BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL
3.1 Kerangka Konsep
Kerangka konseptual ini bertujuan untuk mengidentifikasi pola-pola komunikasi orangtua tunggal yang ditinggal karena kematian maupun perceraian yang memiliki anak remaja, hal ini dilakukan agar dapat memperoleh hasil yang lebih akurat. Pola komunikasi keluarga didefenisikan sebagai karakteristik pola-pola interaksi sirkular dalam keluarga, disamping mempengaruhi dan mengorganisir anggota keluarga, pola-pola itu juga menghasilkan arti dari transaksi diantara para anggota keluarga (Petter, 1974 dalam Friedman, 1998). Pola komunikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah komunikasi menurut Friedman (1998), karena pola komunikasi ini lebih operasional dalam keluarga dan lebih mudah dipahami oleh peneliti.
Friedman (1998) membagi dua pola komunikasi yaitu : pola komunikasi fungsional dan disfungsional.
32
POLA KOMUNIKASI KELUARGA - Keterbukaan
- Kejujuran - Adanya toleransi
- Memahami ketidaksempurnaan
- Mampu mengakui kebutuhan dan emosi
- Adanya musyawarah/diskusi dalam keluarga FUNGSIONAL - Menerima perbedaan pendapat
- Menghargai pendapat orang lain - Tidak menyalahkan
- Menyelesaikan masalah dengan tenang
- Harga diri yang rendah - Pemusatan pada diri sendiri
- Kurang empati
- Tidak ada toleransi DISFUNGSIONAL
- Ekspresi perasaan tidak jelas - Ketidakmampuan mengungkapkan
kebutuhan karena takut ditolak
- Penerima disfungsional (tidak berfungsi)
Skema 1. Kerangka Konseptual Pola Komunikasi Keluarga Sumber : Friedman, 1998
33
3.2 Defenisi Operasional
Tabel 1. defenisi operasional
KETERANGAN DEFENISI OPERASIONAL ALAT UKUR HASIL UKUR SKALA Pola komunikasi Fungsional orangtua tunggal dengan anak remaja
Cara orangtua tunggal berkomunikasi
maksud hal yang disampaikan pengirim pesan (orangtua - anak remaja) dapat diterima jelas oleh penerima pesan (orangtua - anak remaja) meliputi - Keterbukaan - Kejujuran - Adanya toleransi - Memahami ketidaksempurnaan - Mampu mengakui kebutuhan dan emosi Alat ukur yang digunakan, menggunak an kuesioner dengan pertanyaan fungsional sebanyak 15 kuesioner dengan bentuk dichotomy question Hasil ukur komuni kasi fungsio nal dimana yang paling banyak dijawab benar fungsio nal Interval
34
- Menerima
perbedaan pendapat - menghargai
perbedaan orang lain - Tidak menyalahkan - menyelesaikan masalah dengan tenang.
sama-sama memahami makna dan isi pesan yang disampaikan didalam keluarga di Desa Gempolan Kecamatan Sei Bamban Kabupaten Serdang Bedagai Pola komunikasi Disfungsional orangtua tunggal dengan anak remaja
Cara orangtua tunggal berkomunikasi dimana pengirim pesan (orangtua – anak remaja) dengan Alat ukur yang digunakan, menggunak an Hasil ukur komuni kasi disfung Rasio
35 penerima pesan (orangtua – anak remaja) didalam keluarga berbeda mengartikan maksud dan makna dari pesan tersebut karena meliputi adanya - Harga diri rendah - Pemusatan pada diri
sendiri
- Kurang empati - Tidak ada toleransi - Ekspresi perasaan tidak jelas - Ketidakmampuan mengungkapkan kebutuhan karena takut ditolak - Penerimaan disfungsional (tidak kuesioner dengan pertanyaan Disfungsion al sebanyak 15 kuesioner dengan bentuk dichotomy question sional dimana yang dijawab paling banyak salah disfung sional
36 diterima) di Desa Gempolan Kecamatan Sei Bamban Kabupaten Serdang Bedagai
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian diskriptif yang bertujuan untuk mengidentifikasi Pola Komunikasi Orangtua Tunggal dengan Anak Remaja Pada Suku Batak di Desa Gempolan Kecamatan Sei Bamban Kabupaten Serdang Bedagai.
