensi inilah yang memungkinkan pembentukan partikel-partikel serbuk berkala mikrometer sampai nanometer akibat tingginya frekuensi tumbukan. Tingginya frekuensi tumbukan yang terjadi antara campuran serbuk dengan bola-bola giling disebabkan karena wadahnya yang berputar dengan kecepatan tinggi [Nurul,2007].

2.3.5 Bola Milling

Fungsi bola milling dalam proses penggilingan adalah sebagai penghancur srbuk atau digunakan sebagai pengecil ukuran partikel. Oleh karena itu, material pembentuk bola giling harus memiliki kekerasan yang tinggi agar tidak terjadi kontaminasi saat terjadi benturan dan gesekan antara serbuk, bola dan wadah penggilingan. Ukuran bola yang dapat digunakan dalam proses milling ini bermacam-macam. Pemilihan ukuran bola bergantung pada ukuran serbuk yang akan dipadu. Bola yang akan digunakan harus memiliki diameter yang lebih besar dibandingakan dengan diameter serbuknya [Solafide, W., 2015].

Rasio berat bola/ball powder ratio (BPR) adalah variabel yang penting dalam proses milling, rasio berat-serbuk mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap waktu yang dibutuhkan untuk mencapai fasa tersebut dari bubuk yang

(7)

dimilling. Semakin tinggi BPR semakin pendek waktu yang dibutuhkan. Hal ini dikarenakan peningkatan berat bola tumbukan per satuan waktu meningkat dan konsekuensinya adalah banyak energi yang ditransfer ke partikel serbuk dan proses milling berjalan lebih cepat.

Gambar 2.1 Bola-bola milling

2.3.6 Kecepatan Milling

Besar kecepatan maksimum tiap tipe milling akan berbeda, ketika perputaran ball mill semakin cepat, maka energi yang dihasilkan juga akan semakin besar. Tetapi disamping itu, design dari milling ada pembatasan kecepatan yang harus dilakukan. Sebagai contoh pada ball mill, meningkatkan kecepatan akan mengakibatkan bola yang ada di dalam chamber juga akan semakin cepat pergerakannya, tenaga yang dihasilkan juga besar. Tapi jika kecepatan melebihi kecepatan kritis maka akan terjadi pinned pada dinding bagian dalam sehingga bola-bola tidak jatuh sehingga tidak menghasilkan gaya impact yang optimal. Hal ini akan berpengaruh ke waktu yang dibutuhkan untuk mencapai hasil yang diinginkan [suryanaraya,2003].

2.3.7 Waktu Milling

Waktu milling merupakan salah satu parameter yang penting untuk milling pada serbuk. Pada umumnya waktu dipilih untuk mencapai posisi tepatnya antara pemisahan dan pengelasan partikel serbuk untuk memudahkan memadukan logam. Variasi waktu yang diperlukan tergantung pada tipe milling yang digunakan, pengaturan milling, intensitas milling BPR, dan temperatur pada milling. Pada umumnya dihitung waktu yang diambil untuk mencapai kondisi yang tepat, yaitu jangka pendek untuk energi milling yang tinggi, dan

(8)

jangka waktu lama ketika dengan energi milling yang rendah. Waktu yang dibutuhkan lebih sedikit untuk BPR dengan nilai-nilai yang tinggi dan waktu yang lama untuk BPR dengan nilai rendah [Suryanaraya, 2003].

2.3.8 Mekanisme Sintering

Proses sintering merupakan proses pemadatan material serbuk dengan cara membentuk ikatan batas butir antar serbuk penyusunnya. Ikatan antar butir terjadi akibat pemanasan dengan atau tanpa penekanan dan temperatur sintering diatur dibawah temperatur leleh dari partikel penyusunnya [German, 1994].

Pada proses sinter, benda padat terjadi karena terbentuk ikatan-ikatan antar partikel. Panas menyebabkan bersatunya partikel dan efektivitas reaksi tegangan permukaan meningkat, dengan kata lain, proses sinter menyebabkan bersatunya partikel sedemikian rupa sehingga kepadatan bertambah. Selama proses ini terbentuklah batas-batas butir, yang merupakan tahap permulaan rekristalisasi. Di samping itu, gas yang ada menguap dan temperatur sinter umumnya berada di bawah titik cair unsur serbuk utama. Selama sinter terjadi perubahan dimensi, baik berupa pengembangan maupun penyusutan tergantung pada bentuk dan distribusi ukuran partikel serbuk, komposisi serbuk, prosedur sinter dan tekanan pemampatan [German, 1994].