4.2 Populasi dan sample 4.2.1 Populasi Penelitian
Populasi penelitian ini adalah seluruh orangtua tunggal yang bertempat tinggal di Desa Gempolan Kecamatan Sei Bamban Kabupaten Serdang Bedagai. Dari jumlah penduduk keseluruhan berjumlah 3.979 jiwa yang terdiri dari 1055 kepala keluarga, dari tujuh dusun yang berada di Desa tersebut terdapat sekitar kurang lebih 135 keluarga dengan orangtua tunggal sampai bulan april 2011.
4.2.2 Sample penelitian
Cara pengambilan sample dalam penelitian ini menggunakan non
probability sampling dengan tehnik purposive sampling yaitu didasarkan pada
suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri berdasarkan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Jumlah sampel yang diperoleh peneliti sebanyak 41 responden selama bulan april 2011. Adapun jumlah sampel yang didapat saat pengambilan data secara purposive sampling orang yang sesuai kriteria yang telah ditentukan oleh peneliti yaitu :
38
- Orangtua tunggal yang memiliki anak remaja yang masih bersekolah dan tinggal bersama dengan anak-anak dalam satu rumah.
- Orangtua tunggal yang memiliki anak remaja yang tidak bersekolah lagi dan tinggal bersama dengan anak-anak dalam satu rumah.
- Orangtua tunggal yang memiliki anak remaja yang bisa berkomunikasi dengan bahasa Indonesia
4.3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Gempolan Kecamatan Sei Bamban Kabupaten Serdang Bedagai dengan pertimbangan bahwa di desa tersebut belum pernah dilakukan penelitian mengenai Pola Komunikasi Orangtua Tunggal Dengan Anak Remaja pada Suku Batak dan memiliki sampel yang memadai untuk dilakukan penelitian. Berdasarkan data yang diterima dari Kantor Kepala Desa Gempolan ada orangtua tunggal yang kehilangan pasangan baik meninggal dunia maupun bercerai, dengan kata lain populasi orangtua tunggal akan selalu meningkat setiap tahun. Wakt u penelitian dilakukan pada bulan September sampai januari 2012.
4.3 Pertimbangan Etik
Penelitian ini dilakukan setelah peneliti mendapatkan izin dari bagian pendidikan Fakultas Keperawatan USU dan izin dari Kepala Desa Gempolan. Dalam penelitian ini ada beberapa pertimbangan etik yang harus diperhatikan
39
yaitu hak kebebasan dan kerahasiaan menjadi responden, serta tidak menimbulkan resiko terhadap fisik maupun mental.
Peneliti juga menjelaskan bahwa partisipasi responden sebagai subjek dalam penelitian ini adalah bersifat suka relawan. Responden mempunyai hak untuk mengundurkan diri dari penelitian ini tanpa ada tekanan ataupun paksaan, dan peneliti akan menghormati hak responden. Jika responden bersedia untuk menjadi subjek penelitian, maka responden diminta untuk menandatangani lembar persetujuan (informed consent), atau menyetujui secara lisan. Informasi dalam
informed consent yaitu : partisipasi pasien, tujuan dilakukannya tindakan, jenis
data yang dibutuhkan, komitmen, prosedur pelaksana, potensial masalah yang akan terjadi, manfaat, kerahasiaan, informasi yang mudah dihubungi dan lain-lain. Data-data yang diperoleh dari responden hanya digunakan untuk kepentingan peneliti.
4.4 Instrumen Penelitian
Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa kuesioner tertutup yang terdiri dari dua bagian yaitu :
a. Data demografi yang terdiri dari inisial nama, jenis kelamin, umur, agama, suku, pendidikan, pekerjaan, jumlah anak, dan pendapatan perbulan. b. Kuesioner tertutup dengan judul “ Pola Komunikasi Orangtua Tunggal
Dengan Anak Remaja “ yang berbentuk dichotomous choice. Responden cukup hanya memilih salah satu diantaranya. Kuesioner terdiri dari 30 pertanyaan, yang terbagi menjadi 2 bagian yaitu : 15 pertanyaan pola
40
komunikasi fungsional dan 15 pertanyaan pola komunikasi disfungsional. Penilaian kuesioner pernyataan yang nilainya positif (fungsional) jawaban Ya bernilai “1” dan jawaban Tidak bernilai “0”. Sedangkan pernyataan negatif (disfungsional) jawaban Ya bernilai “0” dan jawaban Tidak bernilai “1”. Dimana yang paling banyak dijawab responden benar dominan fungsional, dan dimana yang paling banyak dijawab responden salah dominan disfungsional.
4.5 Uji Validitas dan Uji Reliabilitas
4.5.1 Uji Validitas
Menurut Notoatmodjo (2010), validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-benar mengukur apa yang diukur. Instrument yang valid atau sahih mempunyai validitas yang tinggi. Sebaliknya instrumen yang kurang valid, berarti memiliki validitas yang rendah. Jenis validitas yang diukur adalah validitas isi yaitu suatu keputusan tentang bagaimana instrument dengan baik mewakili karakteristik yang dikaji. Uji validitas dilakukan oleh dosen yang ahli dalam bidang Keperawatan Keluarga. Dan kuesioner tersebut telah mendapat modifikasi dan penambahan jumlah kuesioner sebanyak 10 butir pertanyaan dan diganti 2 butir pertanyaan kemudian kuesionernya dipisah yang fungsional dan disfungsional dibedakan, dan kuesioner tersebut telah validitas isi.
4.6.2 Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas ini bertujuan untuk mengetahui tingkat reliabilitas setiap butir pertanyaan. Dalam penelitian ini digunakan uji reliabilitas internal yaitu
41
pemberian instrumen hanya satu kali pada responden yang diteliti. Sebelum diberikan pada responden instrumen diuji coba dulu kepada 20 orang responden yang memenuhi kriteria (Notoatmodjo, 2010), yang berada di Desa Simpang Empat Kecamatan Sei Rampah Kabupaten Serdang Bedagai. Uji reliabilitas untuk instrumen Pola Komunikasi Orangtua Tunggal dengan Anak Remaja pada Suku Batak diuji dengan menggunakan rumus Cronbach Alpha dengan nilai r = > 0,632 maka dianggap reliable (Singarimbun, 1989).
Hasil uji reliabilitas untuk kuesioner Pola Komunikasi Orangtua tunggal dengan Anak Remaja adalah 0,758. Menurut Singarimbun (1989) suatu instrument dikatakan reliabel bila nilai uji reliabilitasnya lebih dari 0,632. Dengan demikian kuesioner pola komunikasi orangtua tunggal dengan anak remaja sudah reliabel sehingga layak untuk digunakan dalam penelitian ini.
4.6 Pengumpulan Data
Alat ukur yang digunakan dalam pengumpulan data yaitu dengan menggunakan kuesioner. Pengumpulan data dimulai setelah peneliti mendapat surat izin pelaksanaan penelitian dari institusi pendidikan yaitu Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan surat izin dari lokasi penelitian yaitu di Desa Gempolan Kecamatan Sei Bamban Kabupaten Serdang Bedagai. Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti sendiri tanpa keterlibatan pihak lain. Pada saat pengumpulan data peneliti menjelaskan waktu, tujuan, manfaat dan prosedur pelaksanaan dan penelitian kepada calon responden dan bersedia berpartisifasi diminta untuk menandatangani informed consent, setelah itu peneliti memberi kesempatan kepada responden untuk mengisi kuesioner selama 15
42
menit. Responden yang bersedia mengisi kuesioner diberi kesempatan untuk bertanya apabila ada pertanyaan yang tidak dimengerti. Setelah selesai kemudian peneliti memeriksa kelengkapannya. Jika masih ada yang kurang lengkap, maka dapat langsung dilengkapi, selanjutnya setelah semua data terkumpul lalu data dianalisis.
4.7 Analisa Data
Setelah data terkumpul, maka peneliti akan melakukan analisa data melalui beberapa tahap, dimulai dari editing untuk memeriksa kelengkapan data, kemudian coding dengan memberi kode untuk untuk memudahkan melakukan tabulasi, selanjutnya entry dengan memasukkan data komputer dan dilakukan pengolahan data dengan menggunakan tehnik komputerisasi program SPSS, dan data yang ditampilkan dalam tabel distribusi frekuensi.
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini diuraikan hasil penelitian dan pembahasan penelitian mengenai Pola Komunikasi Orangtua tunggal dengan Anak Remaja Pada Suku Batak Didesa Gempolan Kecamatan Sei Bamban Kabupaten Serdang Bedagai.
Penelitian ini telah dilaksanakan mulai tanggal 3 sepetember 2011 sampai dengan 15 januari 2012 di Desa Gempolan Kecamatan Sei Bamban dengan jumlah responden 41 orang.
5.1 Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini dibagi menjadi dua bagian yaitu, karakteristik responden dan pola komunikasi orangtua tunggal dengan anak remaja pada suku Batak di Desa Gempolan Kecamatan Sei Bamban Kabupaten Serdang Bedagai.