2.4 Magnet

Magnet atau magnit adalah suatu objek yang mempunyai medan magnet. Kata magnet berasal dari bahasa yunani magnitis lithos yang berarti batu magnesian. Magnesian adalah nama suatu wilayah di yunani pada masa lalu yang kini bernama manisa (sekarang berada di wilayah turki) dimana terkandung batu magnet yang ditemukan sejak zaman dahulu di wilayah tersebut. Berdasarkan asalnya, magnet dibagi menjadi dua kelompok, yaitu magnet alam dan magnet buatan. Magnet alam adalah magnet yang ditemukan di alam, sedangkan magnet buatan adalah magnet yang sengaja dibuat oleh manusia. Magnet buatan selanjutnya terbagi lagi menjadi magnet permanen dan magnet sementara. Magnet permanen adalah magnet yang sifat kemagnetannya tetap (terjadi dalam waktu

(9)

yang cukup lama). Sebaliknya, magnet sementara adalah magnet yang sifat kemagnetannya tidak tetap atau sementara [William,2011].

Magnet dapat menarik benda lain, beberapa benda bahkan tertarik lebih kuat dari yang lain, yaitu bahan logam. Namun tidak semua logam mempunyai daya tarik yang sama terhadap magnet. Besi dan baja adalah dua contoh materi yang mempunyai daya tarik yang tinggi oleh magnet. Sedangkan oksigen cair adalah contoh materi yang mempunyai daya tarik yang rendah oleh magnet. Satuan internasional magnet menurut sistem metrik Satuan Internasional (SI) adalah Tesla dan SI unit untuk total fluks magnet adalah weber (1 weber/m2 = 1 tesla) yang mempengaruhi luasan satu meter persegi [Anonim,2014].

2.4.1 Medan Magnet

Medan magnet adalah daerah disekitar magnet yang masih merasakan adanya gaya magnet. Jika sebatang magnet diletakkan dalam suatu ruang, maka terjadi perubahan dalam ruang ini yaitu dalam setiap titik dalam ruang akan terdapat medan magnetik. Arah medan magnetik disuatu titik didefenisikan sebagai arah yang ditunjukkan oleh kutub utara jarum kompas ketika ditempatkan pada titik tersebut [Halliday&Resnick,1989].

2.4.2 Momen Magnetik

Bila terdapat dua buah kutub magnet yang berlawanan +m dan –m terpisah sejauh l, maka besarnya momen magnetiknya ( ⃑⃑ ) adalah

⃑⃑ ) = ml ̂ (2.1)

Dengan ⃑⃑ adalah sebuah vektor dalam arah vektor unit ̂ berarah dari kutub negatif ke kutub positif. Arah momen magnetik atom-atom bahan non magnetik adalah acak sehingga momen magnetik resultannya menjadi nol. Sebaliknya di dalam bahan-bahan magnetik, arah momen magnetik atom-atom bahan itu teratur sehingga momen magnetik resultan tidak nol.

(10)

2.3 Arah momen magnetik bahan magnetik Satuan momen magnet dalam SI adalah A.m2

2.4.3 Induksi Magnetik

Induksi magnet didefenisikan sebagai medan total bahan. Suatu bahan magnetik yang diletakkan dalam medan luar ̅ akan menghasilkan medan tersendiri ̅̅̅ yang meningkatkan nilai total medan magnetik bahan tersebut. Induksi magnetik diformulasikan sebagai berikut:

̅ = ̅ + ̅̅̅ (2.2)

Hubungan medan sekunder ̅̅̅= 4 ̅, satuan ̅ dalam cgs adalah gauss, dan dalam SI adalah Tesla

2.4.4 Kuat Medan Magnetik

Kuat medan magnet ( ̅ pada suatu titik yang berjarak r dari m1 didefenisikan sebagai gaya persatuan kuat kutub magnet, dapat dituliskan sebagai:

̅ = ̅

= ̅ (oersted) (2.3)

Dengan r adalah jarak titik pengukuran dari m. ̅ mempunyai satuan A/m dalam SI sedangkan dalam cgs ̅ mempunyai satuan oersted.

2.4.5 Intensitas Kemagnetan

Sejumlah benda-benda magnet dapat dipandang sebagai sekumpulan benda megnetik. Apabila benda tersebut diletakkan dalam medan luar, benda tersebut menjadi termagnetisasi karena induksi. Dengan demikian, intensitas kemagnetan dapat didefenisikan sebagai tingkat kemampuan menyearahkan momen-momen magnetik dalam medan magnetik luar dapat juga dinyatakan sebagai momen magnetik per satuan volume. Satuan magnetisasi dalam cgs adalah gauss atau emu.cm-3 dan dalam Sistem internasional adalah Am-1(Afza E., 2011).

(11)

Intensitas magnet (kuat medan magnet) adalah bilangan perbandingan rapat fluks magnetik di ruang hampa udara dan permeabilitas ruang tersebut

H =

(2.4)

[Astuti.Irnin, 2012].

2.5 Bahan Magnetik

Bahan magnetik adalah bahan yang memiliki sifat kemagnetan dalam komponen pembentuknya. Menurur sifatnya terhadap adanya pengaruh kemagnetan, bahan magnet ini dapat digolongkan menjdai 5 yaitu bahan diamagnetik, paramagnetik, ferromagnetik, anti ferromagnetik, dan ferrimagnetik [Jiles, D. C, 1998].

2.5.1 Bahan Diamagnetik

Diamagnetik merupakan sifat universal dari atom karena terjadi gerakan elektron pada orbitnya mengelilingi nukleus. Elektron dengan gerakan seperti ini merupakan suatu rangkaian listrik, dan dari hukum Lenz diketahui bahwa gerakan ini diubah oleh medan yang diterapkan sedemikian rupa sehingga menimbulkan gaya tolak [Smallman, R.E, 2000].

Bahan diamagnetik adalah bahan yang resultan medan magnet atomis masing-masing atom/molekulnya adalah nol, tetapi medan magnet akibat orbit dan spin elektronnya tidak nol [Halliday& Resnick, 1978].Material diamagnetik mempunyai suseptibilitas magnetik negatif kecil, yang berarti akan bersifat lemah terhadap medan magnetik luar yang diberikan [Matthew, 2013].

Sifat diamagnetik bahan ditimbulkan oleh gerak orbital elektron. Suatu bahan dapat bersifat magnet apabila susunan atom dalam bahan tersebut mempunyai spin elektron yang tidak berpasangan. Dalam bahan diamagnetik hampir semua spin elektron berpasangan, akibatnya bahan ini tidak menarik garis gaya. Permeabilitas bahan ini < dengan suseptibilitas magnetik bahan: < 0. Nilai bahan diamagnetik mempunyai orde -10-5 m3/kg. Contoh bahan diamagnetik yaitu: bismut, perak, emas, tembaga dan seng.

(12)

2.5.2 Bahan Paramagnetik

Bahan paramagnetik adalah bahan yang resultan medan magnet atomis masing-masing atom atau molekulnya tidak nol, tetapi resultan medan magnet atomis total seluruh atom/molekul dalam bahan nol, hal ini disebabkan karena gerakan atom/molekul acak, sehingga resultan medan magnet atomis masing-masing atom saling meniadakan [Halliday & resnick, 1978]. Setiap elektron berperilaku seperti magnet kecil dan dalam medan magnetik memiliki salah satu dari dua orientasi, yaitu searah atau berlawanan dengan arah medan, tergantung pada arah spin elektron tersebut. Sifat paramagnetik ditimbulkan oleh momen magnetk spin yang menjadi terarah oleh medan magnet luar. Dalam bahan ini hanya sedikit spin elektron yang tidak berpasangan, sehingga bahan ini sedikit menarik garis-garis gaya. Dalam bahan paramagnetik, medan B yang dihasilkan akan lebih besar dibanding dengan nilainya dalam hampa udara. Suseptibilitas magnet dari bahan paramagnetik adalah positif dan berada dalam rentang 10-5 -10-3 m3/kg, sedangkan permeabilitasnya > . Contoh bahan paramagnetik: aluminium, magnesium dan wolfram [Nicola, 2003].

2.5.3 Bahan Ferromagnetik

Bahan ferromagnetik mempunyai resultan medan magnet atomis besar, hal ini disebabkan oleh momen magnetik spin elektron. Pada bahan ini banyak spin elektron yang tidak berpasangan, masing-masing spin elektron yang tidak berpasangan ini akan menimbulkan medan magnetik, sehingga medan magnet total yang dihasilkan oleh satu atom menjadi lebih besar [halliday & resnick, 1989].