5.1.1 Karakteristik Responden
Berdasarkan jenis kelamin, responden terbanyak adalah perempuan yaitu (80,5%). Sedangkan berdasarkan jumlah tanggungan orangtua yang terbanyak adalah 1 dan 2 orang sebanyak (41,5%). Berdasarkan jenis kelamin anak, jumlah tanggungan orangtua terbanyak adalah 1 orang anak laki-laki, (56,1%). Berdasarkan agama, yaitu responden terbanyak beragama protestan (85,4%), dan agama kristen katolik (12,2%). Sementara berdasarkan tingkat pendidikan terakhir responden berpendidikan SMU yaitu sebanyak (41,5%). Mayoritas responden bekerja sebagai buruh/petani (97,6%). Penghasilan mayoritas responden berada <
44
Rp 850.000 (97,6%). Hasil penelitian tentang karakteristik responden dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Distribusi Frekuensi dan Distribusi Karakteristik Responden (f = 41)
Karakteristik Frekuensi Persentase
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah Tanggungan 1 orang 2 orang 3 orang 4 orang 5 orang
Jumlah Tanggungan Anak Perempuan 1 orang
2 orang 3 orang
Jumlah Tanggungan Anak Laki-laki 1 orang 2 orang 3 orang 4 orang Agama Protestan Katolik Islam Pendidikan Terakhir SD SMP SMA Pekerjaan Petani/buruh Wiraswasta Penghasilan Responden < Rp 850.000 Rp 1.000.000 – Rp 2.000.000 8 33 17 17 4 1 2 20 4 1 23 6 1 2 35 5 1 13 11 17 40 1 40 1 19,5 80,5 41,5 41,5 9,8 2,4 4,9 48,8 9,8 2,4 56,1 14,6 2,4 4,9 85,4 12,2 2,4 31,7 26,8 41,5 97,6 2,4 97,6 2,4
45
5.1.2 Pola Komunikasi Orangtua Tunggal dengan Anak Remaja pada Suku Batak di Desa Gempolan Kecamatan Sei Bamban.
Pola komunikasi orangtua tunggal dengan anak remaja pada suku batak terhadap 41 responden yang terdiri dari 30 pertanyaan diperoleh bahwa pola komunikasi orangtua tunggal dengan anak remaja pada suku batak di Desa Gempolan Kecamatan Sei Bamban ternyata mayoritas pola komunikasi fungsional (90,2%), dan pola komunikasi disfungsional sebanyak (9,8%), yang dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Distribusi frekuensi Pola Komunikasi Orangtua Tunggal Dengan Anak Remaja Pada Suku Batak di Desa Gempolan Kecamatan Sei Bamban (f=41)
No Pola Komunikasi f Persentase
1 Fungsional 37 90,2
2 Disfungsional 4 9,8
Total 41 100,0
Tabe1 3. Distribusi Frekuensi dan persentase Pola Komunikasi Orangtua Tunggal dengan Anak Remaja pada Suku Batak di Desa Gempolan Kecamatan Sei Bamban (f=41)
Penilaian Pola Komunikasi Kategori Penilaian Ya
f (%)
Tidak f (%)
Komunikasi terbuka 34 (82,9) 7 (17,1)
Komunikasi dengan jujur 32 (78,0) 9 (22,0)
Membuka diri 32 (78,0) 9 (22,0)
Menerima perbedaan pendapat 34 (82,9) 7 (17,1) Sering mengadakan musyawarah 33 (80,5) 8 (19,5)
Sering mengadakan diskusi 31 (75,6) 10 (24,4)
Menimbulkan pertengkaran, mencari pemecahan masalahnya.
46
Ada waktu untuk berkomunikasi 37 (90,2) 4 (9,8) Menerima perbedaan pendapat saat
musyawarah
Melakukan kesalahan tidak menyalahkan, memberi nasehat yang terbaik
Tidak marah saat berbicara selalu
34 (82,9) 7 (17,1) 33 (80,5) 8 (19,5)
30 (73,2) 11 (26,8) menyelesaikan masalah dengan
tenang.