Ferromagnetisme seperti paramagnetisme, berasal dari spin elektron. Namun, pada matetrial ferromagnetik, dihasilkan magnet permanen dan ini menunjukkan bahwa ada kecenderungan dari spin elektron untuk tidak berubah arah meskipun medan ditiadakan. Pada logam ferromagnetik terjadi penyearahan spin elektron secara spontan karena interaksi yang kuat, meski tidak diterapkan suatu medan [smallman, R. E, 2000].

(13)

2.5.4 Bahan Anti Ferromagnetik

Pada bahan anti ferromagnetik terjadi peristiwa kopling momen magnetik di antara atom-atom atau ion-ion yang berdekatan. Peristiwa kopling tersebut menghasilkan terbentuknya orientasi spin anti paralel. Satu set dari ion magnetik secara spontan termagnetisasi di bawah temperatur kritis. Temperatur menandai perubahan sifat magnet dari anti ferromagnetik ke paramagnetik. Susceptibilitas bahan anti ferromagnetik adalah kecil dan bernilai positif. Suseptibilitasnya menurun seiring menurunnya temperatur [ Matthew, 2013].

2.5.5 Bahan Ferrimagnetik

Material ferrimagnetik seperti ferrit (misalnya Fe3O4) menunjukkan sifat

serupa dengan material ferromagnetik untuk temperatur di bawah harga kritis yang disebut dengan temperatur Curie (Tc). Pada temperatur di atas Tc maka

material ferrimagnetik berubah menjadi paramagnetik. Ciri khas material ferrimagnetik adalah adanya momen dipol yang besarnya tidak sama dan berlawanan arah.

2.6 Sifat-sifat Magnet

Sifat-sifat yang terdapat dalam benda magnetik antara lain adalah: a. Induksi remanen (Br)

Induksi remanen yang tertinggal dalam sirkuit magnetik (besi lunak) setelah memindahkan/menghilangkan pengaruh bidang magnetik. Ketika arus dialirkan pada sebuah kumparan yang melilit besi lunak maka akan terjadi orientasi pada partikel-partikel yang ada dalam besi. Orientasi ini mengubah/mengarahkan pada kutub utara dan selatan.

b. Saturasi magnetisasi adalah keadaan dimana terjadi kejenuhan, nilai medan magnet B akan selalu konstan walaupun medan eksternal H dinaikkan terus. Remanensi bergantung pada saturasi magnetisasi. Untuk magnet permanen saturasi magnetisasi seharusnya lebih besar daripada soft magnet. Kerapatan dari bahan ferit lebih rendah dibandingkan logam-logam lain dengan ukuran yang sama. Oleh karenanya nilai saturasi dari bahan ferrit relatif lebih rendah.

(14)
(15)

dalam magnet permanen secara umum jauh lebih besar dari pada dalam bahan soft magnet.

Magnet keras adalah material yang sulit dimagnetisasi dan sulit di demagnetisasi. Karena hasil kali medan magnet (A/m) dan induksi (V.det/m2) merupakan energi per satuan volume, luas daerah hasil integrasi di dalam loop histerisis adalah sama dengan energi yang diperlukan untuk satu siklus magnetisasi mulai dari 0 sampai +H hingga – H sampai 0. Energi yang dibutuhkan magnet lunak dapat diabaikan, medan magnet keras memerlukan energi lebih banyak sehingga pada kondisi ruang, demagnetisasi dapat diabaikan [Ginting, D., 2015].

Karakteristik material ferromagnetik dapat dilihat dari bentuk kurva histerisis yang menggambarkan hubungan antara medan magnet luar, induksi magnet dan magnetisasi dengan persamaan:

B = (H + M) (2.7)

Dengan:

B = Induksi Magnet (tesla) H = Medan magnet luar (A/m)

= Permeabilitas ruang hampa M = Magnetisasi (A/m)

Gambar 2.5 menunjukan bentuk kurva histerisis dari bahan feromagnetik. Dari keadaan saturasi, saat medan magnet luar H direduksi menjadi nol, ternyata kurva tidak kembali seperti keadaan semula tetapi memiliki fluks magnet sisa . fluks magnet tersisa saat h = 0 ini disebut sebagai remanen. Pada keadaan ini sebagian momen-momen magnet tidak kembali ke orientasi sebelum diberi medan luar H, sehingga material termagnetisasi sebagian. Proses dilanjutkan dengan membalikkan arah medan magnet luar, dan terus ditambah sehingga dicapai nilai fluks magnet B menjadi nol. Nilai medan arah balik H pada saat B = 0 disebut koersivitas. Pada keadaan ini, orientasi seluruh momen magnet kembali acak. Medan arah balik kemudian direduksi menuju nol dan dicapai nilai remanen arah balik, -Br. Proses dilanjutkan dengan medan luar positif sehingga dicapai nilai koersivitas positif Hc dan terus menuju titik

(16)

magnetisasi saturasi. Dari bentuk kurva histerisis tersebut kita dapat membedakan antara soft magnetik dan hard magnetik.Soft magnetik memiliki nilai koersivitas dan remanen yang kecil, sehingga bentuk kurva sangat pipih. Sedangkan hard magnetik memiliki nilai koersivitas dan remanen yang cukup besar.

Gambar 2.5 Loop Histerisis f. Medan Anisotropi

Medan anisotropi merupakan nilai intrinsik yang sangat penting dari magnet permanen karena nilai ini merupakan koersivitas maksimum yang menunjukkan besar medan magnet luar yang diberikan dengan arah berlawanan untuk menghilangkan medan magnet permanen. Anisotropi adalah metode menyearahkan domain dari magnet sehingga partikel-partikel pada magnet terorientasi [Young Joon An, 2008].

Anisotropi pada magnet dapat muncul disebabkan oleh beberapa faktor seperti: bentuk magnet, struktur kristal, efek stress dan sebagainya [S.Puneet, 2008].

g. Energi Produk Maksimum (Bhmax)

Energi Produk menyatakan jumlah energi yang tersimpan dalam magnet persatuan volume. Nilai energi produk sangat dipengaruhi oleh remanen, koersivitas, dan bentuk kurva histerisis. Energi produk dalam hubungannya dengan kurva histerisis adalah luas pada kuadran II kurva tersebut [Hasan,2008].

(17)

Untuk melihat energi produk maksimum (Bhmax) dari magnet

tersebut dapat diperoleh dari nilai maksimal hasil perkalian antara B dan H pada kuadran kedua histerisis (daerah demagnetisasi). Semakin tinggi remanensi, maka gaya koersivitas dan loop histerisis semakin gemuk dan semakin besar pula energi produk maksimalnya [Billah, 2006].

Permagraf merupakan salah satu alat ukur sifat magnet dari berbagai kelompok seperti Alnico, Ferrite, atau dari logam tanah jarang. Sifat magnet yang diukur permagraf antara lain adalah: koersifitas Hc, nilai produk maksimum (BH) max dan remanensi Br. Hasil yang diperoleh dari permagraf yaitu untuk mengukur kurva histerisis, menentukan kuantitas magnet seperti koersifitas, remanensi dan nilai produk maksimum [Hia, 2015].

2.7 Jenis-jenis Magnet

Jenis-jenis magnet berdasarkan sifat kemagnetannya terdiri dari: magnet permanen dan magnet tidak tetap.

2.7.1 Magnet Permanen

Magnet permanen adalah suatu bahan yang dapat menghasilkan medan magnet yang besarnya tetap tanpa adanya pengaruh dari luar atau disebut magnet alam karena memiliki sifat kemagnetan yang tetap. Magnet permanen tidak memerlukan tenaga atau bantuan dari luar untuk menghasilkan daya magnet (bereloktromagnetik) [Silitonga, L, 2016]. Magnet NdFeB adalah jenis magnet permanen yang memiliki sifat magnet yang sangat baik, seperti pada nilai induksi remanen, koersivitas dan energi produk yang lebih tinggi pula apabila dibandingkan dengan magnet permanen lainnya [William,2015].

2.7.2 Magnet tidak Tetap

Magnet tidak tetap adalah suatu bahan yang hanya dapat menghasilkan medan magnet yang bersifat sementara. Medan magnet remanen dihasilkan dengan cara mengalirkan arus listrik atau digosok-gosokkan dengan magnet alam. Medan magnet remanen yang digunakan dalam praktek kebanyakan

(18)

dihasilkan oleh arus dalam kumparan yang berinti besi. Agar medan magnet yang dihasilkan cukup kuat, kumparan diisi dengan besi atau bahan sejenis besi sistem ini dinamakan elektromagnet [Afza, 2011].