Menerima ketidaksempurnaan 39 (95,1) 2 (4,9)
Bapak/Ibu sangat berarti bagi 40 (97,6) 1 (2,4) kehidupannya
Memberikan perhatian yang lebih 38 (92,7) 3 (7,3) Berdiskusi masalah pribadinya 30 (73,2) 11 (26,8)
Lebih banyak bicara 23 (56,1) 18 (43,9)
Lebih tahu banyak masalah dan menyelesaikan masalah itu sendiri Tidak cenderung memberi arahan dan nasehat
Tidak memberi kesempatan remaja mengemukakan pendapatnya Merasa putus asa dan marah-marah bila ucapan tidak diterima
Tidak mencoba menerima dahulu
25 (61,0) 16 (39,0) 14 (34,1) 27 (65,9) 16 (39,0) 25 (61,0) 18 (43,9) 23 (56,1) 13 (31,7) 28 (68,3) kenyataan yang dialami anak
Cenderung memberi hukuman 14 (34,1) 27 (65,9)
Sering berselisih faham 10 (24,4) 31 (75,6)
Merasa tidak dihargai 8 (19,5) 33 (80,5)
Kuranga perhatian dan komunikasi menyebabkan anak terjerumus kepergaulan yang salah
Melampiaskan kemarahannya
15 (36,6) 26 (63,4)
9 (22,0) 32 (78,0) keorang lain atau barang
Mementingkan diri sendiri 2 (4,9) 39 (95,1)
Tidak menghargai pendapat/nasehat dalam menyelesaikan masalah.
Tidak mengungkapkan
8 (19,5) 33 (80,5) 9 (22,0) 32 (78,0) keinginannya karena takut ditolak
47
keputusan dari pada anak yang remaja
Tabel 4. Distribusi frekuensi dan persentase karakteristik demografi dengan pola komunikasi orangtua tunggal dengan anak remaja (f=41)
Karakteristik responden Pola komunikasi
Fungsional Disfungsional F % F % Suku Batak 37 90,2 4 9,8 Jenis kelamin Laki-laki perempuan 4 33 9,8 80,5 4 9,8 Agama Protestan Katolik Islam 31 5 1 75,6 12,2 2,4 4 9,8 Pendidikan SMA SMP SD 15 11 13 36,6 26,8 31,7 2 2 4,9 4,9 Pekerjaan Buruh/petani Wiraswasta 36 1 87,8 2,4 4 9,8 Penghasilan <Rp 850.000 RP1.000.000 - 2.000.000 36 1 87,8 2,4 4 9,8 5.2 Pembahasan
Dalam pembahasan ini peneliti mencoba untuk menjawab pertanyaan penelitian yaitu bagaimana pola komunikasi keluarga orang tua tunggal dengan
48
anak remaja pada suku Batak di Desa Gempolan Kecamatan Sei bamban Kabupaten Serdang Bedagai
Pola Komunikasi Orangtua Tunggal Dengan Anak Remaja
Friedman (1998) mengatakan bahwa interaksi keluarga memiliki pengaruh bagi pola komunikasi keluarga. Komunikasi keluarga yang efektif terjadi apabila tidak terdapat kekakuan dan formalitas didalam keluarga tersebut. Sehingga antara anggota keluarga dapat melakukan komunikasi dari hati ke hati secara dialogis dalam berbagai kondisi dan situasi dengan santai dan penuh keterbukaan serta keakraban (Komala, 2005).
Hasil penelitian menunjukkan banyak keluarga dengan orangtua tunggal dengan anak remaja pada suku batak memiliki pola komunikasi yang fungsional (90,2%) (tabel 2). Berarti dapat diasumsikan bahwa walaupun kehilangan salah satu pasangannya, ternyata orangtua tunggal mampu untuk berperan ganda yaitu menjadi ayah dan ibu dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Hal ini terbukti dalam keluarga dengan orangtua tunggal memiliki komunikasi fungsional yaitu dengan komunikasi terbuka sebanyak (82,9%), komunikasi dengan jujur sebanyak (78%), membuka diri untuk bercerita akan masalah yang dialami sebanyak (78%), menerima perbedaan pendapat sebanyak (82,9%), sering mengadakan diskusi/musyawarah tentang masalah keluarga sebanyak (80,5%), sering mengadakan diskusi tentang masalah sosial (75,6%), ada masalah menimbulkan pertengkaran, orangtua langsung mencari pemecahan masalahnya sebanyak (85,4%). Ada waktu untuk berkomunikasi sebanyak (90,2%), menerima perbedaan pendapat dengan anak remaja pada saat berdiskusi/musyawarah
49
sebanyak (82,9%), melakukan kesalahan tindakan Bapak/Ibu tidak bersifat menyalahkan, melainkan memberi nasehat yang terbaik sebanyak (80,5%), tidak marah saat harus berbicara dengan anak Bapak/Ibu yang remaja karena Bapak/ibu selalu menyelesaikan masalah dengan tenang (73,2%) saling memahami dan menerima ketidaksempurnaan, kekurangan serta kelebihan masing-masing sebanyak (95,1%), Bapak/Ibu sangat berarti bagi kehidupannya, karena anda orangtua yang bijaksana dalam mengambil keputusan sebanyak (97,6%) (tabel 3) .