2.8 Karakterisasi 2.8.1 Densitas

Densitas merupakan ukuran kepadatan dari suatu material. True density adalah densitas nyata dari partikel atau kepadatan sebenarrya dari partikel padat atau serbuk (powder) berbeda dengan bulk density, yang mengukur kepadatan rata-rata volume terbesar dari serbuk yang sudah dipadatkan pada pengujian true density menggunakan piknometer. Berikut persamaan yang digunakan untuk menghitung nilai true density :

(2.8)

Dimana,

= Massa piknometer kosong (g) = Massa piknometer kosong + air (g) = Massa piknometer kosong + serbuk (g) = Massa piknometer kosong + serbuk + air (g)

= Massa jenis air (g/cm3)

= True density serbuk (g/cm3)

Bulk density merupakan densitas sampel yang berdasarkan volume sampel termasuk dengan rongga atau pori. Pengujian bulk density dilakukan untuk mengukur benda padatan yang besar dengan bentuk yang beraturan maupun yang tidak beraturan. Pada pengujian bulk density menggunakan metode archimedes. Bulk density dapat dihitung dengan persamaan

(2.9)

Dimana:

Mo = Massa sampel digantung dalam air (g)

Mk = Massa sampel kering (g) = Massa jenis cairan (g/cm3)

= Bulk density bahan (g/cm3

(19)

2.8.2 Porositas

Porositas dapat didefenisikan sebagai perbandingan antara jumlah volume lubang-lubang kosong yang dimiliki oleh zat padat (volume kosong) dengan jumlah dari volume zat padat yang ditempati oleh zat padat. Porositas pada suatu material dinyatakan dalam persen (%) rongga fraksi volume dari suatu rongga yang ada di dalam material tersebut. Besarnya porositas pada suatu material bervariasi mulai dari 0% sampai dengan 90% tergantung dari jenis dan aplikasi material tersebut. Ada dua jenis porositas yaitu porositas terbuka dan porositas tertutup. Porositas yang tertutup pada umumnya sulit untuk ditentukan karena pori tersebut merupakan rongga yang terjebak di dalam padatan dan serta tidak ada akses ke permukaan luar, sedangkan pori terbuka masih ada akses ke permukaan luar, walaupun rongga tersebut ada di tengah-tengah padatan [Lisjak, 2006].

Untuk pengukuran porositas suatu bahan mengacu pada standar khususnya untuk material berpori. Porositas dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut: Porositas = (2.10) Dimana, Mk = Massa kering (g) Mb = Massa basah (g) 2.8.3 X-Ray Diffraction (XRD)

Struktur kristal dapat dianalisa dengan menggunakan difraksi sinar X atau disebut X-Ray Dfraction (XRD). Bila ada berkas gelombang elektromagnetik yang mengenai kristal akan mengalami difraksi sesuai dengan hukum fisika. Bila sinar X jatuh pada kisi kristal maka sinar akan didifraksikan, dimana sinar sefasa akan diperkuat, sedangkan sinar yang tidak sefasa akan ditiadakan. Gambaran sinar X yang mengenai bidang kristal diperlihatkan pada gambar 2.6

Sesuai dengan hukum Bragg maka hubungan d dengan ϴ dinyatakan dalam rumus sebagai berikut:

(20)

X-ray diffractometer adalah alat yang dapat memberikan data-data difraksi dan kuantitas intensitas difraksi pada sudut-sudut difraksi (2 ) dari suatu bahan. Tujuan dilakukannya pengujian analisis struktur kristal adalah untuk mengetahui perubahan fasa struktur bahan dan mengetahui fasa apa saja yang terbentuk selama proses pembuatan sampel uji.

Gambar 2.6 Pola Difraksi sinar X

Difraksi sinar-x digunakan untuk mengidentifikasi struktur kristal suatu padatan dengan membandingkan nilai jarak d (bidang kristal) dan intensitas puncak difraksi dengan data standar. Melalui analisis XRD diketahui dimensi kisi (d = jarak antar bidang) dalam struktur mineral. Sehingga dapat ditentukan apakah suatu material mempunyai kerapatan yang tinggi atau tidak [ Sholihah & Zainuri, 2012].

2.8.4 Vibrating Sample Magnetometer (VSM)

Semua bahan mempunyai momen magnetik jika ditempatkan dalam medan magnetik. Momen magnetik per satuan volume dikenal sebagai magnetisasi. VSM merupakan salah satu jenis peralatan yang digunakan untuk mempelajari sifat magnetik bahan. Dengan alat ini akan dapat diperoleh informasi mengenai besaran-besaran sifat magnetik sebagai akibat perubahan medan magnet luar yang digambarkan dalam kurva histerisis, sifat magnetik bahan sebagai akibat perubahan susu, dan sifat-sifat magnetik sebagai fungsi sudut pengukuran atau kondisi anisotropik bahan.

Secara umum ketelitian hasil pengukuran dipengaruhi oleh bentuk dan ukuran cuplikan, serta parameter pengukuran. Koreksi data berkaitan dengan bentuk dan ukuran cuplikan sekecil mungkin, dibandingkan dengan dimensi

(21)

kumparan untuk memenuhi pendekatan dipol yang digunakan pada asumsi prinsip kerja alat ini. Selain itu bentuknya juga seidentik mungkin dengan cuplikan standar yang digunakan, untuk pengukuran histerisis (M terhadap H), data yang terukur adalah data magnetisasi sebagai fungsi medan magnet luar yang diberikan. Pada proses pengukuran bahan magnet permanen, akan timbul medan internal yang berlawanan dengan arah magnetisasi. Medan ini dikenal sebagai medan demagnetisasi. Besar medan ini akan bergantung pada bentuk/dimensi cuplikan serta medan luar yang diberikan. Untuk itu data yang diperoleh harus dikoreksi dengan medan demagnetisasi ini sehingga diperoleh medan efektif yang sebenarnya [Mujamilah dkk, 2012].

2.8.5 X-ray Fluoresence (XRF)

X-Ray Fluoresense (XRF) berfungsi untuk menganalisa komposisi kimia yang terkandung dalam suatu sampel dengan menggunakan metode stoikiometri. Secara garis besar, prinsip kerja XRF adalah elektron pada kulit bagian dalam sampel akan dieksitasi oleh foton. Selama proses dieksitasi proton akan berpindah dari tingkat energi yang lebih tinggi untuk mengisi kekosongan elektron. Energi yang dipancarkan oleh kulit yang berbeda akan muncul sebagai sinar X yang diemisikan oleh atom. Spektrum sinar X yang diperoleh selama proses di atas menyatakan jumlah dari karakteristik puncak. Energi puncak untuk mengidentifikasi unsur dalam sampel (analisis kualitatif), sementara intensitas puncak menyediakan konsentrasi unsur yang yang relevan dan mutlak (analisis kuantitatif dan semi kuantitatif). Waktu yang digunakan untuk sekali pengujian adalah 300 detik. Sedangkan preparasi sampel tidak perlu dilakukan dengan merusak, sehingga sampel dapat segera diukur [Beckhoff B et al, 2007].

Gambar

Gambar 2.5 Loop Histerisis  f.  Medan Anisotropi
Gambar 2.6 Pola Difraksi sinar X

Referensi

Dokumen terkait

dibelajarkan dengan Macromedia Flash memiliki nilai rata-rata keterampilan metakognitif yang lebih tinggi daripada siswa yang dibelajarkan tanpa Macromedia Flash ,

Di bawah ini yang bukan salah satu sumberdaya pendukung pembangunan adalah sumber daya manusia yang meliputi hal-hal berikut ini …a. Sarana transportasi

Namun berdasarkan data kecepatan angin kota Makassar Sulawesi selatan, Indonesia tahun 2011 terlihat bahwa simulasi turbin angin ini yang telah tervalidasi dengan

Upaya Menurunkan Angka Kesakitan dan Kematian Ibu Pada Penderita Preeklampsi dan Eklampsia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Kebidanan dan

Bahan pengajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih dipahami oleh para siswa, dan memungkinkan siswa menguasai tujuan pengajaran lebih baik. Metode mengajar

Judul Penelitian Pengaruh penerapan Model Pembelajaran Kooperatif tipe NHT terhadap Hasil Belajar Matematika Pada Pokok Bahasan Bangun Ruang Sisi Datar (kubus

33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal (JPH) yang diundangkan tanggal 17 Oktober 2014 itu menjadi jawaban atas keresahan terhadap makanan dan minuman berlabel halal yang

lag ) antara saat dikeluarkannya biaya dengan saat dihasilkannya keluaran. Karena sulitnya menghubungkan antara biaya masukan dengan keluaran dapat berupa produk,