Sedangkan memberikan perhatian yang lebih kepada anak anda yang remaja sehingga tidak terjerumus kedalam masalah kenakalan remaja sebanyak (92,7%), berdiskusi masalah pribadinya kepada Bapak/Ibu karena anak remaja menganggap bahwa Bapak/Ibu adalah orang yang tepat dibandingkan temannya sendiri sebanyak (73,2%) (tabel 3). Keluarga dengan orangtua tunggal yang memiliki komunikasi fungsional berarti akan meminimalkan stres yang terjadi didalam keluarga, karena keluarga dapat menyelesaikan masalah dengan sehat melalui diskusi atau musyawarah dan mampu mengungkapkan kemarahan secara sehat (Potter & Perry, 2005 dan Friedman, 1998). Komunikasi fungsional dipandang sebagai kunci dari sebuah keluarga yang berhasil dan sehat (Friedman, 1998).
Dan dilihat dari pola komunikasi suku Batak (90,2%) yang fungsional dan (9,8%) disfungsional (tabel 4), hal ini dikarenakan suku batak lebih cenderung terbuka, mengungkapkan dan menceritakan masalah yang terjadi dalam dirinya, kejujuran, keterbukaan, dan sikap terus terang, termasuk dalam mengkritik orang
50
lain, menghormati orangtuanya, cenderung memecahkan masalah dengan diskusi (musyawarah) diantara orangtua dan anak-anaknya, sehingga hal ini memudahkan keluarga dalam berkomunikasi satu sama lain kepada anggota keluarga lainnya (Sudiharto, 2007).
Dari data yang didapat Jenis kelamin lebih banyak perempuan dari pada laki-laki, perempuan (80,5% ) dan laki-laki (19,5%) (tabel 4). Hal ini dikarenakan umur harapan hidup perempuan lebih tinggi dari pada laki-laki, dan didukung pula apabila seorang wanita merasa mempunyai konflik dalam kehidupannya mereka mencari bantuan seperti diskusi dengan orang terdekat bahkan sampai berkonsultasi pada ahli profesional untuk mencapai pemecahan masalah yang dihadapinya, perempuan lebih cenderung lebih bersifat terbuka, dan menyelesaikan masalah dengan cara berdiskusi dengan keluarga (Gray,2008). Perempuan juga lebih cemas akan ketidakmampuannya dibanding dengan laki-laki, dan hasil penelitian didapati ternyata ada (9,8%) (tabel 2) orangtua tunggal dengan anak remaja yang mempunyai pola komunikasi disfungsional dan mayoritas orangtua tunggal berjenis kelamin laki-laki. Hal ini terkait dengan pendapat yang dikemukakan oleh Gray (2008) dalam menyatakan bahwa laki-laki cenderung bersifat dominan, aktif, bebas, percaya diri yang tinggi, keras dan yakin pada diri sendiri sehingga sulit untuk mengungkapkan konflik yang terjadi dalam dirinya kepada orang lain, hal ini mengakibatkan laki-laki sulit berkomunikasi dengan anak-anaknya secara baik.
Mayoritas penduduk beragama Kristen Protestan (85,4%) (tabel 1), sebanyak (75,6%) memiliki pola komunikasi fungsional dan (9,8%) disfungsional
51
(tabel 4). Dari hasil pengamatan bahwa penduduk di Desa Gempolan Kecamatan Sei Bamban ini sangat erat dalam persekutuan ibadahnya. Hal ini sesuai yang dikemukakan oleh Siahaan (1995), suku Batak yakin bahwa Allah ikut campur dalam segala bidang kehidupan. Jadi, walau suku Batak menyembah berhala atau kekuatan-kekuatan duniawi, muaranya tetap satu: pemujaan terhadap Allah. Nilai yang paling menonjol dari masyarakat Batak adalah kehidupan spiritualitasnya yang tinggi. Suku Batak sangat dekat hubungannya dengan Debata Mulajadi Na
Bolon. Suku Batak beranggapan bahwa mereka adalah keturunan langsung
Dewata. Itu berarti seorang suku Batak boleh bicara kepada Dewata seakrab seorang anak kepada ayahnya, bahkan boleh meminta seolah-olah itu haknya. Begitu sederhana, lapang dada, jujur hidup ini menurut perasaan mereka, sesuai dengan ciri khas ( penanut) agama primitif. Dengan pendekatan spiritual yang baik maka stress dalam keluarga dapat diminimalkan, dan tentunya mereka akan memiliki kekuatan baru apabila selesai beribadah. Dengan pendekatan ibadah yang baik maka komunikasi dalam keluarga juga akan terjalin menjadi jauh lebih baik, orangtua dan anak-anak akan cenderung lebih bersabar dan akan memiliki koping yang lebih kuat dalam menghadapi tantangan kehidupan dalam keluarga (Friedman, 1998).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan terbanyak responden adalah SMU (41,5%) (tabel 1). Mayoritas responden memiliki pola komunikasi fungsional (36,6%) dan disfungsional (4,9%) (tabel 4). Hal ini sesuai yang dikemukakan oleh Notoatmodjo (2002), bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang
52
yang dimilikinya. Setelah mengenyam pendidikan yang tinggi orangtua akan melakukan sosialisasi pendidikan didalam lingkungan keluarga karena sesungguhnya ilmu adalah harta yang tidak bisa ditiru. Dari segi jenis dan kualitas, setiap orang memiliki tingkat pendidikan yang berbeda-beda. Tingkat pendidikan orangtua baik secara langsung ataupun tidak langsung akan mempengaruhi komunikasi antara orangtua dan anak dalam lingkungan keluarga (Gunarsa dan Gunarsa 2004). Hasil penelitian menunjukan bahwa orang yang memiliki pendidikan formal yang rendah dan tidak bekerja memiliki partisipasi yang sedikit pada segala sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas sekolah anaknya dibandingkan dengan orangtua yang berpendidikan tinggi, hal ini terjadi karena orangtua berperan sebagai pengetahuan, pengembangan karir, dan memberikan fasilitas belajar ( Agung 2009).
Mayoritas keluarga bekerja sebagai buruh/petani (97,6%) (tabel 1) dari data didapatkan bahwa (87,8%) memiliki pola komunikasi yang fungsional, dan (9,8%) (tabel 4) memiliki pola komunikasi disfungsional. Berdasarkan pengamatan peneliti dengan orangtua yang bekerja sebagai buruh/petani mayoritas penduduk berkomunikasi dengan anak-anaknya pada waktu malam hari, karena kesibukan orangtuanya yang bekerja dipagi hingga sore hari sebagai buruh/tani anak remaja dapat merasakan bagaimana lelahnya terutama orangtua tunggal yang perempuan bekerja untuk menafkahi seluruh kebutuhan keluarganya. sifat bekerja keras, habis-habisan siang malam. Tetapi sisi lain, orang Batak juga menunjukkan sifat tak sabaran, orang Batak itu sulit menciptakan pekerjaan, dia harus diberi pekerjaan. Dan sesudah pekerjaan diperoleh, dia akan benar-benar
53
bekerja keras, banting tulang. Jadi, orang Batak suka pekerjaan- pekerjaan keras yang dipercayakan kepadanya dan mempunyai sifat gotong royong. (Majalah Bona ni Pinasa, Maret 1995 ). Dengan sering berkomunikasi dimalam hari membuat keluarga tersebut dapat memahami kesulitan yang dihadapi dalam keluarga tersebut. Dan dikarenakan kebanyakan orangtua tunggal (60%) disebabkan ditingga l pasangan hidup karena meninggal dan bercerai diatas 10 tahun, jadi anak remaja lebih bisa memahami kesulitan dan kesusahan orangtua tunggal sejak mereka masih berusia anak-anak.
Penghasilan keluarga berada pada < Rp 850.000 (97,6%), apabila penghasilan keluarga pada rentang Rp 1.000.000 – Rp 2.000.000 maka akan lebih mapan dalam hal finansial, hal ini akan meminimalkan konflik ekonomi didalam keluarga, dan keluarga pasti akan mampu memberikan pendidikan yang lebih baik dengan anak-anaknya, dengan pendidikan lebih baik maka akan semakin baik juga anak-anak dalam berkomunikasi kepada orang-orang disekitarnya khususnya antar anggota keluarga. Keadaan sosial ekonomi merupakan salah satu faktor penting pada kehidupan keluarga. Ekonomi keluarga akan digunakan sebagai salah satu pemelihara anak dalam keluarga. Gunarsa dan Gunarsa (2004) menyatakan kondisi keluarga yang memiliki tingkat pendapatan rendah menyebabkan orangtua memperlakukan anak dengan kurang perhatian, penghargaan, pujian untuk berbuat baik dan mengikuti peraturan, kurangnya latihan dari penanaman nilai moral (Agung 2009). Walaupun tidak dipungkiri tentang adanya kemungkinan anak yang serba kekurangan dan selalu menderita akibat ekonomi rendah, justru menjadi cambuk baginya untuk belajar lebih giat dan akhirnya sukses.
54
Untuk itu sebagai seorang orangtua tunggal sangat membutuhkan perjuangan yang lebih tinggi dalam membesarkan anak-anaknya selama menjadi orangtua tunggal, baik dalam bidang ekonomi maupun pendidikan, untuk itu dibutuhkan adanya komunikasi yang terbuka, jujur, dan sikap terus terang dalam keluarga agar anak-anak juga dapat mengerti dan memahami akan kebutuhan satu sama lain dan lebih terbuka dalam berkomunikasi dengan anak-anaknya. Orangtua juga akan lebih pandai dalam mengungkapkan emosinya secara sehat, sehingga anak-anak akan merasakan orangtua mereka memang sedang mendidik mereka menjadi individu yang berguna bagi masyarakat (Endang, 2005 dalam Elfrida 2009).
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan dapat diambil kesimpulan dan saran mengenai deskripsi mengenai Pola Komunikasi Orangtua Tunggal dengan Anak Remaja Pada Suku Batak di Desa Gempolan Kecamatan Sei Bamban Kabupaten Serdang Bedagai sebagai berikut:
6.1 Kesimpulan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pola Komunikasi Orangtua Tunggal dengan Anak Remaja Pada Suku Batak di Desa Gempolan Kecamatan Sei Bamban Kabupaten Serdang Bedagai. Responden dalam penelitian ini berjumlah (f=41) orangtua tunggal yang berada di Desa Gempolan Kecamatan Sei Bamban Kabupaten Serdang bedagai menunjukkan bahwa pola komunikasi keluarga dengan orangtua tunggal adalah fungsional. Hal ini dapat dilihat dari hasil yang diperoleh peneliti adalah Pola Komunikasi fungsional (92%), dan Pola Komunikasi Disfungsional (8%).
6.2 Saran
6.2.1 Bagi Pendidikan Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat menjadi sumber informasi yang penting bagi Dosen dan calon tenaga profesional diharapkan mampu melakukan hubungan interpersonal dengan melihat aspek nilai budaya.
56
6.2.2 Bagi Pelayanan Keperawatan
Hasil penelitian ini merupakan fakta bagi praktek keperawatan, sehingga perawat, khususnya perawat keluarga yang berada di komunitas lebih mudah menyampaikan informasi kepada keluarga dengan orangtua tunggal yang memiliki anak remaja pada suku batak karena mereka memiliki komunikasi yang fungsional, yang artinya keluarga terbuka menerima informasi kesehatan yang diberikan oleh perawat sehingga mempermudah dalam melakukan tindakan keperawatan kepada keluarga.
6.2.3 Untuk Penelitian selanjutnya
Karena penelitian ini dilakukan di Desa Gempolan Kecamatan Sei Bamban, maka hasil penelitian kemungkinan kurang dapat mewakili pola komunikasi orangtua tunggal dengan anak remaja di Sumatera Utara, hal ini dikarenakan pola komunikasi itu sendiri dipengaruhi oleh budaya masyarakat. Kemungkinan apabila penelitian ini dilakukan didaerah atau/wilayah yang kemungkinan mayoritas suku Melayu, Padang, Jawa, Aceh dan lain-lain, kemungkinan akan berbeda cara orangtua dan anak remaja dalam berkomunikasi. Oleh sebab itu, jika peneliti selanjutnya berminat melakukan penelitian tentang pola komunikasi keluarga dengan orangtua tunggal anak remaja alangkah baiknya membedakan budayanya dan mempertimbangkan waktu penelitian karena peneliti perlu waktu panjang untuk melakukan penelitian ini sehubungan masyarakatnya bekerja sebagai petani dan hanya orangtua tunggal itu sendiri yang bekerja, peneliti juga kesulitan untuk memahami bahasa batak karena peneliti bersuku
57
jawa, diharapkan untuk peneliti selanjutnya lakukan penelitian berdasar suku budaya peneliti sendiri.